Anda di halaman 1dari 17

AFASIA

DEFINISI
Afasia adalah gangguan atau
ketidakmampuan dalam berbahasa yang
disebabkan oleh gangguan pada otak, dimana
gangguan tersebut bukan merupakan
penyakit yang herediter, tidak disebabkan
oleh gangguan pendengaran, gangguan
pengleihatan, atau kelemahan motorik. Afasia
tidak meliputi kelainan perkembangan
berbahasa atau disfasia, gangguan motorik
berbahasa seperti gagap, apraksia berbahasa,
atau disartria, dan bukan gangguan
berbahasa yang diakibatkan oleh gangguan
berpikir seperti pada pasien skizofrenia.

FISIOLOGI BICARA

Pada korteks serebri ada beberapa daerah luas yang tidak termasuk dalam pembagian area sensorikmotorik primer dan sekunder pada umumnya. Area tersebut dinamakan area asosiasi karena menerima dan
menganalisis sinyal-sinyal secara bersamaan dari berbagai regio baik dari korteks motorik maupun korteks
sensorik dan juga dari struktur subkortikal. Area asosiasi yang paling penting diantaranya area asosiasi
parieto-oksipito-temporal, area asosiasi prefrontal, dan area asosiasi limbik.
Area asosiasi parieto-oksipito-temporal terletak dalam ruang kortikal parietal dan oksipital yang besar yang
dibatasi oleh korteks somatosensorik bagian anterior, korteks pengelihatan bagian posterior, dan korteks
pendengaran bagian lateral. Area ini memberi tafsiran derajat tinggi untuk mengartikan sinyal-sinyal dari
seluruh area sensorik sekitarnya. Area asosiasi parieto-oksipito-temporal ini memiliki sub area fungsionalnya
sendiri.
Area utama untuk pemahaman bahasa disebut area Wernicke dan terletak di belakang korteks auditorik
primer pada bagian posterior girus temporalis di lobus temporalis. Regio ini merupakan regio yang paling
penting di seluruh otak untuk fungsi intelektual yang lebih tinggi karena hampir semuanya didasarkan pada
bahasa.
Pada bagian posterior area pemahaman bahasa, terutama terletak di regio anterolateral pada lobus
oksipitalis, terdapat area asosiasi pengelihatan yang mencerna informasi pengelihatan dari kata-kata yang
dibaca ke dalam area Wernicke, yakni area pemahaman bahasa. Girus yang disebut girus angularis
diperlukan untuk mengartikan kata-kata yang diterima secara visual. Bila area ini tidak ada, seseorang
masih dapat memiliki pemahaman bahasa yang sangat baik dengan cara mendengar tetapi tidak dengan
cara membaca.
Di daerah paling lateral dari lobus oksipitalis anterior dan lobus temporalis posterior terdapat area untuk
memberi nama suatu objek. Nama-nama ini terutama dipelajari melalui input pendengaran sedangkan sifat
fisik suatu objek dipelajari terutama melalui input visual. Selanjutnya nama-nama penting untuk
pemahaman bahasa visual dan pendengaran dimana fungsi yang dilakukan oleh area Wernicke terletak
tepat di superior regio penamaan auditoris dan di anterior dari area pemrosesan kata visual.

Area asosiasi prefrontal fungsinya berkaitan erat dengan korteks motorik untuk merencanakan pola-pola yang kompleks dan
berurutan dari gerakan motorik. Untuk membantu fungsi tersebut, area ini menerima input melalui berkas subkortikal masif dari
serabut-serabut saraf yang menghubungkan area asosiasi parieto-oksipito-temporal dengan area asosiasi prefrontal. Melalui
berkas ini, korteks prefrontal menerima banyak informasi sensorik yang belum dianalisis, khususnya informasi mengenai
keserasian tubuh secara spasial yang diperlukan untuk merencanakan gerakan-gerakan yang efektif. Kebanyakan output dari
area prefrontal ini masuk ke dalam sistem pengatur motorik yang berjalan melalui bagian kaudatus dari lintasan umpan balik
ganglia basalis-talamus guna melakukan perencanaan motorik yang menghasilkan banyak komponen rangsangan gerakan yang
berurutan dan bersifat paralel.
Regio khusus pada korteks frontalis yang disebut area Broca memiliki lintasan saraf untuk pembentukan kata. Area ini sebagian
terletak di korteks prefrontal bagian posterior lateral dan sebagian lagi terletak di area premotorik. Di area ini rancanfan dan
pola motorik untuk menyatakan kata-kata atau bahkan kalimat pendek dicetuskan dan dilaksanakan. Area ini bekerja sama
dengan area Wernicke di korteks asosiasi temporal.
Area asosiasi somatik, visual, dan auditorik semuanya saling bertemu satu sama lain di bagian posterior lobus temporalis
superior. Daerah pertemuan dari berbagai area interpretasi sensorik ini terutama berkembang pada sisi otak yang dominan (sisi
kiri pada hampir semua orang yang bertangan kanan). Area ini sangat berperan pada fungsi pemahaman otak yang lebih tinggi
(fungsi luhur) dalam setiap bagian korteks serebri. Fungsi ini disebut intelegensia. Oleh karena itu, daerah ini sering disebut
dengan berbagai nama yang menyatakan bahwa area tersebut memiliki kepentingan menyeluruh. Namun area ini lebih dikenal
dengan nama area Wernicke sesuai dengan nama penemunya.
Perangsangan listrik area Wernicke pada seseorang yang sadar kadang-kadang menimbulkan pikiran yang sangat kompleks. Hal
ini terutama terjadi apabila elektroda perangsangnya dimasukkan cukup dalam di otak sehingga mencapai area talamus yang
berkaitan dengan area Wernicke. Dengan alasan ini dianggap bahwa aktivasi area Wernicke dapat memanggil kembali pola
ingatan yang rumit, yang melibatkan lebih dari satu modalitas sensorik, walaupun sebagian besar ingatan individual disimpan di
daerah mana saja. Hal ini dianggap sesuai dengan kepentingan area Wernicke dalam menginterpretasikan arti yang rumit dari
bermacam-macam pengalaman sensorik.
Girus angularis merupakan bagian lobus parietalis posterior yang paling inferior, terletak tepat di belakang area Wernicke dan di
sebelah posterior bergabung dengan area visual lobus oksipitalis. Bila daerah ini mengalami kerusakan sedangkan area
Wernicke di lobus temporalis tetap utuh, pasien masih dapat menginterpretasikan pengalaman auditoriknya namun rangkaian
pengalaman visual yang berjalan dari korteks visual ke area Wernicke benar-benar terhambat. Oleh karena itu pasien mungkin
masih mampu melihat kata-kata dan bahkan tahu mengenai kata-kata itu tetapi tidak dapat menginterpretasikan arti dari katakata itu. Keadaan ini disebut disleksia atau buta kata-kata (word blindness)

KLASIFIKASI

Berdasarkan manifestasi klinis nya, afasia dibedakan menjadi :


Afasia wernicke
Pemahaman terganggu terutama pada bahasa yang didengar dan dilihat, baik untuk 1 kata maupun pada 1 kalimat utuh. Bahasa dapat diucapkan dengan lancar
namun sangat parafasik dan sirkumlokusius. Kecenderungan kesalahan parafasik sangat tinggi hingga terkadang disebut neologisme, yang disebut juga jargon afasia.
Pembicaraan biasanya mengandung banyak kata sifat namun sedikit mengandung kata benda atau kata kerja. Pembicaraan banyak, namun tanpa arti.
Penggunaan bahasa tubuh tidak banyak membantu komunikasi. Pasien tampak mengerti bahwa pembicaraannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain sehingga
pasien tampak marah dan tidak sabar ketika pemeriksa tidak dapat mengerti maksud dari pembicaraannya. Pada pasien dengan afasia wernicke dapat disertai dengan
agitasi motorik dan perilaku paranoid. Pasien dengan afasia wernicke tidak dapat mengekspresikan pemikiran mereka melalui kata-kata yang sesuai dan tidak dapat
memahami arti dari setiap kata yang masuk. Lesi ini terletak di area wernicke. Etiologi paling sering dari afasia wernicke adalah emboli dari arteri serebri media.
Etiologi lain bisa berasal dari perdarahan intraserebral, trauma kepala berat, dan tumor. Adanya hemianopia kanan atau quadrantanopia superior dan pendataran
sudut nasolabial kanan dapat mempertegas adanya lesi di area wernicke.
Afasia broca
Pembicaraan tidak lancar, memerlukan usaha, dan banyak diinterupsi oleh jeda yang dibuat pasien dalam rangka mencari kata-kata, serta seringkali pasien juga
menderita disartria. Pengeluaran kata-kata sangat terbatas sehingga terkadang pasien hanya mau menjawab dengan kata ya atau tidak. Penamaan benda dan
kemampuan merepetisi terganggu. Meski begitu, pemahaman bahasa masih intak kecuali untuk kalimat yang sulit yang diucapkan dengan suara yng pelan atau tanpa
intonasi. Kemampuan membaca juga dipertahankan namun seskali pasien kesulitan membaca kata imbuhan atau tatabahasa yang rumit. Terkadang, sekalipun pasien
menderita disartria, pasien dapat bernyanyi dengan baik. Hal inilah yang sedang diuji coba dalam terapi afasia broca. Defisit neurologis yang sering menyertai meliputi
kelemahan pada wajah bagian kanan, hemiparesis atau hemiplegia, dan buccofasial apraksia. Penyebab paling sering ialah infark yang disebabkan oleh sumbatan
pada arteri serebri media.
Afasia global
Pengeluaran kata tidak lancar dan pemahaman juga terganggu. Penamaan, repetisi, membaca, dan menulis juga terganggu. Sindrom ini menyatakan adanya disfungsi
dari broca dan wernicke. Sindrom ini juga dapat menjadi gejala awal dari afasia wernicke yang kemudian berkembang menjadi afasia wernicke yang klasik.
Afasia Konduktif
Pengeluaran kata-kata lancar namun parafasik, pemahaman bahasa masih baik, namun repetisi sangat terganggu. Penamaan dan pemulisan juga sangat terganggu.
Jika pasien diminta untuk membaca dengan suara keras, pasien akan mengalami kesulitan, namun pasien dapat mengerti apa yang dibacanya.
Afasia transkortikal motorik
Ciri-ciri yang nampak pada afasia transkortikal motorik menyerupai afasia broca namun repetisi masih baik dan pasien cenderung menghindari penggunaan tata
bahasa. Pemeriksaan neurologis lain biasanya normal. Lesi pada afasia transkortikal motorik biasanya melibatkan area perbatasan antara arteri serebri anterior dan
media.
Afasia transkortikal sensori
Afasia transkortikal sensori dicirikan dengan gejala yang menyerupai afasia wernicke namun repetisi masih dapat dilakukan dengan baik. Pada afasia ini lesi
memutuskan area bahasa dari area asosiasi temporoparietal selain area khusus bahasa.
Afasia terisolasi
Sindrom yang langka ini melibatkan dua transkortikal afasia. Pemahaman pasien sangat terganggu dan tidak ada arti dalam setiap kata yang diucapkan oleh pasien.
Pasien dapat menjadi ekolalia, mengindikasikan adanya mekanisme repetisi yang masih intak. Lesi biasanya mengenai area sekitar frontal, parietal, dan temporal
namun tidak mengenai area broca maupun wernicke.
Afasia anomik
Pada afasia jenis ini, fungsi yang terganggu yakni penamaan. Artikulasi, pemahaman, dan repetisi masih baik namun pasien tidak dapat menyebutkan nama dari
benda-benda dan pasien kesulitan dalam mengeja kata-kata. Seringkali output bahasa pasien parafasik, sirkumlokusius, dan tidak bermakna. Kelancaran bahasa
terganggu ketika pasien berusahan menyebutkan nama benda-benda. Afasia anomik banyak ditemui pada kasus trauma kepala, ensefalopati metabolik, dan penyakit
alzheimer.
Sindrom Gerstmann's
Sindrom gerstmann meliputi kombinasi dari akalkulia, disgrafia, anomia jari, dan ketidakmampuan membedakan kiri dan kanan. Untuk itu, pada pembuatan diagnosis
sindrom gertmann, penting untuk melihat apakah pasien dapat membedakan posisi kiri dan kanan. Sindrom gertmann biasanya diakibatkan kerusakan pada lobus
parietalis inferior hemisfer serebri sinistra.

Pada klasifikasi afasia berdasarkan distribusi anatomi dari lesi,


afasia dibedakan atas :
Sindrom afasia perisylvii : Meliputi Afasia broca, afasia wernicke,
dan afasia konduksi
Sindrom afasia daerah perbatasan : Meliputi afasia transkortikal
motorik, afasia transkortikal sensorik, dan transkortikal campuran
Sindrom afasia subkortikal : Meliputi afasia talamik dan afasia
striatal
Sindrom afasia non-lokalisata : Meliputi afasia gnomik dan afasia
global.
Satu lagi klasifikasi afasia yang jarang digunakan, yakni yang
merujuk pada linguistik. Afasia pada klasifikasi ini dibedakan atas:
Afasia sintaktik
Afasia semantik
Afasia pragmatik
Afasia jargon
Afasia global

Gejala afasia
Tipe Afasia

Broca

Pembicaraan

Komprehensia

Tidak lancar, butuh Tetap baik


banyak
dalam

Gejala

yang Lokasi lesi

Terganggu

berkaitan
Kelemahan

pada Frontal

usaha

tangan dan wajah suprasylvian

berbicara,

kurangnya
kata,

Repetisi

bagian kanan

suku

kurangnya

output

namun

dapat
mencetuskan ide
Wernicke

Lancar,

fasih Sangat terganggu Tidak

berbicara,

dilakukan

artikulasi baik, tapi

dapat Hemi-

atau

Temporal,

quadrantanopia,

infrasylvian

tidak ada paresis

termasuk

tanpa arti

girus

angular

dan

supramarginal
Konduksi

Global

Lancar

Sedikit,
lancar

Baik

Tidak

dilakukan
tidak Sangat terganggu Tidak
dilakukan

dapat Biasanya

tidak Supramarginal

dapat dilakukan
dapat Hemiplegia

gyrus atau insula


Sebagian besar
perisylvian

atau

DIAGNOSIS

Anamnesis
Afasia muncul secara mendadak pada pasien dengan stroke atau cedera
kepala. Pasien dengan penyakit neurodegeneratif atau lesi tumor dapat
menderita afasia secara perlahan. Tanda-tanda awal yang mencirikan lesi
atau defisit yang berasal dari area korteks atau jaras yang berdekatan
dengan posisi area berbahasa harus diwaspadai. Tanda-tanda tersebut
meliputi hemianopia, defisit dari fungsi motorik maupun sensori, atau
defisit neurobehavioral seperti alexia, agrafia, akalkulia, atau apraksia.
Pada pasien harus ditanyakan riwayat kejang atau episode afasia
sebelumnya. Terkadang, sekalipun insidensinya rendah, afasia dapat
diakibatkan oleh ensefalitis herpes simpleks. Ciri dari penyakit ini
meliputi riwayat demam, kejang, nyeri kepala, dan perubahan perilaku.
Riwayat nyeri kepala baik akut maupun kronik dapat menjadi petunjuk
penting untuk mendiagnosa kondisi tertentu seperti tumor otak maupun
malformasi arteri vena. Pada pasien harus ditanyakan tentang riwayat
gangguan pada memori atau riwayat gangguan dalam melakukan
kegiatan sehari-hari karena gangguan berbahasa bisa hanya merupakan
satu bagian dari kondisi neurodegeneratif yang menyeluruh seperti
demensia. Perlu ditanyakan juga apakah pasien kidal atau tidak, riwayat
hipertensi, perdarahan otak sebelumnya, penyakit jantung, penyakit
vaskular otak, atau amiloid angiopati.

Pemeriksaan berbicara spontan


Langkah pertama dalam menilai berbahasa adalah mendengarkan bagaimana pasien berbicara
spontan atau bercerita. Pasien dapat diminta untuk menceritakan hal-hal yang terjadi dalam waktu
dekat, misalnya bagaimana ia sampai dirawat di rumah sakit. Yang dinilai ialah apakah bicaranya
pelo, cadel, tertegun, diprosodik (irama, ritme, intonasi terganggu) dan apakah ada afasia,
kesalahan sintaks, salah menggunakan kata, dan perseverasi.
Parafasia ialah kegiatan mensubstitusi kata. Ada dua jenis parafasia. Parafasia semantik atau
verbal berarti mensubstitusi satu kata dengan kata yang lainnya. Parafasia fonemik berarti
mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi lain yang biasanya berbunyi cukup mirip.
Pemeriksaan kelancaran berbicara
Seseorang disebut lancar berbicara bila bicara spontannya lancar, tanpa terbata-bata. Kelancaran
berbcara verbal ini merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata. Bila kemampuan ini
diperiksa secara khusus dapat dideteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang
ringan atau demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes kelancaran, menemukan
kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi selama jangka waktu yang terbatas. Sebagai
contoh pasien diminta untuk menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan atau
menyebutkan kata-kata yang dimulai dengan huruf tertentu selama jangka waktu satu menit. Tidak
lupa pula kesalahan yang timbul dicatat untuk melihat adanya parafasia atau tidak.
Usia merupakan salah satu faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam pemeriksaan ini.
Orang normal di bawah usia 69 tahun mampu menyebutkan kira-kira 20 nama hewan dengan baik.
Kemampuan ini menurun pada orang berusia sekitar 70 tahun (17 nama) dan terus menurun
seiring dengan bertambahnya usia. Pada usia 85 tahun, skor 10 mungkin merupakan batas normal
bawah.
Orang normal umumnya dapat menyebutkan 36-60 kata yang berawalan dengan huruf tertentu,
tergantung dari tingkat intelegensi, usia, dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai
12 kata atau kurang untuk setiap huruf merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran
berbicara verbal namun perlu diperhatikan pada pasien dengan tingkat pendidikan yang tidak lebih
dari sekolah menengah pertama.

Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan


Pemeriksaan pemahaman bahasa lisan seringkali sulit dinilai. Pemeriksaan klinis pada
pasien rawat inap yang biasa dilakukan di samping tempat tidur pasien dapat
memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah yang digunakan untuk mengevaluasi
pemahaman secara klinis meliputi cara konversasi, suruhan, pertanyaan tertutup (ya
atau tidak), dan menunjuk.

Konversasi : Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai kemampuannya dalam


memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan olh pemeriksa
Suruhan : Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (satu langkah) sampai pada yang
sulit dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien dalam memahami perintah. Mula-mula
pasien dapat disuruh bertepuk tangan, kemudian tingkat kesulitan dinaikkan misalnya
mengambil benda dan meletakkan benda tersebut pada lokasi yang lain. Perlu diperhatikan
bahwa perintah tipe ini tidak dapat dilakukan pada pasien dengan kelemahan motorik dan
apraksia. Pasien juga dapat diminta untuk menunjuk ke beberapa benda, mula-mula satu benda
dan ditingkatkan menjadi sebuah perintah berantai untuk menunjuk ke beberapa benda secara
berurutan. Pasien dengan afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai 1-2 objek saja.
Ya atau Tidak : Kepada pasien dapat juga diberikan pertanyaan tertutup dengan bentuk
jawaban ya atau tidak. Mengingat kemungkinan salah adalah 50%, jumlah pertanyaan yang
diberikan minimal 6 pertanyaan misalnya Apakah anda bernama Budi?, Apakah AC di
ruangan ini mati?, Apakah ini Rumah Sakit?, Apakah di luar sedang hujan?, Apakah saat ini
malam hari?.
Menunjuk : Pasien diminta untuk menunjuk mulai dari benda yang mudah dipahami kemudian
berlanjut ke benda yang lebih sulit. Contohnya : tunjukkan lampu kemudian tunjukkan gelas
yang ada di samping televisi. Pemeriksaan sederhana ini dapat dilakukan di samping tempat
tidur pasien. Sekalipun kurang mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali,
pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya.

Pemeriksaan repetisi
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata)
kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat). Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini
didapatkan parafasia, salah tatabahasa, kelupaan, atau penambahan. Orang normal umumnya dapat mengulang
kalimat yang mengandung 19 suku kata. Banyak pasien afasia mengalami kesulitan dalam mengulang, namun ada juga
yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam mengulang, bahkan lebih baik daripada berbicara spontan. Bila
kemampuan mengulang terpelihara, maka kelainan patologis sangat mungkin tidak berada di area perisylvii. Umumnya
daerah ekstrasylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler
(watershed area)
Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa. Hal ini sedikit-banyak terganggu pada
semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes yang dilakukan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap
kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) atau
disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan
bila perlu gambar geometrik, simbol matematik, atau nama dari suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan bendabenda yang sering digunakan sampai ke benda-benda yang jarang ditemui atau digunakan. Banyak penderita afasia
yang masih mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan
tertegun dengan melukiskan kegunaannya atau parafasia pada objek yang jarang dijumpainya. Bila pasien tidak mampu
atau sulit menamai, dapat dibantu dengan memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan kalimat
penuntun. Yang penting ialah sampainya pasien kepada kata yang dibutuhkan, yakni kita nilai kemampuan pasien dalam
menamai objek. Ada pula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya namun tidak dapat
menamainya.
Pertama-tama terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan nama beberapa objek juga warna dan
bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian
bagian dari arloji, lensa kaca mata. Objek atau gambar yang dapat digunakan misalnya meja, kursi, lampu, pintu,
jendela. Bagian dari tubuh misalnya mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut. Warna misalnya merah, biru, hijau, kuning, kelabu.
Bagian dari objek contohnya jarum jam, sol sepatu, kepala ikat pinggang, bingkai kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau lamban, atau tertegun, atau
menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme, dan apakah ada perseverasi. Di samping menggunakan objek, dapat
pula digunakan gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, perlu diperhatikan apakah pasien dapat memilih nama objek
tersebut dari beberapa pilihan nama objek. Pada pemeriksaan ini perlu digunakan kurang lebih 20 nama objek sebelum
menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.

Pemeriksaan sistem bahasa


Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan
bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi, repetisi, maupun menamai.
Selain itu kemampuan membaca dan menulis harus dinilai pula. Tidak lupa
evaluasi dilakukan untuk memeriksa sisi otak mana yang dominan dengan
melihat penggunaan tangan.
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang
singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia
selalu agrafia dan sering aleksia, untuk itu pemeriksaan membaca dan menulis
dapat dipersingkat. Namun pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan
membaca dan menulis harus dilakukan sepenuhnya karena aleksia, agrafia,
atau keduanya dapat terjadi secara terpisah.
Pemeriksaan penggunaan tangan
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat.
Sebelum menilai bahasa perlu ditanyakan pada pasien apakah ia kidal atau
menggunakan tangan kanan. Banyak orang kidal telah diajarkan untuk menulis
dengan tangan kanan, oleh karena itu observasi cara menulis saja tidak cukup
untuk mennetukan apakah ia seorang yang kidal atau kandal. Pasien dapat juga
diminta memperagakan gerakan tangan yang digunakan untuk memegang
pisau, melempar bola, dan sebagainya.

TATALAKSANA

Penatalaksanaan pada pasien afasia bergantung pada penyebab dari sindrom afasia itu
sendiri. Penanganan terhadap stroke akut seperti pemberian rTPA pada pasien stroke
iskemik, terapi intervensi intra-arterial, stenting dan endarterectomy karotid, atau kontrol
dari tekanan darah dapat meringankan defisit yang dialami. Pembedahan pada subdural
hematoma atau tumor serebri juga memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pada afasia
yang disebabkan oleh infeksi seperti herpes simpleks dapat diberikan terapi antivirus.
Terapi berbicara dan berbahasa merupakan terapi utama dalam afasia. Waktu dan teknik
pelaksanaan intervensi pada pasien afasia bervariasi luas karena penelitian yang
dilakukan sangat minim. Namun dalam beberapa penelitian telah terbukti bahwa teapi
berbicara dan berbahasa dapat meningkatkan prognosis pasien afasia. Kesulitan yang
dialami pasien dalam menjalani terapi ini sangat beragam karena berbeda dari individu ke
individu.
Beberapa hal yang hasur diperhatikan saat melakukan terapi pada pasien afasia :
Banyak pasien afasia menderita depresi oleh karena itu pasien afasia memerlukan
dukungan psikologis. Ketepatan diagnosis, terapi, dan dukungan emosional dapat sangat
berguna bagi pasien.
Terdapat beberapa teknik terapi khusus untuk pasien dengan masalah artikulasi, masalah
kosa kata, minimnya ilmu kalimat, dan kurangnya intonasi. Dalam kata lain, terapi pada
pasien afasia dapat divariasi agar sesuai dengan kebutuhan pasien
Terapi farmaka pada afasia masih bersifat eksperimental. Penggunaan dopaminerjik,
cholinerjik, dan obat-obatan stimulan belum memberikan hasil yang jelas. Namun
penggunaan terapi farmaka sebagai pendamping dari terapi berbicara telah menunjukkan
hasil yang baik.
Teknologi baru yang dinamakan stimulasi magnetik transkranial sedang diuji coba pada
pasien afasia dan sejauh ini menunjukkan hasil yang baik.

Anda mungkin juga menyukai