Bab I Pendahuluan
Bab I Pendahuluan
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada
populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah
urologi.
Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria
diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu
penelitian menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun
mengalami hiperplasia prostat.
Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih
dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari
tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang
paling berat yaitu operasi.
Saat ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan
teknologi dibidang urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk penderita
muda, kegiatan seksual aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk operasi dan pada
penderita yang menolak operasi.
I.2 Batasan Penulisan
Pada penulisan referat ini pembahasan masalah dititik beratkan pada terapi
konservatif non operatif pada penderita hiperplasia prostat.
I.3 Tujuan Penulisan
a. Mengetahui dan memahami tentang macam penatalaksanaan hiperplasia
prostat secara umum.
b. Mengetahui dan memahami macam terapi konservatif non operatif pada
penderita hiperplasia prostat.
c. Untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian akhir program pendidikan
profesi di bagian ilmu bedah RSUD PROF.Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Benign Prostate Hypertrofia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana
kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat
yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. 1,2
II.2 Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian
proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram,
dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal
2,5 cm.12
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
1. lobus medius
2. lobus lateralis (2 lobus)
3. lobus anterior
4. lobus posterior 8,12
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan
menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadangkadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abuabu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.8
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain
adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan
zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang
letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona
periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat.
Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.7,11
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari
verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan
ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan
disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.
3
Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan
prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan
fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum.
Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan
peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.8
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
1. Kapsul anatomi
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian,
a.
b.
c.
kapsul anatomis
2.
3.
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung
banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior
daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya
perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami
hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar.8,12
II.3 Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan
sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang
lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang
4
kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami
perubahan hiperplasi.4
Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan
kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan
memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat
tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya
pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan
mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar
membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik.7
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang
akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya
sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas
akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.1
II.4 Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging
(menjadi tua).11
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah:
1. Teori Hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi
BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen
(testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan
bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara
hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer
dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang
terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron
5
diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang
berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan
konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan
potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran
prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa
dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi
hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin
bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis)
yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini
mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon
estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua
bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian
perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
2. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth
factor, transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan
epidermal growth factor.
3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkuramgnya Sel yang
Mati
4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang
dewasa
berada
dalam
keadaan
keseimbangan
steady
state,
antara
pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar
testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem
sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat
bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi
6
abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma
dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
5. Teori Dihydro Testosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari
kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh
globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2%
dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke
dalam target cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk
kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha
reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan
reseptor sitoplasma menjadi hormone receptor complex. Kemudian hormone
receptor complex ini mengalami transformasi reseptor, menjadi nuclear
receptor yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan
menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein
menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.
6. Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma
pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme glandular
budding kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona
preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan glandular morphogenesis yang
terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan
adanya reawakening yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa
tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari
jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening
of embryonic induction potential of prostatic stroma during adult hood.
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang
penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor
sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan
kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu
dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam
fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian
buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesicoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,
bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.2,11
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala
yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan
dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika
sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen
dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha
adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan
kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung
dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh
komponen mekanik.8
2.
3.
4.
5.
vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi
untuk melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi.
b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah
urin minimal di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow
rata-rata (average flow rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai
sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai
average flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik
atau kurang. Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara
kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu
faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk
menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit
harus dilakukan secara teratur.1,3,11
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor
karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis
derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I
10
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan
derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume
prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang
biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut
nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga
menurunnya tonus spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh
karena prostat dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan
terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica,
hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada
suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh
karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi
menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica
menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over
flow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra
dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan
intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi
gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping
kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus selalu
mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan
lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu
terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan
batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Disamping
pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga
terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.3
II.6.2 Tanda
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus
spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain
seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada
perabaan prostat harus diperhatikan :
11
3. Pemeriksaan pencitraan
12
pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling
defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter
membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).
c. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram
retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
-
tekanan intravesica
resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran
mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6
8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik. Semakin berat derajat
obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.
13
tekanan
pancaran
dengan
menggunakan
Abrams-Griffiths
Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju
pancaran urin dapat diukur.
c. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin
yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang
akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.1,2,3,7,8
II.7 Diagnosis
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :
1.
2.
3.
4.
Pemeriksaan pencitraan :
Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian kontras pada dasar
kandung kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti
mata kail. Dengan trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat terlihat prostat
yang membesar.
5.
6.
Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume residu
urin yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml
dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi).2
14
2.
3.
Obstruksi fungsional :
a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi
detrusor dengan relaksasi sfingter
b. ketidakstabilan detrusor
4.
5.
6.
derajat 1 : < 50 ml
derajat 2 : 50-100 ml
derajat 3 : >100 ml
derajat 1 : kissing 1 cm
derajat 2 : kissing 2 cm
derajat 3 : kissing 3 cm
II.10 Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
1.
Inkontinensia Paradoks
2.
3.
Hematuria
4.
Sistitis
5.
Pielonefritis
6.
7.
Refluks Vesiko-Ureter
16
8.
Hidroureter
9.
Hidronefrosis
10.
Gagal Ginjal 2
II.11 Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan
menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi
empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Derajat
satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan
prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila
ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas
atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat
tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari
100 ml, sedangkan derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi
kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan
miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan
jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan
bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan
menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila
timbul obstruksi.1,2
Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV
digunakan untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu
biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan
secara konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi
untuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai
cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita
masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan
pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi
yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga ini
besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar
sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi
17
terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama yang harus segera
dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang
kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P atau operasi
terbuka.1,2
Terapi
sedini
mungkin
sangat
dianjurkan
untuk
mengurangi
gejala,
2.
Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3.
prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :
1. Observasi (Watchful waiting)
2. Medikamentosa
a. Penghambat adrenergik
b. Fitoterapi
c. Hormonal
3. Operatif
a. Prostatektomi terbuka
-
Transperineal
b. Endourologi
-
Teknik koagulasi
4. Invasif minimal
-
Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada
subservikal
Kerugian :
-
Mudah berdarah
Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan
dari dalam vesika
Komplikasi :
-
Perdarahan
Infeksi
Osteitis pubis
Trombosis
Kerugian :
-
Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica
sembuh
Mortality rate 1 -5 %
Komplikasi :
-
Inkontinensia (<1%)
Perdarahan
Epididimo orchitis
20
Carcinoma
Ejakulasi retrograde
Impotensi
Fimosis
c. Transperineal
Keuntungan :
-
Kerugian :
Impotensi
Inkontinensia
Perdarahan hebat
Prostatektomi Endourologi
a. Trans urethral resection (TUR)
Yaitu reseksi
seluruhnya
terdiri
ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil
guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat
mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh
membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik
sangat berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien nonobstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya
dilakukan TUR. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif TUR
meningkat dari 72% menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi
21
urodinamik pada penilaian pra-bedah dari 152 pasien. Mortalitas TUR sekitar
1% dan morbiditas sekitar 8%.
Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak
dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra
dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang
akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang
dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak
terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan
harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga
cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena
yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya
hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma
TUR P. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran
somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.
Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya
jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P
ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma
TUR P dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal
daripada aquades, antara lain adalah cairan glisin , membatasi jangka waktu
operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk
mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.
Keuntungan :
-
Kerugian :
-
Tehnik sulit
Intoksikasi cairan
Alat mahal
Ketrampilan khusus
23
YAG laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan
prostat oleh karena mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula
laser untuk prostat ini hanya dipakai untuk pengobatan tambahan setelah TUR
P pada ca prostat, yang biasanya diberikan 3 minggu setelah TUR P (Shanberg
1985, Mc Nicholas 1990).
Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk melaser
prostat pada penderita yang tidak dapat mentoleransi perdarahan apabila
dilakukan TUR. Roth dan Aretz (1991) menjadi pelopor penggunaan laser
Transuretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP), yang
dibimbing dengan pemakaian USG untuk dapat menembak prostat yang
disempurnakan dengan menggunakan alat pembelok (deflektor) sinar laser
dengan sudut 90 derajat sehingga sinar laser dapat diarahkan ke arah kelenjar
prostat yang membesar.
Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga gelombang ini
tidak banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat
divergensi tetapi masih mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila
laser Nd YAG ini mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi
energi termal yang dapat menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa kontak
dengan jaringan mempunyai efek laser maksimal pada kedalaman 3mm
dibawa mukosa dan efek termal dapat mencapai 100C sehingga pada
kekuatan 40 60 watts akan menyebabkan koagulasi pada kedalaman 3mm
sehingga akan terjadi letusan kecil yang disebut pop corn effect. Nd YAG
ini aman untuk pengobatan prostat oleh karena pembuluh darah yang agak
besar dan pembuluh darah pada kapsul prostat akan menjadi penahan panas
(heat sink) sehingga tidak akan terjadi penjalaran panas keluar dari prostat.
Tahun 1989 Johnson menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser
tersebut dapat dibelokkan 90 dengan menggunakan pembelok dari emas yang
ditempelkan diujung serat laser, sehingga sinar laser dapat diarahkan ke
jaringan prostat dari dalam uretra. Dengan alat pembelok ini 92% dari energi
laser masih dapat mencapai jaringan preostat. Costello (1992) mempelopori
24
BAB III
TERAPI KONSERVATIF NON OPERATIF
25
Sampai dengan tahun 1980-an kasus-kasus BPH selalu diatasi dengan operasi.
Didorong oleh faktor biaya dan morbiditas post operatif yang tidak nyaman maka terus
dicari pendekatan yang lebih aman, nyaman dan bahkan lebih ekonomis. Di dalam
penatalaksanaan terapi hiperplasia prostat ini terdapat istilah terapi konservatif yang
merupakan terapi non operatif. Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya
tidak memungkinkan dilakukan operasi dapat diusahakan pengobatan konservatif.3,9
Terapi konservatif ini masih terbagi lagi ke dalam berbagai kelompok, yaitu :
1. Observasi (Watchful waiting)
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadangkadang mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) ringan
dapat sembuh sendiri dengan observasi ketat tanpa mendapatkan terapi apapun.
Tetapi diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa
atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.11
2. Medikamentosa
a. Penghambat adrenergik
Seperti kita ketahui persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan
kapsul prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama
mengandung reseptor alpha, jadi dengan pemberian obat golongan alpha
adrenergik bloker, terutama alpha 1 adrenergik bloker maka tonus leher
vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat akan berkurang, sehingga
sehingga menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan memperbaiki
gejala miksi. Bila serangan prostatismus memuncak menjurus kepada retensio
urin ini adalah pertanda bahwa tonus otot polos prostat meningkat atau
berkontraksi sehingga pemberian obat ini adalah sangat rasional. Episode
serangan biasanya cepat teratasi.
Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2x10
mg/hari. Sekarang telah tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1
adrenergik bloker yaitu Prazosine, dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat lain
selain itu adalah Terazosin dosis 1 mg/hari, Tamzulosin dan Doxazosin.
Pengobatan dengan penghambat alpha ini pertama kali dilakukan oleh Caine
26
hiperplasia prostat sedikitpun. Bila respon dari pengobatan ini baik maka ini
merupakan indikator untuk masuk kedalam tahap perawatan Watch and
wait.2,3,5,6,7,8,9
b. Fitoterapi
Kelompok
kemoterapi
pada
umumnya
telah
mempunyai
informasi
27
Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui.
Diantara sekian banyak fitoterapi yang sudah masuk pasaran, diantaranya
yang terkenal adalah Serenoa repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds
yang digunakan untuk pengobatan BPH. Keduanya, terutama Serenoa repens
semakin diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prosatisme BPH
dalam kontek watchfull waiting strategy. Di Jerman 90% kasus BPH di
terapi dengan Serenoa repens tunggal atau kombinasi, dan di negara-negara
Eropa dan Amerika pemakaiannya terus meningkat dengan cepat.
a. Saw Palmetto Berry (SPB) yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu
obat tradisional Indian. Catatan empiriknya tentang manfaat tumbuhan ini
untuk gangguan urologis sudah ada sejak tahun 1900. Isu back to nature
memberikan iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.
Bukti-bukti empirik lapangan dan empirik uji klinik semakin banyak
mencatat efektifitas dan keamanannya. Dalam Current Medical Diagnosis
and Treatment (2001) dinyatakan bahwa Saw Palmetto Berry (SPB) ini
didalam 18 RCT (Randomized Clinical Trial) dengan 2939 subyek adalah
superior terhadap placebo dan efektifitasnya sama dengan finasteride.
Efek samping obat berupa disfungsi ereksi = 1,1% sedangkan finasteride
= 4,9%. Dalam Life Extension Update dimuat, dari sebanyak 32 publikasi
studi terdapat catatan bahwa extract dari SPB ini secara signifikan
menunjukan perbaikan klinis dalam hal :
a) Frekuensi nokturia berkurang
b) Aliran kencing bertambah lancar
c) Volume residu dikandung kencing berkurang
d) Gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir berkurang
Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia :
a) Menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir
reseptor androgen
b) Bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat
aktifitas enzim cycloxygenase dan 5 lipoxygenase.
b. Pumpkin seeds (Cucurbitae peponis semen)
28
Pengobatan di RS. Pondok Indah pada 112 kasus yang diobati dengan cara
ini didapatkan hasil : perbaikan symptom score pada 79 penderita (75%)
dan perbaikan pada sisa kencing pada 62 penderita (60%) tetapi perbaikan
pada maximal flow rate hanya ditemukan pada 55 penderita (50%).
31
32
4. Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika
dirusak
Prosedur ini meskipun bisa dilakukan dengan anestesi topikal, sebaiknya
dilakukan dengan narkose. Balon mempunyai diameter 30 mm kemudian
dengan alat dikembangkan sampai 4 atm yang sama dengan 58,8 psi atau 3040
mmHg dan kaliber uretra menjadi 30 mm atau 90 F. Kemudian setelah balon
dikempeskan kembali kateter dilepaskan dengan menggunakan guide wire dan
kateter dilepas memutar kebalikan dari arah jarum jam sementara dapat
dipasang cystostomi dengan trocard. TUBD ini biasanya memberikan perbaikan
yang bersifat sementara.2,7,8
c.Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)
Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk
menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang
baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan
minimal, tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan.2,7,8
d. Stent Urethra
Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja
kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang
spiral dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter
(Prostacath). Stents ini digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang
ditempatkan dengan bantuan endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk
memasangnya, panjang uretra pars prostatika diukur dengan USG dan kemudian
dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu alat
kateter pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars prostatika maka
spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent ini
merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang invasif, yang
merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita belum memungkinkan
untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif. Akhir-akhir ini dikembangkan
juga stent yang dapat dipertahankan lebih lama, misalnya Porges Urospiral
(Parker dkk.) atau Wallstent (Nording, A.L. Paulsen).
33
Bentuk lain ialah adanya mesh dari logam yang juga dipasang di uretra pars
prostatika dengan kateter pendorong dan kemudian didilatasi dengan balon
sampai mesh logam tersebut melekat pada dinding uretra.2,7,8,11
BAB IV
KESIMPULAN
34
35
11. Tindakan bedah baik itu prostatektomi terbuka maupun prostatektomi endourologi
masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (>90%) meskipun akhirakhir ini dikembangkan beberapa terapi non-bedah yang kurang invasif.
12. Trans Urethral Resection (TUR) masih merupakan prosrdur bedah yang lebih disukai
untuk penanganan hiperplasia prostat.
13. Yang termasuk di dalam terapi konservatif non operatif yaitu :
a. Observasi (Watchful waiting)
b. Medikamentosa
-
Fitoterapi
Hormonal
c. Invasif minimal
-
Stent Urethra
14. Selain pada kelompok hiperplasia prostat derajat 1 dan mungkin juga pada derajat 2,
tindakan terapi konservatif non bedah ini dapat dilakukan jika keadaan umum
penderita tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi.
15. Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada
leher buli-buli.
DAFTAR PUSTAKA
36
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC, 1997.
Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah
Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.
Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama,
Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.
Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC,
1994.
Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC, 1997.
Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek Efek
Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.
Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan,
Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto
Mangunkusumo, 1993.
Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK
UNDIP.
Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH),
Semarang : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.
Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi RSUD
Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002.
Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.
Anonim. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina, 1997.
Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Baileys Emergency Surgery 11th edition, Gadjah Mada
University Press, 1992.
LAMPIRAN
37