0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
39 tayangan3 halaman
Dokumen ini membahas bahwa kegelapan tidak selalu negatif. Beberapa agama mengidentikkan konsep Tuhan dengan warna hitam atau gelap. Dalam kegelapan, tidak ada diskriminasi atau pemilihan. Kegelapan dapat membawa kedamaian karena menghilangkan perbedaan. Gelap juga diperlukan untuk tidur nyenyak atau menonton film dengan jelas.
Dokumen ini membahas bahwa kegelapan tidak selalu negatif. Beberapa agama mengidentikkan konsep Tuhan dengan warna hitam atau gelap. Dalam kegelapan, tidak ada diskriminasi atau pemilihan. Kegelapan dapat membawa kedamaian karena menghilangkan perbedaan. Gelap juga diperlukan untuk tidur nyenyak atau menonton film dengan jelas.
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai DOC, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Dokumen ini membahas bahwa kegelapan tidak selalu negatif. Beberapa agama mengidentikkan konsep Tuhan dengan warna hitam atau gelap. Dalam kegelapan, tidak ada diskriminasi atau pemilihan. Kegelapan dapat membawa kedamaian karena menghilangkan perbedaan. Gelap juga diperlukan untuk tidur nyenyak atau menonton film dengan jelas.
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai DOC, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Terang itu adalah kebenaran, pengetahuan. Gelap itu adalah
kesesatan, kebodohan. Begitulah kita sering mengibaratkan dua hal diatas. Padahal, kalau tidak ada gelap, tidak akan ada terang. Kalau tidak ada terang, tidak akan ada gelap. Dua-duanya selalu datang bersamaan sebagai satu paket. Rwa Bhinedda. Hanya saja, konotasinya gelap selalu negatif, dan terang pasti positif. Tapi apakah kegelapan itu selalu demikian buruknya? Kalau gelap itu selalu buruk, kenapa kita memejamkan mata saat sembahyang, saat kita ingin bertemu Sang Maha Cahaya? Kenapa kita mencari-Nya dalam gelap? Malah sebenarnya banyak konsep ketuhanan yang identik dengan gelap. Siwaratri contohnya, ratri artinya gelap atau malam. Nama Krishna sendiri berarti hitam seperti awan mendung, Gaura (atau Gauri) juga berarti hitam. Iswara juga dilambangkan dengan warna hitam. Waktu Nyepi kita juga bergelap-gelap ria. Manusia memiliki mata sebagai indera penglihatan yang kemampuannya relatif lebih buruk dibandingkan dengan beberapa jenis hewan. Banyak hewan justru menunggu gelap untuk melakukan aktifitas karena mereka memiliki indera penglihatan yang lebih baik daripada yang lainnya. Bagian pupil matanya hanya membutuhkan sedikit cahaya untuk dapat menangkap kesan suatu benda dengan benar dalam kegelapan, sedangkan manusia butuh cahaya yang cukup untuk dapat melihat keberadaan suatu benda. Itulah mungkin, karena manusia percaya pada penglihatanya, manusia menyukai terang. Coba kita balik konsepnya, biar gelap (karena konsep Siwaratri, Krishna, dan Gaura diatas) jadi positif, terang jadi negatif (karena berlawanan dengan konsep pertama yaitu gelap). Apakah kita bisa mengambil sesuatu dari kegelapan? Ternyata, di dalam gelap kita tidak membeda-bedakan. Di dalam gelap tidak ada diskriminasi, semuanya sama saja. Di dalam gelap, penilaian kita melalui mata berhenti. Kita jadi tidak lagi memilih- milih. Tidak ada indah, tidak ada buruk. Tidak ada bagus, tidak ada jelek. Jika kita melihat konsep keadaan persepsi jiwa yang sudah mencapai tahap mukti, konon disana perbedaan-perbedaan juga sudah tidak ada. Segala sifat yang berlawanan sudah hilang, keadaan kembali ke keadaannya yang sejati. Susah senang sama saja, suka duka tidak berbeda. Dalam keadaan beginilah kedamaian dan kebahagiaan yang sejati tercapai oleh jiwa. Dalam keadaan tidak membeda-bedakan. Dalam keadaan rwa bhineda sudah bukan hal yang penting lagi. Dalam kitab-kitab suci Hindu kita seringkali diperingatkan agar tidak tertipu oleh indera kita, kitalah yang mengatur indera kita, bukan indera kita yang mengatur kita. Descartes, seorang filsuf, malahan secara ekstrem menolak mempercayai indera sebagai alat untuk mencari kebenaran. “Kalau indera telah terbukti dapat memperdayai kita, berarti kita tidak perlu mempercayainya sama sekali,” katanya di bukunya yang terkenal, Meditation on the First Philosophy. Kebiasaan pikiran kita untuk memilih dan memilah konon merupakan asal muasal penderitaan. Kita cenderung senang kepada apa yang menarik bagi indera kita, otomatis berarti kita tidak senang terhadap apa yang tidak menarik indera-indera kita. Padahal, apa yang bisa dipersepsi oleh indera itu hanya menyenangkan indera saja, dan apa yang menyenangkan indera itu, harus kita selalu ingat, bersifat tidak abadi. Suka ujungnya duka, duka juga tidak selamanya ada. Begitulah ternyata keadaannya, gelap itu tidak selalu jadi negatif. Ada positifnya juga. Saya sih sekedar mencoba membalikkan logika saja, supaya kita tahu kalau dalam agama saya Tuhan kadang- kadang diidentikkan dengan hitam atau gelap itu ada pesan-pesannya yang tersembunyi. Tidak mundkin agama saya mengajarkan menyembah kebodohan dan ketidakbenaran. Kita juga harus mengakui bahwa ada relatifitas dalam semua ini sehingga tidak selamanya yang terang itu adalah positif dan gelap itu adalah negatif. Tergantung sudut pandang kita. Lagipula, cahaya tampak sangat terang bila kita berada di kegelapan dan cahaya jugalah yang selalu menimbulkan bayangan pada setiap benda yang ditimpanya. Sekali lagi, karena ada teranglah, gelap itu ada. Kita juga gak selalu membutuhkan terang mentang-mentang terang itu konsepnya positif, kadang-kadang kita butuh gelap juga. Kita bisa tidur lebih nyenyak kalau kita mematikan lampu dalam ruang tidur. Kalau kita menonton film juga kita butuh gelap supaya proyeksi pada layar tampak lebih tajam. Bapak ibu kita juga butuh gelap supaya kita ada. Ngapain? Auk ah,…..gelap !!!!!!
MAKRIFAT SUNAN KALIJAGA Jeng Sunan Kalijaga Ngling Amdehar Ing Pangawikan Den Waspada Ing Mangkene Sampun Nganggo Kumalamat Den Awas Ing Pangeran Kadya Paran Awasipun Pangeran Pan Ora Rupa Nora Arah Nora Warni Tan Ana Ing w