Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan cacing filaria


dewasa yang hidup dalam kelenjar limfe dan darah manusia yang ditularkan oleh
nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun dan bila tidak mendapatkan pengobatan
akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki (elephantiasis),
pembesaran lengan, payudara, dan alat kelamin pada wanita maupun laki-laki.
Penyakit ini menyebabkan produktifitas penderitanya penurun dan
mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit akibat kehilangan jam kerja yang
disebabkan penyakit tersebut (Akhsin Zulkoni, 2011:55).
Menurut WHO, penduduk dunia yang terinfeksi oleh filariasis sekitar 120
juta dan menyerang sekitar 25 juta laki-laki dan 15 juta wanita. Filariasis
menyerang 1.103 juta orang di 73 negara yang berisiko filariasis. Kasus filariasis
menyerang 57% di Asia Tenggara dan 37% penduduk di wilayah Afrika.
Sedangkan sisanya di wilayah Amerika, Mediterania Timur dan wilayah barat
Pasifik (Muhsin, Safarianti, & Maryatun, 2017). Data Riskesdas (2013)
menunjukkan bahwa persentase penderita filariasis di Provinsi Aceh berada
dalam urutan pertama terbesar dari seluruh provinsi di Indonesia yaitu sebesar
6,4‰ (Kemenkes RI, 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa penyakit filariasis
menjadi ancaman kesehatan bagi masyarakat yang ada di Provinsi Aceh
(Pramono, Maryani, & Wulandari, 2014). Kabupaten Aceh Timur terdapat 67
orang penderita filariasis. Pemerintah Kabupaten Aceh Timur melalui Dinas
Kesehatan memberikan obat pencegahan massal filariasis bagi masyarakat.
Pencegahan filariasis dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk
infektif dan memberantas risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis
misalnya yang berasal dari lingkungan dan perubahan perilaku masyarakat serta
dapat mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal. Mengidentifikasi
vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan
menggunakan umpan manusia (Arsin, 2016). Berdasarkan teori Hendrik L. Blum
(1974) dalam Notoatmodjo, terdapat empat faktor yang mempengaruhi status
kesehatan manusia, yaitu: lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan
keturunan. Diantara keempat faktor tersebut, faktor perilaku masyarakat memiliki
pengaruh besar terhadap pencegahan penyakit menular termasuk filariasis.
Perilaku tersebut menurut Benyamin Bloom (1908) mencakup tiga domain, yaitu
2

pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan tindakan atau praktik (practice)


(Nototatmodjo, 2015).
Kondisi fisik lingkungan tercipta dari perilaku yang dipengaruhi dari praktik
seseorang, perubahan perilaku seseorang diikuti tahapan antara pengetahuan,
sikap, dan praktik. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di
lingkungan tertentu, untuk menciptakan kondisi lingkungan fisik yang diharapkan
diperlukan pendirian yang kuat untuk mencegah penularan filariasis dari kondisi
fisik lingkungan (Soekidjo Notoatmodjo, 2012:140). Terbentuknya sikap didasari
pengetahuan yang didapat untuk mengetahui tujuan dan manfaat bagi
kesehatan. Pengetahuan tentang pencegahan penularan dengan kondisi fisik
lingkungan yang dimiliki diharapkan seseorang akan membentuk perilaku yang
akan langgeng bahkan selama hidup dilakukan (Soekidjo Notoatmodjo, 2012:18).
Menurut Ditjen PPM & PL (Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan) Direktorat P2B2, Subdit Filariasis dan
Schistosomiasis (2002), selain ke tiga wilayah kepulauan tersebut di atas
endemisitas kejadian filariasis juga terdapat dibeberapa provinsi lainnya di
Indonesia, diantaranya Provinsi Jawa Barat (khususnya Kabupaten Bekasi),
Provinsi Jawa Tengah (khususnya Kabupaten Pekalongan), Provinsi Banten
(khususnya Kabupaten Lebak Tangerang), Provinsi Lampung (khususnya
Lampung), Provinsi Sulawesi Barat (Khususnya Mamuju), Provinsi Sulawesi
Tengah (Khususnya Donggala), Provinsi Kalimantan Barat (Khususnya
Kabupaten Pontianak), Provinsi Kalimantan Tengah (Kabupaten Kapuas), dan
Provinsi Kalimantan Selatan (Khususnya Kabupaten Kotabaru) (Pusdatin
Kemkes RI, 2016).
mail, 2017). Pencegahan filariasis dilakukan dengan menghindari gigitan
nyamuk infektif dan memberantas risiko yang berhubungan dengan kejadian
filariasis misalnya yang berasal dari lingkungan dan perubahan perilaku
masyarakat serta dapat mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal.
Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk
dengan menggunakan umpan manusia (Arsin, 2016).
Berdasarkan teori Hendrik L. Blum (1974) dalam Notoatmodjo, terdapat
empat faktor yang mempengaruhi status kesehatan manusia, yaitu: lingkungan,
perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Diantara keempat faktor tersebut,
faktor perilaku masyarakat memiliki pengaruh besar terhadap pencegahan
penyakit menular termasuk filariasis. Perilaku tersebut menurut Benyamin Bloom
3

(1908) mencakup tiga domain, yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude),


dan tindakan atau praktik (practice) (Nototatmodjo, 2015).
Propinsi Nusa Tengara Timur adalah Propinsi di mana filariasis masih
merupakan penyakit endemik. Kabupaten Sumba Tengah Propinsi NTT
merupakan salah satu daerah di Indonesia dengan kasus klinis filariasis tinggi,
jumlah kasus klinis di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2009
sebanyak 1.730 orang, dan merupakan provinsi dengan kasus tertinggi kedua
setelah Nangroe Aceh Darussalam. Jumlah kasus klinis di Provinsi Nusa
Tenggara Timur meningkat menjadi sebanyak 2.395 pada tahun 2013. Pada
tahun 2018 terakhir terjadi penurunan dari jumlah kasus di Nusa Tenggara Timur
khususnya Kabupaten Sumba Tengah dari 8 kecamatan berjumlah 159 orang.
Dari data yang di peroleh saat peneliti melakukan studi pendahuluan pada
puskesmas mananga kecamatan mamboro dengan tiap kecamatan jumlah
filariasis tertinggi berada di kecamatan Mamboro dengan jumlah penderita
filariasis berjumlah 37 orang.
Pulau Sumba merupakan bagian dari wilayah administrasi provinsi Nusa
Tenggara Timur, turut menyumbang angka kasus sehingga NTT menempati
urutan kedua dalam jumlah kasus filariasis tertinggi tahun 2013. Pulau ini
memiliki 4 kabupaten yaitu kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba
Barat dan Sumba Barat Daya. Filariasis tersebar di 4 Kabupaten ini dengan
jumlah kasus yang berbeda. Pada tahun 2006, Kabupaten Sumba Barat memiliki
kasus kronis 6 orang, Kabupaten Sumba Timur tahun 2007 memiliki kasus kronis
8 orang, Kabupaten Sumba Tengah pada tahun 2010 memiliki kasus kronis 305
orang dengan sediaan darah (SD) positif 16, Kabupaten Sumba Barat Daya pada
tahun 2011 memiliki kasus kronis 99 orang dengan SD positif 8 orang (Willa dan
Noshirma, 2015). Sedangkan Kabupaten Sumba Tengah tepatnya di Kecamatan
Mamboro Puskesmas Mananga data yang di peroleh pada tahun 2018 berjumlah
159 orang penderita Filariasis atau kaki gajah.
Berdasarkan uraian di atas, Kabupaten Sumba Tengah menempati urutan
pertama dalam kasus tersebut. Salah satu daerah di Kabupaten Sumba Tengah
yang banyak mengalami kasus Filasriasis adalah Kecamatan Mamboro. Hasil
survei pendahuluan pada tanggal 12 Desember 2020 pada 20 rumah
menunjukkan bahwa kondisi fisik lingkungan di Kecamatan Mamboro 90%
terdapat semak-semak, 70% terdapat saluran pembuangan air limbah yang
4

terbuka dan limbah tidak mengalir, 25% terdapat genangan air, 10% terdapat
ternak di sekitar rumah.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul “Hubungan Pengetahuan dengan perilaku masyarakat
terhadap penyakit kaki gajah (Filasriasis) di wilayah kerja Puskesmas Mananga
Kecamatan Mamboro”.
1.2 Rumusan Masalah
Adakah ada hubungan pengetahuan dengan perilaku masyarakat
terhadap penyakit kaki gajah (Filasriasis) di Wilayah Kerja Puskesmas Mananga
Kecamatan Mamboro?
5

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan perilaku masyarakat

terhadap penyakit kaki gajah (Filasriasis) di Wilayah Kerja Puskesmas Mananga

Kecamatan Mamboro.

1.4.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengetahuan terhadap penyakit kaki gajah (Filasriasis)

di Wilayah Kerja Puskesmas Mananga Kecamatan Mamboro.

b. Untuk mengetahui perilaku masyarakat terhadap penyakit kaki gajah

(Filasriasis) di Wilayah Kerja Puskesmas Mananga Kecamatan Mamboro.

c. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan perilaku masyarakat

terhadap penyakit kaki gajah (Filasriasis) di Wilayah Kerja Puskesmas

Mananga Kecamatan Mamboro.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Untuk Dinas Kesehatan

Memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan khususnya wilayah kerja

Puskesmas Mananga Kecamatan Mamboro.

1.4.2 Untuk Jurusan Ilmu Kesehatan Lingkungan

Sebagai bahan pustaka pada Jurusan Ilmu Kesehatan Lingkungan dalam

pengembangan ilmu di bidang Kesehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan

dan Ilmu Perilaku.

1.4.3 Untuk Peneliti

- Dapat memperoleh ilmu, pengalaman serta penerapan materi yang telah

diperoleh dalam perkuliahan dan penelitian dapat dilakukan untuk tugas

akhir atau skripsi


6

- Penerapan pengetahuan tentang Kesehatan Lingkungan, Promosi

Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang dimiliki terhadap kenyataan dilapangan.

- Sebagai upaya pengembangan pribadi dalam berfikir logis, terstruktur, dan

tersistematis

- Dapat diketahui seberapa penting penerapan Kesehatan Lingkungan,

Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Masyarakat

1.4.4 Untuk Masyarakat

Untuk di implementasikan kepada masyarakat dalam menangani masalah

perilaku,dan pengetahuan masyarakat tentang penyakit kaki gajah (filariasis)

dalam merubah perilaku masyarakat yang sehat dalam lingkungan wilayah kerja

puskesmas Mananga kecamatan Mamboro Kabupaten Sumba Tengah.

Anda mungkin juga menyukai