Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Filariasis adalah penyakit menular (Penyakit Kaki Gajah) yang

disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan

dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat

kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat

bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga

menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara (Waluyo, 2002: 1).

Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan

merupakan masalah di daerah dataran rendah. Tetapi kadang-kadang juga

ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Di Indonesia filariasis

tersebar luas di daerah endemis, terdapat dibanyak pulau di seluruh Nusantara,

seperti di Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku,

dan Irian Jaya. Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis, kita perlu

memperhatikan faktor-faktor seperti hospes, reservoar, vektor, dan keadaan

lingkungan (Sandjaja, 2007: 1).

Di Indonesia pada tahun 2007 dilaporkan sebanyak 11.473 kasus kronis

yang tersebar di 32 Propinsi dan 304 Kabupaten/Kota (DepKes RI 2008:48).

Laporan Riskesdas (2007), prevalensi Nasional filariasis adalah 0,11%. Sebanyak

delapan propinsi memiliki prevalensi filariasis di atas prevalensi Nasional yaitu

Nangro Aceh Darusalam, Riau, DKI Jakarta, NTT, Sulawesih Tengah,

1
Gorontalo, Papua Barat dan Papua yaitu 0,14%.

Propinsi Sulawesi Tengah adalah salah satu propinsi yang mempunyai

prevalensi di atas prevalensi Nasional dan juga termasuk daerah endemis

filariasis. Data Propinsi Sulawei Tengah pada tahun 2007 yaitu filariasi

sebanyak 764 kasus dan temukan di Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Palu

dan secara khusus di Kabupaten Parigi Moutong 226 kasus dan lebih banyak

menyerang pada laki-laki dengan mata pencaharian buruh dan nelayan (Profil

SulTeng, 2007:18).

Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas WHO sudah menetapkan

Kesepakatan Global (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis

as a Public Health problem by The Year 2020) merupakan realisasi dan menjadi

dasar eliminasi penyakit ini di Indonesia didasari pada dua pilar yaitu pilar

pertama dengan pengobatan massal kepada semua penduduk di Kabupaten

endemis penyakit filariasisi dengan menggunakan dietilkarbamazin citrat (DEC)

6 mg/kg BB dikombinasi dengan Albendazol 400 mg setahun sekali selama lima

tahun guna memutuskan rantai penularan dan pilar ke dua yaitu tata laksana

kasus penyakit fialriasis guna mencegah dan mengurangi kecacatan (DepKes RI

2008:47).

Wilayah kerja Puskesmas Moutong terdiri dari empat desa yaitu desa

Moutong dengan jumlah penduduk ± 2097 jiwa dan yang berusia produktif (15-

55 tahun) ± 1237 jiwa, desa Lobu dengan jumlah penduduk ± 1867 jiwa dan yang

berusia produktif (15-55 tahun) ± 945 jiwa, desa Taopa dengan jumlah penduduk

± 1832 jiwa dan yang berusia produktif (15-55 tahun) ± 890 jiwa dan desa Palapi
dengan jumlah penduduk ± 1653 jiwa dan yang berusia produktif (15-55 tahun) ±

902 jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, 2007) dan sebagian

besar masyarakat bekerja sebagai petani dan nelayan dan berdasarkan data dari

Puskesmas pada tahun 2008 terdapat dua orang penderita filariasis dan mungkin

masih ada lagi penduduk yang belum terdeteksi sehingga resiko penularan di

masyarakat perlu diwaspadai. Sehubungan dengan hal tersebut Puskesmas

Moutong telah melakukan berbagai upaya pencegahan yaitu salah satunya

dengan melakukan penyuluhan tentang pencegahan filariasis.

Oleh karena itu untuk mengetahui keberhasilan program penyuluhan yang

dilakukan oleh Puskesmas Moutong peneliti tertarik melakukan penelitian

tentang “Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Dengan Pencegahan

Penyakit Filariasis Di Desa Puro Tahun 2010”.

Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Apakah ada hubungan pengetahuan masyarakat dengan pencegahan penyakit

filariasis di desa Puro tahun 2010?

Apakah ada hubungan sikap masyarakat dengan pencegahan penyakit filariasis

di desa Puro tahun 2010?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tujuan umum

3
Diketahuinya hubungan pengetahuan dengan sikap masyarakat terhadap

pencegahan penyakit filariasis di desa Puro tahun 2010.

2. Tujuan khusus

Diketahuinya pengetahuan masyarakat tentang penyakit filariasis di desa

Puro tahun 2010.

Diketahuinya sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit filariasis di

desa Puro tahun 2010.

Diketahuinya hubungan pengetahuan dengan sikap masyarakat terhadap

pencegahan penyakit filariasis di desa Puro tahun 2010.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk Pemerintah /Petugas Kesehatan Di Desa Puro

Sebagai bahan masukan mengenai hubungan pengetahuan dengan sikap

masyarakat terhadap pencegahan penyakit filariasis di desa Puro sehingga

pihak pemerintah/petugas kesehatan dapat menyusun rencana penyuluhan

yang lebih efektif tentang pencegahan penyakit filariasis.

2. Untuk peneliti

Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang penyakit

filariasis.

3. Untuk peneliti lainnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan bacaan bagi peneliti

lain.
Ruang Lingkup

Penelitian ini akan dilakukan di di desa Puro pada bulan Juni tahun 2010.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

5
Tinjauan Tentang Pengetahuan Masyarakat

Pengertian pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) adalah hal-hal yang kita ketahui tentang

kebenaran yang ada disekitar kita tanpa harus menguji kebenarannya, didapat

melalui pengamatan yang lebih mendalam. Sumber pengetahuan meliputi

tradisi (kebiasaan yang turun temurun) otoritas (karena pengaruh dari

penguasa), model peran (belajar dari orang yang dijadikan panutan), intuisi

(didapat dari alam bawah sadar) dan reasoning (berbagai alasan (Wasis,

2008:1).

Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh

manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang

menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian

tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya

(Irmayanti, 2007: 3).

Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita

ketahui tentang sesuatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan khasanah

kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya

kehidupan kita, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai

pertanyaan yang muncul dalam kehidupan (Surjasumantri, 2003: 104).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh


melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007:139).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang (over behaviour).

2. Proses adopsi perilaku

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari

oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari

oleh pengetahuan. Penelitian Roger (1974) mengungkapkan bahwa sebelum

orang mengadopsi perilaku di dalam diri orang tersebut terjadi proses

berurutan yakni (Notoatmodjo, 2007:140):

Awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus.

Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi

dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.

Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan

bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap diatas. Apabila

penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini

dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka

perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila

perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan

7
berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007:140).

3. Tingkatan pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup dalam kognitif mempunyai 6 tingkatan

yaitu (Notoatmodjo, 2007:140-142):

Tahu (know)

Diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu

struktur organisasi tersebut.

Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan


atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

penilaian terhadap suatu materi atau objek penilaian berdasarkan suatu

kriteria yang telah ada.

Masyarakat (Majid, 2008: 1-2)

a. Pengertian

Masyarakat adalah sejumlah manusia yang merupakan satu

kesatuan golongan yang berhubungan tetap dan mempunyai kepentingan

yang sama. Seperti sekolah, keluarga, perkumpulan, negara semua adalah

masyarakat.

Dalam ilmu sosiologi kita mengenal ada dua macam masyarakat,

yaitu masyarakat paguyuban dan masyarakat petambayan. Masyarakat

paguyuban terdapat hubungan pribadi antara anggota-anggota yang

menimbulkan suatu ikatan batin antara mereka. Kalau pada masyarakat

patambayan terdapat hubungan pamrih antara anggota-angotanya.

b. Unsur-unsur suatu masyarakat

Harus ada perkumpulan manusia dan harus banyak.

Telah bertempat tinggal dalam waktu lama disuatu daerah tertentu.

Adanya aturan atau undang-undang yang mengatur masyarakat untuk

menuju kepada kepentingan dan tujuan bersama.

9
c. Bila dipandang cara terbentuknya masyarakat

Masyarakat paksaan, misalnya negara, masyarakat tawanan.

Masyarakat mardeka.

Masyarakat natur yaitu masyarakat yang terjadi dengan sendirinya,

seperti: gerombolan (harde), suku (stam), yang bertalian karena

hubungan darah atau keturunan.

Masyarakat kultur yaitu masyarakat yang terjadi karena kepentingan

kedunian atau kepercayaan.

Masyarakat dipandang dari sudut antropologi terdapat dua tipe masyarakat.

Masyarakat kecil yang belum begitu kompleks, belum mengenal

pembagian kerja, belum mengenal tulisan, dan tehknologi nya

sederhana.

Masyarakat sudah kompleks, yang sudah jauh menjalankan spesialisasi

dalam segala barmasyarakat bidang, karena pengetahuan moderen

sudah maju, tehknologi pun sudah berkembang dan sudah mengenal

tulisan

Tinjauan Tentang Sikap (Attitude)

Beberapa pengertian tentang sikap adalah sebagai berikut:

Sikap adalah sebagai kesiapan mental dan syaraf, yang diatur melalui

pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah pada respons

individu terhadap semua objek dan situasi yang terkait dengannya. Sikap

adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Thurstone menyatakan

bahwa sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung


atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada

obyek tersebut. Kedua pengertian sikap diatas menunjukkan bahwa sikap

adalah kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap obyek tertentu.

Obyek sikap dapat berupa manusia dan non manusia seperti gagasan, konsep,

benda dan sebagainya. Sikap belum merupakan suatu tindakan nyata,

melainkan dapat berupa predisposisi tingkah laku (Gerungan, 2002: 151)

Sikap adalah perasaan seseorang tentang objek, aktifitas, peristiwa dan orang

lain. Perasaan ini menjadi konsep yang merepresentasikan suka atau tidak

sukanya (positif, negatif, atau netral) seseorang pada sesuatu. Sikap muncul

dari berbagai bentuk penilaian dan dapat mengalami perubahan sebagai

akibat dari pengalaman. Tesser (1993) berargumen bahwa faktor bawaan

dapat mempengaruhi sikap tapi tidak secara langsung. Kebanyakan sikap

individu adalah hasil belajar sosial dari lingkungannya. Sikap sering muncul

dalam bentuk pasangan, satu disadari sedang lainnya tidak disadari (Meliono,

2002).

Sikap adalah pernyataan evaluatif yang menguntungkan atau tidak

menguntungkan mengenai objek, orang atau peristiwa. Komponen kognitif

dari sikap adalah segmen pendapat atau suatu keyakinan, komponen afektif

adalah segmen emosional atau perasaan dan komponen perilaku adalah suatu

maksud untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap seseorang atau

sesuatu (Robbins, 2001: 91).

Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup

terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologi

11
Stimulus/ Proses
Sikap Reaksi Tingkah Laku
Rangsangan Stimulus

sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk

bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Lebih dapat

dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek lingkungan

tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007:142).

Diagram dibawah ini lebih dapat menjelaskan uraian tersebut

Gambar 2.1
Diagram Sikap

Alfort (1954) dalam (Notoatmodjo, 2007:143 menjelaskan sikap itu

mempunyai 3 komponen pokok yaitu:

Kepercayaan (keyakinan) ide dan konsep terhadap objek.

Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.

Kecenderungan untuk bertindak.

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh

(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan berpikir,

keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya dengan

pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan yaitu (Notoatmodjo,

2007:144):

Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan


stimulus yang diberikan (objek).

Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap karena dengan suatu

usaha untuk menjawab pertanyaan dan mengerjakan tugas yang diberikan

terlepas dari apakah pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang

menerima ide tersebut.

Menghargai (Using)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan

orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat 3.

Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya. Bertanggung

jawab atas segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

Tinjauan Tentang Filariasis

1. Pengertian

Filariasis adalah sekelompok penyakit tropis yang disebabkan oleh beberapa

macam cacing bundar menyerupai benang (nematoda) dan larvanya.

Larva menularkan penyakit tersebut ke manusia melalui gigitan nyamuk

filariasis (kaki gajah) (Mansjoer, 2000:419).

Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing

filaria yang cacing dewasanya hidup dalam saluran limfe dan kelenjar

limfe manusia dan ditularkan oleh serangga secara biologik. Penyakit ini

bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan

13
menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat

kelamin baik perempuan maupun laki-laki (Waluyo, 2002: 2).

Filariasis Limfatik adalah penyakit menular yang disebabkan oleh tiga jenis

cacing parasit, Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori,

semuanya ditularkan lewat nyamuk (Sandjaja, 2007: 2).

2. Etiologi

Filariasis disebabkan oleh infestasi satu atau lebih cacing jenis filarial

yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori (Mansjoer,

2000:419).

Filariasis disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu

Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Cacing filaria

merupakan nematoda yang hidup di dalam jaringan subkutan dan sistem

limfatik. Tiga spesies filaria yang menimbulkan infeksi pada manusia:

Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, merupakan

penyebab infeksi filaria yang serius. Parasit filaria ditularkan melalui spesies

nyamuk khusus atau artropoda lainnya, memiliki stadium larva serta siklus

hidup yang kompleks. Anak dari cacing dewasa berupa mikrofilaria

bersarang, terdapat di dalam darah dan paling sering ditemukan di aliran

darah tepi. Mikrofilaria ini muncul di peredaran darah enam bulan sampai

satu tahun kemudian dan dapat bertahan hidup hingga 5 – 10 tahun. Pada

Wuchereria bancrofti, mikrofilaria berukuran 250 – 300 x 7 – 8 mikron.

Sedangkan pada Brugia malayi dan Brugia timori, mikrofilaria berukuran

177 – 230 mikron (Sandjaja, 2007: 2).


Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk

dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres yang dapat

berperan sebagai vector penular penyakit kaki gajah (Tim Editor Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 2002).

3. Epidemiologi (Sandjaja, 2007: 3)

Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan

merupakan masalah di daerah dataran rendah. Tetapi kadang-kadang juga

ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Untuk dapat memahami

epidemiologi filariasis, kita perlu memperhatikan faktor-faktor seperti hospes,

hospes reservoar, vektor, dan keadaan lingkungan.

a. Hospes

Manusia yang mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi

bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Pada umumnya laki-laki lebih

dominan terinfeksi, karena memiliki lebih banyak kesempatan untuk

mendapat infeksi (exposure ).

b. Hospes reservoar

Brugia malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber

infeksi untuk manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung

infeksi adalah kucing dan kera terutama jenis Presbytis.

c. Vektor

Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis,

tergantung pada jenis cacing filarianya.

4. Cara Penularan

15
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila

orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung

larva stadium III (L3). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil

(mikrofilaria) sewaktu menghisap darah penderita mengandung microfilaria

atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Siklus penularan

penyakit kaki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh

nyamuk (vector) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia

(hospes) dan reservoair.

5. Patologi (Sandjaja, 2007: 5)

Perubahan patologi yang utama terjadi akibat kerusakan inflamatorik

pada sistem limfatik yang disebabkan oleh cacing dewasa, bukan

mikrofilaria. Cacing dewasa ini hidup dalam saluran limfatik aferen atau

sinus–sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe. Dilatasi ini

mengakibatkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya. Akibat kerusakan

pembuluh darah, terjadi infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di

dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi dan bersama dengan

proliferasi endotel serta jaringan ikat, menyebabkan saluran limfatik

berkelok–kelok serta katup limfatik menjadi rusak. Limfedema dan

perubahan statis yang kronik terjadi pada kulit diatasnya.

6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dapat berupa demam berulang-ulang selama 2-5

hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat.

Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha,
ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan dan sakit. Dapat juga terjadi

radang getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal

kaki lengan ke arah ujung (retrigrande limphangitis) (Rampengan, 2008:261)

Manifestasi klinis sebagai infeksi Wuchereria bancrofti terbentuk

beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah infeksi, tetapi beberapa orang

yang hidup di daerah endemis tetap asimptomatik selama hidupnya. Mereka

yang menunjukkan gejala akut biasanya mengeluh demam, lymphangitis,

lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia, dan malaise. Mula–mula

cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan pelebaran

pembuluh limfe terutama di daerah kelenjar limfe, testis, dan epididimis,

kemudian diikuti dengan penebalan sel endothel dan infiltrasi sehingga terjadi

granuloma. Pada keadaan kronis, terjadi pembesaran kelenjar limfe,

hydrocele, dan elefantiasis. Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis

dapat terjadi. Elefantiasis kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai

bawah, biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu

sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti

dinamakan Weingartner’s syndrome atau Tropical pulmonary eosinophilia

(Waluyo, 2002: 5).

Gejala yang sering dijumpai pada orang yang terinfeksi Brugia

malayi adalah lymphadenitis dan lymphangitis yang berulang–ulang disertai

demam. Perbedaan utama antara infeksi Wuchereria bancrofti dan Brugia

malayi terletak pada klasifikasi ureter dan ginjal. Klasifikasi ureter dan ginjal

tidak ditemukan pada infeksi Brugia malayi (Waluyo, 2002: 5).

17
7. Diagnosis (Waluyo, 2002: 7)

a. Diagnosis Parasitologi

1) Deteksi parasit : menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan

hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal,

teknik konsentrasi Knott, membran filtrasi dan tes provokatif DEC.

2) Diferensiasi spesies dan stadium filaria : menggunakan pelacak DNA

yang spesies spesifik dan antibodi monoklonal.

b. Radiodiagnosis

1) Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar

getah bening ingunial.

2) Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau

albumin yang ditandai dengan adanya zat radioaktif.

c. Diagnosis imunologi

Dengan teknik ELISA dan immunochromatographic test (ICT),

menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik.

8. Terapi Dan Pencegahan (Sandjaja, 2007: 7)

Obat utama yang digunakan adalah dietilkarbamazin citrat (DEC).

DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada

pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC merupakan satu-satunya

obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk filariasis bankrofti, dosis

yang dianjurkan adalah 6mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Sedangkan

untuk filaria brugia, dosis yang dianjurkan adalah 5mg/kg berat badan/hari

selama 10 hari. Efek samping dari DEC ini adalah demam, menggigil,
artralgia, sakit kepala, mual hingga muntah. Pada pengobatan filariasis

brugia, efek samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk

pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi waktu pengobatan

dilakukan dalam waktu yang lebih lama.

Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah

antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas

terhadap nematode dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria.

Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC.

Pengobatan kombinasi dapat juga dengan dosis tunggal DEC dan

Albendazol 400mg, diberikan setiap tahun selama 5 tahun. Pengobatan

kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC. Yang dapat diobati adalah

stadium mikrofilaremia, stadium akut, limfedema, kiluria, dan stadium dini

elefantiasis.

Terapi suportif berupa pemijatan dan pembebatan juga dilakukan di

samping pemberian antibiotika dan corticosteroid, khususnya pada kasus

elefantiasis kronis. Pada kasus-kasus tertentu dapat juga dilakukan

pembedahan.

Yang penting selain pengobatan klinis filariasis ialah edukasi dan

promosi pada masyarakat sekitar untuk memberantas nyamuk dengan

gerakan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur), sama seperti pemberantasan

demam berdarah. Selain itu, di beberapa tempat perlu juga dilakukan

pemberian DEC profilaksis yang ditambahkan ke dalam garam dapur khusus

untuk masyarakat di daerah tersebut. Namun yang belakangan tidak terlalu

19
populer di Indonesia. Menurut Rampengan, (2008:261) pencegahan penyakit

filariasis dapat dilakukan dengan cara:

Berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk penular yang dapat

dilakukan dengan jalan:

Tidur menggunakan kelambu

Menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk.

Menggunakan obat nyamuk bakar maupun semprot.

Memberantas jentik-jentik nyamuk

Membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat

perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan

genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk.

Membersihkan semak-semak disekitar rumah.

BA B III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

Kerangka Konsep

Kerangka konsep atau paradigma yang digunakan dalam penulisan ini

adalah paradigma tunggal. Pada penelitian ini peneliti akan meneliti variabel

pengetahuan sebagai variabel independen dan sikap masyarakat terhadap


pencegahan penyakit filariasis sebagai variabel dependen.

Untuk lebih jelasnya, kerangka konsep tersebut dibuat dalam skema

sebagaimana gambar dibawah ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1
Skema Kerangka Konsep

Hipotesis

Ada hubungan pengetahuan dengan sikap masyarakat terhadap pencegahan

penyakit filariasis di desa Puro tahun 2010.

Definisi Operasional

Variabel Independen

Pengetahuan

Definisi : Kemampuan masyarakat untuk mengingat dan memahami

hal-hal yang berkaitan dengan penyakit filariasis.

Cara Ukur : Wawancara

Alat Ukur : Kuesioner

Hasil Ukur : 0 : Kurang Baik (jika score < median)

1 : Baik (jika score ≥ median)

Skala ukur : Ordinal

2. Variabel Dependen

Sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit filariasis

21
Definisi : Merupakan kecenderungan atau tanggapan masyarakat terhadap

terhadap pencegahan penyakit filariasis.

Cara Ukur : Wawancara

Alat Ukur : Kuesioner

Hasil Ukur : 0 : Kurang baik (score < median)

1 : Baik (score ≥ median)

Skala Ukur : Ordinal

B A B IV

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Pada penelitian ini, jenis penelitian yang dipakai adalah jenis penelitian

analitik, dengan pendekatan Cross Sectional yaitu penelitian yang dilakukan di

desa Puro pada saat yang bersamaan antara variabel independen dan variabel
( Z . )2 P Q
n =
(d)2

dependen (Nursalam, 2008: 83).

B. Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek yang akan diteliti (Wasis, 2008: 44). Dan

yang akan menjadi populasi pada penelitian ini adalah semua masyarakat di

desa Puro tahun 2010.

Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang benar-benar mewakili dan

dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya (Riduwan, 2006:

10). Pada penelitian ini, sampel diambil dari sebagian masyarakat di desa

Puro tahun 2010 dengan kriteria:

Kriteria Inklusi

Masyarakat bersedia untuk menjadi responden.

Masyarakat dapat membaca dan menulis

Masyarakat berusia > 15 tahun.

Besar Sampel

Besar sampelnya dihitung berdasarkan rumus estimasi proporsi

(Lameshow, 1997) yaitu:

Keterangan : n = Sampel

23
(1,64)2 x 0,5 x 0,5
0,67
0,01 (0,1)2

z = Tingkat kepercayaan (CI) = 90%

P = Proporsi masyarakat 50%

Q = 1–P

d = Tingkat kesalahan absolute yang dikehendaki 10%

Jadi : n =

n = = 67

Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 32 responden

. c. Tehnik pengambilan sampel

Dalam penelitian ini, tehnik pengambilan sampel yang digunakan

adalah non random sampling dengan cara door to door, yaitu

mengunjungi rumah dan mengambil sampel sesuai kriteria inklusi.

C. Pengumpulan Data

1. Jenis data yang dikumpulkan adalah :

Data primer, yaitu data yang dikumpulkan melalui wawancara dengan

menggunakan kuesioner kepada masyarakat di desa Puro berupa

pengetahuan masyarakat dan sikap masyarakat terhadap pencegahan

penyakit filariasis.

Data sekunder, yaitu data yang didapat dari desa Puro tentang jumlah
masyarakat.

2. Cara pengukuran

Cara pengukuran dilakukan dengan wawancara pada

masyarakat di desa Puro dengan menggunakan kuesioner yang berisi 6

pertanyaan tentang pengetahuan dengan 22 pilihan jawaban benar

dan .......... penyataan tentang sikap dengan menggunakan skala Likert

bila menjawab sangat setuju skornya 5, setuju skornya 4, ragu-ragu

skornya 3, tidak setuju skornya 2 dan sangat tidak setuju skornya 1.

D. Pengolahan Data

Pada penelitian ini peneliti menggunakan tahap-tahap pengelolaan data sebagai

berikut:

Editing : memeriksa kembali data-data yang telah dikumpulkan apakah

ada kesalahan atau tidak.

Coding : pemberian nomor-nomor kode atau bobot pada jawaban yang

bersifat kategori.

Entry : memasukkan data ke program komputer untuk keperluan

analisis.

Cleaning : membersihkan data dan melihat variabel yang digunakan

apakah datanya sudah benar atau belum.

E. Analisa Data

Analisis Univariat

Dilakukan untuk mengetahui distribusi frekwensi dan proporsi masing-

masing variabel independen (bebas) dan variabel dependen (terikat).

25
Analisis Bivariat

Dilakukan untuk melihat kemaknaan hubungan antara masing-masing

variabel bebas dan variabel terikat. Uji yang digunakan adalah uji Chi-Square

(X2) kemaknaan 0,05 dan tingkat kepercayaan 95%. Bila nilai p ≤ 0,05,

berarti hasil perhitungan statistik bermakna (Ho ditolak) dan nilai p > 0,05,

berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna (Ho diterima).

F. Penyajian data

Untuk penyajian data dari hasil penelitian ini, peneliti menggunakan cara

penyajian dengan bentuk gambar dan tabel sedemikian rupa dengan teks atau

naskah untuk menjelaskan hasil-hasil penelitian.

G. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin kepada

kepala desa Puro untuk mendapatkan persetujuan, dan kemudian kuesioner

dijalankan ke subjek yang diteliti dengan menekankan pada masalah etika yang

meliputi (Alimul, 2002: 41):

1. Informed Consent (lembar persetujuan)

Lembar persetujuan yang diberikan kepada responden oleh peneliti dengan

menyertakan judul penelitian agar subjek mengerti maksud dan tujuan

penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap

menghargai atau menghormati hak-hak yang dimiliki responden (subjek).

2. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama

responden tetapi lembar tersebut diberikan kode.


Confidentiality (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan

dilaporkan sebagai hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul Aziz H, 2002, Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah, Salemba
Medika, Jakarta.

Azrul Azwar, 1997. Pengantar Epidemiologi, Bina Rupa Aksara, Jakarta.

Bambang Sutrisna, 1994. Pengantar Metode Epidemiologi, Pian Rakyat.

DepKes RI 2008. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007.

Jack, 2009. Filariasis, penyakit kaki gajah. http://www.juraganmedis.com. March


15th, 2009.

Farid, 2008. Filariasis Limfatik (Kaki Gajah) di Indonesia.

27
http://www.resep.web.id.kesehatan.
Nikmatus Sholihah, 2006. Gender dan Jenis Kelamin.
www.pmiiligi.wordpress.com.2006/10/09.
Notoatmodjo, S, 1996. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Kesehatan, edisi I, Andi Offset, Jakarta

__________, S, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Pinsip-Prinsip Dasar, Cetakan II,


Jakarta.

Nursalam, 2001, Metodologi Riset Keperawatan, CV, Infomedika, Jakarta.

Riduwan, 2006. Dasar-Dasar Statistika. Cetakan ke V, Bandung

Sandjaja, Dr. Bernardus, DMM, DTM&H, MSPH. 2007. Helmintologi Kedokteran.


Prestasi Pustaka : Jakart Waluyo, Jangkung Samidjo. 2002. Parasitologi
Medik (Helmintologi) : Pendekatan Aspek Identifikasi, Diagnosis, dan Klinik.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Syah, 2001. Pendidikan dan kebudayaan. EGC, Jakarta.

Tim Editor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Parasitologi


Kedokteran Edisi Ketiga, cetakan ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.

Waluyo, Jangkung Samidjo. 2002. Parasitologi Medik (Helmintologi) : Pendekatan


Aspek Identifikasi, Diagnosis, dan Klinik. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Berikut ini, akan disajikan hasil penelitian tentang gambaran pengetahuan

tentang penyakit filariasis ditinjau dari karakteristik masyarakat dari 96


responden yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Moutong pada bulan Juli

2009.
BaikAdapun Kurang
hasil penelitian
Baik ini akan disajikan dalam bentuk analisis univariat

yaitu sebagai berikut:

1. Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis

Berdasarkan hasil perhitungan secara keseluruhan kemudian

ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median yaitu 19, sehingga kategori

pengetahuan tentang penyakit filariasis dikelompokan menjadi dua yaitu

pengetahuan yang baik dengan skor ≥ 19 dan yang memiliki pengetahuan

yang kurang baik dengan skor < 19.

Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut

pengetahuan responden tentang penyakit filariasis dapat dilihat pada gambar

berikut:

100 65,6%
90
80
70 34,4%
60
50
40
30
20
10
0

Sumber: data primer yang diolah.

Gambar 5.1
Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit
Filariasis Di Wilayah Kerja Puskesmas Moutong Tahun 2009

Gambar di atas terlihat bahwa dari 96 responden, masyarakat yang

memiliki pengetahuan baik tentang penyakit filariasis lebih besar jumlahnya

29
yaitu 63 responden (65,6%) dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki

pengetahuan yang kurang baik yaitu 33 responden (34,4%).


? 42 Tahun < 42 Tahun
Umur

Berdasarkan hasil perhitungan secara keseluruhan tentang umur maka

didapatkan nilai median yaitu 42 tahun, sehingga kategori umur

dikelompokan menjadi dua yaitu umur ≥ 42 tahun dan dan umur < 42 tahun.

Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut umur responden

dapat dilihat pada gambar berikut:

100
90
52,1%
80 47,9%
70
60
50
40
30
20
10
0

Sumber: data primer yang diolah.

Gambar 5.2
Distribusi Responden Menurut Umur Masyarakat Di Wilayah Kerja
Puskesmas Moutong Tahun 2009

Gambar di atas terlihat bahwa dari 96 responden, masyarakat yang

berumur ≥ 42 tahun jumlahnya lebih besar yaitu 50 responden (52,1%) dan

masyarakat yang berumur < 42 tahun yaitu 46 responden (47,9%).

Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil ukur menurut jenis kelamin dibagi menjadi dua

yaitu perempuan diberi skor 1 dan laki-laki diberi skor 0. Untuk memperoleh
gambaran distribusi responden menurut jenis kelamin responden dapat dilihat

pada gambar Perempuan


Laki-Laki berikut:

100
90 62,5%
80
70 37,5%
60
50
40
30
20
10
0

Sumber: data primer yang diolah.

Gambar 5.3
Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Masyarakat Di Wilayah Kerja
Puskesmas Moutong Tahun 2009

Gambar di atas terlihat bahwa dari 96 responden, masyarakat yang

berjenis kelamin laki-laki lebih besar jumlahnya yaitu 60 responden (62,5%)

dibandingkan dengan masyarakat yang berjenis kelamin perempuan yaitu 36

responden (37,5%).

Pendidikan

Berdasarkan hasil ukur menurut tingkat pendidikan dibagi menjadi

lima yaitu tidak sekolah, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA dan tamat

Perguruan Tinggi. Adapun distribusi responden menurut tingkat pendidikan

dapat dilihat pada gambar berikut:

31
2,1%
18,8%

16,7% 47,9%

14,6%

Tidak Sekolah 2 Responden


Tam at SD 48 Res ponde n
Tam at SMP 14 Responden
Tam at SMA 16 Responden
Pe rguruan Tinggi 18 Re sponden

Sumber: data primer yang diolah

Gambar 5.4
Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan Masyarakat
Di Wilayah Kerja Puskesmas Moutong
Tahun 2009

Gambar di atas terlihat bahwa dari 96 responden, masyarakat yang

tidak sekolah adalah 2 responden (2,1%), masyarakat dengan tingkat

pendidikan SD adalah 48 responden (47,9%), tingkat pendidikan SMP adalah

14 responden (14,5%) dan tingkat pendidikan SMA adalah 16 responden

(16,7%) serta tingkat pendidikan perguruan tinggi adalah 18 responden

(18,8%).

5. Pekerjaan

Berdasarkan hasil ukur menurut status pekerjaan responden hanya

dibagi dua yaitu masyarakat bekerja dan masyarakat tidak bekerja. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:


1,0%
34,4%
42,7%

4,2%
4,2%
2,1% 11,5%

Tidak bekerja 33 Responden Pegawai Negeri 4 Responden


Pegawai Swasta 4 Responden Nelayan 11 responden
Pedagang 2 Responden Petani 41 Responden
Buruh 1 Responden

Sumber: data primer yang diolah

Gambar 5.5
Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Masyarakat Di Wilayah Kerja
Puskesmas Moutong Tahun 2009

Gambar di atas terlihat bahwa dari 96 responden masyarakat yang

tidak bekerja yaitu 33 orang (34,4%), masyarakat yang bekerja sebagai

petani yaitu 41 orang (42,7%), masyarakat yang bekerja pegawai negeri yaitu

4 orang (4,2%), masyarakat yang bekerja sebagai pegawai swasta yaitu 4

orang (4,2%), masyarakat yang bekerja sebagai pedagang yaitu 2 orang

(2,1%), masyarakat yang bekerja sebagai nelayan yaitu 11 orang (11,5%)

dan masyarakat yang bekerja sebagai buruh yaitu 1 orang (1,0%).

6. Analisia Tabel silang

a. Umur Dan Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis

Untuk memperoleh gambaran distribusi umur dan pengetahuan

masyarakat tentang penyakit filariasis berdasarkan tabel silang dapat

dilihat pada tabel berikut:

33
Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Umur Dan Pengetahuan Masyarakat
Tentang Penyakit Filariasis Di Wilayah Kerja
Puskesmas Moutong Tahun 2009

Pengetahuan Masyarakat Tentang Total n


Umur
Penyakit Filariasis
Kurang Baik Baik
n % n %
< 42 Tahun 12 26,1 34 73,9 46

≥ 42 Tahun 21 42,0 29 58,0 50

Total 33 34,4 63 65,6 96


Sumber: data primer yang diolah

Dari tabel diatas, terlihat bahwa pengetahuan masyarakat yang

kurang baik tentang penyakit filariasis lebih banyak pada masyarakat

yang berumur ≥ 42 tahun yaitu 42,0%, sedangkan pengetahuan

masyarakat yang kurang baik pada masyarakat yang berumur < 42 tahun

yaitu 26,1%.

b. Jenis Kelamin Dan Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis

Untuk memperoleh gambaran distribusi pendidikan dan

pengetahuan masyarakat tentang penyakit filariasis berdasarkan tabel

silang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.2
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Dan Pengetahuan
Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis Di Wilayah Kerja
Puskesmas Moutong Tahun 2009

Jenis Pengetahuan Masyarakat Tentang Total n


Kelamin Penyakit Filariasis
Kurang Baik Baik
n % n %
Laki-Laki 26 43,3 34 56,7 60

Perempuan 7 19,4 29 80,6 36

Total 33 34,4 63 65,6 96


Sumber: data primer yang diolah
Dari tabel diatas, terlihat bahwa pengetahuan masyarakat yang

kurang baik tentang penyakit filariasis lebih banyak pada masyarakat

dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 43,3%, sedangkan pengetahuan

masyarakat yang kurang baik pada jenis kelamin perempuan yaitu 19,4%.

c. Pendidikan Dan Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis

Untuk memperoleh gambaran distribusi pendidikan dan

pengetahuan masyarakat tentang penyakit filariasis berdasarkan tabel

silang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.3
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Dan Pengetahuan
Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis Di Wilayah Kerja
Puskesmas Moutong Tahun 2009

Pengetahuan Masyarakat Tentang Total n


Pendidikan
Penyakit Filariasis
Kurang Baik Baik
N % n %
Tidak Sekolah 2 100 0 0 2

SD 24 52,2 22 47,8 48

SMP 4 28,6 10 71,4 14

SMA 3 18,8 13 81,3 16

Perguruan Tinggi 0 0 18 100 18

Total 33 34,4 63 65,6 96


Sumber: data primer yang diolah

Dari tabel diatas, terlihat bahwa pengetahuan masyarakat yang

35
kurang baik tentang penyakit filariasis lebih banyak pada masyarakat

yang tidak sekolah yaitu 100%, diikuti masyarakat dengan tingkat

pendidikan SD yaitu 52,2% kemudian masyarakat dengan tingkat

pendidikan SMP yaitu 28,6% dan pengetahuan masyarakat yang kurang

baik pada tingkat pendidikan SMA yaitu 18,8% serta pengetahuan

masyarakat yang kurang baik pada tingkat pendidikan Perguruan Tinggi

yaitu 0%.

d. Pekerjaan Dan Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis

Untuk memperoleh gambaran distribusi pekerjaan dan

pengetahuan masyarakat tentang penyakit filariasis berdasarkan tabel

silang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.4
Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Dan Pengetahuan
Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis Di Wilayah Kerja
Puskesmas Moutong Tahun 2009

Pengetahuan Masyarakat Tentang Total n


Pekerjaan
Penyakit Filariasis
Kurang Baik Baik
N % N %
Tidak Bekerja 15 45,5 18 54,5 33

Petani 6 14,6 35 85,4 41

Pegawai Negeri 0 0 4 100 4

Pegawai Swasta 0 0 4 100 4

Pedagang 2 100 0 0 2

Nelayan 9 81,8 2 18,2 11

Buruh 1 100 0 0 1

Total 33 34,4 63 65,6 96


Sumber: data primer yang diolah

Dari tabel diatas, terlihat bahwa pengetahuan masyarakat yang

kurang baik tentang penyakit filariasis lebih banyak pada masyarakat yang

yang bekerja sebagai pedagang dan buruh yaitu masing-masing 100%,

diikuti oleh masyarakat yang bekerja sebagai nelayan yaitu 81,8%

kemudian masyarakat yang tidak bekerja yaitu 45,5% dan masyarakat

yang bekerja sebagai petani yaitu 14,6% sedangkan masyarakat yang

bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta yaitu masing-masing

0%.

B. Pembahasan

Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat

yang baik tentang penyakit filariasis lebih besar dibandingkan dengan

pengetahuan yang kurang baik. Artinya sebagian besar masyarakat telah

memperoleh informasi tentang penyakit filariasis dari dokter, bidan, perawat

dan petugas kesehatan lainnya maupun media massa seperti TV, radio dan

lain-lain. Dan menurut asumsi peneliti hal ini sangat baik karena dengan

pengetahuan yang baik masyarakat tahu menghindari agar tidak terkena

penyakit filariasis. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Notoatmodjo

(2003) bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

37
melalui mata dan telinga.

Sebagian masyarakat yang memiliki pengetahuan kurang baik

ditunjukkan oleh kurangnya pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan

filariasis (kaki gajah) yaitu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh

cacing filaria dan penyebab penyakit filariasis (kaki gajah) yaitu gigitan

nyamuk, gigitan binatang seperti kucing dan kera serta kurang memahami

cara untuk mencegah penyakit filariasis (kaki gajah) yaitu memberantas

nyamuk, menguras bak kamar mandi, menutup tempat penampungan air dan

membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat

perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan

air sebagai tempat perindukan nyamuk sehingga menyebabkan mereka hanya

memilih satu pilihan jawaban dari beberapa pilihan jawaban yang diberikan

sehingga mempengaruhi saat perhitungan karena nilainya berada di bawah

nilai median dan dianggap pengetahuan mereka kurang baik.

Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis Di Tinjau Dari Segi umur

Distribusi frekwensi berdasarkan umur masyarakat di wilayah kerja

Puskesmas Moutong yaitu umur ≥ 42 tahun lebih besar dari pada umur < 42

tahun. Akan tetapi pengetahuan masyarakat yang kurang baik tentang

penyakit filariasis lebih banyak pada masyarakat yang berumur ≥ 42 tahun

dibandingkan pengetahuan masyarakat yang kurang baik pada masyarakat

yang berumur < 42 tahun. Menurut asumsi peneliti hal ini terjadi karena

secara kebetulan masyarakat yang berumur < 42 tahun adalah masyarakat

yang bekerja sebagai pegawai negeri maupun swasta dan memiliki


pendidikan SMA serta Perguruan Tinggi sehingga mereka mempunyai

pengetahuan baik. Selain itu pada umur < 42 tahun masih memiliki

kemampuan yang baik dalam berpikir dan mengingat informasi yang pernah

didapatkannya. Sedangkan masyarakat yang berumur ≥ 42 tahun kebanyakan

hanya memiliki tingkat pendidikan SD dan bahkan tidak pernah sekolah dan

juga mereka juga bekerja sebagai petani jadi jarang menerima informasi

selain itu pada berumur ≥ 42 tahun mulai mengalami penurunan kemampuan

untuk mengingat apa yang pernah di dengarnya tentang penyakit filariasis.

3. Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis Di Tinjau Dari Segi

Jenis Kelamin

Distribusi frekwensi berdasarkan jenis kelamin masyarakat di wilayah

kerja Puskesmas Moutong yaitu jenis kelamin laki-laki lebih besar dari pada

jenis kelamin perempuan. Hal ini terjadi karena peneliti mengambil

responden dengan cara door to door jadi saat pengisian kuesioner kepala

keluarga lebih banyak. Akan tetapi pengetahuan masyarakat yang kurang

baik tentang penyakit filariasis lebih banyak pada masyarakat dengan jenis

kelamin laki-laki dibandingkan dengan pengetahuan masyarakat yang kurang

baik pada jenis kelamin perempuan. Menurut asumsi peneliti ini terjadi

karena perempuan lebih banyak memiliki kesempatan menerima penyuluhan

dari petugas kesehatan karena mereka lebih sering mengunjungi pelayanan

kesehatan dan dengan banyak menerima informasi dari dokter, bidan,

perawat, petugas kesehatan lainnya maka pengetahuan akan lebih baik pula.

Hal ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yang mengatakan

39
bahwa Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah orang melakukan

penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan

raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga. Sedangkan laki-laki memiliki pengetahuan kurang baik karena

mareka jarang bertemu dengan petugas kesehatan dan juga tidak mendapat

penyuluhan tentang penyakit filariasis padahal mereka lebih berisiko terkena

penyakit filariasi. Oleh karena pengetahuan yang baik pada laki-laki sangat

penting karena dengan pengetahuan baik mereka akan lebih tahu apa yang

sebaiknya dilakukan agar tidak tertular penyakit filariasis.

Sedangkan pengetahuan yang kurang baik pada jenis kelamin laki-laki

akan mempengaruhi perilaku mereka dalam usaha menghindari penyakit

filariasis padahal laki-laki lebih dominan terinfeksi karena memiliki lebih

banyak kesempatan untuk mendapat infeksi apalagi kalau mereka bekerja

sebagai petani dan nelayan. Hal ini sejalan dengan Azrul (1997) yang

mengatakan bahwa beberapa penyakit tertentu ditemukan hanya pada jenis

kelamin tertentu saja dan berdasarkan data Profil SulTeng (2007) penyakit

filariasisi lebih banyak menyerang pada laki-laki dengan mata pencaharian

buruh dan nelayan.

4. Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis Di Tinjau Dari Segi

Pendidikan

Distribusi frekwensi berdasarkan tingkat pendidikan masyarakat di

wilayah kerja Puskesmas Moutong yaitu masyarakat dengan pendidikan SD


lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan masyarakat dengan pendidikan

tidak sekolah, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Akan tetapi pengetahuan

masyarakat yang kurang baik tentang penyakit filariasis lebih banyak pada

masyarakat yang tidak sekolah, diikuti masyarakat dengan tingkat pendidikan

SD kemudian masyarakat dengan tingkat pendidikan SMP. Menurut asumsi

peneliti hal ini kurang baik karena dengan pendidikan yang rendah seseorang

akan lebih sulit menerima informasi pelayanan kesehatan termasuk informasi

tentang penyakit filariasis. Sebaliknya seorang masyarakat dengan

pendidikan yang tinggi diharapkan akan lebih mudah menerima informasi

dari pelayanan kesehatan. Sejalan dengan pendapat dari Notoatmodjo (1996)

yang mengatakan bahwa pada umumnya semakin tinggi pendidikan

seseorang, semakin baik pula tingkat pengetahuannya dan dengan

pengetahuan yang baik maka seorang akan lebih tahu menghindari berbagai

penyakit termasuk penyakit filariasis dengan jalan melakukan pencegahan

yaitu menghindari gigitan nyamuk dan menjaga kebersihan lingkungan

membasmi sarang-sarang nyamuk. Hal ini sejalan dengan pendapat Farid

(2008) yang mengatakan bahwa untuk pencegahan penyakit filariasis dapat

dilakukan dengan berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk penular,

membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat

perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan

air sebagai tempat perindukan nyamuk serta membersihkan semak-semak

disekitar rumah.

5. Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis Di Tinjau Dari Segi

41
Pekerjaan

Distribusi frekwensi berdasarkan pekerjaan masyarakat di wilayah

kerja Puskesmas Moutong yaitu masyarakat yang bekerja sebagai petani lebih

besar diikuti dengan masyarakat yang tidak bekerja kemudian masyarakat

yang bekerja sebagai nelayan dan masyarakat yang bekerja sebagai pegawai

negeri dan pegawai swasta serta masyarakat yang bekerja sebagai buruh. Jika

dikaitkan dengan pengetahuan masyarakat tentang penyakit filariasis maka

pengetahuan masyarakat yang kurang baik tentang penyakit filariasis lebih

banyak pada masyarakat yang bekerja sebagai pedagang dan buruh, diikuti

oleh masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, kemudian masyarakat yang

tidak bekerja dan masyarakat yang bekerja sebagai petani. Menurut asumsi

peneliti hal ini terjadi karena masyarakat yang tidak bekerja dan bekerja

sebagai buruh dan nelayan serta petani kebanyakan memiliki pendidikan SD

dan juga bekerja sebagai petani dan buruh serta pedagang serta nelayan

dimana mereka selalu sibuk melakukan pekerjaannya sehingga tidak

mempunyai kesempatan untuk memperoleh penyuluhan dari petugas

kesehatan. Dengan pengetahuan yang kurang baik masyarakat akan lebih

berisiko terkena penyakit filariasis terutama pada nelayan, petani dan buruh.

Didukung dengan data Riskesdas SulTeng tahun 2007 yaitu filariasis yang

ditemukan di Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Palu lebih banyak

menyerang orang dengan mata pencaharian petani, buruh dan nelayan.

C. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti adalah:


Pada saat pengumpulan data sangat ditentukan oleh kejujuran responden dalam

menjawab pertanyaan.

2. Kuesioner yang tidak diuji cobakan.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab V yang telah

dipaparkan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Masyarakat yang memiliki pengetahuan baik tentang penyakit filariasis lebih

besar jumlahnya dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki

pengetahuan yang kurang baik.

Pengetahuan masyarakat yang kurang baik tentang penyakit filariasis lebih

banyak pada masyarakat yang berumur ≥ 42 tahun dibandingkan dengan

pengetahuan masyarakat yang kurang baik pada masyarakat yang berumur <

42 tahun.

Pengetahuan masyarakat yang kurang baik tentang penyakit filariasis lebih

banyak pada masyarakat dengan jenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan

43
pengetahuan masyarakat yang kurang baik pada jenis kelamin perempuan.

Pengetahuan masyarakat yang kurang baik tentang penyakit filariasis lebih

banyak pada masyarakat yang tidak sekolah, diikuti masyarakat dengan

tingkat pendidikan SD kemudian masyarakat dengan tingkat pendidikan SMP

dan tingkat pendidikan SMA.

Pengetahuan masyarakat yang kurang baik tentang penyakit filariasis lebih

banyak pada masyarakat yang yang bekerja sebagai pedagang dan buruh

yaitu masing-masing, diikuti oleh masyarakat yang bekerja sebagai nelayan

kemudian masyarakat yang tidak bekerja dan masyarakat yang bekerja

sebagai petani.

Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan yang ada, maka penulis mengajukan

beberapa saran untuk perbaikan dimasa yang akan datang antara lain sebagai

berikut :

Untuk Puskesmas Moutong diharapkan lebih banyak melakukan penyuluhan

tentang penyakit filariasis sehingga pengetahuan masyarakat lebih baik lagi

terutama pada masyarakat yang bekerja sebagai buruh dan nelayan serta

petani karena dengan pengetahuan yang baik kasus filariasis akan berkurang.

Untuk masyarakat agar lebih mempertahankan pengetahuan yang sudah baik dan

bagi yang memiliki pengetahuan baik agar meningkatkan pengetahuannya

dengan mengikuti penyuluhan–penyuluhan yang diberikan oleh petugas

kesehatan serta tetap menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal.

Untuk peneliti lainnya diharapkan untuk melaksanakan dan membuat penelitian


dengan variabel yang berbeda.

45

Anda mungkin juga menyukai