Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Laporan keuangan merupakan suatu pencerminan dari suatu kondisi
perusahaan karena didalam laporan keuangan terdapat informasi-informasi yang
dibutuhkan

oleh

pihak-pihak

yang

berkepentingan

dengan

perusahaan.

Kirschenheiter dan Melumed (2002, dalam Juniarti dan Corolina, 2005)


menyatakan informasi laba merupakan komponen laporan keuangan perusahaan
yang bertujuan untuk menilai kinerja manajemen, membantu mengestimasi
kemampuan laba yang representatif dalam jangka panjang dan menaksir resiko
investasi atau meminjamkan dananya.
Laba adalah kenaikan modal (aktiva bersih) yang berasal dari transaksi
sampingan atau transaksi yang jarang terjadi dari suatu badan usaha, dan dari
semua transaksi atau kejadian lain yang mempunyai badan usaha selama satu
periode, kecuali yang timbul dari pendapatan (revenue) atau investasi pemilik
(Baridwan, 1992). Pengertian laba secara umum adalah selisih dari pendapatan di
atas biaya-biayanya dalam jangka waktu (perioda) tertentu. Laba sering digunakan
sebagai suatu dasar untuk pengenaan pajak, kebijakan deviden, pedoman investasi
serta pengambilan keputusan dan unsur prediksi (Harnanto, 2003).
Pengertian tersebut sesuai dengan pernyataan SFAC No. 1 tentang
Objective of Financial Reporting by Business Enterprises tahun 1978 yang
mana didalamnya menyebutkan bahwa

laporan keuangan digunakan untuk

memberikan informasi yang berguna dalam pembuatan keputusan mengenai


investasi dan kredit serta membantu investor, kreditor dan pemakai lain laporan

keuangan yang sekarang (Wahyuni, 2010). Hal ini senada dengan laba yang mana
laba merupakan salah satu elemen dalam laporan keuangan.
Pemegang saham atau investor cenderung fokus pada informasi laba dan
cenderung tidak ingin mengetahui proses untuk memperoleh laba tersebut. Hal ini
membuat manajer dituntut harus menyediakan laporan keuangan yang sebenarbenarnya agar dapat dipercaya oleh investor. Salah satu tindakan yang dilakukan
adalah perataan laba (income smoothing). Gordon (1964) menyebutkan bahwa
tingkat pendapatan yang lebih smooth (rata) memungkinkan menghasilkan
tingkat dividen dan harga saham yang lebih tinggi. Hal ini dapat meningkatkan
nilai dari pemegang saham atau investor tersebut. Selain itu, dalam perusahaan
terdapat hubungan antara pemilik saham atau investor dengan manajemen (model
agensi) yang mana memungkinkan manajemen memilih alternatif metode
akuntansi dan pemilik saham atau investor tersebut dapat melihat keahlian para
manajernya.
Adanya perataan laba (income smoothing) menunjukkan terjadinya
asimetri informasi yang telah dilakukan manajemen pada laporan keuangan yang
mereka susun. Pemegang saham atau investor cenderung fokus pada laporan
keuangan karena mereka percaya dengan adanya laporan keuangan yang stabil
maka hal itu akan berdampak pada kestabilan dividen yang mereka miliki.
Keberadaan asimetri informasi dapat dianggap sebagai penyebab manajemen laba
yang bisa dikaitkan dengan perataan laba. Richardson (1998, dalam Muliati, 2011)
berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara asimetri informasi
dengan tingkat manajemen laba. Pada hakekatnya perataan laba merupakan salah
satu bagian dari manajemen laba. Adanya asimetri informasi akan mendorong

manajer untuk menyajikan informasi yang bukan sebenarnya terutama jika


informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer. Pemilik
informasi yang lebih superior dapat menimbulkan gesekan antara pemilik saham
atau investor dengan manajemen perusahaan karena pemilik saham atau investor
tersebut tidak mengetahui seutuhnya proses manajemen dalam memperoleh laba.
Untuk itu dibutuhkan laporan keuangan yang mumpuni sehingga tingkat perataan
laba dapat diketahui dari kualitas laporan keuangan perusahaan yang
bersangkutan.
Profitabilitas merupakan salah satu variabel yang sering digunakan untuk
penelitian yang berhubungan dengan peratan laba. Bila perusahaan memiliki
profitasbilitas

yang

memadai,

perusahaan

memiliki

peluang

untuk

mempertahankan keberlanjutan usahanya (Solihin, 2009). Penelitian Widana dan


Yasa (2013) menunjukkan hasil yang serupa dengan penelitian yang dilakukan
oleh Budiasih (2009) dimana pengaruh profitabilitas yang diproksikan dengan
ROA (Return On Assets) disebabkan karena investor memperhatikan ROA dalam
menilai sehat tidaknya suatu perusahaan sehingga profitabilitas memiliki hasil
yang signifikan terhadap perataan laba. Tindakan perataan laba cenderung
dilakukan oleh perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas rendah dan
perusahaan yang berada pada sektor industri yang beresiko tinggi.
Financial leverage menunjukkan sejauh mana aktiva perusahaan telah
dibiayai oleh penggunaan hutang. Zuhroh (1996) menemukan bukti bahwa faktor
yang berpengaruh terhadap perataan laba adalah leverage operasi. Tingkat
leverage yang tinggi mengindikasikan resiko perusahaan yang tinggi pula
sehingga kreditor fokus dalam memperhatikan besarnya resiko ini dengan dasar

pemikiran perusahaan dengan penggunaan hutang yang tinggi otomatis akan


dihadapkan pada kewajiban yang tinggi pula dan pada kondisi perusahaan rugi
atau pada posisi laba yang tidak terlalu tinggi maka kreditor akan dihadapkan
pada resiko ketidakmampuan perusahaan dalam membayar utangnya. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Lin et al (2009, dalam Jao dan Gagaring, 2011) yang
mana menemukan bahwa financial leverage mempunyai hubungan positif
dengan manajemen laba (perataan laba) sehingga adanya rasio leverage yang
tinggi menimbulkan kecenderungan melakukan perataan laba.
Free cash flow merupakan kas perusahaan yang dapat didistribusikan
kepada kreditur atau pemegang saham yang tidak diperlukan untuk modal kerja
atau investasi pada aset. Menurut Jensen (1986) free cash flow adalah kelebihan
kas yang dipelukan untuk mendanai semua proyek yang memiliki net present
value positif setelah membagi dividen. White et al. (2003) mengungkapkan bahwa
semakin besar free cash flow yang tersedia dalam suatu perusahaan, maka
semakin sehat perusahaan tersebut karena memiliki kas yang tersedia untuk
pertumbuhan, pembayaran hutang, dan deviden. Isnawati (2011, dalam Agustia,
2013) menyatakan free cash flow berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
Pengaruh negatif tersebut dikarenakan free cash flow merupakan determinan
penting dalam penentuan nilai perusahaan, sehingga manajer perusahaan lebih
terfokus pada usaha untuk meningkatkan free cash flow. Penelitian Zuhri (2011)
menunjukkan hasil negatif pula yang mana perusahaan dengan arus kas bebas yang
lebih besar akan memiliki discretionary accrual yang lebih rendah atau perusahaan
melakukan pelaporan laba yang lebih rendah.

Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian lebih


lanjut terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba. Perataan
laba (income smoothing) banyak diteliti oleh peneliti sebelumnya, tetapi hasil dari
penelitian tersebut berbeda walaupun diukur menggunakan variabel yang sama.
Dalam penelitian ini, peneliti memodifikasi penelitian yang dilakukan oleh Stuart
E. Michelson et. al. pada tahun 1999 dengan menghilangkan salah satu item dalam
perhitungannya karena sudah tidak relevan digunakan pada saat ini. Item tersebut
adalah income before extraordinary item (laba sebelum pos luar biasa). Item
tersebut tidak digunakan karena adanya revisi atas PSAK No.1 dan PSAK No.25
dalam rangka proses konvergensi dengan Standar Akuntansi Internasional
(IFRS/IAS) yang tidak lagi mengizinkan pencatatan akun pos luar biasa dalam
laporan keuangan perusahaan sehingga hanya menggunakan tiga item yaitu
operating income (laba operasi), pretax income (laba sebelum pajak), dan net
income (laba tahun berjalan). Revisi PSAK No.1 dan PSAK No.25 dilakukan
berdasarkan penegasan dalam IAS 1 Presentation of Financial Statements
paragraf 87 yaitu tentang entitas tidak diperkenankan menampilkan semua item
pendapatan atau beban sebagai pos luar biasa dalam laporan laba rugi
komprehensif atau laporan laba rugi terpisah (jika disajikan), atau dalam catatan.
Peneliti mengkhususkan pada data perusahaan manufaktur sektor aneka
industri karena adanya pertumbuhan industri yang rendah pada sub sektor tertentu
dan berbagai persoalan yang dihadapi sektor aneka industri seperti adanya
kebijakan pungutan dari pemerintah dan non pemerintah berimbas kepada
kebijakan perusahaan dalam pengambilan keputusan yang nantinya akan
berpengaruh dalam laporan keuangan. Selain itu, dilihat dari nilai saham yang

beredar sektor ini terkadang diharapkan menjadi kuda hitam yang mana sektor ini
bukan sektor favorit, tetapi diharapkan dapat mendongkrak nilai IHSG pada saatsaat tertentu. Sektor aneka industri di tahun 2012 merupakan salah satu sektor
yang tidak disukai pasar. Hal ini bisa diihat dari total price performance di chart
bulanan. Ada kemungkinan hal ini disebabkan oleh ekspektasi kenaikan harga dari
barang-barang produksi di sektor ini yang sebenarnya merupakan efek
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan daya beli konsumen. Akan tetapi, efek
jangka pendek yang biasa terjadi adalah penyesuaian produksi dan harga barang
yang selalu diasumsikan menyebabkan penurunan penjualan sehingga valuasi
perusahaan pun menjadi turun, yang kemudian menyebabkan saham perusahaan
di sektor ini dijual perlahan-lahan. Oleh karena itu, sektor ini dipilih untuk
membandingkan apakah variabel yang diuji memiliki pengaruh terhadap perataan
laba (income smoothing) pada sektor aneka industri seperti halnya pada
perusahaan perbankan dan manufaktur yang memiliki saham aktif dan favorit.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
mengambil judul: Analisis Perataan Laba dan Faktor- Faktor yang
Mempengaruhinya Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Aneka Industri
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah asimetri informasi mempengaruhi perataan laba (income smoothing)
dengan item operating income pada perusahaan manufaktur sektor aneka
industri?
2. Apakah asimetri informasi mempengaruhi perataan laba (income smoothing)
dengan item pretax income pada perusahaan manufaktur sektor aneka
industri?

3. Apakah asimetri informasi mempengaruhi perataan laba (income smoothing)


dengan item net income pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri?
4. Apakah profitabilitas mempengaruhi perataan laba (income smoothing) dengan
item operating income pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri?
5. Apakah profitabilitas mempengaruhi perataan laba (income smoothing) dengan
item pretax income pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri?
6. Apakah profitabilitas mempengaruhi perataan laba (income smoothing) dengan
item net income pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri?
7. Apakah financial leverage mempengaruhi perataan laba (income smoothing)
dengan item operating income pada perusahaan manufaktur sektor aneka
industri?
8. Apakah financial leverage mempengaruhi perataan laba (income smoothing)
dengan item pretax income pada perusahaan manufaktur sektor aneka
industri?
9. Apakah financial leverage mempengaruhi perataan laba (income smoothing)
dengan item net income pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri?
10. Apakah free cash flow mempengaruhi perataan laba (income smoothing) dengan
item operating income pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri?
11. Apakah free cash flow mempengaruhi perataan laba (income smoothing) dengan
item pretax income pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri?
12. Apakah free cash flow mempengaruhi perataan laba (income smoothing) dengan
item net income pada perusahaan manufaktur sektor aneka industri?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, didapatkan tujuan penelitian yaitu untuk
mengetahui adanya pengaruh asimetri informasi, profitabilitas, financial leverage
dan free cash flow terhadap perataan laba (income smoothing) pada perusahaan
manufaktur sektor aneka industri.
1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan penulis adalah manfaat dari segi akademik dan
praktisi sebagai berikut:
1. Dari segi akademik, hasil penelitian ini dapat membantu atau

dijadikan

referensi dalam pengembangan penelitian yang bersangkutan dengan perataan


laba (income smoothing).
2. Dari segi praktisi, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi praktik perataan laba pada perusahaanperusahaan di Indonesia serta memberikan informasi ilmiah yang akan
bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan.
1.5. Orisinalitas penulisan
Penelitian tentang perataan laba telah banyak dilakukan seperti yang
dilakukan oleh Stuart E. Michelson et. al (1999), Widyastuti (2009), Wimbari
(1998), Zuhroh (1996), dan lain-lain, tetapi penelitian ini akan memiliki
perbedaan dari penelitian sebelumnya yang mana penelitian ini akan menguji
pengaruh perataan laba dengan menggunakan tiga item perhitungan yaitu
operating income, pretax income, dan net income untuk menghitung perataan
laba tersebut disertai dengan variabel independen yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai