Oleh:
Nama: Joni Liang
NIM : 18.50.061
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar
biasa. Kebahagiaan Nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan
memadamkannya.
Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Lantas, apakah Nibbana itu? Tidak mudah
untuk mengetahui apa Nibbana itu sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang
bukan Nibbana. Nibbana bukanlah ketiadaan atau kepenuhan. Apakah Buddha akan
meninggalkan keluarga dan kerajaan-Nya dan berceramah selama 45 tahun-semuanya hanya
demi suatu keadilan?
Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa abad setelah Buddha, sebagian aliran
Buddhisme mulai menggambarkan Nibbana sebagai surga. Tujuan mereka
menyetarakan Nibbana dengan alam surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang “kurang
pintar” dan untuk menarik mereka pada ajaran aliran itu, lalu berjuang menuju Nibbana berarti
jadi menjadi mencari suatu tempat yang indah dimana semua hal baik adanya dan semua orang
bahagia selamanya. Ini mungkin suatu dongeng yang menyenangkan, tetapi itu
bukan Nibbana yang dialami dan diperkenalkan oleh Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak
menyangkal gagasan tentang surga seperti yang dikenal dalam agama-agama awal India, tetapi
itu Buddha mengetahui bahwa surga-surga ini masih termasuk dalam samsara, sementara
keterbatasan akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa jalan
menuju Nibbana tertuju lebih dari surga.
Jika Nibbana bukan suatu tempat, lalu di manakah Nibbana itu? Secara tegas, kita tidak
dapat bertanya di manakah Nibbana itu. Nibbana ada sama seperti adanya api. Tidak ada
tempat penyimpanan untuk api ataupun untuk Nibbana. Tetapi jika Anda menggosok potongan
kayu bersamaan, maka gesekan dan panas adalah kondisi yang tepat bagi api untuk muncul.
Demikian juga, jika sifat pikiran manusia sedemikian sehingga bebas dari semua noda, maka
kebahagiaan Nibbana akan muncul.
Setiap orang dapat merealisasikan Nibbana, tetapi sebelum mengalami keadaan
tertinggi kebahagiaan Nibbana, ia hanya dapat berspekulasi seperti apa itu sebenarnya,
sekalipun kita bisa mendapatkannya sekilas dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang
bersikeras pada teori, teks-teks menawarkan bantuan. Teks-teks menyarankan
bahwa Nibbana adalah keadaan kebahagiaan murni yang luar biasa.
Dengan dirinya sendiri, Nibbana cukup tidak dapat dijelaskan dan didefinisikan.
Seperti kegelapan hanya dapat dijelaskan dengan lawannya: terang, dan seperti ketenangan
hanya dapat dijelaskan oleh lawannya: gerakan, demikian pula Nibbana, sebagai suatu keadaan
yang setara dengan pemadaman segala duka dapat dijelaskan dengan lawannya: duka yang
dipukul dalam samsara. Seperti kegelapan timbul pada saat tidak ada cahaya, seperti
ketenangan muncul pada saat tidak ada gerakan, demikian pula Nibbana ada di mana-mana
saat duka, perubahan, dan cemaran batin tidak ada.
Seorang penderita yang menggaruk lukanya dapat mengalami rasa lega sementara. Rasa lega
ini hanya memperburuk luka dan memperparah penyakit. Kegembiraan kesembuhan akhir
tidak dapat dibandingkan dengan rasa lega sementara yang diperoleh dari garukan, pemuasan
nafsu indrawi hanya membawa kepuasan atau kebahagiaan sementara yang justru
memperpanjang perjalanan samsara adalah Nibbana. Nibbanaadalah akhir dari nafsu yang
menyebabkan semua penderitaan kelahiran, usia, tua, penyakit, kematian, kepedihan, ratapan,
dan keputusasaan. Kegembiraan penyembuhanNibbana sulit dibandingkan dengan kesenagan
sementara dalam samsara yang diperoleh dari pemenuhan nafsu indrawi.
Tidak disarankan untuk berspekulasi tentang apakah Nibbana itu; lebih baik untuk
mengetahui bagaimana menyampaikan kondisi yang diperlukan untuk Nibbana,bagaimana
mencapai keheningan dan kebeningan pandangan yang menuju Nibbana. Ikuti nasehat
Buddha, praktekan ajaran-Nya. Lenyapkan semua kotoran yang berakar dalam ketamakan
(lobha), kebencian (dosa) dan ketakutan (moha). Murnikan batin sendiri dari semua nafsu dan
sadari tiadanya inti diri yang mutlak. Jalani hidup dengan tindakan moral yang benar dan secara
konstan lakukan meditasi. Dengan upaya aktif, bebaskan diri sendiri dari semua keakuan dan
khayalan. Kemudian, Nibbana akan direalisasikan dan dialami.
1. Nibbana dan Samsara
Pelajar Buddhisme Mahayana terkemuka, Ngarjuna, berkata bahwa samsara dan
Nibbana adalah satu. Penafsiran ini bisa dengan mudah disalahpahami oleh orang lai.
Bagaimanapun, menyatakan bahwa samsara dan Nibbana itu sama saja, berarti
mengatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hilangnya hal terkondisi dan keadaan tak
terkondisi dari Nibbana. Berdasarkan Tipitaka pali, samsara digambarkan sebagai
kesinambungan tak terputus dari lima gugus, empat unsur, dan dua belas besar dasar atau
sumber proses batin; sedangkan Nibbana digambarkan sebagai pemadaman sumber relatif
fisik dan mental itu. Mereka yang merealisai kebahagiaan Nibbana dapat mengalaminya
selama sisa keberadaan mereka sebagai manusia. Setelah kematian, hubungan dengan
unsur-unsur tersebut akan luruh, karena alasan yang sederhana bahwa Nibbana tidak
terkondisi, tidak relatif, atau tidak salin bergantung. Jadi tiada lain bahwa Nibbana adalah
“Kebenaran Mutlak”.
Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan saat ini juga. Ajaran Buddha tidak menyatakan
bahwa tujuan akhir itu hanya dapat dicapai dalam kehidupan sesudahnya.
Ketika Nibbana direlisasikan dalam hidup ini dengan tubuh masih ada, hal ini disebut
Saupadisesa Nibbana(nibbana masih bersisa).
Saat seorang Arahat merealisasi Parinibbana, setelah luruhnya tubuh, tanpa sisa
keberadaan fisik, hal ini disebut Anupadisesa Nibbana(nibbana tanpa sisa).
Kita harus belajar untuk tidak melekat dari semua hal keduniawian. Jika ada kelekatan
terhadap seorang atau sesuatu, atau jika ada keengganan terhadap seseorang atau sesuatu,
kita tidak akan pernah merealisasi Nibbana karena Nibbana melampaui semua kelekatan
dan keengganan, suka dan tidak suka.
Saat keadaan tertinggi itu tercapai, kita akan memahami sepenuhnya hidup
keduniawian yang sekarang ini. Dunia ini akan berhenti menjadi obyek nafsu. Kita akan
menyadari ketaktetapan, ketakpuasan, dan ketiadadirian semua yang hidup dan yang tak
hidup. Dengan tergantung pada guru atau buku suci tanpa usaha kita sendiri dengan cara
yang benar, sukar untuk meraih penyadaran Nibbana. Mimpi akan buyar. Tidak ada istana
yang akan dibangun di udara. Badai akan berlalu. Perjuangan hidup akan usai. Proses alam
akan berhenti. Semua kecemasan, kesengsaraan, gangguan, beban, penyakit fisik dan
mental, dan emosi akan berakhir setelah merealisasikan keadaan kebahagiaan Nibbana ini.
Nibbana mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang
terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep sorga maupun neraka, ataupun arti
yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, maupun Hindu. Radhakrishnan
memberikan pengertian nibbana sebagai bebas dari kelahiran kembali, berakhirnya rantai
kehidupan, paniadaan keinginan, dendam dan kebodohan teratasi, maka tercapailah nibbana
yang mutlak.
Nibbana mengatasi hubungan relatif antara ada dan tiada, antara being dan non-being.
Di dalam Sutta-sutta seperti Angutaranikaya I:152, Samyut-tanikaya IV: 359 dan lain-lain,
nibbana dipahami sebagai yang mutlak. Di dalam agama Buddha Mahayana, yang mutlak
adalah sunyata, terutama seperti yang digambarkan dalam ajaran Nagaryuna. Namun
demikian, semua aliran agama Buddha memandang yang mutlak sebagai tujuan yang
terakhir, yaitu nibbana.
Tujuan akhir umat Buddha adalah Nibbana. Banyak buku yang mengujikan uraian
tentang Nibbana telah dituliskan sejak jaman dahulu hingga kini. Nibbana bukanlah sesuatu
yang harus dituliskan atau dijelaskan, tetapi harus dialami. Penjelasan tentang rasa gula
terhadap orang yang belum pernah merasakan gula. Hanya dengan merasakan gula, maka
orang dapat mengetahui dan menilainya sendiri. Nibbana adalah suatu “keadaan”, seperti
diajarkan oleh Sang Buddha, Nibbana adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap.
Api menjadi padam karena kehabisan bahan bakar. Nibbana adalah padamnya keinginan,
ikatan-ikatan, napsu-napsu, kekotoran-kekotoran bathin. Dengan demikian, Nibbana adalah
Kasunyatan Abadi, tidak dilahirkan (na-uppado-pannayati), tidak termusnah (na vayo-
pannayati), ada dan tidak berubah (nathitassannahattan-pannayati). Nibbana disebut
Asankhata-Dhamma (keadaan tanpa syarat, tidak berkondisi, yaitu Nibbana). Keadaan ini
sulit untuk dipaparkan sebagaimana keadaan gelap yang hanya dapat dikenal jika keadaan
terang diketahui. Nibbana dapat dialami jika dukkha telah disadari. Menyadari dukkha
berarti menyadari asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan untuk melenyapkan
dukkha. Lenyapnya dukkha berarti pula lenyapnya sedih dan gembira.
Sedih dan gembira adalah nilai subyektif yang timbul dari pikiran orang yang
merupakan refleksi keinginan pribadi, karena refleksi-refleksi tidak mempunyai nialai
sejati, maka sedih dan gembira hanya merupakan refleksi “aku” yang khayal. Lenyapnya
khayalan itu disebut Nibbana. Jika khayalan “aku” telah terbasmi, maka tiada lagi
perubahan-perubahan sedih dan gembira. Itulah yang dimaksud dengan “Nibbana peranan
sukkham” (Nibbana Kebahagiaan Tertinggi), bukan kebahagiaan duniawi atau kebahagiaan
emosional, melainkan pembebasan mutlak dari segala bentuk ikatan indera dan keiginan
rendah (tanha).
Pengertian Nibbana yang paling singkat dan menyeluruh adalah berakhirnya proses
“menjadi” (dumadi) Dalam Milinda Panha (kitab yang berisi percakapan antara Bhikku
Nagasena dan Raja Yunani) dikatakan:
“Nibbana penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan, O Raja. Barang siapa yang
mengatur kehidupannya secara sempurna, dengan memahami sifat kehidupan, sesuai
dengan ajaran para Buddha, menyadari kehidupan melalui kebijaksanaan (panna),
sebagaimana seorang siswa, yang mengikuti petunjuk-petunjuk Sang Guru, menjadikan
dirinya seorang nahkoda bagi kapalnya sendiri”.
“Jika Anda bertanya, bagaimana Nibbana dapat diketahui, hal itu dapat diketahui
melalui pembebasan dari ketenangan dan bahaya, melalui kedamaian, ketengan,
kebahagiaan dan kesucian”.
“sebagaimana seorang, O Raja, yang jatuh ke dalam tungku perapian yang penuh dengan
ikatan kayu kering, melalui usahanya yang keras, ia dapat menyelamatkan dirinya dari
mencapai sebuah tempat yang sejuk, maka ia akan merasakan kebahagiaan yang luhur,
begitupula halnya dengan orang yang hidup dengan benar. Orang demikian, melalui refleksi
sungguh-sungguh menyelami kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana setelah panas yang
membakar dari tiga api api keserakahan(Lobha), api kebencian(Dosa), api kebodohan
bathin(Moha) dipadamkan seluruhnya. Tungku perapian menggambarkan tiga api di atas,
orang yang sedang terbakar di dalamnya dan telah melepaskan diri menggambarkan dirinya
yang menempuh kehidupan dengan benar, sedangkan tempat yang sejuk menggambarkan
arti Nibbana”.
Pemadaman api ada di dalam api, demikian juga pemadaman dukkha ada
pada dukkhasendiri… (the Dawning of Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 3, 63/ A
Buddhist Charter p. 35) “Kecantikan terdapat di jasad tubuh, ketenangan terdapat di dalam
pelepasan, bhikkhuterdapat di dalam kebenaran, nibbana terdapat pada keadaan hampir
mati sebelum kematian”. (Legacy We Would Leave with You no. 39)
Nibbana adalah ketenangan dan kedamaian yang dialami saat tidak ada kemelakatan-tidak
membutuhkan biaya sepeser pun.
Nibbana adalah sebuah kondisi yang tidak dapat dibandingkan dengan yang lain dengan
cara apapun. Nibbana tidak seperti kondisi keduniawian maupun manapun.
Sebenarnya, nibbana adalah negasi dari kondisi duniawi. Kita tidak dapat
menciptakannibbana karena nibbana melampaui semua sebab dan akibat, tetapi kita dapat
menciptakan kondisi untuk merealisasikan nibbana, yang dinamakan segala tindakan yang
menuntun kebebasan dari kotoran batin. (Handbook for Mankind p. 151/ Nibbana for
Everyone p. 8) …Hukum Alam, kekososngan, dan nibbana. Ketiganya tidak memiliki
pencipta. Bahkan Tuhan tidak dapat menciptakannya karena ketiganya memiliki setatus
yang sama sebagai Tuhan. (Legacy we Would Leave with You no. 59). Proses kelahiran dan
kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti sampai arus ini dibelokan ke Nibbanadhatu,
tujuan akhir umat Budha, istilah Pali “ Nibbana” berasal dari kata ini dan vana. Ni
merupakan partikel negative, sedang vana berarti nafsu atau keinginan. “ Disebut Nibbana,
karena terbebas dari nafsu yang disebut vana, keinginan”. Secara harfiah, Nibbana berarti
terbebas dari kemelekatan.
Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserekahan, kebencian
dan kebodohan. Sang Buddha bersabda: “seluruh dunia terbakar. Terbakar oleh apa?
Terbakar oleh api keserakahan, kebencian, dan kebodohan, oleh api kelahiran, usia tua,
kematian, kesakitan, duka cita, ratap tangis, kesedihan dan keluh kesah”.
Nibbana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan atau kemusnahan karena kita
tidak dapat memahaminya dengan pengertian duniawi kita. Misalanya seseorang tidak dapat
mengatakan bahwa tak ada cahaya, karena orang buta tak dapat melihatnya. Juga seperti
dalam sebuah cerita yang terkenal tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya
seekor penyu, yang dengan bangga mengatakan bahwa tidak ada daratan.
Dalan agama Buddha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan hampa
melainkan suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata secara tepat.
Nibbana adalah sesuatu yang “ tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta”. Karenanya,
Nibbana bersifat kekal (dhuva), diinginkan (subha), dan bahagia (sukha).
Ibarat sebuah jalan di hutan rimba yang gelap yang ujungnya ada cahaya. Seseorang
harus berjalan di jalan itu untuk menuju cahaya tersebut. Nibbana diibaratkan cahaya dan
jalan di hutan diibaratkan Jalan Suci Beruas 8.
Mendeskripsikan rasa manis, asam dan pahit updari buah manggis kepada seseorang
yang belum pernah memakan buah tersebut sangatlah sulit, nah seperti itulah nibbana.
Nibbana sangat sulit untuk dijelaskan, karena harus dirasakan secara pribadi.
Buddha bersabda tentang keadaan di Nibbana: “Ada sesuatu Yang Tak-Terlahirkan,
Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung. Bila tidak ada yang Tak-Terlahirkan, Tak-
Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka tidak akan ada jalan untuk bebas dari
Terlahir, Terjadi, Terbuat dan Tergabung. Tetapi karena adanya Yang Tak-Terlahirkan,
Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka ada jalan untuk terbebas dari Terlahir,
Terjadi, Terbuat dan Tergabung. (Udana: 80)
Bagaikan teratai yang tidak basah oleh air, nibbana tidak tercemar oleh kegelapan batin
Bagaikan air, nibbana mendinginkan panasnya kegelapan batin dan meredakan nafsu
keinginan
Bagaikan obat, nibbana melindungi makhluk yang terkena racun kegelapan batin,
menyembuhkan penyakit penderitaan, dan memberi gizi seperti nektar.
Bagaikan samudera yang kosong dari mayat, nibbana sama sekali kosong dari
kegelapan batin; seperti samudera yang tidak bertambah walaupun semua air sungai
mengalir ke dalamnya, demikian juga nibbana tidak akan bertambah dengan semua
makhluk yang mencapainya; nibbana adalah tempat bagi para makhluk agung (para
Arahat), dan ia dihiasi oleh gelombang pengetahuan dan kebebasan.
Bagaikan makanan yang menopang kehidupan, nibbana menyingkirkan usia tua dan
kematian;nibbana meningkatkan kekuatan spiritual para makhluk; nibbana memberikan
keindahan moralitas, nibbana menghilangkan tekanan kegelapan batin, nibbana
menghalau kelelahan semua penderitaan.
Bagaikan ruang, nibbana tidak dilahirkan, tidak lapuk ataupun hancur, nibbana tidak
berlalu di sini dan muncul di tempat lain, nibbana tidak terkalahkan, pencuri tidak dapat
mengambilnya, nibbana tidak terikat pada apa pun, nibbana adalah lingkup bagi para
Ariya ibarat burung-burung di angkasa, nibbana tidak terhalangi dan tidak terhingga.
Bagaikan permata yang bisa mengabulkan segala permintaan, nibbana memenuhi
semua keinginan, menyebabkan sukacita dan berkilau. “Bagaikan kayu cendana
merah, nibbana sulit didapat, keharumannya tak ada bandingnya dan nibbana dipuji
orang-orang bajik.
Bagaikan puncak gunung, nibbana sangat tinggi, tidak tergoyahkan, tidak ada jalan
masuk bagi kegelapan batin; nibbana tidak mempunyai ruang bagi kegelapan untuk dapat
tumbuh, dan nibbanatidak memihak atau berprasangka.
Bagaikan ghee(Mentega dari lemak Hewan) yang dikenal karena sifat khasnya, begitu
juga nibbana mempunyai sifat khas sendiri; seperti ghee yang beraroma harum, begitu
juga nibbana memiliki keharuman moralitas; seperti ghee yang mempunyai cita rasa yang
lezat, begitu juga nibbana mempunyai kelezatan cita rasa kebebasan.
Sebuah cerita tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya seekor penyu,
dimana atas ketidaktahuannya sang ikan dengan bangga menyatakan bahwa tidak ada
daratan.
Kita tidak dapat menggambarkan warna hijau kepada orang buta karena mereka tak
dapat melihatnya.