Anda di halaman 1dari 5

Gasgedo atau tradisi manganan bumi janjang/ sedekah bumi

Lamto, dalang wayang krucil yang melakonkan 'Bedahing Negara Ceylon' dalam tradisi
manganan bumi Janjang
Tradisi manganan di bumi Janjang melekat dengan rangkaian prosesi lainnya, selain
pengunjung dipersilahkan berziarah di Makam Mbah Janjang (Eyang Jati Kusumo dan Eyang
Jati Suworo) juga bisa menyaksikan pertunjukan wayang krucil dan menikmati kuliner khas
setempat.
Dalam tradisi sedekah bumi desa Janjang, Wayang Krucil dipentaskan setelah acara inti,
yakni hajatan bersama (kenduri masal, red) yang dipimpin oleh pemuka agama dan Kepala
Desa.
Wayang krucil dipentaskan sudah turun temurun, wayangnya disimpan di rumah Kepala
Desa. Wayang krucil peninggalan jaman para wali, kata Lamto (60) dalang wayang krucil
asal dusun Katesan Desa Janjang, Kecamatan Jiken.
Mengiringi pementasan wayang krucil yakni sejumlah alat musik tradisional pentatonis,
membran dan perkusi seperti saron, gambang, kendang, gong dan keprak (kecrek). Hanya
saja tidak menyertakan pesinden.
Pertunjukan wayang krucil diselenggarakan pada salah satu bangsal komplek pemakaman
tersebut.
Selama tiga tahun berturut-turut mendalang di lokasi makam Mbah Janjang, menurut Lamto,
tidak pernah terjadi keributan pada penonton dan pengunjung lainnya.
Hanya saja secara pribadi saya mendapat pentunjuk agar berhati-hati dalam berbicara saat
mendalang, ungkapnya.
Untuk tradisi manganan tahun 2016 ini, lakon yang dibawakan adalah Bedahing Negara
Ceylon (Sri Lanka).
Sedot ribuan warga
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Perhubungan Pariwisata Kebudayaan Komunikasi dan
Informatika (DPPKKI) Suntoyo mengatakan, sedekah bumi Manganan Janjang merupakan
tradisi yang setiap tahun digelar masyarakat Desa Janjang.
Ia mengungkapkan, hampir setiap hari ada warga yang mengunjungi kawasan cagar budaya
Situs Janjang ini. Sebagian dari mereka adalah warga dari luar Blora.

Puncak dari ramainya pengunjung ya hari ini, ujarnya, Jumat (13/05).


Suntoyo bersama Kepala DPPKKI Slamet Pamuji dan sejumlah staf juga ikut berbaur dengan
pengunjung di acara sedekah bumi Janjang.
Tradisi tahunan yang dilaksanakan di kawasan pesarean Eyang Jati Suworo dan Eyang Jati
Kusumo itu dihadiri ribuan warga.

Tak hanya masyarakat Desa Janjang serta desa lain di Blora. Ribuan warga tersebut sebagian
diantaranya berasal dari sejumlah kabupaten di Jateng dan Jatim.
Kepala Desa Janjang, Ngasi, mengemukakan, rangkaian acara tradisi tahunan Manganan
Janjang mulai digelar sejak Rabu malam (11/5). Ketika itu dilaksanakan pengajian akbar
Haul Eyang Jati Suworo dan Eyang Jati Kusumo.
Setelah itu acara dilanjutkan Kamis malam Jumat dengan pementasan wayang krucil.
Dan acara puncak digelar Jumat pagi hingga sore dengan mengadakan kenduri massal
dilanjutkan pementasan wayang krucil bertempat di komplek Pesarean Eyang Eyang Jati
Suworo dan Eyang Jati Kusumo, kata dia.
Sejarah
Dalam kenduri massal, semua warga desa akan membawa tumpeng dan jajanan yang antara
lain dibungkus daun jati. Selain itu ada juga nasi urap, tumpeng bucu, dan ayam panggang
untuk dijadikan satu dalam sebuah tempat. Makanan tersebut dibagikan secara massal kepada
semua pengunjung acara manganan.

Manganan Janjang ini merupakan perwujudan rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas
nikmat yang diberikan selama ini. Manganan Janjang juga merupakan tradisi penghormatan
kepada leluhur Eyang Jati Suworo dan Eyang Jati Kusomo. Mereka berdua adalah saudara
Pangeran Benawa, Adipati Jipang Panolan, putra Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir.

Kisah kedua leluhur desa itu terkait erat dengan peristiwa Perang Jipang (1549), pertempuran
antara Kerajaan Pajang dan Demak melawan Jipang Panolan yang saat ini menjadi nama desa
di Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora. Waktu itu, Jipang Panolan dipimpin Arya Penangsang,
sedangkan Pajang-Demak dimotori Jaka Tingkir.

Arya Penangsang merupakan cucu dari Raja Demak Sultan Trenggono, sedangkan Jaka
Tingkir menantu Sultan Trenggono. Jaka Tingkir menang dalam pertempuran itu dan
membuat Jipang Panolan masuk wilayah Pajang. Wilayah itu diserahkan kepada Pangeran
Benawa.
Pasca kekalahan Pajang

Barongan
Kesenian Barong atau lebih dikenal dengan kesenian Barongan merupakan kesenian khas
Jawa Tengah. Akan tetapi dari beberapa daerah yang ada di Jawa Tengah Kabupaten Blora lah
yang secara kuantitas, keberadaannya lebih banyak bila dibandingkan dengan Kabupaten
lainnya.

Seni Barong merupakan salah satu kesenian rakyat yang amat populer dikalangan masyarakat
Blora, terutama masyarakat pedesaan. Didalam seni Barong tercermin sifat-sifat kerakyatan
masyarakat Blora, seperti sifat : spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, kasar, keras,
kompak, dan keberanian yang dilandasi kebenaran.
Barongan dalam kesenian barongan adalah suatu pelengkapan yang dibuat menyerupai Singo
Barong atau Singa besar sebagai penguasa hutan angker dan sangat buas.
Adapun tokoh Singobarong dalam cerita barongan disebut juga GEMBONG AMIJOYO yang
berarti harimau besar yang berkuasa.
Kesenian Barongan berbentuk tarian kelompok, yang menirukan keperkasaan gerak seekor
Singa Raksasa. Peranan Singo Barong secara totalitas didalam penyajian merupakan tokoh
yang sangat dominan, disamping ada beberapa tokoh yang tidak dapat dipisahkan yaitu :
Bujangganong / Pujonggo Anom Joko Lodro / Gendruwo Pasukan berkuda / reog Noyontoko
Untub.

Selain tokoh tersebut diatas pementasan kesenian barongan juga dilengkapi beberapa
perlengkapan yang berfungsi sebagai instrumen musik antara lain : Kendang,Gedhuk,
Bonang, Saron, Demung dan Kempul. Seiring dengan perkembangan jaman ada beberapa
penambahan instrumen modern yaitu berupa Drum, Terompet, Kendang besar dan
Keyboards. Adakalanya dalam beberapa pementasan sering dipadukan dengan kesenian
campur sari
Kesenian barongan bersumber dari hikayat Panji, yaitu suatu cerita yang diawali dari iringiringan prajurit berkuda mengawal Raden Panji Asmarabangun / Pujonggo Anom dan Singo
Barong.
Adapun secara singkat dapat diceritakan sebagai berikut :
Prabu Klana Sawandana dari Kabupaten Bantarangin jatuh cinta kepada Dewi Sekartaji putri
dari Raja Kediri, maka diperintahlah Patih Bujangganong / Pujonggo Anom untuk
meminangnya. Keberangkatannya disertai 144 prajurit berkuda yang dipimpin oleh empat
orang perwira diantaranya : Kuda Larean, Kuda Panagar, Kuda Panyisih dan Kuda
sangsangan. Sampai di hutan Wengkar rombongan Prajurit Bantarangin dihadang oleh Singo
Barong sebagai penjelmaan dari Adipati Gembong Amijoyo yang ditugasi menjaga keamanan
di perbatasan. Terjadilah perselisihan yang memuncak menjadi peperangan yang sengit.
Semua Prajurit dari Bantarangin dapat ditaklukkan oleh Singo Barong, akan tetapi keempat
perwiranya dapat lolos dan melapor kepada Sang Adipati Klana Sawandana. Pada saat itu
juga ada dua orang Puno Kawan Raden Panji Asmara Bangun dari Jenggala bernama Lurah
Noyontoko dan Untub juga mempunyai tujuan yang sama yaitu diutus R. Panji untuk
melamar Dewi Sekar Taji. Namun setelah sampai dihutan Wengker, Noyontoko dan Untub
mendapatkan rintangan dari Singo Barong yang melarang keduanya utuk melanjutkan
perjalanan, namun keduanya saling ngotot sehingga terjadilah peperangan. Namun
Noyontoko dan Untub merasa kewalahan sehingga mendatangkan saudara sepeguruannya
yaitu Joko Lodro dari Kedung Srengenge. Akhirnya Singo Barong dapat ditaklukkan dan
dibunuh. Akan tetapi Singo Barong memiliki kesaktian. Meskipun sudah mati asal disumbari

ia dapat hidup kembali. Peristiwa ini kemudian dilaporkan ke R. Panji, kemudian


berangkatlah R. Panji dengan rasa marah ingin menghadapi Singo Barong. Pada saat yang
hampir bersamaan Adipati Klana Sawendono juga menerima laporan dari Bujangganong
( Pujang Anom ) yang dikalahkan oleh Singo Barong. Dengan rasa amarah Adipati Klana
Sawendada mencabut pusaka andalannya, yaitu berupa Pecut Samandiman dan berangkat
menuju hutan Wengker untuk membunuh Singo Barong. Setelah sampai di Hutan Wengker
dan ketemu dengan Singo Barong, maka tak terhindarkan pertempuran yang sengit antara
Adipati Klana Sawendana melawan Singo Barong. Dengan senjata andalannya Adipati Klana
Sawendana dapat menaklukkan Singo Barong dengan senjata andalannya yang berupa Pecut
Samandiman. Singo Barong kena Pecut Samandiman menjadi lumpuh tak berdaya.

Akan tetapi berkat kesaktian Adipati Klana Sawendana kekuatan Singo Barong dapat
dipulihkan kembali, dengan syarat Singo Barong mau mengantarkan ke Kediri untuk
melamar Dewi Sekartaji. Setelah sampai di alun-alun Kediri pasukan tersebut bertemu
dengan rombongan Raden Panji yang juga bermaksud untuk meminang Dewi Sekartaji.
Perselisihanpun tak terhindarkan, akhirnya terjadilah perang tanding antara Raden Panji
dengan Adipati Klana Sawendano, yang akhirnya dimenangkan oleh Raden Panji. Adipati
Klana Sawendana berhasil dibunuh sedangkan Singo Barong yang bermaksud membela
Adipati Klana Sawendana dikutuk oleh Raden Panji dan tidak dapat berubah wujud lagi
menjadi manusia ( Gembong Amijoyo ) lagi. Akhrnya Singo Barong Takhluk dan
mengabdikan diri kepada Raden Panji, termasuk prajurit berkuda dan Bujangganong dari
Kerajaan Bantarangin.

Kemudian rombongan yang dipimpin Raden Panji melanjutkan perjalanan guna melamar
Dewi Sekartaji. Suasana arak-arakan yang dipimpin oleh Singo Barong dan Bujangganong
inilah yang menjadi latar belakang keberadaan kesenian Barongan.

Seni Tayub
Tayuban merupakan salah satu seni kebudayaan yang ada di Blora. Berdasarkan keteranganketerangan yang dapat dikumpulkan, perkataan Tayuban berasal dari kata Tayub, yang
menurut keroto boso adalah ringkasan dari kata "ditoto guyub" dan itu adalah bahwa didalam
penyajian seni tayuban gerak tari para penari serta gending iringannya diatur bersama supaya
serempak berdasarkan kesepakatan dari para pemain ( penari dan penabuh ) dengan para
penonton. Sehingga terwujudlah suatu keakraban dan persaudaraan. Seni Tayuban
menggambarkan penyambutan para tamu atau pimpinan yang dihormati oleh masyarakat
menurut jenjang kepangkatan mereka masing-masing. Penyambutan itu oleh para pemain
wanita yang disebut joget dengan cara menyerahkan sampur ( selendang yang dipakai penari
wanita ) atas petunjuk pengarih. Tamu yang menerima sampur atau istilah "ketiban sampur"
mendapatkan kehormatan untuk menari bersama-sama dengan joget.
Didalam kelompok seni pertunjukan, tayuban dapat digolongkan tari rakyat tradisional, sifat
kerakyatan sangat menonjol, tampak sebagai gambaran dari jiwa masyarakat pendukungnya,

yaitu masyarakat pedesaan yang umum dijumpai diwilayah Kabupaten Blora, seperti sifat
spontanitas, kekeluagaan, kesederhanaan, sedikit kasar, namun penuh rasa humor.
Sebagaimana ciri khas tari ini yang sudah memasyarakat, maka Tayuban sudah menyebar
hampir seluruh Kabupaten Blora. Seni Tayuban pada umumnya dipentaskan pada upacara
adat yaitu sedekah desa, sedekah bumi atau upacara adat lain. Juga pada orang punya kerja,
memenuhi nadar, khitanan,perkawinan dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai