PROPOSAL PROGRAM
Oleh:
Ariny Lailatul Choiriyah
172110101070
MINAT EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2020
2
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan jumlah kasus dalam jangka waktu satu tahun antara tahun 2015
menuju tahun 2016 memang tidak banyak karena hanya terjadi penurunan jumlah
kasus sebanyak 23 kasus, namun terus mengalami penurunan hingga mencapai
12.667 kasus pada tahun 2017 dan penurunan yang sangat besar terjadi di tahun
2018. Pada tahun 2018, terdapat 28 provinsi di Indonesia yang merupakan daerah
endemis flariasis termasuk lima provinsi diantaranya dengan kasus filariasis
terbanyak adalah Papua (3.615 kasus), kedua adalah Nusa Tenggara Timur (1.542
kasus), disusul Jawa Barat (781 kasus), Papua Barat (622 kasus) dan Aceh (578
kasus). (Kemenkes RI, 2019)
Penyakit filariasis merupakan penyakit menular yang manifestasi klinisnya
timbul setelah bertahun-tahun sehingga penyakit ini jarang sekali ditemukan pada
anak-anak. Filariasis memang jarang sekali menyebabkan kematian akan tetapi
dampak yang sering kali ditimbulkan adalah kecacatan yang tentunya dapat
mengganggu produktivitas individu. Cacat pada penderita filariasis biasanya
berupa pembengkakan yang terjadi tidak hanya di kaki, tetapi juga tangan,
payudara, atau buah zakar (Arsin, 2016). Kecacatan ini terjadi karena cacing
filaria yang tinggal di dalam saluran dan kelenjar getah bening sehingga
menyebabkan kerusakan pada sistem limfe. Maka dampak kedepannya tentu akan
mempengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang, dapat menjadi beban keluarga,
dan juga secara tidak langsung dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara.
Terdapat beberapa faktor yang dapat berperan sebagai faktor risiko
kejadian filariasis baik itu faktor dari manusia, nyamuk sebagai vektor penular,
serta lingkungan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ikhwan, dkk di
Kabupaten Bintan Kepulauan Riau pada tahun 2016 menunjukkan bahwa faktor
perilaku dari manusia dapat menjadi faktor risiko kejadian filariasis seperti
pengetahuan praktik penggunaan kawat kassa yang dipasang di ventilasi rumah
serta penggunaan kelambu pada saat tidur (Ikhwan, Herawati, & Suharti, 2016).
Faktor risiko yang berasal dari manusia juga seperti pekerjaan berisiko yang
menuntut seseorang untuk banyak kontak dengan vektor penular, kebiasaan keluar
pada malam hari tanpa menggunakan pakaian yang panjang, dan juga tidak
menggunakan obat anti nyamuk saat tidur. Penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi,
dkk (2019) menyebutkan bahwa pengetahuan, keberadaan tempat
4
banyak terbentuk dan akan menjadi tempat yang sangat ideal bagi vektor (Yulidar
& Zulhaida, 2018).
Salah satu tujuan SDGs poin ke-3 adalah untuk menjamin kehidupan sehat
dan mendukung kesejahteraan bagi semua usia. Poin ini menargetkan beberapa
target penting salah satunya yakni mengakhiri epidemik dari penyakit tropis pada
tahun 2030, termasuk di dalamnya adalah filariasis. Pencapaian target tersebut
salah satunya dilaksanakan dalam satu wadah Program Eliminasi Filariasis Global
di Indonesia. Berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai
upaya penanggulangan filariasis di Indonesia, penyelenggaraan penanggulangan
tersebut tertuang dalam pokok kegiatan berupa surveilans kesehatan, penanganan
penderita dengan cara pengobatan dan perawatan, pengendalian faktor risiko
melalui Pemberian Obat Pencegahan Secara Massal (POPM), serta komunikasi,
informasi, dan edukasi yang dilakukan dengan cara sosialisasi dan advokasi.
Pelaksanaan program tersebut memberikan dampak positif terhadap penurunan
jumlah kasus filariasis di Indonesia terbukti dengan penurunan jumlah kasus yang
cukup signifikan selama empat tahun terakhir.
Angka kejadian filariasias di Indonesia memang mengalami penurunan
yang cukup pesat, namun Indonesia masih belum dapat dikatakan bebas dari
filariasis. Tentunya berbagai pelaksanaan program pencegahan maupun
penanggulangan sudah banyak diterapkan di Indonesia. Namun upaya tersebut
seringkali tidak berjalan dengan sistematis dan berkelanjutan, terutama yang
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan perilaku masyarakat sehari-hari.
Program tersebut harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat sebagai sasaran
dari program agar masyarakat cenderung tidak bosan dengan berbagai metode
pencegahan yang sebelumnya telah disosialisasikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Yulidar dan Zulhaida (2018) menunjukkan
bahwa wilayah Kecamatan Nisam merupakan daerah dengan potensi tertular
infeksi filariasis tertinggi di Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan latar belakang di
atas kami mengajukan Peduli Kebersihan Bereskan Kaki Gajah (Pekan Berkah)
sebagai salah satu program yang dapat diterapkan untuk menanggulangi
permasalahan filariasis di Kecamatan Nisam sebagai salah satu daerah endemis
filariasis dengan jumlah kasus terbanyak di Indonesia. Program ini merupakan
6
1.3 Tujuan
Tujuan dari program ini adalah mengurangi kepadatan populasi nyamuk di
sekitar daerah tempat tinggal masyarakat di Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh
Utara tersebut.
1.5 Manfaat
1. Bagi warga, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat terciptanya
lingkungan yang lebih nyaman terbebas dari populasi nyamuk yang padat
di daerah tersebut.
2. Bagi pemerintah, dengan adanya program ini diharapkan dapat
mengenalkan dan mensosialisasikan kepada seluruh masyarakat di
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Filariasis
Filariasis atau yang biasa dikenal dengan istilah penyakit kaki gajah
merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh keberadaan cacing
filaria dalam saluran dan kelenjar limfe hospes dan cacing tersebut ditularkan
melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif (Irwan, 2017). Penyakit
filariasis dapat menyerang semua kelompok umur, tidak bergantung tua atau muda
akan tetapi bergantung pada ada tidaknya kontak seseorang dengan vektor
filariasis yakni nyamuk (Sipayung, Wahjuni, & Devy, 2014). Menurut Widodo
(2011) gejala pembengkakan pada kaki biasanya baru timbul ketika seseorang
berumur 30 tahun setelah terinfeksi selama bertahun-tahun. Oleh karena gejala
yang ditimbulkan dalam waktu yang cukup lama, maka penyakit ini dikatakan
penyakit menahun sebab manifestasi klinis yang ditimbulkan baru nampak
bertahun-tahun setelah seseorang mendapatkan gigitan nyamuk yang membawa
larva infektif.
Meskipun penyakit ini jarang sekali menyebabkan kematian, namun
gangguan fisik yang ditimbulkan menyebabkan seseorang yang terkena filariasis
dapat terganggu segala aktivitasnya. Penderita yang tidak segera mendapatkan
pengobatan dapat menimbulkan cacat permanen seperti pembesaran kaki, lengan,
dan organ kelamin baik laki-laki maupun perempuan. Dampak inilah yang
menyebabkan penderita tidak bisa beraktivitas maupun bekerja secara optimal
sehingga tentunya akan memberikan beban tersendiri bagi keluarga, masyarakat,
bahkan negara.
c. Larva
Mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk akan masuk ke dalam bagian
pencernaan nyamuk (lambung) dan mereka akan melepaskan sarung
(selubungnya). Mikrofilaria tersebut akan bergerak menembus dinding
lambung dan bergerak terus hingga mencapai otot atau jaringan lemak yang
terdapat di bagian dada nyamuk. Selanjutnya dalam kurun waktu ± 3 hari,
mikrofilaria akan tumbuh menjadi larva stadium 1 (L1) dengan ukuran 125-
250 μm x 10-17 μm dan memiliki bentuk menyerupai sosis dengan ekor
seperti cambuk. L1 akan terus tumbuh menjadi L2 selama kurun waktu ± 6
hari dan mengalami pembesaran ukuran menjadi 200-300 μm x 15-30 μm,
dengan ekor yang tumpul atau memendek. Selanjutnya L2 akan tumbuh
menjadi larva stadium 3 (L3) dengan pertambahan ukuran menjadi ± 1400
μm x 20 μm. Perubahan antara L2 menjadi L3 bergantung jenis spesienya,
pada spesies Brugia terjadi pada hari kedelapan hingga kesepuluh, sedangkan
Wuchereria perubahannya pada hari kesepuluh hingga keempat belas. Pada
stadium ini (L3), merupakan cacing yang sudah infektif dan siap ditularkan
kepada manusia lain.
2. Host
Baik manusia maupun hewan dapat menjadi hospes filariasis, namun
pembahasan akan lebih difokuskan pada manusia. Tidak ada batasan tertentu
seseorang bisa terkena filariasis karena sebenarnya setiap orang dapat tertular
11
3. Environment
Tempat tumbuh agen filariasis hingga menjadi infektif berada dalam tubuh
nyamuk, sehingga faktor lingkungan yang perlu dimengerti adalah lingkungan
dari nyamuk yang dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup nyamuk. Secara
umum lingkungan yang dapat mempengaruhi kehidupan filariasis menurut
Permenkes RI Nomor 94 Tahun 2014 (2014) dibagi menjadi tiga, yaitu
lingkungan fisik, biologi, serta sosial, ekonomi, dan budaya.
a. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik meliputi keadaan iklim, geografis, struktur geologi
dan lain sebagainya yang dapat mempengaruhi kehidupan vektor filariasis.
Suhu atau temperatur dan kelembaban udara dapat mempengaruhi umur
nyamuk sehingga mikrofilaria yang berada dalam tubuh nyamuk akan
memiliki waktu yang cukup untuk menjadi infektif, selain itu suhu dan
kelembaban juga akan mempengaruhi kebiasaan menggigit nyamuk yang
memungkinkan adanya penularan kepada manusia (Paiting, Setiani, &
Sulistiyani, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tallan dan
Mau (2016) menunjukkan bahwa suhu yang ada di lingkungan Kecamatan
Kodi Balaghar berkisar antara 21-35 oC yang mana suhu tersebut merupakan
suhu optimal bagi pertumbuhan larva yakni pada suhu 27 oC. Penelitian yang
dilakukan oleh Nadi (2005) juga membuktikan pada objek Anopheles
12
aconitus, semakin tinggi suhu maka periode pada setiap stadium akan
semakin cepat dan sebaliknya. Kecapatan perubahan periode stadium larva
tentu akan mempercepat tumbuhnya larva menjadi nyamuk sehingga populasi
nyamuk akan cepat bertambah.
Perkembangan larva nyamuk menjadi bentuk dewasa juga dipengaruhi
oleh curah hujan. Curah hujan akan mempengaruhi kelembaban udara yang
jika kelembaban udara tinggi nyamukakan lebih aktif dan lebih sering
menggigit dan tentu akan meningkatkan risiko penularan jika nyamuk
membawa larva infektif (Kawulur, Ayomi, Suebu, Rokhmad, & Pardi, 2019).
Adanya tempat perkembangbiakan nyamuk (breeding places) seperti
genangan air baik air tawar ataupun payau, bak mandi, saluran limbah
terbuka, dan lain sebagainya juga akan mempengaruhi kelangsungan hidup
nyamuk seperti tempat meletakkan telur, tempat mencari makan, tempat
berlindung bagi jentik nyamuk, dan tempat hinggap nyamuk dewasa. Selain
itu seseorang yang di sekitar rumahnya terdapat tempat peristirahatan nyamuk
(resting place) seperti semak-semak, pakaian yang tergantung atau
menumpuk, barang-barang bekas yang tidak terpakai juga akan berpeluang
besar terkena filariasis. (Rahanyamtel, Nurjazuli, & Sulistiyani, 2019)
b. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi seperti tanaman air, tumbuhan bakau, lumut, dan
ganggang, serta berbagai hewan pemangsa jentik merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi keberadaan dan kelangsungan hidup nyamuk.
Tumbuhan bakau, lumut, dan ganggang dapat menjadi salah satu tempat yang
baik untuk pertumbuhan larva karena dapat menghalangi sinar matahari
sehingga menyebabkan pencahayaan rendah, duhu rendah, sehingga
kelembaban akan tinggi (Tallan & Mau, 2016) sehingga keberadaan beberapa
jenis tumbuhan dapat menjadi sebuah indikator adanya jenis nyamuk tertentu.
Selain itu, adanya flora dalam perairan tersebut juga akan digunakan sebagai
tempat berteduh agar terlindung dari sinar matahari, pergerakan permukaan
air, serta untuk memperoleh makanan yang pada umumnya terdapat di sekitar
flora tersebut (Rahman, Ishak, & Ibrahim, 2013).
13
Adanya predator larva nyamuk yang merupakan hewan air juga akan
mempengaruhi kehidupan larva. Pada daerah perairan yang banyak terdapat
tumbuhan, tentu akan memiliki kadar oksigen yang baik sehingga berbagai
hewan yang tinggal di dalamnya juga akan tumbuh dengan baik dan jika
berada dalam habitat yang sama dengan larva nyamuk tentu akan memangsa
larva tersebut (Rosmini, Jastal, Srikandi, Risti, & Nurwidayanti, 2013).
Hewan-hewan tersebut seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia,
nila, mujair, dan lain-lain yang dapat mempengaruhi populasi larva dan
nyamuk di suatu daerah (Arsin, 2016).
2.1.2 Penularan
Cacing filaria semasa hidupnya memiliki dua tempat tinggal yakni di
dalam tubuh nyamuk sebagai tempat tumbuh hingga mencapai stadium infektif
dan di dalam tubuh manusia sebagai tempat tumbuh dan berkembangbiak. Secara
umum, skema penularan penyakit filariasis pada ketiga spesies sama saja, yakni
sama-sama memiliki fase hidup di dalam tubuh nyamuk dan manusia. Skema
rantai penularan penyakit filariasis dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
14
proboscis nyamuk dan siap untuk ditularkan. Pada saat larva tersebut keluar
mereka akan tinggal di sekitar lubang gigitan nyamuk dan baru bisa masuk ke
dalam tubuh jika proboscis nyamuk sudah ditarik. (Kemenkes RI, 2014)
Makrofilaria tidak dapat menular namun selama di dalam tubuh
manusia,makrofilaria dapat bertahan 5-7 tahun dan dapat menghasilkan ribuan
anak cacing per harinya. Anak cacing atau mikrofilaria ini yang nantinya dapat
ditularkan kepada orang lain melalui gigitan nyamuk yang mengandung
mikrofilaria. Kurun waktu yang sangat lama inilah yang menyebabkan seorang
penderita juga dapat menjadi sumber penularan dalam periode yang juga sangat
panjang (Arsin, 2016).
infeksi terjadi, namun mikrofilaria biasanya masih belum pada darah hingga
3-6 bulan pada jenis Brugia dan 6-12 bulan pada spesies Wuchereria
bancrofti (Arsin, 2016).
3. Fase Penyakit Dini
Seseorang yang memasuki fase dini akan mengalami gejala klinis akut karena
adanya infeksi antara makrofilaria bersamaan dengan infeksi karena bakteri
atau jamur. Gejala klinis akut yang terjadi biasanya berupa peradangan di
saluran limfe (limfangitis), peradangan di kelenjar limfe (limfadenitis),
peradangan baik di saluran maupun kelenjar limfe (adenolimfangitis), dan
apabila adenolimfangitis berlanjut maka akan timbul abses. Infeksi oleh
Wuchereria bancrofti biasanya seringkali menyebabkan kelainan pada saluran
dan alat kelamin, sedangkan infeksi akibat spesies Brugia tidak menimbulkan
kelainan pada saluran dan alat kelamin (Kemenkes RI, 2014). Gejala klinis
akut ini sebenarnya dapat sembuh secara spontan selama 3-15 hari akan tetapi
pada beberapa kasus kerap kali terjadi kekambuhan yang tidak teratur selama
beberapa minggu sebelum keluhan membaik (Riyadi & Wijayanti, 2011).
4. Fase Penyakit Lanjut
Pada fase ini seseorang akan mengalami gejala klinis kronis yang terdiri dari
limfedema, lymph scrotum, kiluria, dan hidrokel (Kemenkes RI, 2014).
a. Limfedema
Pembengkakan pada bagian-bagian tubuh tertentu yang terjadi akibat
Wuchereria bancrofti biasanya di seluruh kaki, lengan, skrotum, penis,
vulva vagina, dan payudara, sedangkan Brugia biasanya menimbulkan
pembengkakan di lengan bawah siku dan tungkai bawah dengan kondisi
siku dan lutut masih normal
b. Lymph Scrotum
Pada laki-laki terkadang juga terjadi peleberan saluran limfe superfisial
pada bagian kulit scrotum atau terkadang juga terjadi pada kulit penis.
Saluran limfe yang mengalami pelebaran ini mudah pecah sehingga cairan
limfe dapat mengalir keluar.\
c. Kiluria
17
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis penderita filaria dapat ditegakkan jika ketika dilakukan
pemeriksaan darah (tetes tebal) terdapat mikrofilaria dalam darah tepi, tetapi
terkadang juga dapat ditemukan di kiluria, eksudat varises limfe, serta cairan
hidrokel. Cacing dewasa juga dapat ditemukan di kelenjar limfe jika dilakukan
biopsi (Soedarto, 2011). Metode diagnosis yang dapat dilakukan untuk
mengetahui keberadaan cacing filaria dalam tubuh dibagi menjadi 2 cara
(Kemenkes RI, 2014), yaitu :
a. Immunochromatographic Test (ICT)
Metode ini digunakan untuk mengetahui keberadaan dari antigen cacing
dewasa Wuchereria bancrofti dalam darah dan diagnosis menggunakan
metode ini dapat dilakukan setiap waktu.
b. Rapid Test
Metode yang digunakan untuk mengetahui antibody dari spesies Brugia baik
itu Brugia malayi maupun Brugia timori. Pemeriksaan dengan metode ini
juga dapat dilakukan setiap waktu.
BAB III
ANALISIS SITUASI
HOST (MANUSIA)
1. Usia
2. Jenis Kelamin
Sebanyak 58 dari 306.105 laki-laki dan 43 dari 313.302
perempuan di Kabupaten Aceh Utara menderita filariasis
3. Pekerjaan
Pekerjaan utama masyarakat di Kabupaten Aceh Utara adalah
di bidang pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan
AGENT ENVIRONMENT
BAB IV
RENCANA IMPLEMENTASI PROGRAM
konsep program yang akan berjalan setiap hari Minggu meliputi kerja bakti,
budidaya ikan cupang, serta tanaman hias pengusir nyamuk. Setelah kegiatan
diskusi, peneliti akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan melakukan
peninjauan lokasi terlebih dahulu untuk menentukan lokasi yang tepat dan
strategis bagi masyarakat untuk dijadikan sebagai tempat sosialisasi. Kegiatan
sosialisasi dilakukan dengan mengenalkan ikan cupang dan beberapa tanaman
hias yang akan dibudidayakan di setiap desa sebagai salah satu manajemen
lingkungan untuk mengendalikan kepadatan nyamuk. Dengan adanya program ini
diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan budidaya tersebut tidak hanya
sebagai upaya untuk mengendalikan kepadatan nyamuk tetapi juga dapat
mengembangkan hasil budidayanya menjadi sebuah sumber penghasilan lain
sehingga program ini juga dapat membantu meningkatkan perekonomian
keluarga.
2. Setiap hari Minggu pada minggu kedua dan ketiga diadakan kontrol budidaya
ikan cupang dan tanaman hias pengusir nyamuk, kontrol jentik, serta kondisi
sanitasi sekitar rumah termasuk di dalamnya mengenai sampah, keberadaan
pakaian yang digantung, genangan-genangan air, dan lain-lain)
Bibit ikan dan indukan 30 pasang Rp. 100.000 (harga Rp. 3.000.000
26
(sepasang) sepasang)
BAB V
EVALUASI
Apabila suatu desa memiliki nilai ABJ kurang dari 95% maka wilayah
tersebut memiliki risiko penularan penyakit filariasis yang cukup besar. Pada
daerah-daerah dengan ABJ kurang dari 95% perlu memperkuat kegiatan-kegiatan
pengendalian filariasis baik dengan penguatan program sebelumnya ataupun
menerapkan program inovasi lainnya. Apabila suatu daerah memiliki nilai ABJ
lebih dari 95% maka tetap dilakukan upaya-upaya pencegahan untuk
mempertahankan kondisi tersebut. Pelaksanaa kegiatan evaluasi oleh Petugas
Puskesmas dibantu oleh kader program “Pekan Berkah” dengan rencana urutan
jadwal pelaksanaan evaluasi adalah sebagai berikut:
28
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan Provinsi Aceh. 2020. Profil Kesehatan Aceh Tahun 2019. Banda
Aceh: Dinas Kesehatan Provinsi Aceh.
Paiting, Y. S., O. Setiani, dan Sulistiyani. 2012. Faktor Risiko Lingkungan dan
Kebiasaan Penduduk Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Distrik
Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 11(1): 76-81.
Rahanyamtel, R., Nurjazuli, dan Sulistiyani. 2019. Faktor Lingkungan dan Praktik
Masyarakat Berkaitan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Semarang.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 18(1): 8-11 .