PENDAHULUAN
Nasopharyngeal carcinoma (NPC) merupakan kanker yang berasal dari
daerah nasofaring, yaitu daerah faring bagian atas. NPC berbeda secara signifikan
dari kanker lainnya yang ada di leher dan kepala dalam hal penyebab, manifestasi
klinis maupun pengobatannya. NPC banyak ditemukan terutama pada daerah Asia
Timur dan Afrika dengan penyebab yang masih belum jelas, namun dari penelitian
dikatakan multifaktorial, yaitu berhubungan dengan virus, lingkungan, dan
genetik.
Di Indonesia, NPC termasuk dalam 5 besar tumor ganas dengan frekuensi
tertinggi, sedangkan untuk daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama.
Penanggulangan NPC sampai saat ini masih merupakan suatu masalah. Hal ini
karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak
nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat, menyebabkan
angka kematian yang tinggi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
Rongga nasofaring. Mengandung 2 bagian yang berbeda : (1) bagian
anterior atas, dimana secara histologi, embriologi, dan morfologi berhubungan
dengan Cavum nasi, dan (2) bagian inferior posterior, dimana mirip dengan
cavum oral, keduanya merupakan struktur foregut. Nasofaring berukuran 2-3 cm
di dimensi anteroposterior dan lebih dari 3-4 cm pada dimensi vertikal dan
transversal. Terletak di belakang fossa nasalis, ditandai dengan choanae posterior.
apex petrous dan canalis carotis posterior, dan foramen ovale dan spinosum
anterolateral. Struktur anatomi dapat
Aliran limfatik
Jaringan limfa terdapat banyak di nasofaring, buktinya rata-rata sering
berada di atas dalam rantai nodus limfa cervical dekat dengan V.jugularis interna.
Daerah lateral mengalir ke nasofaring lateralm termasuk fossa Rosenmuller, dan
mengalir kedalam setengah lateral dari atas rantai juguler interna atau kedalam
nodus retrofaringeal lateral. Atrofi nodus retrofaringeal seiring dengan usia dan
biasanya mengecil pada orang dewasa. Itu merupakan rongga yang potensial
dibelakang dinding posterior dari nasofaring dan anterior dari fascia prevertebra.
Daerah lateral sering terdapat nodus tunggal atau nodus yang cukup banyak,
disebut nodus dari Rouviere. Biasanya, ndus itu tidak ada di satu sisi dan biasanya
tidak dapat diraba.
Nodus Rouviere adalah yang paling sering diliputi nodus limfa. Biasanya,
terletak didasar dari tulang dekat setinggi atlas dan mungkin bersebelahan dengan
Arteri carotid. Atas dari rantai nodus limfa cervical meliputi Vena jugularis interna
dan menerima aliran dari nodus Rouviere. Nodus keluar melalui sudut mandibula,
sebelah superior dari M.sternocleidomastoideus, dan apex dari triangel posterior.
Nodus juga berdekatan dengan jalur dari N.XI dan XII. Rantai tersebut berjalan
inferior ke anterior dari leher triangel dimana terdapat nodus jugulodigastric, yang
mana merupakan tempat yang paling penting dan tetap ada. Jalur turun sepanjang
V.jugularis interna ke bagian bawah sebelah dalam dari nodus cervical, berakhir di
persimpangan antara V.jugularis interna dengan V.subclavia di kanan dan ductus
torakikus di kiri.
2.2 Insidensi dan Prevalensi
Meskipun faktor lingkungan nampaknya juga penting, adanya frekuensi
yang tinggi dari kelompok etnik yang berbeda menunjukkan adanya agen yang
berbeda dari setiap kelompok. Tabel di bawah menunjukkan perbedaan insidensi
berdasarkan umur dan kelompok etnik.
Tabel 2.1
Insidensi
Kelompok Etnik
> 25
15 - 25
5- 15
1-5
Cina
AS)
Intermediate
Eskimo
Moderate to Low
Utara,
Polynesian,
Afrika
Tengah, Maltese
Rare
<1
Kaukasian,
India
subkontinen,
Jepang, Korea
Ras
Insidensi NPC sangat tinggi di populasi cina selatan, terutama yang asli dari
provinsi Kwantung. Campuran antara orang cina dari asia selatan dengan orang
eskimo memiliki rata-rata yang cukup tinggi terjadinya NPC. Insidensi sedang
pada orang afrika utara atau keturunan Filipina. NPC jarang pada orang kulit putih
dan orang Jepang.
Jenis kelamin
NPC lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita, dengan rasio lakilaki wanita 2-3:1. Pada penelitian tertentu didapatkan bahwa prognosis pada
wanita lebih baik daripada laki-laki, tapi pada penelitian yang lain tidak
ditemukan perbedaan antar keduanya.
Usia
Rata-rata usia terjadinya NPC yaitu antara usia 45-55 tahun. Pasien yang
berusia muda memiliki survival rates yang lebih baik daripada orang tua. 1
penelitian dari Hong Kong, secara statistik didapatkan perbedaan yang signifikan
antara 5-year survival rate pada pasien usia muda , 40 tahun dengan pasien usia 40
tahun atau lebih tua. Walau bagaimanapun, data dari Childrens Cancer Study
Group mengenai pasien usia muda < 30 tahun memperlihatkan bahwa 5-year
survival rate sekitar 51 %, dimana tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari
laporan-laporan yang telah ada.
2.3 Histopatologi
Sel epitel yang ganas pada NPC adalah sel poligonal yang besar dengan
karakter syncytial. Nukleusnya bulat atau lonjong dengan kromatin yang scanty
dan nukleoli yang distinct. Sel-sel tersebut bercampur dengan sel-sel limfoid di
nasofaring, seperti bentuk lympoepithelioma. Penelitian dengan mikroskop
elektron telah membuktikan asal squamous sel-sel tersebut, termasuk carcinoma
undifferentiated yang merupakan bentuk squamous cell carcinoma bentuk
epidermoid dengan diferensiasi yang minimal.
Klasifikasi histologi NPC yang dikemukakan oleh World Health Organization
(WHO) pada tahun 1978 mengkategorikan tumor menjadi 3 kelompok, yaitu :
Tipe I : SCC tipe keratinisasi dengan jembatan interseluler, sama seperti
yang ada pada traktus aerodigestif bagian atas
Tipe II : Carcinoma epidermoid non karatinisasi. Menunjukkan adanya
matirasi tetapi tanpa diferensiasi squamous yang jelas
Tipe III: Carcinoma undifferentiated atau poorly differentiated. Sel-sel ini
telah indistinct sel-sel disekitarnya dengan nulei yang hiperkromatik
Pada Amerika Utara, hampir 25% pasien termasuk tipe I, 12% tipe II, dan
63% tipe III. Sedangkan pada Cina Selatan adalah 3%, 2%, dan 95%
Klasifikasi alternatif yaitu dengan membagi tumor menjadi 2 tipe histologi
yaitu squamous cell carcinoma dan undifferentiated carcinoma of nasopharyngeal
type (UCNT). Klasifikasi ini berdasarkan korelasi dengan serologi EBV. Pasienpasien dengan SCC mempunyai titer EBV yang rendah, sedangkan UNCT
terdapat peningkatan titer.
Di klinis, biopsi yang diambil dari pasien dengan NPC kadang-kadang
menunjukkan adanya pola histologi campuran. Klasifikasi WHO terbaru juga
asosiasi EBV sudah memasukkan pola ini. Tipe histologi NPC sekarang
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu SCC atau carcinoma nonkeratinisasi ,
dengan kelompok kedua dibagi menjadi differentiated dan undifferentiated
carcinoma. Klasifikasi baru ini juga telah menunjukkan mempunyai prognostic
bearing, dimana carcinoma undifferentiated mempunyai respon yang baik dengan
raditerapi, dan insidensi yang tinggi terjadinya metastasis.
titer antibodi IgG dan IgA terhadap EBV dan antigen kapsid virus. Sejak saat itu,
banyak
penelitian
menunjukkan
bahwa
pada
semua
kasus
NPC
tipe
Gambar
Beberapa sistem genetik telah diselidiki pada pasien-pasien dengan NPC.
Pada populasi Cina Selatan didapatkan hubungan yang kuat antara antigen HLA
lokus A dan B. Di US, dilakukan penelitian mengenai hubungan antara NPC
dengan antigen HLA-A, B, C, dan lokus DQ dan alel pada lokus DRB1.
Ditemukan hubungan yang signifikan dengan antigen A2 pada non-Chinese, A11
pada semua ras, dan peningkatan resiko pada bangsa kaukasian dengan antigen
B5.
Penelitian molekular genetik menjelaskan adanya kehilangan materi
genetik yang tidak merata dan konsisten pada daerah kromosom 3p, 9p, 11q, dan
14q. Diperkirakan, kehilangan alel atau delesi homozygous pada daerah
kromosom yang spesifik menunjukkan adanya gen supresor tumor. Hal ini dapat
mengindikasikan kemungkinan gen supresor tumor yang multipel berperan dalam
patogenesis NPC. Salah satu kunci peristiwa genetik molekular yang diidentifikasi
pada NPC primer adalah delesi homozygous dan penyimpangan methylation gen
p16 dan p15 yang dipetakan pada kromosom 9p21. Gen-gen ini adalah gen
Penyebaran
Penyebaran Ca nasopharinx sering berhubungan dengan lokasi primernya.
Tumor midline sering menyebar secara bilateral. Ketika tumor lateral membesar,
tumor dapat melewati garis tengah. Lalu setelahnya dapat menyebar ke nodus
limfe. Tumor sering tumbuh berkembang di dalam lumen dan meluas ke orbita,
sinus maxilaris, cavum nasal, dan palatum lunak. Rute tersering dari penyebaran
tumor adalah sepanjang jalur limfatik ke nodus Rouviere. Perluasan langsung
kedalam ruang retropharingeal, dengan kerusakan dari aspek lateral atlas dapat
terjadi.
Invasi parapharingeal merupakan hasil kelainan sistem neurologis. Sakit
yang disebabkan keterlibatan serat sensoris nervus trigeminal mendahului
keterlibatan serat motorisnya. Palatum lunak dapat menjadi asimetris jika otot
levator veli palatini terlibat. Asimetri fasial karena keterlibatan nervus fasialis
jarang terjadi. Trismus terjadi karena invasi langsung dari otot pterygoid medial
dan lateral. Jika tumor menginfiltrasi otot pterygoid, fossa infratemporal juga
beresiko terkena. Invasi tumor ke otot pterygoid dapat mengenai sinus maxilaris
dan orbita.
Metastatis site
Frequency (%)
Bones
41
Lungs
30
Liver
Brain
Others
tumor kedalam palatum mencetuskan sakit pada telinga kerena keterlibatan dari
nervus trigeminus. Invasi dapat sampai di parotis dan glandula submandibula.
Tumor dapat menyebar intrakranial dari fossa Rosenmuller dan dari erosi dasar
tengkorak.
Tumor dapat mengikuti arteri karotis interna melalui foramen laserum ke
sinus kavernosus. Yang dapat bergejala opthalmoplegia karena keterlibatan N III,
IV dan VI dan baal di fasial karena keterlibatan N.V. Invasi dari pembuluh darah
besar menyebabkan gejala kompresi dengan trombosis atau ruptur. Keterlibatan
telinga dalam jarang terjadi tetapi dapat terjadi menyertai invasi tulang petrosus.
2.5 Staging
The Union Internationale Contre le Cancer (UICC) dan American Joint
Committee on Cancer (AJCC) telah menegakan klasifikasi TNM ca nasopharinx,
yaitu tumor primer, nodus limfe regional, dan metastasis jauh. Sistem staging
yang dikembangkan Ho digunakan lebih sering daripada TNM di Asia Selatan.
Pada tahun 1993, UICC dan AJCC bekerjasama unutk mengembangkan
klasifikasi staging relevan. Edisi kelima dari klasifikasi TNM dipublikasikan oleh
UICC dan AJCC pada 1977, menampilkan revisi lengkap dari klasifikasi staging.
Edisi ketujuh dipublikasikan pada tahun 2002.
Klasifikasi AJCC/UICC adalah:
N3a - > 6 cm
M1 metastasis jauh
AJCC/UICC stages:
Stage IIB
T1, N1, M0
T2, N1, M0
T2a, N1, M0
T2b, N0, M0
T2b, N1, M0
Stage III
o
T1, N2, M0
T2a, N2, M0
T2b, N2, M0
T3, N0, M0
T3, N1, M0
T3, N2, M0
Stage IVA
o
T4, N0, M0
T4, N1, M0
T4, N2, M0
adanya
kelumpuhan
sistem
saraf,
dengan
keterlibatan
ryang
Gejala Dini
NPC merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, sehingga
diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk
menurunkan angka kematian. Penting mengetahui gejala dini CNP dimana tumor
masih terbatas di rongga nasofaring
Gejala Telinga :
1. Kataralis / oklusi tuba Eustachius
Pada umumnya tumor bermula di fossa Rosenmuller, pertumbuhan tumor
dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba. Pasien mengeluh rasa
penuh di telinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan
gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari
NPC. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa
penyebab yang jelas.
2. Otitis media serosa sampai perforasi dengan gangguan pendengaran
Gejala Hidung :
1. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat terjadi
perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, biasanya
jumlahnya sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah
jambu.
2. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke
dalam rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek
kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya
ingus kental
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit
ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan
lain sebagainya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita
radang. Namun, jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpa penyebab yang jelas,
atau menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan
segera melakukan pemeriksaan yang lebih teliti terhadap rongga nasofaring,
sampai terbukti bukan NPC penyebabnya.
Gejala Lanjut
Limfadenopati servikal
Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe leher
dan tertahan disana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama
agar sel-sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh.
Di dalam kelenjar ini, sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar
menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan
ini tidak dirasakan nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selajutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit
digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.
Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang
ke dokter.
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
1.
Perluasan ke atas
-
Jalur menuju rongga mata berawal dari posterior fossa nasal melalui selsel di ethmoid atau berjalan di sepanjang saraf cranial ke dalam mata
sebelum masuk ke sinus cavernosus. Invasi ke sinus cavernosus terjadi
karena jalur tumor melalui foramen lacerum, dimana sering menimbulkan
pengurangan jumlah saraf cranial multiple. Diantaranya kehilangan N.VI,
III, V1, V2, dan IV dan yang diakibatkan oleh invasi tumor ke fissura
orbita superior (N. III, IV, V1, dan VI), foramen rotundum (N.V2), dan
foramen ovale (N.III). yang paling sering mengalami defisit adalah
oftalmoplegia (N.VI), ptosis (N.III), dan rasa nyeri dan baal di supraorbital
dan superior maxilla (N.V1 diikuti N.V2). Oftalmoplegia komplit terjadi
akibat keterlibatan N.III, IV, dan VI. Metastasis dari nodus parafaringeal
dapat menekan dari saraf cranial posterior, seperti, N.IX, X, XI, dan XII.
Tumor pada fossa Rosenmuller dapat langsung menginvasi saraf-saraf ini
karena saraf tersebut keluar dari dasar tulang ke ruang parafaringeal.
-
Sindrom petrosfenoid terjadi jika semua saraf grip anterior terkena. Tanda
khas adalah terjadinya :
Oftalmoplegia unilateral
Amaurosis
2.
Perluasan ke belakang
-
N. IX
serta
belakang lidah
gangguan
pengecap
pada sepertiga
N. X
N. XI
: Kelumpuhan
atau
atrofi
otot-otot
trapezius,
N. XII
menunjukkan
regenerasi
setelah
terapi,
dimana
hal
ini
Gambar endoskop yang dimasukkan melalui cavum nasi kiri dan tumor tampak pada
nasofaring.
Pada kasus deviasi septum, endoskop dimasukan melalui cavum nasal yang
bersangkutan juga dapat memberikan gambaran tumor yang adekuat. Endoskop
tersebut dimasukkan ke belakang palatum mole sehingga memberikan gambaran atap
nasofaring dan kedua tuba Eustachii.
persisten
atau
rekuren,
pada
sumber
penanganan
radiasi
Ca
langsung
menerima
dosis
yang
lebih
kecil.
Intracavitary
palatal flap.
Nasopharyngectomy
Bila tumor persisten atau rekuren pada Nasofaring telah meluas ke
ruang paranasofaringeal atau tumor tersebut terlalu besar untuk
dilakukan
brachytheraphy,
maka
pilihan
selanjutnya
adalah
inferior
melalui
transpalatal,
transmaxilla
dan
Kematian akibat
metode ini secara umum rendah dan dapat diterima. Beberapa pasien
mengalami trismus setelah operasi.
d. Metastasis jauh
Sebagian besar penanganan yang efektif untuk pasien Ca Nasofaring dengan
metastasis jauh adalah dengan menggunakan kombinasi kemoterapi dengan
cisplastin. Cisplastin dan 5FU merupakan terapi standar. Tujuan terapi pada
dasarnya adalah paliatif. Kombinasi yang lebih intensif rata-rata memberikan
respon yang lebih baik tetapi biasanya juga disertai dengan peningkatan
toksisitas.
e. Kemungkinan Terapi di Masa Mendatang
Terapi gen telah dilaporkan dapat meningkatkan sitotoksisitas melalui
apoptosis. Pendekatan imunoterapi termasuk terapi augmentasi sitotoksik
limfosit T dan adoptive transfer of autologous EBV-specific cytotoxic T cells
juga telah dilaporkan.
2.9 Pencegahan
Tidak ada pencegahan yang pasti terhadap Ca Nasofaring. Namun demikian
dapat dilakukan usaha untuk mengurangi resiko terjadinya kelainan tersebut.
Misalnya dengan membatasi konsumsi garam dan makanan yang diawetkan atau
menghindari kedua makanan tersebut. Di China dimana orang-orang sudah mulai
menggunakan makanan tipe Amerika, maka insidensi Ca Nasofaring sudah menurun.
Meskipun tidak terdapat vaksin untuk mencegah Ca Nasofaring, para peneliti
berharap bahwa suatu saat mereka dapat mengembangkan suatu vaksin untuk
Epstein-Barr virus, sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya Ca Nasofaring.
2.10 Komplikasi
Terapi radiasi untuk Ca Nasofaring memerlukan pemberian energi yang tinggi
untuk volume leher dan basis kranial yang luas; hal ini menyebabkan terjadinya
komplikasi. Glandula salivatorius merupakan organ yang sering terpengaruh karena
tidak dapat mentoleransi lebih dari 3.500 cGy. Xerostomia merupakan efek samping
yang paling sering terjadi akibat terapi radiasi. Gangguan aliran saliva menyebabkan
gangguan pada buffer asam, kalsium dan pembilasan mulut yang merupakan
mekanisme dasar untuk melindungi gigi dari terbentuknya karies. Oleh karena itu,
semua pasien memerlukan evaluasi pada giginya sebelum pemberian terapi radiasi.
Disfungsi tuba Eustachii sering terjadi secara sekunder akibat fibrosis nasofaring post
radiasi. Karena adanya mekanisme obstruksi, maka otitis media serosa yang terjadi
biasanya persisten terhadap terapi konservatif seperti dengan pemberian antibiotik.
Sering kali diperlukan pemasangan tympanotomy tube; karena sering terjadi otorrhoe
persisten, perlu dilakukan observasi sebelum dilakukan pemasangan tube.
Trismus, rasa tidak nyaman, dan indurasi pada leher dan neuropati nervus
kranial IX, X, XI, dan XII sering terjadi akibat radiasi dosis tinggi. Sebagian besar
komplikasi yang berat akibat terapi radiasi seperti nekrosis lobus temporal dan
myelitis terjadi karena kurangnya perlindungan atau kesalahan perhitungan dosis
terhadap jaringan sekitarnya dan untungnya, hal ini sangat jarang terjadi karena
perencanaan terapi yang baik, penggunaan pelindung dan penggunaan radiation port
films selama terapi telah dilakukan secara rutin. Beberapa komplikasi yang lain adalah
hipopituitari, hipotiroid, neuritis optikus dan retinopati radiasi.
Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa lebih dari 30% pasien yang
menerima kemoterapi dengan cisplastin disertai terapi radiasi mengalami tuli
sensorineural. Terapi radiasi yang hati-hati akan mengurangi resiko terjadinya
komplikasi tersebut.
Pembedahan yang mendekati basis kranial dapat mengenai nervus kranial,
terutama karena tumor yang akan dilakukan pembedahan telah menginvasi atau
berada disekitar beberapa nervus kranial. Pendekatan transmaxilla terhadap
nasofaring menyebabkan insidensi terjadinya fistula palatal sebesar 25%, sehingga
diperlukan terapi pembedahan.
2.11Prognosis
Prognosis pasien dengan Ca Nasofaring tergantung pada staging dari tumor, tipe
Ca Nasofaring, ukuran tumor dan umur serta kesehatan pasien 2. 5-years survival rate
untuk stadium I 76,9%, stadium II 56%, stadium III 38,4% dan untuk stadium IV
16,4% (UI). 5-years survival rate untuk Ca Nasofaring tipe nonkeratizing dan
undifferentiated dengan terapi yang tepat adalah sekitar 65%. Pengobatan sangat
mungkin dilakukan bahkan jika kelainan telah menyebar ke kelenjar limfe regional.
Sedangkan prognosis untuk Ca Nasofaring tipe keratizing lebih buruk, karena lebih
resisten terhadap radiasi4.
BAB III
KESIMPULAN
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan
penunjang
seperti
misalnya
pemeriksaan
serologi,
pencitraan,
Neck mass(es)
Persistent SOM
Nasal bleeding/obstruction
Headache
Cranial Nervus palsy
Clinical suspicion
Especially in
ethnically predisposed
populations
Physical exam
Nasal endoscopy
NP lesion found
No NP lesion found
Neck node(s) present
FNA node
Bx
Cytology +
Pathology +
Cytology
CT/MRI
NP Abnormal
NP normal
EUA & Bx
Path (-)
Path +
Staging work-up
- CT/MRI (head & neck)
- Blood work
T1-3 NO
CXR
T4 and/or N1-3
- CT chest upper abdomen
- Bone scan
EBV ()
Proceed as
for unknown
primary
Daftar Pustaka
1.
2.
Chan A.T., Teo P.M & Johnson P.J. 2004. Nasopharyngeal Cancer. In
Head and Neck Cancer. Eds Brockstein B., Masters G. USA : Kluwer Academic
Publishers. Page 278.
3.
4.
Lalwani A.K. 2007. Benign & Malignant Lesions of The Oral Cavity
& Oropharynx. In Curnet Diagnosis & Treatment : Otolaryngology Head and
Neck Surgery. 2nd edition. New York : Mc Graw Hill. Chapter 22.
5.
6.
Peters L.J et al. 2004. Cancer of The Nasopharynx. In Head and Neck
Cancer. 2nd edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins. Page : 529 545.
7.
Anonymous.
2008.
Nasopharyngeal
Carcinoma.
9.