Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.

“S” DENGAN
TRAUMA CAPITIS BERAT (TCB) DI RUANG INSTALASI GAWAT
DARURAT (IGD) RS BHAYANGKARA MAKASSAR

Ratnah Rabba (4117015) Efarista syul kurniati (4117028)


Muh. Ishak sulkarnain (4113008) Sri aswita anas (4116067)
Maria Ela M. Rue (4117038) Adolfus jehamin (4117020)
Maria yanti barung (4117035)
Muh. Rizal aco (4117025)

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2018
BAB I
KONSEP DASAR MEDIS
A. Definisi
Trauma Capitis adalah cedera kepala yang menyebabkan kerusakan pada
kulit kepala, tulang tengkorak dan pada otak.
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen
B. Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :Benda tajam,
Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat ;Benda tumpul,
dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan
diteruskan kepada otak
Penyebab lain
1. kecelakaan lalulintas
2. Jatuh
3. Pukulan
4. Kejatuhan benda
5. Kecelakaan kerja / industry
6. Cidera lahir
7. luka tembak
Mekanisme cidera kepala :
1. Ekselerasi :Ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang
diam.Contoh : akibat pukulan lemparan.
2. Deselerasi :Akibat kepala membentur benda yang tidak bergerak.Contoh :
kepala membentur aspal.
3. Deforinitas :Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan
integritas bagian tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.
Berdasarkan berat ringannya :
1. Cidera kepala ringan → G C S : 13 – 15
2. Cidera kepala sedang → G C S : 9 – 12
3. Cidera kepala berat → GCS:3–8
Penyebab terbesar cedera kepala adalah kecelakaan kendaraan
bermotor.jatuh dan terpeleset.Biomekanika cedera kepala ringan yang utama
adalah akibat efek ekselarasi/deselerasi atau rotasi dan putaran. Efek
ekselerasi/deselerasi akan menyebabkan kontusi jaringan otak akibat benturan
dengan tulang tengkorak, terutama di bagian frontal dan frontal temperol.
Gaya benturan yag menyebar dapat menyebabkan cedera aksonal difus
(diffuse axonal injury) atau cedera coup-contra.coup.
C. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan
tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi,
maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak
selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh
kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya
terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara
terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik
terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countercoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa
jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan
ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini
adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan
dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit
pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan
sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera
mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume
darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak.
Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial Intrakranial

Terputusnya
kontinuitas jaringan Terputusnya Jaringan otak rusak
kulit, otot dan vaskuler kontinuitas jaringan (kontusio, laserasi)
tulang

Gangguan suplai -Perubahan outoregulasi


darah Resiko Nyeri
-Odem cerebral
infeksi
-Perdarahan Iskemia
Kejang
-Hematoma Perubahan
Hipoksia
perfusi jaringan

Perubahan sirkulasi CSS Gangg. fungsi otak 1. Bersihan jln.


Gangg. Neurologis nafas
fokal 2. Obstruksi jln.
nafas
Mual – muntah
3. Dispnea
Peningkatan TIK
Papilodema 4. Henti nafas
Pandangankabur Defisit Neurologis 5. Perub. Pola
Penurunanfungsipe nafas
ndengaran
Nyerikepala
Girus medialis lobus
temporalis tergeser
Gangg. persepsi Resiko tidak
sensori efektifnya jln. nafas
Resiko kurangnya
volume cairan
Herniasi unkus
Tonsil cerebelumtergeser Kompresi medula oblongata

Mesesenfalon Resiko injuri


Resiko gangg.
tertekan
integritaskulit
Immobilisasi

Gangg. kesadaran Kurangnya


Cemas perawatan diri
D. Tanda dan Gejala
a. Commotio Cerebri
1. Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit.
2. Mual dan muntah
3. Nyeri kepala (pusing)
4. Nadi, suhu, TD menurun atau normal
b. Contosio Cerebri
1. Tidak sadar lebih dari 10 menit
2. Amnesia anterograde
3. Mual dan muntah
4. Penurunan tingkat kesadaran
5. Gejala neurologi, seperti parese
6. LP berdarah
c. Laserasio Serebri
1. Jaringan robek akibat fragmen taham
2. Pingsan maupun tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-bulan
3. Kelumpuhan anggota gerak
4. Kelumpuhan saraf otak
E. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar
tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai
terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya
kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan
tidak ada.
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam
memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang normal
pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat
berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan
fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita
yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa
semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih
baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang
lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan
tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang
cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi
seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai
prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia albadan batang
otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa
penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang
otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal
dan tekanan intrakranial terkontrol baik. Pemeriksaan Proton Magnetic
Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan
telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera
Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan
sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada
pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan
substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki
prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya
sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit
neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan.

F. Komplikasi
1. Jangka pendek
a. Hematoma epidural
Letak epidural yaitu antara tulang tengkorak dan duramater. Terjadi
akibat pecahnya arteri meningea media atau cabang-cabangnya.
Gejalanya yaitu setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau
hanya nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya
tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang bersifat
progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi
melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-
mula miosis, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap
refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi
tentorial. Kejadiannya biasanya akut (minimal 24jam sampai dengan
3x24 jam) dengan adanya lucid interval, peningkatan TIK dan gejala
lateralisasi berupa hemiparese Pada pemeriksaan kepala mungkin pada
salah satu sisi kepala didapati hematoma subkutan. Pemeriksaan
neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi
kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan
traktus piramidalis, misal: hemiparesis, reflex tendon meninggi dan
refleks patologik positif. Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan ada
bagian hiperdens yang bikonveks dan LCS biasanya jernih.
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah.
b. Hematom subdural
Letak subdural yaitu di bawah duramater. Terjadi akibat pecahnya
bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater
serta arachnoid dari kortex cerebri. Gejala subakut mirip epidural
hematom, timbul dalam 3 hari pertama dan gejala kronis timbul 3
minggu atau berbulan-bulan setelah trauma. Pada pemeriksaan CT-
Scan setelah hari ke 3 yang kemudian diulang 2 minggu kemudian
terdapat bagian hipodens yang berbentuk cresent di antara tabula
interna dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan
bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak). Juga terlihat bagian
isodens dari midline yang bergeser. Operasi sebaiknya segera
dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi) dengan
melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut
terdiri dari trepanasidekompresi.
c. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal,
terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat
trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-
kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari
kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan
gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi
neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.

d. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang
hebat. Tanda dan gejala : Nyeri kepala; Penurunan kesadaran ;
Hemiparese; Dilatasi pupil ipsilateral; Kaku kuduk
e. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,
mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio
cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin
melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada.
Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi dan
kesadaran menurun.
2. Jangka panjang
a. Kerusakan saraf cranial
a) Anosmia :Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan
gangguan sensasi pembauan yang jika total disebut dengan
anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada
pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
b) Gangguan penglihatan :Gangguan pada nervus opticus timbul
segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya disertai
hematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan,
dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan
visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative,
atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah
cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang
difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut
bersifat irreversible.
c) Oftalmoplegi :Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot
penggerak bola mata, umumnya disertai proptosis dan pupil
yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk
oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik
dini.
d) Paresis fasialis :Umumnya gejala klinik muncul saat cedera
berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan
dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong, semuanya pada
sisi yang mengalami kerusakan.
e) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat
antara koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya
cedera yang berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga
menimbulkan kerusakan pada organ lain.
b. Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk
memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit
system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan
yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah
komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
c. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras
pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak.
Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan
otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
d. Sindrom pasca cedera kepala
Sindrom pasca trauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai
pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri
kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
e. Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri k arotis interna dengan sinus k avernosus, umumnya
disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa
bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau
pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai
hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan
penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan
kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
f. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan
epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.
G. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.

H. Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama
pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit
memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan
meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien
dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 –
10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri
kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan
perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera
kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Data dasar tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin
dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese quadreplegia,
ataksia, cara berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera
(trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot dan otot spastik.
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)
Tanda : Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang
diselingi dengan bradikardia dan disritmia).
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis).
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi dan impulsif.

d. Eliminasi
Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami
gangguan fungsi.
f. Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk,
air liur keluar dan disfagia).
g. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal
pada ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan
pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran sampai koma. Perubahan status
mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori), Perubahan pupil
(respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti perintah. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan,
penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetri, genggaman lemah,
tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia,
hemiparise, quedreplegia, postur (dekortikasi dan deserebrasi), kejang,
sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagian tubuh.
h. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan
nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih
i. Pernapasan
Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
j. Keamanan
Gejala :Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda :Fraktur/dislokasi.
k. Gangguan penglihatan
Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle
di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung (CSS).
l. Gangguan kognitif.
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralysis.
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria, anomia.
m. Pemeriksaan Diagnostik
1)Scan CT tanpa/dengan kontras : Mengidentifikasi adanya SOL,
hemoragic, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Catatan pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena iskemia/infark
mungkin tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam pasca trauma.
2)MRI : Sama dengan scan CT tanpa/dengan menggunakan kontras.
3)Angiografi cerebral : Menunjukan kelainan sirkulasi cerebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
4)EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
5)Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) dan
adanya fragmen tulang.
6)BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : Menentukan fungsi korteks
dan batang otak.
7)PET (Positron Emission Tomografi) : Menunjukan perubahan aktivitas
metabolisme dalam otak.
8)Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya
perdarahan subarachnoid.
9)GDA (Gas Darah Arteri) : Mengetahuai adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK..
10)Kimia/Eolektrolit Darah : Mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan dalam peningkatan TIK/perubahan mental.
11)Pemeriksaan Toksikologi : Mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab dalam penurunan kesadaran.
12)Kadar Antikonvulsan Darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan dalam pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk
yang kurang
2. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.
3. Hambatan mobilitas fisik b.d hemiplegia, hemiparese, kelemahanan.

C. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka masalah
perukaran gas teratasi dengan
Kriteria Hasil: · Tidak ada gangguan jalan napas · Lendir dapat batukkan/sekret
dapat keluar. · Pernapasan teratur.
Intervensi:
1. Kaji pernapasan, suara napas, kecepatan irama, kedalaman, penggunaan
obat tambahan.
R/: Suara napas berkurang menunjukkan akumulasi sekret ·
2. Catat karakteristik sputum (warna, jumlag, konsistensi)
R/: Pengeluaran sekret akan sulit jika kental ·
3. Anjurkan minum 2500cc/hari.
R/: Mengencerkan lendir sehingga dapat dibatukkan ·
4. Beri posisi fowler
R/: Memaksimalkam ekspansi paru dan memudahkan bernapas ·
5. Kolaborasi pemberian O2 dan pengobatan/therapi
R/: Memenuhi kebutuhan O2 dan pengeluaran sekret
2. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : setelah diberikan tindakn keperawatan selama …x… perfusi jaringan
otak membaik dengan
Kriteria Hasil: · Pasien tidak menunjukkan peningkatan TIK, Terorientasi pada
tempat, waktu dan respon ,Tidak ada gangguan tingkat kesadaran ·
Intervensi
1. Kaji status neurologi, tanda-tanda vital (tekanan darah meningkat, suhu
naik, pernapasan sesak, dan nadi) tiap 10-20 menit sesuai indikasi.
R/ :Mendeteksi dini perubahan yang terjadi sehingga dapat
mengantisipasinya. ·
2. Temukan faktor penyebab utama adanya penurunan perfusi jaringan dan
potensial terjadi peningkatan TIK.
R/: Untuk menentukan asuhan keperawatan yang diberikan.
3. Monitor suhu tubuh
R/: Panas tubuh yang tidak bisa diturunkan menunjukkan adanya
kerusakan hipotalamus atau panas karena peningkatan metabolisme tubuh.
·
4. Berikan posisi antitrendelenberg atau dengan meninggikan kepala kurang
lebih 30 derajat.
R/: Mencegah terjadinya peningkatan TIK ·
5. Kolaborasi Pemberikan obat diuretik seperti manitol, diamox
R/: Membantu mengurangi edema otak
3. Hambatan mobilitas fisik b.d hemiplegia, kelelahan
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… makas hambatan
mobilisasi fisik teratasi dengan
Kriteria Hasil: · Pasien dapat mempertahankan mobilitas fisik seperti yang
tunjukkan dengan tidak adanya kontraktur, Tidak terjadi peningkatan TIK
Intervensi: ·
1. Lakukan latihan pasif sedini mungkin
R/: Mempertahankan mobilitas sendi dan tonus otot. ·
2. Beri footboard/penyangga kaki
R/: Mempertahankan posisi ekstremitas ·
3. Pertahankan posisi tangan, lengan, kaki dan tungkai
R/: Posisi ekstremitas yang kurang tepat akan terjadi dislokasi ·
4. Kolaborasi fisioterapi
R/: Tindakan fisioterapi dapat mencegah kontraktur
DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito - Moyet, Lynda Juall. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Jakarta : EGC
2. Darwis, Aprisal. 2014. Konsep Dasar Trauma Kepala (Trauma Kapitis).
(http://www.abcmedika.com/2014/02/konsep-dasar-trauma-kepala-
trauma.html) di akses pada tangal 15 mei 2014
3. Dongues, Marilyn E, dkk. 2000. Rencana Asuah Keperawatan : Pedoman
Untukperencanaan Dan Pendokumentasian Perawtan Pasie. Jakarta :
EGC
4. Ilyas, Kamal Kharrazi 2011 Gambaran Glasgow Coma Scale Pada Pasien
Trauma Kapitis Di RSUP H. Adam Malik Medan Pada Tahun 2009
(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21501) diakses pada tanggal
15 mei 2014
5. Prince, Sylivia A & Wilson, Lorraine M. 2013. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Peyakit. Jakarta : EGC
6. Smeltzer, Suzanne C& Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Eperawtan
Medikal Bedah. Jakarta : EGC
7. Wilkinson, Judith M, & Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai