Anatomi
Ureter terbagi menjadi dua atau tiga bagian. Pada ureter yang terbagi dua, yaitu
ureter proksimal dan ureter distal. Ureter proksimal terletak diatas pembuluh darah
iliaka communis dan secara esensial meliputi ureter 1/3 proksimal pada konsep
ureter yang dibagi tiga segmen.
Pada pembagian ureter yang terbagi tiga, ureter sepertiga media meliputi segmen
yang overlaps dengan tulang sacrum. Sedangkan ureter 1/3 distal meliputi ureter
yang terdapat pada juxtavecicular junction yang terletak dibawah tulang iliaca.
Ureter mengalirkan urine dari ginjal ke vesica urinaria. Panjangnya 25 cm dan
mempunyai 3 penyempitan sepanjang perjalannya pada :
1. Pelvic-ureteric junction
2. Waktu ureter menyilang didepan A.iliaca communis ketika melewati pinggir
panggul.
3. Waktu ureter menembus dinding vesica urinaria.
Ureter keluar dari hilus ginjal dan berjalan vertikal ke bawah dibelakang peritoneum
parietale sepanjang sisi medial m. Psoas mayor yang memisahkannya dari ujungujung processus tranversus vertebrae lumbales. Ureter masuk ke rongga panggul
dengan menyilang didepan a.Iliaca communis, kemudian berjalan ke arah
posterolateral pada dinding lateral pelvis menelusuri pinggir anterior incisura
ischiadica major hingga mencapai spina ischiadica. Dari sini ureter membelok
kearah antero medial dan berjalan tepat diatas diaphragma hingga mencapai basis
vesicae pada suatu titik tepat dibelakang tuberculum pubicum. Kearah posterior
ureter kanan dan kiri berhubungan dengan m. Psoas major, n.genitofemoralis dan
bagian distal A. Iliaca communis. Kearah inferior ureter kanan dan kiri tertutup oleh
peritoneum dan disilang oleh a. Spermatica interna. Selain itu disebelah anterior
ureter kanan berhubungan dengan: duodenum bagian II, A/V. Colica dextra dan
ileocolica, mesentrium dan iluem terminal, dan terletak disebelah kanan V.cava
inferior. Sedangkan disebelah anterior ureter kiri: disilangi A/V. Colica sinistra,
mesocolon sigmoideum dan colon sigmoideum, dan terletak disebelah kiri A.
Mesentrica inferior.
Di abdomen ureter bersilangan dengan arteri spermatica interna atau arteri ovaria. Di
pelvis, bersilangan dengan akhir dari ductus deferens dan pada wanita dengan arteri
uterina. Ureter kiri menyilang di anterior arteri mesenterika inferior dan vasa
sigmoid. Ureter kanan menyilang di vasa kolika dextra dan vasa ileokolika. Saat
turun ke pelvis, ureter berjalan di anterior vasa iliaka tetapi di posterior vasa gonade.
Pada laki-laki, ureter menyilang di anterior ligamen umbilicus medialis, dan
sebelum memasuki kandung kencing, berjalan di bawah vas deferens. Pada wanita,
ureter berjalan posterior dari ovarium, lateral dari ligamen infundibulopelvis dan
medial dari vasa ovarium.
Suplai darah ureter disuplai oleh cabang dari arteri renal, aorta, gonadal, iliaka,
mesenterik dan arteri vesikal. Serat nyeri menghantarkan rangsang kepada segmen
T12-L2. Drainase limfatik ureter mengalir ke nodus limfatikus regional. Tidak ada
saluran limfe yang berlanjut dari ginjal sampai kandung kencing. Nodus limfe
regioal yang menampung drainase adalah nodus limfatikus iliaka komunis, iliaka
eksterna dan hipogastrikus.
Ureter terdiri dari otot yang memanjang berbentuk tabung/silinder, menghubungkan
pelvis ginjal dengan kandung kemih dan berjalan retroperitoneal. Panjang normal
ureter pada dewasa adalah 25-30 cm dan diameternya sekitar 5 mm, tergantung dari
tinggi badannya. Secara histologis, dari lapisan luar disusun oleh lapisan serosa, otot
polos dan di bagian dalam oleh lapisan mukosa. Lapisan otot polos terdiri dari 2
lapisan sirkuler yang dipisah oleh sebuah lapisan longitudinal.
Ureter dapat dibagi menjadi 3 segmen, yaitu :
1. Ureter proksimal segmen yang berlanjut dari sambungan ureteropelvis
ginjal ke area tempat persilangan antara ureter dengan persendian sakroiliaka,
2. Ureter medial antara tulang pelvis dan vasa iliaka,
3. Ureter pelvis atau distal berlanjut dari vasa iliaka ke kandung kencing.
Kolik Ureter
-----------------------------------------------
RD-Collection
2002
Kolik ureter adalah nyeri yang disebabkan oleh adanya sumbatan pada ureter
.Sumbatan ini dapat disebabkan oleh adanya batu, tumor, maupun jendalan darah,
namun batu merupakan sebab yang terbanyak. Dengan adanya sumbatan tersebut
akan mengakibatkan regangan kapsula renalis disertai hiperperistaltik dan spasme
dari otot polos ureter, yang akibatnya akan timbul rasa nyeri.
Di USA kejadian batu di saluran kemih adalah 1:1000 , dengan insidensi tertinggi
pada dekade tiga hingga lima, serta perbandingan laki-laki dengan wanita adalah 3:1
Selama ini penanganan pada pasien dengan kolik ureter adalah dengan pemberian
anti spasmodik. Sebab-sebab dari kolik sendiri jarang mendapatkan perhatian,
sehingga sering terjadi kolik yang berulang pada pasien tersebut, dimana rasa nyeri
dari kolik ini akan sangat mengganggu dan menyiksa pasien. Karena itu penting
untuk diketahui sebab dari kolik tersebut, sehingga dapat dilakukan pengobatan yang
optimal. Dengan demikian akan dapat dihindari timbulnya komplikasi dari adanya
batu di ureter.
Dikatakan bahwa 90% batu saluran kemih, pada pemeriksaan foto polos
abdomen(KUB) akan memberikan gambaran berupa bayangan putih (radioopak)
dan sisanya 10 % akan memberikan gambaran hitam(radiolusen), sehingga dengan
pemeriksaan Rontgen KUB dan IVP dapat ditentukan adanya batu maupun tempat
obstruksi pada saluran kemih tersebut
Definisi
Fisiologi
Fungsi ureter adalah mengalirkan urine dari pelvis ginjal menuju kandung kencing
dengan cara kontraksi peristaltik ritmik. Pada laki-laki terjadi 1-5 kali tiap menit.
Pergerakan peristaltik dikendalikan oleh dua lapisan otot ureter, longitudinal dan
sirkuler. Susunan pertemuan ureterovesical sedemikian rupa sehingga kenaikan
tekanan intravesika akan menutup orifisium ureter dan akhirnya dapat mencegah
refluks. Urine masuk ke dalam kandung kencing dengan cara menyemprot. Secara
berkala, kontraksi otot longitudinal ureter akan membuka orifisium untuk
mengalirkan urine masuk ke dalam kandung kencing.
Kolik ureter adalah suatu nyeri yang biasanya datang secara tiba-tiba yang berasal
dari ginjal dan menyebar ke lipat paha atau organ genitalia eksterna yang bersifat
intermitten atau koliki dengan disertai gejala gastro intestinal berupa perut
kembung, mual, muntah dan obstipasi serta gejala kardio vaskuler seperti takikardia
dan keluar keringat dingin,. Sedangkan nyeri renal adalah suatu nyeri yang biasanya
dirasakan sebagai nyeri yang timbul dan menetap di angulus kosto vertebralis yaitu
lateral dari M. Sacrospinalis dan dibawah iga XII.
Seperti kolik ureter, nyeri renal ini juga diikuti gejala gastro intestinal berupa mual
dan perut kembung .Kolik ureter ini timbul karena adanya obstruksi pada ureter
oleh batu, jendalan darah ataupun tumor, namun batu merupakan sebab yang utama
Dengan adanya sumbatan tersebut akan mengakibatkan regangan kapsula renalis
disertai hiperperistaltik dan spasme dari otot polos ureter, yang akibatnya akan
timbul rasa nyeri.. Nyeri ini akan menjalar dari angulus kosto vertebralis (pinggang)
kearah depan bawah, kebagian bawah perut sepanjang perjalanan ureter. Pada lakilaki nyeri ini akan menjalar hingga testis apabila terdapat sumbatan di bagian
proksimal ureter. Dan menjalar kearah skrotum apabila terdapat sumbatan di ureter
bagian distal, sedangkan pada wanita nyeri ini dapat menyebar sampai vulva apabila
sumbatan tersebut berada di bagian distal ureter
Etiologi
Batu ureter pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke ureter. Gerakan
peristaltik ureter mencoba mendorong batu ke distal, sehingga akan menimbulkan
kontraksi yang kuat.
Batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih, terutama pada tempat-tempat yang
sering mengalami hambatan aliran urin (stasis urin), yaitu pada system kalises ginjal
atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelviokalises (stenosis uretero-pelvis),
divertikel, obstruksi infravesika kronis merupakan keadaan-keadaan yang
memudahkan terjadinya pembentukan batu. Kecenderungan terjadinya batu menurut
para penyidik mengikuti suatu tata cara tertentu yaitu:
1. Adanya supersaturasi dari zat pembentuk batu.
2. Adanya faktor yang menyebabkan kristalisasi zat tersebut
3. Adanya zat yang menyebab kristal berkumpul jadi satu.
Dasar Proses kimia - fisika
Proses dasar pembentukan batu adalah supersaturasi. Seperti yang terjadi dalam
gelas berisi air. Bila di dalamnya terkandung garam atau kristal sodium dalam
jumlah kecil, maka larut dalam air. Bila dilakukan penambahan garam
terus-menerus, suatu saat akan tercapai suatu konsentrasi di mana garam tersebut
tidak dapat lagi larut dalam air. Pada konsentasi ini, dikatakan garam tersaturasi.
Bila garam ditambahkan terus, maka akan mengendap, jika pH atau suhu tidak
berubah, tidak ditambahkan zat/ bahan lain yang membantu kelarutan garam dalam
air. Titik saturasi di mana mulai terjadi kristalisasi, disebut thermodynamic solubility
product (Ksp).
Ksp, adalah suatu konstanta, sama dengan hasil konsentrasi komponen kimia murni
dalam keseimbangan antara komponen terlarut dan komponen pelarut. Ksp, kalsium
oksalat monohidrat dalam air suling pada 37oC adalah 2,34 x 10-9. Begitu juga yang
terjadi dalam urin. Bila konsentrasi kalsium dan oksalat lebih tinggi dari K spnya,
maka akan mengendap. Tetapi di dalam urin terdapat zat-zat inhibitor dan molekul
lain yang memungkinkan konsentrasi kalsium oksalat tidak mengendap walaupun
melampui Kspnya. Keadaan ini, dikatakan, urin metastabel terhadap kalsium oksalat.
Bila konsentrasi kalsium oksalat ditingkatkan lagi, akan tercapai konsentrasi di mana
tidak dapat lagi larut dalam urin. Konsentrasi ini disebut Kf yang merupakan
formation product kalsium oksalat dalam urin. Pada umumnya, komponen
pembentuk batu, dalam urin, berada dalam konsentrasi metastabel antara K sp, dan Kf.
Setiap senyawa mempunyai Kf tertentu pada suhu dan pH tertentu. Faktor suhu tidak
terlalu penting, karena suhu manusia relatif konstan (37 oC). Yang banyak
berpengaruh adalah pH urin. Berbeda dengan air, didalam urin terdapat molekul lain
yang dapat berinteraksi, sehingga dapat mengubah kelarutannya. Misalnya urea,
asam urat, asam sitrat dan kompleks mukoprotein.
Komposisi batu.
Batu saluran kemih ini tersusun dari komponen matriks yang berupa suatu
mukoprotein yang diperkuat sejumlah hexose dan hexosamine dengan kristaloid
(kalsium, oksalat, fosfat, asam urat, sodium, sitrat, magnesium, sulfat) . Dimana
matriks tersebut akan membentuk suatu kerangka beton dengan di sela-selanya terisi
kristal, sehingga membentuk suatu masa yang padat.
Patogenesis
Penyebab terbentuknya batu hingga saat ini belum pasti, namun ada beberapa faktor
yang sudah diketahui mempunyai peranan dalam pembentukan batu, yaitu :
1. Supersaturasi
Bertambah tingginya kristaloid bisa diakibatkan oleh sekresi zat yang bertambah
atau berkurangnya volume urin sedangkan ekskresi tetap, atau oleh kedua hal
tersebut. Berkurangnya volume urin ini bisa disebabkan oleh intake air yang
kurang atau oleh kehilangan air yang banyak, misalnya oleh karena banyak
keringat, diare, dan lain lain . Urin merupakan larutan berbagai macam zat, dari
yang mudah larut sampai yang sukar larut. Pada keadaan undersaturated setiap
jenis zat berada dalam keadaan larut. Bila konsentrasi zat bertambah, pada suatu
saat konsentrasinya melewati ambang solubility product, dan larutan dalam
keadaan metastable. Dalam keadan ini zat akan mudah mengkristal bila terjadi
ketidak seimbangan atau bila ada benda asing yang berperan sebagai nidus. Bila
konsentrasi zat terus bertambah dan melewati ambang formation product, maka
larutan dalam keadaan labil, dalam keadaan ini zat didalamnya mudah sekali
mengkristal. Keadaan diatas merupakan fase I dari proses pembentukan batu,
atau disebut juga sebagai fase mikrolith. Proses untuk terjadinya batu di saluran
kemih maka dibutuhkan suatu proses lanjutan dari fase I yang berupa agregasi
dari kristal-kristal diatas, ataupun suatu proses mantelisasi pada batu yang
disebabkan karena infeksi. Proses ini disebut sebagai fase II, atau fase makrolith
dari pembentukan batu
.
2. Keadaan pH urin
Disamping konsentrasi zat, kelarutan suatu zat bergantung pula pada pH,
suhu larutan adanya zat-zat lain, dan sebagainya. Contoh batu yang terbentuk
akibat supersaturasi dan sangat dipengaruhi pH urin adalah batu sistin dan batu
asam urat. Sistin ini mudah mengkristal bila dalam suasana asam, maka bila urin
dipertahankan dalam jumlah banyak dan pH lebih dari 7, maka sistin tak akan
mudah untuk mengkristal. Sebaliknya dengan asam urat, kelarutan asam urat ini
akan bertambah pada suasana alkalis sehingga perlu dipertahankan keadaan pH
urin yang normal (7,1-7,2) agar asam urat tidak mudah larut
5. Infeksi
Sering kali batu terbentuk pada ginjal yang terinfeksi, terutama infeksi oleh
bakteri yang mempunyai enzim pemecah urea. Batu infeksi ini mempunyai
komposisi berupa magnesium amonium fosfat.
Pembentukan batu
1. Primer
Pembentukan batu yang terjadi pada saluran kemih yang normal, batu ini
biasanya terbentuk karena adanya kelainan metabolik (hiperparatiroidisme). Batu
jenis ini biasanya berupa kristalisasi tanpa nidus, hal ini dapat terjadi dimana
batu berkembang di papila renalis sebagai plaque subepitelial yang selanjutnya
akan menyebabkan erosi dari papila sehingga akan terjadi presipitasi dari
kristaloid urin.
2. Sekunder
Pembentukan batu pada kondisi infeksi dan urin dalam keadaan alkalis. Pada
keadaan ini bakteri, debris dan produk inflamasi bertindak sebagai nidus pada
presipitasi dari kristaloid urin.
Dalam urin normal, konsentrasi kalsium oksalat 4 kali kelarutannya, Karena terdapat
inhibitor dan molekul lainnya, presipitasi baru akan terjadi bila supersaturasinya
mencapai 7 sampai 11 kali kelarutannya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi
supersaturasi kalsium oksalat dalam urin, antara lain, volume urin yang rendah,
meningkatnya ekskresi kalsium, oksalat, fosfat, urat, rendahnya ekskresi sitrat dan
magnesium. Proses pembentukan inti batu yang terdiri dari larutan murni disebut
nukleasi homogen.
Terdapat 3 macam bahan yang mempengaruhi proscs pembentukan batu dalam urin,
yaitu: inhibitor, kompleksor dan promotor. Inhibitor melekat pada kristal, sehingga
mencegah pertumbuhan dan memperlambat agregasi. Inhibitor untuk kalsium
oksalat dan kalsium fosfat, antara lain magnesium, sitrat, pirofosfat dan nefrokalsin.
Dalam urin terdapat 2 glikoprotein yang bersifat inhibitor, yaitu nefrokalsin dan
protein Tanim-Harsfall, yang menghambat agregasi pada urin yang pekat.
Kompleksor yang penting untuk kalsium oksalat adalah sitrat, yang mempunyai efek
maksimal pada pH urin 6,5. Magnesium bersenyawa dengan oksalat, membentuk
senyawa lain yang larut dalam urin. Magnesium dan sitrat bersifat kompleksor dan
inhibitor. Promotor menginisiasi satu fase pembentukan kristal, tetapi menghambat
fase yang lain. Misalnya glikosaminoglikan, menunjang proses nukleasi, tetapi
menghambat proses pertumbuhan dan agregasi. Matriks batu adalah protein non
kristal yang merupakan bagian dari batu. Kandungan matriks dari batu, bervariasi,
umumnya 3% dari bobot batu. Peranan matriks pada pembentukan batu masih belum
jelas. Finlayson dkk., berpendapat matriks hanya menambah/ melapisi kristal yang
membentuk batu. Polimerisasi matriks diperlukan dalam pembentukan batu. Matriks
dibentuk dalam tubulus renal. Dutoit dkk., mengajukan hipotesa terbentuknya batu
ginjal karena adanya penurunan aktivitas ensim urokinase dan peningkatan sialidase
yang berakibat terjadinya meneralisasi matriks batu.
Pemberian diuresis dan antibiotik tidak akan menghilangkan batu jenis ini, terapi
yang dibutuhkan adalah pengambilan dari batu ini. Batu ini bersifat porous,
rapuh , lunak dan berwarna coklat atau putih .
Batu ini pertama kali didapat pada manusia. Batu jenis ini merupakan 2-20% dari
insiden batu saluran kemih. Sering dijumpai pada wanita dan kambuh dengan
cepat. Batu ini terdiri dari magnesium, amonium dan fosfat yang bercampur
dengan karbonat. Sering muncul sebagai batu cetak (staghorn) pada ginja dan
jarang pada ureter. Batu ini adalah batu infeksi dari kuman proteus,
pseudomonas, providencia, klebsiela, staphilokokus, mikoplasma dan lain-lain.
Benda asing dan neurogenik bladder mungkin predisposisi penderita infeksi
saluran kemih yang selanjutnya akan terbentuk batu.
Ada dua keadaan yang harus ada untuk terjadinya kristalisasi dari batu struvit
yaitu pH urin antara 6,8 - 8,3 (kebanyakan diatas 7,2) dan adanya konsentrasi
tinggi amonia dalam urin. Pembentukan batu struvit didukung oleh adanya
infiksi dalam urin oleh bakteri yang memproduksi urease. Brown (1901)
mengemukakan adanya amonia dalam urin, alkalinisasi dan pembentukan batu.
Mekanisme lain yang menginduksi pembentukan batu adalah meningkatkan daya
lekat kristai. Parson dkk menunjukkan kerusakan glikosarninoglikan yang
normal berada pada permukaan mukosa oleh amonium. Penghilangan batu dapat
dicoba dengan irigasi hemiasidrin sedangkan pengobatan jangka panjang dapat
dioptimalkan dengan menghilangkan semua benda asin termasuk kateter. Namun
irigasi ini hanya digunakan bila infeksi dari saluran kemih sudah terkontrol
b. Asam urat,
Batu jenis ini biasanya didapatkan pada laki-laki, penderita gout, ataupun yang
sedang dalam terapi keganasan, mempunyai kemungkinan yang lebih besar
untuk terkena. Batu ini memberikan gambaran hitam pada foto polos abdomen
(radiolusen), multipel dengan permukaan yang bergerigi. Batu ini terbentuk
pada suasana urin yang asam dan ditemukan kurang lebih 5-10% dari kasus batu
saluran kemih. Pengobatan untuk batu jenis ini adalah dengan mempertahankan
volume urin lebih dari 2 L/hari, dan mempertahankan pH urin lebih dari 6,0 serta
mempertahankan kadar asam urat dalam keadaan normal (laki-laki :3,4-7,0 mg
%, perempuan :2,4-5,7 mg %)
Pada penyakit diare kronik seperti Crohn's dan colitis ulseratif atau jejunoileal by
pass dapat menyebabkan batu asam urat, melalui kehilangan bikarbonat yang
akan menurunkan pH atau melalui berkurangnya produksi urin. Pengobatan
dengan memelihara volume urin hingga 21/hari, pH lebih dari 6, pengurangan
diet purin dan pemberian allupurinol membantu mengurangi ekskresi asam urat.
Penyebab utama terjadinya kristalisasi asam urat adalah supersaturasi dari urin
sehingga asam urat tidak terdisosiasi. Tidak diketallui zat apa yang bersitat
sebagai inhibitor untuk pembentukan batu asam urat. Pasien dengan batu asam
urat sering mengandung urin dengan keasaman dalam jangka waktu yang
panjang.
Kelainan yang didapat pada pasien gout antara lain sekresi amonium yang lebih
sedikit dibanding orang normal sehingga banyak sisa ion H yang bebas, produksi
asam urat yang meningkat disertai menurunnya kemampuan ekskresi oleh ginjal,
dan akhirnya berkurangnya produksi urin.
Ada tiga faktor yang terlibat dalam pembentukan batu urat, yaitu:
1. Ekskresi urat yang berlebihan (>1500mg/ hari) pada pH yang relatif rendah.
2. Absorbsi, produksi dan ekskresi urat yang lebih dari normal.
3. Jumlah urin yang menurun.
Ketiga faktor ini adalah kombinasi ideal untuk terbentuknya kristalisasi asam urat.
c. Sistin,
Timbulnya batu ini adalah sekunder dari kelainan metabolisme akibat gangguan
absorbsi asam amino (lysin, sistin,dan lain lain) oleh mukosa intestinal dan
tubulus renalis. Jenis batu sistin ini terjadi berkisar 1-2 % dari kasus batu saluran
kemih yang ada, dengan insidensi tertinggi pada dekade 2 dan 3. Batu ini dapat
tunggal, multiple ataupun staghorn dan sering didapatkan pada penderita yang
mempunyai riwayat keluarga batu saluran kemih. Pada urinalisa akan tampak
kristal hexagonal. Pengobatan batu jenis ini adalah dengan pemberian intake
cairan lebih dari 2 L/ hari dan alkalinisasi urin dengan pH dipertahankan diatas
7,5.Batu ini pada tepinya bersifat radioopak karena kandungan sulfurnya yang
tinggi
Batu ini hanya 1% dari semua batu saluran kemih dan terjadi hanya pada pasien
dengan sistinuria. Sistinuria adalah penyakit yang diturunkan secara resesif
otosomal. Pada penyakit ini terjadi defek transpur transepitelial yang
menyebabkan gangguan absorbsi sistin di usus dan tubulus proksimal. Batu sistin
terbentuk karena sistin sukar larut dalam keadaan pH urin yang normal dan
ekskresi dari ginjal yang berlebihan. Solubilitas dari sistin adalah pH dependen,
solubilitasnya akan rendah pada pH yang rendah dan sebaliknya. Diagnosis dari
sistinuria dicurigai bila onset dini dari batu ginjal, dan riwayat keluarga, dan
riwayat kambuh. Dari pemeriksaan urin didapatkan sodium nitropruside yang
positif. Kadar sistin di urin > 250 mg/hari sifatnya diagnostik. Terapi medik
dengan intake cairan lebih dari 3 liter sehari.
d. Xanthin dan phenil pyruvate,
batu ini sangat jarang dan terbentuk karena adanya kelainan metabolik berupa
kekurangan enzym xanthin oksidase. terjadi pada pasien Lichnehen sindrom.
Dimana enzym ini akan merubah hipoxanthin menjadi xanthin dan dari xanthin
menjadi asam urat. Intake cairan yang banyak dan alkalinisasi pH urin akan
mencegah timbulnya batu jenis ini
Batu santin sangat jarang terjadi, insidennya 1/2500 batu, merupakan kelainan
konginital. Xantinuria yang diturunkan menyebabkan pembentukan batu xantin,
yang radiolusen dan kadang menyerupai batu asam urat.
b. Pelvis renalis,
Batu dengan diamater lebih dari 1 cm biasanya akan menyumbat ureteropelvic
junction dan menimbulkan nyeri yang hebat pada angulus kosto vertebralis
(pinggang), disebelah lateral M. Sacrospinalis dan dibawah iga XII. Nyeri ini
bervariasi dari ringan hingga menyiksa pasien, bersifat konstan dan menjalar
ke perut bagian atas yang ipsilateral. Bila tidak terjadi obstruksi, pasien
dengan batu di pelvis renalis ini hanya akan merasakan pegal pada pinggang
ataupun punggungnya.
2. Hematuria
Pasien dengan batu pada saluran kemih biasanya akan mengeluh adanya gross
hematuri yang intermitten dimana urin akan berwarna seperti teh, namun lebih
sering berupa mikrohematuri.
3. Infeksi
Adanya batu pada saluran kemih ini akan menimbulkan infeksi sekunder akibat
dari obstruksi dan stasis dari urin pada bagian proksimal dari sumbatan.
4. Demam
Adanya demam pada penderita batu saluran kemih merupakan suatu keadaan
yang cukup serius, karena hal ini mungkin merupakan suatu tanda sepsis.
Pada fase awal, dilatasi ureter ini tidak akan menyebabkan hidronefrosis, sehingga
belum akan terjadi kerusakan dari ginjal. Sumbatan di ureter ini juga tidak akan
menimbulkan kerusakan ginjal bila batu yang menyumbat dapat turun ataupun lewat
dalam beberapa hari, dikatakan bahwa 90 % batu di ureter bagian distal akan dapat
keluar secara spontan dalam 30 hari. Namun apabila sumbatan ini berlangsung
lebih dari 6 minggu dan tidak dapat keluar secara spontan maka akan terjadi
kerusakan dari parenkim ginjal
Batu ini dapat tertahan pada bagian yang menyempit dari ureter yaitu pada:
ureteropelvic junction, saat ureter menyilangi vasa iliaka,ureterovesical junction,
saat ureter menyilangi vas deferens atau ligamentum latum/rotundum pada wanita
dan bagian intramural Batu ureter ini akan memberikan gejala pada penderita
apabila batu tersebut terperangkap pada tempat-tempat diatas, serta adanya infeksi,
ataupun kombinasi keduanya.
Opak
MAP
Semiopak
Urat/Sistin
Non opak
Intravenous Pyelografi (IVP) dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu
non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. IVP merupakan
pemeriksaan terpilih dalam mendiagnosis batu ureter.
Diagnosis
Anamnesis tentang riwayat nyeri serta penjalaran dari nyeri akan sangat membantu
untuk menentukan lokasi dimana batu berada, disamping juga anamnesis tentang
hal-hal yang dapat membantu menemukan penyebab terbentuknya batu (penyakit
gout, sering dehidrasi karena pekerjaannya ,dan sebagainya).
Pemeriksaan fisik pada penderita batu ureter tidak banyak ditemukan kelainan,
kecuali bila telah terjadi komplikasi pada pasien tersebut
Pemeriksaan penunjang, Rontgen KUB, lebih dari 90 % batu ureter ini mempunyai
sifat radioopaq (memberikan gambaran bayangan putih) sehingga dapat terlihat pada
pemeriksaan ini. Gambaran batu pada pemeriksaan ini mungkin dapat dikaburkan
dengan gambaran kalsifikasi kelenjar getah bening di perut dan plebolith di pelvis.
Apabila batu ureter tersebut terletak diatas struktur tulang maka diperlukan foto
Rontgen dalam posisi oblique. Pemeriksaan IVP, pada batu yang tidak tampak pada
pemeriksaan Rontgen KUB, maka dengan pemeriksaan ini akan dapat terlihat
Pemeriksaan darah rutin, hal ini perlu dilakukan karena pada pasien kolik ureter
sering ditemukan dengan leukositosis . Pemeriksaan kimia darah, dilakukan untuk
mengetahui fungsi dari ginjal yaitu dengan diperiksa kadar ureum dan kreatinin.
Pemeriksaan urinalisa, yaitu untuk mencari adanya sedimen ataupun kristal dan
eritrosit didalam urin.
Apabila diagnosis ataupun penanganan yang tidak adekuat dari batu ureter ini maka
akan dapat timbul komplikasi-komplikasi yang berupa ;
- hidroureter, hal ini disebabkan obstruksi dari ureter.
- hidronefrosis, sehingga dapat terjadi kerusakan ginjal.
- infeksi, hal ini terjadi karena adanya stasis urin dibagian proksimal sumbatan.
- keganasan, hal ini terjadi karena kontak yang lama dari batu dengan mukosa
ureter sehingga terjadi metaplasi dari sel-sel transisional menjadi sel-sel
skuamosa yang pada akhirnya akan terjadi karsinoma epidermoid di ureter
Batu ureter distal dengan diameter < 4 mm akan mempunyai kemungkinan besar
untuk dapat melewati ureter secara spontan dan bila diameter > 10 mm sangat
tidak mungkin untuk dapat melewati ureter. Pada suatu penelitian, batu ureter
distal dengan diameter 4-6 mm, 25% dapat melewati ureter secara spontan selama
2,8 minggu. Pada penelitian serial yang lain, batu dengan diameter 2-4 mm, 95%
dapat melewati ureter secara spontan selama 40 hari, walaupun tindakan observasi
dapat menyebabkan komplikasi seperti infeksi saluran kemih, hidronefrosis, dan
mempengaruhi fungsi ginjal. Untuk itu, sangat sulit untuk memilih kapan kita
memilih terapi mini-invasif atau observasi, khususnya bila pasien mengeluhkan
beberapa gejala dan atau batu dengan ukuran yang kecil. Saat ini, manfaat
observasi (watchfull waiting) diperluas dengan adanya gabungan terapi
farmakologi yang dapat mengurangi gejala dan keluarnya batu ureter secara
spontan.
Penelitian Margaret S.Pearle (2003) melaporkan efektifitas alpha 1-adrenergic
antagonis (tamsulosin) pada penanganan batu ureter dengan diameter 1cm di
juxtavesical junction. Francesco P, et all (2004) melaporkan perbandingan
penggunaan calcium antagonist (nifedipine 30 mg) slow release dengan alpha 1adrenergic antagonis (tamsulosin 0,4mg). Masing-masing pasien mendapatkan
kortikosteroid (deflazacort 30 mg) dan 200 g mysoprostol. Hasilnya didapatkan
80% pasien yang mendapatkan Nifedipine 30 mg melewati ureter secara spontan,
dan 85% pada kelompok yang mendapatkan tamsulosin 0,4 mg.
Kortikosteroid
Golongan ini merupakan anti inflamasi yang kuat yang dapat mengurangi
inflamasi yang terjadi di ureter. Kortikosteroid juga memiliki efek metabolik
dan imunosupresif.
1. Konservatif
3. Ureteroskopi (URS)
Pada prosuder ini suatu endoskopi semirigid atau fleksibel dimasukkan kedalam
ureter lewat buli-buli dibawah anastesi umum atau regional. Perkembangan di
bidang optic memungkinkan kita memakai ureteroskop yang semirigid, sehingga
alat ini relative lebih tahan lama daripada jenis lama yang rigid. Ureteroskop
yang fleksibel lebih mahal dan memerlukan biaya pemeliharaan yang mahal
pula,, tetapi dengan alat ini dapat dicapai batu dalam kaliks ginjal dan dapat
diambil atau dihancurkan dengan sarana elektrohidraulik atau laser.
Indikasi URS dan lithoclast sebagai berikut :
- Besar batu >4mm sampai 15 mm
- Ukuran batu 4mm dilakukan bila gagal dengan terapi konservatif,
intractable pain dan pekerjaan yang mempunyai resiko tinggi bila terjadi
kolik.
Setelah URS dapat ditinggalkan double-J stent dan biasanya dipertahankan
antara 2-6 minggu. Indikasi pemasangan DJ stent:
- Laserasi dengan perdarahan
- Laserasi tanpa perdarahan
- Striktur ureter
- Batu di ginjal
2. Operasi
Indikasi untuk dilakukan operasi pada batu ureter adalah :
a. Ukuran batu , memiliki diameter yang lebih besar dari 0,5 cm maka hal ini
akan sulit untuk diharapkan keluar secara spontan, sehingga akan dapat
mengganggu fungsi dari ginjal.
b. Fungsi ginjal, apa bila dalam observasi didapatkan bahwa derajat
hidronefrosis atau hidroureter bertambah maka hal ini merupakan indikasi
untuk dilakukan operasi.
c. Infeksi, apabila pada kasus obstruksi ureter didapatkan tanda-tanda infeksi
berupa, panas, nyeri tekan serta sepsis maka hal ini akan dapat merusak
ginjal dengan cepat, sehingga diperlukan tindakan yang cepat berupa
operasi.
d. Keluhan pasien, walaupun tidak didapatkan adanya gangguan pada ginjalnya
namun adanya batu ini akan menimbulkan gejala kolik ureter yang sangat
mengganggu pasien, atau nyeri yang berulang-ulang.
e. Kegagalan terapi konservatif, batu ureter yang telah dilakukan terapi
konservatif selama 6 sampai 8 minggu, namun tidak dapat keluar secara
spontan maka diperlukan tindakan bedah.
f. Ginjal tunggal dengan anuria.
Mengingat hal-hal diatas maka pada saat kita menghadapi kasus batu ureter kita
perlu melakukan evaluasi berupa : adakah indikasi untuk operasi pada kasus
tersebut, bila ada apakah operasi tersebut segera atau dapat ditunda. Serta apakah
kausa dari batu tersebut apakah infeksi atau akibat kelainan metabolik. Namun
sering kali batu saluran kemih ini adalah kasus idiopatik ( tidak diketahui
penyebabnya)
SWL
URS
PNL
85%
89%
Tidak ada
data
90%
74%
73%
Tidak ada
data
84%
Kemungkinan untuk
timbul komplikasi akut
(mis: kematian,
kehilangan ginjal dan
transfusi darah)
4%
9%
Tidak ada
data
Tidak ada
data
Kemungkinan untuk
membutuhkan tindakan
intervensi sekunder
10%
7%
Tidak ada
data
18%
Tidak ada
data
1%
Tidak ada
data
Tidak ada
data
Komplikasi jangka
panjang (mis:striktur
ureter)
Operasi
terbuka
Cedera Ureter
Cedera ureter dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau luka tajam dari luar,
terbanyak dari trauma iatrogenik pada operasi terbuka dan/atau operasi laparoskopik
pada bagian pelvis, serta operasi endourologi transureter. Cedera ureter bisa juga
terjadi pada saat reseksi transurethral kandung kencing atau prostat maupun
manipulasi batu atau tumor ureter. Cedera yang terjadi pada ureter akibat tindakan
operasi terbuka dapat berupa: ureter terikat, remuk karena terjepit oleh klem, putus,
robek, atau devaskularisasi karena terlalu banyak jaringan vaskuler yang
dibersihkan. Ureter merupakan organ urogenital yang paling jarang cedera. Kurang
dari 1% pada cedera urologi yang disebabkan oleh trauma dari luar, karena ureter
merupakan struktur fleksibel yang mudah bergerak di daerah retroperitoneal dengan
ukuran kecil serta terlindung baik oleh otot dan tulang. Luka tembus, terutama luka
tembak angka kejadiannya antara 2-3%, lebih sering daripada luka tajam, kemudian
baru diikuti dengan trauma akibat benda tumpul. Ligasi ureter secara tidak sengaja
pada jaringan sekitar pada saat operasi bisa asimtomatik, mengakibatkan
hidronefrosis dan hilangnya fungsi ginjal. Cedera sering tidak teridentifikasi pada
saat operasi atau secara kebetulan pada saat pemeriksaan awal pasien dengan cedera
multipel. Diagnosis yang terlambat bertanggungjawab pada terjadinya morbiditas,
seperti urinoma, fistel, sriktur, sepsis, kehilangan unit ginjal dan kematian pasien.
Dari semua jenis operasi diatas, histerektomi yang paling sering mengakibatkan
cedera ureter, sekitar 67%. Daerah tersering yang terkena cedera adalah vasa uterina
serta ligamen cardinal dan uterosacral, diikuti oleh operasi kolorektal sekitar 9%.
Cedera ureter umumnya tidak berdiri sendiri, lebih dari 90% disertai cedera pada
organ lain, misalnya pada hepar, vena cava, pembuluh darah iliaca, kandung
kencing, kolon sigmoid dan prosesus transversus lumbalis. Trauma benturan pada
ureter dan pelvis renalis 77% juga disertai dengan cedera pada organ lain misalnya
pada hepar, tulang panjang dan diafragma. Walaupun jarang tetapi dapat
mengakibatkan avulsi pada pertemuan ureteropelvis renalis (Ureteropelvis
Junction/UPJ) Cedera ureter yang terjadi pada pemeriksaan urologi akhir-akhir ini
semakin meningkat, pada penelitian baru-baru ini terdapat pada 42% dari semua
cedera iatrogenik. Peningkatan ini berhubungan langsung dengan peningkatan
penggunaan peralatan endoskopi urologi, terhitung mencapai 79%, sedangkan pada
operasi bedah terbuka terhitung 21%. Mayoritas cedera ureter ini terjadi pada ureter
bagian distal (87%). Cedera meliputi perforasi, striktur, avulse, pasase palsu,
intususepsi dan prolaps pada kandung kencing. Faktor resiko untuk cedera ini
meliputi radiasi, tumor, inflamasi, dan akibat dari batu ureter. Cedera ureter jarang
disebabkan oleh trauma tumpul, karena perlindungan oleh jaringan sekitarnya.
Cedera ureter dilaporkan terjadi pada 17% dari semua kasus trauma tajam urologi.
Cedera ureter distal dapat disebabkan oleh fraktur pelvis posterior.
Cedera ureter dapat diklasifikasikan dengan tingkatan (grade) cedera seperti berikut:
Grade I (hematoma) kontusi atau hematoma tanpa devaskularisasi
Grade II (laserasi) terpotong kurang dari 50%
Grade III (laserasi) terpotong lebih dari 50%
Grade IV (laserasi) terpotong komplet dengan devaskularisasi 2cm
Grade V (laserasi) avulsi hilus renalis dengan devaskularisasi ginjal atau
devaskularisasi lebih dari 2cm.
Diagnosis Klinis
1. Diagnosis Preoperatif
Hematuria (gross atau mikroskopis) bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya
dan tidak ditemukan pada 23-45% cedera tajam ureter dan 31-67% pada trauma
tumpul Ureteropelvic junction. Pada literatur trauma, timbulnya hematuria dari
suatu cedera ureteral antara 40-70%. Pada kasus cedera iatrogenik, hematuria bukan
merupakan tanda spesifik maupun sensitif dan telah dilaporkan hanya muncul pada
10-15% kasus. Pada kasus tanpa terdapat hematuria, kewaspadaan yang tinggi
sangat dibutuhkan untuk dapat mendiagnosis cedera ureter. Lebih jauh, cedera yang
terlambat ditangani yang dapat mengancam jiwa diakibatkan oleh keterlambatan
pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan laboratorium meliputi analisa dan kultur urine,
darah lengkap, dan kreatinin dari serum dan produk drain. Hasil pemeriksaan fungsi
ginjal dapat normal, kecuali apabila kedua ureter terlibat cedera bahkan bisa terjadi
anuria dan terdapat peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah.
Pemeriksaan kadar kreatinin dan ureum dari cairan fistel dapat memastikan
apakah cairan tersebut urin atau bukan.6 Identifikasi dini cedera penting untuk
memperkecil morbiditas dan memudahkan penanganan. Pada suatu penelitian,
tindakan nefrektomi pada identifikasi cedera yang terlambat mencapai 32%, dan
hanya 4,5% pada cedera yang terdeteksi dini.
2. Diagnosis pada cedera ureter yang terlambat
Cedera ureter dapat mengancam jiwa apabila tidak terdeteksi atau gejalanya
muncul terlambat. Tanda klinis sering tidak timbul secara jelas dalam beberapa
hari. Tanda-tanda klinis awal sering tidak spesifik dan meliputi: ileus yang lama,
BUN meningkat, nyeri abdomen dan flank yang menetap, massa abdomen yang
dapat diraba, produk drain yang terus menerus keluar, obstruksi urin, sepsis,
abses dan peritonitis.
Kecurigaan pada cedera ureter dapat diidentifikasi secara radiologis. Urografi
dosis ganda dalam 24-36 jam setelah cedera dapat mengidentifikasi ekstravasasi
ureter lebih dari 90%. Ekstravasasi kandung kemih dan ureter dapat dibedakan
dengan cara membandingkan sistogram dan ureterogram. 6 Kecurigaan adanya
cedera ureter iatrogenik bisa ditemukan pada saat operasi atau setelah
pembedahan (lihat tabel 1).
Tabel 1. Kecurigaan Cedera Ureter Iatrogenik
Saat Operasi
Pasca Bedah
Demam, Ileus
Nyeri pinggang akibat obstruksi
Luka operasi selalu basah, Sampai beberapa hari cairan
drainase jernih dan banyak
Hematuria persisten dan hematoma/urinoma di abdomen
Fistula ureterokutan/fistula ureterovagina
Cedera ureter yang diakibatkan trauma dari luar seringkali secara kebetulan
ditemukan pada saat melakukan eksplorasi laparotomi karena cedera organ
intraabdominal
yang lain sehingga seringkali tidak mungkin melakukan
pemeriksaan pencitraan terlebih dahulu. Cedera ureter yang tidak teridentifikasi
pada akhirnya termanifestasi pada pasien dengan demam dan sepsis (10%), adanya
massa atau rasa pegal pada pinggang dan abdomen bagian bawah pada sisi yang
cedera (36-90%), pyelonefritis, lekositosis, letargi, dan atau fistel urin pada kulit
(ureterokutaneus), atau vagina (ureterovaginal, pada operasi transvaginal), urinoma,
ileus yang lama dan gagal ginjal bila terjadi obstruksi bilateral (10%). Tanda yang
muncul dari fistula aorto-uretric atau graft-ureteric bisa gross hematuri ringan
sampai masif.
Juga, obstruksi yang tidak kentara pada suatu saat dapat mengakibatkan hipertensi
dan sindrom nefrotik. Tanda-tanda peritoneal dapat terjadi apabila urine masuk ke
rongga abdomen. Sekitar 70-80% cedera iatrogenik didiagnosis pascaoperasi.
Pemeriksaan fisik yang hati-hati dan teliti dapat mengungkapkan nyeri arkus
kostovertebra, tanda-tanda peritoneal, massa, atau drainase dari luka atau vagina.
3. Pemeriksaan Pencitraan (Imaging)
Intravenous Pyelogram (IVP)
Merupakan pemeriksaan pencitraan utama untuk mengevaluasi keutuhan ureter.
Pemeriksaan radiologis pada suspek cedera ureter perlu dimulai dengan pemeriksaan
IVP. Studi ini mempunyai keuntungan dari penilaian kasar menyangkut fungsi
kedua ginjal. Pemeriksaan ini dapat menyediakan informasi mengenai ekstravasasi,
lokasi dan luas cedera. Penemuan khas meliputi hidronefrosis dengan kolumnisasi
kontras, ekstravasasi, nonvisualisasi saluran kencing, dan kontras di dalam liang
vagina. Pada cedera iatrogenik, pemeriksaan IVP sangat akurat. Pada penelitian 23
kasus cedera iatrogenik, temuan dengan IVP menjadi alat diagnostik dalam semua
kasus. Bagaimanapun, pada kasus trauma eksternal, IVP belum dapat menjadi yang
terpercaya. Pada beberapa penelitian, akurasi dari suatu pemeriksaan IVP bergerak
dari 14-33%. IVP bukanlah pemeriksaan yang sangat bermanfaat pada cedera ureter
karena melakukan suatu pemeriksaan IVP pada suatu trauma adalah sulit karena
keterbatasan waktu dan fakta bahwa pasien cedera sering dalam keadaan syok.
Apabila IVP tidak memberikan keterangan yang jelas, pielografi retrograde dapat
menunjukkan cedera serta lokasinya.
Computed Tomography Scan (CT Scan)
Alat diagnostik yang penting karena dapat digunakan untuk mengevaluasi ureter
dan ginjal dan juga untuk mendeteksi adanya kumpulan cairan dari cedera ureter dan
organ intra adominal lain. Pada kasus trauma tumpul, CT scan sangat bermanfaat
dalam mendiagnosis suatu cedera pada pertemuan uretero-pelvis ginjal/UPJ. Cedera
ini dapat dicurigai ketika terjadi extravasasi kontras di medial atau terjadi suatu
urinoma circumferential. Pada kasus trauma penetrasi/luka tajam, CT scan belum
terbukti lebih akurat dibanding IVP dalam hal mendiagnosa cedera dan bahkan
punya keterbatasan yang sama.
Ultrasound (USG)
USG merupakan pemeriksaan noninvasif dan aman bagi pasien dengan gangguan
fungsi ginjal. Apabila terjadi hidronefrosis setelah operasi, patut diduga sebagai
cedera ureter dan harus dilakukan pemeriksaan penunjang yang lain.
Retrograde Pyelogram (RPG) dan Percutaneous Antegrade Pyeloureterogram (APG)
RPG merupakan pemeriksaan penunjang yang baik setelah IVP tidak mampu
menggambarkan tingkat cedera dengan baik. APG memberikan arti yang lain dalam
mengevaluasi tingkat cedera dengan baik. Pemeriksaan tersebut sebaiknya
dikombinasikan dengan diagnosis untuk penanganan definitif. RPG meskipun
akurat untuk menunjukkan adanya dan lokasi ekstravasasi, tetapi memakan waktu
yang lama dan tidak praktis.
PENANGANAN
Diagnosis cedera ureter yang tepat dan cepat sebaiknya ditegakkan dengan cara
eksplorasi dan rekonstruksi melalui insisi median transperitoneal. Tidak adanya
perdarahan dari tepi irisan ureter menunjukkan adanya iskemia dan memerlukan
debridemen ureter sampai didapat jaringan yang sehat. Kontusi atau lebam ureter
yang diakibatkan oleh cedera akibat ledakan, minimal sebaiknya dipasang drain
retroperitoneal dan stent. Pada kontusi berat, ureter sebaiknya direseksi segmental,
deridemen dan reanastomosis datas stent. Apabila pada akibat luka ledakan tidak
direseksi, sebaiknya dipasang dobel J stent dan drain retroperitoneal. Pada setiap
rudapaksa tajam harus dilakukan tindakan eksplorasi untuk menilai ada tidaknya
cedera ureter serta cedera ikutan lain. Metode standar penanganan cedera ureter
tersering adalah ureteroureterostomi, tetapi cedera ureter distal lebih baik ditangani
dengan anastomose vesikal. Pilihan terakhir tetapi jarang sekali diperlukan adalah
autotransplantasi ginjal.
Prinsip penanganan cedera ureter meliputi :
Debridement yang cermat terutama sampai dengan area yang berdarah antar cedera
ureter, semua jaringan yang telah mati harus dibuang. Mukosa-ke-mukosa,
pemasangan spatula dengan baik, kedap air, dan yang terpenting adalah anastomosis
yang bebas tegangan dengan benang absorbable diatas stent yang sudah terpasang,
penjahitan yang kedap air. Stent ureter (pada kasus-kasus tertentu) atau diversi urin.
Prosedur penanganan harus steril, bebas dari fibrosis retroperitoneal dan kanker.
Membiarkan ureter dapat bergerak bebas sehingga masih bisa menghasilkan gerakan
peristaltik. Perhatian khusus diperlukan untuk mencegah pergerakan dan
devaskularisasi ureter yang tidak perlu. Isolasi anastomosis dari kontaminasi bila
disertai cedera usus, dan penyaliran dengan drain di daerah retroperitoneal. Yang
paling penting adalah melakukan pengaliran urin yang ekstravasasi dan
menghilangkan obstruksi. Disarankan meletakkan lemak, omentum atau peritoneum
dan otot penyokong diantara anastomose untuk mencegah adhesi dan obstruksi.
Tindakan-tindakan standar meliputi irigasi luka, drainase yang cukup dan pemberian
antibiotik profilaksi. Pemasangan stent ureter internal tidak selalu diperlukan, tetapi
dapat mencegah resiko-resiko yang tidak perlu, oleh karena itu sifatnya dianjurkan.
Pemasangan stent khususnya dianjurkan untuk cedera yang mengalami komplikasi
karena kontaminasi, radiasi, iskemia atau bersamaan dengan cedera vaskuler. Pada
beberapa kasus, pemasangan stent saja dapat menyebabkan penyembuhan total
ureter. Tindakan yang dilakukan terhadap cedera ureter tergantung pada saat cedera
ureter terdiagnosis, keadaan umum pasien, dan letak serta derajat lesi ureter.
Tindakan yang dapat dilakukan:
1. Ureter saling disambungkan (anastomosis end to end)
2. Implantasi ureter ke buli-buli (neoimplantasi ureter pada buli-buli, flap Boari,
atau Psoas hitch)
3. Uretero-kutaneostomi
4. Transuretero-ureterotomi (menyambung ureter dengan ureter pada sisi yang
lain)
5.
Nefrostomi sebagai tindakan diversi atau nefrektomi.
Ureteroneosistostomi
Setelah ujung proksimal ureter didebridemen sampai didapatkan jaringan yang
sehat dan dipasang spatula, penananam kembali ureter refluks di daerah yang
terfiksir (dasar kandung kemih/trigonum) lebih baik daripada ditanam di daerah
atap kandung kencing yang mudah bergerak. Pemasangan stent ureter adalah
selama 4-6 minggu. Penanganan cedera yang melibatkan ureter distal, yaitu
dibawah vasa iliaka, yang membahayakan suplai darah ke ureter distal, paling
baik ditangani dengan ureteroneosistostomi.
Penanganan ini dapat mempertemukan defek ureter sampai dengan 4-5 cm.
Bagaimanapun juga penanganan antirefluks tergantung dari umur pasien dan
tingkat keparahan cedera. Refluks pada dewasa tidak menunjukkan gangguan
fungsi ginjal pada pasien dengan kandung kencing yang normal, saluran kencing
yang non obstruksi dan tidak ada infeksi traktus urinarius. Salah satu tehnik yang
menarik adalah pemasangan spatula antirefluks pada neosistostomi ureter. Ureter
diinsisi longitudinal sekitar 1 cm dan kemudian tepinya di eversikan untuk
membentuk segitiga. Dibuat sistostomi kecil dan ureter dimasukkan ke
dalamnya. Tehnik ini sangat berguna apabila panjang ureter terbatas.
Vesico-Psoas Hitch
Untuk kerusakan ureter distal yang lebih lebar, sebuah psoas hitch pada tendo
psoas minor ipsilateral dapat mempertemukan celah yang ada. Pedikel kandung
kemih kontralateral dipisahkan untuk menambah ruang gerak kandung kemih.
Kemudian ureter ditanam diatas stent ureter dan dipasang selang suprapubik.
Apabila tidak dapat dibuat anastomosis yang bebas tegangan dengan ureteroneosistostomi simpel, dapat dilakukan vesico-psoas hitch (lihat gambar). Tehnik
ini dapat digunakan untuk menyambung defek sepanjang 6-8 cm dengan tingkat
keberhasilan 95% pada pasien dewasa dan anak-anak.
Cara ini melibatkan penarikan kandung kemih ke superior dan lateral dengan
memfiksasinya ke tendo psoas dengan benang absorbable. Anastomosis ureter
kemudian dapat dikerjakan ke arah medial menuju hitch. Pemasangan stent
postoperasi direkomendasikan selama 10-14 hari dan pelepasan stent sebaiknya
didahului dengan pemeriksaan radiografi pada saat membuka anastomosis.
Komplikasi meliputi obstruksi ureter, kebocoran urine dan kesulitan berkemih,
meskipun jarang terjadi. Cara ini merupakan penanganan yang sangat berhasil
yang mudah dikerjakan dan serbaguna. Cara ini dapat dikombinasikan dengan
Boari flap sebaik nephropexy ke bawah untuk menyambung defek ureter yang
lebar.
Boari Bladder Flap
Merupakan tehnik yang dapat digunakan untuk mendapatkan tambahan panjang
untuk menangani defek ureter, melibatkan pembuatan flap kandung kemih
posterolateral yang berdasarkan arteri vesikalis superior atau salah satu
cabangnya. Defek sepanjang 12-15 cm dapat disambung dengan cara ini, dan
jika dikombinasikan dengan psoas hitch dapat menyambung defek sampai 18
cm. Hal terpenting pada tehnik ini adalah memastikan bahwa lebar dasar flap
minimal 4 cm dengan maksud untuk mencegah terjadinya iskemia. Kemudian
flap difiksasi ke superior tendo psoas. Ureter dianastomosis ke flap, kemudian
flap digulung ke anterior kedalam selang dan ditutup dengan dua lapis.
Komplikasi
Komplikasi tersering pada semua jenis penanganan cedera ureter adalah striktur atau
stenosis ureter yang akan mengakibatkan hidronefrosis, ekstravasasi urin kronis
pada cedera ureter yang tidak terdeteksi dapat mengakibatkan terjadinya urinoma
retroperitoneal yang luas; abses, fistel, pyelonefritis dan uremia (pada cedera
bilateral). Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan stent
jangka panjang dan nefrrostomi adalah bergesernya stent, infeksi, nyeri dan
kehilangan fungsi ginjal.
Pencegahan
Sebelum melakukan tindakan operasi dengan massa yang besar di pelvis yang
menyebabkan pergeseran ureter, sebaiknya dipasang kateter pada ureter untuk
memudahkan identifikasi ureter pada saat operasi. Pemasangan kateter adalah aman
dan tidak banyak menimbulkan komplikasi, serta tidak mencegah terjadinya cedera
tetapi membantu dalam menegakkan diagnosis dan penanganan cedera yang terjadi.
Prognosis
Prognosis untuk cedera ureter adalah baik dan memuaskan apabila cedera dapat
dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan koreksi operasi, terutama pada kasuskasus cedera iatrogenik. Bila diagnosis dan penanganan terlambat, akan
memperburuk prognosis karena terjadi infeksi, hidronefrosis, abses, fistel dan
fibrosis periuretral yang hebat
TUUC
Bagian yang menonjol dari dinding ureter terdiri dari tunika muskularis yang dibagi
menjadi stratum longitudinal bagian dalam dan stratum sirkularis bagian luar. Pada
ureterovesical juntion tunika muskularis membelok kedalam ureter dan dipisakan
dari tunika muskularis ureter oleh jaringan ikat longgar yang disebut Waldeyers
sheath .
Fungsi ureter adalah untuk mengalirkan urin dari pelvis renis ke kandung kemih,
urin turun oleh karena adanya gerakan peristaltik pada ureter yang disebabkan oleh
pacuan pacemaker pada kaliks dan pelvis, pacemaker ini terpacu jika cukup urin
yang merangsang dan keluar dalam bentuk bolus (bola-bola), ketika memasuki
kandung kemih dalam bentuk turbulensi (seperti disemprotkan). Ureter masuk
kedalam kandung kemih miring dan bagian ureter yang terletak submukosa
terbentuk suatu lipatan (plica) sehingga bila kandung kemih penuh, isi kandung
kemih mendorong plica tersebut sehingga menutupi muara ureter dan mencegah
refluks urin .
KLINIS
Dalam perjalanannya penderita obstruksi uropati akan mengeluh nyeri pinggang
akibat distensi ureter dan kapsul ginjal, dimana tidak akan berobah dengan
perubahan posisi. nyeri pinggang yang berhubungan dengan saat buang air kecil,
adalah khas untuk vesicouretral refluk. Apabila ada anuria, kemungkinan adalah
adanya obstruksi total kedua ginjal atau pada ginjal soliter. Pada obstruksi
intravesika kronis, akan dijumpai adanya hesitancy, pancaran lemah, menetes pada
akhir buang air kecil, frekuensi, dan overflow incontinence. Hematuria, disuria,
dijumpai bila telah timbul infeksi. Gejala mual, muntah kehilangan berat badan,
pucat, akan timbul bila telah terjadi uremia akibat hidronefrosis bilatral .
Nyeri tekan daerah pinggang dijumpai, sering pada obstruksi yang akut, khususnya
lagi bila telah terjadi infeksi . Pembasaran ginjal bisa terpalpasi akibat akumulasi
cairan dalam kolekting sistim. Pembesaran kandung kemih juga dapat terpalpasi,
sebagai massa supra pubik, fluktuen, nyeri tekan, dan bisa berupa massa padat,
keras, apabila merupakan suatu tumor kandung kemih. Pada pemeriksaan colok
dubur bisa dievaluasi tentang keadaan kelenjar prostat, kemungkinan adanya
keganasan rektum atau pun massa pelvis lainnya. Pada wanita pemeriksaan
genikologis diperlukan umtuk kemungkinan adanya penyakit dalam rongga pelvis
sebagai penyebab obstruksi .
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang sangatlah penting dan sangat membantu untuk mengambil
langkah selanjutnya dengan mengetahui keadaan ureter dan pelvis ginjal, panjang
ureter yang adekuat dan batas distal dari kebutuhan pembedahan dengan cara antara
lain :
Intavenous pyelogram (IVP), Retrograde pyelogram (RPG)
Antegrade nephrostogram
CT scan Reformating ( Pemeriksaan ulang )
MRI dengan Gondolinium Intra Vena
Pouch-O-gram atau Loop -O- gram jika terjadi refluk
PENGOBATAN
Hampir tidak ada terapi medis yang dapat membantu selain tindakan bedah pada
pasien yang menderita obstruksi total ureter yang disebabkan tumor di bagian distal
ureter dengan cara menghilangkan bendungan urin atau diversi urin diantaranya:
- Nephrostomi
- Uretroneosistostomi
- Tranverse ureterouretrostomi
- Ureterosigmoidestomi
- Transureteroureterostomy Cutaneous
INDIKASI
Transureterouretrostomy cutaneous(TUUC) merupakan prosedur sederhana untuk
diversi urin, yang dapat di kombinasikan dengan tehnik lain dan dapat ditoleransi
dengan baik sebagai indikasi pada :
Refluk vesikoureter grade IV-V, refluk menetap, atau pasien dengan infeksi
yang berat
Keganasan didaerah pelvis
Leukoplakia yang terlibat secara luas pada bagian-bagian ureter
Striktur ureter distal
Mega ureter
Iatrogenik (operasi daerah pelvis)
KONTRAINDIKASI
Kondisi yang buruk pada ureter proksimal dan ginjal
Riwayat penyakit batu yang berat
Fibrosis retroperitoneal
Tumor ganas pada renal pelvis
TBC genitourinaria
HISTOPATOLOGI
Pada pasien yang menderita suatu keganasan atau pasien yang mengalami obstruksi
ureter dari kasus yang tidak di ketahui biasanya akan melibatkan multi disiplin ilmu
onkologi, patologi anatomi, radiologi dan lain-lain .
Frozen section pada saat operasi transureterouretrostomy kemungkinan dapat
mendiagnosis penyakit yang jarang seperti fibrosis retroperitonial, amiloidosis atau
malakoplakia .
TEHNIK OPERASI
Transureterouretrostomy
Pada ureteroureterostomy transverse bagian atas dua pertiga dari satu ureter di
pindahkan pada sisi lain dan di anastomosiskan pada ureter yang lain . Operasi
ini berguna ketika indikasi Boari Plasty tidak dapat di lakukan, sebagai contoh
ketika kantong kemih kecil dan tidak dapat dilebarkan atau setelah pernah
Insisi peritonium pada bagian ureter yang terlibat sampai pelvis kecil, identifikasi
ureter sampai tampak dan bebas sehingga anastomosis dapat dilakukan tanpa
tegangan, buang atau potong jaringan yang mati kemudian dilakukan penyambungan
dengan jaringan yang sehat. Tandai ujung vesikouretral dengan cat gut splitt ureter
yang diatasnya dengan cateter plastic F 8, kemudian insisi ureter lainnya dengan
hati-hati sejajar dengan pembuluh darah sampai miring. Buatlah anastomosis end to
side dengan jahitan interuptus dari kromik dengan ukuran ( 0000 ) atau (00000 )
sesuai dengan diameter ureter, satu jahitan di bagian atas dan satunya di bawah
diantaranya ditambah jahitan selanjutnya tutup peritonium diatas anastomosis
dengan mengeluarkan ujung ureter kesisi lain, tutup luka operasi lapis demi lapis .
b. Obstruksi
Segera setelah operasi, berbagai obstruksi bisa terjadi. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena udem, perdarahan trigonum vesika dan spasme kandung
kemih selain itu juga ada jendalan darah dan sumbatan mukus. Sebagian besar
obstruksi dapat mereda spontan, pemakaian tube nefrostomi atau stent ureter
menjadi penting untuk obtruksi yang tidak bisa mereda
.
2. Komplikasi Lambat
a. Refluk
Refluk visikoutreter paskaoperasi antara lain disebabkan karena kegagalan
mencapai panjang submukosa yang cukup atau kegagalan otot dalam
memberikan sokongan untuk ureter didalam tunnel .
b. Obstruksi
Obstruksi paskaoperasi terjadi bervariasi dalam lokasi dan derajat. Obstruksi
komlet biasanya terjadi oleh karena iskemik. Penyebab obstruksi partial atau
total termasuk angulasi dari hiatus baru, yaitu aliran yang tidak lancar dan
pembuatan tunnel submukosa yang tidak adekuat
Komplikasi yang penting adalah fistula urinaria, stasis traktus urinarius bagian atas,
infeksi dan persisiten atau refluk berulang. Segera setelah operasi dan selama splint
masih ditempatnya. Jika diurisis adekuat dan pasien diberikan antibiotik,
pielonefritis akut yang hebat tidak terjadi, sepanjang ureter kateter menjamin aliran
urin yang bagus. Fistula urinaria terjadi karena nekrosis bagian paling bawah ureter,
yang dapat terjadi karena diseksi yang salah yang merusak tunika advetensia atau
jika ureter intra mural tertekan .
Double Ureter
Untuk morbiditas dan mortalitas pada double ureter tidak ditemukan, karena
sebagian besar kasus duplikasi ureter ditemukan secara insidental. Insidensi
hidronefrosis dan pyelonephritis pada kasus duplikasi ureter komplit terjadi
peningkatan. Penegakkan diagnosis double ureter komplit secara dini in utero dapat
menggunakan antenatal ultrasound. Sedangkan pemeriksaan lainnya berupa,
pielografi intravena, cystourethrogram, antegrade pyelographi, computerized
tomographi (CT-scan), magnetic resonance (MR) .