Anda di halaman 1dari 31

1

PROPOSAL PROGRAM

“PEKAN BERKAH: PEDULI KEBERSIHAN BERESKAN KAKI GAJAH


SEBAGAI UPAYA MANAJEMEN LINGKUNGAN DALAM
MENGENDALIKAN VEKTOR FILARIASIS DI KECAMATAN NISAM ”

Proposal ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Epidemiologi Penyakit Tropis

Oleh:
Ariny Lailatul Choiriyah
172110101070

MINAT EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2020
2

BAB I
PENDAHULUAN

2.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang memiliki iklim tropis sehingga
berpotesi menjadi daerah yang endemis penyakit infeksi. Hal ini menjadi ancaman
tersendiri terutama bagi kesehatan masyarakat di Indonesia. Salah satu penyakit
infeksi tersebut adalah filariasis. Filariasis merupakan salah satu penyakit menular
yang disebabkan oleh parasit nematoda dari famili Filarioidea seperti Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk yang mengandung larva infektif (WHO, 2017). Larva filaria yang masuk
dalam tubuh manusia akan berkembang menjadi cacing dewasa dan tinggal di
jaringan limfe sehingga dengan adanya cacing filaria di jaringan limfe dapat
menyebabkan pembengkakan pada beberapa bagian tubuh seperti pada kaki,
lengan, tungkai, payudara, maupun organ genital. (Kemenkes RI, 2019)
Pada tahun 2018, sekitar 893 juta orang di 49 negara hidup di daerah yang
terancam filariasis dan diperkirakan filariasis telah menyebabkan 25 juta pria
mengalami cacat pada bagian genital (hidrokel) dan lebih dari 15 juta orang
mengalami limfedema, serta paling tidak ada 36 juta orang hidup dengan
manifestasi klinis dari penyakit kronis ini (WHO, Lymphatic Filariasis, 2020).
Secara global, WHO telah menetapkan Global Programme to Eliminate
Lymphatic Filariasis (GPELF) sebagai bentuk program untuk mengeliminasi
kejadian filariasis di dunia. Sebelum adanya GPELF, penyakit filariasis telah
menyebabkan sekitar 5,25 juta DALY’s dan mengalami kerugian perekonomian
sedikitnya 5,7 miliar dolar per tahun. Namun setelah 16 tahun penerapan GPELF,
filariasis dianggap telah bertanggungjawab atas sedikitnya 1,3 juta DALY’s
meskipun beban yang tersisa masih cukup besar (WHO, 2019).
Indonesia menjadi salah satu negara endemis filariasis dengan jumlah
kasus sebanyak 10.681 kasus yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia pada tahun
2018. Angka ini menurun jika dibandingkan dengan perkembangan jumlah kasus
sejak tahun 2014. Pada tahun 2014 jumlah kasus filariasis di Indonesia sebanyak
14.932 kasus, menurun pada tahun 2015 yakni sebanyak 13.032 kasus.
3

Perkembangan jumlah kasus dalam jangka waktu satu tahun antara tahun 2015
menuju tahun 2016 memang tidak banyak karena hanya terjadi penurunan jumlah
kasus sebanyak 23 kasus, namun terus mengalami penurunan hingga mencapai
12.667 kasus pada tahun 2017 dan penurunan yang sangat besar terjadi di tahun
2018. Pada tahun 2018, terdapat 28 provinsi di Indonesia yang merupakan daerah
endemis flariasis termasuk lima provinsi diantaranya dengan kasus filariasis
terbanyak adalah Papua (3.615 kasus), kedua adalah Nusa Tenggara Timur (1.542
kasus), disusul Jawa Barat (781 kasus), Papua Barat (622 kasus) dan Aceh (578
kasus). (Kemenkes RI, 2019)
Penyakit filariasis merupakan penyakit menular yang manifestasi klinisnya
timbul setelah bertahun-tahun sehingga penyakit ini jarang sekali ditemukan pada
anak-anak. Filariasis memang jarang sekali menyebabkan kematian akan tetapi
dampak yang sering kali ditimbulkan adalah kecacatan yang tentunya dapat
mengganggu produktivitas individu. Cacat pada penderita filariasis biasanya
berupa pembengkakan yang terjadi tidak hanya di kaki, tetapi juga tangan,
payudara, atau buah zakar (Arsin, 2016). Kecacatan ini terjadi karena cacing
filaria yang tinggal di dalam saluran dan kelenjar getah bening sehingga
menyebabkan kerusakan pada sistem limfe. Maka dampak kedepannya tentu akan
mempengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang, dapat menjadi beban keluarga,
dan juga secara tidak langsung dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara.
Terdapat beberapa faktor yang dapat berperan sebagai faktor risiko
kejadian filariasis baik itu faktor dari manusia, nyamuk sebagai vektor penular,
serta lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ikhwan, dkk di
Kabupaten Bintan Kepulauan Riau pada tahun 2016 menunjukkan bahwa faktor
perilaku dari manusia dapat menjadi faktor risiko kejadian filariasis seperti
pengetahuan praktik penggunaan kawat kassa yang dipasang di ventilasi rumah
serta penggunaan kelambu pada saat tidur (Ikhwan, Herawati, & Suharti, 2016).
Faktor risiko yang berasal dari manusia juga seperti pekerjaan berisiko yang
menuntut seseorang untuk banyak kontak dengan vektor penular, kebiasaan keluar
pada malam hari tanpa menggunakan pakaian yang panjang, dan juga tidak
menggunakan obat anti nyamuk saat tidur. Penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi,
dkk (2019) menyebutkan bahwa pengetahuan, keberadaan tempat
4

perkembangbiakan dan peristirahatan nyamuk merupakan faktor risiko filariasis


yang terjadi di Kota Semarang. Keadaan lingkungan juga akan mempengaruhi
kehidupan nyamuk seperti suhu, kelembaban, curah hujan, serta keberadaan
tumbuhan dan hewan yang berpengaruh pada kehidupan larva dan nyamuk (Arsin,
2016). Semua faktor-faktor di atas yang seharusnya dapat dicegah untuk memutus
penularan filariasis di Indonesia.
Sebagai salah satu provinsi dengan jumlah kasus filariasis yang cukup
banyak, Provinsi Aceh memiliki jumlah kasus sebanyak 591 kasus pada tahun
2017 dan mengalami penurunan menjadi 578 kasus pada tahun berikutnya. Dari
12 kabupaten/kota yang endemis filariasis di Provinsi Aceh hanya 2
kabupaten/kota yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria rate menjadi <1%
sehingga cakupan keberhasilan program masih sangat kecil meskipun penerapan
POPM sudah terlaksana di 10 dari 12 kabupaten/kota endemis di Provinsi Aceh.
Kabupaten Aceh Utara menjadi salah satu daerah dengan kasus filariasis
terbanyak di Provinsi Aceh dengan jumlah kasus sebanyak 93 kasus pada 2018
dan ditemukan 8 kasus baru pada tahun berikutnya sehingga jumlah keseluruhan
kasus filariasis pada tahun 2019 mencapai 101 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi
Aceh, 2020).
Faktor lingkungan bisa menjadi salah satu penyebab tingginya kasus di
Kabupaten Aceh Utara. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober-
November yang mencapai 258-296 mm dengan jumlah hari hujan bisa mencapai
24 hari dalam satu bulan. Curah hujan akan sangat mempengaruhi perkembangan
larva dan salah satunya dipengaruhi oleh jumlah hari hujan dan derasnya hujan
(Arsin, 2016). Temperatur udara minimum adalah 21oC dan maksimum adalah
36,6oC sehingga pada suhu rentang suhu ini sangat memungkinkan untuk
pertumbuhan nyamuk karena suhu optimal yang dibutuhkan adalah berkisar antara
21oC-26oC (Silalahi, Sambuaga, & Sjarkawi, 2013). Rata-rata kelembaban udara
di Kabupaten Aceh Utara adalah 80-88% yang mana pada tingkat kelembaban ini
dapat mempengaruhi umur nyamuk karena batas paling rendah nyamuk dapat
hidup adalah minimal kelembaban 60% (Kawulur, Ayomi, Suebu, Rokhmad, &
Pardi, 2019). Selain itu, wilayah Kabupaten Aceh Utara juga merupakan wilayah
dengan frekuensi banjir yang cukup tinggi sehingga genangan-genangan air
5

banyak terbentuk dan akan menjadi tempat yang sangat ideal bagi vektor (Yulidar
& Zulhaida, 2018).
Salah satu tujuan SDGs poin ke-3 adalah untuk menjamin kehidupan sehat
dan mendukung kesejahteraan bagi semua usia. Poin ini menargetkan beberapa
target penting salah satunya yakni mengakhiri epidemik dari penyakit tropis pada
tahun 2030, termasuk di dalamnya adalah filariasis. Pencapaian target tersebut
salah satunya dilaksanakan dalam satu wadah Program Eliminasi Filariasis Global
di Indonesia. Berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai
upaya penanggulangan filariasis di Indonesia, penyelenggaraan penanggulangan
tersebut tertuang dalam pokok kegiatan berupa surveilans kesehatan, penanganan
penderita dengan cara pengobatan dan perawatan, pengendalian faktor risiko
melalui Pemberian Obat Pencegahan Secara Massal (POPM), serta komunikasi,
informasi, dan edukasi yang dilakukan dengan cara sosialisasi dan advokasi.
Pelaksanaan program tersebut memberikan dampak positif terhadap penurunan
jumlah kasus filariasis di Indonesia terbukti dengan penurunan jumlah kasus yang
cukup signifikan selama empat tahun terakhir.
Angka kejadian filariasias di Indonesia memang mengalami penurunan
yang cukup pesat, namun Indonesia masih belum dapat dikatakan bebas dari
filariasis. Tentunya berbagai pelaksanaan program pencegahan maupun
penanggulangan sudah banyak diterapkan di Indonesia. Namun upaya tersebut
seringkali tidak berjalan dengan sistematis dan berkelanjutan, terutama yang
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan perilaku masyarakat sehari-hari.
Program tersebut harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat sebagai sasaran
dari program agar masyarakat cenderung tidak bosan dengan berbagai metode
pencegahan yang sebelumnya telah disosialisasikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Yulidar dan Zulhaida (2018) menunjukkan
bahwa wilayah Kecamatan Nisam merupakan daerah dengan potensi tertular
infeksi filariasis tertinggi di Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan latar belakang di
atas kami mengajukan Peduli Kebersihan Bereskan Kaki Gajah (Pekan Berkah)
sebagai salah satu program yang dapat diterapkan untuk menanggulangi
permasalahan filariasis di Kecamatan Nisam sebagai salah satu daerah endemis
filariasis dengan jumlah kasus terbanyak di Indonesia. Program ini merupakan
6

pengembangan dari program yang dilaksanakan pemerintah berdasarkan Peraturan


Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis.
Program Pekan Berkah ini akan diterapkan pada daerah endemis filariasis dengan
cakupan kegiatan lebih kepada pengelolaan faktor risiko lingkungan sehingga
diharapkan mampu mengurangi angka kejadian kasus di Kecamatan Nisam.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat difokuskan
adalah bagaimana penerapan Program Pekan Berkah sebagai upaya pengendalian
filariasis di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara.

1.3 Tujuan
Tujuan dari program ini adalah mengurangi kepadatan populasi nyamuk di
sekitar daerah tempat tinggal masyarakat di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh
Utara tersebut.

1.4 Luaran yang Diharapkan


Luaran yang diharapkan dari program ini adalah Kecamatan Nisam dapat
meningkatkan kualitas kesehatan terutama untuk membantu mengurangi faktor
risiko penularan penyakit filariasis. Selain itu dengan adanya program berbasis
lingkungan ini, masyarakat diharapkan dapat lebih aktif dalam menerapkan upaya
pencegahan penyakit filariasis secara mandiri.

1.5 Manfaat
1. Bagi warga, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat terciptanya
lingkungan yang lebih nyaman terbebas dari populasi nyamuk yang padat
di daerah tersebut.
2. Bagi pemerintah, dengan adanya program ini diharapkan dapat
mengenalkan dan mensosialisasikan kepada seluruh masyarakat di
7

Indonesia sebagai salah satu program untuk menanggulangi filariasis


terutama pada daerah endemis filariasis.
3. Bagi peneliti lain, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu sumber rujukan serta menambah pengetahuan dan wawasan.
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Filariasis
Filariasis atau yang biasa dikenal dengan istilah penyakit kaki gajah
merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh keberadaan cacing
filaria dalam saluran dan kelenjar limfe hospes dan cacing tersebut ditularkan
melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif (Irwan, 2017). Penyakit
filariasis dapat menyerang semua kelompok umur, tidak bergantung tua atau muda
akan tetapi bergantung pada ada tidaknya kontak seseorang dengan vektor
filariasis yakni nyamuk (Sipayung, Wahjuni, & Devy, 2014). Menurut Widodo
(2011) gejala pembengkakan pada kaki biasanya baru timbul ketika seseorang
berumur 30 tahun setelah terinfeksi selama bertahun-tahun. Oleh karena gejala
yang ditimbulkan dalam waktu yang cukup lama, maka penyakit ini dikatakan
penyakit menahun sebab manifestasi klinis yang ditimbulkan baru nampak
bertahun-tahun setelah seseorang mendapatkan gigitan nyamuk yang membawa
larva infektif.
Meskipun penyakit ini jarang sekali menyebabkan kematian, namun
gangguan fisik yang ditimbulkan menyebabkan seseorang yang terkena filariasis
dapat terganggu segala aktivitasnya. Penderita yang tidak segera mendapatkan
pengobatan dapat menimbulkan cacat permanen seperti pembesaran kaki, lengan,
dan organ kelamin baik laki-laki maupun perempuan. Dampak inilah yang
menyebabkan penderita tidak bisa beraktivitas maupun bekerja secara optimal
sehingga tentunya akan memberikan beban tersendiri bagi keluarga, masyarakat,
bahkan negara.

2.1.1 Variabel Epidemiologi


Dalam mengungkapkan terjadinya suatu penyakit, istilah segitiga
epideomologi (epidemiologi triangle) sudah dikenal oleh para epidemiolog untuk
menjelaskan berbagai masalah kesehatan yang mana kejadian penyakit sangat
bergantung pada keseimbangan interaksi antara ketiga variabel seperti faktor
9

penyebab penyakit (agent), manusia sebagai pejamu (host), dan lingkungan di


sekitar host dan agent (environment) (Heriana, 2018).
1. Agent
Penyakit filariasis tersebar di seluruh Indonesia dengan 3 tipe spesies
cacing filaria yang ada di Indonesia yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi,
dan Brugia timori. Penyebaran ketiga spesies tersebut di Indonesia
beranekaragam, seperti spesies Wuchereria bancrofti yang tersebar baik didaerah
perkotaan maupun pedesaan di seluruh pulau seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, dan juga Papua. Tipe Brugia malayi tersebar di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku serta Brugia
timori yang lebih endemis di daerah Kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor, dan
Sumba, serta daerah-daerah persawahan. Apabila dilihat berdasarkan waktu
temuan cacing ini dalam darah tepi maka dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe
periodisitas nokturna (banyak terdapat di darah tepi ketika malam hari, sedangkan
siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru, ginjal, dan
jantung), tipe subperiodik nokturna (dapat ditemukan di darah tepi baik siang
maupun malam hari, tetapi paling banyak terjadi aktivitas pada malam hari), dan
non periodik (ditemukan pada siang dan malam hari). (Kemenkes RI, 2014)
Secara morfologi cacing filaria memiliki 3 bentuk tubuh selama masa
hidupnya, yaitu cacing dewasa (makrofilaria), anak cacing (mikrofilaria), dan
larva. (Kemenkes RI, 2014)
a. Cacing Dewasa (Makrofilaria)
Cacing dewasa hidup di saluran dan kelenjar limfe manusia. Makrofilaria
memiliki bentuk silindris seperti benang dengan warna putih susu dan
permukaan halus. Cacing betina memiliki ukuran yang lebih besar dari pada
cacing jantan, yakni berukuran 55 - 100 mm x 0,16 μm, sedangkan cacing
jantan berukuran ± 55 μm x 0,09 mm
b. Anak Cacing (Mikrofilaria)
Anak cacing hidup di dalam peredaran darah. Mikrofilaria memiliki ukuran
200- 600 μm x 8 μm dan mempunyai sarung. Apabila dilihat dengan bantuan
alat mikroskop, morfologi mikrofilaria dapat dilihat pada tabel berikut
10

Tabel 2. 1 Jenis Mikrofilaria di Indonesia pada Spesimen Darah Tepi dengan


Pewarnaan Giemsa
No Morfologi/ Karakteristik W. bancrofti B. malayi B. timori
Gambaran umum dalam Melengkung Melengkung Melengkung
1.
sediaan darah mulus Kaku dan patah Kaku dan patah
Perbandingan lebar dan
2. 1:1 1:2 1:3
panjang ruang kepala
3. Warna sarung Tidak berwarna Merah muda Tidak berwarna
4. Ukuran Panjang (μm) 240 – 300 175 - 230 265 – 325
Halus, tersusun Kasar, Kasar,
5. Inti badan
rapi berkelompok Berkelompok
6. Jumlah inti di ujung ekor 0 2 2
Seperti pita ke Ujung agak
7. Gambaran ujung ekor Ujung agak
arah ujung tumpul

c. Larva
Mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk akan masuk ke dalam bagian
pencernaan nyamuk (lambung) dan mereka akan melepaskan sarung
(selubungnya). Mikrofilaria tersebut akan bergerak menembus dinding
lambung dan bergerak terus hingga mencapai otot atau jaringan lemak yang
terdapat di bagian dada nyamuk. Selanjutnya dalam kurun waktu ± 3 hari,
mikrofilaria akan tumbuh menjadi larva stadium 1 (L1) dengan ukuran 125-
250 μm x 10-17 μm dan memiliki bentuk menyerupai sosis dengan ekor
seperti cambuk. L1 akan terus tumbuh menjadi L2 selama kurun waktu ± 6
hari dan mengalami pembesaran ukuran menjadi 200-300 μm x 15-30 μm,
dengan ekor yang tumpul atau memendek. Selanjutnya L2 akan tumbuh
menjadi larva stadium 3 (L3) dengan pertambahan ukuran menjadi ± 1400
μm x 20 μm. Perubahan antara L2 menjadi L3 bergantung jenis spesienya,
pada spesies Brugia terjadi pada hari kedelapan hingga kesepuluh, sedangkan
Wuchereria perubahannya pada hari kesepuluh hingga keempat belas. Pada
stadium ini (L3), merupakan cacing yang sudah infektif dan siap ditularkan
kepada manusia lain.

2. Host
Baik manusia maupun hewan dapat menjadi hospes filariasis, namun
pembahasan akan lebih difokuskan pada manusia. Tidak ada batasan tertentu
seseorang bisa terkena filariasis karena sebenarnya setiap orang dapat tertular
11

filariasis apabila mendapatkan gigitan nyamuk infektif. Berdasarkan jenis


kelamin, memang insidensi filariasis lebih banyak terjadi pada laki-laki karena
pada umumnya laki-laki memiliki kontak dengan vektor penular yang lebih sering
daripada perempuan. Namun demikian semua jenis kelamin juga pada dasarnya
memiliki risiko tertular filariasis. Pekerjaan yang dilakukan seperti bertani dan
berkebun atau pekerjaan lainnya yang memiliki peluang untuk kontak dengan
vektor filariasis maka akan mempertinggi kemungkinan terjadinya penularan.
Selain itu, perilaku seperti tidak menggunakan kelambu dan obat anti nyamuk
ketika tidur ataupun kebiasaan untuk keluar pada malam hari dengan tanpa
menggunakan pakaian yang melindungi badan dari gigitan nyamuk juga akan
meningkatkan peluang terjadinyanya penularan filariasis. (Arsin, 2016)

3. Environment
Tempat tumbuh agen filariasis hingga menjadi infektif berada dalam tubuh
nyamuk, sehingga faktor lingkungan yang perlu dimengerti adalah lingkungan
dari nyamuk yang dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup nyamuk. Secara
umum lingkungan yang dapat mempengaruhi kehidupan filariasis menurut
Permenkes RI Nomor 94 Tahun 2014 (2014) dibagi menjadi tiga, yaitu
lingkungan fisik, biologi, serta sosial, ekonomi, dan budaya.
a. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik meliputi keadaan iklim, geografis, struktur geologi
dan lain sebagainya yang dapat mempengaruhi kehidupan vektor filariasis.
Suhu atau temperatur dan kelembaban udara dapat mempengaruhi umur
nyamuk sehingga mikrofilaria yang berada dalam tubuh nyamuk akan
memiliki waktu yang cukup untuk menjadi infektif, selain itu suhu dan
kelembaban juga akan mempengaruhi kebiasaan menggigit nyamuk yang
memungkinkan adanya penularan kepada manusia (Paiting, Setiani, &
Sulistiyani, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tallan dan
Mau (2016) menunjukkan bahwa suhu yang ada di lingkungan Kecamatan
Kodi Balaghar berkisar antara 21-35 oC yang mana suhu tersebut merupakan
suhu optimal bagi pertumbuhan larva yakni pada suhu 27 oC. Penelitian yang
dilakukan oleh Nadi (2005) juga membuktikan pada objek Anopheles
12

aconitus, semakin tinggi suhu maka periode pada setiap stadium akan
semakin cepat dan sebaliknya. Kecapatan perubahan periode stadium larva
tentu akan mempercepat tumbuhnya larva menjadi nyamuk sehingga populasi
nyamuk akan cepat bertambah.
Perkembangan larva nyamuk menjadi bentuk dewasa juga dipengaruhi
oleh curah hujan. Curah hujan akan mempengaruhi kelembaban udara yang
jika kelembaban udara tinggi nyamukakan lebih aktif dan lebih sering
menggigit dan tentu akan meningkatkan risiko penularan jika nyamuk
membawa larva infektif (Kawulur, Ayomi, Suebu, Rokhmad, & Pardi, 2019).
Adanya tempat perkembangbiakan nyamuk (breeding places) seperti
genangan air baik air tawar ataupun payau, bak mandi, saluran limbah
terbuka, dan lain sebagainya juga akan mempengaruhi kelangsungan hidup
nyamuk seperti tempat meletakkan telur, tempat mencari makan, tempat
berlindung bagi jentik nyamuk, dan tempat hinggap nyamuk dewasa. Selain
itu seseorang yang di sekitar rumahnya terdapat tempat peristirahatan nyamuk
(resting place) seperti semak-semak, pakaian yang tergantung atau
menumpuk, barang-barang bekas yang tidak terpakai juga akan berpeluang
besar terkena filariasis. (Rahanyamtel, Nurjazuli, & Sulistiyani, 2019)

b. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi seperti tanaman air, tumbuhan bakau, lumut, dan
ganggang, serta berbagai hewan pemangsa jentik merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi keberadaan dan kelangsungan hidup nyamuk.
Tumbuhan bakau, lumut, dan ganggang dapat menjadi salah satu tempat yang
baik untuk pertumbuhan larva karena dapat menghalangi sinar matahari
sehingga menyebabkan pencahayaan rendah, duhu rendah, sehingga
kelembaban akan tinggi (Tallan & Mau, 2016) sehingga keberadaan beberapa
jenis tumbuhan dapat menjadi sebuah indikator adanya jenis nyamuk tertentu.
Selain itu, adanya flora dalam perairan tersebut juga akan digunakan sebagai
tempat berteduh agar terlindung dari sinar matahari, pergerakan permukaan
air, serta untuk memperoleh makanan yang pada umumnya terdapat di sekitar
flora tersebut (Rahman, Ishak, & Ibrahim, 2013).
13

Adanya predator larva nyamuk yang merupakan hewan air juga akan
mempengaruhi kehidupan larva. Pada daerah perairan yang banyak terdapat
tumbuhan, tentu akan memiliki kadar oksigen yang baik sehingga berbagai
hewan yang tinggal di dalamnya juga akan tumbuh dengan baik dan jika
berada dalam habitat yang sama dengan larva nyamuk tentu akan memangsa
larva tersebut (Rosmini, Jastal, Srikandi, Risti, & Nurwidayanti, 2013).
Hewan-hewan tersebut seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia,
nila, mujair, dan lain-lain yang dapat mempengaruhi populasi larva dan
nyamuk di suatu daerah (Arsin, 2016).

c. Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya


Lingkungan ini berkaitan dengan interaksi antara manusia dengan
vektor penyakit yang dapat meliputi perilaku, adat istiadat, budaya,
kebiasaan, dan sebagainya. Berbagai kebiasaan seperti berada di luar rumah
saat malam hari dengan tanpa menggunakan pakaian berlengan panjang,
penggunaan kelambu dan obat anti nyamuk, serta kebiasaan tidak menutup
jendela saat malam hari akan memberikan akses yang mudah bagi vektor
untuk menggigit manusia (Pertiwi, Nurjazuli, & Darundiati, 2019). Selain itu
pekerjaan-pekerjaan yang berisiko seperti bertani dan berkebun atau
pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam malam hari juga akan meningkatkan
risiko terjadinya penularan filariasis.

2.1.2 Penularan
Cacing filaria semasa hidupnya memiliki dua tempat tinggal yakni di
dalam tubuh nyamuk sebagai tempat tumbuh hingga mencapai stadium infektif
dan di dalam tubuh manusia sebagai tempat tumbuh dan berkembangbiak. Secara
umum, skema penularan penyakit filariasis pada ketiga spesies sama saja, yakni
sama-sama memiliki fase hidup di dalam tubuh nyamuk dan manusia. Skema
rantai penularan penyakit filariasis dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
14

Gambar 2. 1 Skema Rantai Penularan Penyakit Filariasis

Penularan filariasis pada manusia dapat terjadi jika terdapat sumber


penularan baik itu manusia maupun hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam tubuhnya, adanya vektor penular yakni nyamuk, serta manusia
yang rentan. Ketika nyamuk yang mengandung larva infektif filariasis menggigit
manusia, maka larva tersebut akan akan masuk lalu tumbuh dan berubah menjadi
cacing dewasa atau makrofilaria. Pada fase ini mereka akan berkopulasi dan
cacing betina akan menghasilkan ribuan anak cacing (mikrofilaria). Mikrofilaria
tersebut akan terus bergerak mengikuti peradaran darah dan akan muncul ke
peredaran darah tepi berdasarkan tipe periodisitasnya. Keberadaan mikrofilaria
yang berada di peredaran darah tepi ini yang memungkin mikrofilaria akan ikut
terhisap jika ada nyamuk lain yang menggigit. (Kemenkes RI, 2014)
Mikrofilaria yang masuk dalam tubuh nyamuk akan tumbuh dan
berkembang menjadi bentuk larva yang dimulai dari larva stadium satu (L1)
hingga mencapai bentuk infektif yaitu larva stadium tiga (L3). Perubahan stadium
larva ini tentu diiringi perubahan ukuran bentuk tubuh yang berbeda-beda
berdasarkan spesiesnya. L3 nantinya akan bergerak ke bagian kepala lalu menuju
15

proboscis nyamuk dan siap untuk ditularkan. Pada saat larva tersebut keluar
mereka akan tinggal di sekitar lubang gigitan nyamuk dan baru bisa masuk ke
dalam tubuh jika proboscis nyamuk sudah ditarik. (Kemenkes RI, 2014)
Makrofilaria tidak dapat menular namun selama di dalam tubuh
manusia,makrofilaria dapat bertahan 5-7 tahun dan dapat menghasilkan ribuan
anak cacing per harinya. Anak cacing atau mikrofilaria ini yang nantinya dapat
ditularkan kepada orang lain melalui gigitan nyamuk yang mengandung
mikrofilaria. Kurun waktu yang sangat lama inilah yang menyebabkan seorang
penderita juga dapat menjadi sumber penularan dalam periode yang juga sangat
panjang (Arsin, 2016).

2.1.3 Patogenesis dan Gejala


Seseorang yang sudah terpapar mikrofilaria akan mengalami
perkembangan klinis penyakit yang dipengaruhi oleh beberapa hal seperti
kerentanan individu terhadap parasit, kekerapan seseorang mendapatkan gigitan
nyamuk, jumlah larva infektif yang masuk ke dalam tubuh, serta ada tidaknya
infeksi sekunder baik itu karena bakteri atau jamur (Masrizal, 2012). Perjalanan
penyakit dapat diketahui dari penjelasan berikut ini:
1. Masa Prepatogenesis
Pada fase ini sudah terjadi interaksi antara nyamuk sebagai vektor filariasis
dengan manusia. Jika nyamuk sudah mengandung larva infektif dan manusia
dalam keadaan rentan seperti tidak menggunakan obat anti nyamuk, bekerja
atau beraktivitas yang banyak terdapat vektor nyamuk, dan sebagainya, maka
kondisi ini akan memudahkan kemungkinan terjadinya penularan penyakit.
2. Masa Inkubasi
Larva yang sudah berhasil masuk ke dalam tubuh akan tumbuh dan
berkembang biak hingga menghasilkan mikrofilaria baru. Pertumbuhan larva
menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu sekitar yakni 9 bulan untuk
Wuchereria bancrofti dan 3,5 bulan bagi spesies Brugia (Kemenkes RI,
2014). Pada fase ini, seseorang sedang dalam masa inkubasi yang biasanya
baru bisa muncul gejala setelah perjalanan waktu yang cukup panjang.
Manifestasi inflamasi alergik bisa saja timbul lebih cepat sebulan setelah
16

infeksi terjadi, namun mikrofilaria biasanya masih belum pada darah hingga
3-6 bulan pada jenis Brugia dan 6-12 bulan pada spesies Wuchereria
bancrofti (Arsin, 2016).
3. Fase Penyakit Dini
Seseorang yang memasuki fase dini akan mengalami gejala klinis akut karena
adanya infeksi antara makrofilaria bersamaan dengan infeksi karena bakteri
atau jamur. Gejala klinis akut yang terjadi biasanya berupa peradangan di
saluran limfe (limfangitis), peradangan di kelenjar limfe (limfadenitis),
peradangan baik di saluran maupun kelenjar limfe (adenolimfangitis), dan
apabila adenolimfangitis berlanjut maka akan timbul abses. Infeksi oleh
Wuchereria bancrofti biasanya seringkali menyebabkan kelainan pada saluran
dan alat kelamin, sedangkan infeksi akibat spesies Brugia tidak menimbulkan
kelainan pada saluran dan alat kelamin (Kemenkes RI, 2014). Gejala klinis
akut ini sebenarnya dapat sembuh secara spontan selama 3-15 hari akan tetapi
pada beberapa kasus kerap kali terjadi kekambuhan yang tidak teratur selama
beberapa minggu sebelum keluhan membaik (Riyadi & Wijayanti, 2011).
4. Fase Penyakit Lanjut
Pada fase ini seseorang akan mengalami gejala klinis kronis yang terdiri dari
limfedema, lymph scrotum, kiluria, dan hidrokel (Kemenkes RI, 2014).
a. Limfedema
Pembengkakan pada bagian-bagian tubuh tertentu yang terjadi akibat
Wuchereria bancrofti biasanya di seluruh kaki, lengan, skrotum, penis,
vulva vagina, dan payudara, sedangkan Brugia biasanya menimbulkan
pembengkakan di lengan bawah siku dan tungkai bawah dengan kondisi
siku dan lutut masih normal
b. Lymph Scrotum
Pada laki-laki terkadang juga terjadi peleberan saluran limfe superfisial
pada bagian kulit scrotum atau terkadang juga terjadi pada kulit penis.
Saluran limfe yang mengalami pelebaran ini mudah pecah sehingga cairan
limfe dapat mengalir keluar.\
c. Kiluria
17

Makrofilaria yang menetap di pembuluh darah ginjal akan menyebabkan


kebocoran atau pecahnya saluran limfe di ginjal (pelvis renal). Kondisi ini
akan menyebabkan cairan limfe dan darah akan ikut terbawa ke dalam
saluran kemih dan menimbulkan gejala seperti penderita sukar kencing, air
kencing seperti susu dan kadang disertai darah, kelelahan tubuh, dan
kehilangan berat badan.
d. Hidrokel
Infeksi akibat Wuchereria bancrofti akan menyebabkan kelainan pada alat
kelamin seperti pelebaran kantung buah zakar karena cairan limfe
terkumpul di dalam tunica vaginalis testis. Ukuran skrotum bisa saja
normal namun juga terkadang bisa sangat besar dengan kulit skrotum yang
normal, lunak, dan halus.

2.1.4 Diagnosis
Diagnosis penderita filaria dapat ditegakkan jika ketika dilakukan
pemeriksaan darah (tetes tebal) terdapat mikrofilaria dalam darah tepi, tetapi
terkadang juga dapat ditemukan di kiluria, eksudat varises limfe, serta cairan
hidrokel. Cacing dewasa juga dapat ditemukan di kelenjar limfe jika dilakukan
biopsi (Soedarto, 2011). Metode diagnosis yang dapat dilakukan untuk
mengetahui keberadaan cacing filaria dalam tubuh dibagi menjadi 2 cara
(Kemenkes RI, 2014), yaitu :
a. Immunochromatographic Test (ICT)
Metode ini digunakan untuk mengetahui keberadaan dari antigen cacing
dewasa Wuchereria bancrofti dalam darah dan diagnosis menggunakan
metode ini dapat dilakukan setiap waktu.
b. Rapid Test
Metode yang digunakan untuk mengetahui antibody dari spesies Brugia baik
itu Brugia malayi maupun Brugia timori. Pemeriksaan dengan metode ini
juga dapat dilakukan setiap waktu.

2.2 Program Pencegahan dan Pengendalian


18

Sejak tahun 1994, World Health Organization (WHO) sebagai organisasi


kesehatan dunia telah menetapkan sebuah pernyataan bahwa penyakit filariasis
dapat dieliminasi dan telah mencanangkan sebuah resolusi “Elimination of
Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem” pada tahun 1997 dan diperkuat
dengan deklarasi WHO pada tahun 2000 yakni “The Global Goal of Elimination
of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”. Jauh
sebelum itu, Indonesia sudah melakukan berbagai upaya pemberantasan filariasis
terhitung sejak tahun 1975 yang dilakukan terutama di daerah endemis tinggi
filariasis. Penanggulangan filariasis yang dilakukan di Indonesia dilaksanakan
dengan menerapkan manajemen pengaturan lingkungan, pengendalian vektor,
menyembuhkan dan merawat penderita, pemberian obat kepada orang yang sehat
namun terinfeksi cacing dan sebagai sumber penularan filariasis, serta pemberian
obat pencegahan secara massal (POPM). (Kemenkes RI, 2014)
Upaya eliminasi filariasis yang dilakukan pertama kali adalah dengan
melakukan pemetaan terhadap daerah-daerah melalui survei dan suatu kabupaten
atau kota dinyatakan endemis bila angka mikrofilaria sebesar 1% atau lebih.
Selanjutnya jika daerah tersebut dinyatakan endemism akan dilaksanakan program
Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) minimal selama lima tahun berturut-
turut. Apabila cakupan pengobatan di daerah endemis tidak memenuhi
persyaratan minimal 65% dari total penduduk selama lima tahun berturut-turut,
maka pelaksanaan POPM pada daerah tersebut wajib diteruskan dan pelaksanaan
tersebut ditambah menjadi dua tahun jika berdasarkan survei evaluasi masih
terjadi adanya penularan pada daerah tersebut. Sebaliknya jika berdasarkan hasil
survei evaluasi tidak terjadi penularan maka program POPM dapat dihentikan dan
perlu dilakukan survei ulang evaluasi penularan filariasis setelah dua tahun
penghentian program POPM. Jika berdasarkan hasil survei ulang tidak terjadi
penularan maka POPM tetap dihentikan dan tetap dilaksanakan survei ulang lagi
pada dua tahun berikutnya. (Kemenkes RI, 2018)
Pada dasarnya pengendalian penularan filariasis dapat diatasi tidak hanya
dengan tindakan pengobatan pasca penularan, tetapi juga bisa melalui berbagai
tindakan pencegahan penularan filariasis. Tindakan pencegahan tersebut menurut
Noor (2008) dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu pencegahan tingkat dasar
19

(primordial prevention), pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang


meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua
(secondary prevention) yang meliputi deteksi dini serta pengobatan yang tepat,
dan pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang meliputi pencegahan
terhadap terjadinya cacat dan terakhir adalah rehabilitasi. Berikut merupakan
strategi pencegahan 4 level yang dapat dilakukan:
1. Pencegahan Primordial
Upaya yang dapat dilakukan dalam tingkat pencegahan primordial adalah
sebagai berikut:
a. Penetapan kebijakan mengenai pemberantasan filariasis, dalam hal ini
salah satunya tertuang dalam Permenkes RI Nomor 94 Tahun 2014 tentang
Penanggulangan Filariasis
b. Penetapan kebijakan mengenai rumah sehat bagi setiap masyarakat
terutama yang berada di daerah endemis filariasis
c. Pemberantasan vektor penular filariasis dengan kegiatan 3M (Menguras,
Menutup, dan Mengubur), fogging, dan penaburan abate pada
penampungan air
2. Pencegahan Primer
Upaya yang dapat dilakukan dalam tingkat pencegahan primer adalah sebagai
berikut:
a. Melakukan upaya health promotion baik itu dengan melakukan
penyuluhan maupun dengan menggunakan berbagai media promosi
kesehatan (brosur, leaflet, poster, dan lain-lain)
b. Menggunakan kelambu dan obat anti nyamuk saat tidur
c. Menciptakan kondisi lingkungan rumah yang bersih dan sehat
d. Menggunakan pakaian yang panjang atau yang menutupi badan jika ingin
keluar terutama pada malam hari
3. Pencegahan Sekunder
Upaya yang dapat dilakukan dalam tingkat pencegahan sekunder adalah
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan mikroskopis darah
20

b. Pemberian obat DEC (Diethyl Carbamazine Citrate) untuk penderita yang


baru terjangkit
4. Pencegahan Tersier
Upaya yang dapat dilakukan dalam tingkat pencegahan primordial adalah
sebagai berikut:
a. Bagi penderita filariasis wajib meminum obat dengan teratur disertai
dengan perawatan pada bagian tubuh yang mengalami pembengkakan
b. Melakukan rehabilitasi pada penderita agar dapat kembali hidup berguna
di masyarakat seperti penyediaan sarana pendidikan dan pelatihan di
fasilitas kesehatan

Selain tindakan pencegahan, perlu adanya tindakan pengobatan pada


penderita filariasis, Pengobatan yang dapat diberikan kepada seseorang yang
menderita filariasis dibedakan menjadi 3 jenis pengobatan (Widiasih & Budiharta,
2012) yaitu:
a. Pengobatan Massal
Pengobatan ini dilakukan pada daerah endemik dengan tingkat mikrofilaria
rate <1%. Obat yang digunakan DEC (Diethyl Carbamazine Citrate) yang
dikombinasikan dengan albendazol dan dikonsumsi sekali dalam setahun
selama kurun waktu 5-10 tahun dengan dosis obat sekali minum adalah DEC
6 mg/kgBB, albendazol 400 mg (satu tablet), dan dihentikan jika mikrofilaria
rate sudah <1%. Pencegahan reaksi efek samping seperti demam dapat
menggunakan paracetamol. Pengobatan ini dapat dilakukan pada seluruh
penduduk dengan usia >2 tahun, dan anak-anak usia <2 tahun, ibu hamil dan
menyusui, serta penderita lanjut ditunda pengobatannya.
b. Pengobatan Selektif
Pengobatan in dilakukan pada individu yang mengidap mikrofilaria beserta
anggota keluarga yang tinggal serumah dan berdekatan dengan penderita di
daerah non endemis dengan Mf rate <1%
c. Pengobatan Individu Penderita Kronik
Penderita yang sudah mengalami filariasis kronik diberikan obat DEC 100
mg sehari selama 10 hari serta perawatan terhadap organ tubuh yang bengkak
21

BAB III
ANALISIS SITUASI

Strategi awal yang perlu dilakukan untuk membentuk suatu program di


masyarakat adalah melalui analisis situasi. Analisis perencanaan penerapan
program pencegahan filariasis ini menggunakan teori segitiga epidemiologi
(epidemiology triangle) yang terdiri dari Host (manusia), Environment
(lingkungan), dan Agent (dalam hal ini berfokus pada vektor yang membawa
agent filariasis yakni nyamuk). Penggambaran analisis situasi berdasarkan
karakteristik masyarakat, lingkungan, dan keberadaan agent yang dibawa oleh
vektor nyamuk di Kabupaten Aceh Utara adalah sebagai berikut:

HOST (MANUSIA)

1. Usia
2. Jenis Kelamin
Sebanyak 58 dari 306.105 laki-laki dan 43 dari 313.302
perempuan di Kabupaten Aceh Utara menderita filariasis
3. Pekerjaan
Pekerjaan utama masyarakat di Kabupaten Aceh Utara adalah
di bidang pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan

AGENT ENVIRONMENT

1. Agent yang teridentifikasi di Provinsi 1. Lingkungan Fisik


Aceh adalah W. bancrofti yang dibawa a. Daerah dataran rendah didominasi
oleh Culex quinquefasciatus serta B. olehlahan pertanian dan pemukiman
malayi yang dibawa oleh Mansonia penduduk serta sering menjadi daerah
uniformis dan Mansonia Indiana yang dilanda banjir ketika curah hujan
tinggi
2. Nyamuk yang telah dikonfirmasi sebagai b. Curah hujan tertinggi pada Oktober-
vektor di Provinsi Aceh adalah Culex November yang mencapai 258-296 mm
vishnui, Culex sitiens, Culex dengan jumlah hari hujan bisa mencapai
quinquefasciatus, Aedes vexans, Mansonia 24 hari selama 1 bulan
indiana dan Mansonia annulata. c. Temperatur berkisar antara 21oC-36,6oC
Sedangkan di Kabupaten Aceh Utara dengan kelembaban udara 80-88%
dominan Culex sitiens dan Culex 2. Lingkungan Biologi
quinquefasciatus a. Budidaya ikan mujair (pemangsa jentik)
yang cukup banyak
b. Terdapat hutan mangrove di sekitar
pesisir dengan luas sekitar 249 Ha
3. Lingkungan Sosial Ekonomi dan Budaya
Pekerjaan utama masyarakat adalah di
bidang pertanian, kehutanan, perburuan, dan
perikanan
22

BAB IV
RENCANA IMPLEMENTASI PROGRAM

4.1 Deskripsi Program


Program pengendalian penyakit filariasis sudah banyak diterapkan di
Indonesia termasuk program pengasapan (fogging) dan penggunaan obat anti
nyamuk. Sayangnya program-program tersebut kurang diminati masyarakat
karena seringkali meninggalkan bau yang tidak sedap dan penggunaannya harus
berhati-hati karena dapat menyebabkan terjadinya keracunan. Program “Pekan
Berkah: Peduli Kebersihan Bereskan Kaki Gajah” merupakan salah satu program
pengendalian penyakit filariasis dengan fokus utama adalah manajemen
pengaturan lingkungan. Pengaturan lingkungan ini dilakukan dengan
mempertimbangkan mengenai keberadaan vektor nyamuk yang cukup beragam di
Kabupaten Aceh Utara yang mana nyamuk merupakan vektor penular filariasis.
Perkembangan pertumbuhan nyamuk yang cukup banyak diikuti dengan kondisi
lingkungan yang cocok untuk pekembangbiakan nyamuk menjadikan suatu alasan
program manajemen lingkungan perlu diterapkan di wilayah ini.
Perencanaan implementasi program ini akan dilaksanakan di salah satu
kecamatan dengan potensi penularan filariasis terbesar di Kabupaten Aceh Utara
yakni Kecamatan Nisam. Penerapan program ini dilaksanakan di setiap desa di
Kecamatan Nisam dengan pembentukan kader-kader yang merupakan masyarakat
yang berdomisili di desa tersebut dan ditempatkan di setiap pos “Pekan Berkah”
di desa masing-masing dengan tugas pokok berbeda. Tugas pokok tersebut
diantaranya penanggung jawab kontrol jentik nyamuk, penanggung jawab kerja
bakti, budidaya ikan cupang, serta penanaman tanaman pembasmi nyamuk.
Pengaturan mengenai jumlah kader yang dibutuhkan berdasarkan tugas pokok
tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing sehingga
diharapkan pelaksanaan program dapat berjalan dengan efektif di setiap bulannya.
Pelaksanaan program Pekan Berkah diawali dengan persiapan berupa
diskusi dan sosialisasi antara peneliti dengan lurah, kepala desa, ketua RT, serta
perwakilan penduduk baik sukarelawan maupun yang ditunjuk sebagai kader
program Pekan Berkah. Diskusi dimaksudkan untuk mensosialisasikan mengenai
23

konsep program yang akan berjalan setiap hari Minggu meliputi kerja bakti,
budidaya ikan cupang, serta tanaman hias pengusir nyamuk. Setelah kegiatan
diskusi, peneliti akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan melakukan
peninjauan lokasi terlebih dahulu untuk menentukan lokasi yang tepat dan
strategis bagi masyarakat untuk dijadikan sebagai tempat sosialisasi. Kegiatan
sosialisasi dilakukan dengan mengenalkan ikan cupang dan beberapa tanaman
hias yang akan dibudidayakan di setiap desa sebagai salah satu manajemen
lingkungan untuk mengendalikan kepadatan nyamuk. Dengan adanya program ini
diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan budidaya tersebut tidak hanya
sebagai upaya untuk mengendalikan kepadatan nyamuk tetapi juga dapat
mengembangkan hasil budidayanya menjadi sebuah sumber penghasilan lain
sehingga program ini juga dapat membantu meningkatkan perekonomian
keluarga.

4.2 Sasaran Program


4.2.1 Sasaran Primer
Sasaran program “Pekan Berkah” ini adalah masyarakat yang menderita
filariasis dengan di Kecamatan Nisam yang merupakan salah satu wilayah
endemis filariasis di Kabupaten Aceh Utara dengan tujuan utama sasaran ini
adalah untuk mencegah terjadinya penularan dari penderita kepada masyarakat di
sekitarnya dengan menerapkan manajemen pengaturan lingkungan.

4.2.2 Sasaran Sekunder


Selain itu, program “Pekan Berkah” juga memfokuskan sasaran sekunder
yakni seluruh masyarakat yang tinggal di Kecamatan Nisam dengan menerapkan
manajemen pengaturan lingkungan sebagai kegiatan utama program “Pekan
Berkah” dengan harapan mencegah masyarakat yang tinggal di daerah endemis
terhindar dari tertularnya penyakit filariasis oleh vektor nyamuk.

4.3 Strategi Program


Strategi program ini dijabarkan sebagai berikut:
24

1. Memutus rantai penularan dengan pengendalian vektor secara terpadu dan


berkesinambungan melalui kegiatan manajemen pengaturan lingkungan
2. Memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak yang memiliki otoritas besar
dalam lingkungan (lurah, ketua desa, ketua RT/RW, tokoh agama, tokoh
masyarakat, dan sebagainya) untuk membantu mendukung pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat dalam setiap kegiatan program “Pekan Berkah”

4.4 Rencana Spesifik Aktivitas Program


Program “Pekan Berkah” merupakan serangkaian kegiatan
berkesinambungan yang dilaksanakan setiap hari Minggu. Program ini diawali
dengan tahap diskusi bersamaan dengan praktik budidaya awal ikan cupang dan
beberapa tanaman hias pengusir nyamuk di setiap desa dengan para stakeholder
terkait. Kemudian hasil budidaya tersebut dikenalkan, dikembangkan, dan
dibagikan kepada masyarakat didampingi oleh kader setiap desa. Rincian kegiatan
program “Pekan Berkah” disajikan sebagi berikut:
1. Setiap hari Minggu di awal bulan diadakan:
a. Kerja bakti di setiap desa dipimpin oleh kader-kader yang bertanggung
jawab dengan kegiatan membersihkan sungai, selokan, semak-semak, serta
tempat-tempat lainnya yang berpotensi sebagai tempat hidup dan
perkembangbiakan nyamuk.
b. Budidaya ikan cupang yang disosialisasikan dan pelaksanaannya dipimpin
oleh kader-kader yang bertanggung jawab diikuti oleh masyarakat
(terutama ibu-ibu dan anak-anak) dengan menempatkan ikan cupang di
tempat-tempat dengan kondisi air tergenang seperti kolam, selokan,
aquarium, dan lain-lain. Budidaya tanaman hias pengusir nyamuk juga
dilakukan dengan penanaman di setiap lingkungan rumah. Tanaman yang
dibudidayakan juga dapat beragam setiap bulannya seperti lavender,
geranium (tapak dara), serai wangi, bunga rosemary, zodia, dan lain
sebagainya. Penanaman tidak hanya dilakukan pada sekitar rumah tetapi
juga di dapat dijadikan tanaman hias di tepi jalan sehingga juga dapat
memperindah lingkungan.
25

2. Setiap hari Minggu pada minggu kedua dan ketiga diadakan kontrol budidaya
ikan cupang dan tanaman hias pengusir nyamuk, kontrol jentik, serta kondisi
sanitasi sekitar rumah termasuk di dalamnya mengenai sampah, keberadaan
pakaian yang digantung, genangan-genangan air, dan lain-lain)

Tabel 4. 1 Tabel Rencana Implementasi Program

Nama Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV


No
Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Tahap
1
Persiapan
Diskusi
Peninjauan
lokasi dan
sosialisasi
Tahap
2 Kegiatan
Program
Kerja bakti
Budidaya
ikan
cupang
Budidaya
tanaman
hias
pengusir
nyamuk
Tahap
3
Monitoring
Tahap
4
Evaluasi

4.5 Rancangan Anggaran Biaya Program


Tabel 4. 2 Tabel Rancangan Anggaran Biaya

Material Kuantitas Harga Satuan Jumlah (Rp)

Bibit ikan dan indukan 30 pasang Rp. 100.000 (harga Rp. 3.000.000
26

(sepasang) sepasang)

Sterofoam pemijahan 30 buah Rp. 60.000 Rp. 1.800.000

Aquarium 30 buah Rp. 100.000 Rp. 3.000.000

Vitamin (satu bulan) 30 buah Rp. 100.000 Rp. 3.000.000

Pakan Ikan (satu


30 buah Rp. 100.000 Rp. 3.000.000
bulan)

Bibit bunga lavender 30 buah Rp. 20.000 Rp. 600.000

Bibit bunga geranium 30 buah Rp. 20.000 Rp. 600.000

Bibit serai wangi 30 buah Rp. 10.000 Rp. 300.000

Bibit bunga rosemary 30 buah Rp. 20.000 Rp. 600.000

Bibit bunga zodia 30 buah Rp. 10.000 Rp. 300.000

Tak terduga Rp. 800.000

Total Rp. 17.000.000


27

BAB V
EVALUASI

Penilaian keberhasilan program dapat diketahui berdasarkan pemeriksaan


jentik pada setiap rumah dan bangunan di setiap desa. Tujuan diadakan evaluasi
ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui efektivitas penerapan program “Pekan Berkah” di setiap desa
b. Mengetahui kemampuan masyarakat dalam melakukan upaya pengendalian
filariasis teutama pada lingkungan rumah masing-masing
c. Mengetahui perkembangan penularan filariasis setelah program diadakan
Evaluasi pemeriksaan jentik dilakukan dengan menggunakan parameter
penilaian Angka Bebas Jentik (ABJ). ABJ dilakukan dengan menghitung
persentase dari jumlah rumah atau bangunan yang bebas jentik dibandingkan
dengan jumlah seluruh rumah atau bangunan yang diperiksa kemudian dikalikan
100% dengan standar baku mutu kesehatan lingkungan yang telah ditetapkan
dengan parameter ABJ adalah minimal 95%.

Apabila suatu desa memiliki nilai ABJ kurang dari 95% maka wilayah
tersebut memiliki risiko penularan penyakit filariasis yang cukup besar. Pada
daerah-daerah dengan ABJ kurang dari 95% perlu memperkuat kegiatan-kegiatan
pengendalian filariasis baik dengan penguatan program sebelumnya ataupun
menerapkan program inovasi lainnya. Apabila suatu daerah memiliki nilai ABJ
lebih dari 95% maka tetap dilakukan upaya-upaya pencegahan untuk
mempertahankan kondisi tersebut. Pelaksanaa kegiatan evaluasi oleh Petugas
Puskesmas dibantu oleh kader program “Pekan Berkah” dengan rencana urutan
jadwal pelaksanaan evaluasi adalah sebagai berikut:
28

Tabel 5. 1 Tabel Rencana Evaluasi Program

No Tahapan Evaluasi Jadwal Evaluasi


1 Evaluasi I 3 minggu setelah kegiatan awal dimulai
2 Evaluasi II Satu bulan setelah evaluasi I
3 Evaluasi III Setiap bulan
4 Evaluasi IV Setiap 3 bulan
5 Evaluasi Selanjutnya Setiap 6 bulan
29

DAFTAR PUSTAKA

Arsin, A. A. 2016. Epidemiologi Filariasis di Indonesia. Makassar: Masagena


Press.

Dinas Kesehatan Provinsi Aceh. 2020. Profil Kesehatan Aceh Tahun 2019. Banda
Aceh: Dinas Kesehatan Provinsi Aceh.

Heriana, C. 2018. Epidemiologi: Prinsip, Metode, dan Aplikasi dalam Kesehatan


Masyarakat. Bandung: PT Refika Aditama.

Ikhwan, Z., L. Herawati, dan Suharti. 2016. Environmental, Behavioral Factors


and Filariasis Incidence in Bintan District, Riau Islands Province. Kesmas:
National Public Health Journal, 11(1): 39-45.

Irwan. 2017. Epidemiologi Penyakit Menular. Yogyakarta: Absolute Media.

Kawulur, H. S., I. Ayomi, M. Suebu, M. F. Rokhmad, dan M. R. Pardi. 2019.


Pengaruh Faktor Klimatik terhadap Kepadatan Nyamuk Anopheles farauti
di Ekosistem Pantai dan Rawa Provinsi Papua. Jurnal Biologi Papua,
11(2): 72-79.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan RI. 2018. Menuju Indonesia Bebas Filariasis . Jakarta:


Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia 2018. Jakarta:


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Masrizal. 2012. Penyakit Filariasis. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1): 32-38.

Nadi, B. 2005. Kandang Ternak dan Lingkungan Kaitannya dengan Kepadatan


Vektor Anopheles aconitus di Daerah Endemis Malaria (Studi Kasus di
Kabupaten Jepara). Skripsi.
30

Noor, N. N. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Paiting, Y. S., O. Setiani, dan Sulistiyani. 2012. Faktor Risiko Lingkungan dan
Kebiasaan Penduduk Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Distrik
Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 11(1): 76-81.

Pertiwi, K. D., Nurjazuli, dan Y. H. Darundiati. 2019. Faktor Lingkungan Dan


Perilaku Masyarakat yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di
Kota Semarang. Pro Health Jurnal Ilmiah Kesehatan, 1(2): 12-19.

Rahanyamtel, R., Nurjazuli, dan Sulistiyani. 2019. Faktor Lingkungan dan Praktik
Masyarakat Berkaitan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Semarang.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 18(1): 8-11 .

Rahman, R. R., H. Ishak, dan E. Ibrahim. 2013. Hubungan Karakteristik


Lingkungan Breeding Site dengan Densitas Larva Anopheles di Wilayah
Kerja Puskesmas Durikumba Kecamatan Karossa Kab. Mamuju Tengah .
Jurnal Kesehatan Lingkungan .

Riyadi, S., dan Wijayanti. 2011. Dasar-dasar Epidemiologi. Jakarta: Salemba


Empat.

Rosmini, Jastal, Y. Srikandi, Risti, dan A. Nurwidayanti. 2013. Jenis-jenis Habitat


Nyamuk Anopheles spp. di Kecamatan Labuan dan Kecamatan Sindue
Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah . Jurnal Vektor Penyakit, 7(1): 1-
8.

Silalahi, S., J. V. Sambuaga, dan J. A. Sjarkawi. 2013. Hubungan Kondisi Suhu,


Kelembaban, dan Kepadatan Vektor (MBR) dengan Kejadian Malaria di
Desa Tambelang Kecamatan Touluaan Selatan Kabupaten Minahasa
Tenggara. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2(2): 1-15.

Sipayung, M., C. U. Wahjuni, dan S. R. Devy. 2014. Pengaruh Lingkungan


Biologi dan Upaya Pelayanan Kesehatan terhadap Kejadian Filariasis
Limfatik di Kabupaten Sarmi. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2(2): 263-
273.

Soedarto. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto.


31

Tallan, M. M., dan F. Mau. 2016. Karakteristik Habitat Perkembangbiakan Vektor


Filariasis di Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat Daya.
Aspirator, 8(2): 55-62.

World Health Organization. 2017. Global Programme to Eliminate Lymphatic


Filariasis: Progress Report, 2016. Weekly Epidemiological Record, 589-
608.

World Health Organization. 2019. Global Programme to Eliminate Lymphatic


Filariasis: Progress Report, 2018. Weekly Epidemiological Record, 457-
472.

World Health Organization. 2020. Lymphatic Filariasis. dari


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/lymphatic-filarasis.
[Diakses pada 21 Mei 2020]

Widiasih, D. A., dan S. Budiharta. 2012. Epidemiologi Zoonosis di Indonesia.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Widodo. 2011. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasan. Jakarta: Erlangga.

Yulidar dan A. Zulhaida. 2018. Analisis Deskriptif Gambaran Potensi Filariasis


Masyarakat di Kabupaten Aceh Utara. Journal of Health Epidemiology
and Communicable Disease, 4(2): 37-41.

Anda mungkin juga menyukai