DEFINISI
Afasia adalah gangguan atau
ketidakmampuan dalam berbahasa yang
disebabkan oleh gangguan pada otak, dimana
gangguan tersebut bukan merupakan
penyakit yang herediter, tidak disebabkan
oleh gangguan pendengaran, gangguan
pengleihatan, atau kelemahan motorik. Afasia
tidak meliputi kelainan perkembangan
berbahasa atau disfasia, gangguan motorik
berbahasa seperti gagap, apraksia berbahasa,
atau disartria, dan bukan gangguan
berbahasa yang diakibatkan oleh gangguan
berpikir seperti pada pasien skizofrenia.
FISIOLOGI BICARA
Pada korteks serebri ada beberapa daerah luas yang tidak termasuk dalam pembagian area sensorikmotorik primer dan sekunder pada umumnya. Area tersebut dinamakan area asosiasi karena menerima dan
menganalisis sinyal-sinyal secara bersamaan dari berbagai regio baik dari korteks motorik maupun korteks
sensorik dan juga dari struktur subkortikal. Area asosiasi yang paling penting diantaranya area asosiasi
parieto-oksipito-temporal, area asosiasi prefrontal, dan area asosiasi limbik.
Area asosiasi parieto-oksipito-temporal terletak dalam ruang kortikal parietal dan oksipital yang besar yang
dibatasi oleh korteks somatosensorik bagian anterior, korteks pengelihatan bagian posterior, dan korteks
pendengaran bagian lateral. Area ini memberi tafsiran derajat tinggi untuk mengartikan sinyal-sinyal dari
seluruh area sensorik sekitarnya. Area asosiasi parieto-oksipito-temporal ini memiliki sub area fungsionalnya
sendiri.
Area utama untuk pemahaman bahasa disebut area Wernicke dan terletak di belakang korteks auditorik
primer pada bagian posterior girus temporalis di lobus temporalis. Regio ini merupakan regio yang paling
penting di seluruh otak untuk fungsi intelektual yang lebih tinggi karena hampir semuanya didasarkan pada
bahasa.
Pada bagian posterior area pemahaman bahasa, terutama terletak di regio anterolateral pada lobus
oksipitalis, terdapat area asosiasi pengelihatan yang mencerna informasi pengelihatan dari kata-kata yang
dibaca ke dalam area Wernicke, yakni area pemahaman bahasa. Girus yang disebut girus angularis
diperlukan untuk mengartikan kata-kata yang diterima secara visual. Bila area ini tidak ada, seseorang
masih dapat memiliki pemahaman bahasa yang sangat baik dengan cara mendengar tetapi tidak dengan
cara membaca.
Di daerah paling lateral dari lobus oksipitalis anterior dan lobus temporalis posterior terdapat area untuk
memberi nama suatu objek. Nama-nama ini terutama dipelajari melalui input pendengaran sedangkan sifat
fisik suatu objek dipelajari terutama melalui input visual. Selanjutnya nama-nama penting untuk
pemahaman bahasa visual dan pendengaran dimana fungsi yang dilakukan oleh area Wernicke terletak
tepat di superior regio penamaan auditoris dan di anterior dari area pemrosesan kata visual.
Area asosiasi prefrontal fungsinya berkaitan erat dengan korteks motorik untuk merencanakan pola-pola yang kompleks dan
berurutan dari gerakan motorik. Untuk membantu fungsi tersebut, area ini menerima input melalui berkas subkortikal masif dari
serabut-serabut saraf yang menghubungkan area asosiasi parieto-oksipito-temporal dengan area asosiasi prefrontal. Melalui
berkas ini, korteks prefrontal menerima banyak informasi sensorik yang belum dianalisis, khususnya informasi mengenai
keserasian tubuh secara spasial yang diperlukan untuk merencanakan gerakan-gerakan yang efektif. Kebanyakan output dari
area prefrontal ini masuk ke dalam sistem pengatur motorik yang berjalan melalui bagian kaudatus dari lintasan umpan balik
ganglia basalis-talamus guna melakukan perencanaan motorik yang menghasilkan banyak komponen rangsangan gerakan yang
berurutan dan bersifat paralel.
Regio khusus pada korteks frontalis yang disebut area Broca memiliki lintasan saraf untuk pembentukan kata. Area ini sebagian
terletak di korteks prefrontal bagian posterior lateral dan sebagian lagi terletak di area premotorik. Di area ini rancanfan dan
pola motorik untuk menyatakan kata-kata atau bahkan kalimat pendek dicetuskan dan dilaksanakan. Area ini bekerja sama
dengan area Wernicke di korteks asosiasi temporal.
Area asosiasi somatik, visual, dan auditorik semuanya saling bertemu satu sama lain di bagian posterior lobus temporalis
superior. Daerah pertemuan dari berbagai area interpretasi sensorik ini terutama berkembang pada sisi otak yang dominan (sisi
kiri pada hampir semua orang yang bertangan kanan). Area ini sangat berperan pada fungsi pemahaman otak yang lebih tinggi
(fungsi luhur) dalam setiap bagian korteks serebri. Fungsi ini disebut intelegensia. Oleh karena itu, daerah ini sering disebut
dengan berbagai nama yang menyatakan bahwa area tersebut memiliki kepentingan menyeluruh. Namun area ini lebih dikenal
dengan nama area Wernicke sesuai dengan nama penemunya.
Perangsangan listrik area Wernicke pada seseorang yang sadar kadang-kadang menimbulkan pikiran yang sangat kompleks. Hal
ini terutama terjadi apabila elektroda perangsangnya dimasukkan cukup dalam di otak sehingga mencapai area talamus yang
berkaitan dengan area Wernicke. Dengan alasan ini dianggap bahwa aktivasi area Wernicke dapat memanggil kembali pola
ingatan yang rumit, yang melibatkan lebih dari satu modalitas sensorik, walaupun sebagian besar ingatan individual disimpan di
daerah mana saja. Hal ini dianggap sesuai dengan kepentingan area Wernicke dalam menginterpretasikan arti yang rumit dari
bermacam-macam pengalaman sensorik.
Girus angularis merupakan bagian lobus parietalis posterior yang paling inferior, terletak tepat di belakang area Wernicke dan di
sebelah posterior bergabung dengan area visual lobus oksipitalis. Bila daerah ini mengalami kerusakan sedangkan area
Wernicke di lobus temporalis tetap utuh, pasien masih dapat menginterpretasikan pengalaman auditoriknya namun rangkaian
pengalaman visual yang berjalan dari korteks visual ke area Wernicke benar-benar terhambat. Oleh karena itu pasien mungkin
masih mampu melihat kata-kata dan bahkan tahu mengenai kata-kata itu tetapi tidak dapat menginterpretasikan arti dari katakata itu. Keadaan ini disebut disleksia atau buta kata-kata (word blindness)
KLASIFIKASI
Gejala afasia
Tipe Afasia
Broca
Pembicaraan
Komprehensia
Gejala
Terganggu
berkaitan
Kelemahan
pada Frontal
usaha
berbicara,
kurangnya
kata,
Repetisi
bagian kanan
suku
kurangnya
output
namun
dapat
mencetuskan ide
Wernicke
Lancar,
berbicara,
dilakukan
dapat Hemi-
atau
Temporal,
quadrantanopia,
infrasylvian
termasuk
tanpa arti
girus
angular
dan
supramarginal
Konduksi
Global
Lancar
Sedikit,
lancar
Baik
Tidak
dilakukan
tidak Sangat terganggu Tidak
dilakukan
dapat Biasanya
tidak Supramarginal
dapat dilakukan
dapat Hemiplegia
atau
DIAGNOSIS
Anamnesis
Afasia muncul secara mendadak pada pasien dengan stroke atau cedera
kepala. Pasien dengan penyakit neurodegeneratif atau lesi tumor dapat
menderita afasia secara perlahan. Tanda-tanda awal yang mencirikan lesi
atau defisit yang berasal dari area korteks atau jaras yang berdekatan
dengan posisi area berbahasa harus diwaspadai. Tanda-tanda tersebut
meliputi hemianopia, defisit dari fungsi motorik maupun sensori, atau
defisit neurobehavioral seperti alexia, agrafia, akalkulia, atau apraksia.
Pada pasien harus ditanyakan riwayat kejang atau episode afasia
sebelumnya. Terkadang, sekalipun insidensinya rendah, afasia dapat
diakibatkan oleh ensefalitis herpes simpleks. Ciri dari penyakit ini
meliputi riwayat demam, kejang, nyeri kepala, dan perubahan perilaku.
Riwayat nyeri kepala baik akut maupun kronik dapat menjadi petunjuk
penting untuk mendiagnosa kondisi tertentu seperti tumor otak maupun
malformasi arteri vena. Pada pasien harus ditanyakan tentang riwayat
gangguan pada memori atau riwayat gangguan dalam melakukan
kegiatan sehari-hari karena gangguan berbahasa bisa hanya merupakan
satu bagian dari kondisi neurodegeneratif yang menyeluruh seperti
demensia. Perlu ditanyakan juga apakah pasien kidal atau tidak, riwayat
hipertensi, perdarahan otak sebelumnya, penyakit jantung, penyakit
vaskular otak, atau amiloid angiopati.
Pemeriksaan repetisi
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata)
kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat). Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini
didapatkan parafasia, salah tatabahasa, kelupaan, atau penambahan. Orang normal umumnya dapat mengulang
kalimat yang mengandung 19 suku kata. Banyak pasien afasia mengalami kesulitan dalam mengulang, namun ada juga
yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam mengulang, bahkan lebih baik daripada berbicara spontan. Bila
kemampuan mengulang terpelihara, maka kelainan patologis sangat mungkin tidak berada di area perisylvii. Umumnya
daerah ekstrasylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler
(watershed area)
Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa. Hal ini sedikit-banyak terganggu pada
semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes yang dilakukan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap
kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) atau
disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan
bila perlu gambar geometrik, simbol matematik, atau nama dari suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan bendabenda yang sering digunakan sampai ke benda-benda yang jarang ditemui atau digunakan. Banyak penderita afasia
yang masih mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan
tertegun dengan melukiskan kegunaannya atau parafasia pada objek yang jarang dijumpainya. Bila pasien tidak mampu
atau sulit menamai, dapat dibantu dengan memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan kalimat
penuntun. Yang penting ialah sampainya pasien kepada kata yang dibutuhkan, yakni kita nilai kemampuan pasien dalam
menamai objek. Ada pula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya namun tidak dapat
menamainya.
Pertama-tama terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan nama beberapa objek juga warna dan
bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian
bagian dari arloji, lensa kaca mata. Objek atau gambar yang dapat digunakan misalnya meja, kursi, lampu, pintu,
jendela. Bagian dari tubuh misalnya mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut. Warna misalnya merah, biru, hijau, kuning, kelabu.
Bagian dari objek contohnya jarum jam, sol sepatu, kepala ikat pinggang, bingkai kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau lamban, atau tertegun, atau
menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme, dan apakah ada perseverasi. Di samping menggunakan objek, dapat
pula digunakan gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, perlu diperhatikan apakah pasien dapat memilih nama objek
tersebut dari beberapa pilihan nama objek. Pada pemeriksaan ini perlu digunakan kurang lebih 20 nama objek sebelum
menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.
TATALAKSANA
Penatalaksanaan pada pasien afasia bergantung pada penyebab dari sindrom afasia itu
sendiri. Penanganan terhadap stroke akut seperti pemberian rTPA pada pasien stroke
iskemik, terapi intervensi intra-arterial, stenting dan endarterectomy karotid, atau kontrol
dari tekanan darah dapat meringankan defisit yang dialami. Pembedahan pada subdural
hematoma atau tumor serebri juga memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pada afasia
yang disebabkan oleh infeksi seperti herpes simpleks dapat diberikan terapi antivirus.
Terapi berbicara dan berbahasa merupakan terapi utama dalam afasia. Waktu dan teknik
pelaksanaan intervensi pada pasien afasia bervariasi luas karena penelitian yang
dilakukan sangat minim. Namun dalam beberapa penelitian telah terbukti bahwa teapi
berbicara dan berbahasa dapat meningkatkan prognosis pasien afasia. Kesulitan yang
dialami pasien dalam menjalani terapi ini sangat beragam karena berbeda dari individu ke
individu.
Beberapa hal yang hasur diperhatikan saat melakukan terapi pada pasien afasia :
Banyak pasien afasia menderita depresi oleh karena itu pasien afasia memerlukan
dukungan psikologis. Ketepatan diagnosis, terapi, dan dukungan emosional dapat sangat
berguna bagi pasien.
Terdapat beberapa teknik terapi khusus untuk pasien dengan masalah artikulasi, masalah
kosa kata, minimnya ilmu kalimat, dan kurangnya intonasi. Dalam kata lain, terapi pada
pasien afasia dapat divariasi agar sesuai dengan kebutuhan pasien
Terapi farmaka pada afasia masih bersifat eksperimental. Penggunaan dopaminerjik,
cholinerjik, dan obat-obatan stimulan belum memberikan hasil yang jelas. Namun
penggunaan terapi farmaka sebagai pendamping dari terapi berbicara telah menunjukkan
hasil yang baik.
Teknologi baru yang dinamakan stimulasi magnetik transkranial sedang diuji coba pada
pasien afasia dan sejauh ini menunjukkan hasil yang baik.