Anda di halaman 1dari 31

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan Negara Maritim dengan wilayah lautnya yang luas
dan kaya akan berbagai macam sumber daya alam. Letak geografis Indonesia
yang berbatasan dengan samudra Pasifik dan Samudra Hindia, serta diapit oleh
benua Asia dan Australia yang menjadikan Indonesia memiliki flora dan Fauna
yang sangat beragam. Dalam rangka menjaga kelestarian keanekaragaman hayati
ini perlu adanya informasi dan pengetahuan tentang flora dan fauna itu sendiri.
Acanthaster planci atau yang biasa dikenal sebagai bintang laut berduri,
merupakan salah satu spesies penghuni dan pemakan terumbu karang.
Keberadaannya bisa menjadi pengendali pertumbuhan karang yang terlalu cepat,
tetapi juga bisa menjadi hama pemusnah karang. Ledakan populasi dalam jumlah
besar-besaran sangat berbahaya bagi keseimbangan ekosistem laut. Setiap
populasi dalam ekosistem tentunya memiliki mangsa dan pemangsa (predator).
Ikan tiger dan triton merupakan pemangsa bintang laut berduri ini, akan tetapi
keseimbangan ekosistem terganggu dengan hadirnya manusia yang selalu
memburu predator A. planci sehingga jumlahnya semakin menurun dan bahkan
akhir-akhir ini sangat sulit ditemukan.
Penanganan ledakan populasi acanthaster planci selama ini dilakukan
hanya secara manual, yaitu dengan mengambil dan memusnahkan sebagian
populasinya agar keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Dengan melihat kerugian
yang ditimbulkan oleh A.planci, akibatnya banyak masyarakat yang menilai
negative terhadap spesies ini dan bernafsu untuk menghabisinya tanpa menyadari
pentingnya kehadiran A.planci sebagai penyeimbang ekologi laut. Oleh karena
itu, untuk mengantisipasi terjadinya kepunahan salah satu spesies bintang laut
berduri, perlu kiranya kita mempelajari keragaman dari bintang laut berduri itu
sendiri, sehingga memudahkan kita dalam melakukan konservasi.
Gentika molekuler merupakan salah satu metode yang cukup akurat untuk
mempelajri kekerabatan suatu organism, dengan melihat hubungan
kekerabatannya secara genetic. Dalam hal ini tentunya kita memanfaatkan
molekul DNA yang merupakan penyimpan informasi genetic dan sebagai cetak
biru segala aktifitas sel.
1
Dalam jasad eukaryote, kita mengenal beberapa tipe DNA, yaitu DNA
inti, DNA mitokondria, DNA kloroplas, bahkan ada beberapa eukaryote yang
memiliki DNA plasmid. Untuk A. planci, kita bisa menemukan dua macam DNA
yaitu DNA inti dan DNA mitokondria. DNA inti merupakan molekul double
heliks non sirkuler yang berasal dari organel inti sel. Sedangkan DNA mitokindria
merupakan molekul rantai ganda sirkuler yang terdapat dalam organel
mitokondria. Biasanya dalam mempelajari kergaman genetic dan juga evolusi,
lebih sering menggunakan DNA mitokondria. Karena laju subtitusi nukleotida
pada mtDNA lebih cepat dari DNA inti, dan diturunkan secara maternal (menurut
garis keturunan ibu) serta memiliki copynumber yang tinggi.
Daerah control region dari mtDNA merupakan daerah non coding yang
memiliki laju mutasi atau polimorpism yang paling tinggi disbanding daerah
pengkode pada mtDNA. Karena daerah ini bersifat polymorphism, maka daerah
ini sangat beragam antar individu, tetapi sama untuk kerabat dekatnya yang masih
satu garis keturunan ibu. Selain dari pada itu, pada daerah ini juga merupakan
daerah yang terkonservasi. Oleh karena itu, daerah ini sangat penting dalam
mempelajari hubungan kekerabatan suatu organisme.

1.2 Perumusan Masalah


A.planci merupakan salah satu predator terumbu karang yang dirasakan
mengganggu ketika jumlahnya berlebihan. Duri yang dimiliki A.planci juga
mengandung racun. A.planci tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
bahan makanan. Karena banyaknya nilai negative dari spesies ini, maka
pandangan masyarakat terhadap makhluk ini juga buruk. Oleh karena itu,
kebanyakan masyarakat yang menangani masalah ledakan populasi A.planci ini
masyarakat ingin memusnahkannya.
Dalam melakukan konservasi laut, menjaga keseimbangan ekologi itu
sangat penting. Dimana A. planci ini merupakan salah satu spesies yang berperan
enting dalam menjaga keseimabangan ekosistem laut. Oleh karenanya mengetahui
keragaman gentik dan hubungan kekerabatannya menjadi penting, agar bisa
menjadi satu tolak ukur dalam melakukan konservasi laut. Untuk mempelajari

2
keragaman genetic dan kekerabatannya itu bisa menggunakan pendekatan
molekuler, yaitu dengan analisis DNA.

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui urutan
nukleotida fragmen gen mtDNA dan menganalisisnya dengan melihat jumlah
pasang basa,dan hubungan kekerabatan antar spesies.

1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini kiranya dapat memberikan referensi untuk
penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan karakter DNA Acanthaster Planci,
dan analisis hubungan kekerabatannya secara molekuler.

3
II. PROFIL LABORATORIUM BIOMEDIK DAN BIOLOGI
MOLEKULER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR BALI

2.1 Lokasi
Laboratorium Biomedik dan Biomol FKH Udayana, terletak di jalan raya
Sesetan, gang Markisa, nomor 6A, kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar
Selatan, kabupaten Denpasar, Provinsi Bali, Indonesia. Telephon/Fax : (0361)-
8423062 Email: gnmahardika@indosat.net.id

2.2 Sejarah dan Perkembangan


Laboratorium Biomedik, biologi molekuler dan virology berdiri sejak
tahun 2002 dan pertama berdiri, lokasinya terletak di jalan sudirman, kampus
sudirman. Kepala laboratorium ini pada tahun 2003 adalah bapak prof. Dr. DR.
Iwan H.V. dan pada tahun 2005 diganti oleh Prof. Dr. DRH. I.G.N.Kade
Mahardika hingga saat ini.
Karena jalan sudriman sering terjadi banjir, dan gedung lab Biomedik
akan dibongkar, maka pada tahun 2007, laboratorium ini dipindahkan ke jalan
raya Sesetan, gang markisa nomor 6A. Saat ini laboratorium ini telah memiliki
gedung 2 lantai, dan rencana akan dibangun satu lantai lagi. Selain itu di
laboratorium ini juga akan digunakan sebagai Pusat Penelitian Biodiversity
Indonesia.

2.4 Tugas Pokok


Laboratorium Biomedik ini memiliki dua tugas pokok, yaitu: pelayanan
pendidikan dan pelayanan masyarakat. Tugas yang diemban lab ini dalam
melayani pendidikan adalah:
 Melayani kegiatan praktikum bidang biomedik dan biologi molekuler
mahasiswa S1 Kedokteran hewan.
 Melayani kegiatan praktikum ko-asisten dokter hewan.
 Melayani mahasiswa yang akan melakukan penelitian, baik penelitian S1,
S2, maupun S3.

4
Sedangkan tugas yang diemban dalam melayani masyarakat yaitu:
 Melayani pemeriksaan sampel, PCR, RT-PCR, serologi ELISA, uji HA
dan HI, western blot dan sterco microskop.
 Konsultasi riset di bidang molekuler.
 Bioinformatik
 Analisis Sequensing
 Desain dan pemesanan primer
 Transport merdia

2.5 Sumberdaya Manusia


Laboratorium ini memiliki sumberdang handal dan terlatih, semuanya
merupakan lulusan kedokteran hewan Universitas Udayana Bali. Adapun struktur
organisasi dari lab ini adalah:
Kepala lab : Prof. Dr. DRH. I Gusti Ngurah Kade Mahardika
Sekretaris : DRH. I Made Kardena M.Vet
Voluntir : 1. DRH. I Gusti Ngurah Narendra Putra
2. DRH. Ni Luh Astria Yusmalinda
3. A.A Istri A Mirah Dwija
4. Ni Made Ritha Krisna Dewi

2.6 Sarana dan Prasarana


Dalam menjalankan tugasnya, lab ini didukung oleh beebrapa sarana dan
prasarana, diantaranya yaitu : gedung berlantai 2, yang didalamnya terdapat ruang
Ekstraksi, dua ruang PCR, Elektroforesis. Selain itu juga memiliki beberapa
kelengkapan alat-alat laboratorium, diantaranya yaitu : mesin PCR, pipet micro
dengan berbagai macam ukuran, laminar flow, Enstrim Esco, Inkubator,
microsentrifuge, vortex, freezer -40oC dan -20oC, kulkas, microscop, dan elisa
reader.

2.7. Hubungan Kerja Sama


Selain didukung dengan sarana fisik, laboratorium ini juga memiliki
kerjasama yang sangat luas. Lab ini memiliki hubungan kerja baik skala nasional

5
maupun Internasional. Beberapa instansi yang menjadi partnernya yaitu : Dinas
Peternakan se-provinsi Bali, Balai Besar Veteriner, rumah sakit hewan, rumah
sakit umum Sanglah, Laboratorium Biomol Fakultas kedokteran Unud, Dinas
peternakan NTT, Balai Karantina Pertanian, dan juga alam melakukan
sequencing, laboratorium ini bekerja sama dengan EIJMAN Jakarta, sedangkan
kerjasama tingkat internasional yaitu dengan UCLA, ODU, NSF, bahkan pada
tahun ini lab ini bersama-sama dengan UNIPA, UNDIP, dan USAID, dan juga
partner internasionalnya, akan mengembangkan Pusat Penelitian biodiversity
Indonesia.

6
III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Acanthaster Planci


Acanthaster planci merupakan sejenis bintang laut yang bagian tubuhnya
diselimuti duri beracun. Bintang laut jenis ini hidup di daerah yang lebih
terlindungi seperti laguna, atau di perairan yang lebih dalam disepanjang daerah
terumbu karang. Spesies ini merupakan hewan pemakan karang, sehingga bisa
dijadikan sebagai pengontrol laju pertumbuhan karang. Akan tetapi, jumlah
populasinya yang terlalu besar, akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup
terumbu karang. Klasifikasi ilmiah dari A. planci adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Echinodermata
Kelas : Stelleroidea
Orde : Valvatida
Family : Acanthasteridae
Genus : Acanthaster
Spesies : Acanthaster planci (linneaus 1758)
Achantaster terdiri dari tiga spesies yaitu A. planci, A. ellisi dan A.
bervipinnus. Dari ketiga spesies tersebut, ada juga acanthaster yang memakan
sampah organic yaitu A. Bervipinnus. (Imam Bachtiar 2009). Biasanya A.planci
memakan karang jenis Pocilloporidae, Acroporidae dan Favidae, dan menghindari
karang yang memiliki hewan simbion kepiting Trapezia atau udang Alpheus yaitu
karang poritidae.

Gambar 1. Acanthaster planci (sumber : www.guamdawr.org)


Bintang laut A. Planci (crown of tohrn) memiliki nama Indonesia sebagai
terjemahan dari nama Inggrisnya ‘mahkota duri’ atau ‘mahkota berduri’.
7
Terkadang juga hanya digunakan nama kependekannya yaitu ‘BLMD’. Didalam
komunikasi ilmiah berbahasa Inggris, para peneliti menggunakan nama ‘COT’
kependekan dari ‘crown of thorns’, sebagai pengganti A. planci.
A.planci memiliki tubuh yang berbentuk radial simetris, dengan tubuh
mirip cakram bersumbu oral dan aboral yang mempunyai lengan-lengan. Bagian
oral (mulut) menghadap ke bawah sedangkan bagian aboral menghadap ke atas.
Di bagian aboral terdapat madreporit dan anus. Lubang madreporit berjumlah 6-
13, sedangkan lubang anus berjumlah 1-6 buah. Bintang laut A. planci
mempunyai lengan antara 8-21 buah. Duri-duri yang beracun berukuran 2-4 cm
menghiasi permukaan aboral tubuh cakram dan lengan-lengannya.
A. planci memiliki warna tubuh yang bervariasi antar lokasi. Di perairan
Thailand dan Maladewa (Maldive) warna tubuh biru keunguan, di GBR berwarna
merah dan kelabu, sedangkan di Hawaii berwarna hijau dan merah. Di Indonesia,
warna tubuh A. planci merah dan kelabu pada perairan Laut Jawa dan Laut Flores.
Di Cocos Island dan Christmas Island (barat daya Jawa), Australia, terdapat dua
macam warna A. planci yang menunjukkan tipe Samudra Pasifik dan Samudra
Hindia.
Acanthater planci mulai bertelur pada umur 2-3 tahun,dan akan memijah
selama 5-7 tahun. Setiap kali memijah seekor induk dapat menghasilkan lebih dari
6 juta telur. Walaupun populasinya tidak terlalu besar, A. planci berpotensi
menghasilkan anakan dalam jumlah besar karena mereka selalu hidup
berkelompok dan memijah secara bersamaan. Anakan bintang laut mula-mula
makan algae yang melapisi puing-puing karang, dan baru makan karang setelah
berumur lebih kurang 6 bulan. Setelah makan karang, anakan A. planci itu tumbuh
dengan cepat.Dalam waktu dua tahun bintang laut ini tumbuh dari ukuran
diameter 1 cm menjadi 25 cm. Untuk ukuran diameter lebih dari 40 cm, umunya
bintang laut makan di siang hari, sedangkan yang lebih kecil kurang dari 20 cm,
makan di malam hari. Dalam populasi yang lebih kecil Acanthaster planci lebih
banyak bersembunyi di bawah koloni karang, biasanya hanya makan sebagian
dari koloni karang terutama jenis Acropora sp, sehingga terumbu karang dapat
pulih kembali secara cepat bilamana jumlahnya tidak begitu besar.

8
Pada waktu akan makan maka bintang laut berduri ini akan menempatkan
dirinya pada suatu substrat karang yang dianggap cocok, mengeluarkan
lambungnya, kemudian lambung ini akan melebar menutupi permukaan karang
pada suatu area yang hampir setengah dari diameter tubuhnya sendiri. Kemudian
melalui lambungnya ini akan dikeluarkan enzim-enzim pencernaan ke dalam
jaringan tubuh karang sehingga akan terurai, setelah itu A. planci menyerap
jaringan tubuh yang sudah dicerna bersamaan dengan menarik lambungnya
kembali.

3.2 DNA
Deoksiribonukleic acid (DNA) adalah makromolekul tubuh yang
merupakan polimer dari asam nukleat yang disusun dengan urutan tertentu
berperan sebagai pembawa informasi genetic yang diturunkan kepada
keturunannya. Semua informasi yang berkaitan dengan bentuk, struktur, dan
morfologi suatu makhluk hidup, telah direkam dalam suatu molekul DNA.
Komponen utama penyusun DNA adalah nukleotida. Dimana nukleotida
ini terdiri dari tiga bagian yaitu: gula pentose (deoxiribosa), gugus fosfat (mono,
di, dan triphosphat), dan basa purin (adenin, guanin), pirimidin(cytosine, timin).
Struktur kimia dari nukleotida seperti pada gambar :

Gambar 2. Struktur Nukleotida


Struktur dari DNA adalah helix ganda yang disusun oleh dua rantai
polinukleotida yang memiliki orientasi saling berlawanan antara satu rantai
dengan rantai yang lainnya. Polinukleotida ini tersusun oleh gabungan dari
nukleotida-nukleotida yang dihubungkan oleh ikatan fosfodiester. Sedangkan
ikatan yang menghubungkan antara satu rantai polinukleotida dengan
polinukleotida yang lain adalah ikatan hydrogen antar basa purin dan pirimidin.
Ikatan hydrogen yang terbentuk antara basa A dan T berjumlah dua ikatan
9
hydrogen, sedangkan antara C dan G adalah tiga ikatan Hidrogen. Hal inilah yang
menyebabkan ikatan antara basa GC lebih sulit diputuskan dibanding ikatan
antara AT.
o
20 A

a). b).

o
34 A

o
3,4 A

Gambar 3 a) Ikatan hydrogen antar basa nukleotida.


b) Struktur heliks ganda DNA
Kerangka gula deoksiribosa dan gugus phospat, terletak dibagian luar
molekul, sedangkan basa purin dan pirimidin terletak dibagian dalam heliks.
Diameter untaian DNA adalah adalah 20 A o. Diameter ini konstan karena basa
purin selalu berpasangan dangan basa pirimidin. Pasangan-pasangan basa yang
berurutan berjarak 3,4 Ao satu sama lain. Satu putaran helix mempunyai panjang
34 Ao.
Oleh karena kedua rantai DNA tersusun secara pararel, maka ada konversi
dalam penulisan orientasi DNA. Pada msding-masing rantai DNA ada ujung 5’-
fospat dan ujung 3’-OH. Molekul DNA yang tersusun oleh dua rantai
polinukleotida, biasanya hanya dituliskan satu rantainya, misalnya
ACCCCGATGATGATGGTT. Dalam penulisan seperti ini, ujung sebelah kiri (A)
adalah ujung 5’-fosfat dan ujung sebelah kanan (T) adalah ujung 3’-OH. Oleh
karena itu, molekul DNA tersebut dapat ditulis P-5’-
ACCCCGATGATGATGGTT-3’-OH, atau kadang-kadang hanya ditulis 5’-
ACCCCGATGATGATGGTT-3’.

10
3.4 DNA Mitokondria

Dari segi satuan dasar individu, jasad seluler digolongkan menjadi jasad
bersel tunggal dan jasad bersel banyak. Jasad seluler dapat juga digolongkan
berdasarkan struktur dan organisasi sel menjadi dua golongan, yaitu sel prokaryot
dan eukaryote. Oleh karena itu, jasad sel bersel tunggal masih terbagi menjadi
jasad sel eukaryote (Escheria coli) dan prokaryot (saccaromyces cerevisiae),
sedangkan jasad seluler bersel banyak hanya digolongkan menjadi jasad sel
eukaryote (tumbuhan tingkat tinggi, manusia, hewan).
Genom adalah satu kesatuan gen yang dimiliki secara alami oleh satu sel
atau virus, atau satu kesatuan kromosom jasad eukaryote dalam fase haploid. Pada
sel prokariot mengandung molekul DNA sirkular tunggal, panjang yang
dikelilingi oleh selaput inti. Prokariot juga mengandung molekul DNA melingkar
kecil yang disebut plasmid yaitu elemen genetik ekstrakoromosom. Sedangkan
pada sel eukariot, bahan genetic utama terletak dalam inti sel yaitu DNA inti, akan
tetapi juga terdapat DNA diluar kromosom yaitu DNA mitokondria, dan DNA
kloroplas. Bahkan beberapa sel eukaryote juga memiliki DNA plasmid, yaitu
pada S. cerevisiae.
Organisasi gen pada mitokondria lebih mirip dengan organisasi gen pada
bakteri. Sehingga diduga, mitokondria merupakan jasad prokaryot endosimbion
yang dalam proses evolusi berkembang menjadi bagian struktur sel eukaryote
seperti yang dikenal sekarang.
Secara umum, semua gen mtDNA hewan memiliki jumlah dan jenis yang
sama. Dimana dalam MtDNA terdapat 13 gen pengkode protein, 2 gen pengkode
rRNA, 22 gen pengkode tRNA. Gen mtDNA yang mengkode protein adalah
kompleks I subunit 1, 2, 3, 4, 4L, 5, dan 6 , kompleks III subunit b (sitokrom b),
kompleks IV (sitokrom oksidase) subunit I, II, dan III, serta kompleks V subunit
6 dan 8. Sedangkan gen pengkode rRNA yaitu 12S rRNA dan 16s rRNA. Gen-
gen pengkode protein tersebut merupakan kompleks enzim yang berperan dalam
fosforilasi oksidatif, akan tetapi terdapat protein lainnya yang juga berfungsi
dalam fosforilasi oksidatif seperti enzim-enzim metabolisme, DNA dan RNA
polimerase, protein ribosom dan mtDNA regulatory factors semuanya dikode oleh
gen inti, disintesis dalam sitosol dan kemudian diimpor ke organel.
11
Gen mtDNA memiliki laju mutasi yang tinggi karena pada mtDNA tidak
memiliki system reparasi replikasi yang efektif, dan tidak memiliki protein histon,
serta posisi mtDNA yang terletak didekat membrane dalam mitokondria, sehingga
rentan terhadap serangan radikal oksigen hasil samping fosforilasi oksidatif.

3.4. Gen Control Region mtDNA

Daerah kontrol memiliki tingkat mutasi dan polymorphism yang paling


tinggi di dalam genom DNA mitokondria. Pada daerah D-loop terdapat
hipervariabel 1 (HV1) dan hipervariabel 2 (HV2). Hypervariable I (HVSI) pada
urutan nukleotida 16024-16383 dan Hypervariable II (HVSII) yang terletak pada
nukleotida 57-372. Oleh karena sifatnya yang polimorfik, daerah ini sangat
beragam antar individu tetapi sama untuk kerabat yang satu garis keturunan ibu.
Oleh karena itu, daerah ini sering dianalisis dan sangat penting untuk digunakan
dalam proses identifikasi individu dan hasil yang didapatkan memiliki tingkat
keakuratan yang tinggi.
Daerah non-coding pada mtDNA biasanya terletak diantara gen pengkode
tRNA pro dan tRNAphe, dan kaya akan nukleotida A+C. ukuran gen ini kurang
lebih sekitar 900 pasang basa (Solihin, 1994).

3.5. Polymerase Chain Reaction


Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR
(polymerase chain reaction) merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan
(replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Dengan teknik
ini, DNA dapat dihasilkan dalam jumlah besar dengan waktu relatif singkat
sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA.
Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20–30
kali siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap. Berikut adalah tiga tahap
bekerjanya PCR dalam satu siklus:
1. Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada tahap ini (berlangsung
pada suhu tinggi, 94–96 °C) ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi)
dan DNA menjadi berberkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR
tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua
12
berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan
siap menjadi templat ("patokan") bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.
2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA
templat yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu
antara 45–60 °C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat
menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di
sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.
3. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari
jenis DNA-polimerase (P pada gambar) yang dipakai. Dengan Taq-
polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76 °C. Durasi tahap
ini biasanya 1 menit

Setelah tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Pada siklus pertama
satu molekul DNA akan menjadi 2 molekul DNA. Seangkan pada siklus kedua,
dua molekul DNA hasil siklus pertama akan menjadi cetakan yang akan
digandakan sehingga jumlah DNA menjadi 4. Demikian seterusnya akan diulang-
ulang hingga sekitar 20-30 kali. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa berkas
baru (berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain. Akhirnya terdapat berkas
DNA yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah DNA yang
dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial. Proses ini
Nampak seperti pada gambar 4.

Gambar 4. Tahapan dalam PCR (Toha et.al 2009)


Keberhasilan proses PCR lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan
efisiensi dan optimasi proses PCR. Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan
teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau
sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi. Optimasi PCR juga

13
diperlukan untuk menghasilkan karakter yang diinginkan. Optimasi ini
menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam mesin PCR. Suhu
denaturasi yang rendah dapat menyebabkan belum terbukanya DNA utas ganda
sehingga tidak dimungkinkan terjadinya polimerisasi DNA baru. Proses
penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan suhu
optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak
terjadi atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan primer menempel
pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya; akibatnya dapat teramplifikasi
banyak daerah tidak spesifik dalam genom tersebut. Suhu penempelan (annealing)
ini ditentukan berdasarkan primer yang digunakan yang dipengaruhi oleh panjang
dan komposisi primer. Suhu penempelan ini sebaiknya sekitar 5°C di bawah suhu
leleh. Sedangkan suhu leleh (Tm) bisa dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) +
2(A+T)°C.

14
IV. METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini berlangsung pada tanggal 21 Juli 2010 sampai dengan 10
Agustus 2010 bertempat di Laboratorium Biomedik dan Biologi Molekuler
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar Bali.

4.2 Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan adalah gelas ukur, erlenmeyer, neraca analitik,
pipet mikro, tabung PCR, tabung ekstraksi, rak tabung PCR, mesin PCR (thermo
cycler), hot block, microsentrifuge eppendorf, seperangkat alat elektroforesis,
pinset, gelas piala, lampu bunsen, magnetic stirrer, vortex, sentrifuge, kamera
digital plaroid, UV-transluminator, perangkat alat lunak squencer 4.8
Bahan-bahan yang digunakan ialah etanol 70%, aquades, chilex 10%, taq
DNA polymerase, deoksinukleotida trifosfat (dNTP), buffer PCR (500mM KCL,
100 mM tris-HCL pH 8,4 pada suhu 20 oC, 15 mM MgCl 2 dan 1 mg/mL gelatin),
gel agarosa, loading dye, big dye, etidium bromide, oligonukleotida primer
(COTS control forward dan COTS control reverse), enzim exonuklease, enzim
shrimp alkaline fosfatase, 25 mM MgCl2, buffer sequencing, Molekuler grade
water.

4.3 Prosedur Kerja

4.3.1 Ekstraksi

Ekstraksi DNA bertujuan untuk mengeluarkan DNA mitokondria dari


dalam sel sampel. Pada penelitian ini metode ekstraksi yang digunakan adalah
metode Chelex, yaitu dengan mengambil sekecil mungkin (kira-kira sebesar titik)
pada bagian tube feet Acanthaster Planci kemudian dimasukan kedalam larutan
chelex 10%, dan divortex selama 15 detik lalu disentrifugasi selama 3 detik dan
dipanaskan dalam hot block pada suhu 95 oC selama 30 menit. Setelah pemanasan
ini, sampel di vortex lagi selama 15 detik dan disentrifugasi selama 3 detik.

15
4.3.2 PCR
Amplifikasi ini merupakan proses penggandaan DNA hasil ekstraksi yang
dilakukan secara in vitro menggunakan metode polimerisasi chain reaction (PCR).
PCR dilakukan dengan menggunakan mesin PCR (thermo cycler) dan diatur
siklus suhunya yang sesuai untuk spesies A. Planci. Komponen utama dalam PCR
adalah DNA template, dNTPs, buffer PCR, MgCl2 , primer, dan enzim
polymerase. Primer yang digunakan untuk A. planci adalah COTS-ctrl-fwd (5’-
CAAAAGCTGACGGGTAAGCAA-3’) dan COTS-ctrl-rev (5’-TAAGGAAGTT
TGCGACCTCGAT-3’).
Proses mplifikasi ini dimulai dengan mengisi form PCR. Pengisian form
ini dilakukan untuk menghitung berapa banyak master mix (MM) yang
dibutuhkan dan enzim taq Polimerase serta jumlah ekstrak yang digunakan.
Penghitungan volume mastermix yaitu seperti pada table 1. Tahap selanjutnya
yaitu membuat master mix, yaitu dengan mengambil 144 µL (untuk 5 sampel)
master mix (campuran ddH2O, buffer PCR, MgCl2, primer COTS control Forwad
dan primer COTS control reverse (jumlah tiap komponen mengikuti protocol pada
table 1)) dan dimasukan dalam tabung. Tambahkan 0,75 µL enzim taq
polymerase gold. Campurkan hingga merata dengan menggunakan pipet mikro.
Tabel 1. Komposisi Mastermix pada PCR
Master mix ……6…… Tabung 25µL
STABDAR PROTOCOL (1 µL DNA template)
Standar Protokol …5... Tabung
ddH2O 14,5 87
10 x Buffer PCR (PE-II) 2,5 15
dNTPs (8 mM) 2,5 15
MgCl2 (25 mM) 2,0 12
Primer 1 (10 mM) 1,25 7,5
Primer 2 (10 mM) 1,25 7,5
Amplitaq polymerase (5 unit/ µL) 0,125 0,75
Total 24

16
Isi 6 tabung PCR dengan 24 µL master mix dan tambahkan 1 µL sampel
pada masing-masing tabung kemudian campurkan hingga merata. Jika terbentuk
gelembung, hilangkan dengan sentrifuge hingga gelembung hilang.
Tahap terakhir yaitu proses amplifikasi dengan menggunakan thermo
cycler pada kondisi : suhu denaturasi awal 94 oC selama 7 menit, denaturasi siklus
selanjutnya 94oC selama 30 detik, suhu annealing 48 oC selama 45 detik, extension
72oC selama 1 menit, dan suhu ekstension akhir 72 oC selama 5 menit. Proses ini
dilakukan sebanyak 32 siklus.

4.3.3 Elektroforesis
Elektroforesis merupakan salah satu metode pemisahan senyawa kimia
yang didasarkan pada laju pergerakan molekul dalam aliran listrik. Elektroforesis
ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya DNA dalam produk PCR kita.
Tahap awal dalam elektroforesis adalah membuat gel agarosa 10%, yaitu
dengan mencampurkan 1 gram bubuk agarosa dengan 100 mL 1X TAE dan
tambahkan 2 µL cyber green (sebagai pewarna molekul). Panaskan dengan
microwave sampai agarosa benar-benar terlarut, dan tuang dalam cetakan agarosa.
Pasang sisir pada cetakan dan tunggu selama 15-20 menit hingga agarosa
mengeras. Masukan gel kedalam tangki elektroforesis yang berisi buffer TAE 1X.
Selanjutnya siapkan sampel yang akan dielektroforesis. Hamparkan
parafilm, dan totolkan sekitar 1 µL loding dye untuk 1 sampel. Ambil 4 µL PCR
produk dan campurkan dengan lodyng dye kemudian masukan dalam sumur gel.
Jalankan mesin elektroforesis pada 200 V dan arus 400 mA selama 15 menit.
Setelah 15 menit, angkat gel dan lihat hasilnya dengan menggunakan
lampu UV pada panjang gelombang 254 nm dan foto menggunakan kamera
Polaroid.

4.3.4 EXO/SAP
Exo/Sap bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa primer yang tidak ikut
bereaksi dan juga dNTPs sisa selama proses PCR berlangsung. Sample yang
positif setelah diuji dengan menggunakan gel elektroforesis, maka selanjutnya
produk PCR tersebut di EXO/SAP.

17
Tabel 2. Komposisi Master Mix Exo/Sap
Master Mix …… Tabung
EXO/SAP Standar Protocol …………… tabung
EXO 0,5 µL ………… µL
SAP 0,5 µL ………… µL
Master Mix 1 µL ………… µL
PCR Produk 5 µL ………… µL
Total 6 µL ………… µL

Komposisi dan jumlah komponen dalam Exo/SAP, mengikuti protocol


pada table 2. Selanjutnya ambil 4 µL sampel DNA produk PCR dan masukan
dalam tabung PCR, kemudian buat Mastermixnya dalam sebuah tabung yaitu
dengan menambahkan 3 µL enzim SAP dan 3 µL enzim EXO. Campurkan
mastermix dengan menggunakan pipet hingga merata. Ambil 1 µL mastermix
kemudian tambahkan dalam sampel yang berada dalam tabung PCR dan campur
hingga merata. Putar dalam sentrifuge untuk memastikan sampel dan mastermix
benar-benar tercampur dan juga untuk menghilangkan gelembung jika ada.
Terakhir yaitu masukan kedalam mesin termocycler dengan program
EXO/SAP yaitu inkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit, untuk menghentikan
kerja enzim yaitu pada suhu 80 oC selama 15 menit, kemudian dinginkan pada
suhu kamar 25oC selama 1 menit.

4.3.5 Siklus Pengurutan Nukleotida (cycle sequencing)

Sequencing DNA adalah metode untuk menentukan urutan nukleotida


yang terdapat dalam DNA. Pada proses ini kta menggunakan tabung
microsentrifugasi yang memiliki 48 lubang, jadi untuk melakukan cycle
sequencing kita harus memiliki minimal 24 DNA hasil EXO/SAP. Sebelum
membuat mastermix, siapkan tabung microsentrifugasi (tabung berisi 48 lubang)
dan beri label tabung tersebut. Selanjutnya siapkan 2 mastermix, yaitu MM1 dan
MM2. Komposisi dari MM1 adalah 26 µL primer COTS FSeq, dan 130 µL buffer
sequens, 26 µL big dye, 26 µL DMSO dan 364 µL dH2O. untuk MM2 terdiri dari
26 µL Primer Ctrl forward, 130 µL buffer sequens, 26 µL big dye, 26 µL DMSO
18
dan 364 µL ddH2O.Isikan 11 µL MM1 pada 24 tabung pertama dan 11 µL MM2
pada 24 tabung terakhir. Kemudian isikan 1 µL DNA hasil EXO/SAP pada
masing-masing tabung. Setelah itu, masukan dalam thermo cycler dan jalankan
program cycle sequencing, yaitu pada suhu 96 oC selama 10 detik, 50 oC selama 5
detik, 60oC selama 4 menit, dan lakukan pengulangan sebanyak 25 siklus.

4.3.6 Presipitasi
Setelah dilakukan Cycle sequencing, maka kita tambahkan 48 µL
isopropanol 40 % kemudian tutup tabung dan sentrifugasi selama 30 menit.
Setelah 30 menit, buka tutup tabung, dan balik tabungnya diatas tissue kimtech,
sehingga semua isopropanol habis. Pellet DNA yang tersisa didalam tabung,
ditambah dengan 40 µL ethanol 70% dan disentrifugasi selama 1 menit.
Selanjutnya buka penutup dan buang etanol dengan membalik tabung diatas tisu.
Pellet DNA yang tersisa dalam tabung, diberi 10 µL Formamida lalu dikemas
ditutup dan dikemas dengan alumunium foil. Produk presipitasi ini dikirim ker
Cornel University, Amerika Serikat untuk penentuan urutan nukleotida dari
sequens DNA dengan menggunakan mesin sequencher AB1377 (applied
Biosystem). Hasil sequens, bisa kita download dari website Cornel University,
untuk kita lakukan analisis data.

4.3.7 Analisis data


Hasil sequens yang kita dapatkan, merupakan hasil kerja mesin, sehingga
kita perlu melakukan pengeditan jika terdapat kesalahan pembacaan kromatogram
oleh mesin. Analsis ini dilakukan dengan menggunakan software Sequencher 4.1
dan Mega 4.0.2 dan hasil yang diperoleh berupa urutan nukleotida dan jumlah
pasang basanya.

19
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Ekstraksi, Amplifikasi, dan Elektroforesi


Ekstraksi yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode chelex.
Sampel yang digunakan adalah A. planci yang diperoleh dari daerah Derawan,
Kalimantan Timur. Jaringan yang digunakan adalah tube feet A. planci, diambil
sedikit (sekitar sebesar satu titik) dimasukan dalam chelex 10% dan di vortex
selama 10 detik dan disentrifugasi selama 3 detik dengan tujuan untuk
meyakinkan bahwa sampel telah masuk kedalamlarutan chelex. Selanjutnya
dipanaskan dalam hotblock pada suhu 95oC selama 35 menit bertujuan untuk
memecahkan protein, yang mana chelex akan melindungi DNAnase dan
mencegah sampel terkontaminasi. Setelah itu divortex kembali dan disentrigusai,
dengan tujuan untuk memisahkan komponen-komponen sel. Dalam hal ini,
makromolekul yang memiliki berat moekul besar seperti lemak, karbohidrat,
protein akan berada dibagian bawah, sedangkan komponen yang memiliki berat
molekul kecil seperti asam nukleat (DNA) berada dibagian atas (supernatan).
Polymerisasi chain reaction merupakan salah satu metode untuk
menggandakan jumlah DNA hasil ekstraksi. Pada prinsipnya, PCR sama seperti
proses replikasi yang dilakukan oleh makhluk hidup, hanya saja PCR dilakukan
secara invitro dan menggunakan mesin thermocycler. Pada proses ini, primer yang
digunakan yaitu berupa oligonukleotida yang telah didesain khusus untuk A.
planci, dan lokasinya penempelannya spesifik pada daerah gen control region
DNA mitokondria, yaitu primer COTSctrlRev (crown of tohrn control revers) dan
COTSctrlFwd (crown of tohrn control forward). Adapun urutan nukleotida dari
COTSctrlRev adalah (5’-CAAAAGCTGACGGGTAAGCAA-3’) sedangkan
urutan nukleotida dari COTSctrlfwd adalah (5’-TAAGGAAGTTTGCGAC
CTCGAT-3’).
Untuk mengetahui hasil dari proses PCR ini, dilakukan dengan gel
elektroforesis, dan hasilnya seperti pada gambar 5. Dari gambar tersebut nampak
bahwa adanya band pada sumur nomor 1 sampai 6, yang berarti bahwa kita telah
berhasil mengisolasi dan mengamplifikasi gen control region DNA mitokondria
A. planci. Sumur nomor 1 adalah ladder dan nomor 2-6 adalah sampel.
20
Gambar 5. Gel elektroforesis hasil PCR
Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari kesuksesan proses
ekstraksi yang dilakukan. Selain itu ada beberapa factor yang mempengaruhi hasil
dari proses PCR, yaitu kesesuaian primer, dan kesesuaian suhu. Suatu primer
biasanya dirancang dengan panjang basa tertentu, semakin panjang basa
nukleotida primer maka akan semakin spesifik daerah yang dikopi, akan tetapi
jika primer yang digunakan terlalu panjang, akan mengurangi keberhasilan proses
penempelan primer. Demikian halnya jika primer yang digunakan terlalu pendek,
maka daerah yang dikopi kurang spesifik, atau boleh jadi daerah yang dikopi
bukan daerah target kita. Suhu yang digunakan dalam tahap annealing, akan
sangat menentukan kesuksesan PCR. Setiap spesies memiliki suhu annealing yang
berbeda-beda, sehinnga penggunaan suhu annealing yang sesuai sangat berperan
untuk mendapatkan hasil yang bagus.

5.2 Urutan Nukleotida Fragmen Gen control region mtDNA.


Dari hasil PCR yang positif, telah dilakukan exo/sap dan cycle sequencing,
serta dilakukan analisis terhadap sequens DNA. Hasil pengurutan sequens DNA
seperti ditunjukan pada kromatogram gambar 6. Dari gambar ini, kita bisa melihat
bahwa, masing-masing nukleotida memiliki warna tersendiri. Untuk nukleotida G
berwarna hitam, A berwarna hijau, C berwarna biru dan T berwarna merah.
Dalam elektroforegram biasanya terdapat peak yang tidak sempurna, yaitu adanya
tumpukan peak. Oleh karena itu, perlu kiranya kita melakukan editing pada hasil
sequens dengan menggunakan bantuan sequens reversnya.

21
Gambar 6 elektroforegram lima sampel A.planci

Berdasarkan elektroforegram dan editing yang dilakukan, didapatkan urutan


fragmen gen control region mtDNA Acanthaster planci sebagai berikut:

#A._planci_MTdna CCC TAT GGG GTA ATA CAA TAC GGA AAG ATA CAC CTT -TT TTC TTA CTT [ 48]
#SAMPEL_1 ... ... ... ... ... ... ..T .A. .G. ... ... ... -.. ... ... ... [ 48]
#SAMPEL_2 ... ... ... ... ... ... .CT ... ... ... ... ... C.. ... ... A.. [ 48]
#SAMPEL_3 ... ... ... ... ... ... ... ... G.. ... ... ... T.. ... ... ... [ 48]
#SAMPEL_4 ... ... ... ... ... ... ..T .A. G.. ... ... ... T.. ... ... ... [ 48]
#SAMPEL_5 ... ... ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... -.. ... ... ... [ 48]

#A._planci_MTdna TTC CGC TCC GCG GGG GGA TAG TTA GGG TAA GGC TAC ATA GGC TAA ACC [ 96]
#SAMPEL_1 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... [ 96]
#SAMPEL_2 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... [ 96]
#SAMPEL_3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... [ 96]
#SAMPEL_4 ... ... ... ... ... .A. ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... [ 96]
#SAMPEL_5 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. ... ... [ 96]

#A._planci_MTdna CAG TTT ATA CGC CAT CCT ACA CTC TAG TTA TAA GTT CTT TCT GAT ACA [144]
#SAMPEL_1 ... ... ... ... ... ... ... ... ... C-. ... ... ... ... ... ... [144]
#SAMPEL_2 .G. ... ... T.. ... ... .T. ... ... .-. ... ... ... ... ... ... [144]
#SAMPEL_3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... .-. ... ... ... ... ... ... [144]
#SAMPEL_4 ... ... ... ... ... T.. ... TC. ... .-. ... ... ... ... ... ... [144]
#SAMPEL_5 ... ... ... T.. ... ... ... T.. ... .-. ... ... ... ... ... ... [144]

#A._planci_MTdna GGA TTA ATA CTA AAC AAT GAC AGT ACC CGC TTT ACC GTC TTA TCA AAA [192]
#SAMPEL_1 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..G ... ... [192]
#SAMPEL_2 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [192]
#SAMPEL_3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [192]
#SAMPEL_4 ... ... ... ... ... ... ... ... G.. ... ... ... ... ... ... ... [192]
#SAMPEL_5 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [192]

22
#A._planci_MTdna AAC CAC GGT CAC GTA GGC CCT ATG CAA CTA TAT AAC TAT CGA CGT CAC [240]
#SAMPEL_1 ... ... ..C ... ... ... ... ... ... ... ... ... C.. ... ... ... [240]
#SAMPEL_2 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... C.. ... ... ... [240]
#SAMPEL_3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... C.. ... ... ... [240]
#SAMPEL_4 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... C.. ... ... ... [240]
#SAMPEL_5 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... C.. ... ... ... [240]

#A._planci_MTdna ACT TTA ACC CAG TTT TTA AAC CCT AAA CCT CTC ACG CAG AGG CTT GAC [288]
#SAMPEL_1 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..A ... ... ... ... [288]
#SAMPEL_2 ... ... G.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [288]
#SAMPEL_3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .C. ... ... ... ... ... [288]
#SAMPEL_4 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... A.. [288]
#SAMPEL_5 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [288]

#A._planci_MTdna GTT TCC ACT GCC TGA AGC TAC CGC AAC CGC AGA CAC CAA GAA CCA ATC [336]
#SAMPEL_1 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..G ... ... ... ... ... [336]
#SAMPEL_2 ... ... ... ... ... ... ... .A. ... ... ... ... ... ... ... ... [336]
#SAMPEL_3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [336]
#SAMPEL_4 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [336]
#SAMPEL_5 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [336]

#A._planci_MTdna TTT ATT TTA CAA CAG AAC CTT CAA AAG TGT TTA CCT TAA GAT ATT GAC [384]
#SAMPEL_1 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [384]
#SAMPEL_2 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [384]
#SAMPEL_3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [384]
#SAMPEL_4 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .G. ... ... [384]
#SAMPEL_5 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [384]

#A._planci_MTdna ACC ACC CCT TCG ATC CTT TCG TAC TAG AAG GGA CCC TTG CTC TAT TCA [432]
#SAMPEL_1 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [432]
#SAMPEL_2 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [432]
#SAMPEL_3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [432]
#SAMPEL_4 ... G.. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [432]
#SAMPEL_5 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... [432]

#A._planci_MTdna ATC GT [437]


#SAMPEL_1 ... .. [437]
#SAMPEL_2 ... .. [437]
#SAMPEL_3 ... .. [437]
#SAMPEL_4 ... .. [437]
#SAMPEL_5 ... .. [437]

Pada urutan nukleotida tersebut , tanda titik menunjukan bahwa nukleotida


tersebut sama dengan nukleotida pertama (A. planci mtDNA dari gene bank).
Sedangkan nukleotida yang berbeda, di berikan symbol huruf sesuai dengan
nukleotida yang sebenarnya.

5.3 Analisis Fragmen Gen control region mtDNA A. planci

Analisis nukleotida ini meliputi analisis komposisi basa nukleotida,


perbandingan dengan gene bank, dan hubungan kekerabatannya.

Tabel 8. Komposisi Nukleotida kelima sampel

T C A G Total
Sampel 1 27,1 27,6 29,4 15,9 435
Sampel 2 28,0 26,8 29,4 15,9 436

23
Sampel 3 27,3 27,5 29,4 15,8 436
Sampel 4 28,0 26,8 29,4 15,8 436
Sampel 5 27,8 27,1 29,4 15,6 435
Jumlah nukleotida kelima sampel tidak sam, sampel 1 dan 5 memiliki
nukleotida sebanyak 435 pb, sedangkan sampel 2,3, dan 4, memiliki jumlah
nukleotida 436 pb, hal ini terjadi karena adanya mutasi Indel yang menyebabkan
adanya gaps pada sampel 1 dan 5 yaitu tepatnya pada site 37. Kemungkinan ini
disebabkan karena mutasi tipe insersi (penambahan) pada sampel 2,3, dan 4,
karena pada A.planci yang diperoleh dari gene bank, kita juga menemukan gaps
pada site 37.

Kelima sampel ini memang benar-benar spesies A. planci, hal ini


dibuktikan dengan membandingkan sequens kelima sampel dengan data yang ada
di gene bank (National Center Biotechnology Information). Dari gene bank, kita
hanya menemukan data sequens satu individu A. planci. Sampel 1 dan 2 memiliki
kedekatan genetic 98% jika dibandingkan dengan data gene bank, sedangkan
untuk sampel 3 dan 5 memiliki kedekatan 99%, dan 97% untuk sampel 4.

Dari data sequens kelima sampel, kita menemukan adanya 26 site yang
berbeda, yang merupakan akibat dari adanya mutasi, baik itu transisi ataupun
transverse, atau bahkan Indel (insersi-dellesi). Adapun perubahan nukleotid ini
bisa dilhat pada table 4. Dalam table tersebut terlihat bahwa, terjadi transisi pada
site 21, 23, 25, 26, 65, 98, 106, 102, 106, 112, 116, 118, 119, 124, 169, 186, 201,
247, 272, 276, 286, 311, 321, 377, 388. Sedangkan transverse terjadi pada site 20
dan 46. Untuk indel terjadi hanya pada site 37.

Table 4. Perbedaan nukleotida kelima sampel

2 2 2 2 2 3 4 6 9 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3
0 1 3 5 6 7 6 5 8 0 1 1 1 1 2 6 8 0 4 7 7 8 1 2 7 8
6 2 6 8 9 4 9 6 1 7 2 6 6 1 1 7 8
Sampel 1 A T A A G - C G A C C C C T C A G C A T A G G G A A
Sampel 2 C . G . A C A . G T . T . . T . A T G . G . A A . .
Sampel 3 . C G G A T . . . . . . . . T . A T . C G . . A . .
Sampel 4 . . . G A T . A . . T . T C T G A T . . G A . A G G
Sampel 5 C C G . A - . . . T . . T . T . A T . . G . . A . .

24
Secara genetic, kelima sampel memiliki haplotipe yang berbeda-beda,
tidak ada yang satu haplotipe. Hal ini bisa kita lihat dari jarak genetiknya, yaitu
dengan melihat table 5 (table pairwise distance). Pada table tersebut, kita bisa
melihat perbedaan antar nukelotida. Nilai ini berkisar dari 0 sampai 1. Ketika kita
mendapatkan nilai 0 antara dua sampel ini berarti bahwa kedua sampel tersebut
adalah satu haplotipe. Sedangkan jika kita mendapatkan angka 1, hal ini berarti
bahwa kedua sampel tersebut sangat berbeda dan tidak memiliki hubungan
sedikitpun. Dalam table ini kita melihat bahwa hubungan yang terdekat yaitu
antara sampel 3 dengan sampel A. planci dari gene bank. Dengan perbedaan 0,01
(1%), berarti bahwa kedua sampel ini memiliki kesamaan 99%. Demikian halnya
dengan sampel 5 dan 1 kemudian juga sampel 5 dan 3. Hubungan yang paling
jauh yaitu antar sampel 1 dengan sampel 4 dan sampel 2 dengan sampel 4 dengan
tingkat kesamaan 96%. Tingkat kesamaan ini juga divisualisasikan dalam pohon
filogenetik pada gambar 7.

Table 5. Pairwise Distance dengan metode kimura 2 parameter

I II III IV V VI
A.panci (I)
Sampel 1 (II) 0,02
Sampel 2 (III) 0,02 0,03
Sampel 3 (IV) 0,01 0,02 0,02
Sampel 4 (V) 0,03 0,04 0,04 0,03
Sampel 5 (VI) 0,01 0,03 0,02 0,01 0,03

Gambar 7. Pohon filogenetik dengan metode kimura 2 parameter


25
VI. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa:
1. Kelima sampel A.planci, merupakan haplotipe yang berbeda.
2. Kelima sampel memiliki perbedaan panjang nukleotida yaitu : 475 untuk
sampel 1 dan 5 sedangkan untuk sampel 2,3,dan 4 memiliki panjang
nukleotida 476 pb.
3. Hubugan kekrabatan antara kelima smapel yaitu : antara sampel 1 dan 4, 2
dan 4 memiiki kesamaan genetic 96%, untuk sampel 1 dan 2, 2 dan 5, 3
dan 4, 4 dan 5 memiliki kesamaan genetic 97%, sedangkan sampel 1 dan
3, 2 dan 3 memiliki kesamaan genetic 98%, dan yag terakhir sampel 5 dan
1, sampel 3dan 5 memiliki kesamaan 99%.

6.2 Saran
Dari hasil yang diperoleh, disarankan agar dilakukan penelitian lanjutan
dengan menggunakan sampel dari lokasi lain, diseluruh Indonesia, \dan
menggabungkannya kemudian dilakukan analisis philogeografi dari A.planci di
Indonesia. Selain itu, sumber data genetic di gene bank tentang acanthaster planci
masih sangat sedikit, sehingga perlu dilakukan pengurutan sequens DNA secara
lengkap dan memasukannya ke gene bank.

26
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. DNA mitokondria. Wikipedia. (2 Agustus 2010 08:41 WITA)


http://id.wikipedia.org/wiki/DNA_mitokondria

Anonim1 . 2009. Taxonomy Acanthaster planci. Biosearch. (21 Juli 2010 4:44
WITA) http://www.scuba-equipment usa.com

Anonim2 . 2009. Model Dinamika Populasi dan Evaluasi Stok. (15 Juli 2010
11:15 WITA) http://ahmaddaud.blogspot.com/2009/03/pola-interaksi-
terumbu-karang-dengan.html

Budianto Agus. 2002. Sang bintang laut pemburu karang. Warta oceanografi
vol. XVI.

La Aji, Sri. Karakterisasi Fragmen gen COI bulu babi tripnetus gratilla yang
diperoleh dengan metode PCR. Jurusan kimia Unipa. Manokwari.

Lehninger, L.A. 1982. Dasar-dasar Biokimia jilid 3. Erlangga. IPB Bogor.

Muladno. 2002. Seputar teknologi rekayasa genetika. Pustaka wirausaha muda.


Bogor.

Solihin, DD. 1994. Peranan DNA mitokondria dalam studi keragaman genetic
dan biologi populasi pada hewan. Jurnal hayati.

Tamura K, Dudley J, Nei M & Kumar S (2007) MEGA4: Molecular


Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0.
Molecular Biology and Evolution 24:1596-1599

Toha, A.H.A, dkk.2009. Panduan teknologi DNA untuk mempelajari


organism laut. Laboratorium Genetika UNIPA. Manokwari.

Yasuda N, dkk. 2006. Complete mitochondrial genome sequences for Crown-of-


thorns starfish Acanthaster planci and Acanthaster brevispinus (14
Agustus 2010 13:00 WITA)
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/blast/Blast.cgi

Yuriadi, dkk. 2010. Kajian molekuler daerah D-Loop parsial DNA mitokondria
kuda (equus cabllus) asli tengger. Jurnal veteriner FKH UNUD
BAli.vol 11 no 1 maret 2010. ISSN : 1411-8327 hal1-6.
27
LAMPIRAN

28
Lampiran 1. Diagram proses Pengukuran Genetik

Ekstraksi

PCR

EXOSAP Elektroforesis

Cycle Sequensing Dilihat dengan UV 254 nm

Presipitasi

Sequenser

Editing dan Analisis data

29
Lampiran 2. Gambar Alat-Alat Laboratorium di Biomedik dan biomol
Hewan FKH UNUD.

Micro Sentrifuge Mesin PCR

Laminar Flow ELISA Reader

Inkubator Wadah Elekroforesis

30
Mikroskop
Estrim ESCO

31

Anda mungkin juga menyukai