Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Kesehatan adalah salah satu hal yang paling berharga dalam kehidupan. Ketika sakit, tak jarang
seseorang harus mengeluarkan sejumlah uang dalam jumlah yang cukup besar. Pemerintah sendiri
baru-baru ini mengeluarkan kebijakan Jamkesmas sebagai bentuk upaya pembiayaan kesehatan.
Kita berharap agar kebijakan ini dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang adil, berkualitas
dan dapat diakses oleh masyarakat luas.

Berbicara mengenai efisiensi biaya pengobatan rasanya akan turut pula membicarakan tentang
obat karena obat merupakan komponen penting dalam upaya pelayanan kesehatan bahkan
penggunaan obat dapat mencapai 40 % dari seluruh komponen biaya pelayanan kesehatan.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi harga obat sehingga sering kali pasien kesulitan
untuk melakukan efisiensi dalam investasi kesehatannya. Pasien sulit memprediksi biaya yang
harus dikeluarkan untuk melakukan pengobatan yang pada akhirnya dapat membuat pasien
enggan untuk mengakses layanan kesehatan karena kekhawatiran harus menaggung biaya besar.
Dalam hal pemilihan jenis obat, penggunaan obat generik memang bisa membantu efisiensi biaya
kesehatan, namun sayangnya terkadang tidak semua obat generik tersedia di pasaran karena faktor
rendahnya permintaan dari dokter yang meresepkan.
Penyediaan dan atau pengelolaan anggaran untuk pengadaan obat esensial yang diperlukan
masyarakat di sektor publik menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun pemerintah pusat
masih mempunyai kewajiban untuk penyediaan obat program kesehatan dan buffer stok.
Sedangkan jaminan keamanan, khasiat dan mutu obat yang beredar masih tetap menjadi tanggung
jawab pemerintah pusat.
Pemanfaatan ilmu farmakoekonomi di Indonesia sangat jauh ketinggalan bila dibandingkan
negara-negara lain. Pengadaan bahan baku obat seharusnya juga diiringkan pajaknya. Alokasi
anggaran pemerintah untuk kesehatan selama ini tergolong rendah, termasuk anggaran untuk obat.
Sebelum pelaksanaan desentralisasi, alokasi anggaran pemerintah untuk obat hanya 20 % dari
seluruh belanja obat nasional. Namun dengan pengembangan sistem pengelolaan obat di sektor
publik, anggaran yang relatif rendah tersebut telah mampu mencakup sekitar 70 % dari penduduk.
Anggaran obat untuk pelayanan kesehatan dasar sebelum desentralisasi disubsidi oleh pemerintah
pusat melalui dana INPRES, yang besarnya secara berangsur telah ditingkatkan mencapai US$
0,85 per kapita. Karena dana pemerintah untuk kesehatan telah dimasukkan ke dalam Dana
Alokasi Umum (DAU) yang diberikan ke Pemda, maka dana obat untuk pelayanan kesehatan
dasar di daerah menjadi tanggung jawabPemda. Anggaran obat sektor publik di daerah sangat
berbeda secara menyolok antara satu daerah dengan daerah lainnya, karena adanya perbedaan visi
dan persepsi Pemda tentang kesehatan, khususnya peran obat. Untuk mengatasi bencana dan
kekurangan obat di kabupaten/kota, pemerintah pusat tetap berkewajiban menyediakan obat buffer
stok.
Dibanding rekomendasi WHO tentang penyediaan dana obat bagi kepentingan publik yang
besarnya US$ 2 per kapita, maka dana yang tersedia baik melalui APBD maupun APBN masih
belum sesuai. Berdasarkan survai dana obat per kapita kabupaten/kota, penyediaan obat untuk
pelayanan kesehatan dasar yang secara umum rata-ratanya kurang dari Rp. 5.000,- per kapita.
Seiring dengan berkembangnya pelayanan farmasi klinik yang dilakukan oleh apoteker di

berbagai belahan dunia, maka ruang lingkup farmakoekonomi juga meliputi studi tentang manfaat
pelayanan farmasi klinik secara ekonomi. Hasil studi semacam ini bisa dimanfaatkan untuk
menjustifikasi apakah suatu bentuk pelayanan farmasi klinik dapat disetujui untuk dilaksanakan di
suatu unit pelayanan, ataukah suatu pelayanan farmasi klinik yang sudah berjalan dapat terus
dilanjutkan.
Pihak-pihak yang berkepentingan dalam upaya menjadikan pelayanan kesehatan lebih efisien dan
ekonomis ditantang untuk mampu melakukan penilaian menyeluruh terhadap suatu obat baik dari
segi efektifitas obat maupun dari segi nilai ekonomisnya. Untuk itu diperlukan bekal pengetahuan
tentang prinsip-prinsip farmakoekonomi dan keterampilan yang memadai dalam melakukan
evaluasi hasil studi farmakoekonomi.
Farmakoekonomi tidak hanya penting bagi para pembuat kebijakan di bidang kesehatan saja,
tetapi juga bagi tenaga kesehatan, industri farmasi, perusahaan asuransi dan bahkan pasien,
dengan kebutuhan dan cara pandang yang berbeda.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Farmakoekonomi adalah studi yang mengukur dan membandingkan antara biaya dan
hasil/konsekuensi dari suatu pengobatan. Farmakoekonomi dapat didefinisikan sebagai
perhitungan antara biaya yang dikeluarkan dengan dampaknya pada penyembuhan dalam rangka
mengambil keputusan tentang pengembangan obat dan strategi harga obat. Penerapan
farmakoekonomi dapat dilakukan baik dalam skala kecil seperti penentuan pilihan terapi untuk
seorang pasien, maupun dalam skala besar seperti penentuan daftar obat yang akan disubsidi
pemerintah. Farmakoekonomi dapat mengukur kelebihan suatu obat dibandingkan obat lain
berdasarkan analisis cost-effectiveness-nya.
Farmakoekonomi tidak hanya penting bagi para pembuat kebijakan di bidang kesehatan saja,
tetapi juga bagi tenaga kesehatan (dokter, apoteker), industri farmasi, perusahaan asuransi dan
bahkan pasien, yang masing-masing mempunyai kebutuhan dan cara pandang yang berbeda. Bagi
pembuat kebijakan, farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk: memutuskan apakah suatu obat
layak dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi, memilih program pelayanan kesehatan dan
membuat kebijakan-kebijakan strategis lain yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Di tingkat
rumah sakit, data farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk memutuskan apakah suatu obat bisa
dimasukkan ke dalam formularium rumah sakit, atau sebaliknya, suatu obat harus dihapus dari
formularium rumah sakit karena tidak cost-effective dibandingkan obat lain. Selain itu juga dapat
digunakan sebagai dasar dalam menyusun pedoman terapi, obat mana yang akan digunakan
sebagai obat lini pertama dan lini berikutnya. Bagi tenaga kesehatan, farmakoekonomi berperan
untuk membantu pengambilan keputusan klinik dalam penggunaan obat yang rasional, karena
penggunaan obat yang rasional tidak hanya mempertimbangkan dimensi aman-berkhasiat-bermutu
saja, tetapi juga harus mempertimbangkan nilai ekonominya. Sedangkan industri farmasi

berkepentingan dengan hasil studi farmakoekonomi untuk berbagai hal, antara lain: penelitian dan
pengembangan obat, penetapan harga, promosi dan strategi pemasaran.
B. Tujuan
Tujuan farmakoekonomi adalah untuk memberikan informasi yang dapat membantu para pembuat
kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar
pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Informasi farmakoekonomi saat ini
dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan
pilihan obat yang akan digunakan.
Bagi tenaga kesehatan, farmakoekonomi berperan mewujudkan penggunaan obat yang rasional
dengan membantu pengambilan keputusan klinik, mengingat penggunaan obat yang rasional tidak
hanya mempertimbangkan aspek keamanan, khasiat, dan mutu saja, tetapi juga harus
mempertimbangkan aspek ekonomi. Pada akhirnya, pasien diharapkan akan memperoleh alokasi
sumber daya pelayanan kesehatan yang optimal dengan cara mengukur serta membandingkan
aspek khasiat serta aspek ekonomi dari berbagai alternatif terapi pengobatan.
Farmakoekonomi dapat diaplikasikan baik dalam skala mikro -misalnya dalam menentukan
pilihan terapi untuk seorang pasien untuk suatu penyakit, maupun dalam skala makro -misalnya
dalam menentukan obat yang akan disubsidi atau yang akan dimasukkan ke dalam formularium
Keterjangkauan dan penggunaan obat yang rasional merupakan bagian dari tujuan yang hendak
dicapai. Pemilihan obat esensial yang tepat dan pemusatan upaya pada penyediaan obat esensial
tersebut terbukti telah meningkatkan akses obat serta penggunaan obat yang rasional.
Dalam pengobatan yang rasional pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya,
dalam dosis yang sesuai, untuk jangka waktu pengobatan sesuai, dengan biaya yang terjangkau.
Survei di sarana pelayanan kesehatan yang dilakukan menunjukkan bahwa angka
ketidakrasionalan penggunaan obat masih tinggi, yang hingga kini masih memerlukan pembinaan
secara teratur, dan berkesinambungan.
Dengan memahami peranan farmakoekonomi dalam mengendalikan biaya pengobatan, sudah
selayaknya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam proses pengambilan kebijakan pelayanan
kesehatan sehingga dapat tercapai hasil yang efisien dan ekonomis. Kesadaran akan terbatasnya
sumber daya dalam upaya pelayanan kesehatan membuat kebutuhan akan farmakoekonomi
menjadi semakin mendesak.
Pemerintah secara serius merasionalkan harga obat dengan cara menurunkan harganya secara
general. SK Menkes No 720 Tahun 2006 merupakan hasil kerja tim rasionalisasi harga obat
selama setahun. Mereka menghitung dengan cermat berapa harga obat yang rasional, dengan
memperhatikan segala aspek dari pembuatan obat
C. Metode-metode Dalam Farmakoekonomi
Metode-metode analisis yang digunakan dalam farmakoekonomi meliputi: Cost-minimization
analysis, Cost-effectiveness analysis, Cost-Utility analysis dan Cost-benefit analysis.
a Metode Cost-minimization analysis (CMA) membandingkan biaya total penggunaan 2 atau lebih
obat yang khasiat dan efek samping obatnya sama (ekuivalen). Karena obat-obat yang
dibandingkan memberikan hasil yang sama, maka CMA memfokuskan pada penentuan obat mana
yang biaya per-harinya paling rendah.
b Metode yang paling sering dilakukan adalah Cost-effectiveness analysis (CEA). Metode ini
cocok jika terapi yang dibandingkan memiliki hasil terapi (outcome) yang berbeda. Metode ini

digunakan untuk membandingkan obat-obat yang pengukuran hasil terapinya dapat dibandingkan.
Sebagai contoh, membandingkan dua obat yang digunakan untuk indikasi yang sama tetapi biaya
dan efektifitasnya berbeda. CEA mengubah biaya dan efektifitas ke dalam bentuk ratio. Ratio ini
meliputi cost per cure (contoh: antibiotika) atau cost per year of life gained (contoh: obat yang
digunakan pada serangan jantung). Pada saat membandingkan dua macam obat, biasanya
digunakan pengukuran incremental cost-effectiveness yang menunjukkan biaya tambahan
(misalkan, per cure atau per life saved) akibat digunakannya suatu obat ketimbang digunakannya
obat lain. Jika biaya tambahan ini rendah, berarti obat tersebut baik untuk dipilih, sebaliknya jika
biaya tambahannya sangat tinggi maka obat tersebut tidak baik untuk dipilih.
c Metode lain adalah Cost-Utility analysis (CUA). Metode ini dianggap sebagai subkelompok
CEA karena CUA juga menggunakan ratio cost-effectiveness, tetapi menyesuaikannya dengan
skor kualitas hidup. Biasanya diperlukan wawancara dan meminta pasien untuk memberi skor
tentang kualitas hidup mereka. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang sudah
dibakukan, sebagai contoh digunakan skala penilaian (0= kematian; 10= kesehatan sempurna).
Quality-adjusted life years (QALYs) merupakan pengukuran yang paling banyak digunakan.
d Metode Cost-Benefit analysis (CBA) mengukur dan membandingkan biaya penyelenggaraan 2
program kesehatan dimana outcome dari kedua program tersebut berbeda (contoh: cost-benefit
dari program penggunaan vaksin dibandingkan dengan program penggunaan obat
antihiperlipidemia). Pengukuran dapat dilakukan dengan menghitung jumlah episode penyakit
yang dapat dicegah, kemudian dibandingkan dengan biaya kalau program kesehatan dilakukan.
Makin tinggi ratio benefit:cost, maka program makin menguntungkan. Metode ini juga digunakan
untuk meneliti pengobatan tunggal. Jika rationya lebih dari 1, maka pengobatan dianggap
bermanfaat karena ini berarti manfaatnya lebih besar dari biayanya. CBA merupakan analisis yang
paling komprehensif dan sulit untuk dilakukan. Berbeda dengan CEA yang menggunakan efek
terapeutik sebagai outcome atau CUA yang menggunakan kualitas hidup, maka CBA
menggunakan nilai uang dalam mengukur benefit, sehingga dapat menimbulkan perdebatan,
sebagai contoh: berapa nilai uang sebuah kualitas hidup seseorang?
D. Strategi dalam mengaplikasikan hasil studi farmakoekonomi
Sebelum mengaplikasikan data farmakoekonomi ke "dunia nyata", terlebih dahulu harus dimiliki
keterampilan dalam mengevaluasi secara kritis hasil penelitian farmakoekonomi yang sudah
dipublikasikan. Pedoman dalam melakukan evaluasi penelitian farmakoekonomi telah banyak
dipublikasikan3. Beberapa aspek yang harus dikritisi dari sudut pandang farmasi dalam
mengevaluasi suatu penelitian farmakoekonomi dapat dilihat pada tabel 1.
Untuk menerapkan data farmakoekonomi dari literatur ke "dunia nyata" sesuai situasi dan kondisi
setempat, ada 3 strategi yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Menggunakan langsung data dari literatur;
2. Membuat data model ekonomi (economic modeling data);
3. Melakukan penelitian sendiri.
Masing-masing strategi mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pemilihan strategi yang akan
dilakukan sebaiknya mempertimbangkan juga dampak yang akan dihasilkan baik terhadap biaya
maupun mutu pelayanan. Jika dampaknya minimal, maka strategi menggunakan data langsung
dari literatur dapat dijadikan pilihan. Jika dampaknya lumayan, maka membuat data model

ekonomi dapat dipilih. Sedangkan jika dampaknya besar, maka perlu melakukan penelitian sendiri
agar data yang didapat benar-benar sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia dalam memberikan pelayanan kesehatan, maka
sudah seyogianya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam membantu membuat keputusan dan
menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan agar pelayanan kesehatan menjadi lebih
efisien dan ekonomis.
E. Pembiayaan Obat
Langkah Kebijakan Pemerintah:
1. Penetapan target pembiayaan obat sektor publik secara nasional (WHO menganjurkan alokasi
sebesar minimal US $ 2 per kapita.)
2. Departemen Kesehatan mengembangkan mekanisme pemantauan pembiayaan obat sektor
publik di daerah.
3. Pemerintah menyediakan anggaran obat untuk program kesehatan nasional. Sedangkan untuk
masyarakat yang dikategorikan mampu dapat berkontribusi.
4. Pemerintah Pusat menyediakan dana buffer stok nasional untuk kepentingan penanggulangan
bencana, dan memenuhi kekurangan obat di kabupaten /kota. Sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, pemerintah daerah menyediakan anggaran obat yang dialokasikan dari
Dana Alokasi Umum (DAU), khususnya untuk pelayanan kesehatan strata pertama. Mengingat
obat sangat penting artinya bagi kesejahteraan masyarakat, maka perlu alokasi anggaran yang
cukup. Sesuai dengan Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentan SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional), skema JPKM dan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan lainnya harus
menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna termasuk obat. Biaya yang mungkin dikenakan
kepada pasien di pelayanan, khususnya Puskesmas, semata-mata merupakan alat serta bayar
(co-payment) dan tidak ditujukan sebagai sumber penghasilan. Untuk menghadapi keadaan
darurat , maka pemerintah harus mengutamakan penggunaan obat dalam negeri. Bantuan dari
Negara donor sifatnya hanya supplemen. Mekanisme obat bantuan harus mengikuti kaidah
internasional maupun ketentuan dalam negeri. Pemerintah perlu melakukan kebijakan penetapan
harga obat untuk menjamin kewajaran harga obat.
F. KETERJANGKAUAN
Sasaran : Harga obat terutama obat esensial generik terjangkau oleh masyarakat.
Upaya untuk keterjangkauan atau akses obat di upayakan dari dua arah, yaitu dari arah permintaan
pasar dan dari arah pemasok. Dari arah permintaan diupayakan melalui penerapan Konsep Obat
Esensial dan penggunaan obat generik. Penerapan Konsep Obat Esensial dan penggunaan obat
generik dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pengaturan, pengelolaan obat di sektor
publik dan pada skema JPKM. Di sektor publik penekanan harga dalam pengadaan juga di
upayakan melalui pengadaan dalam jumlah besar atau pengadaan secara tepusat. Dari segi
pasokan ditempuh berbagai upaya, antara lain dengan menghindarkan adanya monopoli meskipun
di bidang obat terdapat banyak masalah seperti perlindungan hak paten, pengembangan brand
royalty, penguasaan pasar global oleh segelintir perusahaan transnasional. Selain itu diterapkan
pula kebijaksanaan mengenai harga obat (pricing policy), yang disesuaikan dengan stabilitas
ekonomi dan kemampuan pengelolaannya oleh birokrasi. Untuk menunjang kebijakan harga obat

dikembangkan sistem informasi harga obat. Oleh karena akses terhadap obat esensial merupakan
salah satu hak asasi manusia, sudah selayaknya obat esensial dibebaskan dari pajak dan bea
masuk.
Langkah kebijakan pemerintah:
1. Pemerintah melaksanakan evaluasi harga secara periodik dengan membandingkan dengan harga
referensi internasional mengikuti metoda standar internasional yang terkini untuk:
a Membandingkan harga dengan harga di negara lain dalam rangka mengambil langkah kebijakan
yang tepat mengenai harga obat;
b Membandingkan keterjangkauan obat oleh masyarakat di berbagai daerah (baik perkotaan
maupun pedesaan), dan di sarana pelayanan berbagai sektor (baik di sektor publik, sektor swasta
maupun sektor swasta nirlaba) dalam rangka mengambil kebijakan yang tepat;
c Menilai dampak kebijakan yang telah dilaksanakan mengenai harga obat.
2. Pemanfaatan studi farmako-ekonomik di unit pelayanan kesehatan secara terintegrasi untuk
meningkatkan efisiensi.
3. Pengendalian harga jual pabrik:
a Pemerintah melakukan perbandingan harga obat yang masih dilindungi hak paten dengan harga
di negara lain dengan mengacu pada hasil pengukuran harga obat. Bila perlu pemerintah
melaksanakan lisensi wajib sesuai dengan Undang-undang No 14 Tahun 2001 tentang Paten.
bb Harga obat me-too (kopi) tidak boleh lebih mahal dari harga obat paten yang bersangkutan.
4. Pemerintah mengembangkan sistem informasi harga obat bagi masyarakat.
5. Pemerintah mengembangkan sistem pengadaan obat sektor publik dengan menerapkan prinsip
pengadaan dalam jumlah besar atau pengadaan terpusat.
6. Penghapusan pajak dan bea masuk untuk obat esensial
7. Pemerintah perlu melakukan kebijakan penetapan harga obat untuk menjamin keterjangkauan
harga obat.

Anda mungkin juga menyukai