Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

PENYAKIT YANG DAPAT DITULARKAN MELALUI VEKTOR (VECTOR


BORNE DISEASE)

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah


Epidemiologi Penyakit Menular

Dosen Pengajar: Dr. Dyan Kunthi, SKM., M.KM.


Ike Hermawati, SKM., M.Kes

Disusun oleh:
Kelompok 7

Dian 113117095
Khusyu Fajriah 113117113
Wulanda Septiani 113117114

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT (S-1)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
TA 2019-2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya kepada kami. dan telah memberikan kami
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Epidemiologi Penyakit
Menular tentang Penyakit yang dapat ditularkan melalui vektor (vector borne
disease).

kami menyadari jika mungkin ada sesuatu yang salah dalam penulisan,
seperti menyampaikan informasi berbeda sehingga tidak sama dengan
pengetahuan pembaca lain.Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada
kalimat atau kata-kata yang salah. Tidak ada manusia yang sempurna kecuali
Allah SWT.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang penyakit yang dapat
ditularkan melalui binatang ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Cimahi, 11 April 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR...........................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................3
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................4

A. Definisi vector borne disease.....................................................................4


B. Penyakit yang di Tularkan Oleh Vector (vector borne disease)................5
1. Demam berdarah (DBD).....................................................................5
2. Malaria.................................................................................................10
3. Chikungunya........................................................................................16

BAB IV KESIMPULAN.....................................................................................33

A. Kesimpulan ...............................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................34
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Vektor –borne disease merupakan suatu penularan penyakit pada manusia


melalui vektor penyakit berupa serangga. Nyamuk merupakan salah satu
ektoparasit pengganggu yang merugikan kesehatan manusia, hal tersebut
dikarenakan kemampuan nyamuk sebagai salah satu vektor berbagai penyakit.
Di dunia kesehatan, ada beberapa kelompok nyamuk yang perluh kita ketahui
diantaranya yaitu kelompok Tribus culiciniyang terbagimenjadi 109 genus dan
kelompok Tribus anopheliniyang terbagi menjadi 3 genus.Tribus culiciniyang
penting adalah genus Aedes, Culex dan Mansonia sedangkan dari Tribus
anopheline diantaranya yang penting adalah genus Anopheles sp.

Virus Dengue ditemukan di daerah tropik dan sub tropik kebanyakan di


wilayah perkotaan dan pinggiran kota di dunia ini (Kemenkes RI, 2018). 
Penyakit DBD pertama kali dikenal di Filipina pada tahun 1953. Sindromnya
secara etiologis berhubungan dengan virus dengue ketika serotipe 2, 3, dan 4
diisolasi dari pasien di Filipina pada tahun 1956, 2 tahun kemudian virus
dengue dari berbagai tipe diisolasi dari pasien selama epidemik di Bangkok,
Thailand. Selama tiga dekade berikutnya, demam berdarah ditemukan di
Kamboja, Cian, India, Indonesia, Masyarakat Republik Demokratis Lao,
Malaysia, Maldives, Myanmar, Singapura, Sri Lanka, Vietnam, dan beberapa
kelompok kepulauan Pasifik (WHO, 1999). Sebelum tahun 1970, hanya 9
negara yang mengalami wabah DBD, namun sekarang DBD menjadi penyakit
endemik pada lebih dari 100 negara, diantaranya adalah Afrika, Amerika,
Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka tertinggi
terjadinya kasus DBD. Kasus di seluruh Amerika, Asia Tenggara, dan Pasifik
Barat melebihi 1,2 juta pada 2008 dan lebih dari 3,2 juta pada 2015
(berdasarkan data resmi yang disampaikan oleh Negara Anggota WHO).
Baru-baru ini jumlah kasus yang dilaporkan terus meningkat. Pada 2015, 2,35
juta kasus demam berdarah dilaporkan di Amerika, di mana 10.200 kasus
didiagnosis menderita demam berdarah parah yang menyebabkan 1.181
kematian. Pada tahun 2018, demam berdarah juga dilaporkan dari Bangladesh,
Kamboja, India, Myanmar, Malaysia, Pakistan, Filipina, Thailand, dan
Yaman. Diperkirakan 500.000 orang terkena demam berdarah berat
memerlukan rawat inap setiap tahun, dengan perkiraan 2,5% kasus kematian
setiap tahunnya. Secara umum, terjadi penurunan kasus kematian sebesar 28%
yang tercatat antara 2010 dan 2016 dengan peningkatan yang signifikan dalam
manajemen kasus melalui peningkatan kapasitas di negara tersebut (WHO,
2018).
Sedangkan kasus DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya
pada tahun 1968 dengan jumlah kasus sebanyak 58 penduduk. Hingga pada
tahun 2009 terjadi peningkatan jumlah provinsi dan kota yang endemis DBD,
dari dua provinsi dan dua kota menjadi 32 provinsi dan 382 kota dengan
jumlah kasus 158.912 penduduk (Kemenkes RI dalam Divy dkk, 2018).
Indonesia tahun 2013 mencatat Angka Insiden (AI) sebesar 45,85 per 100.000
penduduk atau 112.511 kasus, dan tahun 2014 bulan Januari-April tercatat AI
sebesar 5,17 per 100.000 penduduk atau 13.031 kasus. Hingga tahun 2010,
Indonesia masih menduduki peringkat atas untuk jumlah kasus DBD di
ASEAN yaitu 150.000 kasus (WHO dalam Divy dkk, 2018).  Pada tahun
2015, tercatat terdapat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34 provinsi di
Indonesia, dan 1.229 orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah tersebut
lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 100.347
penderita DBD dan sebanyak 907 penderita meninggal dunia pada tahun 2014.
Hal ini disebabkan oleh perubahan iklim dan rendahnya kesadaran untuk
menjaga kebersihan lingkungan (Kemenkes RI, 2016). Kasus Demam
Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi di Indonesia dengan jumlah kasus
68.407 tahun 2017 mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2016
sebanyak 204.171 kasus. Sedangkan perbandingan kasus kematian pada tahun
2017 berjumlah 493 kasus jika dibandingkan tahun 2016 berjumlah 1.598
kasus, kasus ini mengalami penurunan hampir 3 kali lipat. Fakta menarik
lainnya, provinsi dengan jumlah kasus tertinggi terjadi di 3 (tiga) provinsi di
Pulau Jawa, masing-masing Jawa Barat dengan total kasus sebanyak 10.167
kasus, Jawa Timur sebesar 7.838 kasus dan Jawa Tengah 7.400 kasus. Data
tersebut tidak sebanding dengan jumlah kasus kematiannya karena kasus
kematian tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur sebanyak 105 kasus dan
diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah sebanyak 92 kasus. Sedangkan untuk
jumlah kasus terendah terjadi di Provinsi Maluku Utara dengan jumlah 37
kasus (Kemenkes RI, 2018).
Malaria adalah penyakit yang penyebarannya di dunia sangat luas yakni
antara garis bujur 600 di utara dan 600 di selatan. Yang meliputi lebih dari 100
negara yang beriklim tropis dan sub tropis. Penduduk yang beresiko terkena
malaria berjumlah sekitar 2,3 miliar atau 41% dari penduduk dunia. Setiap
tahun jumlah kasus malaria berjumlah 300-500 juta dan mengakibatkan 1,5
s/d 2,7 juta kematiaan, terutama di Afrika Sub-Sahara. Namun wilayah WHO
di Asia Tenggara, Mediteranian Timur, Pasifik Barat dan Amerika beresiko
(WHO, 2019).
Penyakit malaria hingga kini masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat dunia yang utama. Malaria menyebar di berbagai
negara, terutama di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Di berbagai
negara, malaria bukan hanya permasalahan kesehatan semata. Malaria telah
menjadi masalah sosial-ekonomi, seperti kerugian ekonomi, kemiskinan, dan
keterbelakangan (Panggabean, 2010).
Di indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan kesehatan
masyarakat. Angka kesakitan penyakit ini masih cukup tinggi terutama di
bagian indonesia bagian timur. Di daerah transmigrasi dimana terdapat
campuran penduduk yang berasal dari daerah endemis dan tidak endemis
malaria. Daerah dengan kasus malaria klinis tinggi dilaporkan dari Kawasan
Timur Indonesia antara lain Papua, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku
Utara, dan Sulawesi Tenggara.
Dalam menentukan morbiditas malaria pada suatu wilayah ditentukan
dengan Annual Parasite Incidence (API). API merupakan jumlah kasus positif
malaria per 1000 penduduk dalam satu tahun. Tren API secara nasional pada
tahun 2011-2015 mengalami penurunan. Hal ini menunjukan keberhasilan
program pengendalian malaria yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat,
daerah, masyarakat dan mitra terkait.
Jika dilihat secara provinsi pada tahun 2015, tampak bahwa wilayah timur
Indonesia masih memiliki angka API tertinggi. Sedangkan DKI Jakarta dan
Bali memiliki angka API nol dan sudah masuk dalam kategori provinsi bebas
malaria.
Chikungunya adalah penyakit mirip demam dengue yang disebabkan oleh
virus chikungunya dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
africanus. Untuk pertama kalinya, virus chikungunya berhasil diidentifikasi di
Afrika Timur pada tahun 1952. Dalam bahasa Swahili istilah chikungunya
berarti kejang urat, berubah bentuk, atau bungkuk.  Suku Swahili adalah suku
yang bermukim di Negara Tanganyika (sekarang Tanzania) di daerah dataran
tinggi Makonde, provinsi Newala. Istilah lain dari penyakit ini adalah dengue,
dyenga, abu rokap, dan demam tiga hari. Istilah dengue pertama kali
digunakan di Kuba pada tahun 1928 karena kemiripan chikungunya dengan
DBD (Widoyono, 2011).
Chikungunya tersebar di daerah tropis dan subtropis yang berpenduduk
padat seperti Afrika, India dan Asia Tenggara. Di Afrika, virus ini dilaporkan
menyerang di Zimbabwe, Kongo, Angola, Kenya dan Uganda. Negara
selanjutnya yang terserang adalah Thailand pada tahun 1958; Kamboja,
Vietnam, Sri Lanka, dan India pada tahun 1964. Pada tahun 1973 chikungunya
dilaporkan menyerang di Philipina dan Indonesia.
Demam chikungunya biasanya tidak berakibat fatal. Akan tetapi, dalam
kurun waktu 2005-2006 telah terjadi 200 kematian yang dihubungkan dengan
demam chikungunya di Pulau Reunion dan KLB yang tersebar luas di India,
terutama Tamil dan Kerala. Ribuan kasus terdeteksi di berbagai daerah di
India dan di negara-negara yang bertetangga dengan Sri Lanka setelah hujan
lebat dan banjir pada Agustus 2006. Di selatan India (Negara bagian Kerala),
125 kematian dihubungkan dengan chikungunya. Pada Desember 2006,
dilaporkan terjadi 3500 kasus di Maladewa dan lebih dari 60.000 kasus di Sri
Lanka dengan kematian lebih dari 80 orang. Di Pakistan telah terjadi lebih
dari 12 kasus chikungunya pada Oktober 2006. Data terbaru Juni 2007 telah
mencatat terjadinya KLB yang menyerang sekitar 7000 penderita di Kerala,
India (Widoyono, 2011).
Peta ini menyoroti penyebaran genotipe virus chikungunya di  Afrika
Timur/ Tengah / Selatan (ECSA) dan Asia di wilayah baru pada 2005-2014.
Di Indonesia kejadian penyakit chikungunya dilaporkan pertama kali di
Samarinda tahun 1973. Kemudian di tahun 1980 terjadi di Kuala Tungkal dan
Jambi. Di tahun 1983 kasus menyebar di Martapura, Ternate, dan Yogyakarta,
di Yogyakarta persentase attack rate mencapai 70-90%. Laporan KLB
chikungunya di Indonesia yang Dikonfirmasi Secara laboratorium adalah KLB
tahun 1982 – 1985 dan KLB 2001-2002, setelah 20 tahun tenang tanpa
insidens, chikungunya tampak meledak lagi.
Pada awal tahun 2001 KLB chikungunya terjadi di Muara Enim, Sumatra
Selatan dan Aceh, Disusul Aceh pada bulan Oktober. Chikungunya berjangkit
lagi di Bekasi, Purworejo dan Klaten Jawa tengah tahun 2002. Di tahun 1973
selain kasus pertama di Samarinda juga ada kasus di Jakarta. Sejak Januari
hingga Februari 2003, kasus chikungunya dilaporkan menyerang Bolaang
Mongondow, Sulut (608 Orang), Jember (154 orang), dan Bandung (208
orang). Jumlah kasus chikungunya yang terjadi sepanjang tahun 2001-2003
mencapai 3.918 kasus tanpa kematian (Laras, 2005).
Pada tahun 2008 terjadi kejadian KLB chikungunya di Jawa Tengah, yang
ditemukan di 98 desa/ kelurahan dengan angka serangan kasus (attack rate)
1,46% dan Angka Kematian Kasus 0,18%. Angka kejadian ini meningkat jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2007), ditemukan kasus KLB
chikungunya di 85 desa/ kelurahan dengan angka serangan (attack rate) 0,86%
dan Angka Kematian Kasus nol persen. Selain itu, terdapat 17 kabupaten di
Jawa Tengah yang menjadi endemis chikungunya yakni Kota Semarang,
Kabupaten Semarang, Grobogan, Kudus Pekalongan, Kota Pekalongan,
Banyumas, Banjar Negara, Purbalingga, Purworejo, Kebumen, Sukoharjo,
Boyolali, Karanganyar, Sragen dan Wonogiri (Pratama, 2017).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan vector borne disease?
2. Penyakit apa saja yang di tularkan melalui vector?
3. Apa yang dimaksud demam berdarah (DBD)?
4. Apa yang dimaksud dengan Malaria?
5. Apa yang dimaksud dengan Chikungunya?
C. Tujuan
1. Mengetahui penyakit menular yang ditularkan melalui vector borne
disease
2. Mengetahui penyakit apa saja yang ditularkan melalui vektor
3. Mengetahui tentang demam berdarah (DBD)
4. Mengetahui tentang penyakit Malaria
5. Mengetahui tentang penyakit Chikungunya
BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi vector borne disease


Vektor Borne Disease merupakan penyakit yang ditularkan melalui vektor
penyakit yang sebagian atau seluruhnya perindukan hidupnya tergantung pada air
misalnya Malaria, Demam berdarah, Chikungunya, dan sebagainya. Indonesia
sendiri dengan adanya anomali cuaca ini penyebaran penyakit menular melalui
water related insect vectormechanism atau sejenis penyakit yang ditularkan oleh
gigitan serangga yang berkembang biak didalam air seperti penyakit DBD,
malaria dan chikungunya.

B. Penyakit Yang Ditularkan Melalui Vector (Vector Borne Disease)


1. Demam Berdarah (DBD)
a. Etiologi Demam Berdarah (DBD)

Demam berdarah adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
Dengue yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari
genus Aedes, seperti Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Aedes aegypti adalah
vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang paling banyak
ditemukan. Nyamuk dapat membawa virus dengue setelah menghisap darah
orang yang telah terinfeksi virus tersebut. Sesudah masa inkubasi virus di
dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari, nyamuk yang terinfeksi dapat
mentransmisikan virus dengue tersebut ke manusia sehat yang digigitannya
(Najmah, 2016).

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang


disebabkan oleh virus Dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus
Flavivirus, dan famili Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk
dari genus Aedes, terutama Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit
DBD dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok
umur. Penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku
masyarakat (Kemenkes RI, 2016).

b. Pathogenesis demam berdarah

Infeksi virus terjadi melalui nyamuk, virus memasuki aliran darah manusia
untuk kemudian bereplikasi (memperbanyak diri). Sebagai perlawanan, tubuh
akan membentuk antibodi, selanjutnya akan terbentuk kompleks virus-antibodi
dengan virus yang berfungsi sebagai antigennya.

Kompleks antigen antibiotic tersebut, akan melepaskan zat-zat yang


membentuk sel-sel pembuluh darah, yang disebut dengan proses autoimun,
proses tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat yang salah
satunya ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler. Hal
tersebut akan mengakibatkan bocornya sel-sel darah, antara lain trombosit, dan
eritrosit. Akibatnya, tubuh mengalami perdarahan mulai dari bercak sampai
perdarahan hebat pada kulit, saluran pencernaan (muntah darah, berak darah),
saluran pernapasan (mimisan, batuk darah), dan organ vital (jantung, hati, ginjal)
yang sering mengkibatkan kematian.

c. Penularan DBD
1. Jenis vector
Vektor penularan penyakit DBD adalah nyamuk Aedes. Di Indonesia

dikenal dua jenis nyamuk Aedesyaitu Aedes aegyptidan Aedes albopictus.


2. Morfologi
Nyamuk Aedes aegyptidikenal aktif menggigit, terutama pada pagi atau
sore hari, dalam beberapa menit bisa terjadi gigitan kepada beberapa orang
sehingga nyamuk ini tergolong mempunyai daya tular yang sangat aktif.
ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut (:
a) Badan kecil, nyamuk Aedes aegyptidewasa berukuran lebih kecil bila
dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain, warna hitam dengan bintik-
bintik putih dibadan, kaki, dan sayapnya.
b) Hidup di dalam dan sekitar rumah, dengan jarak terbang 50-100 mil
c) Menggigit dan menghisap darah terutama pada siang hari.4)
d) Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dan di tempat yang
gelap.
e) Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar
rumah.
3. Siklus hidup
Siklus HidupAedes aegypti mengalami metamorfosis yang sempurna
melalui empat stadium, yaitu telur, larva , pupa, dan dewasa. Tiga stadium
mulai dari telur, larva atau jentik, dan pupa dalam air, sedangkan nyamuk
dewasa adalah serangga terbang yang aktif mencari darah (Bismi Rahma
Putri, 2009).

Penyakit DBD dapat menyerang semua orang dan dapat


mengakibatkan kematian terutama pada anak, serta sering menimbulkan
kejadian luar biasa atau wabah. Penyakit ini ditularkan orang yang dalam
darahnya terdapat virus dengue. Orang ini bisa menunjukkan gejala sakit,
tetapi bisa juga tidak sakit, yaitu jika mempunyai kekebalan yang cukup
terhadap virus dengue. Jika orang digigit nyamuk Aedes aegypti maka
virus dengue masuk bersama darah yang diisapnya. Di dalam tubuh
nyamuk itu, virus dengue akan berkembang biak dengan cara membelah
diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus
itu berada dalam kelenjar liur nyamuk. Dalam tempo 1 minggu jumlahnya
dapat mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu sehingga siap untuk
ditularkan/dipindahkan kepada orang lain. Selanjutnya pada waktu
nyamuk itu menggigit orang lain, maka alat tusuk nyamuk (probosis)
menemukan kapiler darah, sebelum darah itu diisap, terlebih dulu
dikeluarkan air liur dari kelenjar liurnya agar darah yang diisap tidak
membeku. Bersama dengan liur nyamuk inilah, virus dengue dipindahkan
kepada orang lain. Tidak semua orang yang digigit nyamuk Aedes aegypti
yang membawa virus dengue itu, akan terserang penyakit demam
berdarah. Orang yang mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus
dengue, tidak akan terserang penyakit ini, meskipun dalam darahnya
terdapat virus itu. Sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai
kekebalan yang cukup terhadap virus dengue, dia akan sakit demam ringan
atau bahkan sakit berat, yaitu demam tinggi disertai perdarahan bahkan
syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya
(Tjokronegoro, 1999).

d. Faktor penyebab DBD atau demam berdarah


Ada beberapa alasan kenapa negara beriklim tropis seperti Indonesia menjadi
lokasi rawan wabah DBD. Baik dari letak geografis negaranya sendiri, dan
kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dilakukan penduduknya, yaitu:
1. Musim hujan yang lama
Selama musim hujan umumnya kasus demam berdarah meningkat
karena banyaknya genangan air. Genangan air hujan atau bahkan sisa
arus banjir adalah sarana paling ideal bagi nyamuk Aedes untuk bertelur.
Nyamuk akan lebih mudah dan cepat berkembang biak di lingkungan
yang lembap. Begitu pula selama musim pancaroba (peralihan musim
dari kemarau ke hujan, atau sebaliknya). Di musim pancaroba, kadang
suhu lingkungan juga akan terasa lebih lembap. Ini membuat masa
inkubasi virus dalam tubuh nyamuk berlangsung lebih cepat. Artinya
nyamuk akan punya lebih banyak peluang untuk menginfeksi banyak
orang sekaligus dalam waktu singkat.
2. Daya tahan tubuh yang buruk
Virus dengue sebenarnya bisa langsung dilawan dan dimatikan oleh
sistem imun tubuh sebelum memunculkan gejala.Namun apabila daya
tahan tubuh sedang lemah, terutama di musim pancaroba, Anda akan
lebih berpeluang terinfeksi virus dengue penyebab DBD.
3. Buang sampah sembarangan
Nyamuk penyebab DBD cenderung berkembang biak di tempat yang
gelap, kotor, dan lembap. Misalnya di tumpukan sampah yang terdapat
sampah kaleng, ember, atau botol yang terisi genangan air.Sampah yang
dibuang sembarangan akan mudah terisi genangan air hujan dan
dijadikan tempat nyamuk bertelur.
4. Jarang menguras bak mandi
Bak mandi yang tidak sering dikuras dan dibersihkan juga bisa menjadi
sarang nyamuk penyebab demam berdarah.
5. Gemar menumpuk baju kotor di rumah
Baju kotor memang bukan penyebab langsung demam berdarah, tapi
kondisinya yang terus lembap menarik perhatian nyamuk. Belum lagi
nyamuk masih dapat mencium sisa-sia aroma tubuh manusia yang
menempel di baju-baju itu.
6. Sering keluar rumah malam-malam
Nyamuk penyebab demam berdarah aktif mencari mangsa dan
menggigit manusia di malam hari. Jika Anda berencana keluar di malam
hari, kenakan pakaian yang menutup seperti jaket, baju lengan panjang,
celana panjang, sepatu, dan kaos kaki.
7. Pergi ke daerah yang banyak kasus demam berdarah
Indonesia adalah negara endemik DBD. Namun, ada beberapa daerah
atau yang berpotensi rawan kasus DBD.

e. Gejala dan tanda

Pada kasus DBD terjadi demam tinggi berlangsung selama 3 hingga 14


hari. Gejala lain dari demam berdarah adalah: Nyeri retro-orbital (pada bagian
belakang mata), sakit kepala pada bagian depan, nyeri otot, Rash (bintik
merah pada kulit), sel darah putih rendah, pendarahan, dan dehidrasi
(Kesehatan dan Layanan dalam Jaweria, 2016). Dalam sebagian besar kasus,
infeksi dengue tidak menunjukkan gejala, terlebih pada pasien yang
sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit. Jika pasien tidak mendapatkan
perawatan tepat waktu maka penyakit dapat bertambah parah. Tanda-tanda
yang muncul pada kondisi ini meliputi: muntah yang persisten, sakit perut
akut, perubahan suhu tubuh, dan iritabilitas (Hyattsville dalam Jaweria,
2016). Demam berdarah dengue dapat berubah menjadi dengue shock
syndrome (DSS) dengan gejala seperti: kulit yang dingin, gelisah, denyut nadi
cepat, sempit dan lemah (Jaweria, 2016).

Menurut Widoyono (2011), tanda dan gejala DBD meliputi:


1. Demam selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas
2. Manifestasi perdarahan dengan tes Rumpel Leede (+), mulai dari petekie
(+) sampai perdarahan spontan seperti mimisan, muntah darah, atau
buang air besar darah-hitam
3. Hasil pemeriksaan trombosit menurun (normal: 150.000-300.000 µL),
hematokrit meningkat (normal: pria < 45, wanita < 40)
4. Akral dingin, gelisah, tidak sadar (DSS, dengue shock syndrome).
Menurut WHO (1997), berdasarkan tingkat beratnya penyakit, gejala DBD
terbagi atas 4 derajat:

a. Derajat I (ringan), yaitu bila demam disertai dengan gejala


konstitusional non spesifik, satu-satunya manifestasi pendarahan adalah
tes tourniket positif dan mudah memar.
b. Derajat II (sedang), yaitu bila pendarahan spontan selain manifestasi
pasien pada Derajat I, biasanya pada bentuk pendarahan kulit atau
pendarahan lain.c.
c. Derajat III (berat), yaitu bila gagal sirkulasi dimanifestasikan dengan
nadi cepat dan lemah serta penyempitan tekanan nadi atau hipotensi,
dengan adanya kulit dingin lembab serta gelisah.d.
d. Derajat IV (berat sekali), yaitu bila shock hebat dengan tekanan darah
atau nadi tidak terdeteksi.

f. Riwayat Alamiah Penyakit


1. Tahap Prepatogenesis

Pada tahap ini terjadi interaksi antara pejamu (Host) dan agen nyamuk
Aedes aegypti yang telah terinfeksi oleh virus dengue. Jika imunitas pejamu
sedang lemah, seperti mengalami kurang gizi dan keadaan lingkungan yang
tidak menguntungkan maka virus dengue yang telah menginfeksi nyamuk
Aedes aegypti akan melanjutkan riwayat alamiahnya yakni ke tahap
Patogenesis (Najmah, 2016).

2. Tahap Patogenesis

Masa inkubasi virus dengue berkisar selama 4-10 hari (biasanya 4-7 hari),
nyamuk yang terinfeksi mampu menularkan virus selama sisa hidupnya.
Manusia yang terinfeksi adalah pembawa utama dan pengganda virus,
melayani sebagai sumber virus nyamuk yang tidak terinfeksi. Pasien yang
sudah terinfeksi dengan virus dengue dapat menularkan infeksi (selama 4-5
hari, maksimum 12 hari) melalui nyamuk Aedes setelah gejala pertama
mereka muncul (Najmah, 2016).

Klasifikasi WHO tradisional pada tahun 1997 diklarifikasikan sebagai


berikut :
1) Demam berdarah dengue adalah demam yang berlangsung dari 2-7 hari,
bukti hemoragik manifestasi atau tes tourniquet positif, trombositopenia
(<100,000 sel per mm3), bukti kebocoran plasma yang ditunjukkan oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hemotokrit >20% di atas rata-rata untuk usia
atau penurunan hematokrit >20% dari awal mengikuti terapi pengganti
cairan), atau efusi pleura, asites atau hypoproteinemia.
2) Sindrom Dengue Lanjut pada tahap shock (Dengue Shock Sindrome
(DSS)) adalah penderita DHF yang lebih berat ditambah dengan adanya
tanda-tanda renjatan: denyut nadi lebih lemah dan cepat, tekanan nadi
lemah (< 20 mmHg), hipotensi dibandingkan nilai normal pada usia
tersebut, gelisah, kulit berkeringat dan dingin.
3. Tahap Pasca Patogenesis

Apabila pengobatan berhasil, maka penderita akan sembuh sempurna tetapi


apabila penyakit tidak ditangani dengan segera atau pengobatan yang
dilakukan tidak berhasil maka akan mengakibatkan kematian.

g. Diagnosis

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO


tahun 1997 teridir dari kriteria klinis dan laboratorium

1. Kriteria klinis
a) Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus-
menerus selama 2-7 hari
b) Terdapat manifestasi perdarahan,
c) Pembesaran hati (hepatomegali)
d) Syok (renjatan),
2. Kriteria laboratorium
a) Trombositopenia (< 100.000/mm3),
b) Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20 % atau
lebih menurut standar umum dan jenis kelamin.

Seorang pasien dinyatakan menderita penyakit DBD bila terdapat minimal 2


gejala klinis yang positif dan 1 hasil laboratorium yang positif. Bila gejala
dan tanda tersebut kurang dari ketentuan diatas maka pasien dinyatakan
demam dengue.

h. Pencegahan
1. Pencegahan Primordial

Saat ini, cara untuk mengendalikan atau mencegah penularan virus demam
berdarah adalah dengan memberikan penyuluhan yang sangat penting untuk
menginformasikan kepada masyarakat mengenai bahaya nya DBD. Menurut
Kemenkes RI (2018), di Indonesia dikenal dengan istilah 3M Plus dalam
pencegahan primer DBD yaitu :

a. Menguras, tempat penampungan air dan membersihkan secara berkala,


minimal seminggu sekali karena proses pematangan telur nyamuk Aedes
3-4 hari dan menjadi larva di hari ke 5-7. Seperti, di bak mandi dan
kolam supaya mengurangi perkembangbiakan nyamuk.
b. Menutup, Tempat-tempat penampungan air. Jika setelah melakukan
aktivitas yang berhubungan dengan tempat air sebaiknya anda
menutupnya supaya nyamuk tidak bisa meletakkan telurnya kedalam
tempat penampungan air. Sebab nyamuk demam berdarah sangat
menyukai air yang bening.
c. Mengubur, kuburlah barang-barang yang sudah tidak layak dipakai
yang dapat memungkinkan terjadinya genangan air.
2. Pencegahan Primer

Beberapa bentuk pencegahan primer yaitu dengan pengendalian vektor dan


implementasi vaksin. Saat ini vaksin dengue sudah ditemukan, akan tetapi
belum ditetapkan sebagai imunisasi dasar lengkap oleh pemerintah sehingga
harganya masih belum terjangkau oleh masyarakat umum (Susanto dkk, 2018).

3. Pencegahan Sekunder

Untuk demam berdarah yang parah, dilakukan pengobatan medik oleh


dokter atau perawat yang berpengalaman, pengobatan medik dapat
menurunkan angka kematian lebih dari 20% sampai 1%. Menjaga volume
cairan tubuh pasien adalah hal yang sangat kritikal untuk pasien dengan
demam berdarah yang aparah. Diperlukan pengawasan penderita, kontak dan
lingkungan sekitar dengan melaporkan kejadian kepada instansi kesehatan
setempat, mengisolasi atau waspada dengan menghindari penderita demam dari
gigitan nyamuk pada siang hari dengan memasang kasa pada ruang perawatan
penderita dengan menggunakan kelambu yang telah direndam dalam
insektisida, atau lakukan penyemprotan tempat pemukiman dengan insektisida
yang punya efek knock down terhadap nyamuk dewasa ataupun dengan
insektisida yang meninggalkan residu. Lakukan investigasi terhadap kontak
dan sumber infeksi : selidiki tempat tinggal penderita 2 minggu sebelum sakit.

4. Pencegahan Tersier

Untuk penderita DBD yang telah sembuh, diharapkan menerapkan


pencegahan primer dengan sempurna. Melakukan stratifikasi daerah rawan
wabah DBD diperlukan bagi dinas kesehatan terkait.

i. Pengobatan

Demam berdarah biasanya merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan


sendirinya. Tidak ada pengobatan antivirus khusus saat ini tersedia untuk demam
berdarah. Perawatan pendukung dengan cukup memberikan analgesik,
penggantian cairan, dan istirahat yang cukup. Saat ini belum ditemukan obat
yang benar-benar bermanfaat untuk mengobati demam berdarah dan
hubungannya maupun komplikasi. Namun, Acetaminophen dapat digunakan
untuk mengobati demam dan meringankan gejala lainnya. Aspirin, obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan kortikosteroid seharusnya dihindari.
Penatalaksanaan demam berdarah yang parah membutuhkan perhatian pada
pengaturan cairan dan perawatan pendarahan. Metilprednisolon dosis tunggal
menunjukkan tidak ada manfaat mortalitas dalam pengobatan syok dengue
sindrom pada calon, acak, double-blind, uji coba terkontrol placebo (Pooja dkk,
2014).

j. Penanganan DBD
Penanganan DBD menurut Depkes RI (2004) ada 2 macam, yaitu:
1. Penanganan Simtomatis : mengatasi keadaan sesuai keluhan dan gejala klinis
pasien. Pada fase demam pasien dianjurkan untuk : tirah baring, selama
masih demam, minum obat antipiretika (penurun demam) atau kompres
hangat apabila diperlukan, diberikan cairan dan elektrolit per oral, jus buah,
sirop, susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2
(dua) hari.
2. Pengobatan Suportif: mengatasi kehilangan cairan plasma dan kekurangan
cairan. Pada saat suhu turun bisa saja merupakan tanda penyembuhan,
namun semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat
terjadi selama 2 hari, setelah suhu turun. Karena pada kasus DBD bisa jadi
hal ini merupakan tanda awal kegagalan sirkulasi (syok), sehingga tetap
perlu dimonitor suhu badan, jumlah trombosit dan kadar hematokrit, selama
perawatan. Penggantian volume plasma yang hilang, harus diberikan dengan
bijaksana, apabila terus muntah, demam tinggi, kondisi dehidrasi dan curiga
terjadi syok (presyok). Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat
dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% didalam
larutan NaCL 0,45%. Jenis cairan sesuai rekomendasi WHO, yakni: larutan
Ringer Laktat (RL), ringer asetat (RA), garam faali (GF), (golongan
Kristaloid), dekstran 40, plasma, albumin (golongan Koloid).
g. Pemberantasan DBD
a. Pemberantasan jentik
1. Program pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
2. Abatesasi
3. Menggunakan ikan (ikan kepala timah, cupang, sepat)
b. Pencegahan gigitan nyamuk
1. Menggunakan kelambu
2. Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles)
3. Tidak melakukan kebiasaan berisiko (tidur siang, menggantung baju)
4. Penyemprotan

h. Epidemiologi DBD
Demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis.
Data dari seluruh dunia menunjukan Asia menempati urutan pertama dalam
jumlah penderita demam berdarah dengue setiap tahunnya. Sementara itu,
terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2007, World Health Organization
(WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus demam
berdarah dengue tertinggi di Asia Tenggara. Di Indonesia demam berdarah
pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun1968, dimana sebanyak 58
orang terinfeksi dan 24 orang di antaranya meninggal dunia (Angka
Kematian/AK= 41,3%). Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh
Indonesia. Dan data terbaru didapatkan dari Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) mencatat sejak Januari 2020 hingga hari Maret terdapat 17.820
kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.
Tiga provinsi tertinggi dalam kasus DBD ini berada di Lampung, Nusa Tenggara
Timur (NTT), dan Jawa Timur (Jatim). Rinciannya, Lampung sebanyak 3.431
kasus, NTT 2.732 kasus, dan Jatim 1.761 kasus.
2. Penyakit Malaria
a. Etiologi Malaria
Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit dari genus 
Plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui perantaraan tusukan
(gigitan) nyamuk Anopheles spp. Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki endemisitas tinggi (Oswari, 2003).
Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk kedalam
Plasmodium. Ada empat Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia yaitu
Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, Plasmodium vivax, dan
Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum ditemukan terutama di daerah tropis
dengan resiko kematian yang lebih besar bagi orang dengan kadar imunitas
rendah. Species yang paling berbahaya adalah Plasmodium falciparum yang
menyebabkan malaria falsiparum atau malaria tropika karena malaria ini
menimbulkan penyerangan eritrosit dalam jumlah besar dalam waktu yang
singkat, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di dalam organ-organ tubuh
(Harijanto, 2000).

b. Penularan Penyakit Malaria


Penularan secara alamiah, melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Pada
waktu Anopheles infektif menghisap darah manusia, sporozoit yang berada dalam
kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama ± 30 menit,
Setelah itu masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian menjadi
Skizon hati yang terdiri dari 10000-30000 merozoit hati. Pada Plasmodium vivax
dan Plasmodium ovale terjadi masa dormansi atau hipnozoit yang tinggal dalam
sel selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dan akan menimbulkan relaps
(kambuh)  (Depkes RI, 2006).
Pada nyamuk Anopheles betina yaitu menghisap darah yang mengandung
gametosit di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan gamet betina melakukan
pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet dalam dinding
lambung nyamuk ookinet menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sprozoit yang
nantinya bersifat infekstif dan siap di tularkan ke manusia (Harijanto, 2000).
Penularan bukan alamiah, dapat dapat dibagi menurut cara penularannya,
ialah :
1. Malaria bawaaan, disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga
tidak ada penghalang infeksi dari ibu ke bayi yang dikandungnya. Selain
melalui plasenta penularan dari ibu ke bayi melalui tali pusar.
2. Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik.
Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius
yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi malaria melalui
transfusi hanya menghasikan siklus eritrosit karena tidak melalui sporozoit
yang memerlukan siklus hati sehingga diobati dengan mudah.
3. Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam (Plasmodium
gallinasium), burung dara (Plasmodium relection), dan moyet (Plasmodium
knowlesi).
Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain
yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis (Rampengan,
2007).
c. Penyebab dan faktor risiko malaria
Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang disebarkan oleh gigitan
nyamuk Anopheles betina. Setelah gigitan nyamuk tersebut, parasit masuk ke
dalam tubuh dan menempati organ hati, di mana parasit dapat tumbuh dan
berkembang biak.
Saat parasit tersebut tumbuh dan menjadi dewasa, parasit pergi dari organ
hati dan merusak sel darah merah. Kerusakan pada sel darah merah inilah
yang menimbulkan gejala anemia pada penderita.
Di samping melalui gigitan nyamuk, penyebaran parasit malaria juga dapat
terjadi karena terpapar darah penderita malaria. Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan seseorang terpapar malaria adalah:
1) Janin yang terinfeksi dari ibunya
2) Menerima transfusi darah
3) Berbagi pemakaian jarum suntik
4) Menerima donor organ
Keparahan gejala malaria yang timbul berbeda-beda setiap orang. Penduduk
yang tinggal di daerah yang banyak kasus malaria memiliki separuh kekebalan
terhadap penyakit ini, sehingga gejala yang timbul tidak akan terlalu parah.
Namun, separuh kekebalan tersebut bisa hilang begitu seseorang pindah ke
daerah di mana malaria tidak sering terjadi. Orang yang tidak memiliki
separuh kekebalan dapat mengalami gejala malaria yang lebih parah.

d. Perjalanan Alamiah Penyakit Malaria


Penularan ini terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang
infektif, nyamuk menggigit orang sakit malaria maka parasit akan ikut terhisap
bersama darah penderita malaria. Di dalam tubuh nyamuk parasit akan
berkembang dan bertambah banyak, kemudian nyamuk menggigit orang sehat,
maka melalui gigitan tersebut parasit ditularkan ke orang lain (Prabowo, 2004).
Berdasarkan riwayat alamiah penyakit malaria dibagi menjadi lima
kategori, yaitu :
1. Tahap prepatogenesis: manusia masih dalam keadaan sehat namun pada saat ini
pula manusia telah terpajan dan beresiko terhadap penyakit malaria yang ada di
sekelilingnya. Adapun penyebabnya karena telah terjadi interaksi dengan bibit
penyakit malaria, bibit penyakit malaria belum masuk ke manusia, manusia masih
dalam keadaan sehat atau belum ada tanda penyakit malaria, dan belum terdeteksi
baik secara klinis maupun laboratorium.
2. Tahap inkubasi: tahap ini bibit penyakit malaria telah masuk ke manusia, namun
gejala belum nampak. Jika daya tahan pejamu tidak kuat, akan terjadi gangguan
pada bentuk dan fungsi tubuh.
3. Tahap penyakit dini: tahap ini mulai timbul gejala penyakit malaria sifatnya masih
ringan, dan umumnya masih dapat beraktivitas.
4. Tahap penyakit lanjut: tahap ini penyakit malaria makin tambah hebat, penderita
tidak dapat beraktivitas sehingga memerlukan perawatan.
5. Tahap penyakit akut malaria: tahap akhir perjalanan penyakit ini, manusia berada
dalam lima keadaan yaitu sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, karier, kronis,
atau meninggal dunia (Rajab, 2009).
e. Gejala dan tanda penyakit malaria
Secara umum seseorang yang mengalami penyakit malaria akan
merasakan gejala penyakit seperti demam, pening, lemas, pucat ( karena kurang
darah) , myeri otot, chest pain, menggigil, suhu bisa mencapai 40⁰C terutama
pada infeksi Plasmodium falciparum. Pada infeksi P. Falciparum bahkan sering
kali mengalami koma, mual, muntah. Komplikasi yang sering terjadi
adalah”spenomegali” pembesaran limpa, hipoglikemia serta kegagalan ginjal
(Achmadi, 2008).
Gejala khas malaria adalah adanya siklus menggigil, demam dan
berkeringat yang terjadi berulang-ulang. Pengulangan bisa berlangsung tiap hari
sekali, dua hari sekali, maupun tiga hari sekali tergantung jenis malaria yang
menginfeksi. Gejala lain warna kuning pada kulit akibat rusaknya sel darah merah
dan sel hati (PUSDATIN, 2014).  Siklus demam terjadi seiring terbentuknya
skizogeni eritrositik pada masing-masing spesies Plasmodium. Pada malaria
tertiana, baik maligna maupun benigna, demam berlangsung setiap hari ke-3
(siklus 48 jam) dan pada malaria malariae, demam terjadi setiap hari ke-4 (siklus
72 jam) (Sorontou,2013).
f. Diagnosis penyakit malaria
Diagnosis dari keempat jenis parasit Plasmodium yaitu dilakukan dengan
menemukan parasit dalam sediaan darah yang dipulas dengam Giemsa (Sorontou,
2013).
g. Pencegahan penyakit malaria
Pengendalian vektor adalah cara utama untuk pencegahan/ mengurangi
penularan malaria di tingkat masyarakat. Cara ini dapat mengurangi penularan
malaria dari tingkat yang sangat tinggi untuk menutup ke nol.
Pengendalian vektor yang efektif dalam berbagai situasi, yakni :
1. Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, mencegah perkembangbiakan
nyamuk dengan melakukan 3 M Plus.
2. Kelambu yang mengandung zat insektisida
Merupakan metode pencegahan yang efektif pada malam hari untuk
menghindari gigitan nyamuk Anopheles saat tidur.
3. Penyemprotan ruangan dengan insektisida residual
4. Obat antimalaria
Dapat digunakan untuk mencegah malaria. Umumnya digunakan bagi
wisatawan  yang akan berkunjung pada daerah endemis malaria, ibu hamil dan
anak-anak di daerah trasmisi tinggi malaria.
5. Pemberantasan vektor secara terpadu
a. Keberadaan akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan
diagnosa dan pengobatan dini dengan mudah
b. Melakukan kerjasama lintas sektoral untuk menagwasi pola pergerakan dan
migrasi penduduk.
c. Melakukan penyukuhan kesehatan masyarakat secara menyeluruh dan
intensif dengan sasaran penduduk yang mempunyai resiko tinggi
d. Melakukan diagnosa dan pengobatan dini terhadap penderita malaria akut
maupun kronis
e. Memastikan pendonor darah bebas dari malaria (Najmah, 2016).

h. Pengobatan penyakit malaria


Kasus yang telah dinyatakan positif malaria berdasarkan hasil
laboratorium harus mendapatkan pengobatan Artemisinin-Based Combination
Therapy (ACT). ACT merupakan obat program pengganti malaria yang telah
mengalami resitensi dan pengobatan yang paling efektif dibandingkan dengan
klorokuin, karena plasmodium terbukti telah resisten terhadap klorokuin.
Penderita malaria yang dinyatakan positif dan tanpa komplikasi juga harus
menjalani pengobatan dengan ACT dan ditambah dengan primakuin sesuai
dengan jenis Plasmodiumnya (PUSDATIN, 2016).
i. Pemberantasan malaria
Pemberantasan malaria bertujuan untuk mencegah kematian akibat
malaria, terutama jika terjadi KLB, menurunkan angka kematian, menurunkan
angka kesakitan (insidensi dan prevalensi), meminimalkan kerugian sosial dan
ekonomi akibat malaria.
Pemberantasan malaria haruslah rasional, harus berbasis pada epidemiologinya;
sarannya: manusia / penduduk, parasit malaria, vektor dan lingkungannya.
Program pemberantasan malaria dilaksanakan dengan sasaran:
1. Kasus atau penderita yang diagnostik terbukti positif gejala klinis dan
parasitnya dalam darah à diberi pengobatan dan perawatan menurut SOP
atau protokol bakunya di puskesmas atau rumah sakit;
2. Penduduk daerah endemik à diberikan penyuluhan kesehatan dan dibagikan
kelambu berinsektisida.
3. Nyamuk vektornya dengan pengendalian vektor cara kimia, hayati atau
manajemen lingkungan, atau secara terpadu.
4. Lingkungan dengan memodifiksi atau memanipulasi lingkungan supaya
tidak cocok lagi jadi habitat vector, vektor pindah tempat atau berkurang
kepadatannya secara nyata.

f. Epidemiologi malaria
Tahun 2017 jumlah kasus malaria sebanyak 261.000 kasus per tahun. Data
terakhir tahun 2018, kita turun menjadi 220.000 kasus. Dalam hal ini
ketercapaian eliminiasi malaria sudah 44 persen turunnya," papar Direktur
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian
Kesehatan Siti Nadia Tarmizi dalam siaran langsung di Siaran Radio Kesehatan
Kementerian Kesehatan.
Dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia, sebanyak 285 kabupaten/kota
diantaranya sudah berstatus eliminasi malaria. Sertifikat bebas malaria di
kabupaten/kota pun diserahkan kepada kepala pemerintah daerah setempat.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek turut memberikan sertifikat tersebut.
Jumlah penurunan kasus malaria di Indonesia termasuk salah satu contoh
perkembangan kondisi kesehatan di Asia Tenggara. Secara global, kasus malaria
menurun.
Laporan World Malaria Report 2018 sudah terjadi penurunan insiden malaria di
dunia sebanyak 8 persen dari tahun 2010 sampai 2017. Sebanyak 239 juta kasus
malaria pada tahun 2010. Sementara itu, tahun 2017 turun menjadi 219 kasus
malaria di dunia. Data diambil dari 91 negara.
3.Chikungunya
a. Etiologi Chikungunya
Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya y
ang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk. Nama penyakit berasal
dari bahasa Swahili yang berarti “yang berubah bentuk atau bungkuk”,
mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi yang
hebat. Chikungunya tergolong arthropod-borne disease, yaitu penyakit yang
disebarkan oleh arthropoda khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Nyamuk ini memiliki kebiasaan menggigit pada siang hari,
sehingga kejadian penyakit ini lebih banyak terjadi pada wanita dan anak-anak
dengan alasan mereka lebih banyak berada di rumah siang hari (Ramadhani,
dkk, 2017).
Virus Chikungunya yang merupakan virus RNA yang mempunyai
selubung termasuk grup A dari Arbovirus, Alphavirus dari family
Togaviridae, dan dengan mikroskop electron menunjukkan gambaran virion
yang sferis yang kasar atau berbentuk polygonal dengan diameter 40-45 nm
(nanometer) dengan inti berdiameter 25-30 nm (Soedarto, 2003).

b. Penularan Chikungunya
Transmisi virus berlangsung melalui gigitan nyamuk betina yang terinfeksi
oleh virus Arbo. Nyamuk yang terinfeksi oleh virus Arbo dapat
mentransmisikan virus sepanjang nyamuk tersebut tetap terinfeksi. Mulai dari
midgut ke kelenjar liur, berbagai organ nyamuk dan sel telah terbukti
terinfeksi virus Arbo seperti trakea, otot, kardia serta kepala dan nyamuk
betina yang terinfeksi juga dapat menyalurkan virus kepada generasi
berikutnya melalui transovarian. Nyamuk anautogenous betina perlu makan
darah dari induk semang vertebrata untuk proses produksinya. Oleh karena itu,
nyamuk betina jenis ini dapat bertindak sebagai vektor. Induk semang yang
terinfeksi virus Arbo seperti virus Dengue maupun Chikungunya selanjutnya
menjadi sumber virus bagi nyamuk lain ketika menghisap darah induk semang
tersebut. Transmisi didahului oleh replikasi biologis virus di dalam tubuh
vektor arthropoda (Ekawasti dan Martindah, 2018).
Virus yang masuk ke tubuh induk semang melalui gigitan nyamuk
selanjutnya beredar dalam sirkulasi darah sampai timbul gejala seperti demam.
Periode di mana virus beredar dalam sirkulasi darah induk semang disebut
sebagai periode viremia. Apabila nyamuk yang belum terinfeksi menghisap
darah induk semang dalam fase viremia, maka virus akan masuk ke dalam
tubuh nyamuk dan berkembang selama 8-10 hari sebelum virus Arbo siap
ditularkan kepada induk semang lain. Virus di dalam darah selama fase
viremia akan diperbanyak pada jaringan vektor arthropoda potensial dengan
meningkatkan titer virus dalam kelenjar air liur, kemudian menggigit induk
semang dengan memindahkan virus melalui air liur.
Rentang waktu yang di perlukan untuk inkubasi ekstrinsik tergantung pada
kondisi lingkungan terutama temperatur sekitar. Virus dalam darah yang
diisap juga masuk dalam lambung nyamuk. Selanjutnya, virus akan
memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk di dalam
kelenjar air liurnya. Setelah nyamuk betina mencerna makanan darah yang
terinfeksi, maka perlu masa inkubasi ekstrinsik 5-10 hari sebelum virus
dilepaskan dalam air liur. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk
menggigit (menusuk), sebelum nyamuk menghisap darah akan mengeluarkan
air liur melalui saluran alat tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak
membeku. Bersama air liur inilah virus dipindahkan dari nyamuk ke induk
semang lain (Ekawasti dan Martindah, 2018).
Siklus hidup nyamuk anopheles

Menurut Widoyono (2011), penularan Chikungunya yang cepat hingga


terjadinya KLB dipengaruhi oleh:
1. Perubahan iklim dan cuaca yang mempengaruhi perkembangan populasi
nyamuk.
2. Mobilisasi penduduk dari dan ke daerah yang terinfeksi.
3. Perilaku masyarakat.
4. Sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan tempat berkembang
biaknya nyamuk.
c. Masa inkubasi chikungunya
Masa inkubasi dari demam chikungunya antara 2 sampai 4 hari. Viremia
dijumpai kebanyakan dalam 48 jam pertama, dan dapat dijumpai sampai 4
hari pada beberapa pasien. Manifestasi penyakit berlangsung 3 sampai 10
hari. Virus ini termasuk self limiting disease alias hilang dengan
sendirinya. Namun rasa nyeri sendi mungkin masih tertinggal dalam
hitungan minggu sampai bulan (Nasronudin, 2011).
d. Penyebab dan factor risiko
Chikungunya disebabkan oleh virus yang dibawa oleh nyamuk Aedes
aegypti atau Aedes albopictus. Nyamuk tersebut mendapatkan virus
chikungunya saat menggigit seseorang yang telah terinfeksi sebelumnya.
Penularan virus terjadi bila orang lain digigit oleh nyamuk pembawa virus
tadi. Perlu diketahui bahwa virus chikungunya tidak menyebar secara
langsung dari orang ke orang.
Virus chikungunya dapat menyerang siapa saja. Namun, risiko terserang
penyakit ini lebih tinggi pada bayi yang baru lahir, lansia 65 tahun ke atas,
dan individu dengan kondisi medis lain, seperti hipertensi, diabetes, dan
penyakit jantung.
e. Gejala dan tanda chikungunya
Gejala penyakit diawali dengan demam mendadak, kemudian diikuti
dengan munculnya ruam kulit dan limfadenofati, artalgia, mialgia, atau
arthiris yang merupakan tanda dan gejala khas chikungunya. Penderita
dapat mengeluhkan nyeri atau ngilu bila berjalan kaki karena serangan
pada sendi-sendi kaki. Dibandingkan dengan DBD, gejala penyakit ini
muncul lebih dini. Perdarahan jarang terjadi. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis dan laboratorium, yaitu adanya antibody IgM
dalam darah.[ CITATION Fid13 \l 1033 ]
Keluhan rasa nyeri hebat pada tulang dan persendian sehingga
penderita selalu membungkuk, disertai demam tinggi mendadak selama 2-
3 hari merupakan gejala klinis yang khas flu tulang. Selain itu penderita
juga mengeluh sakit perut, mual, muntah, sakit kepala, dan kadang-kadang
demam chikungunya dapat menimbulkan perdarahan ringan berupa bintik-
bintik merah di badan dan tangan mirip demam berdarah dengue. Mata
penderita tampak merah karena pembuluh darah konjungtiva yang terlihat
nyata. Rasa nyeri dapat masih terasa sampai berbulan-bulan sesudah
penderita sembuh dari sakitnya. Pada demam chikungunya tidak terjadi
rencatan (syok) maupun kematian (Soedarto, 2010).
Chikungunya dicurigai bila seseorang menderita demam
mendadak, dengan beberapa gejala sakit sendi, sakit kepala, sakit
pinggang/punggung dan rush (ruam kulit) serta dalam 1 minggu terakhir
berada di daerah terjangkit chikungunya (Nasronudin, 2011).
Menurut Widoyono (2011), definisi kasus chikungunya terdiri dari :
1. Kasus tersangka
Kasus ini ditandai dengan gejala klinis seperti yang telah disebutkan di
atas, mulai dari demam mendadak hingga fotofobia
2. Kasus probable
Ini merupakan gejala pada kasus tersangka, ditambah dengan hasil
laboratorium serologi yang positif dari sampel darah tunggal yang diambil
pada fase akut maupun fase penyembuhan
3. Kasus confirm
Ini merupakan kasus probable dan salah dari hal berikut :
 Peningkatan titer antibodi 4 kali paa pasangan sampel serum darah
 Antibodi IgM positif
 Isolasi virus
Hasil pemeriksaan RT-PCR positif asam nukleat virus chikungunya
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosis,
dengan beban darah vena 5 cc pada fase akut (utama) dan fase
penyembuhan. Pada pemeriksaan hematologi rutin dapat dijumpai kadar
hemoglobin yang normal, trombositopenia, leukopenia, atau leukositosis,
relatif limfositosis pada hitung jenis dan peningkatan laju endap darah
(LED). Pemeriksaan kimia klinis menunjukkan fungsi hati yang bisa
terganggu apabila terjadi hepatomegali yang ditandai dengan SGOT/SGPT
dan bilirubin direk atau total yang meningkat (Widoyono, 2011).
Pemeriksaan serologi yang lebih pasti dilakukan dengan Rapid
Diagnostic Test (RDT), ELISA, Hemaglutinase Inhibisi (HI), dan
Immunofluorescent Assay (IFA) untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG
atau dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk memeriksa materi
genetik virus (Widoyono, 2011).
f. Pencegahan Chikungunya
Pencegahan chikungunya ditujukan untuk mengendalikan nyamuk dan
menghindari gigitan nyamuk. Pada saat ini belum ada vaksin di pasaran
untuk mencegah chikungunya. Tindakan pencegahan chikungunya di
daerah dimana terdapat nyamuk aedes aegypti adalah menghilangkan
tempat dimana nyamuk dapat meletakkan telurnya (Nasronudin, 2011).
Menurut Widoyono (2011), upaya pengendalian chikungunya terdiri dari :
5. Pencegahan gigitan nyamuk
Dilakukan dengan pemasangan kelabu, penggunaan kasa antinyamuk,
dan pemakaian obat nyamuk oles, bakar, atau semprot.
6. Pemberantasan jentik
Nyamuk Aedes sp. Akan bertelur di permukaan air yang jernih, seperti
tempat penampungan air, vas atau pot bunga, air buangan dispenser,
penampungan air AC, dan tempat minum burung.
Pemberantasan jentik dibagi menjadi 3 cara, yaitu :
o Fisik, dengan  M plud
o Biologi, dengan menebar ikan pemakan jentik di tempat penampungan
air
o Kimiawi, dengan pemberian larvasida (pembasmi larva).
7. Pemberantasan nyamuk  
Dilakukan untuk memutus rantai penularan dengan penyemprotan
(fogging) massal menggunakan insektisida cair 2 kali dengan selang
waktu 1 minggu.
g. Pengobatan Chikungunya
Pengobatan terhadap penderita hanya ditujukan untuk mengurangi keluhan
rasa sakit. Karena belum ada vaksin dan obat untuk virus chikungunya,
maka pengobatan yang diberikan meliputi :
1. Pengobatan suportif
Istirahat tirah baring dilakukan untuk mempercepat penyembuhan,
bersama dengan penambahan vitamin yang meningkatkan daya tahan
tubuh. Penderita sebaiknya diberi minum yang cukup. Rehabilitasi
dengan fisioterapi untuk nyeri sendi juga perlu dipertimbangkan.
2. Pengobatan analgentik
Obat antipiretik atau analgesik non-aspirin dan anti-inflamasi nonsteroid
(OAINS) diberikan untuk mengurangi demam dan rasa sakit pada
persendian serta mencegah kejang.
3. Infus
Infus diberikan apabila perlu, terutama bagi penderita yang malas
minum, ini berguna untuk menjaga keseimbangan cairan.
g. Epidemiologi chikungunya
Chikungunya tersebar di daerah tropis dan subtropis yang berpendudukan
padat seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara. Di Afrika, virus ini
filaporkan menyerang di Zimbabwe, Kongo, Angola, Kenya, dan Uganda.
Negara selanjutnya yang teserang adalah Thailand pada tahun 1958,
Kamboja, vietnam, srilanka, dan india pada tahun 1964. Pada tahun 1973
chikungunya dilaporkan menyerang di philipina dan Indonesia.
Lokasi penyebaran penyakit ini tidak jauh berbeda dengan DBD karena
vektor utama nya sama yaitu nyamuk Aedes egypty. Di daerah endemis
DBD sangat mungkin juga terjadi endemis chikungunya.
Biasanya demam chikungunya tidak berakibat fatal. Akan tetapi dalam kurun
waktu 2005-2006 telah di laporkan terjadi 200 kematian yang dihubungkan
dengan chikungunya di pulau Reunion dan KLB yang tersebar luas di India,
terutama di Tamil dab Karala. Ribuan kasus telah terdeteksi di daerah-daerah
India dan di negara negara yang bertetangga dengan srilanka, setelah hujan
lebat dan banjir pada bulan agustus 2006. Di daerah india, 125 kematian
dihubungkan dengan chikungunya. Pada bulan desember 2006, dilaporkan
terjadi 3500 kasus di Maldives, dab lebih dari 60.000 kasus di srilanka
dengan kemtian lebih dari 80 orang.
Di indonesia, kejadian luar biasa (KLB) chikungunya dilaporkan terjadi pada
tahun 1982. Demam chikungunya pertamakali di Samarinda 1973 kemudian
terjangkit di Kuala Tungkal, Martapura, Ternate, Yogyakarta (1983),
muaraenim 1999, Aceh dan Bogor 2001. Awal 2001 kejadian luar biasa
demam chikungunya terjadi di muaraenim, Sumsel dan Aceh. Setahun
kemudian demam chikungunya berjangkit lagi di Bekasi (Jawa Barat),
Purworejo dan Klaten (Jawa Tengah).
Data Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, sepanjang tahun 2017
terdapat 126 kasus chikungunya di 4 kota/kabupaten di Indonesia. Dari 126
kasus tersebut, 121 kasus terjadi di provinsi Sulawesi Tengah, sedangkan 5
sisanya terjadi di Aceh. Hingga saat ini, belum ada laporan kematian akibat
chikungunya. Data Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, sepanjang
tahun 2017 terdapat 126 kasus chikungunya di 4 kota/kabupaten di
Indonesia. Dari 126 kasus tersebut, 121 kasus terjadi di provinsi Sulawesi
Tengah, sedangkan 5 sisanya terjadi di Aceh. Hingga saat ini, belum ada
laporan kematian akibat chikungunya.
Kesimpulan

Saran
XDAFTAR PUSTAKA

Fidaus J. Kunoli, S. M. (2013). epidemiologi penyakit menular. Jakarta: Trans


Info Media.
Kemenkes RI. 2018. Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Tahun 2017.
Jakarta : Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Susanto, Bambang H., dan Aras U., 2018. Hubungan Faktor Lingkungan Institusi
Pendidikan dan Perilaku Siswa dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Anak
Usia 5-14 Tahun. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 7(4), pp. 1696-1706.
Depkes RI, 2006. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal P2PL

Anda mungkin juga menyukai