Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
Nasopharyngeal carcinoma (NPC) merupakan kanker yang berasal dari
daerah nasofaring, yaitu daerah faring bagian atas. NPC berbeda secara signifikan
dari kanker lainnya yang ada di leher dan kepala dalam hal penyebab, manifestasi
klinis maupun pengobatannya. NPC banyak ditemukan terutama pada daerah Asia
Timur dan Afrika dengan penyebab yang masih belum jelas, namun dari penelitian
dikatakan multifaktorial, yaitu berhubungan dengan virus, lingkungan, dan
genetik.
Di Indonesia, NPC termasuk dalam 5 besar tumor ganas dengan frekuensi
tertinggi, sedangkan untuk daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama.
Penanggulangan NPC sampai saat ini masih merupakan suatu masalah. Hal ini
karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak
nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat, menyebabkan
angka kematian yang tinggi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
Rongga nasofaring. Mengandung 2 bagian yang berbeda : (1) bagian
anterior atas, dimana secara histologi, embriologi, dan morfologi berhubungan
dengan Cavum nasi, dan (2) bagian inferior posterior, dimana mirip dengan
cavum oral, keduanya merupakan struktur foregut. Nasofaring berukuran 2-3 cm
di dimensi anteroposterior dan lebih dari 3-4 cm pada dimensi vertikal dan
transversal. Terletak di belakang fossa nasalis, ditandai dengan choanae posterior.

Gambar 2.1 Anatomi Faring


Dasar tulang, khususnya, Clivus dan 2 corpus vertebra yang pertama,
membentuk batas tulang posterior. Aspek lateral dari rongga diapit oleh fascia
faringeal dan mukosa, dimana juga membentuk batas tulang posterior. Rongga
orofaring terletak di sebelah bawah nasofaring, dan palatum molle berbatasan
dengan sisi anterior inferior. Batas superior dengan dinding posterior dan
merupakan letak dari banyaknya jaringan limfoid pada anak, dimana biasanya
menghilang seiring bertambahnya umur. Bila jaringan limfoid (adenoid tonsil)
menetap pada orang dewasa muda, mungkin keliru dengan tumor selama
pemeriksaan. Rongga tersebut, tidak mengandung banyak barrier alami untuk

terjadinya penjalaran dan pertumbuhan, namun banyak struktur yang penting


disekitarnya. Penjalaran yang alami dari batas ini memiliki kontribusi terhadap
jalur penyebaran dan menimbulkan banyak sekali keluhan.

Identifikasi struktur anatomi yang normal dapat dilihat dengan pemeriksaan


termasuk dari tuba eustachii di dinding lateral. Ujung tuba merupakan suatu
kartilago yang menekan mukosa keluar membentuk suatu benjolan; torus tubarius;
dan rongga kosong, dinamakan fossa Rosenmuller.
Gambaran dari fossa Rosenmuller sangatlah rumit, namun sangat penting
karena merupakan lokasi utama dari NPC. Batas fossa adalah tuba eustachia
anterior, M. Levator veli palatini anterolateral, rongga retropharingeal posterior,
bagian atas dari M. Constrictor inferior, dan tensor M.veli palatini dan rongga
faring lateral. Batas superior adalah dasar tulang dengan foramen lacerum medial,

apex petrous dan canalis carotis posterior, dan foramen ovale dan spinosum
anterolateral. Struktur anatomi dapat

menjelaskan dari gejala yang sering

ditemukan pada pasien dan merupakan jalur untuk direct extension.


Persarafan sensorik dari nasofaring dan posterior palatum molle berasal dari
N.IX, kecuali untuk daerah orificium tuba berasal dari cabang N.V. Terdapat saraf
kecil yang berasal dari N.IX yang terdiri dari nervus glossopharyngeal, termasuk
serat-serat dari membran timpani dimana N.IX mengikuti jalur yang sama dengan
N.petrosal besar. Jalur sensorik untuk komponen trigeminal berjalan dari atap
nasofaring sepanjang canalis palatovaginal dan menuju ganglion pterygopalatina
ke fossa pterygopalatina. Asal dari komponen motoris untuk otot-otot pharyngeal
adalah berasal dari N.accesorius yang berangkai dengan N.vagus. Lebih lanjut
persarafan otot berasal dari pleksus faringeal, campuran dari serat motorik N. IX
dan N. X.
Sisa embriologis mungkin menetap dan dapat dikelirukan menjadi kanker.
Hipofisis faring, merupakan sisa dari kantung Rathke (asal dari gland. Pituitary
anteerior), mungkin menetap di artikulasio vomerosphenoidale, menggambarkan
garis tengah submukosa antara batas posterior septum nasidan tonsil faring.
Walaupun biasanya berukuran kecil, hipofisis mungkin berukuran 10 mm. Dapat
memproduksi hormon, dan mungkin mengalami hipertropi pada wanita selama
menopause tanpa terapi sulih hormon.
2.1.1

Aliran limfatik
Jaringan limfa terdapat banyak di nasofaring, buktinya rata-rata sering

ditemukan metastasis. Tiga kelompok utama dari jalur submukosa terkumpul ke


faring, superior, tengah, dan jalur inferior. Jalur superior merupakan jalur utama
sepanjang nasofaring dengan kontribusi kecil dari jalur tengah. Jalur superior
mengalir ke orofaring, palatum molle, tuba eusthacia, dan fossa Rosenmuller,
cavum timpani, dan fossa nasal.
Jalur superior dibagi kedalam median dan lateral. Daerah medial mengalir
ke atap dan batas posterior dari nasofaring ke nodus retrofaringeal lateral. Jalur ini
mungkin menjadi jalur cepat, dimana pada kasus tertentu, nodus echelon pertama

berada di atas dalam rantai nodus limfa cervical dekat dengan V.jugularis interna.
Daerah lateral mengalir ke nasofaring lateralm termasuk fossa Rosenmuller, dan
mengalir kedalam setengah lateral dari atas rantai juguler interna atau kedalam
nodus retrofaringeal lateral. Atrofi nodus retrofaringeal seiring dengan usia dan
biasanya mengecil pada orang dewasa. Itu merupakan rongga yang potensial
dibelakang dinding posterior dari nasofaring dan anterior dari fascia prevertebra.
Daerah lateral sering terdapat nodus tunggal atau nodus yang cukup banyak,
disebut nodus dari Rouviere. Biasanya, ndus itu tidak ada di satu sisi dan biasanya
tidak dapat diraba.
Nodus Rouviere adalah yang paling sering diliputi nodus limfa. Biasanya,
terletak didasar dari tulang dekat setinggi atlas dan mungkin bersebelahan dengan
Arteri carotid. Atas dari rantai nodus limfa cervical meliputi Vena jugularis interna
dan menerima aliran dari nodus Rouviere. Nodus keluar melalui sudut mandibula,
sebelah superior dari M.sternocleidomastoideus, dan apex dari triangel posterior.
Nodus juga berdekatan dengan jalur dari N.XI dan XII. Rantai tersebut berjalan
inferior ke anterior dari leher triangel dimana terdapat nodus jugulodigastric, yang
mana merupakan tempat yang paling penting dan tetap ada. Jalur turun sepanjang
V.jugularis interna ke bagian bawah sebelah dalam dari nodus cervical, berakhir di
persimpangan antara V.jugularis interna dengan V.subclavia di kanan dan ductus
torakikus di kiri.
2.2 Insidensi dan Prevalensi
Meskipun faktor lingkungan nampaknya juga penting, adanya frekuensi
yang tinggi dari kelompok etnik yang berbeda menunjukkan adanya agen yang
berbeda dari setiap kelompok. Tabel di bawah menunjukkan perbedaan insidensi
berdasarkan umur dan kelompok etnik.
Tabel 2.1
Insidensi

Kelompok Etnik

> 25

Cina Selatan indigenous

15 - 25

Cina Selatan emigran (Singapura,

5- 15

Asia Selatan non-Chinese, Arab,

1-5

Cina

AS)
Intermediate
Eskimo
Moderate to Low

Utara,

Polynesian,

Afrika

Tengah, Maltese
Rare

<1

Kaukasian,

India

subkontinen,

Jepang, Korea
Ras
Insidensi NPC sangat tinggi di populasi cina selatan, terutama yang asli dari
provinsi Kwantung. Campuran antara orang cina dari asia selatan dengan orang
eskimo memiliki rata-rata yang cukup tinggi terjadinya NPC. Insidensi sedang
pada orang afrika utara atau keturunan Filipina. NPC jarang pada orang kulit putih
dan orang Jepang.
Jenis kelamin
NPC lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita, dengan rasio lakilaki wanita 2-3:1. Pada penelitian tertentu didapatkan bahwa prognosis pada
wanita lebih baik daripada laki-laki, tapi pada penelitian yang lain tidak
ditemukan perbedaan antar keduanya.
Usia
Rata-rata usia terjadinya NPC yaitu antara usia 45-55 tahun. Pasien yang
berusia muda memiliki survival rates yang lebih baik daripada orang tua. 1
penelitian dari Hong Kong, secara statistik didapatkan perbedaan yang signifikan
antara 5-year survival rate pada pasien usia muda , 40 tahun dengan pasien usia 40
tahun atau lebih tua. Walau bagaimanapun, data dari Childrens Cancer Study
Group mengenai pasien usia muda < 30 tahun memperlihatkan bahwa 5-year
survival rate sekitar 51 %, dimana tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari
laporan-laporan yang telah ada.

2.3 Histopatologi
Sel epitel yang ganas pada NPC adalah sel poligonal yang besar dengan
karakter syncytial. Nukleusnya bulat atau lonjong dengan kromatin yang scanty
dan nukleoli yang distinct. Sel-sel tersebut bercampur dengan sel-sel limfoid di
nasofaring, seperti bentuk lympoepithelioma. Penelitian dengan mikroskop
elektron telah membuktikan asal squamous sel-sel tersebut, termasuk carcinoma
undifferentiated yang merupakan bentuk squamous cell carcinoma bentuk
epidermoid dengan diferensiasi yang minimal.
Klasifikasi histologi NPC yang dikemukakan oleh World Health Organization
(WHO) pada tahun 1978 mengkategorikan tumor menjadi 3 kelompok, yaitu :
Tipe I : SCC tipe keratinisasi dengan jembatan interseluler, sama seperti
yang ada pada traktus aerodigestif bagian atas
Tipe II : Carcinoma epidermoid non karatinisasi. Menunjukkan adanya
matirasi tetapi tanpa diferensiasi squamous yang jelas
Tipe III: Carcinoma undifferentiated atau poorly differentiated. Sel-sel ini
telah indistinct sel-sel disekitarnya dengan nulei yang hiperkromatik
Pada Amerika Utara, hampir 25% pasien termasuk tipe I, 12% tipe II, dan
63% tipe III. Sedangkan pada Cina Selatan adalah 3%, 2%, dan 95%
Klasifikasi alternatif yaitu dengan membagi tumor menjadi 2 tipe histologi
yaitu squamous cell carcinoma dan undifferentiated carcinoma of nasopharyngeal
type (UCNT). Klasifikasi ini berdasarkan korelasi dengan serologi EBV. Pasienpasien dengan SCC mempunyai titer EBV yang rendah, sedangkan UNCT
terdapat peningkatan titer.
Di klinis, biopsi yang diambil dari pasien dengan NPC kadang-kadang
menunjukkan adanya pola histologi campuran. Klasifikasi WHO terbaru juga
asosiasi EBV sudah memasukkan pola ini. Tipe histologi NPC sekarang
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu SCC atau carcinoma nonkeratinisasi ,
dengan kelompok kedua dibagi menjadi differentiated dan undifferentiated
carcinoma. Klasifikasi baru ini juga telah menunjukkan mempunyai prognostic
bearing, dimana carcinoma undifferentiated mempunyai respon yang baik dengan
raditerapi, dan insidensi yang tinggi terjadinya metastasis.

2.4 Patofisiologi dan Etiologi


Banyak penelitian yang menghubungkan terjadinya NPC dengan adanya
infeksi oleh Epstein-Barr virus (EBV). Kaitan antara virus ini dan konsumsi ikan
asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut
dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini
dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara
terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang
dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan NPC.
EBV terdapat pada manusia dan antibodi terhadap polipeptida virus
didapatkan pada 80% lebih pada sampel serum di AS, bahkan persentasenya lebih
tinggi lagi pada populasi Asia dan Afrika. Hampir tidak ada seorang pun yang
dapat terhindar dari infeksi dari kelompok virus herpes ini. Infeksi primer sering
tidak terlihat secara klinis atau tidak dikenal sebagai akibat EBV, terutama pada
anak-anak dibawah umur 3 5 tahun.
Akibat infeksi EBV bervariasi pada populasi yang berbeda (misalnya,
infeksi mononukleosis infeksiosa terutama terjadi pada daerah Barat, Burkitt
lymphoma di Afrika, dan NPC di Asia). Adanya penyakit-penyakit tersebut sangat
tidak biasa di luar populasi yang biasanya, sehingga diperkirakan kuat terdapat
faktor tambahan yang berperan pada populasi yang berisiko. Adanya perbedaan
dalam distribusi geografi dari ketiga penyakit utama EBV tersebut menyebabkan
adanya dugaan bahwa strain yang berbeda dari EBV umum terjadi pada daerah
yang berbeda. Hal ini belum dipastikan dan nampaknya bukan suatu faktor.
Baik terlihat manifestasi klinisnya atau tidak, infeksi EBV primer
menyebabkan terjadinya karier EBV yang permanen pada sistem limfatik dan juga
pada kelenjar saliva mayor. Hal ini terlihat dengan adanya antibodi spesifik yang
terus ada dengan titer yang hampir konstan dan serangan intermiten EBV ke
dalam orofaring.
Hubungan antara EBV dan NPC ditemukan pada tahun 1966, dimana pada
pasien dengan carcinoma nasofaring tipe undifferentiated didapatkan peningkatan

titer antibodi IgG dan IgA terhadap EBV dan antigen kapsid virus. Sejak saat itu,
banyak

penelitian

menunjukkan

bahwa

pada

semua

kasus

NPC

tipe

undifferentiated di seluruh dunia mengandung genom EBV. Epstein-Barr nuclear


antigen 1 (EBNA 1) diekspresikan hampir pada seluruh NPC. Bukti memperkuat
penyebab yang berhubungan dengan EBV dengan NPC secara genetik pada
kelompok yang memiliki predisposisi terdapat dengan demonstrasi yang
menunjukkan adanya lesi pre invasif nasofaring mengandung genom EBV, yang
mengindikasikan bahwa infeksi EBV nampaknya merupakan kejadian pencetus
awal dalam perkembangan NPC.
Meskipun infeksi EBV jelas merupakan faktor dalam patogenesis NPC,
namun distribusinya yang terdapat dimana-mana kontras dengan geografi yang
berbeda-beda melibatkan proses yang multistep. Predisposisi genetik merupakan
salah satu faktornya. Nampaknya juga, karsinogen pada kelompok dengan resiko
tinggi seperti ikan asin memegang peranan.
Titer antibodi dari EBV meningkat pada pasien Ca nasopharinx, tergantung
dari etnik dan geografi asal mereka tinggal. Genom EBV diperlihatkan dengan
hibridisasi asam nukleat dari biopsi lesi Ca. Dibadingkan dengan Ca kepala dan
leher lain, Ca nasopharinx memiliki titer antibodi EBV yang lebih tinggi serta
terdapat overproduksi BCL2. Perbedaan kemampuan dari sistem imun dalam
mengontrol infeksi EBV merupakan dasar dari keefektifan human leukocyte
antigen (HLA) haplotypes untuk menampilkan antigen protein membran laten
EBV.
Studi kontrol kasus memperlihatkan hubungan konsumsi ikan asin yang
diawetkan pada usia muda dan peningkatan resiko Ca pada orang-orang dari Cina
Selatan. Tumor yang dipicu oleh bahan kimia pada makanan tradisional telah
diketahui pada daerah dengan kasus Ca yang banyak, seperti Tunisia, Cina
Selatan, dan Greenland. Tidak ada hubungan antara Ca dengan pemaparan di
tempat bekerja, walaupun merokok meningkatkan resiko Ca sebanyak 3x.
Predisposisi keturunan dapat mencetuskan Ca, terdapat bukti 100 kali lipat
peningkatan kejadian Ca yang berhubungan dengan grup genetik homogen pada
individu di Cina Selatan dibanding kejadian Ca pada orang kulit putih.

Gambar
Beberapa sistem genetik telah diselidiki pada pasien-pasien dengan NPC.
Pada populasi Cina Selatan didapatkan hubungan yang kuat antara antigen HLA
lokus A dan B. Di US, dilakukan penelitian mengenai hubungan antara NPC
dengan antigen HLA-A, B, C, dan lokus DQ dan alel pada lokus DRB1.
Ditemukan hubungan yang signifikan dengan antigen A2 pada non-Chinese, A11
pada semua ras, dan peningkatan resiko pada bangsa kaukasian dengan antigen
B5.
Penelitian molekular genetik menjelaskan adanya kehilangan materi
genetik yang tidak merata dan konsisten pada daerah kromosom 3p, 9p, 11q, dan
14q. Diperkirakan, kehilangan alel atau delesi homozygous pada daerah
kromosom yang spesifik menunjukkan adanya gen supresor tumor. Hal ini dapat
mengindikasikan kemungkinan gen supresor tumor yang multipel berperan dalam
patogenesis NPC. Salah satu kunci peristiwa genetik molekular yang diidentifikasi
pada NPC primer adalah delesi homozygous dan penyimpangan methylation gen
p16 dan p15 yang dipetakan pada kromosom 9p21. Gen-gen ini adalah gen

pengatur RB dan penting dalam mempengaruhi jalur pengaturan selular yang


secara patogenetik berhubungan dengan terjadinya NPC.
Selain hal tersebut di atas, beberapa mediator lain yang diduga berperan
terhadap perkembangan NPC diantaranya :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin
Berbagai penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesis
bahwa konsumsi ikan asin menyebabkan NPC di RRC Selatan. Di dalam
ikan asin terdapat zat nitrosamin yang merupakan mediator penting,
dimana terdapat juga pada ikan / makanan yang diawetkan di Greenland,
pada daging kambing yang dikeringkan di Tunisia, sayuran yang
difermentasi (asinan) dan taoco di Cina.
2. Keadaan sosial-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup
Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang
baik ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatkan insidensi
NPC. Di Hongkong, pembakaran dupa di rumah-rumah juga dianggap
berperan dalam menimbulkan NPC
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap karsinogen, antara lain :
a. Benzopyrenen
b. Bensoanthracene
c. Gas kimia
d. Asap industri
e. Asap kayu
f. Beberapa ekstrak tumbuhan
4. Ras dan keturunan
Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia, terbanyak adalah
bangsa Cina, baik yang di negara asalnya maupun yang di perantauan. Ras
Melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang agak banyak terkena.
5. Radang kronis daerah nasofaring
Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih
rentan terhadap karsinogen lingkungan

Penyebaran
Penyebaran Ca nasopharinx sering berhubungan dengan lokasi primernya.
Tumor midline sering menyebar secara bilateral. Ketika tumor lateral membesar,
tumor dapat melewati garis tengah. Lalu setelahnya dapat menyebar ke nodus
limfe. Tumor sering tumbuh berkembang di dalam lumen dan meluas ke orbita,
sinus maxilaris, cavum nasal, dan palatum lunak. Rute tersering dari penyebaran
tumor adalah sepanjang jalur limfatik ke nodus Rouviere. Perluasan langsung
kedalam ruang retropharingeal, dengan kerusakan dari aspek lateral atlas dapat
terjadi.
Invasi parapharingeal merupakan hasil kelainan sistem neurologis. Sakit
yang disebabkan keterlibatan serat sensoris nervus trigeminal mendahului
keterlibatan serat motorisnya. Palatum lunak dapat menjadi asimetris jika otot
levator veli palatini terlibat. Asimetri fasial karena keterlibatan nervus fasialis
jarang terjadi. Trismus terjadi karena invasi langsung dari otot pterygoid medial
dan lateral. Jika tumor menginfiltrasi otot pterygoid, fossa infratemporal juga
beresiko terkena. Invasi tumor ke otot pterygoid dapat mengenai sinus maxilaris
dan orbita.

Metastatis site

Frequency (%)

Bones

41

Lungs

30

Liver

Distant Lymph nodes

Brain

Others

Tabel Distant Metastatic Sites of Nasopharyngeal Carcinoma


Posterior invasi dari tumor ke dasar tengkorak akan melibatkan NIX-XII.
Superior invasi dari tumor dapat mengenai Corpus sphenoid, sinus sphenoid,
sayap shenoid, foramen leserum, ovale, dan rotundum. Perluasan ke bawah dari

tumor kedalam palatum mencetuskan sakit pada telinga kerena keterlibatan dari
nervus trigeminus. Invasi dapat sampai di parotis dan glandula submandibula.
Tumor dapat menyebar intrakranial dari fossa Rosenmuller dan dari erosi dasar
tengkorak.
Tumor dapat mengikuti arteri karotis interna melalui foramen laserum ke
sinus kavernosus. Yang dapat bergejala opthalmoplegia karena keterlibatan N III,
IV dan VI dan baal di fasial karena keterlibatan N.V. Invasi dari pembuluh darah
besar menyebabkan gejala kompresi dengan trombosis atau ruptur. Keterlibatan
telinga dalam jarang terjadi tetapi dapat terjadi menyertai invasi tulang petrosus.
2.5 Staging
The Union Internationale Contre le Cancer (UICC) dan American Joint
Committee on Cancer (AJCC) telah menegakan klasifikasi TNM ca nasopharinx,
yaitu tumor primer, nodus limfe regional, dan metastasis jauh. Sistem staging
yang dikembangkan Ho digunakan lebih sering daripada TNM di Asia Selatan.
Pada tahun 1993, UICC dan AJCC bekerjasama unutk mengembangkan
klasifikasi staging relevan. Edisi kelima dari klasifikasi TNM dipublikasikan oleh
UICC dan AJCC pada 1977, menampilkan revisi lengkap dari klasifikasi staging.
Edisi ketujuh dipublikasikan pada tahun 2002.
Klasifikasi AJCC/UICC adalah:

Tumor Primer (T)


o

TX Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 Tidak ada bukti tumor primer

Tis - Carcinoma in situ

T1 - Tumor terbatas pada nasopharynx

T2 - Tumor meluas pada jaringan lunak dari oropharynx dan fossa


nasal

T2a tanpa perluasan parapharyngeal

T2b - dengan parapharyngeal extension

T3 - Tumor berinvasi ke strustur tulang dan sinus paranasal

T4 - Tumor dengan penyebaran intracranial dan/tanpa kelainan


CNs, fosaa infratemporal, hypopharynx, orbita

Regional lymph nodes (N)


o

NX - Regional lymph nodes tidak dapat dinilai

N0 tidak ada metastasis ke regional lymph node

N1 metastasis Unilateral metastasis dalam lymph node, 6 cm atau


kurang, diatas fossa supraclavicular

N2 - metastasis Bilateral di lymph node), 6 cm atau, above the


supraclavicular fossa

N3 - Metastasis di lymph node

N3a - > 6 cm

N3b perluasan ke supraclavicular fossa

Distant metastasis (M)


o

MX metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 tidak ada metastasis jauh

M1 metastasis jauh

AJCC/UICC stages:

Stage 0 - Tis, N0, M0

Stage I - T1, N0, M0

Stage IIA - T2a, N0, M0

Stage IIB

T1, N1, M0

T2, N1, M0

T2a, N1, M0

T2b, N0, M0

T2b, N1, M0

Stage III
o

T1, N2, M0

T2a, N2, M0

T2b, N2, M0

T3, N0, M0

T3, N1, M0

T3, N2, M0

Stage IVA
o

T4, N0, M0

T4, N1, M0

T4, N2, M0

Stage IVB - Any T, N3, M0

Stage IVC - Any T, any N, M1

HO STAGING FOR NASOPHARYNGEAL CANCER


T: Primary tumor
T1: Tumor confined to nasopharynx (space behind choanal orifices and nasal
septum and above posterior margin of soft palate in resting position)
T2: Tumor extended to nasal fossa, oropharynx, or adjacent muscles or nerves
below base of skull
T3: Tumor extended beyond T2 limits and subclassfied as follows:
T3a:Bone involvement below base of skull (floor of sphenoid sinus is included in
this category)
T3b:Involvement of base of skull
T3c:Involvement of cranial nerve(s)
T3d:Involvement of orbits, laryngopharynx (hypopharynx), or infratemporal fossa
N: Regional lymph nodes
N0: No node palpable or nodes thought to be benign
N1: Node(s) wholly in upper cervical level, bounded below by the skin
crease extending laterally and backward from or just below thyroid notch
(laryngeal eminence)
N2: Node(s) palpable between crease and supraclavicular fossa, the upper limit
being a line joining the upper margin of the sternal end of the clavicle and the
angle formed by the lateral surface of the neck and the superior margin of the
trapezius
N3: Node(s) palpable in the supraclavicular fossa and/or skin involvement in the
form of carcinoma en cuirasse or satellite nodules above the clavicles
M: Metastases

M0: No hematogenous metastases


M1: Hematogenous metastases present, and/or lymph nodal metastases below
the clavicle
Stage grouping
I
T1, N0
II T2 and/or N1
III T3 and/or N2
IV N3 (any T)
V M1
Angka survival berhubungan dengan staging tumor. Pasien dengan stage
awal memiliki angka survival 80% pada stage I dan 65% pada stage II. Angka
survival pada pasein dengan tumor lanjut adalah 45% unutk stage III dan 30%
untuk stage IV. Perluasan tumor kebelakang presesus styloideus atau kedalam
ruang masticator sering terjadi dan biasanya survivalnya buruk, dengan 5 tahun
bebas relaps 46% dan 43% untuk masing-masing lokasi. Prognosis yang buruk
meliputi

adanya

kelumpuhan

sistem

saraf,

dengan

keterlibatan

ryang

paranasopharingela, umur lanjut, pria, dan keterlibatan nodus limfe. Prognosis


buruk dengan keterlibatan nodus limfe distal dari rangkaian servikal atas ke
tengah dan bawah, pasien dengan keterlibatan bilateral memiliki 5 tahun harapan
hidup kurang dari 10%.
2.6 Gejala dan Stadium
Pada pasien NPC, gejala yang paling sering ditemukan adalah adanya masa
di leher, dan merupakan petunjuk suatu metastatik. Yang tidak spesifik adalah
keluhan tidak sensitif yang merupakan suatu rinosinusitis alergi, seperti adanya
sumbatan di hidung, rinorrhea, dan epistaksis.
Satu fungsi dari rongga nasofaring adalah meningkatnya kualitas resonansi
suara, dimana mungkin diakibatkan dari adanya tumor. Invasi anterior kedalam
palatum molle menghasilkan ketidaksimetrisan dari posterior cavitas oral. Trias
Trotter terdiri dari penurunan pendengaran, nyeri mandibula, dan kerusakan dari
pergerakan palatum molle.

Gejala Dini
NPC merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, sehingga
diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk
menurunkan angka kematian. Penting mengetahui gejala dini CNP dimana tumor
masih terbatas di rongga nasofaring
Gejala Telinga :
1. Kataralis / oklusi tuba Eustachius
Pada umumnya tumor bermula di fossa Rosenmuller, pertumbuhan tumor
dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba. Pasien mengeluh rasa
penuh di telinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan
gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dari
NPC. Perlu diperhatikan jika gejala ini menetap atau sering timbul tanpa
penyebab yang jelas.
2. Otitis media serosa sampai perforasi dengan gangguan pendengaran
Gejala Hidung :
1. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat terjadi
perdarahan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, biasanya
jumlahnya sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah
jambu.
2. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke
dalam rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek
kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya
ingus kental
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit
ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan
lain sebagainya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita
radang. Namun, jika keluhan ini timbul berulang kali, tanpa penyebab yang jelas,

atau menetap walaupun telah diberikan pengobatan, kita harus waspada dan
segera melakukan pemeriksaan yang lebih teliti terhadap rongga nasofaring,
sampai terbukti bukan NPC penyebabnya.
Gejala Lanjut
Limfadenopati servikal
Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe leher
dan tertahan disana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama
agar sel-sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh.
Di dalam kelenjar ini, sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar
menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan
ini tidak dirasakan nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selajutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit
digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.
Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang
ke dokter.
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
1.

Perluasan ke atas
-

Tumor meluas ke intra-kranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut


penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai
grup anterior saraf otak yaitu n.II sampai n.VI

Jalur menuju rongga mata berawal dari posterior fossa nasal melalui selsel di ethmoid atau berjalan di sepanjang saraf cranial ke dalam mata
sebelum masuk ke sinus cavernosus. Invasi ke sinus cavernosus terjadi
karena jalur tumor melalui foramen lacerum, dimana sering menimbulkan
pengurangan jumlah saraf cranial multiple. Diantaranya kehilangan N.VI,
III, V1, V2, dan IV dan yang diakibatkan oleh invasi tumor ke fissura
orbita superior (N. III, IV, V1, dan VI), foramen rotundum (N.V2), dan
foramen ovale (N.III). yang paling sering mengalami defisit adalah

oftalmoplegia (N.VI), ptosis (N.III), dan rasa nyeri dan baal di supraorbital
dan superior maxilla (N.V1 diikuti N.V2). Oftalmoplegia komplit terjadi
akibat keterlibatan N.III, IV, dan VI. Metastasis dari nodus parafaringeal
dapat menekan dari saraf cranial posterior, seperti, N.IX, X, XI, dan XII.
Tumor pada fossa Rosenmuller dapat langsung menginvasi saraf-saraf ini
karena saraf tersebut keluar dari dasar tulang ke ruang parafaringeal.
-

Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di Indonesia, tersering mengenai


n.VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian n.V cabang pertama
dengan keluhan berupa hipestesi pipi/wajah.

Invasi superior ke daerah mata mungkin menimbulkan proptosis.

Sindrom petrosfenoid terjadi jika semua saraf grip anterior terkena. Tanda
khas adalah terjadinya :

Neuralgia trigeminal unilateral

Oftalmoplegia unilateral

Amaurosis

Gejala nyeri kepala hebat terjadi akibat penekanan tumor pada


duramater Dengan invasi ke dasar tulang, nyeri kepala mungkin
terjadi di daerah temporal dan occipital

2.

Perluasan ke belakang
-

Tumor meluas ke belakang secara ekstra-kranial sepanjang fossa posterior,


disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior
saraf otak yaitu n.VII sampai dengan n.XII beserta nervus simpatikus
servikalis.

Tumor dapat mengenai otot dan menyebabkan kekakuan otot-otot rahang


sehingga menjadi trismus.

Sindrom retroparotidian terjadi akibat kelumpuhan n.IX, X, XI dan XII.


Manifestasi kelumpuhan ialah :

N. IX

: Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor


superior

serta

belakang lidah

gangguan

pengecap

pada sepertiga

N. X

: Hiper/hipo/anestesi mukosa palatum mole, faring dan


laring disertai gangguan respirasi dan salivasi

N. XI

: Kelumpuhan

atau

atrofi

otot-otot

trapezius,

sternokleidomastoideus, serta hemiparesis palatum mole

N. XII

: Hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah (deviasi lidah ke


sisi yang sakit), dengan atrofi otot lidah, menyebabkan
kesulitan menelan

Semua ini biasanya disertai dengan sindroma Horner akibat kelumpuhan n.


Simpatikus servikalis, berupa ptosis, miosis, dan anhidrosis.
Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi pada beberapa kasus
pernah ditemukan bilateral.
Nervus VII dan VIII, karena letaknya agak tinggi serta terletak dalam kanalis
tulang, sangat jarang terkena tumor.
Gejala akibat metastasis jauh
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah
tulang, terutama femur, hati dan paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan
prognosis sangat buruk.
2.7 Diagnosis
Saat pasien menunjukkan adanya gejala-gajala Ca Nasofaring, maka harus
dilakukan evaluasi apakah terdapat tanda-tanda dari Ca tersebut, misalnya adanya
nodus limfatikus di leher, cairan dalam telingga tengah dan adanya gangguan
nervus kranialis. Pemeriksaan indirek pada daerah di belakang hidung harus
dilakukan dengan menggunakan cermin, meskipun terdapat variasi anatomi
nasofaring pada beberapa pasien dapat menghalangi pemeriksaan yang adekuat
pada daerah tersebut. Pemeriksaan lain yang mengarahkan diagnosis Ca
Nasofaring adalah antibodi terhadap EBV, pencitraan dan pemeriksaan endoskopi
pada nasofaring serta biopsi.
a. Serologi

Epstein-Barr virus mempengaruhi manusia dalam banyak bentuk. Virus ini


dapat menyebabkan infeksi dan juga berhubungan dengan Burkitt
lymphoma serta Ca Nasofaring. EBV termasuk ke dalam Herpes virus dan
antigen EBV dapat dikelompokkan ke dalam early replicative antigens,
latent phase antigens, dan late antigens. Antibodi pasien dengan Ca
Nasofaring yaitu IgA berespon terhadap early antigen (EA) pada
kelompok pertama dan viral capsid antigen (VCA) pada kelompok ketiga.
IgA anti-VCA lebih sensitif tetapi kurang spesifik daripada IgA anti-EA.
Kadar IgA anti-VCA juga telah menunjukkan hubungannya dengan
staging dari Ca Nasofaring, dan kadarnya mungkin menurun dengan
pemberian terapi; kadar tersebut digunakan sebagai tumor marker dalam
evaluasi eradikasi tumor.
Sekarang ini, sel DNA dari EBV telah terdeteksi pada pasien dengan Ca
Nasofaring dan ini telah dievaluasi sebagai tumor marker. Namun, tidak
terlalu sensitif, terutama jika tumor primernya kecil dan jika radioterapi
telah diberikan.
b. Pencitraan(bailey, brockstein)
Pemeriksaan klinis disertai dengan pemeriksaan endoskopi dapat
memberikan suatu informasi yang berharga akan perluasan tumor pada
permukaan mukosa, tetapi tidak dapat menentukan perluasan tumor yang
lebih dalam, termasuk erosi basis kranial dan penyebaran intrakranial.
Pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat penyakit pada
nasofaring dan dalam perencanaan radiasi.
CT-scan dapat menunjukkan perluasan jaringan lunak pada nasofaring dan
paranasofaring.

Gambar CT-scan (potongan axial) menunjukkan tumor pada nasofaring (T)

Pemeriksaan ini sensitif dalam mendeteksi erosi pada tulang, terutama


pada basis kranial. Perluasan tumor intrakranial melalui foramen ovale
dengan penyebaran perineural juga dapat terdeteksi, dimana terbukti
adanya keterlibatan sinus kavernosus tanpa erosi basis kranial. CT-scan
dapat

menunjukkan

regenerasi

setelah

terapi,

dimana

hal

ini

mengindikasikan eradikasi sempurna dari tumor.


MRI memberikan gambaran multiplanar dan ini lebih baik daripada CTscan dalam membedakan tumor dari inflamasi jaringan lunak. MRI juga
lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase ke retrofaring dan deep
cervical nodal. MRI dapat mendeteksi infiltrasi sumsum tulang oleh
tumor, sedangkan CT-scan tidak dapat kecuali jika terdapat erosi tulang.
Penting untuk mendeteksi infiltrasi ke sumsum tulang karena hal ini
berhubungan dengan meningkatnya resiko metastase yang jauh. Tetapi,
MRI tidak dapat mengevaluasi secara detail dari erosi tulang sehingga CTscan harus dilakukan bila basis kranial perlu dievaluasi. Karena CT-scan
atau MRI menentukan luasnya tumor primer, maka memungkinkan

penanganan radioterapi lebih akurat dan efektif. Pembuluh darah tampak


jelas dengan MRI bahkan tanpa menggunakan kontras intravena.
Saat ini dapat dilakukan IMRT (Intensity Modulated Radiotherapy),
dimana merupakan gabungan CT-scan dan MRI, dan merupakan
radioterapi yang lebih akurat untuk membedakan tumor dari jaringan
sekitar. Baik CT-scan maupun MRI relatif mempunyai sensitivitas yang
rendah dalam mendeteksi rekurensi tumor karena Ca Nasofaring yang
rekuren setelah radioterapi dapat menunjukkan berbagai macam intensitas
signal dan kontur yang sulit untuk di interpretasikan. Positron Emission
Tomography (PET) dikatakan lebih sensitif daripada CT-scan atau MRI
dalam mendeteksi Ca Nasofaring yang persisten dan rekuren.

Gambar A : Potongan axial dari PET superimpose dengan CT-scan,


menunjukkan peningkatan aktivitas pada daerah primer dalam nasofaring
menandakan adanya tumor (panah). B: Potongan sagital pada pasien yang
sama.
Sulit untuk mendeteksi dengan tepat adanya metastase yang jauh.
Penelitian-penelitian menyimpulkan bahwa Bone scan, Liver scintigraphy
dan marrow biopsy sedikit berguna. Mereka hanya berguna bagi pasienpasien dengan resiko tinggi terhadap penyebaran yang jauh.
c. Pemeriksaan Endoskopi
Diagnosis Ca Nasofaring membutuhkan biopsi yang positif yang diambil
dari tumor nasofaring. Nasofaring dapat diperiksa secara adekuat dengan

menggunakan anestesi topikal dengan endoskop. Teleskop Hopkin


memberikan gambaran nasofaring yang sangat baik.

Gambar endoskop yang dimasukkan melalui cavum nasi kiri dan tumor tampak pada
nasofaring.
Pada kasus deviasi septum, endoskop dimasukan melalui cavum nasal yang
bersangkutan juga dapat memberikan gambaran tumor yang adekuat. Endoskop
tersebut dimasukkan ke belakang palatum mole sehingga memberikan gambaran atap
nasofaring dan kedua tuba Eustachii.

Gambar endoskop dimasukkan melalui cavum oral, melihat nasofaring


dari bawah. Tampak adanya tumor nasofaring memanjang dari dinding
lateral kanan sampai ke atap nasofaring. S : pinggir posterior septum
nasi. Panah : lubang tuba Eustachii kanan
2.8 Penatalaksanaan
a. Radioterapi
Ca Nasofaring bersifat radiosensitif dan oleh karena itu, radioterapi
merupakan penanganan primer untuk saat ini. Meskipun efektif, namun
radioterapi dapat menyebabkan komplikasi yang tidak diinginkan karena Ca
Nasofaring pada basis kranial dikelilingi oleh batang otak, medula spinalis,
axis pituitari-hipotalamus, lobus temporal, mata, telinga tengah dan dalam,
serta glandula parotis. Semua organ tersebut membatasi jumlah radiasi yang
dapat diterima oleh tumor dan disebut sebagai dose-limiting organs. Karena
Ca Nasofaring cenderung menginfiltrasi dan menyebar ke organ-organ
tersebut, maka sulit untuk melindunginya tanpa mengkompromi dosis yang

diterima oleh tumor primer. Karena insidensi adanya keterlibatan nodus di


leher tinggi, maka leher biasanya termasuk dalam lapang radiasi.
Umumnya, dosis radiasi yang diberikan untuk tumor primer adalah sekitar 65
sampai 75 Gy, demikian pula untuk nodus limfatikus leher yang terlibat.
Untuk radiasi elektif pada leher bila tidak melibatkan nodus limfatikus di
leher, diberikan dosis sekitar 50-60 Gy. Pengobatan ini berhasil mengontrol
tumor T1 dan T2 pada 75%-90% kasus, dan tumor T3 dan T4 pada 50%-70%
kasus. Pengontrolan nodus mencapai 90% pada pasien dengan kelainan N0
dan N1, sedangkan untuk N2 dan N3 sekitar 70%. Saat ini terdapat terapi baru
dengan menggunakan IMRT (Intensity Modulated Radiotherapy). Jika
penyebaran tumor mendekati dose-limiting organs, maka IMRT jelas berguna
karena dapat membedakan dosis antara tumor dengan dose-limiting organs.
Dengan IMRT, fungsi kelenjar ludah dapat kembali dalam 2 tahun. Hasil yang
memuaskan juga didapatkan untuk Ca Nasofaring yang rekuren. Keterbatasan
IMRT adalah ketepatan dalam menentukan perbatasan antara tumor dengan
jaringan sekitarnya. Sampai batas keamanan optimal yang diperlukan untuk
melindungi jaringan normal disekitar tumor dapat dicapai, maka penggunaan
IMRT harus hati-hati.
b. Kemoterapi
Untuk penanganan kasus Ca Nasofaring terutama dengan kelainan lanjut,
kemoterapi digunakan dalam kombinasi dengan radioterapi. Kemoterapi yang
terdiri dari cisplastin, dapat diberikan sebelum, selama, atau setelah radiasi.
Penelitian pertama The Intergroup pada tahun 1997 menunjukkan bahwa
pengunaan kemoterapi bersama radioterapi meningkatkan angka harapan
hidup jika dibandingkan dengan hanya menggunakan radioterapi saja.
Meninjau efek ototoksisitas dari cisplastin, maka bahan kemoterapi lain telah
digunakan. Terdapat penelitian dimana digunakan cisplastin dan radioterapi
secara bersamaan ditambah dengan ifosfamide, 5-fluorouracil (5FU) dan
leucovorin pada pasien dengan Ca Nasofaring stage IVb.
c. Tumor Nasofaring Persisten atau Berulang
Kelainan pada Nasofaring yang persisten atau berulang setelah terapi radiasi
dosis radikal awal masih dapat dilakukan rangkaian kedua radioterapi dengan
dosis radiasi yang tinggi. Rata-rata kesembuhannya 32%, meskipun insidensi
gejala sisa setelah radiasi ulang adalah 24% dengan kematian sekitar 1.8%.
Komplikasi yang timbul akibat dosis kedua radioterapi mempengaruhi secara

signifikan pada kualitas hidup pasien tersebut. Untuk mengurangi tingginya


insidensi dari komplikasi akibat pengulangan radiasi, telah diperkenalkan
adanya tindakan alternatif. Hal ini termasuk stereotactic radiotherapy,
brachytherapy, dan surgical resection. Pilihan terapi ini berguna hanya bila
tumor persisten atau berulang tersebut kecil dan terlokalisasi di nasofaring.
Stereotactic Radiotherapy
Rata-rata pengendalian tumor lokal dengan stereotactic radiotherapy
pada penanganan tumor persisten atau berulang adalah 72% selama 2

tahun dan 86% selama 3 tahun.


Brachytherapy
Dengan menggunakan brachytheraphy
Nasofaring

persisten

atau

rekuren,

pada

sumber

penanganan
radiasi

Ca

langsung

dimasukkan ke dalam tumor. Dosis radiasinya tinggi pada sumbernya


dan menurun secara bertahap dengan peningkatan jarak dari tumor.
Jadi, brachytheraphy mengijinkan pemberian dosis terapi yang tinggi
pada tumor nasofaring persisten atau berulang sementara jaringan
disekitarnya

menerima

dosis

yang

lebih

kecil.

Intracavitary

brachytheraphy telah dilakukan pada Ca Nasofaring, baik sebagai


tambahan terapi primer maupun untuk kelainan persisten atau rekuren.
Sumber radiasi ditempatkan di tabung kemudian dimasukkan kedalam
nasofaring. Hasil yang baik dengan penggunaan cara ini telah
dilaporkan. Pada tumor primer yang ireguler dalam nasofaring sulit
untuk menggunakan sumber radiasi secara akurat yang memeberikan
dosis tumorisidal pada seluruh tumor. Untuk mengatasi masalah
tersebut, dilakukan implantasi radioaktif. Radioactive gold grains
(198Au) sering digunakan sebagai sumber brachytherapy. Gold grains
dapat ditanam baik secara transnasal atau dengan menggunakan splitpalate approach. Untuk tumor nasofaring tanpa invasi ke tulang,
metode ini efektif dengan angka morbiditas yang minimal. Prosedur
pembedahannya sederhana dan < 10% pasien mengalami fistula palatal
kecil, yang dapat ditangani secara konservatif atau diperbaiki dengan

palatal flap.
Nasopharyngectomy
Bila tumor persisten atau rekuren pada Nasofaring telah meluas ke
ruang paranasofaringeal atau tumor tersebut terlalu besar untuk

dilakukan

brachytheraphy,

maka

pilihan

selanjutnya

adalah

pembedahan. Nasopharyngectomy efektif mengeradikasi kelainan yang


terlokalisasi pada beberapa pasien. Nasofaring dapat dicapai dengan
pendekatan

inferior

melalui

transpalatal,

transmaxilla

dan

transcervical. Pendekatan ini berguna untuk tumor yang berlokasi di


sentral dan dinding posterior nasofaring.

Gambar tumor rekuren pada dindidng posterior yang tampak pada


endoskopi. Panah : tuba Eustachii
Untuk tumor yang lebih luas, terutama yang terletak di dinding lateral,
sulit dicapai dengan pendekatan inferior dan arteri karotis interna harus
dilindungi. Pendekatan anterolateral atau maxillary swing procedure
juga telah dilakukan. Tulang maxilla dipotong ke arah pipi membentuk
flap kemudian dibuka kearah lateral sebagai suatu komplex
osteocutaneus. Cara ini dapat mengekspose seluruh nasofaring dan
ruang paranasofaringeal sehingga pembedahan dapat dilakukan.
Prosedur operatifnya sama dengan maxillectomy.

Kematian akibat

metode ini secara umum rendah dan dapat diterima. Beberapa pasien
mengalami trismus setelah operasi.

Gambar skematik dengan CT-scan. A : rencana osteotomi pada maxilla


dan bagian posterior septum nasi (tanda panah dan garis putus-putus).
B: Maxilla dibuka ke arah lateral namun masih melekat sebagai cheek
flap.

Gambar insisi fasial pada maxillary swing approach pada nasofaring.


B : Maxilla kiri dibuka ke lateral untuk melihat nasofaring dengan
tumor rekuren (T). Tampak Maxilla dan gigi insisor kiri (panah). C :
Spesimen Nasopharyngectomy menunjukkan tumor (T).

d. Metastasis jauh
Sebagian besar penanganan yang efektif untuk pasien Ca Nasofaring dengan
metastasis jauh adalah dengan menggunakan kombinasi kemoterapi dengan
cisplastin. Cisplastin dan 5FU merupakan terapi standar. Tujuan terapi pada
dasarnya adalah paliatif. Kombinasi yang lebih intensif rata-rata memberikan

respon yang lebih baik tetapi biasanya juga disertai dengan peningkatan
toksisitas.
e. Kemungkinan Terapi di Masa Mendatang
Terapi gen telah dilaporkan dapat meningkatkan sitotoksisitas melalui
apoptosis. Pendekatan imunoterapi termasuk terapi augmentasi sitotoksik
limfosit T dan adoptive transfer of autologous EBV-specific cytotoxic T cells
juga telah dilaporkan.
2.9 Pencegahan
Tidak ada pencegahan yang pasti terhadap Ca Nasofaring. Namun demikian
dapat dilakukan usaha untuk mengurangi resiko terjadinya kelainan tersebut.
Misalnya dengan membatasi konsumsi garam dan makanan yang diawetkan atau
menghindari kedua makanan tersebut. Di China dimana orang-orang sudah mulai
menggunakan makanan tipe Amerika, maka insidensi Ca Nasofaring sudah menurun.
Meskipun tidak terdapat vaksin untuk mencegah Ca Nasofaring, para peneliti
berharap bahwa suatu saat mereka dapat mengembangkan suatu vaksin untuk
Epstein-Barr virus, sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya Ca Nasofaring.
2.10 Komplikasi
Terapi radiasi untuk Ca Nasofaring memerlukan pemberian energi yang tinggi
untuk volume leher dan basis kranial yang luas; hal ini menyebabkan terjadinya
komplikasi. Glandula salivatorius merupakan organ yang sering terpengaruh karena
tidak dapat mentoleransi lebih dari 3.500 cGy. Xerostomia merupakan efek samping
yang paling sering terjadi akibat terapi radiasi. Gangguan aliran saliva menyebabkan
gangguan pada buffer asam, kalsium dan pembilasan mulut yang merupakan
mekanisme dasar untuk melindungi gigi dari terbentuknya karies. Oleh karena itu,
semua pasien memerlukan evaluasi pada giginya sebelum pemberian terapi radiasi.
Disfungsi tuba Eustachii sering terjadi secara sekunder akibat fibrosis nasofaring post
radiasi. Karena adanya mekanisme obstruksi, maka otitis media serosa yang terjadi
biasanya persisten terhadap terapi konservatif seperti dengan pemberian antibiotik.
Sering kali diperlukan pemasangan tympanotomy tube; karena sering terjadi otorrhoe
persisten, perlu dilakukan observasi sebelum dilakukan pemasangan tube.
Trismus, rasa tidak nyaman, dan indurasi pada leher dan neuropati nervus
kranial IX, X, XI, dan XII sering terjadi akibat radiasi dosis tinggi. Sebagian besar

komplikasi yang berat akibat terapi radiasi seperti nekrosis lobus temporal dan
myelitis terjadi karena kurangnya perlindungan atau kesalahan perhitungan dosis
terhadap jaringan sekitarnya dan untungnya, hal ini sangat jarang terjadi karena
perencanaan terapi yang baik, penggunaan pelindung dan penggunaan radiation port
films selama terapi telah dilakukan secara rutin. Beberapa komplikasi yang lain adalah
hipopituitari, hipotiroid, neuritis optikus dan retinopati radiasi.
Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa lebih dari 30% pasien yang
menerima kemoterapi dengan cisplastin disertai terapi radiasi mengalami tuli
sensorineural. Terapi radiasi yang hati-hati akan mengurangi resiko terjadinya
komplikasi tersebut.
Pembedahan yang mendekati basis kranial dapat mengenai nervus kranial,
terutama karena tumor yang akan dilakukan pembedahan telah menginvasi atau
berada disekitar beberapa nervus kranial. Pendekatan transmaxilla terhadap
nasofaring menyebabkan insidensi terjadinya fistula palatal sebesar 25%, sehingga
diperlukan terapi pembedahan.
2.11Prognosis
Prognosis pasien dengan Ca Nasofaring tergantung pada staging dari tumor, tipe
Ca Nasofaring, ukuran tumor dan umur serta kesehatan pasien 2. 5-years survival rate
untuk stadium I 76,9%, stadium II 56%, stadium III 38,4% dan untuk stadium IV
16,4% (UI). 5-years survival rate untuk Ca Nasofaring tipe nonkeratizing dan
undifferentiated dengan terapi yang tepat adalah sekitar 65%. Pengobatan sangat
mungkin dilakukan bahkan jika kelainan telah menyebar ke kelenjar limfe regional.
Sedangkan prognosis untuk Ca Nasofaring tipe keratizing lebih buruk, karena lebih
resisten terhadap radiasi4.

BAB III
KESIMPULAN
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan

penunjang

seperti

misalnya

pemeriksaan

serologi,

pencitraan,

pemeriksaan endoskopi dan biopsi. Penanganan primer pasien dengan Ca Nasofaring


dapat dapat dilakukan dengan radioterapi, sedangkan untuk kelainan yang sudah
lanjut dapat dilakukan kombinasi antara kemoterapi dengan radioterapi. Untuk Ca
Nasofaring yang persisten dan rekuren dapat dilakukan stereotactic radiotherapy,
brachytherapy, dan surgical resection yaitu dengan Nasopharyngectomy. Bila tumor
telah bermetastasis jauh, maka biasanya tujuan terapi adalah paliatif. Terapi lain
sedang dalam penelitian adalah terapi gen dan imunoterapi.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat terapi radiasi misalnya adalah
xerostomia, disfungsi tuba Eustachii, Otitis Media Serosa, trismus, rasa tidak nyaman
dan neuropati nervus IX, X, XI, dan XII. Selain itu juga dapat terjadi nekrosis lobus
temporal dan myelitis, namun ini jarang terjadi. Pemberian cisplastin yang
dikombinasi dengan radiasi dapat menyebabkan tuli sensorineural namun hal ini dapat
diatasi dengan penanganan yang lebih hati-hati.
Tidak ada pencegahan yang pasti terhadap Ca Nasofaring. Namun untuk
mengurangi resiko terjadinya kelainan tersebut, kita dapat menghindari atau
mengurangi konsumsi makanan yang asin dan diawetkan. Prognosis pasien dengan Ca
Nasofaring tergantung pada staging dari tumor, tipe Ca Nasofaring, ukuran tumor dan
umur serta kesehatan pasien.

Neck mass(es)
Persistent SOM
Nasal bleeding/obstruction
Headache
Cranial Nervus palsy
Clinical suspicion

Especially in
ethnically predisposed
populations

Physical exam
Nasal endoscopy
NP lesion found

No NP lesion found
Neck node(s) present
FNA node

Bx
Cytology +
Pathology +

Cytology

CT/MRI
NP Abnormal

NP normal

EUA & Bx
Path (-)
Path +
Staging work-up
- CT/MRI (head & neck)
- Blood work
T1-3 NO
CXR

Exc Bx neck node


Path (+)
FISH
EBV (+)

T4 and/or N1-3
- CT chest upper abdomen
- Bone scan

EBV ()
Proceed as
for unknown
primary

Daftar Pustaka
1.

Wei W.I. 2006. Nasopharyngeal Cancer. In Head and Neck Surgery.


Eds Bailey B.J., Johnson J.T., Newsland S.D. 4th edition. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins. Page 1658 1668.

2.

Chan A.T., Teo P.M & Johnson P.J. 2004. Nasopharyngeal Cancer. In
Head and Neck Cancer. Eds Brockstein B., Masters G. USA : Kluwer Academic
Publishers. Page 278.

3.

Damayanti Soetjipto. 1989. Karsinoma Nasofaring. Dalam Tumor


Telinga-Hidung-Tenggorokan Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: FKUI.
Halaman : 73-81.

4.

Lalwani A.K. 2007. Benign & Malignant Lesions of The Oral Cavity
& Oropharynx. In Curnet Diagnosis & Treatment : Otolaryngology Head and
Neck Surgery. 2nd edition. New York : Mc Graw Hill. Chapter 22.

5.

Averdi Roezin & Marlinda Adham. 2007. Karsinoma Nasofaring.


Dalam Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta : FKUI.
Halaman 182-187.

6.

Peters L.J et al. 2004. Cancer of The Nasopharynx. In Head and Neck
Cancer. 2nd edition. USA : Lippincott Williams & Wilkins. Page : 529 545.

7.

Anonymous.

2008.

Nasopharyngeal

Carcinoma.

http://health.yahoo.com/other-other/nasopharyngeal-carcinoma/mayoclinic-10F5ADEE-E7FF-0DBD-1C4B0F1820F5CDEA.html, March 22th 2009 (5)


8.

National cancer Institute. 2008. Nasopharyngeal Cancer Treatment.


http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/patient/, March
22th 2009 (2)

9.

Anda mungkin juga menyukai