Anda di halaman 1dari 3

AJARAN KEGELAPAN

Oleh: I Wayan Wiharta Nadi

Terang itu adalah kebenaran, pengetahuan. Gelap itu adalah


kesesatan, kebodohan. Begitulah kita sering mengibaratkan dua hal
diatas. Padahal, kalau tidak ada gelap, tidak akan ada terang. Kalau
tidak ada terang, tidak akan ada gelap. Dua-duanya selalu datang
bersamaan sebagai satu paket. Rwa Bhinedda. Hanya saja,
konotasinya gelap selalu negatif, dan terang pasti positif.
Tapi apakah kegelapan itu selalu demikian buruknya? Kalau
gelap itu selalu buruk, kenapa kita memejamkan mata saat
sembahyang, saat kita ingin bertemu Sang Maha Cahaya? Kenapa kita
mencari-Nya dalam gelap?
Malah sebenarnya banyak konsep ketuhanan yang identik
dengan gelap. Siwaratri contohnya, ratri artinya gelap atau malam.
Nama Krishna sendiri berarti hitam seperti awan mendung, Gaura
(atau Gauri) juga berarti hitam. Iswara juga dilambangkan dengan
warna hitam. Waktu Nyepi kita juga bergelap-gelap ria.
Manusia memiliki mata sebagai indera penglihatan yang
kemampuannya relatif lebih buruk dibandingkan dengan beberapa
jenis hewan. Banyak hewan justru menunggu gelap untuk melakukan
aktifitas karena mereka memiliki indera penglihatan yang lebih baik
daripada yang lainnya. Bagian pupil matanya hanya membutuhkan
sedikit cahaya untuk dapat menangkap kesan suatu benda dengan
benar dalam kegelapan, sedangkan manusia butuh cahaya yang cukup
untuk dapat melihat keberadaan suatu benda. Itulah mungkin, karena
manusia percaya pada penglihatanya, manusia menyukai terang.
Coba kita balik konsepnya, biar gelap (karena konsep Siwaratri,
Krishna, dan Gaura diatas) jadi positif, terang jadi negatif (karena
berlawanan dengan konsep pertama yaitu gelap). Apakah kita bisa
mengambil sesuatu dari kegelapan?
Ternyata, di dalam gelap kita tidak membeda-bedakan. Di
dalam gelap tidak ada diskriminasi, semuanya sama saja. Di dalam
gelap, penilaian kita melalui mata berhenti. Kita jadi tidak lagi memilih-
milih. Tidak ada indah, tidak ada buruk. Tidak ada bagus, tidak ada
jelek.
Jika kita melihat konsep keadaan persepsi jiwa yang sudah
mencapai tahap mukti, konon disana perbedaan-perbedaan juga sudah
tidak ada. Segala sifat yang berlawanan sudah hilang, keadaan
kembali ke keadaannya yang sejati. Susah senang sama saja, suka
duka tidak berbeda. Dalam keadaan beginilah kedamaian dan
kebahagiaan yang sejati tercapai oleh jiwa. Dalam keadaan tidak
membeda-bedakan. Dalam keadaan rwa bhineda sudah bukan hal
yang penting lagi.
Dalam kitab-kitab suci Hindu kita seringkali diperingatkan agar
tidak tertipu oleh indera kita, kitalah yang mengatur indera kita, bukan
indera kita yang mengatur kita. Descartes, seorang filsuf, malahan
secara ekstrem menolak mempercayai indera sebagai alat untuk
mencari kebenaran. “Kalau indera telah terbukti dapat memperdayai
kita, berarti kita tidak perlu mempercayainya sama sekali,” katanya di
bukunya yang terkenal, Meditation on the First Philosophy.
Kebiasaan pikiran kita untuk memilih dan memilah konon
merupakan asal muasal penderitaan. Kita cenderung senang kepada
apa yang menarik bagi indera kita, otomatis berarti kita tidak senang
terhadap apa yang tidak menarik indera-indera kita. Padahal, apa yang
bisa dipersepsi oleh indera itu hanya menyenangkan indera saja, dan
apa yang menyenangkan indera itu, harus kita selalu ingat, bersifat
tidak abadi. Suka ujungnya duka, duka juga tidak selamanya ada.
Begitulah ternyata keadaannya, gelap itu tidak selalu jadi
negatif. Ada positifnya juga. Saya sih sekedar mencoba membalikkan
logika saja, supaya kita tahu kalau dalam agama saya Tuhan kadang-
kadang diidentikkan dengan hitam atau gelap itu ada pesan-pesannya
yang tersembunyi. Tidak mundkin agama saya mengajarkan
menyembah kebodohan dan ketidakbenaran.
Kita juga harus mengakui bahwa ada relatifitas dalam semua
ini sehingga tidak selamanya yang terang itu adalah positif dan gelap
itu adalah negatif. Tergantung sudut pandang kita. Lagipula, cahaya
tampak sangat terang bila kita berada di kegelapan dan cahaya
jugalah yang selalu menimbulkan bayangan pada setiap benda yang
ditimpanya. Sekali lagi, karena ada teranglah, gelap itu ada.
Kita juga gak selalu membutuhkan terang mentang-mentang
terang itu konsepnya positif, kadang-kadang kita butuh gelap juga.
Kita bisa tidur lebih nyenyak kalau kita mematikan lampu dalam ruang
tidur. Kalau kita menonton film juga kita butuh gelap supaya proyeksi
pada layar tampak lebih tajam. Bapak ibu kita juga butuh gelap supaya
kita ada. Ngapain? Auk ah,…..gelap !!!!!!

Anda mungkin juga menyukai