Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di RS Bab 3 PDF
Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di RS Bab 3 PDF
Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di RS Bab 3 PDF
BAB III
SKRINING BAYI BARU LAHIR
A. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Bayi Baru Lahir
1. Gejala gangguan pendengaran pada bayi dan anak
Gejala gangguan pendengaran pada bayi sulit diketahui mengingat
ketulian tidak terlihat. Biasanya keluhan orangtua adalah bayi tidak memberi
respons terhadap bunyi. Umumnya orangtua melaporkan sebagai terlambat
bicara (delayed speech), tidak memberi respons saat dipanggil atau ada
suara/bunyi. Dapat pula sebagai keluhan perkembangan kosakata yang tidak
sesuai dengan usia anak, berbicara tidak jelas, atau meminta sesuatu dengan
isyarat.
Gangguan pendengaran dibedakan menjadi :
- tuli sebagian (hearing impaired) yaitu penurunan fungs pendengaran tetapi
masih bisa berkomunikasi dengan atau tanpa alat bantu dengar;
- tuli total (deaf) adalah gangguan fungs pendengaran yang sedemikian
terganggu sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat
pengerasan bunyi.
2. Perkembangan sistem pendengaran
Pada usia gestasi 9 minggu, mulai terbentuk ketiga lapisan pada gendang
telinga, dan pada minggu ke-20 sudah terjadi pematangan koklea dengan
fungsi menyamai dewasa dan dapat memberi respons terhadap suara. Pada
saat yang sama, bentuk daun telinga sudah menyerupai daun telinga orang
dewasa walaupun masih terus berkembang sampai usia 9 tahun. Pada usia
gestasi 30 minggu terjadi pneumatisasi dari timpanum, demikian juga dengan
liang telinga luar yang terus berkembang sampai usia 7 tahun.
Perkembangan auditorik berhubungan erat dengan perkembangan otak.
Neuron dibagian korteks mengalami pematangan dalam waktu 3 tahun
pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi
perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan hal tersebut, maka
upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran sampai habilitasi
dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung.
2.a. Perkembangan mendengar
Usia
0 4 bulan
4 7 bulan
Kemampuan Auditorik
Bila diberikan stimulus bunyi, respon mendengar yang terjadi
masih bersifat refleks (behavioral responses) seperti:
- Refleks auropalpebral (mengejapkan mata)
- Heart rate meningkat
- Eye widening (melebarkan mata)
- Cessation (berhenti menyusu)
- Grimacing (mengerutkan wajah)
4 bulan : memutar kepala pada arah horizontal; masih lemah
(belum konsisten)
20
7 - 9 bulan
9 - 13
bulan
7 - 11 bulan
12 - 18
bulan
24 - 35
bulan
36 - 47
bulan
Kemampuan
menangis ,suara mendengkur (cooing),suara berkumur
(gurgles)
tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling) : aaa, ooo
mengeluarkan suara kombinasi vokal dan konsonan.
- ocehan bermakna (true babling) atau lalling (pa..pa.., da..da)
- memberi respons terhadap suara marah atau bersahabat
- belajar menangis dengan suara yang bervariasi sesuai
kebutuhan
menggabungkan kata/suku kata yang tidak mengandung arti,
seperti bahasa asing (jargon); usia 10 bulan : mampu meniru
suara (echolalia)
- mengerti kata perintah sederhana : kesini
- mengerti nama obyek sederhana : sepatu, cangkir
- menjawab pertanyaan sederhana
- mengerti instruksi sederhana, menunjukkan bagian tubuh
dan nama mainan
- kata yang diucapkan antara 150 -300 kata
- volume dan pitch suara belum terkontrol
-mengenali warna, mengerti konsep besar - kecil, sekarang nanti
- jumlah kata yang diucapkan mencapai 900 1.200 kata
-memberi respons pada 2 kalimat perintah yang tidak
berhubungan seperti:ambil sepatu, letakkan gelas di atas
meja
- mulai bertanya kenapa dan bagaimana?
21
22
23
24
SKRINING
PENDENGARAN
BAYI BARU LAHIR
Hospital
based
UNIVERSAL NEWBORN
HEARING SCREENING
(UNHS)
Semua bayi
Community
based
TARGETED NEWBORN
HEARING SCREENING
Hanya bayi dengan faktor
risiko
25
Pemeriksaan objektif
(Elektrofisiologis)
Pemeriksaan subyektif
(Behavioral)
BERA
Otomatis ( 3 bulan)
Click ( 3 bulan)
Tone burst ( 3 bulan)
Bone conduction
Timpanometri
ASSR
a. Pemeriksaan obyektif
a.1.Otoacoustic Emission (OAE)
Menilai integritas telinga luar dan tengah serta sel rambut luar (outer hair
cells) koklea. OAE bukan pemeriksaan pendengaran karena hanya
memberi informasi tentang sehat tidaknya koklea. Pemeriksaan ini
mudah, praktis, otomatis, noninvasif,
tidak membutuhkan ruangan
kedap suara maupun obat sedatif.
Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan kriteria
Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan keadaan
koklea baik; sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan koklea
sehingga dibutuhkan pemeriksaan lanjutan berupa AABR atau BERA
pada usia 3 bulan.
Hasil OAE dipengaruhi oleh gangguan (sumbatan) liang telinga dan
kelainan pada telinga tengah (misalnya cairan).
Untuk skrining pendengaran, digunakan OAE skrining (OAE screener)
yang memberikan informasi kondisi rumah siput koklea pada 4 - 6
frekuensi. Sedangkan untuk diagnostik digunakan OAE yang mampu
memeriksa lebih banyak lagi frekuensi tinggi.
26
Gambar 11.
OAE Skrining 6 frekuensi
27
Gambar 14.
BERA tone burst
Gambar 15.
BERA Otomatis
28
Pemeriksaan Timpanometri
Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menilai keadaan telinga tengah
(normal, tekanan negatif, cairan) dan
fungsi tuba Eustachius. Pada bayi
berusia kurang
dari
6 bulan
digunakan timpanometri frekuensi
tinggi
(High
Frequency
Tympanometry) dengan pertimbangan
pada
usia tersebut liang telinga
masih lentur/ kolaps
sehingga
menghalangi stimulus suara yang
masuk.
Gambar 16.Timpanogram
29
b. Pemeriksaan Subyektif
Bila sarana pemeriksaan yang bersifat obyektif atau elektrofisiologis tidak
tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan subyektif yang mengandalkan
respons behavioral sebagai reaksi bayi terhadap stimulus bunyi, antara
lain pemeriksaan Behavioral Observation Test (BOT) atau Behavioral
Observation Audiometry (BOA), Visual Reinforcement Audiometry (VRA) dan
Conditioned Play Audiometry (CPA). Namun bila memungkinkan, tetap
dianjurkan untuk mengkonfirmasi hasilnya dengan pemeriksaan obyektif.
b.1. Pemeriksaan Behavioral
Pemeriksaan pendengaran yang subyektif karena respon dari bayi dan
anak tidak konsisten. Namun demikian pemeriksaan behavioral memiliki
kemampuan frequency spesific. Tentu saja, nilai sensitivitas dan
spesifitasnya kurang dibandingkan pemeriksaan obyektif seperti OAE dan
BERA. Idealnya dilakukan di ruang kedap suara, bila tidak tersedia dapat
di ruangan biasa tetapi cukup tenang.
Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lebih obyektif, dapat
dimanfaatkan untuk bayi dibawah 6 bulan misalnya pemeriksaan
Behavioral Observation Test (BOT) atau Behavioral Observation Audiometry
(BOA).
Pada anak usia 6 bulan atau lebih pemeriksaan behavioral juga dapat
dilakukan untuk konfirmasi pemeriksaan obyektif yang telah dilakukan,
terutama bila menghadapi kendala untuk memperoleh pemeriksaan yang
bersifat frequency spesific.
Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Tujuan : menentukan ambang pendengaran berdasarkan unconditioned
responses terhadap bunyi; misalnya refleks behavioral. Untuk menilai
bayi/anak 0 6 bulan.
Frekuensi stimulus : range speech frequency.
Persyaratan
Pemeriksaan di ruang kedap suara/cukup tenang
Respon bayi dinilai oleh 2 orang pemeriksa
Stimulus berjarak 1 meter dari dari telinga, di belakang garis lapang
pandangan
Stimulus : Audiometer + loud speaker
Intensitas stimulus dikalibrasi dengan sound level meter
Respon yang dinilai : respon behavioral /refleks( unconditioned
response):
-
30
Keterangan Gambar 8
31
ambang pada masing masing frekuensi (frequency-specific) dan masingmasing telinga (ear specific). Dengan teknik ini, dapat ditentukan jenis dan
derajat ganggguan pendengaran.
Dilakukan untuk anak usia 30 bulan 5 tahun.
Prosedur Pemeriksaan
Terlebih dahulu anak dilatih memberikan respons melalui kegiatan
bermain, misalnya memasukkan sebuah balok ke dalam kotak; bila anak
mendengar suara dengan intensitas (kekerasan bunyi) tertentu.
Selanjutnya intensitas diturunkan sampai diperoleh intensitas terkecil di
mana anak masih memberikan respons terhadap bunyi. Bila suara diganti
dengan ucapan (kata-kata) dapat juga ditentukan speech reception
threshold (SRT).
b.2. Tes Daya Dengar (Modifikasi)
Merupakan pemeriksaan subyektif untuk deteksi dini gangguan
pendengaran pada bayi dan anak dengan menggunakan kuesioner
berisikan pertanyaan- pertanyaan ada tidaknya respons (daya dengar)
bayi atau anak terhadap stimulus bunyi. Pertanyaan berbeda untuk 8
kelompok usia. Untuk tiap kelompok usia, daftar pertanyaan terbagi
menjadi 3 kelompok penilaian kemampuan; (1) Ekspresif, (2) Reseptif dan
(3) Visual; masing-masing terdiri dari 3 pertanyaan dengan jawaban Ya
atau Tidak. Daftar pertanyaan Tes Daya Dengar (modifikasi) dapat
dilihat pada lampiran 2.
Cara penilaian
1. Bila semua pertanyaan (3 buah) dijawab Ya berarti tidak terdapat
kelainan daya dengar (Kode N/normal).
2. Bila terdapat minimal 1 (satu) jawaban Tidak berarti kita harus hatihati terhadap kemungkinan gangguan daya dengar (Kode HTN/Hatihati Tidak Normal). Tes harus diulang 1 (satu) bulan lagi.
3. Bila semua jawaban adalah Tidak mungkin terdapat gangguan lain
dengan atau tanpa kelainan daya dengar (ada gangguan lain dan tidak
normal).
4. Bila semua jawaban pada kemampuan ekspresif dan reseptif adalah
Tidak dengan kemampuan visual normal berarti ada kelainan pada
daya dengar (Kode TN/Tidak Normal).
Anak dengan kode HTN, GTN, dan TN dicatat pada kemampuan mana anak
tidak bisa mengerjakan; dan bila dilakukan tes dibawah kelompok usianya,
sampai usia mana anak bisa mengerjakan tes tersebut.
4.4. Tindak Lanjut setelah Skrining Pendengaran
Bayi yang tidak lulus skrining tahap kedua harus dirujuk untuk
pemeriksaan audiologi lengkap termasuk pemeriksaan OAE,ABR dan
Behavioral Audiometry, sehingga dapat dipastikan ambang pendengaran
pada kedua telinga dan lokasi lesi auditorik. Diagnosis pasti idealnya telah
selesai dikerjakan pada saat bayi berusia 3 bulan.
Berdasarkan alur skrining pendengaran bayi HTA 2006 (Lampiran 1),
bayi yang gagal pada skrining awal, dilakukan pemeriksaan timpanometri,
32
DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tetap tidak lulus, segera
dilakukan pemeriksaan BERA stimulus click + tone burst 500 Hz atau
ASSR, sedangkan BERA bone conduction diperiksa bila ada pemanjangan
masa laten (gangguan pendengaran konduktif).
Sebaiknya pemeriksaan tersebut diatas dikonfirmasi dengan
Behavioral Audiometry. Terhadap bayi yang lulus skrining awal, tetap
dilakukan pemeriksaan DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tidak
lulus, segera dilanjutkan dengan pemeriksaan audiologi lengkap. Untuk
bayi yang lulus skrining namun mempunyai faktor risiko terhadap
gangguan pendengaran, dianjurkan untuk follow up sampai anak bisa
berbicara.
5. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan THT, pemeriksaan
pendengaran baik secara subyektif maupun obyektif, pemeriksaan
perkembangan motorik, kemampuan berbicara serta psikologis.
6. Tatalaksana
Apabila ditemukan adanya gangguan pendengaran sensorineural harus
dilakukan habilitasi berupa amplifikasi pendengaran, misalnya dengan alat
bantu dengar (ABD). Selain itu, bayi/anak juga perlu mendapat habilitasi
wicara berupa terapi wicara atau terapi audioverbal (AVT) sehingga dapat
belajar mendeteksi suara dan memahami percakapan agar mampu
berkomunikasi dengan optimal.
Rekomendasi dari American Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) yang
ditetapkan berdasarkan banyak penelitian menyatakan bahwa bila skrining
pendengaran pada bayi telah dimulai pada usia 2 hari, kemudian diagnosis
dipastikan pada usia 3 bulan sehingga habilitasi yang optimal dapat dimulai
pada usia 6 bulan; maka pada usia 36 bulan kemampuan wicara anak tidak
berbeda jauh dengan anak yang memiliki pendengaran normal.
Dalam hal pemasangan ABD harus dilakukan seleksi ABD yang tepat dan
proses fitting yang sesuai dengan kebutuhan sehingga diperoleh amplifikasi
yang optimal.
Proses fitting ABD pada bayi/anak jauh lebih sulit dibandingkan orang
dewasa. Akhir-akhir ini ambang pendengaran yang spesifik pada bayi dapat
ditentukan melalui teknik Auditory Steady State Response (ASSR), yang
hasilnya dianggap sebagai prediksi audiogram, sehingga proses fitting ABD
bayi lebih optimal. Bila ternyata ABD tidak dapat membantu, salah satu
alternatif adalah implantasi koklea.
7. Pencegahan
Mengingat tingginya angka infeksi yang
anak maka perlu dilakukan imunisasi
pemeriksaan kehamilanpun dianjurkan
Apabila diketahui kemungkinan adanya
untuk konseling genetik.
33
REKOMENDASI HTA
1. Skrining pendengaran dilakukan pada semua bayi baru lahir dengan atau
tanpa faktor risiko. (Rekomendasi B LoE IIb)
2. Skrining dilakukan sebelum bayi meninggalkan RS pada bayi yang lahir
di RS dan sebelum usia satu bulan pada bayi yang lahir selain di RS.
(Rekomendasi C LoE IV)
3. Diagnosis gangguan pendengaran ditegakkan sebelum usia tiga bulan dan
dilanjutkan dengan tatalaksana sebelum usia enam bulan.
(Rekomendasi B LoE IIb)
4. Skrining pendengaran di Indonesia dilaksanakan dengan alur sebagai
berikut: (terlampir dalam lampiran 2).
5. Departemen THT meningkatkan kerjasama dengan cabang ilmu terkait yaitu
Departemen Ilmu Kesehatan Anak (Perinatologi dan Neurologi), Kebidanan
dan Kandungan, Rehabilitasi Medik, Psikiatri, dan ahli audiologi dalam hal
penatalaksaan pasien.
6. Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL menyusun
kebijakan penyediaan fasilitas skrining pendengaran pada bayi dengan
mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat.
7. Institusi pendidikan dan PERHATI-KL menyelenggarakan kursus, pelatihan,
dan bimbingan teknologi untuk meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM
berkaitan dengan skrining pendengaran pada bayi baru lahir.
Daftar Pustaka
1. Joint Committee on infant hearing. Year 2000 Position Statement: Principles
2.
3.
4.
5.
34
35
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
36
Gambar 19.
Lokasi tusukan tumit
Gambar 20.
Cara pengambilan
spesimen
Gambar 21.
Cara meneteskan darah
pada kertas saring
Gambar 23.
Spesimen dibungkus
dalam amplop
Gambar 22.
Spesimen dikeringkan selama
3-4 jam pada suhu kamar
Sumber: Rustama DS
37
Kriteria skrining
Nilai TSH neonatus diperkirakan dengan metode ELISA menggunakan
peroksidase yang dilabeli dengan monoclonal antibody antiTSH ke dalam micro
well yang kemudian diukur kadarnya dengan menghitung tingkat
absorpsinya. Nilai TSH yang mencapai 10 mIU/l dianggap normal, 10-20
mIU/L dianggap sebagai nilai batas dan >20 mIU/L dianggap abrnormal.12
Nilai tersebut dapat bervariasi, tergantung pada reagen yang digunakan.
Tes uji saring dilakukan dengan pengukuran TSH IRMA, dengan double
antibody radioimmunoassay, dan pemeriksaan T4 dengan coated tube
radioimmunoassay. Reagen yang digunakan dalam bentuk kit (contoh kit
Skybio Ltd dan DPC). Bila nilai TSH <20mIU/L dianggap normal; kadar TSH
>20 mIU/L. dianggap abnormal dan perlu pemeriksaan lebih lanjut. Bila
kadar TSH > 50 IU/L perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
TSH dan T4 serum. Bila kadar TSH tinggi, > 50 mIU/L; dan T4 rendah, < 6
g/dL, bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis. Semua bayi dengan kadar TSH diatas nilai cut-off
dipanggil kembali/recall (Gambar 24).8
Mayoritas bayi hipotiroidisme primer mempunyai nilai TSH >80 IU/mL.
Beberapa kondisi hipotiroidisme nonprimer yang berhubungan dengan nilai
T4 rendah misalnya hipotiroidisme sekunder, thyroid binding globulin (TBG)
rendah, terapi maternal (dengan lithium, iodida), prematuritas, penyakit berat,
hipotiroidisme sementara yang idiopatik, dan tiroiditis maternal. Sebagian
besar kelainan ini biasanya bersifat sementara. Frekuensi hipotiroidisme
sekunder diperkirakan 1:60.000 dan sebagai akibat kelainan hipofisis atau
hipotalamus. Nilai T4 yang rendah dengan TSH normal atau sedikit meningkat
ditemukan pada bayi berat lahir rendah kemudian akan menjadi normal
setelah status nutrisinya diperbaiki.13
38
Ya
Tidak
Tanda
Kulit burik
Ikterus
Hernia
umbilikalis
Ya
Tidak
Makroglosi
Fontanel melebar
Perut buncit
Tangisan serak
Kulit kering
Refleks lambat
Refleks lambat
39
Manifestasi klinis
Skor
1.Gangguan makan
2. Konstipasi
4.Hipotonia
6.Makroglosia
7.Cutis marmorata
8.Kulit kering
1.5
1.5
10.Typical Fascies
Total
3
13
Pengobatan
Setelah dikonfirmasi, terapi dengan hormon tiroid pada penderita HK
harus diberikan secepat mungkin. Target terapi adalah mencapai kadar T4
normal dalam 2 minggu dan TSH dalam 1 bulan.10
Bayi baru lahir biasanya membutuhkan dosis 8-15 g/kg/hari; tujuan
terapi adalah menormalisasi kadar TSH sesegera mungkin. Terapi untuk bayi
cukup bulan dimulai dengan 50 g/hari selama 1-2 minggu, kemudian dosis
diturunkan menjadi 37.5 g/hari (p.o.). Tablet levothyroxine sintetis
dilarutkan dalam 5-10 ml air dan diminumkan kepada bayi dengan spuit pada
awal menyusu untuk memastikan seluruh obatnya terminum dengan baik.11
Dianjurkan untuk memberikan selang waktu minimal 1 jam antara terapi
dengan konsumsi susu formula yang mengandung kedelai atau suplementasi
besi dan serat.10,11 Pemberian ASI dapat dilanjutkan.10
Sebagai tanda bahwa bayi mendapatkan terapi yang mencukupi, kadar T4
harus segera mencapai nilai normal. Untuk mencapai kecukupan obat,
dianjurkan selama pengobatan, nilai T4 berada diatas nilai tengah rentang
kadar T4 normal, yaitu 130-206 nmol/L (10-16 g/dL) dan nilai TSH < 5
mIU/L (0.5-2.0 mIU/L); FT4 18-30 pmol/L (1.4-2.3 ng/dL). Kondisi ini
40
25-50 g/hari
50-75 g/hari
50-100 g/hari
100-150 g/hari
100-200 g/hari
Pemantauan
Pemantauan fungsi tiroid dengan pemeriksaan TSH dan T4 atau FT4
dilakukan :
Setelah pemberian tiroksin
Tiap
2
T4 normal
minggu,
1-12 bulan
Tiap 2 bulan
1-2 tahun
Tiap 3 bulan
2 3 tahun
Tiap 4 bulan
> 3 tahun
Tiap 6 bulan
sampai
kadar
41
42
Daftar Pustaka
1. Rustama DS, Fadil MR, Harahap ER, Primadi A. Newborn screening in
Indonesia. Dalam: David-Padilla C, Abad L, Silao CL, Therell BL.
Southeast Asian J Tropical Med and Public Health 2003; 34 Suppl 3:76-9.
2. Satyawirawan FS. Penapisan hipotiroid congenital. Dalam : Suryaatmadja
M. Pendidikan berkesinambungan patologi klinik 2005. Jakarta:
Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2005. H. 95-104.
3. Pulungan AB. Hipotiroid kongenital (HK). UKK Endokrinologi IDAI,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta.
4. Deliana M, Batubara JR, Tridjaja B, Pulungan AB. Hipotiroidisme
kongenital di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta, tahun 19922002. Sari Pediatri 2003; 5(2):79-84. (Level of Evidence IIB, Grade of
Recommendation B)
5. Bourgeois MJ. Congenital hypothyroidism. Department of Pediatrics,
Division of Pediatric Endocrinology and Metabolism, Texas Tech University
School of Medicine; 2004. h.1-13.
6. LaFranchi S. Thyroid function in preterm infant. Thyroid 1999; 9: 71-8
7. Newborn S. Prog
8. Komite Nasional Skrining Hipotiroid Kongenital. Pedoman Umum
Pelaksanaan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK). Departemen
Kesehatan; 2005.
9. (Deliana)
10. National Guideline Clearinghouse. Update of newborn screening and
therapy for congenital hypothyroidism (2006).
11. Murray MA. Primary TSH screen for congenital hypothyroidism. Summer
2009;1(2):1-5.
12. (Devi)
13. (Satyawirawan FS.)
43
44
a. Tujuan skrining
Tujuan
suatu
program
skrining
yang
efektif
adalah
untuk
mengidentifikasi bayi prematur yang memerlukan terapi ROP (ROP threshold,
ROP prethreshold), tapi juga dengan meminimalisasi sejumlah pemeriksaan
yang penuh stres ini bagi si bayi sakit.
ROP merupakan kelainan yang berpotensi menyebabkan kebutaan,
namun sebetulnya kebutaannya dapat dicegah. Identifikasi dini dilanjutkan
dengan terapi yang dilakukan dalam kerangka waktu yang tepat, akan dapat
mencegah kebutaan.
Walaupun tanpa terapi, 85% kasus ROP dapat mengalami regresi
spontan, dan dari 15% yang mengalami progresi , 85% di antaranya berespon
baik dengan terapi laser ataupun krioterapi.
b. Pedoman skrining
Pedoman Skrining ROP ditetapkan pada banyak negara. Perlu diingat
bahwa parameter skrining ini dapat berbeda antar negara yang satu dengan
lainnya.
Komite/Pokja Nasional ROP yang dibentuk pada Indonesia National ROP
Workshops bulan Januari 2009 di Jakarta merekomendasikan beberapa hal
berkaitan dengan bayi prematur dan ROP, diantaranya adalah Parameter
Skrining ROP pada bayi prematur sebagai berikut:5
- Bayi dengan berat lahir <1500g atau usia gestasi <34 minggu harus
diperiksa untuk kemungkinan terjadinya ROP
- Pemeriksaan harus dimulai selama minggu ke 4 atau pada usia
postmenstrual 32-33 minggu
- Pemeriksaan terhadap bayi dengan berat lahir lebih besar atau usia gestasi
lebih tinggi daripada yang disebutkan di atas dapat dilakukan sesuai
permintaan neonatologis/spesialis anak
Data bayi yang diperiksa harus dilakukan menurut standar pelaporan
yang sudah ditetapkan dan dikeluarkan oleh Komite/Pokja Nasional ROP
(lihat lampiran).6
c. Teknik Pemeriksaan
Sarana /Prasarana:
Dilatasi pupil dengan tetes mata siklopentolat 0.5% dan fenilefrin 2.5%,
paling tidak 30 menit sebelum pemeriksaan.
Oftalmoskopi indirek sebagai standar baku emas.
RetCam 120, alternatif teknik baru skrining
Penulisan dan penyimpanan data sesuai stand
Informasi untuk orang tua oleh spesialis mata, dengan didampingi seorang
staf NICU/ruang rawat intermediate
d. Pengakhiran skrining:
Skrining dilanjutkan sampai tidak mempunyai risiko lagi terhadap
berkembangnya ROP secara serius:
Regresi ROP dengan terapi
Vaskularisasi matur secara lengkap di seluruh retina
Matur sampai zona 3 tanpa ROP
Usia gestasi 45 minggu dan tanpa adanya threshold disease atau
perburukan ROP
45
Catatan penting:
- Kerjasama yang baik antara spesialis mata dan neonatologis/spesialis anak
sangat penting untuk mendapatkan hasil yang baik
- Buatlah perencanaan jadwal yang baik untuk pemeriksaan follow-up pada
saat pasien akan dipulangkan:
46
atau
pada
usia
3. Pemeriksaan terhadap bayi dengan berat lahir lebih besar atau usia gestasi
lebih tinggi daripada yang disebutkan di atas dapat dilakukan sesuai
permintaan neonatologis/spesialis anak. (Rekomendasi C LoE IV)
Sumber : Komite/Pokja Nasional ROP 2009
47
Daftar pustaka
1 Sitorus RS, Abidin MS, Lorenz B, Prihartono. Prevalence of ROP in Indonesia:
results from School for the Blind studies in Java island. Acta Medica
Lithuanica 2006;13:204-6
2 Sitorus RS, Abidin MS, Prihartono J. Causes and temporal trends of childhood
blindness in Indonesia: study at schools for the blind in Java. Br J
Ophthalmol. 2007 Sep;91(9):1109-13
3 Karna P, Muttineni J, Angell L, Karmaus W. Retinopathy of prematurity and
risk factors:a prospective cohort study. BMC Pediatrics 2005, 5:18.
4 Shah VA. Incidence, Risk Factors of Retinopathy of Prematurity Among Very
Low Birth Weight Infants in Singapore. Ann Acad Med Singapore 2005;34:16978.
5 Indonesia National Committee on ROP. Report on The first National ROP
Workshops. Jakarta, 2009.
6 International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity.
The international classification of retinopathy of prematurity revisited. Arch
Ophthalmol 2005; 123(7):991-999.
7 International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity.
The international classification of retinopathy of prematurity revisited. Arch
Ophthalmol 2005; 123(7):991-999.
8 The Early Treatment for Retinopathy of Prematurity Comparative Group. The
Early Treatment for Retinopathy of Prematurity Study: structural findings at
age
2
years.
Br
J
Ophthalmology
2006;90:1378-82.doi:
10.1136/bjo.2006.098582.
48