Anda di halaman 1dari 15

MATERI

NIBBANA DALAM AJARAN BUDDHA

Oleh:
Nama: Joni Liang
NIM : 18.50.061

MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA


JURUSAN SISTEM INFORMASI
STMIK PPKIA TARAKANITA RAHMAWATI
TARAKAN
2018
Pengertian Nibbana

Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar
biasa. Kebahagiaan Nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan
memadamkannya.
Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Lantas, apakah Nibbana itu? Tidak mudah
untuk mengetahui apa Nibbana itu sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang
bukan Nibbana. Nibbana bukanlah ketiadaan atau kepenuhan. Apakah Buddha akan
meninggalkan keluarga dan kerajaan-Nya dan berceramah selama 45 tahun-semuanya hanya
demi suatu keadilan?
Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa abad setelah Buddha, sebagian aliran
Buddhisme mulai menggambarkan Nibbana sebagai surga. Tujuan mereka
menyetarakan Nibbana dengan alam surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang “kurang
pintar” dan untuk menarik mereka pada ajaran aliran itu, lalu berjuang menuju Nibbana berarti
jadi menjadi mencari suatu tempat yang indah dimana semua hal baik adanya dan semua orang
bahagia selamanya. Ini mungkin suatu dongeng yang menyenangkan, tetapi itu
bukan Nibbana yang dialami dan diperkenalkan oleh Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak
menyangkal gagasan tentang surga seperti yang dikenal dalam agama-agama awal India, tetapi
itu Buddha mengetahui bahwa surga-surga ini masih termasuk dalam samsara, sementara
keterbatasan akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa jalan
menuju Nibbana tertuju lebih dari surga.
Jika Nibbana bukan suatu tempat, lalu di manakah Nibbana itu? Secara tegas, kita tidak
dapat bertanya di manakah Nibbana itu. Nibbana ada sama seperti adanya api. Tidak ada
tempat penyimpanan untuk api ataupun untuk Nibbana. Tetapi jika Anda menggosok potongan
kayu bersamaan, maka gesekan dan panas adalah kondisi yang tepat bagi api untuk muncul.
Demikian juga, jika sifat pikiran manusia sedemikian sehingga bebas dari semua noda, maka
kebahagiaan Nibbana akan muncul.
Setiap orang dapat merealisasikan Nibbana, tetapi sebelum mengalami keadaan
tertinggi kebahagiaan Nibbana, ia hanya dapat berspekulasi seperti apa itu sebenarnya,
sekalipun kita bisa mendapatkannya sekilas dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang
bersikeras pada teori, teks-teks menawarkan bantuan. Teks-teks menyarankan
bahwa Nibbana adalah keadaan kebahagiaan murni yang luar biasa.
Dengan dirinya sendiri, Nibbana cukup tidak dapat dijelaskan dan didefinisikan.
Seperti kegelapan hanya dapat dijelaskan dengan lawannya: terang, dan seperti ketenangan
hanya dapat dijelaskan oleh lawannya: gerakan, demikian pula Nibbana, sebagai suatu keadaan
yang setara dengan pemadaman segala duka dapat dijelaskan dengan lawannya: duka yang
dipukul dalam samsara. Seperti kegelapan timbul pada saat tidak ada cahaya, seperti
ketenangan muncul pada saat tidak ada gerakan, demikian pula Nibbana ada di mana-mana
saat duka, perubahan, dan cemaran batin tidak ada.
Seorang penderita yang menggaruk lukanya dapat mengalami rasa lega sementara. Rasa lega
ini hanya memperburuk luka dan memperparah penyakit. Kegembiraan kesembuhan akhir
tidak dapat dibandingkan dengan rasa lega sementara yang diperoleh dari garukan, pemuasan
nafsu indrawi hanya membawa kepuasan atau kebahagiaan sementara yang justru
memperpanjang perjalanan samsara adalah Nibbana. Nibbanaadalah akhir dari nafsu yang
menyebabkan semua penderitaan kelahiran, usia, tua, penyakit, kematian, kepedihan, ratapan,
dan keputusasaan. Kegembiraan penyembuhanNibbana sulit dibandingkan dengan kesenagan
sementara dalam samsara yang diperoleh dari pemenuhan nafsu indrawi.
Tidak disarankan untuk berspekulasi tentang apakah Nibbana itu; lebih baik untuk
mengetahui bagaimana menyampaikan kondisi yang diperlukan untuk Nibbana,bagaimana
mencapai keheningan dan kebeningan pandangan yang menuju Nibbana. Ikuti nasehat
Buddha, praktekan ajaran-Nya. Lenyapkan semua kotoran yang berakar dalam ketamakan
(lobha), kebencian (dosa) dan ketakutan (moha). Murnikan batin sendiri dari semua nafsu dan
sadari tiadanya inti diri yang mutlak. Jalani hidup dengan tindakan moral yang benar dan secara
konstan lakukan meditasi. Dengan upaya aktif, bebaskan diri sendiri dari semua keakuan dan
khayalan. Kemudian, Nibbana akan direalisasikan dan dialami.
1. Nibbana dan Samsara
Pelajar Buddhisme Mahayana terkemuka, Ngarjuna, berkata bahwa samsara dan
Nibbana adalah satu. Penafsiran ini bisa dengan mudah disalahpahami oleh orang lai.
Bagaimanapun, menyatakan bahwa samsara dan Nibbana itu sama saja, berarti
mengatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hilangnya hal terkondisi dan keadaan tak
terkondisi dari Nibbana. Berdasarkan Tipitaka pali, samsara digambarkan sebagai
kesinambungan tak terputus dari lima gugus, empat unsur, dan dua belas besar dasar atau
sumber proses batin; sedangkan Nibbana digambarkan sebagai pemadaman sumber relatif
fisik dan mental itu. Mereka yang merealisai kebahagiaan Nibbana dapat mengalaminya
selama sisa keberadaan mereka sebagai manusia. Setelah kematian, hubungan dengan
unsur-unsur tersebut akan luruh, karena alasan yang sederhana bahwa Nibbana tidak
terkondisi, tidak relatif, atau tidak salin bergantung. Jadi tiada lain bahwa Nibbana adalah
“Kebenaran Mutlak”.
Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan saat ini juga. Ajaran Buddha tidak menyatakan
bahwa tujuan akhir itu hanya dapat dicapai dalam kehidupan sesudahnya.
 Ketika Nibbana direlisasikan dalam hidup ini dengan tubuh masih ada, hal ini disebut
Saupadisesa Nibbana(nibbana masih bersisa).
 Saat seorang Arahat merealisasi Parinibbana, setelah luruhnya tubuh, tanpa sisa
keberadaan fisik, hal ini disebut Anupadisesa Nibbana(nibbana tanpa sisa).
Kita harus belajar untuk tidak melekat dari semua hal keduniawian. Jika ada kelekatan
terhadap seorang atau sesuatu, atau jika ada keengganan terhadap seseorang atau sesuatu,
kita tidak akan pernah merealisasi Nibbana karena Nibbana melampaui semua kelekatan
dan keengganan, suka dan tidak suka.
Saat keadaan tertinggi itu tercapai, kita akan memahami sepenuhnya hidup
keduniawian yang sekarang ini. Dunia ini akan berhenti menjadi obyek nafsu. Kita akan
menyadari ketaktetapan, ketakpuasan, dan ketiadadirian semua yang hidup dan yang tak
hidup. Dengan tergantung pada guru atau buku suci tanpa usaha kita sendiri dengan cara
yang benar, sukar untuk meraih penyadaran Nibbana. Mimpi akan buyar. Tidak ada istana
yang akan dibangun di udara. Badai akan berlalu. Perjuangan hidup akan usai. Proses alam
akan berhenti. Semua kecemasan, kesengsaraan, gangguan, beban, penyakit fisik dan
mental, dan emosi akan berakhir setelah merealisasikan keadaan kebahagiaan Nibbana ini.
Nibbana mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang
terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep sorga maupun neraka, ataupun arti
yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, maupun Hindu. Radhakrishnan
memberikan pengertian nibbana sebagai bebas dari kelahiran kembali, berakhirnya rantai
kehidupan, paniadaan keinginan, dendam dan kebodohan teratasi, maka tercapailah nibbana
yang mutlak.
Nibbana mengatasi hubungan relatif antara ada dan tiada, antara being dan non-being.
Di dalam Sutta-sutta seperti Angutaranikaya I:152, Samyut-tanikaya IV: 359 dan lain-lain,
nibbana dipahami sebagai yang mutlak. Di dalam agama Buddha Mahayana, yang mutlak
adalah sunyata, terutama seperti yang digambarkan dalam ajaran Nagaryuna. Namun
demikian, semua aliran agama Buddha memandang yang mutlak sebagai tujuan yang
terakhir, yaitu nibbana.
Tujuan akhir umat Buddha adalah Nibbana. Banyak buku yang mengujikan uraian
tentang Nibbana telah dituliskan sejak jaman dahulu hingga kini. Nibbana bukanlah sesuatu
yang harus dituliskan atau dijelaskan, tetapi harus dialami. Penjelasan tentang rasa gula
terhadap orang yang belum pernah merasakan gula. Hanya dengan merasakan gula, maka
orang dapat mengetahui dan menilainya sendiri. Nibbana adalah suatu “keadaan”, seperti
diajarkan oleh Sang Buddha, Nibbana adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap.
Api menjadi padam karena kehabisan bahan bakar. Nibbana adalah padamnya keinginan,
ikatan-ikatan, napsu-napsu, kekotoran-kekotoran bathin. Dengan demikian, Nibbana adalah
Kasunyatan Abadi, tidak dilahirkan (na-uppado-pannayati), tidak termusnah (na vayo-
pannayati), ada dan tidak berubah (nathitassannahattan-pannayati). Nibbana disebut
Asankhata-Dhamma (keadaan tanpa syarat, tidak berkondisi, yaitu Nibbana). Keadaan ini
sulit untuk dipaparkan sebagaimana keadaan gelap yang hanya dapat dikenal jika keadaan
terang diketahui. Nibbana dapat dialami jika dukkha telah disadari. Menyadari dukkha
berarti menyadari asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan untuk melenyapkan
dukkha. Lenyapnya dukkha berarti pula lenyapnya sedih dan gembira.
Sedih dan gembira adalah nilai subyektif yang timbul dari pikiran orang yang
merupakan refleksi keinginan pribadi, karena refleksi-refleksi tidak mempunyai nialai
sejati, maka sedih dan gembira hanya merupakan refleksi “aku” yang khayal. Lenyapnya
khayalan itu disebut Nibbana. Jika khayalan “aku” telah terbasmi, maka tiada lagi
perubahan-perubahan sedih dan gembira. Itulah yang dimaksud dengan “Nibbana peranan
sukkham” (Nibbana Kebahagiaan Tertinggi), bukan kebahagiaan duniawi atau kebahagiaan
emosional, melainkan pembebasan mutlak dari segala bentuk ikatan indera dan keiginan
rendah (tanha).
Pengertian Nibbana yang paling singkat dan menyeluruh adalah berakhirnya proses
“menjadi” (dumadi) Dalam Milinda Panha (kitab yang berisi percakapan antara Bhikku
Nagasena dan Raja Yunani) dikatakan:
“Nibbana penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan, O Raja. Barang siapa yang
mengatur kehidupannya secara sempurna, dengan memahami sifat kehidupan, sesuai
dengan ajaran para Buddha, menyadari kehidupan melalui kebijaksanaan (panna),
sebagaimana seorang siswa, yang mengikuti petunjuk-petunjuk Sang Guru, menjadikan
dirinya seorang nahkoda bagi kapalnya sendiri”.
“Jika Anda bertanya, bagaimana Nibbana dapat diketahui, hal itu dapat diketahui
melalui pembebasan dari ketenangan dan bahaya, melalui kedamaian, ketengan,
kebahagiaan dan kesucian”.
“sebagaimana seorang, O Raja, yang jatuh ke dalam tungku perapian yang penuh dengan
ikatan kayu kering, melalui usahanya yang keras, ia dapat menyelamatkan dirinya dari
mencapai sebuah tempat yang sejuk, maka ia akan merasakan kebahagiaan yang luhur,
begitupula halnya dengan orang yang hidup dengan benar. Orang demikian, melalui refleksi
sungguh-sungguh menyelami kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana setelah panas yang
membakar dari tiga api api keserakahan(Lobha), api kebencian(Dosa), api kebodohan
bathin(Moha) dipadamkan seluruhnya. Tungku perapian menggambarkan tiga api di atas,
orang yang sedang terbakar di dalamnya dan telah melepaskan diri menggambarkan dirinya
yang menempuh kehidupan dengan benar, sedangkan tempat yang sejuk menggambarkan
arti Nibbana”.

 Renungan tentang Nibbana

Nibbana itu adalah sebuah Kebahagian


“Apakah nibbana itu sepenuhnya membahagiakan ataukah sebagian menyakitkan?
Tanya raja Milinda”
“Sepenuhnya membahagiakan.”
“Hal itu tidak dapat aku terima. Mereka yang mencarinya harus berlatih amat keras dan
berjuang amat keras dengan tubuh dan pikiran, tidak makan kecuali pada saat yang tepat,
mengurangi tidur, mengendalikan indera, dan mereka harus meninggalkan kekayaan,
keluarga, dan teman-temannya. Mereka yang menikmati kesenangan-kesenangan indera
merasa bahagia tetapi Anda mengendalikan diri dan mencegah kenikmatan semacam itu
sehingga mengalami ketidaknyamanan dan rasa sakit secara fisik maupun mental.”
“O baginda, nibbana tidak mempunyai rasa sakit. Apa yang baginda sebut rasa sakit itu
bukanlah nibbana. Memang benar bahwa mereka yang sedang mencari nibbana akan
mengalami rasa sakit dan ketidaknyamanan, tetapi sesudah itu mereka akan mengalami
kebahagiaan nibbana yang tidak ternoda. Saya akan memberikan alasan untuk itu. Apakah
ada, O baginda, suatu kebahagiaan tertentu yang diperoleh karena kedaulatan raja?”
“Ya, ada.”
“Apakah hal itu bercampur dengan rasa sakit?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, O baginda, mengapa bila prajurit daerah-daerah di perbatasan
memberontak, raja-raja harus meninggalkan istananya dan menempuh perjalanan di tanah
yang tidak rata, menderita akibat gigitan nyamuk dan angin yang panas, dan terlibat
pertempuran sengit yang membahayakan nyawa mereka?”
“Itu, Yang Mulia Nagasena, bukanlah kebahagiaan dari kedaulatan raja. Itu hanyalah
tahap awal dari pencarian kebahagiaan tersebut. Baru sesudah memenangkan pertempuran
maka mereka dapat menikmati kebahagiaan suatu kedaulatan. Dan kebahagiaan itu,
Nagasena, tidak bercampur dengan rasa sakit.”
“Demikian juga, O baginda, nibbana adalah kebahagiaan yang tidak ternoda, dan tidak
ada rasa sakit yang tercampur di dalamnya.”

Gambaran tentang Nibbana


“Apakah mungkin, Nagasena, menunjukkan ukuran, bentuk, atau jangka waktu nibbana
dengan menggunakan perumpamaan?”
“Tidak, hal itu tidak mungkin. Tidak ada hal lain yang menyerupainya.”
“Apakah ada sifat nibbana yang terdapat pada hal-hal lain yang dapat ditunjukkan
dengan perumpamaan?”
“Ya, itu dapat dilakukan.”
“Bagaikan teratai yang tidak basah oleh air, nibbana tidak tercemar oleh kegelapan
batin.
“Bagaikan air, nibbana mendinginkan panasnya kegelapan batin dan meredakan nafsu
keinginan.
“Bagaikan obat, nibbana melindungi makhluk yang terkena racun kegelapan batin,
menyembuhkan penyakit penderitaan, dan memberi gizi seperti nektar.
“Bagaikan samudera yang kosong dari mayat, nibbana sama sekali kosong dari
kegelapan batin; seperti samudera yang tidak bertambah walaupun semua air sungai
mengalir ke dalamnya, demikian juga nibbana tidak akan bertambah dengan semua makhluk
yang mencapainya; nibbana adalah tempat bagi para makhluk agung (para Arahat), dan ia
dihiasi oleh gelombang pengetahuan dan kebebasan.
“Bagaikan makanan yang menopang kehidupan, nibbana menyingkirkan usia tua dan
kematian; nibbana meningkatkan kekuatan spiritual para makhluk; nibbana memberikan
keindahan moralitas, nibbana menghilangkan tekanan kegelapan batin, nibbana menghalau
kelelahan semua penderitaan.
“Bagaikan ruang, nibbana tidak dilahirkan, tidak lapuk ataupun hancur, nibbana tidak
berlalu di sini dan muncul di tempat lain, nibbana tidak terkalahkan, pencuri tidak dapat
mengambilnya, nibbana tidak terikat pada apa pun, nibbana adalah lingkup bagi para Ariya
ibarat burung-burung di angkasa, nibbana tidak terhalangi dan tidak terhingga.
“Bagaikan permata yang bisa mengabulkan segala permintaan, nibbana memenuhi
semua keinginan, menyebabkan sukacita dan berkilau.
“Bagaikan kayu cendana merah, nibbana sulit didapat, keharumannya tak ada
bandingnya dan nibbana dipuji orang-orang bajik.
“Bagaikan ghee yang dikenal karena sifat khasnya, begitu juga nibbana mempunyai
sifat khas sendiri; seperti ghee yang beraroma harum, begitu juga nibbana memiliki
keharuman moralitas; seperti ghee yang mempunyai cita rasa yang lezat, begitu juga
nibbana mempunyai kelezatan cita rasa kebebasan.”
“Bagaikan puncak gunung, nibbana sangat tinggi, tidak tergoyahkan, tidak ada jalan
masuk bagi kegelapan batin; nibbana tidak mempunyai ruang bagi kegelapan untuk dapat
tumbuh, dan nibbana tidak memihak atau berprasangka.”

Perwujudan tentang Nibbana


“Anda mengatakan, Nagasena, bahwa nibbana itu bukan masa lalu, bukan masa kini,
dan bukan masa mendatang, bukan timbul dan bukan pula tidak-timbul, dan tidak dapat
dihasilkan. Dalam hal itu, apakah orang yang mewujudkan nibbana berarti mewujudkan
sesuatu yang telah dihasilkan, atau dia sendiri yang pertama-tama menghasilkannya dan
baru kemudian mewujudkannya?”
“Bukan itu semua O baginda, tetapi nibbana itu benar-benar ada.”
“Nagasena, janganlah menjawab pertanyaan ini dengan membuatnya semakin kabur.
Jelaskanlah dan babarkanlah. Nibbana merupakan titik yang membuat banyak orang
menjadi bingung dan tersesat di dalam keraguan. Patahkanlah anak panah ketidakpastian
ini.”
“Unsur nibbana itu benar-benar ada, O baginda. Bila orang telah berlatih dengan benar
dan sungguh-sungguh mengerti bentukan-bentukan menurut apa yang telah diajarkan oleh
Sang Penakluk, maka dengan kebijaksanaannya dia mewujudkan nibbana.
“Dan bagaimanakah nibbana ditunjukkan? Dengan terbebasnya dari rasa tertekan dan
bahaya, dengan kemurnian dan kesejukan. Seperti halnya seseorang, yang ketakutan dan
ngeri karena telah terjatuh ke tangan musuh, akan merasa lega dan sangat berbahagia ketika
dia dapat meloloskan diri ke tempat yang aman; atau seperti halnya seseorang yang terjatuh
di lubang yang penuh kotoran akan merasa lega dan gembira setelah keluar dari lubang itu
dan membersihkan diri; seperti halnya seorang yang terjebak api di hutan akan menjadi
tenang dan merasakan kesejukan setelah dia mencapai daerah yang aman. Baginda
seharusnya menganggap kecemasan yang timbul terus-menerus karena kelahiran, usia tua,
penyakit dan kematian itu sebagai sesuatu yang menakutkan dan mengerikan. Baginda
seharusnya menganggap keuntungan, kehormatan dan ketenaran itu sebagai kotoran.
Baginda seharusnya menganggap api berunsur tiga -lobha (keserakahan), dosa
(kebencian) dan moha (kegelapan batin)- sebagai sesuatu yang panas dan menusuk.
“Dan bagaimana orang yang berlatih dengan benar dapat mewujudkan nibbana?
Dengan benar dia memahami sifat bentukan yang terus berputar dan di sana dia hanya
melihat kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian; dia tidak melihat sesuatu yang
menyenangkan atau yang serasi di bagian mana pun juga. Karena melihat bahwa tidak ada
yang dapat dilekati di sana, bagaikan berada di atas bola besi yang panas membara,
pikirannya dipenuhi dengan ketidakpuasan, dan panas menjalar di seluruh tubuhnya; karena
merasa putus asa dan tanpa perlindungan, dia menjadi muak dengan kehidupan yang
berulang-ulang. Dan bagi orang yang melihat ngerinya rantai kehidupan yang terus berjalan,
timbullah pemikiran: ‘Roda kehidupan ini berada di atas api dan menyala, penuh dengan
penderitaan dan keputusasaan. Jika saja ada akhir dari semua ini, akhir itu akan penuh
dengan kedamaian, dan hal itu luar biasa; berhentinya semua bentukan mental, lepasnya
kemelekatan, musnahnya keserakahan, hancurnya nafsu keinginan, berhentinya
penderitaan, nibbana!
“Dari situ pikirannya melompat ke depan menuju keadaan di mana tidak ada lagi
dumadi. Pada saat itulah dia menemukan kedamaian, kemudian dia bersyukur dan
bersukacita pada pemikiran: ‘Sebuah perlindungan akhirnya ditemukan!’ Dia terus berusaha
keras di dalam Sang Jalan untuk menghentikan segala bentukan, menemukan caranya,
mengembangkannya, dan memanfaatkan sebaik-baiknya. Untuk tujuan itulah dia
membangkitkan kewaspadaan, semangat dan sukacitanya; dan dengan berulang-ulang
memperhatikan pemikiran itu [muak pada bentukan-bentukan mental], setelah melampaui
rantai kehidupan yang terus berjalan, dia dapat memutuskan lingkaran itu. Orang yang telah
memutuskan rantai kehidupan yang terus berjalan ini dikatakan telah mewujudkan
nibbana.”

Di manakah letak/tempat Nibbana itu berada?


“Apakah ada tempat, Nagasena, di mana nibbana tersimpan?”
“Tidak, tidak ada, tetapi nibbana itu sungguh-sungguh ada. Seperti halnya tidak ada
tempat di mana api disimpan tetapi api dapat dihasilkan dengan menggosokkan dua batang
kayu kering.”
“Tetapi adakah tempat di mana orang bisa berdiri dan mewujudkan nibbana?”
“Ya, ada; moralitas adalah tempatnya; dengan berdiri di atas moralitas, dan dengan
penalaran, di mana pun dia berada, bisa di Sychtia atau di Bactria, di China atau Tibet, di
Kashmir atau Gandhara, di puncak gunung atau surga tertinggi, orang yang berlatih dengan
benar dapat mewujudkan nibbana.”
“Bagus sekali, Nagasena, Anda telah mengajarkan nibbana, telah menjelaskan tentang
perwujudan nibbana, telah memuji kualitas moralitas, menunjukkan cara berlatih yang
benar, menjunjung tinggi panji-panji Dhamma, memantapkan Dhamma sebagai prinsip
utama. Tidak akan sia-sia atau tanpa buah usaha orang-orang yang mempunyai tujuan yang
benar.”

A. Dalam Abhidhammatthasangaha, berbunyi sebagai berikut :


“VANA SANKHATAYA TANHAYA NIKKHANTATTA NIBBANAM”
Artinya :
Keadaan yang terbebas dari tanha(keinginan rendah), disebut Nibbana.
B. Dalam Paramatthadipanitika, berbunyi sebagai berikut :
“NATTHI VANAM ETTHANI NIBBANAM”
Artinya:
Keadaan ketenangan yang timbul dengan terbelahnya dari Tanha ( keinginan rendah), disebut
Nibbana.
C. “TAYIDAM SANTI LAKKHANAM”
Artinya :
Nibbana adalah kebahagiaan yang terbebas dari kilesa (kekotoran bathin)
D. “NIBBANAM PARAMAM SUKHAM”
Artinya:
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi.
 Kata nibbana berarti “membuat menjadi tenang”…
Ketenangan hati dan kedamaian batin yang diharapkan setiap orang adalah arti dari
nibbana. Menurut Buddha, nibbana adalah akhir dari nafsu, akhir dari kebencian, dan akhir
dari khayalan, yang merupakan pemadaman akhir semua api dan ketenangan “paling tenang”
yang ada dalam hidup. (No Religion p. 33/ Nibbana for Everyone > Evolution/ Liberation
Journal: Magha Puja Season 1991 p. 11, 12)
Kapan saja Anda mengalami ketenangan, catat ketenangan itu dengan sungguh-
sungguh di dalam hati Anda, serta tarik nafas dan keluar nafas. Menarik nafas adalah
ketenangan, mengeluarkan nafas adalah ketenangan, di dalam tenang, diluar tenang. Lakukan
ini sejenak… Inilah jalan terbaik untuk membantu batin kembali pada Sifat Dasar.
…Marilah kita hidup dalam kehidupan pemadaman total, sebuah kehidupan yang menyiram
api nafsu keinginan, sebuah kehidupan yang tenang. Saat kita terbakar nafsu, kita mati.
Seseorang yang panas di dalam batin seperti iblis di neraka… (Nibbana for Everyone p. 10, 14/
No Religion p.33)
 Nibbana adalah kematian Ego sebelum tubuh mati.
Kapan saja kita bertikai karen pendapat, penghargaan, kesombongan, atau sikap keras
kepala, hal ini menunjukkan bahwa kita telah kehilangan hubungan dengan nibbana.(The
Dawning of Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 8/ No Religion p. 35) Sifat tidak ada
sesuatu yang mengganggu pikiran, akan ada kebahagiaan sejati. Hal ini mungkin terdengar
menggelikan bagi Anda, tetapi lenyapnya gangguan adalah kebahagiaan sesungguhnya.
(Happiness and Hunger p. 15)
Kehidupan bertahan oleh munculnya secara alami “nibbana-nibbana sementara”; jika
tidak, kita semua menjadi penderita gangguan jiwa atau mati dengan segera. Kita
memiliki nibbana sebagai sebuah kebutuhan untuk menopang kehidupan pada semua
tingkatan… tetapi kita tidak melihatnya. Jika kita tidak memiliki satu periode di mana pikiran
terbebas dari kotoran batin untuk sementara (nibbana sementara), kita akan menjadi penderita
gangguan jiwa atau gila dan telah mati sejak lama dahulu. Jadi kita hendaknya tidak berpikir
bahwa kita hrus mengganggu selama puluhan atau ratusan ribu tahun sebelum kita dapat
mencapai nibbana, yang sebenarnya telah menopang kehidupan kita setiap saat. Seseorang
hendaknya mengatur kehidupan sehari-hari sehingga hidupnya terisi oleh nibbana-ketenangan
yang damai. (The Dawing of Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 43/ A Buddhis Charter
p.35/ The Dawning of Truth: Difficult for Anyone to Believe no. 62)
 Nibbana tidak memiliki hubungan apa pun dengan kematian
Kebanyakan orang menunggu untuk mendapat kenikmatan nibbana setelah mati,
meskipun mereka semstinya mendapatkannya di sini dan di saat ini.
 Nibbana dapat ditemukan pada lingkaran kehidupan bukan sebagai tujuan luar seperti yang
sering dipikirkan.

Pemadaman api ada di dalam api, demikian juga pemadaman dukkha ada
pada dukkhasendiri… (the Dawning of Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 3, 63/ A
Buddhist Charter p. 35) “Kecantikan terdapat di jasad tubuh, ketenangan terdapat di dalam
pelepasan, bhikkhuterdapat di dalam kebenaran, nibbana terdapat pada keadaan hampir
mati sebelum kematian”. (Legacy We Would Leave with You no. 39)
 Nibbana adalah ketenangan dan kedamaian yang dialami saat tidak ada kemelakatan-tidak
membutuhkan biaya sepeser pun.

 Nibbana adalah sebuah kondisi yang tidak dapat dibandingkan dengan yang lain dengan
cara apapun. Nibbana tidak seperti kondisi keduniawian maupun manapun.

Sebenarnya, nibbana adalah negasi dari kondisi duniawi. Kita tidak dapat
menciptakannibbana karena nibbana melampaui semua sebab dan akibat, tetapi kita dapat
menciptakan kondisi untuk merealisasikan nibbana, yang dinamakan segala tindakan yang
menuntun kebebasan dari kotoran batin. (Handbook for Mankind p. 151/ Nibbana for
Everyone p. 8) …Hukum Alam, kekososngan, dan nibbana. Ketiganya tidak memiliki
pencipta. Bahkan Tuhan tidak dapat menciptakannya karena ketiganya memiliki setatus
yang sama sebagai Tuhan. (Legacy we Would Leave with You no. 59). Proses kelahiran dan
kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti sampai arus ini dibelokan ke Nibbanadhatu,
tujuan akhir umat Budha, istilah Pali “ Nibbana” berasal dari kata ini dan vana. Ni
merupakan partikel negative, sedang vana berarti nafsu atau keinginan. “ Disebut Nibbana,
karena terbebas dari nafsu yang disebut vana, keinginan”. Secara harfiah, Nibbana berarti
terbebas dari kemelekatan.
Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserekahan, kebencian
dan kebodohan. Sang Buddha bersabda: “seluruh dunia terbakar. Terbakar oleh apa?
Terbakar oleh api keserakahan, kebencian, dan kebodohan, oleh api kelahiran, usia tua,
kematian, kesakitan, duka cita, ratap tangis, kesedihan dan keluh kesah”.
Nibbana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan atau kemusnahan karena kita
tidak dapat memahaminya dengan pengertian duniawi kita. Misalanya seseorang tidak dapat
mengatakan bahwa tak ada cahaya, karena orang buta tak dapat melihatnya. Juga seperti
dalam sebuah cerita yang terkenal tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya
seekor penyu, yang dengan bangga mengatakan bahwa tidak ada daratan.
Dalan agama Buddha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan hampa
melainkan suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata secara tepat.
Nibbana adalah sesuatu yang “ tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta”. Karenanya,
Nibbana bersifat kekal (dhuva), diinginkan (subha), dan bahagia (sukha).

 Dalam Nibbana tidak ada sesuatu yang “ diabadikan” atau “dimusnahkan”.


Menurut kitab-kitab suci, terdapat dua macam Nibbana, yaitu Sa-upadisesa-Nibbana
dan Anupadisesa- Nibbana. Sesungguhnya ini bukan dua macam Nibbana, karena hanya
ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum atau
sesudah kematian. Nibbana bukan suatu tempat ataupun semacam surga dimana roh kekal
berada. Nibbana adalah suatu keadaan yang bergantung pada diri kita sendiri. Nibbana
merupakan suatu percapaian (Dhamma) yang berada dalam jangkauan semua orang.
Nibbana merupakan sauatu keadaan di atas keduniawian (lokuttara) yang dapat dicapai
dalam kehidupan sekarang ini juga. Agama Buddha tidak mengajarkan bahwa tujuan akhir
ini hanya dapat dicapai dalm kehidupan ala mini. Di sinilah terdapat letak perbedaan pokok
antara konsep Buddhis tentang Nibbana dan konsep Non- Buddhis tentang surga kekal yang
hanya dapat dicapai kematian atau bersatu dengan zat agung pada kehidupan setelah mati.
Apabila Nibbana dicapai dalam kehidupan sekarang ini, sewaktu hidup, itu disebut sisa
kehidupan fisik, itu disebut Anupadisesa Nibbanadhatu. Dari sudut pandangan metafisik,
Nibbana merupakan kebebasan dari penderitaan. Dari sudut pandangan psikologis, Nibbana
adalah penghancuran egoisme. Dari sudut pandangan etika, Nibbana adalah penghancuran
keserakahan, kebencian dan kebodohan.
Apakah setelah wafat seorang Arahat tetap ada atau tidak? Sang Budha menjawab “
Arahat yang telah bebas dari lima kelompok kehidupan ( Khanda) itu sungguh dalam, tak
dapat diukur seperti lautan samudra. Menyatkan bahwa ia akan dilahirkan kembali adalah
tidak sesuai. Menyatkan bahwa ia tidak dilahirkan kembali atau pun bukan tidak dilahirkan
kembali juga tidak benar”. Orang tidak dapat mengatakan seorang Arahat tidak dilahirkan
kembali karena semua nafsu keinginan yang mensyarati tumimbal telah dihancurkan; jika
orang tidak dapat mengatakan Arahat itu musnah karena tidak ada sesutu yang
dimusnahkan. “Misalnya apabila kita bertanya, apakah kedudukan elektron tetap sama, kita
harus menjawab “tidak ”. apabila kita bertanya apakah elektron berubah beberapa waktu
kemudian, kita harus menjawab,” Tidak”. Bila kita bertanya apakah elektron bergerak, kita
juga harus menjawab “Tidak”. Sang Budha telah memberikan jawaban yang sama sewaktu
ditanya mengenai kondisi-kondisi seorang Arahat setelah wafatnya.
2. Jalan Ke Nibbana
Bagaiamana caranya untuk mencapai Nibbana? Dengan melakasanakan delapan
faktor jalan utama, yaitu Pengertian benar ( samma-ditthi), pikiran benar (samma-
sankappa), ucapan benar (samma-vaca), perbuatan benar (samma-kammanta),
penghidupan benar ( samma-vayama), perhatian benar (samma-sati), konsentrasi
benar (samma-samdhi).
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agama budha, mencakup
pengetahuan tentang empat kebenaran mulia. Mengerti dengan benar berarti memahami
segala sesuatu sebagaimana adanya bukan sebagaimana nampaknya. Pada pokoknya ini
menyatakan pengertian benar terhadap diri sendiri, karena seperti tertulis di dalam
Rohitassa Sutta: “empat kebenaran mulia tergantung pada tubuh ini yang panjangnya dua
depan beserta kesadaranya”. Dalam melaksanakan delapan faktor jalan utama, pengertian
benar berada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang benar kepada
tujuh faktor jalan utama lainnya. Pada tingkat akhir melaksanakan pengertian benar masak
menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna (vipassana panna), yang langsung
membawa kepada tingkat-tingkat kesucian.
Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar. Karena itu, faktor kedua dari
jalna utama ini (samma-sankkappa), mempunyai dua tujuan: melenyapkan pikiran-pikiran
jahat dan mengembangkan pikiran baik. Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari
tiga bagian, yaitu:
 Nekkhamma: melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri
sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
 Abyapada: cinta kasih, i’tikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan
kebencian, i’tikad jahat, atau kemarahan.
 Avihmsa: tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejamana atau
ketangisan.
Pikiran benar menimbulkan ucapan benar, faktor ketiga. Ucapan benar mencakup
perbuatan untuk menahan diri dari berbohong, memfitnah, berkata kasar dan bicara yang
tidak berguna.
Ucapan benar harus diikuti dengan perbuatan benar, yang meliputi perbuatan
menahan diri dari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, pencurian dan perbuatan-
perbuatan kelamin yang salah.
Dalam membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan pada tingkat awal. Musafir
spiritual berusaha memperbaiki penghidupanya dengan cara menahan diri dari lima
macam perdagangan yang terlarang bagi seorang umat Budha, yaitu: Memperdagangkan
senjata, manusia, binatang-binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.
Bagi para Bikkhu, penghidup salah meliputi perbuatan-perbuatan munafikan cara-cara
yang tidak dibenarkan untuk memeperoleh kebutuhan-kebutuhan hidup seorang Bikkhu.
Usaha benar, terdiri atas empat macam kegiatan yaitu: usaha melenyapkan
kejahatan yang telah timbul, usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul,
usaha membengkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha mengembangkan
kebajikan yang telah timbul.
Perhatian benar, adalah kesadaran yang terus menerus terhadap jasmani,
perasaaan-perasaan, pikiran-pikiran, serta obyek-obyek batin. Usaha benar dan perhatian
benar menimbulkan konsentrasi benar, yaitu menunggalnya pikiran pada satu obyek yang
luhur, yang memundak dalam Jhana. Dari kehidupan faktor jalan utama ini, dau yang
pertama dikelompokkan ke dalam bagian kebijaksanaan (panna), tiga yang selanjutnya
ke dalam bagian moral (sila). Dan tiga yang terakhir ke dalam bagian konsentrasi
(sammadhi). Tetapi menurut urutan pengembangannya, rangkaian itu adalah sebagai
berikut Sila, Samadhi, Panna.
Moral (Sila) merupakan tingkatan pertama pada jalan yang menuju ke Nibbana ini.
Dengan tidak membunuh ata melukai makhluk-makhluk apapun, orang akan memiliki
rasa belas kasihan dan cinta kasih terhadap semua makhluk, kepada makhluk yang paling
kecil sekalipun yang merayap di bawah kakinya. Dengan menahan diri dari mencuri, ia
akan berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan menahan diri dari persetubuhan yang
tidak benar yang akan merendahkan derajat manusia, ia akan berlaku saleh. Dengan
menahan diri dari ucapan salah, ia akan berbicara benar. Dengan menghindari minuman
keras yang mengakibatkan kelalaian, ia akan waspada dan rajin.
Azas-azas dasar kelakuan bermoral ini amat penting bagi seorang yang
melangkahkan kakinya menuju Nibbana. Melanggar hal-hal tersebut berarti menciptakan
rintangan pada kemajuan batinya sendiri. Pelaksanaan hal-hal tersebut berarti kemajuan
yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.
Dengan mendisiplinkan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seorang musafir
spiritual akan maju lebih jauh. Sewaktu ia maju dengan lambat tapi mantap denagn
mendisiplinkan segala ucapan dan tingkah lakunya, serta mengendalikan indra-indranya,
kekuatan kamma dari siswa yang sedang berjuang ini mungkin akan mendorongnya
untuk melepaskan kesenangan-kesenangan duniawi dan menempuh kehidupan sebagai
Bikkhu, kemudian dalam dirinya muncul pengertian bahwa: “Kehidupan rumah
tangga merupakan medan perjuangan. Penuh dengan kerja keras dan kebutuhan; tetapi
menjalani kehidupan tanpa berumah tangga adalah seperti udara terbuka”.
Namun demikian jangan salah tafsir bahwa seiap orang harus menjadi Bikkhu atau
hidup membujang untuk mencapai tujuan akhir. Kemajuan spiritual seseorang dipercepat
dengan menjadi Bikkhu, walaupun sebagai umat awam ia dapat juga mencapai tingkat
Arahat. Setelah mencapai tingkat kesucian ketiga yaitu, Anagami, seseorang menempuh
hidup membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh di atas fondasi moralitas,
kemudian musafir spiritual yang telah memperoleh kemajuan tersebut mulai pelaksaan
yang lebih tinggi, yaitu pengendalian dan pengembangan batin (samadhi), tingkat kedua
pada jalan ini.
Sammadhi adalah pemusatan pikiran pada satu proyek dengan mengesampingkan
semua persoalan yang tidak perlu. Terdapat berbagai macam objek meditasi sesuai
dengan watak masing-masing individu. Pemusatan pikiran pada pernafasan merupakan
cara termudah untuk mencapai Sammadhi. Meditasi pada cinta kasih amat berguna
karena hal itu mengakibatkan kedamaian dan kebahagian batin.
Pengembangan empat keadaan batin luhur: cinta kasih (Metta), belas kasihan
(karuna), kegembiraan bersimpati (Mudita) dan keseimbangan batin (Upekkha) amat
dipuji oleh para bijaksana.
Setelah mempertimbangkan dengan hati-hati obyek-obyek meditasi, ia harus
memilih salah satu obyek yang paling cocok dengan wataknya. Setelah dapat
memutuskan obyek yang akan dipilih, ia melakukan usaha terus menerus untuk
memusatkan pikirannya sampai ia benar-benar tenggelam dan masuk ke dalamnya,
sehingga semua bentuk pikiran lainnya tidak dapat menerobos ke dalam batinnya. Lima
rintangan bagi kemajuan batin adalah: keinginan indra, kebencian, kemalasan dan
kelambanan, kegelisahan, kekhawatiran dan keragu-raguan.
Panna adalah langkah ketiga dan terakhir, yang memungkinkan seseorang calon
Pencapai Kesucian untuk menghancurkan semua kekotoran yang ditenangkan oleh
Samadhi. setelah ia mencapai pemusatan pikiran dan dengan kegembiraan yang dapat
diterangkan, ia terserap dalam Jhana, menikmati ketenangan dan kedamaian penunggalan
pikiran.
Bilamana seseorang telah mencapai keadaan penunggalan pikiran ini, adalah
mungkin baginya untuk mengembangkan lima kemampuan batin luar biasa (abhinna),
yaitu: mata-dewa (Dibbacakkhu), telinga-dewa (Dibbasota), ingatan akan kelahiran-
kelahiran lampau (Pubbenivasanussati-nana), membaca-pikiran (paracitta vijanna), dan
berbagai kemampuan-kemampuan batin lainnya (iddhividha). Namun harus diingat
bahwa kekuatan-kekuatan batin luar biasa ini tidak mutlak bagi pencapaian tingkat
kesucian.
Walaupun sekarang pikiran telah bersih, tetapi masih ada kecendrungan-
kecendrungan yang terpendam dalam batin. Karena dengan samadhi nafsu-nafsu hanya
tertidur untuk sementara. Kotoran-kotoran batin itu dapat muncul pada saat-saat yang tak
terduga. Baik Sila maupun Sammadhi amat berguna untuk membersihkan jalan dari
rintangn-rintangan, tetapi hanya pandangan terang sajalah yang memungkinkan
seseorang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya untuk akhirnya mencapai tujuan
akhir dengan penghancuran nafsu-nafsu oleh Sammadhi. Inilah tingkat ketiga dan
terakhir dari jalan yang menuju ke Nibbana.
Dengan batin yang telah terpusat, yang sekarang menyerupai sebuah kaca yang telah
digosok, ia meliahat ke dunia untuk mendapatkan pandangan benar tentang hidup.
Kemampuan ia mengalihkan pandangannya, ia tidak melihat apapun selain tiga corak
umum kehidupan, yaitu: Annica ( ketidak-kekalan), Dukkha (penderitaan), dan
Anatta (tanpa pribadi kekal), yang merupakan gambar timbul yang tegas. Ia
memahami bahwa kehidupan selalu berubah dan semua yang bersayarat itu tidak kekal
adanya. Baik disurga ataupun di dunia ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan sejati,
karena setiap bentuk kesenangan hanyalah merupakan pendahulu bagi penderitaan.
Karena itu, apa yang tidak kekal adalah tidak memuaskan dan di mana terdapat
perubahan dan kesedihan, di sana tidak dapat ditemui adanya sesuatu yang kekal abadi.
Kemudian, diantara ketiga corak umum ini, ia memilih salah satu yang paling
menarik baginya dan dengan tekun terus mengembangkan pandangan terang dalam
jurusan yang telah dipilihnya, sampai saat-saat yang membahagiakan tiba kepadanya
ketika ia dapat memahami Nibbana untuk pertama kali dalam hidupnya, setelah
menghancurkan tiga belenggu: pandangan salah tentang aku (sakkaya ditthi), keragu-
raguan (vicikiccha), serta kepercayaan bahwa upacara dan doa dapat membebaskan
manusia dari penderitaan (Silabbata-paramasa).
Pada tingkat kesucian ini ia disebut seorang Sotapanna (pemenang arus), seorang
yang telah memasuki arus yang akan membawanya ke Nibbana. Karena ia masih belum
menghancurkan semua belenggu, maka paling banyak ia hanya akan dilahirkan kembali
tujuh kali. Dengan mengumpulkan semangat baru sebagai akibat pandangan terang yang
lebih dalam sehingga mencapai tingkat kesucian kedua, Sakadagami (hanya kembali
sekali) dengan melemahkan dua belenggu kali, yaitu: keinginan indra (Kamaraga) dan
i’tikad jahat (patigha). Ia disebut sakadagami karena ia hanya akan dilahirkan sekali lagi
seandainya ia masih belum mencapai tingkat kesucian terakhir, Arahat.
Pada tingkat kesucian tertinggi inilah, anagami (tak pernah kembali), ia dapat
menghancurkan dua belenggu yang disebutkan di atas. Setelah itu, ia tidak akan kembali
ke dunia ini atau ke alam dewa. Karena ia tidak memiliki kesenangan-kesenagan indria
lagi. Setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali dalam “Alam Murni” (Suddavasa),
suatu alam brahma yang menyenangkan.
Sekarang dengan keberhasilan usahanya yang belum pernah terjadi sebelumnya,
maka ia mengushakan kemajuannya yang paling akhir dan menghancurkan sisa belenggu
batin seperti, keinginan akan kelahiran kembali dalam alam-alam bentuk (rupa raga) dan
alam-alam tak berbentuk (arupa-raga), kesombongan (mana), kegelisahan (unddhacca),
kebodohan (avijja), dan menjadi seorang suci yang sempurna (Arahat).
Perumpamaan/Ilustrasi tentang Nibbana

 Ibarat sebuah jalan di hutan rimba yang gelap yang ujungnya ada cahaya. Seseorang
harus berjalan di jalan itu untuk menuju cahaya tersebut. Nibbana diibaratkan cahaya dan
jalan di hutan diibaratkan Jalan Suci Beruas 8.
 Mendeskripsikan rasa manis, asam dan pahit updari buah manggis kepada seseorang
yang belum pernah memakan buah tersebut sangatlah sulit, nah seperti itulah nibbana.
Nibbana sangat sulit untuk dijelaskan, karena harus dirasakan secara pribadi.
 Buddha bersabda tentang keadaan di Nibbana: “Ada sesuatu Yang Tak-Terlahirkan,
Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung. Bila tidak ada yang Tak-Terlahirkan, Tak-
Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka tidak akan ada jalan untuk bebas dari
Terlahir, Terjadi, Terbuat dan Tergabung. Tetapi karena adanya Yang Tak-Terlahirkan,
Tak-Terjadi, Tak-Terbuat, Tak-Tergabung, maka ada jalan untuk terbebas dari Terlahir,
Terjadi, Terbuat dan Tergabung. (Udana: 80)
 Bagaikan teratai yang tidak basah oleh air, nibbana tidak tercemar oleh kegelapan batin
 Bagaikan air, nibbana mendinginkan panasnya kegelapan batin dan meredakan nafsu
keinginan
 Bagaikan obat, nibbana melindungi makhluk yang terkena racun kegelapan batin,
menyembuhkan penyakit penderitaan, dan memberi gizi seperti nektar.
 Bagaikan samudera yang kosong dari mayat, nibbana sama sekali kosong dari
kegelapan batin; seperti samudera yang tidak bertambah walaupun semua air sungai
mengalir ke dalamnya, demikian juga nibbana tidak akan bertambah dengan semua
makhluk yang mencapainya; nibbana adalah tempat bagi para makhluk agung (para
Arahat), dan ia dihiasi oleh gelombang pengetahuan dan kebebasan.
 Bagaikan makanan yang menopang kehidupan, nibbana menyingkirkan usia tua dan
kematian;nibbana meningkatkan kekuatan spiritual para makhluk; nibbana memberikan
keindahan moralitas, nibbana menghilangkan tekanan kegelapan batin, nibbana
menghalau kelelahan semua penderitaan.
 Bagaikan ruang, nibbana tidak dilahirkan, tidak lapuk ataupun hancur, nibbana tidak
berlalu di sini dan muncul di tempat lain, nibbana tidak terkalahkan, pencuri tidak dapat
mengambilnya, nibbana tidak terikat pada apa pun, nibbana adalah lingkup bagi para
Ariya ibarat burung-burung di angkasa, nibbana tidak terhalangi dan tidak terhingga.
 Bagaikan permata yang bisa mengabulkan segala permintaan, nibbana memenuhi
semua keinginan, menyebabkan sukacita dan berkilau. “Bagaikan kayu cendana
merah, nibbana sulit didapat, keharumannya tak ada bandingnya dan nibbana dipuji
orang-orang bajik.
 Bagaikan puncak gunung, nibbana sangat tinggi, tidak tergoyahkan, tidak ada jalan
masuk bagi kegelapan batin; nibbana tidak mempunyai ruang bagi kegelapan untuk dapat
tumbuh, dan nibbanatidak memihak atau berprasangka.
 Bagaikan ghee(Mentega dari lemak Hewan) yang dikenal karena sifat khasnya, begitu
juga nibbana mempunyai sifat khas sendiri; seperti ghee yang beraroma harum, begitu
juga nibbana memiliki keharuman moralitas; seperti ghee yang mempunyai cita rasa yang
lezat, begitu juga nibbana mempunyai kelezatan cita rasa kebebasan.
 Sebuah cerita tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya seekor penyu,
dimana atas ketidaktahuannya sang ikan dengan bangga menyatakan bahwa tidak ada
daratan.
 Kita tidak dapat menggambarkan warna hijau kepada orang buta karena mereka tak
dapat melihatnya.

Anda mungkin juga menyukai