DISUSUN OLEH :
TAHUN 2019
A. Konsep Dasar Teori
1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak, dan otak, dan cedera kepala paling sering dan penyakit
neurologik yang serius diantara penyakit neurologik, dan merupakan
proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. (Brunner &
Suddarth, 2002)
Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan GCS (Galsgow
Coma Scale) antara 9 sampai 13 (Mansjoer, Arif. 2000).
Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan Skala Koma
Glssgow (SKG) antara 9-12 dengan kehilangan kesadaran atau amnesia
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam serta dapat mengalami fraktur
tengkorak (Hudak dan Gallo, 1997)
2. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala sedang antara lain:
a. Kecelakaan sepeda motor atau lalu lintas
b. Jatuh, benturan dengan benda keras
c. Karena pukulan dengan benda tajam, tumpul dan perkelahian
d. Cedera karena olah raga
Berbagai macam penyebab dari cedera kepala diantaranya karena
adanya percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan
atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur
objek yang tidak bergrak. Kerusakan otak bias terjadi pada titik benturan
pada sisi yang berlawanan.
3. Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung
terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang
membentur sisi luar tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri
dalam rongga tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya
membentur suatu objek seperti kaca depan mobil, sehingga terjadi deselerasi
tengkorak yang berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak kearah depan,
membentur bagian dalam tengorak tepat di bawah titik bentur kemudian
berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal.
Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada
sisi sebaliknya (contra coup).
Menurut Tarwoto dkk, adanya cedera kepala dapat mengakibatkan
kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan
pembuluh darah, perdarahan, edema, dan gangguan biokimia otak seperti
penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala
primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara
langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak.
Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya
akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan serebral
menimbulkan hematoma, misalnya pada epidural hematoma yaitu
berkumpulnya antara periosteum tengkorak dengan durameter, subdural
hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan
sub arakhnoid dan intra serebral hematom adalah berkumpulnya darah di
dalam jaringan serebral. Kematian pada cedera kepala disebabkan karena
hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi
menimbulkan perfusi jaringan serebral dan berakhir pada iskemia jaringan
otak,
4. Tanda dan Gejala
Gejala-gejala yang muncul pada cedera lokal tergantung pada
jumlah dan distribusi cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat,
bisanya menunjukkan adanya fraktur.
a. Fraktur Kubah Kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, dan
atas alasan ini diagnosis yang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa
pemeriksaan dengan sinar-x.
b. Fraktur asar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang
frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, dimana dapat
menimbulkan tanda seperti :
1) Hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat di bawah
konjungtiva
2) Ekimosis atau memar, mungkin terlihat diatas mastoid (battle sign)
c. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah.
d. Penurunan kesadaran
e. Sakit kepala
f. Mual, muntah
g. Pingsan
5. Pathway
Trauma kepala
Terputusnya Terputusnya
Jaringan otak rusak
kontinuitas kontinuitas
jaringan otot jaringan tulang
dan vaskuler
Kerusakan - Perubahan
sel otak ↑ autoregulasi
Kerusakan - Odema
Gangguan suplai
jaringan tulang ↑ sereberal
darah ke jaringan
Stress
Kejang
Iskemia Mengenai sel saraf
↑ katekolamin
7. Penatalaksanaan
a. Airway dan Breathing
1) Perhatian adanya apnoe
2) Untuk cedera kepala sedang dan berat lakukan intubasi endotracheal.
Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh
AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
3) Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis
dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang
telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
b. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama
terjadinya perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi
hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan
darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang
sementara penyebab hipotensi dicari.
c. Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat
dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak
menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal
kembali segera tekanan darahnya normal
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek
cahaya pupil.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke
serebral, edema serebral
b. Resti pola nafas tak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pasa pusat pernafasan otak), kerusakan persepsi
atau kognitif, obstruksi trakeobronkial
c. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif, penurunan kekuatan/tahanan, terapi pembatasan; missal tirah
baring, imobilisasi.
d. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan untuk mencerna nutrient (penurunan tingkat
kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan,
status hipermetabolik
3. Intervensi
a. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke
serebral, edema serebral.
Tujuan : perfusi jaringan serebral adekuat
Kriteria Hasil : tanda-tanda vital dalam batas normal ( TD, nadi, RR, dan
suhu tubuh), pupil isokor, klien tidak gelisah, GCS 15,
tidak ada tanda peningkatan TIK
Intervensi Rasional
1. Kaji status status neurologis 1. mengkaji adanya
yang berhubungan dengan kecenderungan pada tingkat
tanda-tanda TIK; terutama kesadaran dan potensial
GCS. peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan
lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.
2. Monitor tanda-tanda vital 2. normalnya autoregulasi
secara rutin sampai keadaan mempertahankan aliran darah
klien stabil otak yang konstan pada saat
ada fluktuasi tekanan darah
sistemik.
3. Naikkan kepala dengan sudut 3. meningkatkan aliran balik vena
15o-45o tanpa bantal dan dari kepala, sehingga akan
posisi netral. mengurangi kongesti dan
edema.
4. Monitor asupan setiap 4. pembatasan cairan mungkin
delapan jam sekali. diperlukan untuk menurunkan
edema serebral.
5. Kolaborasi dengan tim medis 5. dapat digunakan pada fase akut
dalam pemberian obat- untuk menurunkan air dari sel
obatananti edema seperti otak, menurunkan edema otak
manitol, gliserol dan lasix. dan TIK.
6. Berikan oksigen sesuai 6. menurunkan hipoksemia yang
program terapy. dapat meningkatkan
vasodilatasi dan volume darah
serebral yang meningkatkan
TIK.
Intervensi Rasional
1. Kaji kecepatan, kedalaman, 1. perubahan dapat
frekuensi, irama dan bunyi menandakan awitan
napas. komplikasi pulmonal atau
menandakan luasnya
keterlibatan otak.
2. Atur posisi klien dengan 2. untuk memudahkan
posisi semi fowler (15o – 45o). ekspansi paru dan
menurunkan adanya
kemungkinan lidah jatuh
yang menyumbat jalan
napas.
3. Kaji reflek menelan dan batuk 3. Pada klien yang mengalami
klien penurunan reflek menelan
dan batuk dapat
meningkatkan resiko
gangguan pernafasan
4. Anjurkan klien latihan napas 4. Mencegah / menurunkan
dalam apabila sudah sadar. atelektasis
5. Lakukan kolaborasi dengan 5. untuk mencegah terjadinya
tim medis dalam komplikasi
pemberian terapi.
Kriteria hasil : klien mampu dan pulih kembali setelah pasca akut dan
gerak, mampu melakukan aktivitas ringan pada tahap
rehabilitasi sesuai dengan kemampuan.
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan mobilisasi. 1. dapat mengidentifikasi tingkat
ketergantungan klien.
2. Kaji derajat ketergantungan 2. Untuk mengetahui derajat
klien dengan menggunakan ketergantungan klien :
skala ketergantungan. (0) : Klien mandiri
(1) : Klien memerlukan
bantuan minimal
(2) :Klien memerlukan
bantuan sedang,
pengawasan dan
pengarahan
(3) : Memerlukan bantuan
terus menerus dan
memerlukan alat Bantu
(4) : Memerlukan bantuan
total
3. Atur posisi klien dan ubahlah
3. perubahan posisi secara
secara teratur tiap dua jam
teratur dapat meningkatkan
sekali bila tidak ada kejang.
dan mencegah adanya
penekanan pada organ yang
menonjol.
4. Bantu klien dalam gerakan-
4. mempertahankan fungsi sendi
gerakan kecil secara pasif
dan mencegah penurunan
apabila kesadaran menurun
tonus otak.
dan secara aktif bila klien
kooperatif.
5. Berikan motivasi dan latihan
5. meminimalkan atrofi otot,
pada klien dalam memenuhi
meningkatkan sirkulasi,
kebutuhan sesuai kebutuhan.
membantu mencegah
kontraktur.
6. Lakukan kolaborasi dengan
6. program yang khusus dapat
tim kesehatan lain
dikembangkan untuk
(fisioterapy).
menemukan kebutuhan yang
berarti/menjaga kekurangan
tersebut dalam keseimbangan,
koordinasi dan kekuatan.
4. Implementasi
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan
dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu
diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien
5. Evaluasi
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik
dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan
dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan
tenaga kesehatan lainnya.
Penilaian dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam
melaksanakan rencana kegiatan klien secara optimal dan mengukur hasil
dari proses keperawatan
DAFTAR PUSTAKA