Anda di halaman 1dari 15

Tugas Kelompok

PENGENDALIAN VEKTOR PADA BENCANA

PJ MA : Prof. Dr. dr. Rachmadhi Purwana, S.K.M.

Disusun oleh :
Kelompok 7

1. Adelia Hanita Dewi 1606830000


2. Aulia Salmaddiina 1606890580
3. Dhiya Dwi Afiifah 1606838552
4. Kemal Hidayat Andrianto 1606885624
5. Tiara Dhesi Anggraeni 1606884520
6. Tiolyn Wina Putri 1606881153

Program Studi S1 Reguler Kesehatan Lingkungan


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
Depok, 2018
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................................2
1 Latar Belakang ................................................................................................................3
2 Tujuan Pengendalian Vektor............................................................................................3
3 Pengertian Vektor dan Endemisitas Vektor di Palu .........................................................5
4 Metode Pengendalian Vektor Penyakit Malaria ..............................................................9
5 Metode Pengendalian Vektor Lalat .................................................................................11
6 Kesimpulan dan Saran .....................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................14

2
I. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Indo-
Australia, Eurasia, dan Pasifik. Selain itu, Indonesia juga memiliki banyak gunung berapi di
sepanjang pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, bagian utara Sulawesi dan Maluku, serta
Papua. Sehingga, di Indonesia sering terjadi bencana. Lebih dari 1.800 bencana terjadi pada
sepanjang tahun 2005 hingga 2015 (BNPB, 2016).
Terdapat berbagai macam jenis bencana, seperti badai, banjir, tanah longsor, gempa bumi,
kebakaran hutan, kekeringan, gunung meletus, dan tsunami. Bencana dapat menyebabkan
gangguan sosial dan menimbulkan wabah penyakit serta kelaparan. Bencana tidak akan
menghasilkan jenis penyakit baru (PAHO, 1982).
Terjadinya bencana akan menimbulkan dampak yang akan menyebabkan munculnya
vektor, seperti munculnya tempat perkembangbiakan vektor, adanya peningkatan kontak antara
manusia dengan vektor, terbatasnya ketersediaan air bersih, terbatasnya pembuangan limbah padat
dan cair, serta gangguan program pengendalian penyakit. Bencana menyebabkan perubahan
ekologis yang dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit (PAHO, 1982).
Pada bencana, pengendalian vektor bukan menjadi prioritas dalam penanggulangan
bencana. Tetapi, vektor akan menjadi masalah bagi kesehatan apabila tidak dikendalikan. Ada
beberapa penyakit yang akan terjadi akibat adanya dampak dari bencana yang sebelumnya
merupakan penyakit endemik wilayah tersebut, seperti malaria, demam berdarah, leptospirosis,
dan salmonellosis (PAHO, 1982).

Kota Palu memiliki beberapa penyakit endemik yang ditularkan melalui vektor, yaitu
malaria dan demam berdarah. Sehingga, diperlukan pengendalian vektor nyamuk untuk
mengurangi risiko terjadinya penyakit akibat vektor (Dinas Kesehatan Kota Palu, 2017). Selain
itu, permasalahan sampah yang menumpuk di pengungsian dapat menimbulkan munculnya vektor
lalat (Kementerian Kesehatan, 2018).

II. Tujuan Pengendalian Vektor

Berdasarkan The Global Vector Control Response (GVCR) 2017-2030 yang disetujui pada
World Health Assembly tahun 2017, dihasilkan panduan strategis untuk seluruh negara dan pihak

3
yang terkait dengan pembangunan, bahwa penguatan dalam tindakan pengendalian vektor adalah
pendekatan mendasar untuk mencegah penyakit dan merespon kejadian wabah (WHO, 2017b).

Pengendalian vektor merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan dalam pengendalian
penyakit menular. Faktor yang penting dalam pengendalian vektor adalah mengetahui bionomik
vektor, yaitu tempat perkembangbiakan vektor, tempat istirahat vektor serta tempat kontak vektor
dan manusia (Ismanto, 2006).

Berikut adalah ilustrasi model logika yang menunjukkan bahwa tindakan multisektoral

dapat menimbulkan perubahan untuk menanggulangi penyakit akibat vektor dan akhirnya dapat
membantu dalam pencapaian tujuan dari SDGs :

Hasil yang diharapkan langsung dari intervensi adalah pengurangan endemisitas penyakit
dan wabah, yang akan berdampak pada penurunan morbiditas dan mortalitas. Penurunan
morbiditas dan mortalitas membantu mengurangi beban biaya pada sistem dan pelayanan
kesehatan. Hal tersebut akhirnya akan terkait dengan :

1. SDG’s nomor 3 : Good health and well-being

4
2. SDG’s nomor 8 : Decent work and economic growth (meningkatkan kemampuan
untuk bekerja dan berkontribusi bagi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi)
3. SDG’s nomor 10 & 6 : Reduced inequalities dan Clean water and sanitation (Mengurangi
ketidaksetaraan dengan program pengendalian vektor multisektoral yang dimana ketika
populasi rentan, misalnya penghuni kawasan kumuh, mendapat manfaat dari perbaikan rumah
atau peningkatan layanan publik, misalnya air bersih) (WHO, 2017a).

III. Pengertian Vektor dan Endemisitas Vektor di Palu


Vektor dan Penyakit Tular Vektor

Vektor merupakan organisme hidup yang dapat menularkan penyakit menular yang terjadi
antara manusia atau dari hewan ke manusia. Kebanyakan vektor merupakan serangga pengisap
darah, yang mengandung mikroorganisme penghasil penyakit akibat memakan darah dari inang
yang terinfeksi baik manusia atau hewan, dan kemudian menyuntikkannya ke inang baru selama
mengisap darah berikutnya.

Vektor dapat menyebabkan penyakit sehingga ada istilah vector-borne disease atau
penyakit tular vektor. Penyakit yang ditularkan oleh vektor adalah penyakit manusia yang
disebabkan oleh parasit, virus, dan bakteri, yang ditularkan oleh vektor seperti nyamuk, lalat,
serangga triatom, lalat hitam, caplak, lalat tsetse, tungau, siput, dan kutu. Distribusi penyakit yang
ditularkan melalui vektor ditentukan oleh faktor demografi, lingkungan dan sosial yang kompleks.

Vektor pada Keadaan Bencana dan Endemisitas Vektor pada Bencana di Palu
Pada keadaan bencana khususnya peristiwa bencana yang meteorologis dapat
mempengaruhi lokasi perkembangbiakan vektor dan penularan penyakit yang ditularkan melalui
vektor. Hal-hal yang menentukan tempat atau lokasi suatu penyakit oleh vektor antara lain
kekhususan topografi tempat. Kondisi seperti ketinggian tempat, letak geografis, susunan geologi,
besar atau luasan tempat, dan ekosistem mempengaruhi kehidupan vektor. Keadaan pasca bencana
yang berubah akibat rusaknya ekosistem dapat menimbulkan adanya peningkatan transmisi
penyakit oleh vektor.

5
Penyakit tular vektor yang muncul akibat bencana yang terjadi di Provinsi Sulawesi
Tengah, tepatnya di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi adalah malaria dan
demam berdarah dengue (DBD).

Malaria adalah salah satu penyakit endemik yang menjadi perhatian utama yang ada di
Provinsi Sulawesi Tengah karena termasuk malaria yang resisten terhadap obat. Dalam beberapa
tahun terakhir, Sulawesi Tengah telah menunjukkan peningkatan dalam pencapaian indikator
pengendalian malaria, tingkat insiden Malaria di Sulawesi Tengah masih di atas target Nasional
(API <1 ‰). Insiden Parasit Tahunan atau Annual Parasite Insidence di Provinsi ini adalah 1.06
‰. Lima kabupaten di Sulawesi Tengah adalah endemik malaria dan dianggap memiliki tingkat
penularan malaria yang menengah. Delapan kabupaten memiliki Insiden Parasit Tahunan (API)
<1%. Ini termasuk Palu (API: 0,05%) dan Sigi (API: 0,06%), sementara Donggala memiliki API
1,22%. Risiko penularan malaria dan VBD (Vector-borne Disease) lainnya dapat meningkat
karena pengelolaan lingkungan terganggu akibat terkena dampak bencana. Genangan air setelah
hujan cenderung meningkatkan risiko lokasi perkembangbiakan dan meningkatkan transmisi.
Selain itu, populasi pengungsi yang tinggal di kamp padat penduduk dengan pengelolaan limbah
yang buruk cenderung mendapatkan lebih banyak paparan terhadap penyakit yang ditularkan
melalui vektor. Telah diamati bahwa ada tumpukan sampah, bahan-bahan bekas dan barang-
barang yang menahan air yang tersebar di sekitar kamp-kamp. Di Indonesia, malaria resisten
terhadap pengobatan tradisional seperti chloroquine dan sulphadoxine-pyrimethamine sehingga
pengobatan malaria lebih lanjut di Indonesia menggunakan Artemisinin based Combination
Therapies (ACT).

Malaria disebabkan oleh infeksi sel darah merah dengan parasit protozoa dari genus
Plasmodium yang diinokulasi ke inang manusia melalui nyamuk Anopheles spp. betina. Nyamuk
betina mengambil makanan darah untuk melakukan produksi telur, dan makanan darah seperti itu
adalah penghubung antara manusia dan nyamuk.

Siklus hidup nyamuk Anopheles spp. terdiri dari 4 tahap yaitu, 1) fase telur, nyamuk betina
dewasa akan meletakkan telur sekitar 50-200 telur di atas air dalam keadaan mengapung, biasanya
telur akan menetas dalam 2-3 hari, 2) fase larva, terdiri dari kepala, toraks, dan abdomen. Larva
anopheles tidak memiliki siphon pernapasan namun bernapas dengan spirakel pada segmen
abdomennya, sehingga posisinya biasanya akan sejajar dengan permukaan air. Larva nyamuk

6
Anopheles spp. telah ditemukan di rawa air tawar atau air asin, rawa bakau, sawah, parit berumput,
tepi sungai dan sungai, dan kolam hujan kecil sementara, 3) fase pupa, berbentuk koma jika dilihat
dari samping, kepala dan toraks bergabung dengan abdomen yang melengkung, fase nyamuk
dewasa, memiliki tubuh ramping dengan 3 bagian yaitu kepala, dada, dan perut.

Gambar 1. Anopheles spp.

Nyamuk betina dewasa akan memakan nektar bunga untuk makanan sehari-hari, namun
untuk perkembangan telur mereka akan mengisap darah manusia. Anopheles spp memiliki
karakteristik keaktifan mencari darah pada waktu malam hari.

Keberhasilan pengembangan parasit malaria pada nyamuk bergantung pada faktor tertentu,
yaitu suhu lingkungan dan kelembapan (suhu yang lebih tinggi mempercepat pertumbuhan parasit
pada nyamuk).

Gambar 2. Siklus Transmisi Penyakit Malaria

7
Proses terjadinya penyakit malaria pada manusia diawali dengan plasmodium yang masuk
ke dalam tubuh nyamuk Anopheles, lalu nyamuk Anopheles betina akan mengisap darah manusia,
plasmodium masuk ke tubuh manusia dan menginfeksi hati lalu menginfeksi sel darah merah
sehingga orang tersebut mengidap malaria. Selanjutnya, nyamuk betina lain akan mengisap darah
orang yang terkena malaria lalu plasmodium kembali berada di tubuh nyamuk dan nyamuk akan
mengisap darah manusia lainnya. Gejala pertama penyakit malaria tidak spesifik dan mirip dengan
penyakit virus sistemik kecil. Orang yang terkena malaria akan menderita sakit kepala, kelelahan,
ketidaknyamanan perut, nyeri otot dan sendi, biasanya diikuti oleh demam, menggigil, keringat,
anoreksia, muntah.

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang penyebabnya adalah
virus dengue yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk genus Aedes,
misalnya Aedes agypti atau Aedes albopictus. Penyakit ini dapat muncul sepanjang tahun dan
menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit ini sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan dan
perilaku masyarakat. Kota Palu adalah daerah perkotaan dengan endemisitas dan kepadatan vektor
yang tinggi. Berdasarkan data surveilans penyebaran kasus DBD di 46 wilayah kelurahan yang
ada disimpulkan bahwa secara keseluruhan wilayah Kota Palu tergolong daerah endemis DBD.

DBD ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus
sebagai vektor pendamping. Kedua spesies ini ditemukan di seluruh wilayah Indonesia. Secara
morfologis kedua nyamuk ini memiliki kemiripan, namun dapat dibedakan dari strip putih yang
terdapat pada bagian skutumnya. Skutum Aedes aegypti berwarna hitam dengan dua strip putih
sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit dua garis lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum
Aedes albopictus berwarna hitam dan hanya terdapat satu garis putih tebal di bagian dorsalnya.
Vektor nyamuk Aedes aegypti, memiliki karakteristik aktif pada siang hari dan meletakkan
telurnya pada penampung air bersih atau genangan air hujan. Aedes aegypti dewasa hidup dan
mencari mangsa di dalam lingkungan rumah atau bangunan. Aedes albopictus di luar lingkungan
rumah seperti kebun yang rimbun dengan pepohonan. Aedes spp memiliki karakteristik keaktifan
mencari darah pada siang hari.

8
Gambar 3. Aedes aegypti (kiri) dan Aedes albopictus (kanan)

Gambar 4. Siklus Hidup dan Siklus Transmisi Penyakit DBD

Nyamuk Aedes spp. yang terinfeksi melalui pengisapan darah dari orang yang sakit dan
menularkan virus dengue kepada manusia lainnya dengan mengisap darah. Manifestasi klinis
mulai dari infeksi tanpa gejala demam DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama
2-7 hari; pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah
trombosit ≤ 100x109/L dan kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh.

IV. Metode Pengendalian Vektor Penyakit Malaria


Dalam pengendalian vektor sangat sulit dilakukan pembasmian sampai tuntas, yang
mungkin adalah usaha mengurangi dan menurunkan populasi kesatu tingkat yang tidak
membahayakan kehidupan manusia. Namun hendaknya suatu pengendalian diupayakan agar
penurunan populasi vektor dapat mencapai hasil yang baik. Untuk itu perlu diterapkan teknologi
yang sesuai (Nurmaini, 2003).

9
Prinsip-prinsip dasar dalam pengendalian vektor yang dapat dijadikan sebagai pedoman
sebagai berikut :
1. Pengendalian vektor harus menerapkan bermacam-macam cara pengendalian agar vektor tetap
berada di bawah garis batas yang tidak merugikan/ membahayakan.
2. Pengendalian vektor tidak menimbulkan kerusakan atau gangguan ekologis terhadap tata
lingkungan hidup.
Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, maka bisa dilakukan metode
pengendalian/pemberantasan nyamuk malaria secara sederhana. Metode tersebut dimulai dengan
melakukan pengamatan vektor, kemudian baru dilakukan pemberantasan. Pemberantasan ini
dilakukan untuk Anopheles indefinitus.
 Pengamatan Vektor
Pengamatan vektor sangat penting karena dari kegiatan ini akan terkumpul data yang
menerangkan keadaan dan perilaku vektor (nyamuk indefinitus) pada suatu waktu. Langkah
pertama yang dilakukan adalah meninjau lapangan dan menganalisa keadaan lingkungan,
khususnya tempat perindukan vektor. Nyamuk Anopheles indefinitus sering dijumpai di sekitar
kandang peternakan, semak-semak, atau pada genangan air yang memiliki biota air seperti teratai
atau lumut (Joshi, Usman, Pant, Nelson, & Supalin, 1997). Semak-semak mempengaruhi
keberadaan nyamuk indefinitus karena dijadikan tempat istirahat oleh nyamuk Anopheles spp.
Penelitian yang dilakukan Epstein diketahui bahwa suhu udara 25°-27°C sesuai untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakan nyamuk (Epstein et al., 1998). Mofu juga melaporkan suhu
yang kondusif untuk sebaran nyamuk berkisar antara 25°-30°C (Mofu, 2013). Daerah-daerah yang
memiliki kriteria seperti ini merupakan daerah dengan densitas Anopheles indefinitus tinggi.
 Pemberantasan
Pemberantasan vektor Anopheles indefinitus yang biasa dijumpai pada daerah peternakan
bisa dilakukan dengan beberapa cara dengan tetap memperhatikan kualitas lingkungan dan
mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan. Cara pertama dengan merawat lingkungan di sekitar,
kedua dengan mengendalikan jentik, ketiga pengendalian nyamuk dewasa dengan hewan ternak.
1. Merawat Lingkungan di Sekitar
Untuk mengurangi densitas nyamuk Anopheles indefinitus, masyarakat yang memiliki ternak
harus merawat semak-semak yang berada di sekitaran kendang ternak. Masyarakat umum juga
bisa mengurangi densitas nyamuk Anopheles indefinitus dengan menghilangkan genangan-

10
genangan air di sekitar tempat pemukiman, khususnya genangan air yang terdapat biota air di
dalamnya.
2. Pengendalian Jentik
Perkembangan jentik menjadi nyamuk dewasa membutuhkan air, jika tidak ada air maka jentik
akan mati. Oleh karena itu pengeringan berkala pada tempat dengan densitas nyamuk
Anopheles indefinitus yang tinggi harus dilakukan. Perkembangan dari telur hingga menjadi
nyamuk dewasa memerlukan waktu 13-16 hari, maka pengeringan cukup dilakukan satu kali
setiap minggu. Cara ini dilakukan dengan maksud memutus siklus hidup dari nyamuk. Cara
lain yaitu penebaran ikan pemakan jentik. Ikan yang ditebarkan tidak mesti ikan kecil tetapi
dapat ikan yang mempunyai nilai ekonomi misalnya ikan mujair, nila, atau ikan mas.
3. Pengendalian Nyamuk Dewasa dengan Hewan Ternak
Pengendalian nyamuk dewasa dapat dilakukan oleh masyarakat yang memiliki temak lembu,
kerbau, babi. Hal ini karena nyamuk Anopheles indefinitus adalah nyamuk yang menyukai
darah binatang (ternak) sebagai sumber mendapatkan darah, untuk itu ternak dapat digunakan
sebagai tameng untuk melindungi orang dari serangan Anopheles indefinitus yaitu dengan
menempatkan kandang ternak diluar rumah (Muchid, Annawaty, & Fahri, 2015).

V. Metode Pengendalian Vektor Lalat


Pengendalian Vektor Lalat

Lalat merupakan salah satu vektor pembawa penyakit yang dapat mempengaruhi kualitas
kesehatan masyarakat. Dalam kondisi pasca bencana, kerusakan sarana sanitasi dapat
meningkatkan populasi lalat. Penyakit yang umumnya ditransmisikan oleh lalat antara lain
disentri, kolera dan tifoid. Fly grill merupakan alat yang umumnya digunkan untuk menilai
kepadatan populasi lalat. Namun, perlu diperhatikan bahwa lalat tidak hanya memasuki rumah
ataupun tempat pengungsian korban bencana. Oleh karena itu, area lain seperti pasar dan area
pembuangan sampah harus dimasukkan sebagai bidang penilaian. Cara termudah melakukan
penilaian adalah menghitung lalat saat mereka bertumpu pada sampah, vegetasi, dinding bangunan
dan tempat istirahat lainnya.

Dalam upaya pengendalian lalat saat bencana, pelayanan sanitasi di tempat-tempat


pengungsian harus menjadi prioritas. Padatnya populasi pengungsi di tempat pengungsian dengan

11
berbagai aktivitas yang dilakukan dapat meningkatkan populasi lalat apabila tidak dilakukan upaya
pengendalian. Hewan yang mati harus segera dikubur, kamar-kamar di bangunan pengungsi,
terutama dapur dan tempat makan, harus dipasang pelindung seperti tirai yang dipasang di pintu
atau jendela pengungsian (Murlis, 1982).

Kegiatan yang dapat mencegah peningkatan populasi lalat di tempat pengungsian antara
lain mengubur sampah ketika layanan sanitasi tidak tersedia, menggunakan alat penutup makanan
serta menggunakan tirai kain di pintu dan jendela untuk membatasi lalat masuk. Jika tersedia,
penggunaan kaset lengket dan semprotan aerosol di dalam gedung dapat membantu mengurangi
jumlah lalat. Selain itu, edukasi kepada pengungsi juga perlu dilakukan agar mereka dapat
membantu mengendalikan populasi lalat secara mandiri. Walaupun tidak dianjurkan dalam
penggunaan sehari-hari, upaya pengendalian secara kimiawi berupa penyemprotan insektsida
dinilai cukup efektif untuk mengendalikan populasi lalat saat situasi bencana (Departemen
Kesehatan RI, 2007).

VI. Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa pada keadaan bencana yang mengakibatkan
perubahan lingkungan dapat menyebabkan lokasi tersebut menjadi tempat yang sesuai dengan
perkembangbiakan vektor sehingga penyakit akibat vektor menjadi salah satu akibat dari sebuah
bencana. Setelah kejadian bencana menurut WHO (2017b) perlu adanya upaya dalam melakukan
pencegahan penyakit dan respon kejadian wabah. Vektor yang seringkali ditemui pada lokasi
bencana adalah nyamuk, lalat, dan kutu. Sedangkan, penyakit akibat vektor yang sering muncul
adalah malaria, DBD, kolera, dan diare (PAHO, 1982).
Saran yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit akibat vektor dengan menerapkan
tindakan pengendalian vektor darurat, yaitu : (PAHO, 2000)
1. Melanjutkan pengumpulan dan pembuangan sampah secara saniter sesegera mungkin;
2. Lakukan sosialisasi tentang pendidikan kepada publik untuk menghilangkan situs
perkembangbiakan vektor di dan dekat rumah serta langkah-langkah untuk mencegah
infeksi, termasuk menjaga kebersihan pribadi (personal hygiene);
3. Survei pengungsian dan daerah padat penduduk untuk mengidentifikasi tempat
berpotensi perkembangbiakan nyamuk, hewan pengerat, dan vektor lainnya;

12
4. Menghilangkan tempat perkembangbiakan vektor secara permanen dengan
pengeringan dan/atau pengisian kolam buatan, kolam alam (telaga), dan rawa;
menelungkupkan atau melepas wadah; penutup penampungan air; dan melakukan
pembuangan sampah secara saniter;
5. Melakukan penyemprotan dalam ruangan jika digunakan sebelumnya sebagai metode
kontrol vektor pada daerah banjir;
6. Pada daerah yang diketahui terdapat kasus typhus, gunakan bubuk insektisida residual
pada penderita (pakaian dan tempat tidur) di pengungsian dan kontrol pada
permukiman (gunakan DDT atau Lindane, atau alternatifnya, Malathion atau
Carbaryl, tergantung pada strain lokal yang resisten);
7. Simpan makanan di area tertutup dan terlindungi.

13
DAFTAR PUSTAKA
AHA. (2018). Situation Update: M 7.4 Earthquake & Tsunami, Sulawesi< Indonesia. Tersedia
di: https://ahacentre.org/wp-content/uploads/2018/10/AHA-Situation_Update-no4-
Sulawesi-EQ-final2.pdf [diakses pada 16 November 2018]
BNPB (2016) Risiko Bencana Indonesia. Jakarta: BNPB.
Candra, A. (2010). Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko
Penularan. Tersedia di: https://media.neliti.com/media/publications/53636-ID-demam-
berdarah-dengue-epidemiologi-patog.pdf [diakses pada 16 November 2018]
CDC. (2015). Anopheles Mosquitoes. Tersedia di:
https://www.cdc.gov/malaria/about/biology/mosquitoes/index.html [diakses pada 16
November 2018]
Departemen Kesehatan, R.I., 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana: Technical Guidelines for Health Crisis Responses on Disaster.
Dinas Kesehatan Kota Palu (2017) Profil Kesehatan Kota Palu Tahun 2016. Palu: Dinas
Kesehatan Kota Palu.
Epstein, P. R., Diaz, H. F., Elias, S., Grabherr, G., Graham, N. E., Martens, W. J. M., …
Susskind, J. (1998). Biological and Physical Signs of Climate Change: Focus on
Mosquito-borne Diseases. Bulletin of the American Meteorological Society.
https://doi.org/10.1175/1520-0477(1998)079<0409:BAPSOC>2.0.CO;2
Ismanto, H. (2006) ‘Pengendalian Vektor Dengan Pengubahan Lingkungan’, Balai Litbang
P2B2 Banjarnegara, p. 15. Available at:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/blb/article/view/2376.
Joshi, G. ., Usman, L. ., Pant, C. ., Nelson, M. ., & Supalin. (1997). Ecological Studies on
Anopheles sundaicus in The Semarang Area of Central Java, Indonesia. Semarang.
McCall, P., Lloyd, L. and Nathan, M.B., 2009. Vector management and delivery of vector
control services.
Mofu, R. . (2013). Hubungan Lingkungan Fisik, Kimia, dan Biologi dengan Kepadatan vektor
Anopheles di WIlayah Kerja Puskesmas Hamadi Kota Jayapura. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 12(2), 120–126.

14
Muchid, Z., Annawaty, & Fahri. (2015). Studi Keanekaragaman Nyamuk Anopheles spp. Pada
Kandang ternak Sapi Di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal of Natural
Science, 4(3), 369–376.
Murlis, J., 1982. Emergency Vector Control After Natural Disaster. Disasters, 6(4), pp.313-
313.
Nurmaini. (2003). Mentifikasi Vektor dan Pengendalian Nyamuk Anopheles Aconitus Secara
Sederhana. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.
PAHO (1982) Emergency Vector Control after Natural Disaster. Available at:
http://helid.digicollection.org/en/d/Jops23/18.2.html
Palgunadi B. U., Rahayu A. (2011). AEDES AEGYPTI SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT
DEMAM BERDARAH DENGUE. Tersedia di:
http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/AEDES_AEGYPTI_SEBAGAI_VEKTOR_PE
NYAKIT_DEMAM_BERDARAH_DENGUE.pdf [diakses pada 16 November 2018]
WHO (2017a) ‘Keeping the vector out : Housing improvements for vector control and
sustainable development’, World Health Organization. Available at:
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/259404/9789241513166-
eng.pdf;jsessionid=2A5A4422CA689EED32C324CC3EC94033?sequence=1.
WHO (2017b) Vector-borne diseases, WHO. Available at: http://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/vector-borne-diseases (Accessed: 28 October 2018).
WHO. (2006). Communicable disease following natural disasters: Risk assessment and
priority intervention. Tersedia di:
http://www.who.int/diseasecontrol_emergencies/guidelines/CD_Disasters_26_06.pdf
[diakses pada 16 November 2018]
WHO. (2017). Factsheet: Vector-borne diseases. Tersedia di: http://www.who.int/en/news-
room/fact-sheets/detail/vector-borne-diseases [diakses pada 16 November 2018]
WHO. (2018). Situation Analysis: Earthquake & Tsunami, Sulawesi, Indonesia. Tersedia di:
http://www.searo.who.int/indonesia/areas/emergencies/situationanalysis_no1_sulawe
si_eq_and_tsunami_20181013.pdf [diakses pada 16 November 2018]

15

Anda mungkin juga menyukai