Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi

keuangan kepada pihak-pihak di luar korporasi. Dalam laporan keuangan

berisi ringkasan dari proses pencatatan transaksi-transaksi keuangan yang

terjadi selama tahun buku bersangkutan. Pertimbangan seorang investor

yang ingin mengambil sebuah keputusan bisnis salah satunya adalah dengan

melihat dan menganalisis laporan keuangan perusahaan. Informasi dalam

laporan keuangan merupakan salah satu tolak ukur dalam kinerja suatu

perusahaan. Dengan disediakannya laporan keuangan maka keadaan

ekonomi perusahaan dapat tercermin dalam laporan keuangan tersebut.

Unsur yang sering menjadi perhatian pihak diluar korporasi dalam laporan

keuangan adalah unsur laba. Parameter yang digunakan untuk mengukur

kinerja manajemen dalam laporan keuangan adalah informasi laba yang

terkandung dalam laporan Laba/Rugi (Boediono, 2005).

Dalam penyusunan laporan keuangan, manajer menggunakan dasar

akrual karena dianggap lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi

keuangan perusahaan secara riil. Akuntansi berbasis akrual memiliki

keunggulan bahwa informasi dari laba perusahaan dan pengukuran

komponen-komponennya yang berdasarkan akuntansi akrual secara umum

dapat memberikan indikasi yang lebih baik mengenai kinerja ekonomi

perusahaan dari pada informasi yang dihasilkan dari aspek penerimaan dan

pengeluaran kas terkini (FASB, 1978). Namun, disisi lain penggunaan

1
akuntansi akrual juga memiliki kelemahan. Penggunaan dasar akrual dapat

memberikan keleluasaan kepada pihak manajemen dalam memilih metode

akuntansi. Keleluasaan ini tentu menjadi hal yang menguntungkan bagi

manajemen apabila tidak tercapainya target laba yang diinginkan.

Manajemen akan menggunakan metode-metode akuntansi tersebut selama

tidak menyimpang dari aturan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.

Metode akuntansi yang dapat dipilih pihak manajemen untuk mengatasi

tidak tercapainya target laba tertentu salah satunya dengan pengelolaan

terhadap angka laba yang dikenal dengan praktik manajemen laba (earnings

management).

Menurut Schipper (1989), Earnings management is a purpose

intervention in the external financial reporting process, with the intent of

obtaining some private gain, opposed to say, merely faciliting the neutral

operation of the process.

Manajemen laba merupakan dampak dari luasnya prinsip serta metode

akuntansi yang berterima umum. Jika terdapat suatu kondisi dimana pihak

manajemen tidak dapat mencapai target laba yang diinginkan, maka

manajemen memanfaatkan fleksibilitas yang diperbolehkan dalam standar

akuntansi dalam melaporkan laba perusahaan. Tindakan ini dilakukan

manajemen untuk memperlihatkan kinerja yang baik dalam perusahaan. Hal

ini tentu berdampak buruk bagi pengguna laporan keuangan, dimana dapat

mengurangi kredibilitas laporan keuangan apabila digunakan dalam

pengambilan keputusan.

2
Menurut Hanum (2009) Sampai saat ini manajemen laba merupakan area

yang paling kontroversial dalam akuntansi keuangan. Pihak yang kontra

terhadap manajemen laba seperti investor, berpendapat bahwa manajemen

laba merupakan pengurangan keandalan informasi laporan keuangan

sehingga dapat menyesatkan dalam pengambilan keputusan. Di lain sisi,

pihak yang pro terhadap manajemen laba seperti manajer, menganggap

bahwa manajemen laba merupakan hal yang fleksibel untuk melindungi diri

mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian yang tidak terduga.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan discreatinary accrual sebagai

proksi dari manajemen laba. Discretionary accruals merupakan komponen

akrual yang berasal dari manajemen laba yang dilakukan oleh manajer.

Tindakan manajemen laba dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya

yaitu akibat adanya asimetri informasi, pemberian kompensasi bonus dan

ukuran perusahaan. Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai

penyebab manajemen laba. Richardson (1998), dalam Rahmawati dkk

(2007) berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara

asimetri informasi dengan tingkat manajemen laba. Asimetri informasi

merupakan penyebab dari adanya teori keagenan (Agency Theory), yaitu

manajer (agent) diberikan wewenang oleh pemilik atau pemegang saham

untuk mengatur perusahaan yang dimilikinya. Teori keagenan menyatakan

bahwa perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dan kepemilikan

akan rentan terhadap konflik keagenan (Jensen and Mackling, 1976).

Asimetri informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi

internal dan bagaimana prospek perusahaan dimasa yang akan datang

3
dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Principal tidak

mengetahui dengan pasti mengenai kinerja agent serta bagaimana usahanya

dalam memberikan kontribusi terhadap hasil aktual dari perusahaan. Hal

tersebut menyebabkan manajer selaku agent yang mengetahui informasi

internal lebih banyak menyampaikan informasi yang terkadang tidak sesuai

dengan kondisi perusahaaan yang sebenarnya karena manajer cenderung

melaporkan sesuatu yang bertujuan memaksimalkan utilitasnya.

Asimetri informasi diukur dengan menggunakan Relative Bid-ask

Spread. Dimana asimetri informasi dilihat dari selisih harga saat ask dengan

harga bid saham perusahaan atau selisih harga jual dan harga beli saham

perusahaan selama satu tahun (Healy, 1999) dalam Rinita Mayanda

(2008:46).

Disisi lain, terdapat faktor yang dapat memotivasi manajemen dalam

melakukan manajemen atau manipulasi laba. Salah satunya yaitu

kompensasi bonus. Watss & Zimmerman (1986) menjelaskan bahwa

perilaku manajemen laba ini dapat dijelaskan melalui hipotesis yang

terdapat dalam positive accounting theory. Hipotesis yang mempengaruhi

perilaku manajemen laba tersebut yaitu hipotesis bonus plan hypothesis,

yang mana perusahaan yang merencanakan pemberian bonus akan

cenderung menggunakan metode akuntansi ini untuk dapat memaksimalkan

income masa kini atau tahun berjalan mereka. Manajer perusahaan dengan

rencana bonus akan berusaha mengatur laba yang dilaporkannya agar dapat

memaksimalkan bonus yang akan diterimanya.

4
Melihat beberapa kasus manajemen laba yang terjadi hingga saat ini,

dapat dilihat bahwa praktik manajemen laba tidak hanya terjadi pada

perusahaan-perusahaan menengah ke bawah, tetapi juga terjadi pada

perusahaan besar. Berdasarkan kasus tersebut menyimpulkan bahwa ukuran

perusahaaan juga ikut mempengaruhi tindakan manajemen laba. Mpaata dan

Sartono (1997) mengatakan bahwa besaran perusahaan atau skala

perusahaan adalah ukuran perusahaan yang ditentukan dari jumlah total

asset yang dimiliki perusahaan. Choi (2002). Penelitian Defond (1993)

dalam Hanum (2009) mengatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh

positif terhadap manajemen laba.

Perusahaan yang lebih besar memiliki dorongan untuk melakukan

earning management dibandingkan perusahaan-perusahaan kecil karena

perusahaan besar dipandang lebih kritis oleh pihak luar dan perusahaan

besar harus mamapu memenuhi ekspektasi dari investor atau pemegang

sahamnya.

Penelitian ini bersifat empiris, dimana perusahan yang akan diteliti

adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari

tahun 2013-2017. Manajemen laba yang akan digunakan pada penelitian ini

adalah manajemen laba akrual. Beberapa penelitian terkait dengan

manajemen laba telah dilakukan dengan variabel yang sangat variatif dan

menujukkan hasil yang berbeda-beda. Dalam penelitian yang dilakuan oleh

Muliati (2011) mengenai pengaruh asimetri informasi dan ukuran

perusahaan terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan perbankan,

dimana penelitian tersebut menunjukkan bahwa variabel independen

5
asimetri informasi berpengaruh positif pada praktik manajemen laba dan

variabel ukuran perusahaan terbukti berpengaruh negatif pada praktik

manajemen laba. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian

Muliati (2011) yaitu dilihat dari perusahaan yang akan diteliti, dimana

penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia (BEI).

Terkait dengan kompensasi bonus, penelitian yang dilakukan oleh Pujiati

dan Arafan (2013) menjelaskan bahwa kompensasi bonus tidak berpengaruh

signifikan terhadap praktik manajemen laba. Lain halnya mengenai bentuk

hubungan asimetri informasi dan kompensasi bonus yang dilakukan oleh

Yustiningarti dan Asyik (2017) yang menyatakan bahwa keduanya

berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba.

Ketidakkonsistenan dari hasil penelitian terdahulu dan fenomena kasus yang

terkait praktik manajemen laba, menjadi latar belakang dilakukannya

penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dapat

dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Apakah asimetri informasi berpengaruh terhadap praktik manajemen

laba?

2. Apakah kompensasi bonus berpengaruh terhadap praktik manajemen

laba?

3. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap praktik manajemen

laba?

6
1.3 Tujuan penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian

ini adalah:

1. Untuk menguji dan memperoleh bukti empiris adakah pengaruh

asimetri informasi pada praktik manajemen laba.

2. Untuk menguji dan memperoleh bukti empiris adakah pengaruh

kompensasi bonus pada praktik manajemen laba.

3. Untuk menguji dan memperoleh bukti empiris pengaruh ukuran

perusahaan pada praktik manajemen laba.

1.4 Manfaat penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka

diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Bagi Investor

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar masukan, acuan

serta pertimbangan bagi para investor dalam pengambilan keputusan

investasi saham, terutama dalam menilai kualitas laba yang dilaporkan

dalam laporan keuangan, serta seberapa berpengaruh asimetri

informasi, kompensasi bonus dan ukuran perusahaan terhadap praktik

manajemen laba sehingga dapat mengoptimalkan keuntungan dan

meminimalkan resiko investasi.

2. Bagi Akademisi

Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

sebagai acuan dan pedoman bagi peneliti di masa yang akan datang

yang juga tertarik untuk membahas permasalahan yang diangkat dalam

7
penelitian dan meningkatkan perkembangan terhadap teori-teori yang

berhubungan dengan penelitian ini, yaitu teori keagenan.

3. Bagi Regulator

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu

pertimbangan serta referensi bagi para regulator dalam melakukan

pengawasan terhadap kegiatan perusahaan untuk membuat regulasi

mengenai pelaporan tahunan perusahaan.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah yang

akan diteliti, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab ini berisi pemaparan tentang tinjauan literatur yang terkait

dengan topik penelitian, penelitian-penelitian terdahulu yang

terkait dengan topik penelitian, kerangka pemikiran penelitian

serta hipotesis penelitian.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisi tentang desain penelitian, populasi dan sampel,

jenis dan sumber data, variabel dan definisi operasionalnya, dan

metode analisis data yang terdiri dari pengujian data dan

pengujian hipotesis.

8
BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil dari pengumpulab data, analisis data,

pengujian hipotesis, dan pembahasan hasil analisis.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan,

keterbatasan, serta saran mengenai hasil penelitian.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan (agency theory)

Jika berbicara mengenai tindakan manajemen laba maka hal

tersebut tidak lepas dari teori keagenan (agency theory). Jensen dan

Meckling (1976) dalam Rahmawati, dkk. (2006) menyatakan bahwa

hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak yang terjadi antara

manajer (agent) dengan pemilik perusahaan atau pemegang saham

(principal). Principal selaku pemilik perusahaan memberikan

tanggungjawab kepada manajer (agent) dalam hal decision making,

dengan kata lain principal memberikan amanah kepada manajer untuk

melaksanakan tugas tertentu yang sesuai dengan kontrak kerja yang

telah disepakti.

Teori keagenan menyatakan bahwa terjadinya praktik manajemen

laba merupakan pengaruh dari koflik yang terjadi antara agent dan

principal dalam mencapai tujuan serta memaksimumkan utility

masing-masing. Adanya perbedaan kepentingan antara manajer dan

pemilik ini yang melandasi adanya tindakan manajemen laba.

Perbedaan kapasitas informasi yang dimiliki tiap-tiap pihak dapat

menjadi faktor adanya ketidaksinambungan tujuan antara agent dan

principal, dimana agent memiliki informasi yang lebih banyak (full

information) mengenai perusahaan dibandingkan dengan principal

yangmana dapat menimbulkan adanya asimetri informasi.

10
Eisenhardt (1989) dalam Ujiyanto dan Bambang (2007)

menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat

manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri

(self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai

persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia

selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat

dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak

opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya.

Adanya perbedaan tujuan keduanya mengakibatkan timbulnya

kecendrungan manajer yang terlalu berfokus terhadap bagaimana

perusahaan dapat mencapai target serta laba yang tinggi dalam jangka

pendek daripada memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham.

Ditambah lagi, pemegang saham sulit untuk mengontrol secara efektif

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena memiliki

keterbatasan informasi.

Tindakan manajemen yang hanya berfokus pada pencapaian target

serta laba dapat mendorong manajer untuk memilih serta menerapkan

metoda akuntansi yang dapat memperlihatkan kinerja yang baik dari

manajer. Salah datu tindakan tersebut dilakukan dengan memanipulasi

angka laba pada laporan keuangan untuk tujuan mendapatkan bonus

dari principal, tindakan ini yang disebut dengan manajemen laba

(earnings management).

2.1.2 Teori Bid-Ask Spread

11
Asimetri informasi dapat diukur dengan menggunakan Relative

Bid-ask Spread. Dimana, asimetri informasi dilihat dari selisih harga

saat ask dengan harga bid saham perusahaan atau selisih harga jual

dan harga beli saham perusahaan dalam trader atau bisa disebut juga

dengan spread. Jika seorang investor ingin membeli atau menjual

suatu saham atau sekuritas lain di pasar modal, biasanya investor akan

melakukan transaksi tersebut melalui broker atau dealer yang

memiliki kemampuan lebih atau spesialisasi dalam suatu sekuritas.

Harga yang di berikan saat kita akan membeli (transaksi long atau

buy) di satu pair mata uang disebut dengan bid. Sedangkan ask adalah

sebaliknya, yaitu harga yang diberikan saat kita akan bertransaksi jual

(short atau sell) di satu pair mata uang.

Patisipan pasar saling berinteraksi di pasar modal guna

mewujudkan tujuannya yaitu membeli atau menjual sekuritasnya,

sehingga aktivitas yang mereka lakukan selalu dipengaruhi dengan

informasi yang mereka terima baik secara langsung (laporan publik)

maupun tidak langsung (insider traders). Muliati (2011) mengatakan

bahwa masalah keagenan juga dihadapi oleh partisipan pasar modal.

Dealer atau market makers memiliki pola pikir yang terbatas terhadap

persepsi masa depan dan menghadapi potensi kerugian ketika

berhadapan dengan jnformed traders. Informed traders merupakan

aktivitas perdagangan saham ataupun sekuritas tertentu oleh individu

yang mempunyai akses tentang informasi non publik dari perusahaan

12
tersebut. Kerugian yang dihadapi dealer berdasar dari biaya yang

perlu dikeluarkannyauntuk mendapatkan informasi lebih.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa, dalam menjalankan tugasnya

dealer sering dihadapi dengan ketidakpastian yang disebabkan karena

adanya ketidakseimbangan informasi. Adanya ketidakseimbangan

informasi antara para pelaku pasar menyebakan timbulnya asimetri

informasi yang mendorong market maker atau dealer untuk menutupi

kerugian dari informed traders dengan meningkatkan spread terhadap

pedagang likuid. Besarnya ketidakseimbangan informasi yang

dihadapi dealer akan tercermin pada spread yang ditentukannya.

Dealer selalu berusaha menentukan spread secara wajar dengan

memperhatikan kejadian tertentu atau kondisi atau informasi apa saja

yang memberikan sinyal mengenai surat berharga yang dimilikinya.

Ketika terdapat asimetri informasi, keputusan pengungkapan yang

dibuat oleh manajer dapat mempengaruhi harga saham karena asimetri

informasi antara investor yang lebih informed dan kurang informed

akan menimbulkan biaya transaksi dan mengurangi likuiditas dalam

pasar saham suatu perusahaan.

Literatur mikrostruktur dalam Rahmawati, dkk (2006)menyatakan

bahwa terdapat suatu komponen spread yang memberikan kontribusi

terhadap kerugian yang dialami dealer ketika bertransaksi dengan

pedagang terinformasi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Biaya pemrosesan pesanan (order processing cost), terdiri dari

biaya yang dibebankan oleh pedagang sekuritas (efek) atas

13
kesiapannya mempertemukan pesanan pembelian dan penjualan,

dan kompensasi untuk waktu yang diluangkan oleh pedagang

sekuritas guna menyelesaikan transaksi.

2. Biaya penyimpanan persediaan (inventory holding cost), yaitu

biaya yang ditanggung oleh pedagang sekuritas untuk membawa

persediaan saham agar dapat diperdagangkan sesuai permintaan.

3. Adverse selection component, menggambarkan suatu upah

(reward) yang diberikan kepada pedagang sekuritas untuk

mengambil suatu resiko ketika berhadapan dengan investor yang

memiliki informasi superior. Komponon ini terkait erat dengan arus

informasi di pasar modal.

Glosten Harris (1988) dalam menemukan bukti bahwa perubahan

spread saham biasa dalam jumlah yang signifikan diakibatkan oleh

asimetri informasi. Hal tersebut yang menyebabkan spread dapat

digunakan sebagai proksi kesetimbangan informasi yang dihadapi

partisipan pasar modal.

2.1.3 Manajemen laba (earnings management)

2.1.3.1. Pengertian manajemen laba

Menurut Scott (2000) terdapat dua pemahaman terhadap

manajemen laba. Pertama, melihat manajemen laba sebagai

perilaku oportunistik manajer untuk memaksimalkan utilitasnya

dalam menghadapi kompensasi, kontrak utang dan political costs

(opportunistic earnings management). Kedua, dengan memandang

manajemen laba dari perspektif efficient contracting (efficient

14
earnings management), dimana manajemen laba memberikan suatu

fleksibilats kepada manajer untuk melindungi diri mereka dan

perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak

terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.

Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar

perusahaannya melalui tindakan manajemen laba, misalnya dengan

melakukan perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan

laba sepanjang waktu.

Pada dasarnya, terdapat beberapa pendapat lain mengenai

pengertian dari manajemen laba, diantaranya:

Sugiri (1998) dalam Widyaningdyah (2001) menyatakan bahwa

membagi definisi earnings management menjadi dua, yaitu:

1. Definisi sempit

Earnings management dalam hal ini hanya berkaitan dengan

pemilihan metode akuntansi. Earnings management dalam

artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk

“bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam

menentukan besarnya earnings.

2. Defenisi luas

Earnings management merupakan tindakan manajer untuk

meningkatkan (mengurangi) yang dilaporkan saat ini atas suatu

unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan

peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang

unit tersebut.

15
Scott (2009) mandefinisikan manajemen laba sebagai berikut:

“Earning management is the choice by manager of accounting

policies so as to achieve some specific objective”

Penyataan tersebut menjelaskan bahwa bahwa manajemen laba

adalah suatu tindakan manajer yang dilakukan melalui pilihan

kebijakan akuntansi untuk memperoleh tujuan tertentu.

Menurut Kieso (2011) manajemen laba adalah sebagai berikut:

“Earning management is often defined as the planned timing of

revenues, expense, gains and losses to smooth out bumps in

earnings”

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa manajemen laba sering

didefinisikan sebagai perencanaan waktu dari pendapatan, beban,

keuntungan dan kerugian untuk meratakan fluktuasi laba.

Menurut Charless W.Mulford dan Eugene E.Comiskey (2010)

mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut:

“Manajemen laba adalah memanipulasi akuntansi dengan tujuan

menciptakan kinerja perusahaan agar terkesan lebih baik dari yang

sebenarnya”

Dari beberapa pendapat mengenai pengertian manajemen laba

dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan suatu

intervensi atau tindakan memanipulasi laba pada laporan keuangan

yang dilakukan manajer selaku agent yang menjalankan segala

proses bisnis perusahaan sesuai kontrak yang disepakati dengan

principal (pemilik atau pemegang saham) dengan tujuan untuk

16
meningkatkan utilitasnya demi mendapatkan kompensasi serta

keuntungan pribadi, dimana dapat merugikan serta menyesatkan

stakeholder mengenai kinerja ekonomi perusahaan yang

sesungguhnya.

2.1.3.2 Pola Manajemen Laba

Scott (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa pola dalam

manajemen laba, diantaranya:

a. Taking a bath

Pola ini terjadi ketika adanya tekanan organisasi atau pada saat

terjadinya reorganisasi termasuk pengankatan CEO baru dengan

melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Pola manajemen ini

dilakukan dengan cara menjadikan laba perusahaaan pada

periode berjalan menjadi sangat rendah atau tinggi dibandingkan

dengan laba pada periode sebelumnya.

Teknik taking a bath mengakui adanya biaya-biaya yang

terdapat pada periode yang akan datang dan kerugian pada

periode berjalan ketika terjadinya keadaan buruk yang tidak

menguntungkan dan tidak dapat dihindari perusahaan pada

periode berjalan. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan

laba di masa yang akan datang.

b. Income Minimization

Pola manajemen ini dilakukan dengan cara menjadikan laba

pada pelaporan keuangan periode berjalan lebih rendah daripada

laba sesungguhnya. Pola ini dilakukan pada saat perusahaan

17
memiliki tingkat probabilitas yang tinggi sehingga jika laba

pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi

dengan mengambil laba periode sebelumnya.

c. Income Maximization

Pola manajemen laba yang dilakukan dengan cara menjadikan

laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih tinggi

daripada laba sesungguhnya. Pola ini dilakukan pada saat laba

menurun. Dimana, hal ini bertujuan untuk melaporkan net

income yang tinggi untuk tujuan mendapatkan bonus yang lebih

besar.

d. Income Smoothing

Income Smoothing disebut juga perataan laba. Pola ini dilakukan

perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan

sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar

karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif

stabil.

2.1.3.3 Motivasi Manajemen Laba

Scott (2000) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya

manajemen laba, diantaranya:

a. Bonus Purposes atau motivasi bonus

Ini merupakan perluasan dari hipotesis rencana bonus (bonus

plan hypothesis), dimana manajer perusahaan dengan rencana

bonus lebih bertindak secara oportunistic dengan

memaksimalkan laba saat ini untuk kepentingan bonusnya.

18
b. The debt covenant hypotesis

Manajemen akan berusaha untuk meningkatkan laba agar tidak

melangar perjanjian kredit yang telah dilakukan serta demi

menjaga nama baik dan reputasi mereka dalam pandangan pihak

eksternal.

c. Political Motivations atau motivasi politik

Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang

dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung

mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik

yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang

lebih ketat. Upaya ini dilakukan degan harapan memperoleh

kemudahan serta fasilitas dari pemerintah.

d. Taxation Motivations

Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba

yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan

dengan tujuan penghematan pajak pendapatan atau

meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar.

e. Pergantian CEO

CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan

pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja

perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan

agar tidak diberhentikan.

f. Initital Public Offering (IPO)

19
Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, hal

tersebut menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public

melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka dengan

harapan bahwa mereka dapat menaikkan harga saham

perusahaan.

Roychowdhury (2006) membagi manajemen laba menjadi dua

kategori, yaitu:

a. Manajemen laba akrual

Manajemen laba akrual merupakan tindakan intervensi

manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan

tujuan tertentu (Schipper, 1989). Tindakan ini secara akrual

dilakukan pada akhir periode.

Sulistyanto (2008) mengatakan bahwa akrual merupakan

selisih antara kas masuk bersih dari operasi perusahaan dengan

laba yang dilaporkan dalam laporan laba rugi yang bersifat

discreationary accruals dan non-discreationary accruals.

Discreationary accruals merupakan pengakuan akrual yang

bebas, dimana tidak diatur karena manajemen dapat memilih

kebijakan yang akan digunakan, contohnya kebebasan dalam

metode penentuan estimasi umur aset tetap, metode depresiasi

aset tetap, persentase jumlah piutang tak tertagih, dan metode

penentuan jumlah persediaan.

Discreationary accruals memungkinkan adanya kesempatan

bagi manajemen dalam memodifikasi laporan keuangan untuk

20
menghasilkan jumlah laba yang diharapkan. Dengan demikian,

discreationary accruals dapat digunakan sebagai proksi untuk

menilai adanya manajemen laba akrual.

Non-discretionary accruals merupakan pengakuan akrual

yang wajar dan disesuaikan dengan standar-standar akuntansi

yang berlaku umum. Contohnya, ketika aset semakin besar

maka akrual terkait aset seperti depresiasinya juga akan semakin

besar.

b. Manajemen laba riil

Manajemen laba riil dapat dilakukan pada periode berjalan.

Tindakan ini menyimpang dari praktik bisnis yang umumnya

terjadi, hal tersebut dikarenakan manajemen memiliki tanggung

jawab untuk dapat memenuhi target laba yang ditentukan.

Contohnya, penundaan promosi produk dan mempercepat

kegiatan penjualan dengan adanya diskon besar-besaran

(Sulistiawan, dkk, 2011).

2.1.3.4 Model Pengukuran Manajemen Laba

Pengukuran manajemen laba dapat dilakukan dengan lima

model yang digunakan sebagai perbandingan, yaitu:

a. Model Healy (1985), pengujian Healy untuk manajemen laba

dilakukan dengan cara membandingkan rata-rata total akrual

(dibagi total aktiva periode selanjutnya).

b. Model DeAngelo (1986), pengujian dengan menghitung

perbedaan awal pada total akrual dengan asumsi bahwa

21
perbedaan pertama tersebut diharapkan nol, yang berarti tidak

terdapat manajemen laba. Model ini menggunakan akrual

periode lalu (dibagi total aktiva periode sebelumnya) sebagai

ukurannon-discreationary accruals.

c. Model Jones (1991), Jones mengusulkan sebuah model yang

menolak asumsi bahwa non-discreationary accruals bersifat

konstan. Model ini mencoba mengontrol efek perubahan pada

lingkungan ekonomi perusahaan terhadap non-discreationary

accruals.

d. Model Industri (1991), Dechow dan Sloan (1991) menyusun

model ini dimana serupa dengan model jones. Model ini

mengasumsikan bahwa variasi determinan dari non-

discreationary accruals adalah sama pada semua jenis industri

yang sama. Pengujian dilakukan untuk mengetahui kemampuan

model dengan menerapkan pengujian statistik.

e. Model Modifikasi Jones (1995), modelini merupakan model

yang dibuat untuk mengeliminasi tendensi konjungtor yang

terdapat pada Model Jones.

2.1.4 Asimetri Informasi (asymmetry information)

Laporan keuangan dibuat dengan tujuan sebagai sarana

pengkomunikasian informasi keuangan kepada berbagai pihak, baik

itu pihak internal selaku manajer, karyawan, serta pihak lainnya

maupun pihak eksternal (diluar korporasi). Pihak yang paling

berkepentingan dengan laporan keuangan adalah pihak eksternal yaitu

22
pemegang saham, kreditur, pemerintah, masyarakat. Pihak eksternal

memerlukan informasi laporan keuangan karena mereka tidak

mengetahui secara langsung segala peristiwa serta aktivitas-aktivitas

yang terjadi pada perusahaan dan prosepek perusahaan kedepannya.

Akibatnya, pengguna eksternal memiliki tingkat ketergantungan yang

lebih besar terhadap informasi akuntansi dibandingkan dengan pihak

internal perusahaan.

Adanya perbedaan terhadap kepemilikan informasi perusahaan

menyebabkan terjadinya asimetri informasi (information asymmetry).

Asimetri informasi adalah suatu keadaan dimana manajer (agent)

mempunyai informasi yang lebih banyak mengenai perusahaan serta

prospek perusahaan dimasa yang akan datang dibandingkan pihak luar

(principal).

Menurut Beaver yang terdapat dalam Santoso (2012): “Asimetri

informasi adalah istilah untuk menggambarkan adanya dua kondisi

investor dalam perdagangan saham yaitu investor yang more informed

dan investor yang less informed.”

Pengertian asimetri informasi menurut Scoot (2009) sebagai

berikut :

“Frequently, one type of participant in the market (sellers, for

example) will know something about the assets being traded the

another type of participant (buyers) does not know. When this

situation exits, the market is said to be characterized by information

asymmetry”

23
Pernyataan tersebut menjelasksn bahwa, asimetri informasi

merupakan keadaan dimana salah satu pihak yang terlibat dalam

transaksi tersebut memiliki keunggulan dan kelebihan informasi

mengenai aset yang diperdagangkan dibandingkan dengan pihak lain.

Kondisi ini memberikan peluang kepada agent untuk

menggunakan informasi yang diketahuinya untuk memanipulasi

laporan keuangan sebagai usaha memaksimalkan kemakmurannya.

Jensen dan Meckling (1976) dalam Rahmawati, dkk (2006)

menambahkan bahwa jika kedua kelompok (agen dan prinsipal)

tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan

utilitasnya, maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa

agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan

prinsipal.

Terdapat dua asimetri informasi, diantaranya:

1. Adverse selection

Adverse selection yaitu dimana, para manajer serta pihak-pihak

dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak informasi

mengenai keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan dengan

pihak luar, sehingga terdapat fakta-fakta yang mungkin tidak

disampaikan kepada principal.

2. Moral hazard

Moral hazard yaitu dimana, tindakan yang dilakukan oleh seorang

manajer tidak sepenuhnya diketahui oleh investor (pemilik atau

pemegang saham), sehingga manajer memiliki kesempatan untuk

24
dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham

yang melanggar kontrak yang secara etika dan norma tidak layak

dilakukan oleh seorang manajer. Moral hazard dapat terjadi karena

adanya pemisahan kepemilikan dengan pengendalian perusahaan

yang merupakan karakteristik dari perusahaan-perusahaan besar.

2.1.5 Kompensasi Bonus

Kompensasi bonus merupakan salah satu dari faktor yang dapat

mendorong manajer melakukan praktik manajemen laba. Hal tersebut

didorong dengan adanya teori akuntansi positif dalam bonus plan

hypothesis, yang menyatakan bahwa manajer perusahaan dengan

rencana bonus lebih terobsesi pada metode akuntansi yang dapat

meningkatkan laba periode berjalan. Menurut Pujianti &Arfan (2013),

kompensasi bonus merupakan suatu kebijakan yang diberikan kepada

manajer yang didasarkan pada hasil kinerjanya demi mencapai tujuan

perusahaan. Mayangsari (2015) juga menyatakan bahwa kompensasi

merupakan bentuk penghargaan atau balas jasa yang diberikan oleh

perusahaan baik yang berbentuk finansial ataupun barang dan jasa

pelayanaan dengan tujuan dapat menghargai kinerja yang dilakukan.

Dari beberapa uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa

kompensasi perusahaan merupakan bentuk penhargaan yang diberikan

oleh perusahaan kepada pihak manajemen diluar gaji pokok bulanan,

yaitu dapat berupa finansial, barang dan jasa pelayanan berdasarkan

kinerja yang telah diberikan pihak manajemen.

25
Menurut Ningsaptiti (2010) Dalam kontrak bonus dikenal dua

istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus)

dan cap (tingkat laba tertinggi). Jika laba berada di bawah bogey,

maka tidak akan ada bonus yang diperoleh manajer sebaliknya jika

laba berada di atas cap, maka manajer juga tidak akan mendapat

bonus tambahan. Jika laba bersih berada di bawah bogey, manajer

cenderung memperkecil laba dengan harapan memperoleh bonus lebih

besar pada periode berikutnya, begitu pula sebaliknya. Jadi manajer

hanya akan menaikkan laba jika laba bersih berada diantara bogey dan

cap.

2.1.6 Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan merupakan suatu skala dimana suatu

perusahaan dapat diklasifikasikan sebagai perusahaan yang besar atau

kecil menurut berbagai cara, diantaranya yaitu total aktiva, nilai pasar

saham dan lain-lain. Pada penelitian ini ukuran perusahaan diukur

dengan menggunakan total aktiva. Semakin besar suatu perusahaan

maka makin besar pula tingkat kepentingan dari masing-masing pihak.

Kebutuhan akan informasi akuntansi terhadap perusahaan yang besar

akan semakin komplit.

Ukuran perusahaan merupakan salah satu faktor yang

dipertimbangkan oleh investor dalam melakukan investasi. Hal

tersebut dikarenakan perusahaan yang besar dianggap lebih berpotensi

dan memiliki kedewasan, dengan kata lain perusahaan yang besar

memiliki prospek kedepan yang lebih matang dibandingkan dengan

26
perusahaan kecil, hal tersebut mencerminkan perusahaan relatif stabil

dan mampu menghasilkan laba yang baik. Selain terhadap investor

ukuran perusahaan juga berdampak bagi pihak regulator (pemerintah).

Dimana, perusahaaan yang besar akan berdampak terhadap besarnya

pajak yang akan diterima negara serta seberapa efektifnya perusahaan

berperan dalam pemberian perlingungan terhadap masayarakat secara

umum.

Machfoedz (1994) dalam Muliati (2011) menejelaskan bahwa pada

dasarnya ukuran perusahan hanya terbagi dalam 3 katagori yaitu

perusahaan besar (large firms), perusahaan sedang (medium firms),

perusahaan kecil (small firms). Penentuan ukuran perusahaan ini

adalah bedasarkan kepada total aktiva perusahaan.

2.2 Review Penelitian Terdahulu

Muliati (2011) dalam penelitiannya mengenai pengaruh asimetri

informasi dan ukuran perusahaan terhadap manajemen laba pada perusahaan

perbankan yang tercatat di BEI tahun 2001-2008, menunjukan bahwa

asimetri informasi berpengaruh terhadap praktik manajemen laba yang

terjadi pada perusahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi

asimetri informasi maka semakin tinggi peluang yang dimiliki manajer

untuk melakukan praktik manajemen laba. Pada penelitian tersebut juga

dikatakan bahwa ukuran perusahaan terbukti berpengaruh negatif pada

praktik manajemen laba. Terdapat dua pandangan mengenai bentuk

hubungan antara ukuran perusahaan dengan praktik manajemen laba.

Pandangan pertama menurut Halim, dkk (2005) dalam Muliati (2011) dan

27
Sunaryo (2010) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki

hubungan positif dengan praktik manajemen laba. Pandangan kedua

menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan negatif dengan

manajemen laba seperti yang disampaikan oleh Marrkchi (2001).

Setyaningrum dan Aprillia (2011) menyimpulkan bahwa hasil penilitan

yang didapatkannya mendukung penelitian Rahmawati, dkk (2006) dimana,

asimetri informasi memberikan konstribusi nyata terhadap manajemen laba

yang diproksikan dengan discreationary acrrual. Sedangkan pada ukuran

perusahaan, dikatakan bahwa variabel tersebut memberikan konstribusi

negatif terhadap manajemen laba. Begitupun juga hasil yang sama diperoleh

dari penelitian yang dilakukan oleh Dhaneswari dan Retnaningtyas (2013).

Salah satu variabel dari penelitian sebelumnya (Wijaya & Yulius, 2014)

yaitu pengaruh kompensasi bonus terhadap earnings management,

memberikan hasil bahwa variabel tersebut memberikan pengaruh positif

terhadap earnings management, yangmana juga berlaku pada penelitian

yang dilakukan oleh Yustiningarti dan Asyik (2017). Penelitian tersebut

tidak sejalan dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Puji dan

Arafan (2013) serta Dustriyani dan Nazar (2015) dimana, mereka

menyatakan bahwa kompensasi bonus tidak berpengaruh signifikan

terhadap manajemen laba.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, menurut Firdaus

(2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa asimetri informasi tidak

berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Temuan studi ini konsisten

dengan penelitian yang dilakukan oleh Healy et.al (2001) yang menilai

28
tentang information asymmetry, corporate disclosure, and the capital

markets: A review of the empirical disclosure literature, yang menemukan

bahwa asimetri informasi tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

2.3 Pengembangan Hipotesis

2.3.1 Hubungan Asimetri Informasi dengan Manajemen Laba

Adanya keberadaan asimeri informasi dianggap sebagai penyebab

praktik manajemen laba. Terdapat bukti-bukti empiris yang

menyatakan bahwa dengan adanya asimetri informasi dapat

memberikan pengaruh terhadap manajemen laba. Muliati (2011),

Santos (2012), Rizal (2017), Sunaryo (2010) dan Richardson (1998)

dalam penelitiannya menunjukan bahwa asimetri informasi

berpengaruh terhadap praktik manajemen yang terjadi pada

perusahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi asimetri

informasi maka semakin tinggi peluang yang dimiliki manajer untuk

melakukan praktik manajemen laba. Asimetri informasi timbul karena

adanya dampak dari teori keagenan (agency theory) yang terjadi pada

perusahaan. Dimana asimetri informasi muncul ketika manajer (agent)

memiliki lebih banyak informasi terkait perusahaan serta prospek

perusahaan tersebut dalam jangka panjang dibandingkan pemilik atau

pemegang saham (principal).

Dengan adanya asimetri informasi dapat mendorong manajer untuk

menyajikan informasi yang tidak sebernanya terjadi pada perusahaan

dengan tujuan memeperlihatkan kinerja yang baik dari perusahaan

untuk memaksimalkan utilitas pribadinya. Ketika asimetri informasi

29
pada suatu perusahaan tinggi, maka pemegang saham atau stakeholder

tidak memiliki sumber daya yang cukup atas informasi yang relevan

dalam memonitori serta mengawasi tindakan manajer perusahaan.

Cristie dan Zimmerman (1994) dalam Utari dan Maria (2016)

membuktikan bahwa perusahaan yang melakukan takeover cenderung

memilih metoda depresiasi dan metode pencatatan persediaan, yang

dapat meningkatkan laba akuntansi. Berdasarkan penelitian tersebut

juga disimpulkan bahwa terdapat sikap opportunistic manajemen

dalam kasus ambil alih perusahaan, sekalipun alasan utama pemilihan

metode akuntansi didasarkan pada pertimbangan efisiensi atau

pertimbangan memaksimalkan nilai perusahaan.

H1 : Asimetri informasi berpengaruh positif terhadap manajemen laba.

2.3.2 Hubungan Kompensasi Bonus dengan Manajemen Laba

Kompensasi bonus sebagai salah satu bentuk apresiasi atas kinerja

manajemen dianggap sebagai pemicu adanya praktik manajemen laba.

Artinya, bila manajer dapat mencapai standar yang telah ditetapkan

maka manajer akan memperoleh tingkat bonus tertentu. Hak tersebut

menyebabkan manajer berusaha untuk meningkatkan utilitasnya demi

keuntungan pribadi.

H2: Kompensasi bonus berpengaruh positif terhadap manajemen laba.

2.3.3 Hubungan Ukuran perusahaan dengan Manajemen Laba

Suatu perusahaan yang lebih besar dianggap lebih memiliki potensi

dan prospek kedepannya yang lebih matang dan jelas dibandingkan

dengan perusahaan yang berskala kecil atau pun menengah.

30
Perusahaan yang besar relatif stabil dam mampu menghasilkan kinerja

ekonomi yang baik serta memiliki pemegang kepentingan yang lebih

luas pula, hal tersebut menyebabkan berbagai kebijakan yang

ditetapkan perusahaan besar akan berdampak lebih besar terhadap

kepentingan publik.

Total nilai aktiva dipakai sebagai tolak ukur dari ukuran

perusahaan. Perusahaan yang besar diidentikkan dengan nilai aktiva

yang besar pula. Hal tersebut yang menjadi pemicu manajer

melakukan praktik manajemen laba dengan anggapan bahwa

pemegang kepentingan masih mendasarkan penilaian terhadap suatu

perusahaan dengan menilai total dari nilai aktiva suatu perusahaan.

Ada dua pandangan mengenai bentuk hubungan antara ukuran

perusahaan dengan praktik manajemen laba. Pandangan pertama

menurut Halim, dkk (2005) dalam Muliati (2011) dan Sunaryo (2010)

yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan

positif dengan praktik manajemen laba. Pandangan kedua menyatakan

bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan negatif dengan

manajemen laba seperti yang dilakukan oleh Marrkchi (2001).

H2 : Ukuran perusahaan (firm size) berpengaruh positif terhadap

manajemen laba.

2.4 Kerangka Pemikiran Teoritis

Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat

disusun kerangka pemikiran dari penelitian seperti yangtampak pada

gambar dibawah ini:

31
Gambar 1

Kerangka Teoritis

Variabel Independen Variabel Dependen

Asimetri Informasi (asymmetry


information)
Manajemen Laba
Asimetri Informasi (asymmetry (earnings management)
information)

Asimetri Informasi (asymmetry


information)

32
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan objek yang ingin diteliti. Nawawi

(Margono, 2004: 118) menyebutkan bahwa populasi adalah keseluruhan

objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-

tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber

data yang memiliki karaktersitik tertentu di dalam suatu penelitian. Populasi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur

yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2013-2017.

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive

sampling. Menurut Erlina (2011) purposive sampling adalah metode

pengambilan sampel berdasarkan suatu kriteria tertentu. Kriteria dari

pengambilan sampel sebagai berikut:

1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

selama periode 2013-2017.

2. Perusahaan yang mempublikasikan laporan keuangan untuk periode

31 Desember 2013-2017. Laporan keuangan harus tersedia berturut-

turut untuk menghitung manajemen laba.

3. Perusahaan yang menyajikan data harga saham selama periode

estimasi dan pengamatan.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder berupa laporan

keuangan dan daftar harga saham harian perusahaan manufaktur yang

33
terdaftar di BEI selama periode 2013-2017. Data yang dipergunakan dalam

penelitian ini yaitu data yang telah disediakan oleh pihak ketiga dan tidak

berasal dari sumber langsung. Data tersebut data yang diperoleh melalui

situs: http//www.idx.co.id dan Indonesian Capital Market Dierctory

(ICMD).

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, sehingga

metoda pengumpulan data yang digunakan adalah metoda pengumpulan

data arsip(archival), yaitu metoda pengumpulan data di basis data. Data

tersebut berupa laporan keuangan dan daftar harga saham perusahaan

manufakturyang terdaftar diBursa Efek Indonesia (BEI) selama periode

2013-2017.

3.4 Model Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

regresi linar berganda. Analisis regresi linear berganda digunakan untuk

menguji apakah terdapat pengaruh antara variabel independen terhadp

variabel dependen. Persamaan regresi dengan linear berganda dalam

penelitian ini adalah:

Y = α + β1X1 + β2X2 + e

Dimana,

Y : Manajemen laba (earnings management)

α : Nilai konstanta

β : Koefisien regresi

X1 : Asimetri informasi (asymmetry information)

34
X2 : Ukuran perusahaan (firm size)

3.5 Variabel Penelitian

3.5.1 Variabel Dependen

Sugiyono (2009:38) menjelaskan bahwa variabel penelitian pada

dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh formasi

tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel

dependen dalam penelitian ini adalah manajemen laba (earnings

management).

Penelitian ini berfokus kepada penghitungan manajemen laba

dengan menggunakan manajemen laba akrual perusahaan. Hal ini

dikarenakan manajemen laba akrual telah diselesaikan perhitungannya

pada tahun tersebut, sehingga data yang digunakan merupakan data

yang kemungkinan sudah dilakukan manajemen laba oleh perusahaan

pada saat tahun tersebut.

Dalam penelitian ini discretonary accrual (DAC) digunakan

sebagai proksi karena merupakan komponen yang dapat dimanipulasi

oleh manajer. Discreationary accruals dihitung dengan menggunakan

modified jones model. Model ini digunakan karena dianggap sebagai

model yang paling baik dalam mendeteksi manajemen laba dan dapat

memberikan hasil yang kuat (Yustiningarti, 2017).

Berikut langkah-langkah mengitung discreationary accruals:

a. Berikut cara menghitung total akrual (TAC):

35
Selanjutnya, menghitung nilai akrual yang diestimasi dengan

persamaan regresi OLS (Ordinary Least Square):

b. Menghitung nondiscretionary accruals model (NDA) adalah

sebagai berikut:

c. Menghitung discretionary accruals

Dimana,

DAit : discreationary accruals perusahaan i dalam periode

tahun t

NDAit : non discreationary accruals perusahaan i dalam

periode tahun t

TAit : total akrual perusahaan i dalam periode tahun t

NIit : laba bersih perusahaan i dalam periode tahun t

CFOit : arus kas dari aktivitas operasi perusahaan i dalam

periode tahun t

Ait-1 : total assets perusahaan i dalam periode tahun t-1

∆Revit : pendapatan perusahaan i pada tahun t dikurangi dengan

pendapatan perusahaan i pada tahun t-1

36
∆Recit : piutang usaha perusahaan i pada tahun t dikurangi

pendapatan perusahaan i pada tahun t-1

PPEit : property, pabrik, dan peralatan perusahaan i dalam

periode tahun t

ε : error term perusahaan i padaperiode t

3.5.2 Variabel Independen

Variabel independen (variabel bebas) merupakan variabel yang

mempengaruhi variabel lain atau menjadi faktor penyebab berubahnya

variabel lain. Variabel independen pada penelitian ini adalah asimetri

informasi (asymmetry information), kompensasi bonus dan ukuran

perusahaan (firm size).

Asimetri informasi diukur dengan menggunakan relative bid-ask

spread yang dioperasikan sebagai berikut:

SPREAD = (aski,t – bidi,t)/{(aski,t + bidi,t)/2} x 100

Dimana,

Aski,t : harga ask tertinggi saham perusahaan i yang terjadi

pada periode t

Bidi,t : harga bid terendah saham perusahaan i yang terjadi

pada periode t

Kompensasi bonus terdiri dari segala imbalan yang diberikan

kepada manajer dalam bentuk finansial ataupun non finansial diluar

gaji pokok. Kompensasi bonus diukur dengan menggunakan skala

dummy, dimana perusahaan yang memberikan kompensasi bonus

37
diberi nilai 1 dan perusahaan yang tidak memberikan kompensasi

bonus akan diberi angka 0.

Ukuran perusahaan diukur dengan besarnya aset yang dimiliki

perusahaan atau total nilai aktiva perusahaan. Pengukuran variabel ini

menggunakan nilai logaritma dari total aktiva, dapat dituliskan

sebagai berikut:

SIZE = log (Total Aktiva)

3.6 Teknik Analisis Data

3.6.1 Analisis Statistik Deskriptif

Analisis statisitk deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk

menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan

data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud

membuat kesimpulan yang berlaku secara umum atau generalisasi.

Analisis ini dilakukan dengan cara melihat tabel statistik deskriptif

yangmenunjukkan hasil pengukuran mean, sum, standar deviation,

nilai minimum dan maksimum dari semua variabel yang diuji.

3.6.2 Uji Asumsi Klasik

Penggunaan uji asumsi klasik bertujuan untuk mengetahui apakah

data yang diperoleh layak untuk dianalisis.

1. Uji Normalitas Data

Uji normalitas ini diuji dengan menggunakan Test if Normality

Kolmogorov-Smirnov pada program pengelolaan data SPSS.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah persamaan

regresi yang dihunakan mempunyai distribusi normal ata tidak

38
(Ghozali, 2011). Menurut Santoso (2012), dasar pengambilan

keputusan dilakukan berdasarkan probabilitas dengan ketentuan

sebagai berikut:

a. Jika probabilitas > 0,05 maka model yang digunakan

berdistribusi normal.

b. Jika probabilitas < 0,05 maka model yang digunakan

berdistribusi tidak normal.

2. Uji Heterokedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji model regresi

terjadiketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke

pengamatan yang lain.Jika varian dari residual satu pengamatan ke

pengamatan lain tetap, maka disebuthomokedastisitas dan jika

berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yangbaik adalah

yang homokedastisitas atau bebas dari heteroskedastisitas (Muliati,

2011). Uji heterokedastisitas bisa dilihat melalui letak scatterplot:

a. Jika terdapat pola tertentu dimana titik-titik membentuk pola

tertentusecara teratur, maka terjadi heterokedastisitas

b. Jika letak pola titik-titik tidak teratur dan menyebar di atas

dan dibawahangka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi

heterokedastisitas

3. Uji Multikolinearitas

Multikolinieritas adalah suatu keadaan dimana terdapat

hubungan linear atau korelasi yang tinggi antara variabel bebas

dalam model regresi. Model regresi yang baik tidak mengandung

39
multikolinieritas. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas

digunakan Variance Inflation Factor (VIF). Apabila nilai tolerance

> 0,10 atau nilai VIF < 10, maka tidak ada multikolinieritas antar

variabel bebas dalam model regresi.

4. Uji Autokorelasi

Autokorelasi menunjukkan dalam sebuah model regresi linear

terdapat kesalahan penganggu pada periode waktu dengan

kesalahan pada periode waktu sebelumnya. Model regresi yang

baik, bebas dari autokorelasi. Pendeteksian ada tidaknya

autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji Durbin

Watson (DW-test). Suatu observasi dikatakan tidak terjadi

autokorelasi jika nilai Durbin Watson -2 < DW < +2.

3.7 Pengujian Hipotesis

3.7.1 Uji Signifikan Simultan (Uji F)

Uji F dilakukan untuk melihat ada tidaknya pengaruh semua

variabel bebas terhadap variabel terikat (Firdaus, 2013). Pengujian ini

dilakukan uji dua arah dengan hipotesis:

H0 : artinya tidak terdapat pengaruh secara signifikan dari variabel

independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama

Ha : artinya terdapat pengaruh secara signifikan dari variabel

independen terhadap dependen secara bersama-sama.

Kriteria pengujian ditetapkan sebagai berikut:

a. Jika Fhitung< Ftabel. H0 diterima dan Ha ditolak.

b. Jika Fhitung> Ftabel H0 ditolak dan Ha diterima.

40
c. Tingkat signifikansi yang digunakan sebesar 5% dengan kata

lain jika signifikansi > 0,05 maka dinyatakan tidak signifikan.

3.7.2 Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi ini merupakan ukuran untuk mengetahui

kesesuaian dan ketepatan antara nilai dugaan atau garis regresi dengan

data sampel. Apabila nilai dari koefisien korelasi sudah diketahui,

maka untuk mendapatkan koefisien determinasi dapat diperoleh

dengan mengkuadratkannya.

Kriteria:

a. Jika R2 mendekati nol maka pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen lemah

b. Jika R2 mendekati satu maka pengaruh variabel independen

terhadap variabel dependen kuat

3.7.3 Uji T

Ghozali (2006) menjelaskan bahwa pengujian t ini digunakan

untuk mengetahui besarnya pengaruh dari masing-masing variabel

independen secara individu terhadap variabel dependen. Berikut dasar

pengambilan kesimpulan uji t:

a. Apabila Thitung < Ttabel, maka H0 diterima dan Ha ditolak

b. Apabila Thitung > Ttabel,maka H0 ditolak dan Ha diterima

c. Tingkat signifikan yang digunakan sebesar 5% dimana, jika

signifikan > 0,05 maka dinyatakan tidak signifikan.

41
42
43

Anda mungkin juga menyukai