Anda di halaman 1dari 24

Asuhan Keperawatan Spinal Cord Injury (SCI)

A. Definisi
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb (Arifin
cit Sjamsuhidayat, 1997).
Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena trauma spinal cord atau
tekanan pada spinal cord karena kecelakaan

B. Etiologi
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak
kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga, tersering karena menyelam pada air yang
sangat dangkal (Pranida, Iwan Buchori, 2007).
Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu
lintas, kecelakakan olah raga (Arifin, 1997).
Dari kedua sumber di atas dapat disimpulkan bahwa etiologi dari Spinal Cord Injury
(SCI) adalah karena trauma.

C. Manifestasi Klinis
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus di mana setelah cedera pasien
mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas klinis mungkin
tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada pasien yang juga mengalami
cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi
anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat cedera tulang belakang.

D. Patofisiologi
Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu
lintas, kecelakakan olah raga, mengakibatkan patah tulang belakang; paling banyak cervicalis
dan lumbalis. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi,
sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang,
laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, blok syaraf parasimpatis pelepasan
mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan
hipoksemia syok spinal gangguan fungsi rektum, kandung kemih. Gangguan kebutuhan
gangguan rasa nyaman, nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia,
gangguan eliminasi.

E. Pathway

F. Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan patofisiologi di atas, maka sangat penting dilakukan pemeriksaan diagnostik
SCI yang dapat meliputi, sbb:
1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

G. Komplikasi
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian atas cedera lain dan
mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan cedera kord spinal
bersamaan dengan cedera major: kepala atau otak, toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta
jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan
penilaian ulang yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab
kematian utama setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok.

H. Penatalaksnaan Medis dan Keperawatan


Penatalaksaan medis
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam posisi lurus;
1. Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk mempertahankan agar
leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien.
2.

Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan


Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak.

3. Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur servikal
stabil ringan.
4.

Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk


mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x ditemui spinal
tidak aktif.

Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis dengan


menggunakan glukortiko steroid intravena

Penatalaksanaan Keperawatan

Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis, kemungkinan didapati


defisit motorik dan sensorik di bawah area yang terkena: syok spinal, nyeri, perubahan
fungsi kandung kemih, perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak
terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi defekasi

Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya

Pemeriksaan diagnostik

Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation).

I. Pengkajian Keperawatan
Adapun beberapa hal penting yang perlu dikaji dalan Spinal Cord Injury dapat meliputi,
sbb:

Riwayat trauma (KLL, olahraga, dll)

Riwayat penyakit degeneratif (osteoporosis, osteoartritis, dll)

Mekanisme trauma

Stabilisasi dan monitoring

Pemeriksaan fisik; KU, TTV, defisit neurologis, status kesadaran awal kejadian, refleks,
motorik, lokalis (look, feel, move).

Fokus; deformitas leher, memar pada leher dan bahu, memarpada muka atau abrasi
dangakal pada dahi.

Pemeriksaan neurologi penuh.

J. Diagnosa dan Rencana Keperawatan

1 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma


Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < rr =" 16-20">
Intervensi keperawatan :
1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional: pasien dengan cedera
cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan
nafas.
2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret.
Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan
mengurangi resiko infeksi pernapasan.
3. Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi
pernapasan secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
4. Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan
akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.
5. Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang
memerlukan tindakan segera
6. Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan
karena kelumpuhan diafragma
7. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional : membantu mengencerkan
sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran.
8. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional :
menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya
kegagalan pernapasan.
9. Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran
gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.
10. Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan
isufisiensi pernapasan.
11. Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahan
2. Diagnosa keperawatan : kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan
Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai

cedera diatasi dengan pembedahan.


Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas
kembali secara bertahap.
Intervensi keperawatan :
1. Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional memberikan rasa
aman
3. Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif
4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah footdrop
5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional : mengetahui adanya
hipotensi ortostatik
6. Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi
kerusakan integritas kulit.
7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional : berguna untuk
membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas.
3. Diagnosa keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya
cedera
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang
Intervensi keperawatan :
1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas
tingkat cedera.
2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri dipengaruhi oleh;
kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih dan berbaring lama.
3. Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara
membantu mengontrol nyeri.
4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional : memfokuskan kembali perhatian,
meningkatkan rasa kontrol.

5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau
untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan istirahat.
4. Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan
gangguan persarafan pada usus dan rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Intervensi keperawatan :
1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional : bising usus mungkin
tidak ada selama syok spinal.
2. Observasi adanya distensi perut.
3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional : pendarahan
gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.
4. Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces
5. Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus
5. Diagnosa keperawatan : perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan
kelumpuhan syarat perkemihan.
Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan
Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada
Intervensi keperawatan:
1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam. Rasional : mengetahui fungsi ginjal
2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
3. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional : membantu mempertahankan fungsi
ginjal.
4. Pasang dower kateter. Rasional membantu proses pengeluaran urine
6. Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
lama
Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan
Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering

Intervensi keperawatan :
1. Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit cenderung rusak karena perubahan sirkulasi
perifer.
2. Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan: untuk mengurangi penekanan kulit
3. Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit
4. Jagalah tenun tetap kering. Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit
5. Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan : Rasional : meningkatkan sirkulasi sistemik&
perifer, menurunkan tekanan pada kulit serta mengurangi kerusakan kulit.

askep trauma spinal


A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. ANATOMI FISIOLOGI
Medula spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu yang keluar dari hemisfer serebral
dan memberikan tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti kulit dan otot.
Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari (Smeltzer,S.C, 2002). Medulla spinalis
berfungsi sebagai pusat reflek spinal dan juga sebagai jaras konduksi impuls dari atau ke otak.
Medula spinalis terdiri dari :
a.

Substansia alba (serabut saraf bermielin)


Berfungsi sebagai jaras konduksi impuls aferen dan eferen antara berbagai tingkat medulla
spinalis dan otak.

b. Substansia grisea (jaringan saraf tak bermielin)


Merupakan tempat integrasi reflek-reflek spinal. Pada penampang melintang , substansia grisea
tampak menyerupai huruf H kapital. Bagian depan disebut kornu anterior atau kornu ventralis,
sedangkan bagian belakang disebut kornu posterior atau kornu dorsalis.

Kornu ventralis terutama terdiri dari badan sel dan dendrit neuron-neuron motorik eferen
multipolar dari radiks ventralis dan saraf spinal. Sel kornu ventralis atau lower motor neuron
biasanya dinamakan jaras akhir bersama karena setiap gerakan baik yang berasal dari korteks
motorik serebral, ganglia basalis atau yang timbul secara reflek dari reseptor sensorik , harus
diterjemahkan menjadi suatu kegiatan atau tindakan melalui struktur tersebut.

Kornu dorsalis mengandung badan sel dan dendrit asal serabut-serabut sensorik yang akan
menuju ke tingkat SSP lain sesudah bersinaps dengan serabut sensorik dari saraf-saraf sensorik.
Substansia grisea juga mengandung neuron-neuron internunsial atau neuron asosiasi, serabut
aferen dan eferen system saraf otonom , dan akhir akson-akson yang berasal dari berbagai
tingkatan SSP
(Price & Wilson, 1995)
Saraf-saraf spinal
Medula spinalis tersusun dari 33 segmen yaitu 7 segmen servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral
dan 5 segmen koksigius. Medula spinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal ; masing-masing
segmen mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh.
Kolumna Vertebra
Kolumna vertebral melindungi medula spinalis, memungkinkan gerakan kepala dan tungkai, dan
menstabilkan struktur tulang untuk ambulasi. Vertebra terpisah oleh potongan-potongan kecuali
servikal pertama dan kedua, sakral dan tulang belakang koksigius. Masing-masing tulang
belakang mempunyai hubungan dengan ventral tubuh dan dorsal atau lengkungan saraf, dimana
semua berada di bagian posterior tubuh. Seterusnya lengkungan saraf terbagi dua yaitu pedikel
dan lamina. Badan vertebra, arkus saraf, pedikel dan lamina semuannya berada di kanalis
vertebralis.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut:

a.

Vertebra Servikalis
Vertebra servikalis adalah yang paling kecil. Kecuali yang pertama dan kedua yang berbentuk
istimewa, maka ruas tulang leher pada umumnya mempunyai ciri: badannya kecil dan persegi
panjang, lebih panjang dari samping ke samping daripada dari depan ke belakang, lengkungnya
besar. Prosesus spinosus di ujungnya memecah dua atau bifida. Vertebra cervikalis kedua (axis)
ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Vertebra servikalis ke tujuh disebut prominan
karena mempunyai prosessus spinosus paling panjang.

b. Vertebra Thorakalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas ke bawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12
buah yang membentuk bagian belakang thorak.
c.

Vertebra Lumbalis

Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang
membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurannya sehngga
pergerakannya lebih luas ke arah fleksi.
d. Os Sacrum
Terdiri dari 5 sakrum yang membentuk sacrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebra ini
rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
e.

Os Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter yang
bergabung menjadi satu.
Traktus Spinalis
Substansia alba membentuk bagian medulla spinalis yang besar dan dapat terbagi menjadi tiga
kelompok serabut-serabut disebut traktus atau jaras, yaitu:

a.

Traktus posterior
Menyalurkan sensasi, persepsi terhadap sentuhan, tekanan, getaran, posisi dan gerakan pasif
bagian-bagian tubuh. Sebelum menjangkau daerah korteks serebri, serabut-serabut ini menyilang
ke daerah yang berlawanan pada medulla oblongata.

b. Traktus spinotalamus
Serabut-serabut segera menyilang ke sisi yang berlawanan dan masuk medulla spinalis dan naik.
Bagian ini bertugas mengirim impuls nyeri dan temperatur ke thalamus dan korteks serebri.
c.

Traktus lateral (piramidal, kortikospinal)


Menyalurkan impuls motorik ke sel-sel tanduk anterior dari sisi yang berlawanan di otak.
Serabut-serabut desenden merupakan sel-sel saraf yang didapat pada daerah sebelum pusat
korteks. Bagian ini menyilang di medulla oblongata yang disebut piramida.

1. DEFINISI
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervikalis, vertebralis dan lumbalis akibat
trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan seterusnya
( Arifin, 1997).
Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena trauma spinal cord atau tekanan pada
spinal cord karena kecelakaan.

Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan
pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).
Vertebra yang seringkali terkena dalam cedera medulla spinalis adalah servikal ke-5, ke-6,
torakal ke-12, dan lumbal ke-1. Vertebra ini lebih mudah terserang karena terdapat rentang
mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebra dalam area tersebut (Buaghman & Hackley,
2000: 87).
2. PATOFISIOLOGI
Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang , jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan olahraga, mengakibatkan patah tulang belakang; paling banyak cervikalis dan
lumbalis. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi,
sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang,
laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, blok saraf parasimpatis, pelepasan
mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan
hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum, kandung kemih.Bila hemoragik terjadi pada
daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradural, subdural atau daerah
subarachnoid pada kanal spinal. Segera setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cidera,
serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi terganggu. Tidak hanya ini saja
yang terjadi pada cedera pembuluh darah medulla spinalis, tetapi proses patogenik dianggap
menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder
kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemoragi.
1. ETIOLOGI
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak kord
spinal serta kauda ekuina. Di bidang olahraga, tersering karena menyelam pada air yang sangat
dangkal (Pranida, Iwan Buchori, 2007).
Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan
kecelakaan olahraga (Arifin, 1997)
1. MANIFESTASI KLINIS
a.

Nyeri akut pada belakang leher yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
Bila penderita sadar, pasti ada nyeri pada bagian tulang belakang yang terkena. Masalahnya
adalah bahwa cukup sering ada cedera kepala (penderita tidak sadar), atau ada cedera yang lain

seperti misalnya patah tulang paha, yang jauh lebih nyeri dibandingkan nyeri pada tulang
belakangnya.
b. Paraplegia
c.

Tingkat neurologis :

Paralisis sensorik dan motorik total di bawah tingkat neurologis

Kehilangan kontrol kandung kemih dan usus (biasanya dengan retensi urine dan distensi
kandung kemih)

Kehilangan kemampuan berkeringat dan tonus vasomotor di bawah tingkat neurologis

Reduksi tekanan darah yang sangat jelas akibat kehilangan tahanan vaskular perifer.

d. Masalah pernapasan :

Yang berhubungan dengan gangguan fungsi pernapasan ; keparahan bergantung pada tingkat
cidera

Gagal napas akut mengarah pada kematian pada cidera medulla servikal tinggi.
( Baughman & Hackley, 2000: 87)

2. PEMERIKSAAAN DIAGNOSTIK
a.

Sinar X spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cidera tulang (fraktur, dislokasi), untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.

b. Skan CT untuk menentukan tempat luka /jejas, mengevaluasi gangguan structural.


c.

MRI untuk mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal , edema dan kompresi.

d.

Mielografi untuk memperlihatkan koumna spinalis (kanal vertebral) jika factor patologisnya
tidak jelas atau dicurigai adanya dilusi pada ruang sub arachnoid medulla spinalis (biasanya tidak
dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).

e.

Foto rontgen torak , memperlihatkan keadaan paru (contoh: perubahan pada diafragma,
atelektasis).

f.

Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume inspirasi maksimal
khususnya pada pasien dengan trauma servikal bagian bawah atau pada trauma torakal dengan
gangguan pada saraf frenikus / otot interkostal.

g. GDA unutk menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.


(Doengoes, 1999 : 339-340).

3. PENATALAKSANAAN
a.

Penatalaksanaan kegawatdaruratan

Proteksi diri dan lingkungan, selalu utamakan A-B-C

Sedapat mungkin tentukan penyebab cedera (tabrakan mobil frontal tanpa sabuk
pengaman,misalnya)

Lakukan stabilisasi dengan tangan untuk menjaga kesegarisan tulang belakang.

Kepala dijaga agar tetap netral, tidak tertekuk ataupun mendongak.

Kepala dijaga agar tetap segaris, tidak menengok ke kiri atau kanan.

Posisi netral-segaris ini harus tetap selalu dan tetap dipertahankan, walaupun belum yakin
bahwa ini cedera spinal. Anggap saja ada cedera spinal (dari pada penderita menjadi lumpuh)

Posisi netral : kepala tidak menekuk (fleksi),atau mendongak (ekstensi)

Posisi segaris : kepala tidak menengok ke kiri atau kanan.

Pasang kolar servikal, dan penderita di pasang di atas Long Spine Board

Periksa dan perbaiki A-B-C

Periksa akan adanya kemungkinan cedera spinal

Rujuk ke RS

Penatalaksanaan langsung pasien di tempat kejadian kecelakaan sangat penting. Penanganan


yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dan penurunan fungsi neurologis.

Pertimbangkan setiap korban kecelakaan sepeda motor atau mengendarai kendaraan bermotor,
cedera olahraga kontak badan, terjatuh, atau trauma langsung ke kepala dan leher sebagai cedera
medulla spinalis sampai dapat ditegakkan.

Di tempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal (punggung), dengan kepala
dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah cedera komplit.

Salah satu anggota tim harus mengontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi dan
ekstensi kepala.

Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi dan
kesejajaran sementara papan spinal atau alat imobilisasi servikal dipasang.

Paling sedikit empat orang harus mengangkat korban dengan hati-hati ke atas papan untuk
memindahkan ke rumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak medulla spinalis

ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau memotong medulla
komplet.

Pasien harus selalu dipertahankan dalam posisi ekstensi. Tidak ada bagian tubuh yang terpuntir
atau tertekuk, juga tidak boleh pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.

b. Penatalaksanaan cedera medulla spinalis (Fase Akut)


Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medulla spinalis lebih lanjut dan untuk
mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai kebutuhan dan
pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.
Farmakoterapi : berikan steroid dosis tinggi (metilprednisolon) untuk melawan edema medula .
Tindakan Respiratori :
1. Berikan oksigen untuk mempertahankan PO arterial yang tinggi.
2. Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau ekstensi leher bila
diperlukan intubasi endotrakeal.
3.

Pertimbangkan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan lesi
servikal yang tinggi.

Reduksi dan Traksi Skeletal:


1.

Cedera medulla spinalis membutuhkan imobilisasi, reduksi dislokasi dan stabilisasi kolumna
vertebra.

2. Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal, yaitu
teknik tong/caliper skeletal atau halo-vest.
3. Gantung pemberat dengan bebas sehingga tidak mengganggu traksi.
c.

Intervensi Bedah : Laminektomi


Dilakukan bila:

Deformitas tidak dapat dikurangi dengan traksi.


Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal.
Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal.
Status neurologis mengalami penyimpangan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau
dekompres medula. (Baughman & Hackley, 2000: 88-89).

4. KOMPLIKASI

Neurogenik shock

Hipoksia

Gangguan paru-paru

Instabilitas spinal

Orthostatic hipotensi

Ileus paralitik

Infeksi saluran kemih

Kontraktur

Dekubitus

Inkontinensia blader

Konstipasi

5. PENCEGAHAN
Untuk mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah-langkah berikut perlu dilakukan:
a.

Menurunkan kecepatan berkendara

b. Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu


c.

Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda

d. Program pendidikan langsung untuk mencegah berkendara sambil mabuk


e.

Mengajarkan penggunaan air yang aman

f.

Mencegah jatuh

g. Menggunakan alat-alat pelindung dan teknik latihan.


Personel paramedis diajarkan pentingnya memindahkan korban kecelakaan mobil dari mobilnya
dengan tepat dan mengikuti metode pemindahan korban yang tepat ke bagian kedaruratan rumah
sakit untuk menghindari kemungkinan kerusakan lanjut dan menetap pada medulla spinalis

TRAUMA TULANG BELAKANG


A. PENGERTIAN
Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke
selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12
buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus
intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot
ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan
memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai
pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan
mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga
dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang
vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).
B. ETIOLOGI
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
3. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam,
dll)

4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra


5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
(Harsono, 2000).

C. PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari
ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina
Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla
spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena
fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat
menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut whiplash/trauma indirek.
Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang
belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun
torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat
kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi,
menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi,
tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami
medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap
tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio
medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang
ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar
pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara
makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan
pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang
secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan
/menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla
spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,
hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah perdarahan dlam

medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma


ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh
terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis
terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis
vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler
traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip
diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan
sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis
vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat
tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat
mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan
yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia
radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang
belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler
dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan
menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
D. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi.kerusakan meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya
fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock
spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang
karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa ini umumnya
berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah kelumpuhan
flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung
kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali,
akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom,
berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta
gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi (Price &Wilson (1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik
dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua

sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya
terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi
mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum
flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang
berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak
sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper
ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas
atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak
terganggu (Aston. J.N, 1998).
Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia
perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal
dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
(Tucker,Susan Martin . 1998)
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pembagian trauma atau fraktur tulang belakang secara umum:
1. Fraktur Stabil
a. Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
b. Burst fraktur
c. Extension
2. Fraktur tak stabil
a. Dislokasi
b. Fraktur dislokasi
c. Shearing fraktur
Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu tulang
belakang tegak. Menurut percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2

dapat mengakibatkan fraktur tulang belakang. Daerah yang paling sering kena
adalah daerah yang mobil yaitu VC4.6 dan Th12-Lt-2.
Perawatan:
1. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita
akan sembuh..
2. Fraktur dengan kelainan neorologis.
Fase Akut (0-6 minggu)
a. Live saving dan kontrol vital sign
b. Perawatan trauma penyerta
Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
Perawatan trauma lainnya.
c. Fraktur/Lesi pada vertebra
1) Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)
Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus,
terutama simple kompressi.
2) Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika
dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:
- Laminektomi
mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis,
menghilangkan kompresi medulla dan radiks.
- fiksasi interna dengan kawat atau plate
- anterior fusion atau post spinal fusion
3) Perawatan status urologi
Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek
bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut
dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan cara
penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih
kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan
reflek detrusor dapat kembali.
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
b) Manuver crede

c) Ransangan sensorik dan bagian dalam paha


d) Gravitasi/ mengubah posisi
4) Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya
vaskularisasi didaerah tersebut.
Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena
wishplash Injury yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan
pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post
trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
1) Dislokasi feset >50%
2) Loss of paralelisine dan feset.
3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
5) Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed
reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada
kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah
mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan
spinal cord.
Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis
Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan
terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat
segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita
sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan
memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh
hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah
tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.
G. KOMPLIKASI (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan
yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.

2. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan
mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit
diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan
membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
3. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini
diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
4. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu
lama dari proses penyembuhan fraktur.
5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi
karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat
pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate,
paku pada fraktur.
6. Emboli lemak
7. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
8. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan
untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika
tidak ditangani segera.
H. PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien dengan trauma tulang belakang meliputi:
a. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
b. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
c. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
peristaltik hilang
d. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri
e. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid,
Hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi

pupil, ptosi
h. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan
Mengalami deformitas pada daerah trauma
i. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan : suhu yang naik turun
(Carpenito (2000), Doenges at al (2000))
H. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul (Carpenito (2000), Doenges at al
(2000))
1. Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot diafragma
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelumpuhan
3. Nyeri akut b.d adanya cedera
4. Konstipasi b.d gangguan persarafan pada usus dan rectum.
5. Perubahan pola eliminasi urine b.d kelumpuhan saraf perkemihan
6. Kerusakan integritas kulit b.d tirah baring lama.
7. Resiko tinggi terhadap infeksi saluran kemih b.d retensi urine dan pemasangan
alat invasif

Anda mungkin juga menyukai