Anda di halaman 1dari 193

Catatan Facebook Teja Buwana

Thursday, July 23, 2009, 4:20:03 AM

From Mr Chang Yen :


Thursday, July 23, 2009, 4:15:05 AM | Teja Buwana
"Bertutur dengan kata yang baik, berpikirlah dengan niat yang baik dan
melakukan perbuatan baik. Memaafkan orang lain berarti berlaku baik pada diri
sendiri. Kesuksesan adalah pengoptimalan suatu kelebihan, kegagalan adalah
akumulasi dari segala kekurangan. Jangan menganggap remeh diri sendiri,
karena setiap orang memiliki kemungkinan yang tak terhingga"

Setiap Langkah adalah Anugerah


Tuesday, July 21, 2009, 8:21:21 AM | Teja Buwana
Kita telah banyak belajar untuk hidup di antara pijakan setiap langkah. Kita tidak
pernah tahu, apakah langkah berikutnya adalah pijakan terakhir,sehingga kita
belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup kita lakukan tatkala
mengangkat dan memijakkan kaki serta mensyukuri langkah sebelumnya. Setiap
langkah yang kita ayunkan merupakan sebuah dunia baru, dan sejak saat itulah
kita menjalani kehidupan seperti ini. Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh
berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang
bermakna bagi orang lain. Nilai manusia ....... tidak ditentukan dengan
bagaimana ia mati, melainkan bagaimana ia hidup. Kekayaan manusia bukan
apa yang ia peroleh, melainkan apa yang telah ia berikan. Selamat menikmati
setiap langkah hidup Anda dan BERSYUKURLAH SETIAP SAAT ....... Banyak
orang berpikir bagaimana mengubah dunia ini. Hanya sedikit yang memikirkan
bagaimana mengubah dirinya sendiri..
Perbedaan Ahli Zikir dan Ahli Wirid
Saturday, July 18, 2009, 12:59:20 PM | Teja Buwana
Kang Mazadjie pernah mengingatkan bahwa : Ahli Zikir dan Ahli Wirid itu
berbeda. Mengulang ulang bacaan Misalnya Laa ilaha Illallahu…atau Allah Allah
(hu hu Hu) di dalam hati berkali kali itu masih dikatakan Ahli Wirid.. belumlah Ahli
Zikir Yang disebut Ahli Zikir (ingat) itu meliputi dan sekaligus (integrited): Zikir
dalam ucapan, –> ingat Allah Zikir dalam hati dan –> Ingat Allah Zikir dalam laku.
—> Ingat Allah ucapan, hati dan tingkah laku, harus ingat kepada Allah, kang
Makaryo Jagad, yaitu : ingat perintahNYA untuk dilaksanakan ingat
LaranganNYA untuk di dihindari Ingat CobaanNYA untuk di disabari Ingat
NikmatNYA untuk disyukuri. empat empatnya bukan datang silih berganti, namun
selalu datang bersamaan dg wajah dan memiliki sudut pandang berbeda.
MAKRIFAT SUWUNG
Wednesday, July 15, 2009, 9:27:33 AM | Teja Buwana
SUWUNG SEJATI – SEJATINYA SUWUNG Catatan pendakian spiritual KI
SUWUNG BUWONO setelah mencari SUWUNG SEJATI. Menurut Ki Suwung,
keadaan jiwa atau hati yang telah mendapatkan wahyu atau ilham biasa
dianalogikan dengan menerima CAHAYA. “Wahyu atau kata-kata Tuhan
diungkapkan ke dalam bahasa manusia dengan kata CAHAYA. Sebab wahyu itu
sendiri (an sich) tidak bisa diungkapkan dengan bahasa manusia. Wahyu adalah
bahasa Tuhan, yang berbeda dengan bahasa manusia. Namun wahyu alias
ilham bisa dipahami oleh orang yang menerimanya, bahkan hewan dan alam
pun mampu memahami bahasa Tuhan” katanya menerangkan. IHLAM menurut
Ki Suwung bisa ditafsirkan sebagai: DISUSUPKANNYA KEDALAM HATI YANG
MAMPU MENANGKAP VIBRASI/GETARAN YANG DAPAT DIPERGUNAKAN
UNTUK MEMBEDAKAN ANTARA YANG SESAT DAN YANG PETUNJUK, dan
mungkin hal ini di jaman kita sekarang ini dikenal dengan istilah MATA HATI.
Tibalah Ki Suwung menceriterakan akhir perjalanan spiritualnya. “Mohon maaf
bila saya terpaksa harus menjabarkan ILMU MA’RIFAT, yaitu ilmu untuk
mengenal dzat, sifat dan perbuatan Tuhan. Selain ilmu, hendaknya melakukan
KOMUNIKASI KEPADA TUHAN SERTA PASRAH DIRI SECARA TOTAL.
Kepasrahan adalah menggantungkan sikap jiwa untuk patuh kepada Tuhan
dengan segenap tata cara ngelmu dan laku yang telah ditentukan, agar kita
mendapatkan cahaya keimanan yang lebih dalam..” ujarnya kalem. Tidak biasa
Ki Suwung berkata kata serius seperti pagi ini. Dia biasanya begejekan, suka
gojeg dan sesekali biasanya dia membeberkan ilmu kawicaksanan dengan
mesam-mesem. Namun kali ini, dia lain. Dia terlihat sangat serius. Matanya
sesekali melihat ke langit. Mungkin menunggu petunjuk Tuhan agar dia tidak
salah ucap. Berikut wawancara antara saya dengan Ki Suwung: WONG ALUS:
Kenapa Tuhan memberikan perimpamaan petunjuk itu dengan dzat cahaya, kok
tidak dengan air, tanah atau yang lain? KI SUWUNG: “Sebab Tuhan paham sifat-
sifat cahaya. Cahaya itu bersemayam di dalam HATI ORANG-ORANG YANG
TERPILIH DAN DIKEHENDAKI-NYA. Dengan cahaya itu Tuhan membimbing
dan menuntun hati agar mampu memahami ayat-ayat Tuhan serta nasehat-
nasehat Tuhan. Tuhan-lah yang akan ‘menghantar’ jiwa kita melayang menemui-
Nya dan yang akan menunjukkan ‘jalan ruhani’ kita untuk melihat-Nya secara
‘nyata’. Dengan ‘cahaya-Nya’, kita bisa membedakan petunjuk dari syetan atau
dari Tuhan swt. Sehingga kita diharapkan untuk selalu bersungguh-sungguh
berjalan di jalan Tuhan, sehingga Dia akan memberi cahaya kepada manusia
yang menuju jalan-jalan Tuhan, yaitu jalan kebenaran. WONG ALUS: Lantas apa
syarat untuk mendapatkan cahaya petunjuk? KI SUWUNG: hendaknya kita
melakukan perbuatan yang diwajibkan dan dianjurkan-Nya, terus menerus
mengingat-Nya secara kontinyu baik berdiri, duduk, maupun berbaring jiwa
selalu terjaga. Sebab didalam setiap perilaku itu sejatinya selalu berhadapan
dengan Tuhan.Dan akhirnya Tuhan menyambut ingatan kita, dengan sambutan
kasih sayang serta memberinya cahaya penerang bagi hatinya yang merelakan
dan membuka untuk menerima Tuhan sebagai junjungannya, dengan ditandai
rasa tenang yang luar biasa. WONG ALUS: Saya masih kurang jelas tentang
perjalanan rohani yang katanya penuh dengan hambatan, apa saja hambatan
untuk bertemu Tuhan?. KI SUWUNG: Dalam agama, hambatan ini kerap ditunjuk
dengan istilah HIJAB. Istilah ini muncul setelah orang mulai serius mendalami
pengetahuan tentang TATA CARA MENGENAL TUHAN dengan segala cara
ibadah sampainya seseorang kepada tingkat IKHLAS. Yaitu ORANG YANG
BENAR-BENAR BERADA DALAM KEADAAN RELA DAN MENERIMA TUHAN
SEBAGAI TUHANNYA SECARA TRANSENDEN. Hijab adalah tirai penghalang
lajunya JIWA menuju SANG PENCIPTA. Penghalang itu adalah kabut yang
menutupi MATA HATI, sehingga hati tidak mampu melihat kebenaran yang
datang dari Tuhan. CAHAYA TUHAN tidak bisa ditangkap dengan pasti. Dengan
demikian manusia akan selalu berada dalam keragu-raguan atau was-was.
Karena ketertutupan atau terhijabnya kita atas keberadaan Tuhan disebabkan
kebodohan dan sangkaan akan Tuhan yang keliru. WONG ALUS: Jadi hati
merupakan pusat dari segala keburukan juga ya? KI SUWUNG: Benar, hati
memang pusat kemunafikan, kemusyrikan, dan merupakan pusat dari apa yang
membuat seorang manusia menjadi manusiawi. Dan pusat ini merupakan tempat
dimana mereka bertemu dengan Tuhannya. Merupakan janji Tuhan saat fitrah
manusia menanyakan dimanakah Tuhan? Lalu, Tuhan menyatakan diri-Nya
berada SANGAT DEKAT. Pertanyaan tentang keberadaan Tuhan sering kali kita
mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan, bahkan kita mendapatkan
cemoohan sebagai orang yang terlalu mengada-ada. Padahal, menanyakan
keberadaan Tuhan adalah merupakan pertanyaan dasar manusia. Didalam kitab
suci disebutkan bahwa keberadaan Tuhan sebagai wujud yang sangat dekat.
Jawaban atas pertanyaan dimanakah Tuhan diungkap dengan jawaban secara
DIMENSIONAL. Jawaban-jawaban tersebut tidak sebatas itu, akan tetapi dilihat
dari perspektif seluruh sisi pandangan manusia seutuhnya. Saat pertanyaan itu
terlontar “dimanakah Tuhan “, Tuhan menjawab “….Aku ini dekat “, kemudian
jawaban meningkat sampai kepada “Aku lebih dekat dari urat leher kalian…atau
dimana saja kalian menghadap disitu wujud wajah-Ku ….dan Aku ini maha
meliputi segala sesuatu.” Keempat jawaban tersebut menunjukkan bahwa
TUHAN TIDAK BISA DILIHAT HANYA DARI SATU DIMENSI SAJA, AKAN
TETAPI TUHAN MERUPAKAN KESEMPURNAAN WUJUD-NYA Sangat jelas
sekali bahwa Tuhan menyebut dirinya “AKU” BERADA MELIPUTI SEGALA
SESUATU, dan DIMANA SAJA ENGKAU MENGHADAP DISITU WAJAH-KU
BERADA!!! Kalau kita perhatikan jawaban Tuhan, begitu lugas dan tidak
merahasiakan sama sekali akan wujud-Nya. WONG ALUS: Ya, sangat sepakat
Ki, namun bagi saya Tuhan masih sulit saya pahami. Mohon pencerahan… KI
SUWUNG: Ilmu Tuhan memang tidak mudah. Karena kesederhanaan Tuhan ini
sudah dirusak oleh anggapan bahwa Tuhan sangat jauh. Dan kita hanya bisa
membicarakan Tuhan nanti di alam surga. Untuk mengembalikan prasangka
kepada pemahaman yang benar kita hendaknya memperhatikan peringatan
Tuhan, bahwa Tuhan tidak bisa disetarakan dengan makhluq-Nya. Tuhan
sebagai wujud sejati biasanya ditafsirkan dengan sifat-sifat Nya yang meliputi
segala sesuatu. Akan tetapi kalau Tuhan ditafsirkan dengan sifat-sifat-Nya, yang
meliputi segala sesuatu akan timbul pertanyaan, kepada apanya kita
menyembah? Apakah kepada ilmunya, kepada kekuasaan-Nya atau kepada
wujud-Nya? Kalau dijawab dengan kekuasan-Nya atau dengan ilmu-Nya maka
akan bertentangan dengan kehendak Tuhan Sebab manusia diperintahkan
menghadapkan wajahnya kepada wajah Dzat yang Maha Mutlak. Sekaligus
menghapus pernyataan selama ini yang justru menjauhkan pengetahuan kita
tentang dzat, kita menjadi takut kalau membicarakan dzat, padahal kita akan
menuju kepada pribadi. TUHAN, BUKAN NAMA, BUKAN SIFAT DAN BUKAN
PERBUATAN TUHAN. KITA AKAN BERSIMPUH DIHADAPAN SOSOK-NYA
YANG SANGAT DEKAT. WONG ALUS: Berarti hubungan antara dzat, sifat,
nama dan perbuatan Tuhan itu erat ya Ki, mohon penjelasan? KI SUWUNG:
Pemikiran tentang Tuhan pasti menyinggung hubungan antara dzat, sifat, dan
perbuatan Tuhan. Diterangkan bahwa dzat meliputi sifat. Sifat menyertai nama.
Nama menandai perbuatan. Hubungan-hubungan ini bisa diumpamakan seperti
madu dengan rasa manisnya, pasti tidak dapat dipisahkan. Sifat menyertai
nama, ibarat matahari dengan sinarnya, pasti tidak bisa dipisahkan. Nama
menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin dengan
bayangannya, pasti segala tingkah laku yang bercermin, bayangannya pasti
mengikutinya. Perbuatan menjadi wahana dzat, seperti samudra dengan
ombaknya, keadaan ombak pasti mengikuti perintah samudra. Uraian di atas
menjelaskan, betapa eratnya hubungan antara dzat, sifat, nama dan perbuatan
Tuhan. Hubungan antara dzat, dan sifat ditamsilkan laksana hubungan antara
madu dan rasa manisnya. Meskipun pengertian sifat bisa dibedakan dengan dzat
namun keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. WONG ALUS:
Kalimat Tuhan meliputi segala sesuatu adalah kesempurnaan ..dzat , sifat, asma,
dan perbuatan. Sebab kalau hanya disebut sifatnya saja yang meliputi segala
sesuatu, lantas ada pertanyan, sifat itu bergantung kepada apa atau siapa ? KI
SUWUNG: Ya, jelas akan bergantung kepada pribadi (Aku) yang memiliki sifat.
Kemudian kalau sifat yang meliputi segala sesuatu, kepada siapakah kita
menghadap? Kepada Dzat atau sifat Tuhan. Kalau sifat Tuhan sebagai obyek
ibadah kita, maka kita telah tersesat, sebab sifat, asma dan perbuatan Tuhan
bukanlah sosok dzat yang Maha Mutlak itu sendiri. Semua selain Tuhan adalah
AKIBAT ADANYA DZAT. Seperti adanya alam, adanya malaikat, adanya jin dan
manusia. Semua ada karena adanya DZAT YANG MAHA AWAL. Seperti
perumpamaan madu dan manisnya, sifat manis tidak akan ada kalau madu itu
tidak ada. Dan sifat manis itu bukanlah madu. Sebaliknya madu bukanlah sifat
manis. Artinya sifat manis tergantung kepada adanya “madu”. Apakah Dzat itu,
… seperti apa? Apakah ada orang yang mampu menjabarkan keadaannya ?
Singkat kata, dualitas berkaitan dengan sifat diskursus manusia tentang Tuhan.
Untuk bisa memahami Tuhan, kita harus mengerti keterbatasan-keterbatasan
konsepsi kita sendiri, karena menurut perspektif ketakperbandingan tak ada yang
bisa mengenal Tuhan kecuali Tuhan sendiri. Karena itu kita punya pengertian
tentang Tuhan, TUHAN KONSEPSI SAYA DAN “TUHAN” KONSEPSI HAKIKI,
YANG BERADA JAUH DILUAR KONSEPSI SAYA. Tuhan yang dibicarakan
selalu berkaitan dengan Tuhan dalam “konsepsi saya”. Konsepsi Dzat yang
hakiki tidak bisa kita fahami, baik oleh saya maupun Anda. Karena itu kita tidak
bisa berbicara tentangnya secara bermakna. bagaimana kita bisa memahami
tentang Dia, sedang kata-kata yang ada hanya melemparkan kita keluar dari
seluruh konsepsi manusia. Seperti, Dia yang Awal dan yang akhir, Dia yang
tampak dan yang tersembunyi, cahaya-Nya tidak di timur dan tidak di barat, tidak
laki-laki dan tidak tidak perempuan, tidak serupa dengan ciptaan-Nya. Kenyataan
Tuhan tidak bisa dikenal dan diketahui berasal dari penegasan dasar bahwa DIA
tidak sama dengan sesuatu. Karena tuhan secara mutlak dan tak terbatas benar-
benar Dzat maha tinggi, sementara kosmos berikut segala isinya hanya bersifat
RELATIF maka realitas Tuhan berada jauh diluar pemahaman realitas makhluk.
Dzat yang maha mutlak tidak bisa dijangkau oleh yang relatif. Kita dan kosmos
(alam) berhubungan dengan Tuhan melalui sifat-sifat-Nya yang menampakkan
jejak-jejak dan tanda-tandanya dalam eksistensi kosmos. Kita tidak bisa
mengenal dan mengetahui Tuhan dalam dirinya sendiri, tetapi hanya sejauh
Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui kosmos (sifat, nama, perbuatan). Sifat,
nama, dan perbuatan, secara relatif bisa dirasakan dan difahami MAKNANYA.
Akan tetapi DZAT adalah realitas mutlak. Dan untuk memahami secara hakiki
harus mampu MENIADAKAN ATAU MEMFANAKAN DIRI, … yaitu memahami
bahwa KEBERADAAN MAKHLUK BERSIFAT TIADA. WONG ALUS: ada
gambaran yang sederhana Ki, saya sangat bingung? KI SUWUNG: Ketika kita
melihat kereta api berjalan diatas rel, terbetik dibenak kita suatu pertanyaan.
Bagaimana roda-roda yang berat itu bisa bergerak dan lari. Tak lama kemudian
kita akan sampai kepada pemikiran tetang alat-alat dan mesin-mesin itulah yang
menggerakkan roda yang berat itu. Adakah setelah itu kita dibenarkan jika
berpendapat bahwa alat kereta itu sendiri yang menggerakkan kereta tersebut.
Perkaranya tidak semudah itu, sebab kita tidak boleh mengabaikan bahwa
disana ada masinis yang mengendalikan mesin. Kemudian ada insinyur yang
menciptakan rancangan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, maka pada
hakekatnya tak ada wujud bagi kereta itu, dan tidaklah mungkin terjadi gerakan
dan perputaran pada roda-roda tanpa kerja insinyur. Mesin-mesin itu bukanlah
akhir dari cerita sebuah kereta api, akan tetapi hakikat yang paling akhir adalah
akal yang telah mengadakan mesin itu, kemudian menggerakkan menurut
rencana yang telah dipersiapkan. Mengikuti ilustrasi realitas kereta api, mulai
dari gerbong yang digerakkan oleh roda-roda, kemudian roda-roda digerakkan
oleh mesin, mesin digerakkan oleh masinis, dan semua itu direncanakan, oleh
yang menciptakan yaitu insinyur. Pertanyaan terakhir adalah : “Mungkinkah roda-
roda, mesin, dan alat-alat kereta api itu mampu melihat yang menciptakan?”
Jawabannya adalah insinyur itu sendiri yang mengetahui akan dirinya, sebab
kereta api dan insinyur berbeda keadaan dan bukan perbandingan. Realitas
instrumen kereta api tidak ada satupun yang serupa jika dibandingkan dengan
keadaan realitas insinyur. Kemudian mengetahui keadaan realitas kereta api dari
awal sampai akhir, merupakan kefanaan atau penafian bahwa realitas kereta api
adalah ciptaan semata. Realitas bahwa Dzat tuhan tidak bisa dibandingkan
dengan sesuatu berlaku sampai di akhirat kelak. Walaupun Tuhan sendiri
mengatakan bahwa manusia di alam surga akan melihat realitas Tuhan secara
nyata atas eksistensi Tuhan, bukan berarti kita melihat dengan perbandingan
pikiran manusia. Yang dimaksud melihat secara hak disini adalah kesadaran jiwa
muthmainnah yang telah lepas dari ikatan alam atau kosmos. WONG ALUS:
Inikah yang disebut SUWUNG? KI SUWUNG: Ya, atau biasa disebut FANA
keadaan ini manusia dan alam seperti keadaan sebelum diciptakan yaitu
keadaan masih kosong awang uwung atau SUWUNG kecuali DIA sendiri yang
ada. Tidak ada yang mengetahui keadaan ini kecuali Tuhan sendiri. Keadaan
awal tidak ada yang wujud selain Tuhan, tidak ada ruang, tidak ada waktu, tidak
ada alam apapun yang tercipta. Ada yang menarik dalam peristiwa “pertemuan”
nabi Musa dengan Tuhan dulu. Itulah keadaan SUWUNG manusia dan alam.
Yakni keadaan hancur luluh lantak keadaan gunung Thursina dan keadaan Musa
EKSTASE jatuh PINGSAN. Setelah gunung itu hancur dan Musa-pun jatuh
pingsan, TIDAK SATUPUN YANG TERLINTAS REALITAS APAPUN DIDALAM
PERASAN MUSA DAN FIKIRANNYA, KECUALI IA TIDAK TAHU APA-APA. Yaitu
realitas konsepsi manusia dan alam tidak ada (fana). Dalam keadaan inilah
Musa melihat realita Tuhan, bahwa benar Tuhan tidak bisa dibandingkan oleh
sesuatu apapun. Kemudian Musa kembali sadar memasuki realitas dirinya
sebagai manusia dan alam. Musa berkata :aku orang yang pertama-tama
beriman..dan percaya bahwa Tuhan tidak seperti konsepsi “saya”. Setelah kita
mengetahui dan faham akan Dzat, sifat, dan perbuatan Tuhan, teranglah fikiran
dan batin kita, sehingga secara gamblang kedudukan kita dan Tuhan menjadi
jelas, yaitu yang hakiki dan yang bukan hakiki. Terbukalah mata kita dari
ketidaktahuan akan Dzat. Ketidaktahuan inilah yang saya maksudkan dengan
tertutupnya hijab, sehingga perlu disadarkan oleh kita sendiri dan kemudian
mengenal-Nya (ma’rifat) WONG ALUS: berarti prasangka terhadap Dia
merupakan hijab ya ki? KI SUWUNG: Begitulah kenyataannya. Tiada sesuatu
benda yang MENUTUPI engkau dari Tuhan, tetapi yang menghijab engkau
adalah PERSANGKAANMU ADANYA SESUATU DISAMPING TUHAN, sebab
segala sesuatu selain dari Tuhan itu pada hakikatnya tidak ada sebab yang wajib
ada hanya Tuhan, sedang yang lainnya terserah kepada belas kasihan Tuhan
untuk diadakan atau ditiadakan. Seorang arif berkata : Semua makhluk ini
bagaikan adanya bayangan pohon di dalam air. Maka ia tidak akan menghalangi
jalannya perahu. Maka hakikat yang sebenarnya tiada sesuatu benda apapun
disamping Tuhan untuk menutupi pandanganmu dari Tuhan. Hanya engkau
sendiri mengira bayangan itu sebagai Tuhan. Ibarat seseorang yang bermalam
disuatu tempat, tiba-tiba pada malam hari ketika ia akan buang air, terdengar
suara angin yang menderu masuk lobang sehingga persis sama dengan suara
harimau, maka ia tidak berani keluar. Tiba pada pagi hari ia tidak melihat bekas-
bekas harimau, maka ia tahu bahwa itu hanya tekanan angin yang masuk ke
lobang, bukan tertahan oleh harimau, hanya karena perkiraan adanya harimau.
Pertanyaan demi pertanyaan timbul dari ketidaktahuan (hijab), kenyataaan
bahwa Tuhan sangat dekat tertutup oleh kebodohan ilmu kita selama ini. Tuhan
seakan jauh diluar sana sehingga kita tidak merasakan kehadiran-Nya yang
terus menerus berada dalam kehidupan kita. Dari keterangan diatas
menyimpulkan bahwa kita ternyata telah salah kaprah mengartikan sosok dzat
selama ini, yang kita sangka adalah konsepsi “saya”, bukan konsepsi hakiki,
yaitu wujud yang tak terbandingkan oleh perasaan, pikiran , mata hati, dan
seterusnya. TUHAN KITA ADALAH TUHANNYA MUSA, … TUHANNYA
IBRAHIM, … TUHANNYA ISA, TUHANNYA MUHAMMAD, TUHAN KITA SEMUA
… YAITU YANG MAHA TAK TERJANGKAU OLEH APAPUN. WONG ALUS:
Wah, penjelasan Panjenengan sangat gamblang namun sangat sulit saya
pahami ki. Saya hanya bisa merekam dalam tape recorder yang saya bawa ini.
Mudah-mudahan nanti bila saya tuliskan di blog tidak salah tafsir. Ada pesan ki?
KI SUWUNG: Semoga atas ijin-Nya. Saya hanya berpesan kini saatnya kita
KONSENTRASI kepada DZAT…bukan kepada SIFAT: Sembahlah AKU …,
sehingga SUWUNGLAH DIRI DAN ALAM SEMESTA. Setelah kita mengetahui
dan mengenal Tuhan secara ilmu, maka semakin mudahlah kita untuk memulai
berkomunikasi dan berjalan menuju kepada-Nya. KITA TELAH MEYAKINI
BAHWA KITA AKAN KEMBALI KEPADA-NYA SEKARANG. TIDAK BESOK LUSA
ATAU KAPAN-KAPAN…. ^^^^^ Dipetik dari : http://wongalus.wordpress.com/
MENGUNGKAP MISTERI TUHAN ZAT TERTINGGI
Wednesday, July 15, 2009, 3:09:39 AM | Teja Buwana
(DIKAITAN DENGAN CAUSA PRIMA, EPISENTRUM, HAKEKAT, MISTERI
TUHAN, PANUNGGAL JATI, RAHASIA TUHAN, SIFAT DZAT) WIRID PURBA
JATI Seluruh manusia, dalam benaknya memiliki rasa keingintahuan tentang
wujud Tuhan. Maka lazim lah manusia membayangkan bagaimana gambaran
keadaan Tuhan itu sebenarnya. Dalam beberapa agama samawi,
menggambarkan keadaan Tuhan adalah “ranah terlarang” atau ruang lingkup
yang musti dihindari, tidak menjadi pembahasan dengan obyek Dzat secara
datail dan gamblang. Dengan alasan bahwa Tuhan sebagai Dzat yang amat
sangat sakral. Maka menggambarkan keadaan Dzat Tuhan pun manusia
dianggap tidak akan mampu dan akan menemui kesalahan persepsi, yang
dianggap beresiko dapat membelokkan pemahaman. Hal itu wajar karena
menggambarkan Tuhan secara vulgar dapat mengakibatkan konsekuensi buruk.
Tidak menutup kemungkinan akan terjadi “pembendaan” Tuhan sebagai upaya
manusia mengkonstruksi imajinasinya secara konkrit. Maka atas alasan tersebut
terdapat asumsi bahwa upaya manusia menggambarkan keadaan Tuhan denga
cara apapun pasti salah. Namun demikian, lain halnya dengan agama-agama
“bumi” dan ajaran atau kearifan-kearifan lokal yang berusaha menggambarkan
keadaan Tuhan dengan cara arif dan hati-hati. Manusia berusaha menjelaskan
secara logic dalam asas hierarchis, sesuai dengan kemampuan nalar, akal budi,
dan hati nurani yang dimiliki manusia. Ditempuh melalui “laku” spiritual dan olah
batin yang mendalam dan berat serta mengerahkan kemampuan akal budi
(mesu budi). PIJAKAN SASMITA Dzat adalah mutlak, Jumenengnya Dzat Maha
Wisesa kang Langgeng Ora Owah Gingsir, dalam bahasa Timteng lazimnya
disebut Qadim, yang azali abadi. Kalimat ini mempunyai maksud berdirinya
“sesuatu tanpa nama” yang ada, mandiri dan paling berkuasa, mengatasi jagad
raya sejak masih awang-uwung. Di sebut maha kuasa artinya, Dzat yang tanpa
wujud, berada merasuk ke dalam energi hidup kita. Tetapi banyak yang tidak
mengerti dan memahami, karena keber-ada-annya lebih-lebih samar, tanpa arah
tanpa papan (gigiring punglu), tanpa teman, tanpa rupa, sepi dari bau, warna,
rupa, bersifat elok, bukan laki-laki bukan perempuan, bukan banci. Dzat
dilambangkan sebagai “kombang anganjap ing tawang” kumbang hinggap di
awang-awang, hakekatnya tersebutlah “latekyun”, oleh karena keadaan yang
belum nyata. Artinya, hidup adalah sifat dari Hyang Mahasuci, menyusup,
meliputi secara komplet atas jagad raya dan isinya. Tidak ada tempat yang tanpa
pancaran Dzat. Seluruh jagad raya penuh oleh Dzat, tiada celah yang
terlewatkan oleh Dzat, baik “di luar” maupun “di dalam”. Dzat menyusup, meliputi
dan mengelilingi jagad raya seisinya. Demikianlah perumpamaan keber-ada-an
Pangeran (Tuhan) Yang Mahasuci, ialah yang terpancar di dalam hidup kita
pribadi. Dzat merupakan sumber dari segala sumber adanya jagad raya seisinya.
Retasan dari Dzat Yang Mahasuci dalam mewujud makhluk ciptaanNya, dapat
digambarkan dalam alur yang bersifat hirarkhis sebagai berikut; 1. Dzat; Hyang
Mahasuci, Maha Kuasa, Dzatullah; sumber dari segala sumber adanya jagad
raya dan seluruh isinya. “Nalikå awang-awang – uwúng-uwung, dèrèng wóntên
punåpå punåpå, Hyang Måhå Kawåså manggèn wóntên satêngahíng
kawóntênan, nyíptå dumadósíng pasthi. Wóntên swantên ambêngúng ngêbêgi
jagad kadós swantêníng gênthå kêkêlêng. Ingriku wóntên cahyå pacihang
gumêbyar mungsêr bundêr kadós antigå (tigan) gumandhúl tanpå canthèlan.
Énggal dipún astå déníng Hyang Måhå Kawåså, dipún pujå : lalu meretaslah
Kayyun. 2. Kayu/kayyun; yang hidup/atma/wasesa, menjadi perwujudan dari
Dzat yang sejati, memancarkan energi hidup. Kayun yang mewujud karena
“disinari” oleh Dzat sejati. Dilambangkan sebagai kusuma anjrah ing tawang,
yakni bunga yang tumbuh di awang-awang, dalam martabatnya disebut takyun
awal, kenyataan awal muasal. Segala yang hidup disusupi dan diliputi energi
kayu/yang hidup. 3. Cahaya dan teja, nur, nurullah; pancaran lebih konkrit dari
kayun. Teja menjadi perwujudan segala yang hidup, karena “disinari” kekuasaan
atma sejati. Dilambangkan sebagai tunjung tanpo telogo, bunga teratai yang
hidup tanpa air. Berbeda dengan api, cahaya tidak memerlukan bahan bakar.
Cahaya mewujud sebagai hakikat pancaran dari yang hidup. Di dalam cahaya
tidak ada unsur api (nafsu) maka hakikat cahaya adalah jenjem-jinem,
ketenangan sejati, suci, tidak punya rasa punya. Hakikatnya hanyalah
sujud/manembah yang digerakkan oleh energi hidup/kayun, yakni untuk
manembah kepada Dzat yang Mahasuci. Dalam martabatnya disebut
takyunsani, kenyataan mewujud yang pertama. Ruh yang mencapai kamulyan
sejati, di dalam alam ruh kembali pada hakikat cahaya. Sebagai sifat hakekat
“malaikat”. 4. Rahsa, rasa, sir, sirullah; sebagai perwujudan lebih nyata dari
cahaya. Sumber rahsa berasal dari terangnya cahaya sejati. Dilambangkan isine
wuluh wungwang, artinya tidak kentara; tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan.
Maka dalam martabat disebut akyansabitah. Ketetapan menitis, menetes, dalam
eksistensi sebagai sir. Yakni menetes/jatuhnya cahaya menjadi rasa. 5. Roh,
nyawa, sukma, ruh, ruhullah. Sebagai perwujudan dari hakekat rasa. Sebab dari
terpancarnya rasa sejati, diumpamakan sebagai tapaking kuntul nglayang.
Artinya, eksistensi maya yang tidak terdapat bekas, maka di dalam martabat
disebut sebagai akyankarijiyah. Rasa yang sesungguhnya, keluar dalam bentuk
kenyataan maya. Karena ruh diliputi rahsa, wujud ruh adalah eksistensi yang
mempunyai rasa dan kehendak, yakni kareping rahsa; kehendak rasa. Tugas ruh
sejati adalah mengikuti kareping rahsa atau kehendak rasa, bukan sebaliknya
mengikuti rasanya kehendak (nafsu). Ruh sejati/roh suci/ruhul kuddus harus
menundukkan nafsu. 6. Nepsu, angkara, sebagai wujud derivasi dari roh, yang
terpancar dari sinar sukma sejati. Hakikat nafsu dilambangkan sebagai latu
murup ing telenging samudra. Nafsu merupakan setitik kekuatan “nyalanya api”
di dalam air samudra yang sangat luas. Artinya, nafsu dapat menjadi sumber
keburukan/angkara (nila setitik) yang dapat “menyala” di dalam dinginnya air
samudra/sukma sejati nan suci (rusak susu sebelanga). Disebut pula sebagai
akyanmukawiyah, (nafsu) sebagai kenyataan yang “hidup” dalam eksistensinya.
Paradoks dari tugas roh, apabila nafsu lah yang menundukkan roh, maka
manusia hanya menjadi “tumpukan sampah” atau hawa nafsu angkara.
Mengikuti rasanya keinginan (rahsaning karep). 7. Akal-budi, disebut juga indera.
Keberadaan nafsu menjadi wahana adanya akal-budi. Dilambangkan sebagai
kudha ngerap ing pandengan, kudha nyander kang kakarungan. Akal-budi
letaknya di dalam nafsu, diibaratkan sebagai “orang lumpuh mengelilingi bumi”.
Adalah tugas yang amat berat bagi akal-budi; yakni menuntun hawa nafsu
angkara kepada yang positif/putih (mutmainah). Sehingga diumpamakan wong
lumpuh angideri jagad; orang lumpuh yang mengelilingi bumi. Disebut juga
akyanmaknawiyah. Kemenangan akal-budi menuntun hawa nafsu ke arah yang
positif dan tidak merusak, maka akan melahirkan nafsu baru, yakni nafsul
mutmainah. 8. Jasad/badan/raga. Merupakan perwujudan paling konkrit dari ruh
(mahujud), dan retasan berasal dari derivasi terdekatnya yakni panca indera
sejati. Jasad menjadi wahana adanya sifat. Jasad menjadi bingkai sifat,
diumpamakan sebagai kodhok kinemulan ing leng. Kodhok personifikasi dari
sifat manusia yang rendah, karena cenderung mengikuti hawa nafsu (rasaning
karep), diselimuti oleh liang/rumah kodhok; liang adalah personifikasi dari jasad.
Sifat-sifat manusia yang masih tunduk oleh jasad, merupakan gambaran Dzat
sifat yang masih terhalang dan dikendalikan oleh sifat ke-makhluk-an. Sifat-sifat
Dzat Tuhan dalam diri manusia masih diliputi oleh sifat kedirian manusia.
Sebaliknya, pencapaian kemuliaan hidup manusia dilambangkan sebagai
kodhok angemuli ing leng, kodok menyelimuti liangnya, apabila jasad
keberadaannya sudah “di dalam”. Artinya hakekat manusia sudah diliputi oleh
sifat Dzat Tuhan. SISTEMATIKA MENUJU DZAT Ketetapan jasad ditarik oleh
akal Ketetapan akal ditarik oleh nafsu Ketetapan nafsu ditarik oleh roh Ketetapan
roh ditarik oleh sir Ketetapan sir ditarik oleh nur Ketetapan nur ditarik oleh kayun
Ketetapan kayu/kayun ditarik oleh Dzat TANGGA UNTUK “BERTEMU” TUHAN
(PARANING DUMADI) Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa manusia memiliki
dua kutub yang saling bertentangan. Di satu sisi, kutub badan kasar atau jasad
yang menyelimuti akal budi sekaligus nafsu angkara. Jasad (fisik) juga
merupakan tempat bersarangnya badan halus/astral/ruh (metafisik), di lain sisi.
Manusia diumpamakan berdiri di persimpangan jalan. Tugas manusia adalah
memilih jalan mana yang akan dilalui. Tuhan menciptakan SEMUA RUMUS
(kodrat) sebagai rambu-rambu manusia dalam menata hidup sejati. Masing-
masing rumus memiliki hukum sebab-akibat. Golongan manusia yang berada
dalam kodrat Tuhan adalah mereka yang menjalankan hidup sesuai rumus-
rumus Tuhan. Setiap menjalankan rumus Tuhan akan mendapatkan “akibat”
berupa kemuliaan hidup, sebaliknya pengingkaran terhadap rumus akan
mendapatkan “akibat” buruk (dosa) sebagai konsekuensinya. Misalnya; siapa
menanam; mengetam. Rajin pangkal pandai. (lihat dalam Wirayat Laksita Jati).
Tugas manusia adalah menyelaraskan sifat-sifat kediriannya ke dalam
“gelombang” Dzat sifat Tuhan. Dalam ajaran Kejawen lazim disebut
manunggaling kawula gusti; dua menjadi satu, atau dwi tunggal. Kodrat manusia
yang lahir ke bumi adalah mensucikan jasad, jasad yang diliputi oleh Dzat sifat
Tuhan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut; “Jasad dituntun oleh keutamaan
budi, budi terhirup oleh hawanya nafsu, nafsu (rahsaning karep) diredam oleh
kekuasaan sukma sejati, sukma diserap mengikuti rasa sejati (kareping rahsa),
rahsa luluh melebur disucikan oleh cahaya, cahaya terpelihara oleh atma (energi
yang hidup), atma berpulang ke dalam Dzat, Dzat adalah qadim ajali abadi”.
WIRID PURBA JATI : MENGENALI JATI DIRI; Hakekat Neng, Ning, Nung, Nang
Sunday, July 12, 2009, 10:10:18 PM | Teja Buwana
WIRID SALOKA JATI Wirid Saloka Jati digelar sebagai upaya para leluhur
bangsa kita untuk menjabarkan keadaan jati diri kita. Sebagaimana kebiasaan
leluhur nenek moyang kita, dengan tujuan agar supaya “kawruh lan ngelmu”
lebih mudah dipahami para generasi penerus bangsa maka digunakanlah
sanepa, saloka, kiasan, perumpamaan, dan perlambang. Dalam acara ritual atau
upacara tradisi; perlambang, saloka, dan sanepa ini diwujudkan ke dalam ubo
rampe atau syarat-syarat yang terdapat dalam sesaji. Serat ini menggelar arti
dari kalimat kiasan (saloka), yakni perumpamaan mengenai suatu makna yang
dimanifestasikan dalam bentuk peribahasa. Mulai dari eksistensi yang dicipta-
Yang mencipta, eksistensi jiwa, sukma, hingga eksistensi akal budi. Yang akan
meneguhkan keyakinan kepada Gusti Pengeran (Tuhan Yang Mahamulia).
Peribahasa dalam terminologi Jawa sebagai “pasemon” atau kiasan. Kiasan
diciptakan sebagai pisau analisa, di samping memberi kemudahan pemahaman
akan suatu makna yang sangat dalam, rumit dicerna dan sulit dibayangkan
dengan imajinasi akal-budi. Berikut ini saloka yang paling sering digunakan
dalam berbagai wacana falsafah Kejawen. 1. Gigiring Punglu; Gigiring mimis;
Merupakan perumpamaan akan ke-elokan Zat Tuhan. Yakni perumpamaan hidup
kita, tanpa titik kiblat dan tanpa tempat, hanya berada di dalam hidup kita pribadi.
2. Tambining Pucang; Menunjukkan ke-elokan Zat Tuhan, ke-ada-an Tuhan itu
dibahasakan bukan laki-laki bukan perempuan atau kedua-duanya. Dan bukan
apa-apa, seperti apa sifat sebenarnya, terproyeksikan dalam sifat sejatinya hidup
kita pribadi. 3. Wekasaning Langit; batas langit ; umpama batas jangkauan
pancaran cahaya. Yakni pancaran cahaya kita. Sedangkan tiadanya batas
jangkauan cahaya, menggambarkan keadaan sifat kita. 4. Wekasaning Samodra
tanpa tepi; berakhirnya samodra tiada bertepi; maksudnya ibarat batas akhir
daya jangkauan rahsa atau rasa (sirr). Mengalir sampai ke dalam sejatinya
warna kita. 5. Galihing Kangkung; galih adalah bagian kayu yang keras atau
intisari di dalam pohon) galihnya pohon kangkung (kosong); maksudnya,
perumpamaan ke-ada-an sukma, yang merasuk ke dalam jasad kita. Ada namun
tiada. 6. Latu sakonang angasataken samodra; bara api setungku membuat
surut air samodra. Menggambarkan keluarnya nafsu yang bersinggasana di
dalam pancaindra, dapat membuat sirna segala kebaikan. 7. Peksi miber
angungkuli langit; burung terbang melampaui langit. Menggambarkan kekuatan
akal budi kita yang bersemayam di dalam penguasaan nafsu, namun
sesungguhnya akal budi mampu mengalahkan nafsu. 8. Baita amot samodra;
perahu memuat samodra; baita atau perahu kiasan untuk badan kita, sedangkan
samodra merupakan kiasan untuk hati kita. Secara fisik hati berada di dalam
jasad. Tetapi secara substansi jasad lah yang lebih kecil dari hati. 9. Angin
katarik ing baita ; angin ditarik oleh perahu. Menggambarkan pemberhentian
nafas kita dalam jasad, sedangkan keluarnya nafas dari dalam jasad kita pula.
Dalam jagad besar, prinsip fisika merumuskan angin lah yang menarik atau
mendorong perahu. Sebaliknya dalam jagad kecil, rumus biologis maka badan
lan yang menarik angin. Ini menggambarkan prinsip imbal balik jagad besar dan
jagad kecil. 10. Susuhing angin ; sarangnya angin. Menggambarkan terminal
sirkulasi nafas kita berada dalam jantung. 11. Bumi kapethak ing salebeting siti;
bumi ditanam di dalam tanah. Menggambarkan asal muasal jasad kita berasal
dari tanah, kelak pasti akan kembali (terkubur) menjadi tanah. 12. Mendhet latu
adadamar (mengambil bara sambil membawa api); atau latu wonten salebeting
latu (bara di dalam bara); atau latu binesmi ing latu (bara terbakar oleh bara);
menggambarkan badan kita berasal dari bara api, selalu mengeluarkan api,
keadaan untuk menggambarkan sumber dan keluarnya hawa nafsu kita. 13.
Barat katiup angin; atau angin anginte prahara; angin tertiup angin.
menggambarkan wahana yang menghidupkan badan kita berasal dari udara,
selalu mengeluarkan udara, yakni nafas kita. 14. Tirta kinum ing toya (air tertelan
oleh air), atau ngangsu rembatan toya (menimba dengan air); atau toya
salebeting toya (air di dalam air); menggambarkan badan kita berasal dari air,
selalu dialiri dan mengalirkan air, maksudnya darah kita. 15. Srengenge pinepe,
atau kaca angemu srengenge; matahari terjemur, kaca mengandung matahari;
artinya bahwa adanya cahaya karena sinar dari sang surya. Surya itu sendiri
berada di dalam cahaya. Hal ini menggambarkan keadaan indera mata atau
netra kita ; mata itu seperti matahari, namun mata dapat melihat karena selalu
disinari oleh sang surya. 16. Wiji wonten salabeting wit (biji berada dalam
pohon); dan wit wonten salebeting wiji (pohon berada di dalam biji) ; dinamakan
pula “peleburan papan tulis”. Menggambarkan keadaan bahwa ZAT Tuhan
berada dalam wahana makhluk, dan makhluk berada dalam wahana Tuhan
(Jumbuhing kawula-Gusti). 17. Kakang barep adhine wuragil ; kakaknya sulung,
adiknya bungsu. Menggambarkan martabat insan kamil, keadaan sejatinya diri
kita. Hakekat kehidupan kita sebagai “akhiran” dan sekaligus sebagai “awalan”.
Pada saat manusia lahir dari rahim ibu merupakan awal kehidupannya di dunia,
sekaligus akhir dari sebuah proses triwikrama atau tiga kali menitisnya “Dewa
Wisnu” menjadi manusia melewati 4 zaman; kertayuga, tirtayuga, dwaparayuga,
kaliyuga/mercapadha/bumi. Sedangkan ajal, merupakan akhir dari kehidupan
(dunia), namun ajal merupakan awal dari kehidupan baru yang sejati, azali abadi.
18. Busana kencana retna boten boseni, atau busana wrasta tanpa seret.
Gambaran jasad yang dibungkus kulit sebagai “busana”. Kita tidak pernah bosan
biarpun tidak pernah ganti “busana” atau kulit kita. Kulit merupakan “busana”
pelindung dari tubuh kita. 19. Tugu manik ing samodra ; menggambarkan daya
cipta yang terus menerus berporos hingga pelupuk mata. Daya cipta akal budi
manusia jangkauannya umpama luasnya samodra namun konsentrasinya
terfokus pada mata batin. 20. Sawanganing samodra retna; pemandangan intan
samodra. Menggambarkan pintu pembuka kepada keadaan Tuhan. Tabir
pembuka hakekat Zat. Yakni “babahan hawa sanga” atau sembilan titik yang
terdapat di dalam diri manusia sebagai penghubung kepada Zat Maha Kuasa.
Disebut juga kori selamatangkeb; melar-mingkupnya maras atau membuka-
menutupnya mulut). 21. Samodra winotan kilat ; samodra berjembatan kilat.
Dalam Islam disebut jembatan “siratal mustaqim”. Menggambarkan pesatnya
yatma sampai pada ngabyantaraning Hyang Widhi. Adapula yang mengartikan
“jembatan kilat”, sebagai perlambang keluarnya ucapan mulut manusia. 22. Bale
tawang gantungan ; rumah atau tempatnya langit bergantung. Dalam terminologi
Islam disebut arsy atau aras kursi atau kursi kekuasaan Tuhan. Namun bukan
dibayangkan sebagai singgasana yang diduduki Tuhan bertempat di atas langit
(ke 7), imajinasi demikian justru memberhalakan Tuhan sebagaimana
makhlukNya saja. Dalam konteks ini, aras atau tawang gantungan adalah
perumpamaan kekuasaan, yang menjadi “wajah” Tuhan. Hakekatnya sebagai
“balai sidang” Zat, keberadaannya di dalam kepala dan dada. Sedangkan kursi,
atau dilambangkan bale, merupakan perumpamaan singgasana (palenggahan)
Zat. Letaknya ada di otak dan jantung. Singkatnya, kepala dan dada sebagai
tawang gantungan, sedangkan otak dan jantung sebagai bale-nya. 23. Wiji
tuwuh ing sela; biji tumbuh di atas batu. Dalam termonologi Islam diistilahkan
laufhulmahfudz loh-kalam. Loh/laufhul itu artinya papan atau tempat, sedangkan
al makhfudz berarti dijaga/kareksa. Maknanya adalah tempat yang selalu dijaga
Tuhann. Yakni hakekat dari “sifat” Zat yang terletak di dalam jasad yang selalu
dijaga “malaikat” Kariban. Malaikat merupakan perlambang dari nur suci
(nurullah) atau cahyo sejati. Cahyo sejati menjadi pelita bagi rasa sejati atau sirr.
Sedangkan loh-kalam artinya bayangan atau angan-angan Zat letaknya di dalam
budi, tumbuhnya angan-angan, dijaga oleh malaikat Katiban. Malaikat katiban
adalah pralambang dari sukma sejati yang selalu menjaga budi agar tidak
mengikuti nafsu. 24. Tengahing arah; titik tengahnya arah. Ibarat mijan atau traju.
Yakni ujung dari sebuah senjata tajam. Menggambarkan hakekat dari neraca
(alat penimbang) Zat. Traju terletak pada instrumen pancaindra yakni; netra
(penglihatan), telinga (pendengaran), hidung (pembauan), lidah dan kulit
(perasa). Dalam pewayangan dilambangkan sebagai Pendawa Lima; Yudhistira,
Bima/Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Makna untuk menggambarkan
panimbang (alat penimbang) hidup kita yang berada pada pancaindra. 25.
Katingal pisah ; terkesan pisah. Menggambarkan keadaan antara Zat (Pencipta)
dengan sifatnya (makhluk) seolah-olah terpisah. Sejatinya antara Zat dengan
sifat tak dapat dipisahkan. Sebab biji dapat tumbuh tanpa cangkok. Sebaliknya
cangkok tidak tumbuh bila tanpa biji. Biji menggambarkan eksistensi Tuhan,
sedangkan cangkok menggambarkan eksistensi manusia. Kiasan ini
menggambarkan hubungan antara kawula dengan Gusti. Walaupun seolah eksis
sendiri-sendiri, namun sesungguhnya manunggal tak terpisahkan dalam
pengertian “dwi tunggal” (loroning atunggil). 26. Katingal boten pisah; tampak
tidak terpisah. Menggambarkan solah dan bawa. Solah adalah gerak-gerik
badan. Bawa atau krenteg adalah gerak-gerik batin. Solah dan bawa tampak
seolah tidak terpisah, namun keduanya tergantung rasa. Solah merupakan
rahsaning karep (nafsu/jasad), sedangkan bawa merupakan kareping rahsa
(pancaran Zat sebagai rasa sejati). Keduanya dapat berjalan sendiri-sendiri.
Namun demikian idealnya adalah Solah harus mengikuti Bawa. 27. Katingal
tunggal ; tampak satu. Menggambarkan zat pramana (mata batin), dengan
sifatnya yakni netra (mata wadag) tidaklah berbeda. Artinya, penglihatan mata
wadag dipengaruhi oleh mata batin. 28. Medhal katingal ; Menggambarkan
keluarnya sifat hakekat (Tuhan) ke dalam zat sifat (makhluk), yakni ditandai
dengan ucapan lisan menimbulkan suara. 29. Katingal amedhalaken ;
menggambarkan keluarnya nafas. Sedangkan kenyataannya menghirup atau
memasukkan udara, yang seolah-olah mengeluarkan. 30. Menawi pejah mboten
kenging risak ; bila mati tidak boleh rusak. Ibarat sukma dengan raga. Bila raga
rusak, sukmanya tetap abadi. Dalam terminologi Islam disebut alif muttakallimun
wakhid. Sifat yang berbicara sepatah tanpa lisan. Berupa kesejatian yang berada
dalam sukma, yakni roh kita sendiri. 31. Menawi karisak mboten saget pejah ;
bila dirusak tidak bisa mati. Perumpamaan untuk hubungan nafsu dan rasa.
Walaupun nafsu dapat kita dikendalikan, namun rasa secara alamiah tidak dapat
disirnakan. Karena rasa dalam cipta masih terasa, terletak dalam rahsa/sirr kita
pribadi. Berhasil menahan nafsu dapat diukur dari perbuatannya; raganya tidak
melakukan pemenuhan nafsu, tetapi rasa ingin memenuhi kenikmatan jasad
tetap masih ada di dalam hati. Saloka ini untuk memberi warning agar kita
waspadha dalam “berjihad” melawan nafsu diri pribadi. Karena kesucian sejati
baru dapat diraih apabila keingingan jasad (rahsaning karep) sudah sirna
berganti keinginan rahsa sejati (kareping rahsa). 32. Sukalila tega ing pejah ;
sukarela dan tega untuk mati. Menggambarkan orang mau mati, dengan
menjalani tiga perkara; pertama, sikap senang seperti merasa akan mendapat
kegembiraan di alam kasampurnan. Kedua, rela untuk meninggalkan semua
harta bendanya dan barang berharga. Ketiga, setelah tega meninggalkan semua
yang dicinta, disayang dan segala yang memuaskan nafsu dan keinginan,
semuanya ditinggal. Mati di sini berarti secara lugas maupun arti kiasan. Orang
yang berhasil meredam hawa nafsu dan meraih kesucian sejati hakekatnya
orang hidup dalam kematian. Sebaliknya orang yang selalu diperbudak nafsu
hakekatnya orang yang sudah mati dalam hidupnya. Yakni kematian nur atau
cahaya sejati. Semua yang disebut; besar, luas, tinggi, panjang, lebih, ialah
bahasa yang digunakan untuk mengumpamakan keadaan Tuhan. Sebaliknya,
semua yang disebut kecil, sempit, rendah, pendek, kurang, dan seterusnya ialah
bahasa yang dugunakan untuk menggambarkan “sifat” yakni wujudnya kawula
(manusia). Gambaran menyeluruh namun ringkas mengenai keadaan Zat-sifat
(kawula-Gusti) sebagaimana “cangkriman” berikut ini; “bothok banteng
winungkus ing godhong asem kabiting alu bengkong” Bothok : sejenis pepesan
untuk lauk, terdiri dari parutan kelapa, bumbu-bumbu, lalu dibungkus daun
pisang dan dikukus. Bothok berbeda dengan pepes atau pelas, cirikhasnya ada
rasa pedas. Campurannya menentukan nama bothok, misalnya campur ikan teri,
menjadi bothok teri. Lamtoro, menjadi bothok lamtoro. Udang, menjadi bothok
udang. Adonan bothok lalu dibungkus dengan daun pisang. Dan digunakan
potongan lidi sebagai pengunci lipatan daun pembungkus. Nah, dalam pribahasa
ini bahan untuk membuat bothok adalah hewan banteng. Sehingga namanya
menjadi bothok banteng. Dibungkus dengan daun asem jawa, yang sangat
kecil/sempit. Sedangkan tusuk penguncinya menggunakan alu semacam lingga
terbuat dari kayu sebagai alat tumbuk padi. Alu itu panjang dan lurus, namun alu
di sini bengkok. Jadi mana mungkin digunakan sebagai bothok. Cangkriman di
atas adalah pribahasa yang menggambarkan keadaan yang tampak mustahil jika
dipahami hanya menggunakan akal budi saja. Bothok banteng maknanya adalah
menggambarkan adanya Zat, yang tidak lain adalah kehidupan kita pribadi.
Godhong asem ; menggambarkan keadaan “sifat” yakni sebagai bingkai
kehidupan kita, kenyataan dari beragamnya manusia. Alu bengkong,
menggambarkan afngal semua, yakni pekerti hidup kita. Singkatnya, berdirinya
hidup kita ini asisinglon warna kita, tampak dari solah dan bawa. Selain makna di
atas, bothok banteng diartikan pula sebagai air mani. Godhong asem, adalah
kiasan untuk per-empu-an. Alu bengkong adalah kiasan untuk purusa, yakni
kemaluan laki-laki.
Akal dan Konsep KeTuhanan
Sunday, July 05, 2009, 11:37:36 PM | Teja Buwana
oleh Yayasan Al-Jawad Meskipun meyakini adanya Tuhan adalah masalah Fithri
yang tertanam dalam diri setiap manusia, namun karena kecintaan mereka
kepada dunia yang berlebihan sehingga mereka disibukkan dengannya,
mengakibatkan mereka lupa kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri mereka
sendiri. Yang pada gilirannya, cahaya Fitrah mereka redup atau bahkan padam.
Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Para Ahli ma'rifat
berkata,"Jalan-jalan menuju ma'rifatullah sebanyak nafas makhluk." Salah satu
jalan ma'rifatullah adalah akal. Terdapat sekelompok kaum muslim, golongan ahli
hadis (Salafi) atau Wahabi, yang menolak peran aktif akal sehubungan dengan
keTuhanan. Mereka berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui
Allah adalah nash (Al-Qur'an dan hadis). Mereka beralasan dengan adanya
sejumlah ayat atau riwayat yang secara lahiriah melarang menggunakan akal
(ra'yu). Padahal kalau kita perhatikan, ternyata Al-Qur'an dan hadis sendiri
mengajak kita untuk menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya ketika
menjelaskan keberadaan Allah lewat argumentasi (burhan) Aqli. Pada edisi
berikutnya, Insya Allah akan kita bicarakan tentang Al-Qur'an, hadis dan konsep
keTuhanan. Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal
yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia.
Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diungkap
dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama pun, maka
ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja. Bisakah Tuhan
dibuktikan dengan akal ? Sebenarnya pertanyaan ini tidaklah tepat, karena
bukan saja Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahkan, pada beberapa kondisi
dan situasi hal itu harus dibuktikan dengan akal, dan tidak mungkin melakukan
pembuktian tanpa akal. Anggapan yang mengatakan, bahwa pembuktian Wujud
Allah hanya dengan Nash saja adalah anggapan yang sangat naif. Karena
bagaimana mungkin seseorang menerima keterangan Al-Qur'an, sementara dia
belum mempercayai Wujud (keberadaan) sumber Al-Qur'an itu sendiri, yaitu
Allah Ta'ala. Lebih naif lagi, mereka menerima keterangan Al-Qur'an lantaran ia
adalah Kalamullah atau sesuatu yang datang dari Allah. Hal itu berarti, mereka
telah meyakini Wujud Allah sebelum menerima keterangan Al-Qur'an. Lalu
mengapa mereka meyakini Wujud Allah. Mereka menjawab,"Karena Al-Qur'an
mengatakan demikian." Maka terjadilah daur (Lingkaran Setan?, lihat istilah daur
pada pembahasan selanjutnya). Dalam hal ini, Al-Qur'an dijadikan sebagai
pendukung dan penguat dalil Aqli. Para ulama, ketika membuktikan wujud Allah
dengan menggunakan burhan aqli, terkadang melalui pendekatan kalami
(teologis) atau pendekatan filosofis. Pemahaman Selama ini kita paham akan
maksud Ghaib. Kita semua sering mendengar, membaca bahkan kita sendiri
menceritakan dan menulis perihal Ghaib. Satu sisi berurai segala sesuatu yang
diluar kemampuan panca indera kita, adalah Ghaib. Sisi lainnya berurai, segala
sesuatu yang dianggap diluar kemampuan panca indera, disebabkan kita belum
mempunyai kemampuan untuk berurai, dan menyatakan itu bukan Ghaib. Kita
acapkali alpa perihal sesuatu yang mengetahui perihal Ghaib. Adalah sudah
dijelaskan didalam kitab/Alquran, bahwasanya yang mengetahui perihal Ghaib
adalah DIA. Lalu, apa sebenarnya selain dari Ghaib yang dimaksud diatas?
Tidak lain adalah sesuatu yang diciptakanNYA dan sesuatu itu merupakan Kalam
DIA. Terdapat dua sesuatu yang sangat-sangat tipis bila kita belum memahami
keduanya, yaitu Ghaib dan Kalam Allah. Tanpa disadari kita semua tergelincir
dalam hal pengenalan yang kita kenal dengan kata Makrifat. Apakah salah bila
kita mengatakan diri kita telah Mengenal Allah? Jawabannya tentulah tidak.
Sebab; banyak jalan untuk mengenal DIA. Salah satu jalan yang umum lakukan
adalah mengenal DIA melalui segala ciptaannya, yang mana juga merupakan
Kalam Allah, bukan Ghaib. Demikian halnya, bila kita mengenal DIA, melalui
segala yang ada diluar kemampuan panca indera kita, yang juga merupakan
Kalam Allah. Kesemua ini, adalah Mengenal DIA dengan sistem perantara, yaitu
Kalam DIA. Sebab itu; kita harus dapat memahami perbedaan antara Kalam DIA
dan apa/siapa yang Ghaib. Sehingga kita sadar akan sifat dari kata "Mengenal
DIA". Burhan-burhan Aqli-kalami tentang keniscayaan wujud Allah Ta'ala N.B:
Burrhan yaitu Bukti yang nyata 1. Burhan Nidham (Keteraturan) Burhan ini
dibangun atas beberapa muqaddimah (premis). Pertama, bahwa alam raya ini
penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati. Kedua,
bahwa alam bendawi (tabi'at) tunduk kepada satu peraturan. Artinya, setiap
benda yang ada di alam ini tidak terlepas dari pengaruh undang-undang dan
hukum alam. Ketiga, hukum yang menguasai alam ini adalah hukum kausalitas
('ilaliyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi di alam ini pasti dikarenakan
sebuah sebab ('illat), dan tidak mungkin satu fenomena terjadi tanpa sebab.
Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada di dalamnya,
termasuk hukum alam dan sebab-akibat, adalah sebuah fenomena dari sebuah
puncak sebab (prima kausa, atau 'illatul 'ilal). Keempat, "sebab" atau 'illat yang
mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu
"sebab" yang berupa benda mati atau sesuatu yang hidup. Kemungkinan
pertama tidak mungkin, karena beberapa alasan berikut : Pertama, alam raya ini
sangat besar, indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa "sebab"
yang mengadakannya adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu.
Kehebatan, kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu
yang hidup. Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan mampu. Kedua,
benda-benda yang ada di alam ini beragam dan bermacam-macam, di antaranya
adalah manusia. Manusia merupakan salah satu bagian dari alam yang palin
menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah manusia yang pandai,
mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ? Kesimpulannya, bahwa
alam raya ini mempunyai "sebab" atau 'illat, dan "sebab" tersebut adalah sesuatu
yang hidup. Kaum muslimin menamai "sebab" segala sesuatu itu dengan
sebutan Allah Ta'ala. 2. Burhan al-Huduts (Kebaruan) Al-Huduts atau al-Hadits
berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada. Burhan ini terdri atas beberapa
hal : Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami perubahan dari
tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi. Kedua, segala sesuatu yang
asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia
menjadi ada karena "sebab" sesuatu. Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada
haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami
ketiadaan. Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang
mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang
mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung
seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada 'sesuatu' yang keberadaannya
tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan 'sesuatu' itu
dengan sebutan Allah Ta'ala. Burhan-burhan Aqli-Filosofi tentang kenicayaan
wujud Allah Ta'ala A. Burhan Imkan Sebelum menguraikan burhan ini, ada
beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih dahulu : Wajib, yaitu sesuatu yang
wujudnya pasti, dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang lain.
Imkan atau mumkin, sesuatu yang wujud (ada) dan 'adam (tiada) baginya sama
saja (tasawiy an-nisbah ila al-wujud wa al-'adam). Artinya sesutu yang ketika
'ada' disebabkan faktor eksternal, atau keberadaannya tidak dengan sendirinya.
Demikian pula, ketika 'tidak ada' disebabkan faktor eksternal pula, atau
ketiadaannya juga tidak dengan sendirinya. Dia tidak membias kepada wujud
dan kepada ketiadaan. Menurut para filosuf, hal ini merupakan ciri khas dari
mahiyah (esensi). Mumtani' atau mustahil, yaitu sesuatu yang tidak mungkin ada
dan tidak mungkin terjadi, seperti sesuatu itu ada dan tiada pada saat dan
tempat yang bersamaan (ijtima'un naqidhain). Daur (siklus atau lingkaran setan).
Misal, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, sedangkan B
keberadaannya tergantung/membutuhkan A. Jadi A tidak mungkin ada tanpa
keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B tidak mungkin ada tanpa
keberadaan A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak akan ada tanpa B dan
pada saat yang sama A harus ada karena dibutuhkan B. Ini berarti ijtima'un
naqidhain (lihat Mumtani'). Contoh lainnya, A keberadaannya
tergantung/membutuhkan B, dan B kebradaannya tergantung membutuhkan C,
sedangkan C keberadaannya tergantung/membutuhkan A. Jadi, A tidak mungkin
ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian juga B tidak mungkin ada
tanpa keberadaan C terlebih dahulu, demikin pula C tidak mungkin ada tanpa
keberadaan A terlebih dahulu. Daur adalah suatu yang mustahil adanya.
Tasalsul, yaitu susunan sejumlah 'illat dan ma'lul, dengan pengertian bahwa yang
terdahulu menjadi 'illat bagi yang kemudian, dan seterusnya tanpa berujung.
Tasalsul sama dengan daur, mustahil adanya. Burhan Imkan dapat dijelaskan
dengan beberapa point berikut ini : Pertama, bahwa seluruh yang ada tidak lepas
dari dua posisi wujud, yaitu wajib atau mumkin. Kedua, wujud yang wajib ada
dengan sendirinya dan wujud yang mumkin pasti membutuhkan atau berakhir
kepada wujud yang wajib, maka akan terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rentetan
mata rantai yang tidak berujung) dan keduanya mustahil. Ketiga, bahwa yang
mumkin berakhir kepada yang wajib. Dengan demikian, yang wajib adalah
'sebab' dari segala wujud yang mumkin (prima kausa atau 'illatul 'ilal). Kaum
muslimin menamakan wujud yang wajib dengan sebutan Allah Ta'ala. B. Burhan
ash-Shiddiqin Burhan ini menurut para filosuf muslim, merupakan terjemahan
dari ungkapan Ahlibait as. yang berbunyi,"Wahai Dzat yang menunjukkan diri-
Nya dengan diri-Nya." (Doa Shabah Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib as.)
Artinya, burhan ini ingin menjelaskan pembuktian wujud Allah melalui wujud diri-
Nya sendiri. Para ahli mantiq (logika) menyebutnya dengan burhan Limmi.
Penjelasan burhan ini, hampir sama dengan penjelasan burhan Imkan. Ada
beberapa penafsiran tentang burhan shiddiqin ini. Di antaranya penafsiran Mulla
Shadra. Beliau mengatakan, "Dengan demikian, yang wujud terkadang tidak
membutuhkan kepada yang lain (mustaghni) dan terkadang pula, secara
substansial, ia membutuhkan kepada yang lain (muftaqir). Yang pertama adalah
wujud yang wajib, yaitu wujud murni. Tiada yang lebih sempurna dari-Nya dan
Dia tidak diliputi ketiadaan dan Dia tidak diliputi ketiadaan dan kekurangan.
Sedangkan yang kedua , adalah selain wujud yang wajib, yaitu perbuatan-
perbuatan-Nya yang tidak bisa tegak kecuali dengan -Nya. (Nihayah al-Hikmah,
hal. 269). Allamah al-Hilli , dalam kitab Tajrid al-'I'tiqad karya Syekh Thusi,
menjelaskan, "Diluar kita secara pasti ada yang wujud. Jika yang wujud itu wajib,
maka itulah yang dimaksud (Allah Ta'ala) , dan jika yang wujud itu mumkin, maka
dia pasti membutuhkan faktor yang wujud (ntuk keberadaannya). Jika faktor itu
wajib , maka itulah yang dimaksud (Allah Ta'ala). Tetapi jika faktor itu mumkin
juga, maka dia membutuhkan faktor lain dan seterusnya (tasalsul) atau daur.
Dan keduanya mustahil adanya. Pemahaman Surat Al Hajj ayat 8 (XVII; 22; 8).
Dan Sebagian manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu, tiada
petunjuk, dan tiada kitab yang menerangi. Dari ayat tersebut diatas, dapatlah
dilihat bahwasanya kita-kita masih sering berbantahan perihal DIA. Semua itu
disebabkan karena ilmu yang dipahaminya. Hampir semua kita menganggap
kenal langsung akan DIA. Kalau kita tidak memahami apa/siapa yang ghaib,
menunjukkan bahwasanya kita kenal DIA melalui segala ciptaannya (kalam).
Sebagai contoh; Kita dapat berkomunikasi dengan DIA, apapun bentuknya,
adalah benar mengenal DIA, hanya saja mengenal DIA melalui sesuatu,
misalnya kita berurai padaNYA, akan DIA uraikan pada kita melalui sesuatu,
yaitu rasa, dengar, lihat, cium, berkata (Alquran, manusia). Mari kita memahami
Surat Al 'Alaq, ayat 3 dan 4 (96: 3;4) Dan tiadalah bagi seorang manusia pun
bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantara wahyu atau
dibelakang tabir, atau dengan seorang rosul lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizinNYA apa yang DIA kehendaki. Sesungguhnya DIA Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana. Apa yang Ghaib, adalah sesuatu yang sangat-sangat tidak bisa
dipikirkan oleh kemampuan kita dan hanya bisa sebatas disaksikan tanpa
pikiran. Siapa yang Ghaib, adalah Zat DIA, yang mana Alquran menyebutnya
Allah. Mari kita memahami surat An Naml ayat 65 Bukankah, sudah dijelaskan
"Katakanlah tidak ada seorang pun yang mengetahui yang ghaib di langit dan
bumi kecuali Allah. Jelas sudah segala sesuatu selain dari Zat DIA (Allah) adalah
bukan Ghaib, melainkan CiptaanNYA yang juga merupakan Kalam DIA. Banyak
diantara kita alpa akan ayat diatas dan berurai Ghaib bisa dibuktikan. Bila kita
memahami ayat diatas, jelas sudah yang kita buktikan selama ini adalah bukan
ghaib, akan tetapi CiptaanNYA yang merupkan Kalam DIA Kita sebagai
ciptaanNYA diwajibkan untuk mengenal DIA, dalam cara/bentuk apapun. Baik itu
Mengenal Dia melalui ciptaanNYA yang kasat panca indera ataupun tidak kasat
panca indera. Inilah yang dimaksudkan Awal beragama adalah mengenal DIA.
Mengenal DIA memalui tidak kasat panca indera, juga banyak cara dan
sistemnya. Hasilnya juga beraneka ragam. Namun kesemuanya kembali lagi
pada kemampuan kita dalam menterjemahkannya kedalam bentuk panca indera
kita; ada yang melalui getaran, gerakan, rasa, gambaran, tulisan bahkan
bertemu diri pribadi. Melihat itu; jelas sudah Bagi yang memiliki kemampuan
memahami segala ciptaanNYA, adalah telah menjalani perintahNYA, yaitu mau
belajar dari segala ciptaaNYA, dengan cara/sistem yang berbeda.. Mari kita
semua untuk berhenti menghujat apa/siapa yang ada didalam katagori
dukun/paranormal khususnya, ustadz,kyai atau nama lainnya yang setara.
Mereka semua hanya memiliki kemampuan dalam hal membaca segala
Ciptannya (kalam). Kita tidak usah mereka-reka lagi perihal mereka. Bagaimana
perihal Kalam? Mari kita bersama mencoba mengungkap Kalam DIA didalam
Thread Kalam Allah. Kesimpulan kita semua yang mengakui adanya DIA, adalah
telah melaksanakan Awal beragama adalah mengenal DIA. Hanya saja
mengenal DIA melalui segala ciptaanNYA. Inilah beda antara Ghaib dan
Ciptaannya. Ghaib hanya bisa sebatas disaksikan tanpa pikiran. Apa/siapa yang
Ghaib adalah Zat DIA (Allah). Selama kita belum mengenal Zat DIA,
menunjukkan kita telah mengenal DIA melalui Kalam DIA. Alhamdulillahi..... Misal
; Kita semua tahu perihal Syahadat, bahkan kita semua menyatakannya, terlepas
salah/benar pemahaman kita perihal Syahadat. Aku bersaksi tidak ada tuhan
selain Allah dan Aku bersaksi MUhammad itu utusan Allah. Bila kita belum
memahami apa/siapa yang Ghaib, tetapi kita telah memahami Kalam DIA,
akanlah didapat sebuah kesaksian yang bersumber dari Kalam DIA. Kita
bersaksi perihal Allah dan MUhammad adalah bersumber dari Alquran, kitab
lainnya, guru, orang tua atau segala ciptaanNYA, yangmana merupakan Kalam
DIA. Inilah katagori orang-orang yang mau berfikir terlepas siapa, apakah kyai,
ustad, orang tua, dan lainya, bahkan dukun atau paronormal. Adalah sangat
berbahagia, bila kita telah memahami apa/siapa yang Ghaib. Kesaksiannya
adalah langsung dari sumber yang hakiki. Tiada kata/kalimat yang dapat
diuraikan, bila kita telah mengenal apa/siapa yang Ghaib. Alif lam mim, alif lam
ro, Allahu. Kaf, ha, ya, ain, sot, ha, mim, ain sin, kof Bismillaahir rohmaanir rohiim
Alhamdulillahi, subhanahu. sumber dari Yayasan Al-Jawad
that's - LOVE...
Tuesday, June 30, 2009, 10:42:43 AM | Teja Buwana
If you love someone because you think that he or she is really gorgeous... Then
it's not love.. it's - Infatuation... If you love someone because you think that you
shouldn't leave him because others think that you shouldn't... Then it's not love..
it's - Compromise... If you love someone because you think that you cannot live
with out his touch.... Then it's not love.. it's - Lust... If you love someone because
you have been kissed by him... Then it's not love.. it's - Inferiority Complex... If
you love someone because you cannot leave him thinking that it would hurt his
feelings.. Then it's not love.. it's - Charity... If you love someone because you
share every thing with him... Then it's not love.. it's - Friendship... But if you feel
the pain of the other person more than him even when he is stable And you cry
for him.. that's - LOVE...
MANFAAT MENAKJUBKAN AIR PUTIH
Sunday, June 28, 2009, 7:47:57 PM | Teja Buwana
Sekitar 80% tubuh manusia terdiri dari air. Otak dan darah adalah dua organ
penting yang memiliki kadar air di atas 80%. Otak memiliki komponen air
sebanyak 90%, sementara darah memiliki komponen air 95%. Sedikitnya, secara
normal kita butuh 2 liter sehari atau 8 gelas sehari. Bagi perokok jumlah tersebut
harus ditambah setengahnya. Air tersebut diperlukan untuk mengganti cairan
yang keluar dari tubuh lewat air seni, keringat, pernapasan, dan sekresi. Para
dokter juga menyarankan agar mengonsumsi air putih 8-10 gelas setiap hari
agar metabolisme tubuh berjalan baik dan normal. Kurang Air, Bahaya Bagi
Darah Jika kita mengkonsumsi kurang dari 8 gelas, efeknya secara keseluruhan
memang tidak terasa. Tapi sebagai konsekuensi, tubuh akan menyeimbangkan
diri dengan jalan mengambil sumber dari komponen tubuh sendiri. Di antaranya
dari darah. Kekurangan air bagi darah amat berbahaya bagi tubuh. Sebab, darah
akan menjadi kental. Akibatnya, perjalanan darah sebagai alat transportasi
oksigen dan zat-zat makanan pun bisa terganggu. Darah yang kental tersebut
juga akan melewati ginjal yang berfungsi sebagai filter atau alat untuk menyaring
racun dari darah. Ginjal memiliki saringan yang sangat halus, sehingga jika harus
menyaring darah yang kental maka ginjal harus kerja ekstra keras. Bukan tidak
mungkin ginjal akan rusak dan bisa saja kelak akan mengalami cuci darah atau
dalam bahasa medis biasa disebut hemodialisis. Itu pengaruh kurang air
terhadap kerja darah dan ginjal. Lalu bagaimana dengan otak? Perjalanan darah
yang kental tersebut juga akan terhambat saat melewati otak. Padahal, sel-sel
otak paling boros mengonsumsi makanan dan oksigen yang dibawa oleh darah.
Sehingga fungsi sel-sel otak tidak berjalan optimal dan bahkan bisa cepat mati.
Kondisi tersebut akan semakin memicu timbulnya stroke. Karena itu jangan
sampai kekurangan air!!! Manfaat Air Putih 1. Memperlancar sistem pencernaan
Mengkonsumsi air dalam jumlah cukup setiap hari akan memperlancar sistem
pencernaan sehingga kita akan terhindari dari masalah-masalah pencernaan
seperti maag ataupun sembelit. Pembakaran kalori juga akan berjalan efisien. 2.
Air putih membantu memperlambat tumbuhnya zat-zat penyebab kanker, plus
mencegah penyakit batu ginjal dan hati. Minum air putih akan membuat tubuh
lebih berenergi. 3. Perawatan kecantikan Bila kita kurang minum air putih, tubuh
akan menyerap kandungan air dalam kulit sehingga kulit menjadi kering dan
berkerut. Selain itu, air putih dapat melindungi kulit dari luar, sekaligus
melembabkan dan menyehatkan kulit. Untuk menjaga kecantikan pun,
kebersihan tubuh hares benar-benar diperhatikan, ditambah lagi minum air putih
8 - 10 gelas sehari. 4. Untuk kesuburan Meningkatkan produksi hormon
testosteron pada pria serta hormon estrogen pada wanita.Menurut basil
penelitian dari sebuah lembaga riset trombosis di London, Inggris, jika seseorang
selalu mandi dengan air dingin maka peredaran darahnya lancar dan tubuh
terasa lebih segar dan bugar. Mandi dengan air dingin akan meningkatkan
produksi sel darah putih dalam tubuh serta meningkatkan kemampuan
seseorang terhadap serangan virus. Bahkan, mandi dengan air dingin di waktu
pagi dapat meningkatkan produksi hormon testosteron pada pria serta hormon
estrogen pada wanita. Dengan begitu kesuburan serta kegairahan seksual pun
akan meningkat. Selain itu jaringan kulit membaik, kuku lebih sehat dan kuat, tak
mudah retak. Nah, buat yang malas mandi pagi atau bahkan malas mandi
(astagfirulloh!) harus mulai dirubah tuh kebiasaannya… 5. Menyehatkan jantung
Air juga diyakini dapat ikut menyembuhkan penyakit jantung, rematik, kerusakan
kulit, penyakit saluran papas, usus, dap penyakit kewanitaan, dll.Bahkan saat ini
cukup banyak pengobatan altenatif yang memanfaatkan kemanjuran air putih. 6.
Sebagai obat stroke Air panas tak hanya digunakan untuk mengobati berbagai
penyakit kulit, tapi juga efektif untuk mengobati lumpuh, seperti karena stroke.
Sebab, air tersebut dapat membantu memperkuat kembali otot-otot dan ligamen
serta memperlancar sistem peredaran darah dan sistem pernapasan. Efek panas
menyebabkan pelebaran pembuluh darah, meningkatkan sirkulasi darah dan
oksigenisasi jaringan, sehingga mencegah kekakuan otot, menghilangkan rasa
nyeri serta menenangkan pikiran. Kandungan ion-ion terutama khlor,
magnesium, hidrogen karbonat dan sulfat dalam air panas, membantu pelebaran
pembuluh darah sehingga meningkatkan sirkulasi darah. Selain itu pH airnya
mampu mensterilkan kulit. 7. air Sangat baik bagi ibu hamil dan juga bayinya. Air
membantu mempersiapkan tubuh menghadapi berbagai perubahan tubuh secara
psikologis, dari efek samping dan rasa tidak nyaman selama masa kehamilan.
Dengan meminum air putih sebanyak delapan gelas per hari, tubuh akan
mendapatkan banyak keuntungan. Tapi ingat, minumlah air mineral atau air yang
sudah matang untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Air yang masuk ke
dalam tubuh dalam jumlah cukup, akan membantu menghilangkan sodium yang
tak dibutuhkan dan mencegah infeksi urin atau Urinary Tract Infections (UTIs).
Infeksi ini dapat menyebabkan tubuh menjadi dehidrasi, apalagi hormon
kehamilan menyebabkan Anda sangat membutuhkan banyak air. Sehingga
meminum air yang cukup akan sangat membantu. Air juga dibutuhkan untuk
membawa nutrisi dari darah ke janin dalam kandungan, sehingga dibutuhkan
sekitar satu gelas air setiap jamnya. Tak heran bila kecukupan minum juga
mampu menghindarkan Anda dari kemungkinan lahir prematur di semester
ketiga kehamilan. Saat hamil, volume darah di dalam tubuh berlipat ganda dan
saat usia kehamilan mencapai delapan minggu pembuluh darah Anda menipis.
Nah, air dapat membantu mencegah terjadi hipertensi dan penyakit
kardiovaskular. Efek lainnya, dengan banyak minum Anda tak hanya terhindar
dari morning sickness, tapi kulit pun semakin terlihat sehat dan tidak mudah
berjerawat. Selain itu, konsumsi air putih yang cukup membantu mencegah
terjadinya konstipasi (sembelit) dan penyakit hemorrhoids. Jadi jangan lupa
untuk terus minum ya Bu! 8. Efek relaksasi Cobalah berdiri di bawah shower dan
rasakan efeknya di tubuh. Pancuran air yang jatuh ke tubuh terasa seperti pijatan
dan mampu menghilangkan rasa capek karena terasa seperti dipijat. Sejumlah
pakar pengobatan alternatif mengatakan, bahwa bersentuhan dengan air
mancur, berjalan-jalan di sekitar air terjun, atau sungai dan taman dengan
banyak pancuran, akan memperoleh khasiat ion-ion negatif. Ion-ion negatif yang
timbul karena butiran-butiran air yang berbenturan itu bisa meredakan rasa sakit,
menetralkan racun, memerangi penyakit, serta membantu menyerap dan
memanfaatkan oksigen. Ion negatif dalam aliran darah akan mempercepat
pengiriman oksigen ke dalam sel dan jaringan. Bukan itu saja jika mengalami
ketegangan otot dapat dilegakan dengan mandi air hangat bersuhu sekitar 37
derajat C. Selagi kaki terasa pegal kita sering dianjurkan untuk merendam kaki
dengan air hangat dicampur sedikit garam. Nah, jika Kita punya shower di rumah
cobalah mandi dan nikmati hasilnya. Oh ya, shower di rumah juga menghasilkan
ion negatif. 9. Menguruskan badan Air putih juga bersifat menghilangkan
kotoran-kotoran dalam tubuh yang akan lebih cepat keluar lewat urine. Bagi yang
ingin menguruskan badan pun, minum air hangat sebelum makan (sehingga
merasa agak kenyang) merupakan satu cara untuk mengurangi jumlah makanan
yang masuk. Apalagi air tidak mengandung kalori, gula, ataupun lemak. Namun
yang terbaik adalah minum air putih pada suhu sedang, tidak terlalu panas, dan
tidak terlalu dingin. Mau kurus?, minum air putih saja. 10. Tubuh lebih bugar
Khasiat air tak hanya untuk membersihkan tubuh saja tapi juga sebagai zat yang
sangat diperlukan tubuh. Kita mungkin lebih dapat bertahan kekurangan makan
beberapa hari ketimbang kurang air. Sebab, air merupakan bagian terbesar
dalam komposisi tubuh manusia. Jumlah air yang menurun dalam tubuh, fungsi
organ-organ tubuh juga akan menurun dan lebih mudah terganggu oleh bakteri,
virus, dll. Namun, tubuh manusia mempunyai mekanisme dalam
mempertahankan keseimbangan asupan air yang masuk dan yang dikeluarkan.
Rasa haus pada setiap orang merupakan mekanisme normal dalam
mempertahankan asupan air dalam tubuh. Air yang dibutuhkan tubuh kira-kira 2-
2,5 l (8 - 10 gelas) per hari. Jumlah kebutuhan air ini sudah termasuk asupan air
dari makanan (seperti dari kuah sup, soto, dll), minuman seperti susu, teh, kopi,
sirup dll. Selain itu, asupan air juga diperoleh dari hasil metabolisme makanan
yang dikonsumsi dan metabolisme jaringan di dalam tubuh. Nah, air juga
dikeluarkan tubuh melalui air seni dan keringat. Jumlah air yang dikeluarkan
tubuh melalui air seni sekitar 1 liter per hari. Kalau jumlah tinja yang dikeluarkan
pada orang sehat sekitar 50 - 400 g/hari, kandungan aimya sekitar 60 - 90 %
bobot tinja atau sekitar 50 - 60 ml air sehari. Sedangkan, air yang terbuang
melalui keringat dan saluran napas dalam sehari maksimum 1 liter, tergantung
suhu udara sekitar. Belum lagi faktor pengeluaran air melalui pernapasan.
Seseorang yang mengalami demam, kandungan air dalam napasnya akan
meningkat. Sebaliknya, jumlah air yang dihirup melalui napas berkurang akibat
rendahnya kelembapan udara sekitamya. Tubuh akan menurun kondisinya bila
kadar air menurun dan kita tidak segera memenuhi kebutuhan air tubuh tersebut.
Kardiolog dari AS, Dr James M. Rippe memberi saran untuk minum air paling
sedikit seliter lebih banyak dari apa yang dibutuhkan rasa haus kita. Pasalnya,
kehilangan 4% cairan saja akan mengakibatkan penurunan kinerja kita sebanyak
22 %! Bisa dimengerti bila kehilangan 7%, kita akan mulai merasa lemah dan
lesu. Asal tahu saja, aktivitas makin banyak maka makin banyak pula air yang
terkuras dari tubuh. Untuk itu, pakar kesehatan mengingatkan agar jangan hanya
minum bila terasa haus Kebiasaan banyak minum, apakah sedang haus atau
tidak, merupakan kebiasaan sehat! Jika kuliah di ruang ber-AC, dianjurkan untuk
minum lebih banyak karena udara yang dingin dan tubuh cepat mengalami
dehidrasi. Banyak minum juga akan membantu kulit tidak cepat kering. Di ruang
yang suhunya tidak tetap pun dianjurkan untuk membiasakan minum meski tidak
terasa haus untuk menyeimbangkan suhu. Dari berbagai Sumber :
http://seputarobat.blogspot.com/2009/06/manfaat-menakjubkan-air-putih.html
http://halohalo.co.id
TRIHITA KARANA DI BALI DAN MINANG (ADAT DAN AGAMA MENYATU
DALAM DESAIN)
Sunday, June 28, 2009, 7:26:06 PM | Teja Buwana
konsepsi trihita karana dalam manifestasi desa di Bali Ketuhanan yang dihayati
oleh aki Dudung atau mbah Waridjan sebelum masuknya pengaruh wong keling,
hingga saat ini masih eksis digunakan sebagai landasan beragama (sansekerta
a= tidak; gama=kisruh > aturan yang mengatur supaya manusia tidak pada
kisruh) Hindu Dharma. (walaupun pada garis besarnya sama dengan Hindu yang
berasal dari India, namun Hindu Dharma/Hindu Bali telah diakui sebagai aliran
tersendiri dalam ajaran Hindu ~ hal ini karena kekentalan pengaruh budaya
masyarakatnya) Prinsip penghayatan ketuhanan itu diwujudkan dalam apa yang
namanya TRI HITA KARANA (tiga hal penyebab kesejahteraan) yang meliputi:
Parahyangan ~ hubungan manusia dengan Tuhannya; meliputi pola interaksi
diagonal dalam laku puja atau sembahyang. Saat ini dalam masyarakat Hindu
Bali diwujudkan dengan laku Dewa Yadnya. Dalam konteks ini, Aki Dudung dan
Mbah Waridjan melakukan penghayatan akan adanya nilai-nilai ketuhanan, yang
mungkin pada masanya "disimbolkan" dalam wujud pohon besar atau bebatuan.
Sekalipun mereka menggangap banyak pohon atau bebatuan atau gunung
sebagai TUHAN, tetapi mereka juga mempercayai adanya suatu "PRIMA
CAUSA" sebagai wujud yang ESA.... Orang-orang ASING yang ngga mudheng
terhadap pola penghayatan ketuhanan yang primitif ini lantas menuduh bahwa
para leluhur menyembah pohon, gunung, batu. Pawongan ~ hubungan manusia
dengan sesamanya; pengaturan hubungan horizontal antara manusia dengan
masyarakatnya, termasuk mengatur tata krama, tenggang rasa dan aturan
kelompokdan pembagian tanggung jawab Pita, Resi, Manusia Yadnya
Palemahan ~ hubungan manusia dengan alamnya/Bhuana; memuat aturan yang
mengatur pemberdayaan alam termasuk tata cara pembangunan rumah dan
penglokasian perumahan. Bhuta Yadnya Dengan menerapkan simbol-simbol
ketuhanan pada alam, secara otomatis Aki Dudung maupun Mbah Waridjan ndak
berani memperkosa alam semaunya sendiri, ndak kualat... semua diberdayakan
dalam aturan yang disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan berazas pada
TRIHITA KARANA tersebut, Aki Dudung dan Mbah Waridjan yang walaupun
hanya "bergundal gandul ria" dalam melangsungkan peri kehidupannya dalam
kesejahteraan, ndak ada kisruh... sampai tiba kedatangan budaya asing yang
"ngeroso" sebagai budaya unggulan dan budaya "benar" memporak porandakan
tatanan kehidupan yang sudah harmonis.... Selain di Bali, konsepsi serupa juga
membudaya di adat Minang Kabau, sebagaimana tersirat dalam artikel berikut:
ADAT DAN AGAMA MENYATU DALAM DESAIN SUMATERA Barat (Sumbar)
adalah daerah "sejuta masjid". Begitu orang luar Sumbar menjulukinya. Di
samping banyak masjid dan surau, memang daerah orang Minangkabau itu
terkenal sejak dulu dengan pola dan budaya pendidikan suraunya. Sama halnya
dengan rumah gadang atau rumah bagonjong, masjid dan surau di Minangkabau
ini pun memiliki keunikan. Bila Anda jeli mencermati arsitekturnya, terlihat sekali
perbedaan arsitektur masjid/surau di masing-masing daerah (nagari) yang Anda
kunjungi. Keunikan arsitektur rumah ibadah di daerah yang kini berpenduduk 4,2
juta tersebut boleh dikata tidak ditemui di provinsi lain. Pola arsitektur
masjid/surau di Sumbar mencerminkan pola adat dan kebudayaan masyarakat
yang memilikinya. Keunikan arsitektur surau/ masjid di daerah itu, sekilas
sebagai penanda bahwa adat dan agama di daerah yang konon satu-satunya
menganut sistem kekerabatan matrilineal-menurut garis keturunan ibu-itu begitu
menyatu. Surau/masjid di Minangkabau selain digunakan sebagai tempat
mencari ilmu agama juga untuk mencari ilmu sosial-budaya. Ia menjadi pusat
pembinaan agama dan akhlak serta moral masyarakat. Tak heran dulunya
pendidikan surau ini sangat terkenal di Tanah Air. Bagi anak muda remaja
terutama kaum lelaki pantang tidur di rumah orangtuanya. Mereka setiap sore
harinya pergi ke surau, mengaji Al-quran dan belajar adat, serta ada juga yang
diselingi belajar seni budaya tradisi seperti silat. Gurunya betul-betul menjadi
panutan. Dari situ jelas bahwa fungsi surau/masjid di Minangkabau memadukan
antara dua hal, yakni adat dan syara' (agama). Dari situlah terlahir arsitektur adat
basandi syara', syara' basandi kitabullah. Menurut sosiolog Dr Mochtar Naim,
adat dan syara' hanyalah sebagian dari sistem nilai yang ikut bermain dan
menentukan wacana dari kehidupan yang multidimensional dan multikompleks
itu. Adat dan syara', bagaimana pun, adalah dua komponen utama yang
menjadikan Minangkabau itu Minangkabau, sementara yang lain-lainnya bersifat
memperkaya dan melengkapi. *** KEUNIKAN arsitektur adat basandi syara',
syara' basandi kitabullah tersebut terlihat jelas pada bagian luarnya, terutama
pada puncak atap yang ada bagonjong-nya, setelah atap berbentuk lancip dua
atau tiga tingkat. Bentuk bagonjong yang melengkung tajam seperti garis tanduk
kerbau (kabau), memberi kesan antik. Bangunan masjid dan surau itu juga
dilengkapi berbagai jenis ukiran khas Minangkabau, yang sarat makna dan kaya
filosofi hidup. Bentuk fisik bangunan, fungsi atau kegunaannya erat sekali
kaitannya dengan peri kehidupan masyarakat Minangkabau. Oleh sebab itu,
dalam mengkaji arsitektur Minangkabau yang bernama adat basandi syara',
syara' basandi kitabullah itu, tidak dapat dilepaskan dari pola kehidupan, adat
istiadat, kebiasaan dan kebudayaan masyarakat Minangkabau. ***
PERTANYAAN yang barangkali muncul adalah mengapa ada empat puncak
bagonjong dan mengapa bentuk dasar bangunan empat persegi panjang?
Sebenarnya hal itu merefleksikan apa yang disebut nan ampek dalam falsafah
Minang. Filosofi nan ampek (yang empat) tidak bisa dijelaskan seraca rinci satu
per satu di sini karena banyaknya. Dua di antaranya, tahu di nan ampek adat-
istiadat (adat yang sebenarnya adat, adat yang diadatkan, adat yang teradat,
dan adat-istiadat). Kemudian nan ampek sebagai sebab-akibat (tahu di diri, tahu
di orang, tahu di alam, dan tahu di Tuhan). Tentang yang terakhir ini dapat
dijelaskan sebagai berikut. Selain belajar ke alam, maka tahu di diri adalah inti
falsafah adat alam Minangkabau. Siapa yang mengenal dirinya, maka ia kenal
pada Tuhan-nya. Tahu di orang menyangkut hubungan antarmanusia. Sebagai
makhluk sosial, manusia tak bisa hidup sendirian. Dalam petatah-petitih adat
disebutkan; duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang
(duduk seorang bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang). Artinya,
orang yang hidupnya sendirian berakibat segala sesuatunya menjadi sempit
(susah) rezeki dan perasaannya, dan sebaliknya. Tahu di alam, sebuah tuntutan
kepada kita untuk mengetahui ilmu tentang alam. Pepatah mengatakan: satitiak
jadi-an lauik, sakapa jadi-an gunuang, alam takambang jadi-an guru (setitik
jadikan laut, sekepal jadikan gunung, alam terkembang jadikan guru). Artinya,
manusia harus mengembangkan ilmu tentang benda-benda, meski volumenya
hanya setitik air atau sekepal tanah. Tahu di Tuhan; ilmu tentang Allah (Tauhid),
menyangkut hubungan manusia dengan Sang Khaliq, Sang Pencipta.
Bagaimana menjadi hamba Allah yang taqwa, menjadi khalifah Allah di Bumi.
Filosofi nan ampek sebagian diwujudkan dalam ragam hias, berbagai jenis
ukiran khas, ber-isi konsep estetika dan kaya makna. Penggambaran kehidupan
gejala alam dapat dilihat dari motif ukiran yang berasal dari nama tumbuh-
tumbuhan dan nama binatang, dan disusun geometris, seperti lingkaran, persegi
empat, segi tiga, dan garis. Sedangkan penggambaran sistem nilai kehidupan
manusia dapat dilihat dari nama ukiran yang berasal dari kata adat. Jadi, ada
pengertian kiasan dalam wujud visualnya. Contohnya ukiran bungo mantimun
(bunga mentimun) yang menggambarkan segala sesuatunya harus dibiarkan
berkembang sesuai kodratnya. Manusia hanya memelihara supaya
perkembangannya jangan terhalang, bahkan harus dipupuk supaya
perkembangan jangan sampai mundur. Di sini kita melihat hubungan manusia
dengan alam, tidak merusak atau membinasakan, sesuai pepatah adat: bak
antimun marantang tali (seperti mentimun merentang tali/ batangnya). Ukiran aka
bapilin (akar ber-pilin), melukiskan bahwa tin-dakan orang Minangkabau yang
sia-sia saja tidak akan ada, harus ada maksud dan tujuan bagi kehidupan
individu dan masyarakat. Oleh karena itu tak boleh berputus asa, karena
manusia dibekali akan dan pikiran. Ukiran kaluak paku (keluk pakis)
melambangkan tanggung jawab seseorang mamak terhadap kemenakan di
rumah orang tua, juga sebagai seorang ayah di rumah istri. Ada ungkapan
kaluak paku kacang balimbiang, anak dipangku kemenakan dibimbiang, yang
melambangkan rasa kekerabatan/hidup bermasyarakat. Tidak boleh berlepas
tangan apabila tiba sesuatu hal yang menimpa baik terhadap rumah orangtua,
rumah istri, maupun lingkungan sekitar. http://www.kompas..com/kompas-
cetak/0...ENI/adat15.htm
KORUPSI MILIK KITA SEMUA
Sunday, June 28, 2009, 6:55:51 PM | Teja Buwana
Catatan ini aku pinjam dari EmHaAinun Nadji Sangat tidak mudah mengambil
keputusan apakah korupsi adalah milik para koruptor ataukah milik kita bersama.
Juga tidak gampang mengukur kadarnya sebagai “penyakit sistem” (struktural),
sebagai “penyakit manusia”, atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang
berada dalam sistem yang sama. Ia sangat cair, seakan-akan merupakan serbuk
yang rata menabur, atau bagaikan asap halus yang tak kasat mata, sehingga
tidak bisa serta merta bisa disimpulkan bahwa perilaku korupsi adalah semacam
anomali atau penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang, ataukah ia
memiliki “infrastruktur” budaya yang memang mendarah daging secara lebih
menyeluruh pada kehidupan masyarakat kita. Darah daging itu bisa jadi tak
hanya berskala budaya atau kebudayaan, bisa jadi ia sudah merupakan
peradaban. Terutama apabila disepakati bahwa korupsi materiil hanyalah salah
satu output “kecil” dari dasar-dasar jiwa korupsi yang juga bisa menemukan
manifestasinya pada perilaku lain, pada pola berpikir, cara pandang, cara
memahami, cara merasakan, bahkan cara memahami dan melaksanakan iman.
Tak pernah berhenti kita bertanya: di kedalaman jiwa manusia, apakah korupsi
itu peristiwa mental, peristiwa ilmu, peristiwa akhlak, peristiwa iman, atau apa?
Kalau sudah sampai ke kompleksitas itu, kita yang di panggung berteriak “Wahai
Kaum Koruptor…” tidak otomatis kita sendiri bukan koruptor. Atau kekhusyukan
seseorang dalam beribadah, status mulia seseorang dalam kegiatan
keagamaan, citra bersih seseorang dalam imaji publik – tidak serta merta
mengandung arti bahwa yang bersangkutan berada di luar lingkaran, jaringan
dan sistem korup. Bahkan kita yang bertugas memberantas korupsi, perlu
mengaktifkan terus menerus kewaspadaan diri untuk menjamin bahwa dalam
berbagai konteks dan nuansa itu langkah-langkah kita benar-benar bebas dari
potensialitas korupsi. Apalagi sejumlah pagar eksternal atau internal yang tak
selalu bisa kita atasi membuat langkah-langkah kita tampak di mata orang lain
sebagai “tebang pilih”. Teknologi Eksternal dan Teknologi Internal Saya ingin
menyebut sebuah term: “Teknologi Internal”. Ada jenis manusia atau masyarakat
yang kecenderungannya adalah “mengelola dunia luar” dan itu kita sebut
“Teknologi Eksternal”. Ada jenis manusia atau masyarakat lain yang lebih sibuk
“mengolah dunia dalam” dirinya sendiri: mentalnya, manajemen hatinya,
rekayasa berpikir subyektifnya. Itu “teknologi internal”. Ada hipotesis yang
mengindikasikan bahwa “teknologi internal” adalah semacam tipologi, unikum
atau karakteristik kemanusiaan atau budaya masyarakat di wilayah sepanjang
Nusantara. Pelan-pelan, berikut ini, mudah-mudahan saya punya kemampuan
untuk menjelaskan apa yang sebenarnya dimaksud dengan “teknologi internal”.
Perkembangan peradaban global abad 20-21 adalah puncak eksplorasi
“Teknologi Eksternal”: meneliti, menganalisis, menyimpulkan, mengaplikasikan
ke wilayah eksternal segala hal yang membuat kehidupan manusia lebih “maju”
dan “mudah”. Muncullah gedung-gedung, pabrik-pabrik, alat-alat di bidang apa
saja di wilayah kehidupan yang manapun saja. Tidak hanya transportasi yang
ajaib dan dunia maya yang ‘wingit’, tapi bahkan kekhusyukan shalatpun
mengandalkan rekayasa teknologi eksternal. Seluruh pemandangan metropolitan
Jakarta Raya ini sangat menggambarkan produk “teknologi eksternal”.
Sementara “Teknologi Internal” adalah suatu inisiatif mental, didukung oleh
aktivitas emosi dan sedikit intelektual, di mana untuk maju dan mudah, manusia
mengandalkan pengaturan, pengolahan, eksplorasi, atau manipulasi mental di
dalam dirinya. Untuk makan enak tidak tergantung jenis dan mahalnya makanan,
melainkan bergantung pada cara kita menganggap dan memperlakukan
makanan apa saja yang ada. Demikian juga berbagai soal lain di luar makanan.
Di dalam budaya Jawa ada kata “mupus”: menganggap tak ada sesuatu yang
bikin pusing tapi tak pernah bisa diselesaikan. Penderitaan berkepanjangan oleh
kemiskinan struktural oleh rakyat cukup dijawab dengan “Gusti Allah mboten
sare”. Tuhan tidak tidur. Puluhan juta keluarga bisa hidup tanpa rasionalitas
ekonomi, gaji tak cukup untuk makan keluarga tapi kredit motor, tak ada kerjaan
tapi merokok sambil main catur, kalau ditanya bagaimana makan minum
keluargamu, mereka menjawab: “Bismillah, Cak”. Ahli Statistik di belahan bumi
sebelah manapun tidak pernah mencatat dan makanan utama Bangsa Indonesia
adalah bismillah. Dan sesungguhnya apa yang terkandung di balik “bismillah” itu
adalah kelonggaran-kelonggaran sistem budaya korupsi di berbagai celah
kehidupan yang memungkinkan mereka tetap bisa survive. Rakyat Indonesia
berteriak beberapa hari oleh kenaikan BBM, penjualan asset-asset Negara dan
jenis-jenis kebobrokan lain yang dilakukan oleh Pemerintah, kemudian mereka
berduka satu dua bulan, akhirnya “mupus”, memproklamasikan “Tuhan tidak
tidur”, dan kembali “ubet” lagi, “iguh” lagi: menjalani penghidupan sekeluarganya
dengan amat sangat mandiri, tanpa ketergantungan yang signifikan dan tidak
perduli-perduli amat kepada parpol apa yang memerintah, Presidennya Bima,
Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, atau Buto Kempung dan Bethoro Kolo….
Sesekali berkhayal: Presiden kita besok harus Puntadewa alias Yudhistira yang
berdarah putih, tak punya ambisi, berani kehilangan apapun demi cinta kepada
rakyat dan kebenaran sejati. Tetapi kalau di saat fajar ada serangan Rp 20 ribu,
ya tak apa bermurah hati mencoblos calon yang menyebar uang itu. Adakah
bangsa lain di muka bumi yang tangguh dan cuek-nya melebihi “Bangsa
Nusantara”? Pupusnya Denotasi, Maraknya Konotasi Salah satu keluaran dari
kebiasaan teknologi internal adalah pupusnya denotasi. Manusia dan
masyarakat Indonesia hidup dalam konotasi-konotasi: sesuatu tidak
dimaksudkan sebagai sesuatu itu sendiri sebagaimana ia adanya. Setiap kata,
setiap perbuatan, setiap langkah dan keputusan, setiap jabatan dan fungsi,
selalu tidak berkenyataan sebagaimana substansinya, melainkan ada tendensi,
pamrih, maksud tersembunyi, “udang dibalik batu” atau apapun namanya -- di
belakangnya. Kalau ia berlaku pada denotasi penderitaan dikonotasikan sebagai
“tabungan akhirat”, pada “tempe” dianggap “daging”, pada “kegagalan” disebut
“sukses yang tertunda”, “kelemahan” disebut “kesabaran”, “kebodohan” dibilang
“kerendahan hati”, “kemiskinan” dikonotasikan sebagai “suratan takdir” – maka
masih bisa menguntungkan survivalisme para penderitanya. Mereka bertahan
hidup berkat kepandaian menciptakan konotasi-konotasi, Pemerintah selalu
beruntung karena tingkat kemiskinan dan penderitaan sedahsyat apapun tak
mungkin melahirkan pemberontakan total atau revolusi. Tetapi kalau yang
berlaku adalah denotasi “mencuri uang Negara” dikonotasikan sebagai “jasa bagi
keluarga”, “korupsi” menjadi “kelapangan peluang untuk kedermawanan sosial”,
denotasi merampok dan melacur itu boleh asalkan konotasinya adalah “jihad
Agama”, malak pabrik narkoba itu halal asal konotasinya ada prosentase untuk
“pembangunan Masjid”, denotasi “uang narkoba” batal demi konotasi
“pembelaan Islam” – maka kebenaran, Agama, dan denotasi apapun tak akan
mengalami kehancuran – karena satu-satunya yang bisa hancur hanya
kehidupan manusia. Sindroma Garuda-Emprit Agar supaya kita tidak terlalu
“bersedih” atas “kepastian” untuk semakin hancur, perkenankan saya pergi jauh
ke belakang sejarah bangsa Indonesia kita. Untuk itu “iseng-iseng” kita
mempertanyakan siapa itu “Bangsa Indonesia”. Dengan asumsi sederhana
bahwa kalau orang tak mengenal dirinya, maka ia tak tahu tempatnya, kalau tak
tahu tempatnya juga pasti tak mengerti ke mana akan melangkahkan kakinya.
Kita berendah hati saja untuk sedikit mengakui bahwa segala keributan dan
kebobrokan yang kita alami 10-20 tahun terakhir ini siapa tahu sekadar kasus
orang yang memang tak kenal siapa dirinya. Orang yang dirinya saja ia malas
mengenalnya, maka agak mustahil ia punya energi untuk mendiagnosis apa
penyakit yang sedang dideritanya. Dan kalau tak ada diagnosis yang tepat,
mustahil pula ia akan bisa menyembuhkan diri dari penyakitnya. Mungkin kita
‘terpaksa’ harus melewati sejumlah relativitas pemahaman atas beberapa hal.
Misalnya, sebelum “ada” Bangsa Indonesia, ada “Masyarakat Nusantara”, yang
harus diperdebatkan terlebih dulu apakah ia “Rumpun Melayu”, “Masyarakat
Jawi”, “Bangsa-bangsa Timur” dst. Juga sebutan “Jawa” atau “Melayu” berbeda
pengertian dan skala faktualnya bergantung satuan waktu yang dipakai: setelah
ada NKRI berbeda dengan 5 abad silam, juga berbeda dengan kurun “Ajisaka”
20-an abad silam. Kita harus menunggu puluhan atau ratusan tahun riset
antropologis-historis, bahkan penelitian arkeologi dan sejumlah disiplin lain yang
lebih mendasar dan akar. Kita mulai “iseng-iseng” ini dari sejumlah pertanyaan
(yang boleh jadi mengandung substansi-substansi yang tidak atau belum
“benar”, tapi belum juga bisa dibilang “salah”) misalnya: * Seberapa berbeda
“Bangsa Indonesia” dengan “Bangsa Nusantara”? Kita sebut saja keduanya
sebagai “kita”. Pertanyaannya: “kita” ini lahir pada 1945, ataukah “kita” yang
melahirkan 1945? Kalau “kita” yang melahirkan NKRI dengan penduduknya yang
kita sebut Bangsa Indonesia, maka tentunya “kita”lah juga yang melahirkan Ray
Pikatan, Sanjaya, Mataram Kuno, Kutai, Majapahit, Ken Arok, Raden Wijaya, dan
Gadjahmada, Borobudur dan paradigma Candi Seribu. Kitalah fosil manusia
tertua dalam sejarah umat manusia di dunia di Sragen dan Mojokerto. Kitalah
induk manusia (mungkin 6 generasi sesudah Adam) yang merintis peradaban,
sebelum dihancurkan oleh era demi era sejarah primordialisme: sejak pewarisan
kembali dendam Qabil-Habil, berpuluh-puluh abad hingga primordialisme
Quraisy-Baduwi, sampai hari ini ada Suku Ahmadiyah, suku Gus Dur, dan suku
Muhaimin. Dari semua kata itu yang mana denotasi yang mana konotasi? * Yang
menguasai keuangan internasional, sistem global dan mekanisme pasar (: Neo-
Liberalisme, IMF, Kongress AS, Neomultinational dst) dewasa ini sepertinya
hanya sejumlah prosentase sangat kecil (1%?) dari jumlah penduduk dunia –
yang seluruhnya adalah keturunan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq (kaum
konglomerat Arab dan strategi /stakeholders Yahudi) dengan induk Nabi Ibrahim.
Sampai-sampai Kaum Muslimin harus mengulang tafsir kenapa dalam bacaan
Tahiyat Shalat mereka salam kedamaian tak cukup disampaikan kepada Rasul
Muhammad Saw tapi juga shalawat dan berkah kepada Rasul Ibrahim As dan
keluarganya. * Kalau omong IMF, mudah menerimanya sebagai denotasi, tapi
kalau Ibrahim: asosiasi kita biasanya konotatif. * Adapun “Masyarakat Nusantara”
ini keturunan siapa? Bisakah dibilang keturunan Ibrahim atau bukan keturunan
Ibrahim? Apakah atau siapakah induk “gen” bangsa kita ini lebih muda dari
Ibrahim ataukah lebih tua? Misalnya Nabi Nuh As, itu orang Yahudi atau Arab,
atau Melayu Jawa? * Apakah tersedia energi mental dan intelektual kita untuk
mewaspadai denotasi dan konotasi dari pertanyaan itu? * Bangsa Cina dan
Bangsa India itu berada pada garis Ishaq atau Ismail atau di luar itu? Masa
depan kita di abad 21 ini mencadangkan Cina dan India sebagai “musuh yang
pasti” dipandang dari mata dan kepentingan keturunan Ismail-Ishaq -- maka pasti
harus ada pola strategi jangka pendek menengah dan panjang terhadap “Bangsa
Nusantara”: NKRI harus dipastikan bisa dikuasai, ditunggangi, dikendalikan,
diatur, dengan terlebih dahulu memastikan bahwa NKRI harus rapuh, terpecah
belah, saling benci dan bermusuhan satu sama lain, seperti yang terjadi hari ini.
Dengan demikian NKRI akan dipande menjadi Keris Nusantara untuk melawan
Cina-India ketika saatnya nanti diperlukan. Ini semua pertanyaan denotatif atau
konotatif? * Kalau umpamanya ternyata “Bangsa Nusantara” ini induknya lebih
tua dari Ibrahim, maka mungkin perlu dipertanyakan bahwa segala perangkat
kemajuan sejarah yang kita pakai sekarang ini “kulakan” pada klan Ismail-Ishaq,
dan itu pasti akan menjadi jebakan-jebakan kultural, psikososial dan politis, yang
membuat NKRI makin hari makin bunuh diri. Keadaan bangsa Indonesia saat ini
demi Allah tidak memerlukan Neoliberalisme, AS, Iblis dan siapapun dari luar
sana untuk hancur: bangsa Indonesia sudah berada pada “peak position” untuk
secara amat canggih sanggup menghancurkan dirinya sendiri. Kok Iblis segala?
Pernahkah Iblis dipahami oleh 20 abad peradaban manusia secara denotatif?
Ataukah kita sebut-sebut ia setiap saat dalam konotasi semau-mau kita? Anda
pikir Iblis ada hubungannya dengan Setan dan Jin? * Kalau dilihat dari posisi-
kosmis, kekayaan alam, keunggulan bahasa dan budaya, maka “Bangsa
Nusantara” yang sekarang bernukleus di NKRI tidaklah bisa diungguli oleh
bangsa manapun di muka bumi. Maka diampuni Allahlah Amangkurat-II yang
menyerahkan rakyat dan kedaulatannya kepada VOC, diampuni Allah semua
pelaku-pelaku sejarah Indonesia sejak 1945, Orla, Orba, Orde Reformasi, yang
dengan sangat cemerlang mampu mengubah “Garuda Perkasa Bangsa
Nusantara” hari ini menjadi “Emprit kerdil, cengeng, dan penakut”. Sebenarnya
kalau kita selalu mengatakan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar” itu
denotatif atau konotatif? Ketangguhan Yang “Mencelakakan” Baiklah. Kalaupun
Bangsa Indonesia sekarang tak perlu sampai memerlukan penglihatan diri
sejauh ini, semoga sedikit berinisiatif pada takaran normal saja sebagai manusia,
sebagai masyarakat dan sebagai bangsa – untuk memulai kemandirian, punya
instink untuk ketat menjaga martabatnya, untuk mulai percaya kepada dirinya
dan kepada apa yang sebenarnya bisa digapainya. Kalau bangsa Indonesia
tidak percaya bahwa ia besar, bahwa ia lebih induk dan lebih besar dari bangsa-
bangsa di dunia, serta tidak percaya bahwa sesungguhnya ia punya filosofi,
formula, teknologi, budaya dan mekanisme kepemimpinan atas dunia secara
lebih damai, hangat dan penuh toleransi (masyarakat kita aslinya adalah
Professor Doktor Toleransi dengan tesis empiris cum laude) – maka mudah-
mudahan ada sedikit inisiatif kecerahan diri mengupayakan agar 2009 tidak
menjadi “Perayaan Kebodohan Edisi kesekian”, 2012 mencoba memastikan ada
sejumlah klausul kenegaraan dan hak milik yang membuat kita tidak lebih parah
menjadi budak bangsa lain, serta 2015 memproklamasikan “Keselamatan
Minimal” sebagaimana layaknya manusia hidup normal standard tanpa
keunggulan dan kehebatan. Kalau flash-back di atas suatu hari dipelajari dan
direnungi, mungkin kesibukan berpikir keIndonesiaan kita sehari-hari
mengandung kadar pengetahuan dan substansi yang sedikit agak fenomenologis
dan paradigmatik. Kita bersabar dengan ilmu, dan menahan diri tidak bicara atau
bertindak apapun kalau tidak dilandasi tanggungjawab ilmu. Bahkan yang
membedakan keyakinan (iman) dengan khayalan (klenik, mitologi,
subyektivisme) adalah faktor ilmu. Misalnya ada pertanyaan: kenapa segala
penderitaan rakyat, kebobrokan pemerintahan dan kekacauan keadaan bangsa
kita tidak pernah cukup menjadi syarat lahirnya sebuah revolusi yang mendasar,
total, dan sungguh-sungguh? Padahal penderitaannya lebih dari sungguh-
sungguh, kebobrokannya jauh melebihi ukuran kekebobrokan yang pernah
dicatat oleh sejarah kepemimpinan dan pemerintahan, serta kekacauannya
sedemikian rupa sehingga tak ada rakyat Negara manapun di muka bumi yang
sanggup berada di dalamnya? Salah satu jawabannya: karena individu manusia
Indonesia sangat tangguh, tidak collapse oleh kesengsaraan bagaimanapun
juga, bahkan berulangkali sanggup menolong Negara untuk tidak collapse pada
keadaan yang secara teoritis dan seharusnya ia collapse. Dan jawaban khusus
untuk lembar acara hari ini adalah: karena bangsa “kita” memiliki tradisi
Teknologi Internal yang tidak dimiliki oleh gen-gen bangsa lain. Dan paradigma
itulah yang selama ini “mencelakakan” kita. Norma, Hukum, dan Moral Tentu
saja, bangsa dengan bakal internal-technology di era NKRI sekarang ini tidak
bisa sepenuhnya menerapkan keunggulan mentalnya: bagaimana mungkin kita
tak punya motor, mobil, rumah bagus, laptop, AC; bagaimana mungkin kita
mengelak dari arus besar kemewahan, hedonisme, gebyar dan gemerlap…
maka bakat internal-technology akhirnya tak sengaja tergeser dan terterapkan ke
wilayah-wilayah lain yang masih mengandung ketidak-majuan dan ketidak-
mudahan. Dengan hasil korupsi, kita memperoleh berbagai kemudahan dan
kemajuan: bisa beli apa saja sebagaimana atau melebihi orang lain, keluarga
menganggap kita sukses, Pesantren dan Masjid yang kita bantu menyimpulkan
kita adalah dermawan, masyarakat melihat bahwa kita adalah “orang yang
benar”: buktinya punya jabatan, kaya, dan mau bersedekah kepada mereka.
Tetapi ada sedikit pengetahuan yang sudah terlanjur nyantol di saraf otak yang
membuat ingatan bahwa kita korup itu menghasilkan sesuatu yang tidak enak
dalam hati dan tidak mudah di depan Tuhan. Maka tak cukup bantu Pesantren
dan Masjid, kita perlu umroh sesering mungkin, langsung melakukan pendekatan
kepada Tuhan. Sebenarnya sedikit-sedikit kita merasa juga bahwa Tuhan
tersinggung karena kita tuduh ia bisa kita sogok dengan umroh atas dosa korupsi
kita – tetapi karena demikianlah juga yang dilakukan oleh banyak teman-teman
Indonesia lain, maka kita menjadi sedikit tenang. Faktornya di sini, budaya kita
lebih mengandalkan norma dibanding hukum atau moral. Hukum dan moral itu
nilai otonom dan pasti, sedangkan norma itu bergantung kesepakatan atau
kebiasaan banyak orang. Kalau banyak orang menyuruh Ahmadiyah bubar dan
banyak orang lain mengutuk FPI, kita terdorong untuk memilih salah satu dan
kemudian turut mengacungkan tinju dan memekik-mekik. Itulah norma.
Sementara hukum itu “ilmu”, moral itu “ruh”. Mereka yang hidup berdasar moral
dan hukum, tidak melangkahkan kaki berdasarkan arus norma atau
kecenderungan orang banyak. Alif Lam Mim, tuhan kita adalah norma. Kita
lakukan apa saja yang nge-trend, yakni segala gejala dan perilaku yang diterima
dan dikerjakan oleh orang banyak. Dari mode rambut, sinetron religi bulan
Ramadlan, demokrasi, otda pilkada, syariat non-gender, darmawisata umroh,
wisata kuliner hingga membubarkan Ahmadiyah dan FPI. Untuk bayar pajak saja
kita perlu alasan “Apa Kata Dunia, hare gene…” Multikorupsi Dulu Suharto bikin
Keraton Kemusu, sempalan Nyayogyakartohadiningrat dari tiga generasi
sebelum yang sekarang. Keratonnya dikasih nama Republik, baju kebesarannya
sebagai Raja dikasih label Presiden, dengan “uborampe” (kelengkapan basa-
basi) mengumpulkan sekian ratus orang menjadi dua kelompok yang dikasih
papan nama “MPR” dan “DPR”, dan akhirnya hanya seorang Raja yang jauh-
jauh hari sudah merancang dan membangun makamnya di sebuah bukit.
Kepresidenan Suharto adalah konotasi, karena denotasinya adalah Keraton.
Masyarakat tidak keberatan dengan “Keraton” berlabel “Republik” itu karena jiwa
raga mereka adalah “abdi dalem” dan “kawulo” sampai hari ini. Dan sampai hari
ini kaum intelektual juga tidak pernah mengakui bahwa Orba adalah “Keraton”,
karena diam-diam di dalam kandungan mentalnya masih menyimpan rasa
“andhap asor” atau inferioritas “kawulo”, masih menyimpan mitologi subyektif
untuk “takut” atau “segan”, juga karena sejak semula mereka juga diam-diam
berikhtiar bagaimana menjadi “abdi dalem”. Kalau Sang Prabu Haryo Suharto
tidak menerima lamaran kita, baru kita tampil di media massa sebagai oposan.
Alhasil, view ini sekadar pintu awal untuk membuka kemungkinan besar
kenyataan yang perlu kita teliti dengan jujur bahwa kasus-kasus korupsi yang
dijaring KPK hanyalah sejumlah cipratan kecil dari budaya dan peradaban
korupsi. Bangsa kita terjebak dalam kesalahan manajemen sejarah yang
menggiring mereka melakukan korupsi sejak “dini”. Sebelum uang dan harta
Negara, kita sudah melakukan korupsi iman, ilmu, cara berpikir, sejatinya isi hati,
setiap jenis perilaku dari yang sehari-hari kultural sampai yang kenegaraan
dalam konstitusi dan birokrasi. Apa yang saya tulis ini bukan tuduhan, juga saya
harap tidak menambah persoalan. Ini sumbangan kewaspadaan, demi
kebangkitan atau totalnya kehancuran kita bersama. Tiap menjelang tidur, ambil
satu kata kerja: lihatlah seberapa “sungguh-sungguh” bangsa kita mengerjakan
dan memaksudkan “kata kerja” itu. Apakah kalau kita bilang “a” maka yang kita
kerjakan adalah “a”, dan kalaupun memang benar-benar kita kerjakan “a”,
apakah niat dan maksud kita sungguh-sungguh “a”. Itu boleh pada perilaku
sehari-hari, hingga urusan-urusan yang lebih besar: menjadi pejabat, menjadi
wakil rakyat, menjadi Ustadz, menjadi Presiden, mengambil suatu keputusan
nasional, dan apapun. Kunci kehancuran kita sangat boleh jadi adalah: tidak atau
kurang bersungguh-sungguh. (Catatan: Term “teknologi internal” saya pinjam
dari Noe/Letto dan sejumlah muatan lembar ini berasal dari diskusi dengannya.
Tulisan ini adalah pengantar pada acara Diskusi Bareng di Perpustakaan KPK,
Jumat, 13 Juni 2008.)
Terapi berhenti merokok
Sunday, June 28, 2009, 6:47:01 PM | Teja Buwana
Pfizer Luncurkan Program Terapi Berhenti Merokok JAKARTA, Senin, 29 Juni
2009 | 03:28 WIB PT Pfizer Indonesia dan Klinik Berhenti Merokok Rumah Sakit
Persahabatan Jakarta meluncurkan program terapi berhenti merokok selama tiga
bulan. "Ini sebagai bentuk keprihatinan dengan semakin tingginya jumlah
perokok di Indonesia, khususnya di Jakarta," kata Humas PT Indo Pacific
Edelman-Health, Intan Wibisono di Jakarta, Minggu (28/6). Menurut dia, dalam
peluncuran program ini, juga dilakukan diskusi bertopik "Keinginan Kuat Saja
Tidak Cukup, Berhentilah Merokok Dengan Dukungan Keluarga dan Teman.
"Bersama Kita Bisa" yang digelar pada Senin (29/6) di Gedung Annex, Wisma
Nusantara Jakarta. Dengan pembicara, kata dia, Dokter spesialis paru dari Klinik
Stop Merokok RS Persahabatan, Dr Ahmad Hudoyo SpP (K), Dokter spesialias
kejiwaaan RS Persahabatan Dr Tribowo T Ginting SpKJ, dan Manajer
Pemasaran PT Pfizer Indonesia, Christina Limewaty. "Kami berharap dari diskusi
ini dapat diketahui lebih jauh program tersebut," katanya. Ia menjelaskan,
kegiatan ini sebagai bentuk komitmen PT Pfizer Indonesia yang merupakan
perusahaan internasional dalam bidang kesehatan dalam mengoptimalkan
dukungan untuk memberikan bantuan kepada perokok yang ingin berhenti
merokok. "Pfizer prihatin dengan semakin tingginya jumlah perokok yang
berdampak buruk terhadap perokok aktif maupun pasif," katanya. Dapat
dipahami merokok merupakan kebiasaan yang sulit ditinggalkan karena sifat
adiktif nikotin, namun keinginan berhenti merokok dapat dibantu dengan
dukungan dari lingkungan serta terapi medis. Di Indonesia, kini terdapat 62,8 juta
lebih perokok di Tanah Air yang sulit menghindari dan mencegah kecanduan
rokok meskipun berdampak negatif. Dalam urusan perokok, Indonesia ternyata
menduduki peringkat ke-3 dunia dan bahkan, nomor satu di Asia Tenggara.
Catatan : waduh, padahal rokok masih lekat di mulut saya heheheheh
Tuhan Sembilan Senti
Tuesday, June 23, 2009, 10:44:01 AM | Teja Buwana
Tuhan Sembilan Senti Oleh Taufiq Ismail Indonesia adalah sorga luar biasa
ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak
merokok Di sawah petani merokok di pabrik pekerja merokok di kantor pegawai
merokok di kabinet menteri merokok di reses parlemen anggota DPR merokok di
Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok hansip-bintara- perwira
nongkrong merokok di perkebunan pemetik buah kopi merokok di perahu
nelayan penjaring ikan merokok di pabrik petasan pemilik modalnya merokok di
pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok. Indonesia adalah semacam
firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok tapi tempat siksa kubur hidup-
hidup bagi orang yang tak merokok. Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-
curi merokok, di ruang kepala sekolah ada guru merokok, di kampus mahasiswa
merokok, di ruang kuliah dosen merokok, di rapat POMG orang tua murid
merokok, di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku
tuntunan cara merokok, Di angkot Kijang penumpang merokok, di bis kota
sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok, di loket penjualan
karcis orang merokok, di kereta api penuh sesak orang festival merokok, di kapal
penyeberangan antar pulau penumpang merokok, di andong Yogya kusirnya
merokok, sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok, Negeri kita
ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok tapi tempat cobaan
sangat berat bagi orang yang tak merokok Rokok telah menjadi dewa, berhala,
tuhan baru diam-diam menguasai kita Di pasar orang merokok, di warung Tegal
pengunjung merokok, di restoran, di toko buku orang merokok, di kafe di diskotik
para pengunjung merokok Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak
tertahankan abab rokok bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di
kamar tidur ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip
asbak rokok Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling
menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk
kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor
atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya
ketimbang HIV-AIDS, Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin
paling subur di dunia dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap
tembakau itu, bisa ketularan kena Di puskesmas pedesaan orang kampung
merokok, di apotik yang antri obat merokok, di panti pijat tamu-tamu disilahkan
merokok, di ruang tunggu dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter
merokok, Istirahat main tenis orang merokok, di pinggir lapangan voli orang
merokok, menyandang raket badminton orang merokok, pemain bola PSSI
sembunyi-sembunyi merokok, panitia pertandingan balap mobil, pertandingan
bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor
perusahaan rokok, Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok
merokok di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok
merokok, Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi
orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak
merokok, Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai
kita, Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat
merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli
hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi ahli hisap
rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala
kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan
setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya, Mengintip kita dari balik
jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan
tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri. Inikah
gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit
golongan ashabus syimaal? Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC
penuh itu. Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh. Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al
hawwa’i. Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok. Laa taqtuluu anfusakum.
Min fadhlik, ya ustadz. 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15
penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000 zat
kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan? Tak perlu
dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith. Mohon ini
direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada
alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok. Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-
makruhkan, jangan, Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan
ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi
itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap
rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk,
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di
Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat
ketimbang korban kecelakaan lalu lintas, lebih gawat ketimbang bencana banjir,
gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba, Pada saat
sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus
dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya,
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud
untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam
nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,
Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini. Diambil dari Buku
Thank You For Smoking
Apa dan Siapa Ibnu Al-Arabi
Saturday, June 20, 2009, 4:22:27 AM | Teja Buwana
Muhyiddin ibnu al-Arabi adalah salah seorang Sufi di Abad pertengahan,
kehidupan dan tulisan-tulisannya sekarang banyak mempengaruhi pemikiran di
Timur maupun Barat. Oleh masyarakat Arab, ia dikenal sebagai Syeikh al Akbar,
‘Syeikh Agung’, sedang orang-orang Kristen Barat melalui terjemahan langsung
mengenalnya; ‘Doktor Maksinius’. Ia wafat pada abad ketigabelas. DARI MANA
DATANGNYA GELAR? Ja’far ibnuYahya dari Lisabon memutuskan menjumpai
Guru Agung Sufi, ia pun melakukan perjalanan dari Mekkah sebagaimana
pemuda lainnya. Di sana ia bertemu dengan orang asing misterius, seorang laki-
laki mengenakan jubah hijau, yang berkata kepadanya sebelum ia berbicara apa
pun: “Engkau mencari Syeikh Agung, Guru yang sangat masyhur. Tetapi engkau
mencarinya di Timur ketika ia berada di Barat. Dan ada sesuatu hal yang tidak
benar dalam pencarianmu.” Ia mengirim Ja’far kembali ke Andalusia, untuk
menjumpai seseorang bernama Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Hatim-Tai.
“Dia itulah Guru Agung.” Tanpa mengatakan kepada siapa pun mengapa ia
mencarinya, Ja’far menemukan keluarga Tai di Murcia dan bertanya kepada
putranya. Ja’far tahu bahwa sesungguhnya ia (Guru Agung) berada di Lisabon
ketika dirinya berangkat pergi. Akhirnya ia menemukannya di Seville. “Di sana,”
ujar seorang pendeta, “Itulah Muhyiddin.” Ia menunjuk kepada seorang pelajar
muda, membawa sebuah kitab mengenai Tradisi (Hadis), tampak tergesa-gesa
keluar dari ruang kuliah. Ja’far sangat bingung, tetapi dihentikannya pemuda
tersebut dan bertanya, “Siapakah Guru Agung?” “Aku membutuhkan waktu untuk
menjawab pertanyaan itu,” jawabnya. “Apakah engkau Muhyiddin ibnu al-Arabi
dari suku Tai?” tanya Ja’far sedikit meremehkan. “Benar.” “Jika demikian aku
tidak membutuhkanmu.” Tigapuluh tahun kemudian di Aleppo, ia melihat Ja’far
memasuki ruang kuliah Syeikh Agung, Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Tai.
Muhyiddin melihatnya ketika masuk, dan berkata: “Sekarang aku siap menjawab
pertanyaanmu dulu, sebenarnya tidak perlu ada pertanyaan itu. Tigapuluh tahun
lalu Ja’far, engkau tidak membutuhkan aku. Apakah engkau masih tidak
membutuhkan diriku? Orang Berjubah Hijau mengatakan ada sesuatu yang
salah dalam pencarianmu. Yaitu waktu dan tempat.” Ja’far ibnu Yahya lantas
menjadi salah seorang murid al-Arabi yang terkemuka. IMPIAN DI MOSUL
Seorang pencari ayat suci yang memberi pengalaman batiniah yang penting,
masih menderita karena kesulitan menafsirkannya secara konstruktif Ia minta
petunjuk kepada Syeikh Agung Ibnu al-Arabi tentang mimpi yang sangat
mengganggunya ketika berada di Mosul, Iraq. Ia melihat Guru Ma’ruf yang luhur
dari Karkh seolah duduk di tengah-tengah api Neraka. Bagaimana mungkin
Ma’ruf yang agung berada dalam Neraka? Apa yang kurang dari daya
permahamannya, adalah keadaannya sendiri. Ibnu al-Arabi, dari
permahamannya terhadap si Pencari jati diri dan kemanusiaannya, menyadari
bahwa intisarinya adalah melihat Ma’ruf dikelilingi api. Api merupakan penjelasan
tentang bagian jiwa yang belum dikembangkan, sebagai sesuatu dimana Ma’ruf
yang agung terperangkap. Makna sesungguhnya adalah rintangan antara
keberadaan Ma’ruf dan keberadaan si Pencari jati diri. Jika si Pencari (jati diri)
ingin mencapai suatu keadaan yang setara dengan Ma’ruf, pencapaian yang
ditandai dengan sosok Ma’ruf, maka ia harus melalui satu tahap yang dalam
mimpinya digambarkan dengan lingkaran api. Dengan penafsiran ini si Pencari
dapat memahami situasinya, dan menunjukkan pada dirinya apa yang masih
perlu dilakukan. Kesalahannya adalah menganggap gambaran Ma’ruf adalah
Ma’ruf, dan api adalah api Neraka. Bukan sekadar kesan (Naqsy) tetapi
penggambaran yang benar terhadap kesan tersebut, seni yang disebut Tasvir
(pemberian makna terhadap gambaran) itulah fungsi seorang Pembimbing yang
Benar. TIGA BENTUK PENGETAHUAN Ibnu al-Arabi dari Spanyol,
menginstruksikan para pengikutnya dalam keputusannya yang paling kuno ini:
Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama, pengetahuan kecerdasan otak, yang
sesungguhnya hanyalah keterangan dan kumpulan kenyataan, dan pemanfaatan
sampai pada pengertian-pengertian atau rencana para cendekiawan lebih jauh.
Ini disebut ajaran kecendekiawanan (intelektualisme). Kedua, pengetahuan
tentang keberadaan, meliputi perasaan yang emosional (renjana) dan
kejanggalan, dimana manusia menganggap bahwa ia merasakan sesuatu tetapi
tidak dapat memanfaatkannya. Ini disebut (emosionalisme). Ketiga, pengetahuan
sejati yang disebut Pengetahuan atas Realitas. Pada bentuk ini, manusia dapat
merasakan apa yang benar, sejati, melampaui batas-batas pemikiran dan
perasaan. Para sarjana dan ilmuwan terpusat pada bentuk pertama
pengetahuan. Kaum emosionalis dan eksperimentalis menggunakan bentuk
kedua. Lainnya memadukan keduanya, atau memanfaatkan salah satu sebagai
pilihan. Tetapi mereka yang mencapai kebenaran, adalah mereka yang tahu
bagaimana menghubungkan dirinya sendiri dengan realitas berada di dua bentuk
pengetahuan tersebut. Mereka inilah kaum Sufi sejati, kaum Darwis dan
mengalami Pencapaian. KEBENARAN Ia telah membingungkan semua orang
yang belajar Islam, Setiap orang yang mempelajari Mazmur, Setiap Rabbi
Yahudi, Setiap pendeta Kristen. CINTA YANG LEBIH TINGGI Pecinta awam
memuja gejala kedua. Aku mencintai Yang Sejati. CINTA YANG KHUSUS Ketika
bulan penuh muncul pada malam hari, menampakkan wajahnya di tengah
rambut. Dari penderitaan muncul gambaran dirinya; tangis air mata di pipi;
seperti bunga bakung hitam menumpahkan air mata di atas mawar Kecantikan
hanyalah kesunyian: sifatnya lah yang berlimpah. Bahkan memikirkan bahaya
kehalusannya (kendati terlalu kasar merasakan dirinya). Jika demikian,
Bagaimana bisa ia terlihat dengan benar oleh alat tubuh yang janggal seperti
mata? Keajaibannya tak tertangkap nalar. Ia melampaui aneka penglihatan.
Ketika penjelasan mencoba menjabarkan dirinya, ia menguasainya. Kapan pun
berupaya, penjelasan menjadi terusir Karena hal itu seperti mencoba untuk
membatasi. Jika seseorang mencari cita-citanya yang lebih rendah (untuk
merasakan cinta seperti pada umumnya), selalu ada orang lain yang tidak akan
melakukannya. PENCAPAIAN SEORANG GURU Orang berpikir bahwa seorang
Syeikh mestinya menunjukkan keajaiban-keajaiban dan menunjukkan
pencerahan. Syarat seorang guru, betapapun, hanyalah bahwa ia harus memiliki
semua yang dibutuhkan murid. WAJAH AGAMA Sekarang aku disebut rusa di
padang pasir, Sekarang seorang pendeta Kristen, Sekarang seorang Zoroaster
Kekasih ada Tiga, tetapi Satu: Yakni tiga dalam kenyataannya satu. HATIKU
DAPAT MENERIMA SEGALA RUPA Hatiku dapat menerima segala rupa. Hati
berubah-ubah sesuai kesadaran yang paling dalam. Bisa jadi berbentuk seperti
rusa padang rumput, biara para rahib, patung pemujaan, pengunjung (peziarah)
Ka’bah, Lembaran Taurat untuk ilmu pengetahuan tertentu, lembaran-lembaran
al-Qur’an. Tugasku adalah hutang terhadap Cinta. Dengan bebas dan sukarela
aku menerima apa pun yang terlarang untukku. Cinta seperti cinta seorang
kekasih, kecuali sebagai pengganti mencintai gejala, aku mencintai yang Hakiki.
Agama, kewajiban, adalah milik dan keyakinanku. Tujuan cinta manusia adalah
menunjukkan yang terakhir, cinta sejati. Inilah cinta yang sadar. Lainnya adalah
jenis yang membuat manusia tidak menyadari dirinya sendiri. BELAJAR
DENGAN ANALOGI Ada alasan bahwa Ibnu al-Arabi menolak berbicara dalam
bahasa filosofis dengan setiap orang, bodoh maupun terpelajar. Dan tampaknya
orang-orang beruntung tetap berteman dengannya. Ia mengajak bepergian,
memberi mereka makan, menghibur mereka dengan bercerita ratusan pokok
pembicaraan. Seseorang bertanya kepadanya, “Bagaimana Anda mengajar
apabila Anda tampaknya tidak pernah memberi pengajaran?” Ibnu al-Arabi
menjawab, “Dengan kias.” Dan ia menceritakan perumpamaan ini. Suatu ketika
ada seorang laki-laki memendam uangnya di bawah beberapa pohon demi
keamanan. Ketika ia datang kembali, uangnya hilang. Seseorang telah
membongkar akar dan membawa emasnya. Ia kemudian menemui orang bijak
dan menceritakan masalahnya. “Saya yakin tidak ada harapan lagi menemukan
kembali harta itu.” Orang bijak tersebut menyarankan agar ia kembali lagi setelah
beberapa hari. Sementara itu, si orang bijak memanggil semua tabib yang ada di
kota, dan bertanya kepada mereka, apakah pernah memberi resep obat akar-
akaran kepada seseorang. Salah seorang mengaku telah memberikannya
kepada seorang pasien. Maka dipanggillah pasien tersebut, dan ternyata ia
adalah pemilik uang itu sendiri. Ia mengambil barang tersebut dan
mengembalikannya kepada pemilik sebenarnya. “Dengan cara yang sama,” ujar
Ibnu al-Arabi, “Kutemukan apa keinginan murid yang sesungguhnya, dan
bagaimana ia dapat belajar. Dan kuajarkan.” ORANG YANG MENGETAHUI
Seorang Sufi yang mengetahui Kebenaran Abadi, bertindak dan berbicara
dengan mempertimbangkan pemahaman, keterbatasan dan prasangka dominan
yang tersembunyi pada pendengarnya. Bagi Sufi, beribadat berarti pengetahuan.
Melalui pengetahuan ia memperoleh penglihatan. Sufi meninggalkan tiga ‘aku’.
Ia tidak mengatakan ‘untukku’, ‘denganku’ atau ‘milikku’. Ia tidak boleh
menghubungkan segala sesuatu dengan dirinya. Sesuatu yang tersembunyi
dalam tempurung tak berguna. Kita sekadar mencari sasaran yang kurang layak,
dengan tidak memperhatikan nilai tak terbatas yang sangat berharga. Makna
kemampuan menafsir adalah, bahwa seseorang dapat dengan mudah membaca
sesuatu yang dikatakan oleh orang bijak dalam dua cara yang amat berlainan.
MENYIMPANG DARI JALAN BENAR Siapa pun yang menyimpang dari
peraturan Sufi, tidak akan memperoleh sesuatu yang bermanfaat; kendati ia
mempunyai nama baik di mata masyarakat yang menggema (hingga) ke firdaus.
Sumber : Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma’rifat oleh Idries Shah
MENCERMATI SEBAB-SEBAB KERUNTUHAN MAJAPAHIT
Thursday, June 18, 2009, 7:21:46 AM | Teja Buwana
Tersebutlah kisah, Adipati Terung meminta Sultan Bintara alias Raden Patah
yang masih "kapernah" kakaknya, untuk menghadap Prabu Brawijaya. Tapi
Sultan Demak itu tidak mau karena ayahnya dianggap masih kafir.Brawijaya
adalah raja Majapahit, kerajaan Hindu yang pernah jaya ditanah Jawa. Bahkan
kemudian Raden Patah lalu mengumpulkan para bupati pesisir seperti Tuban,
Madura dan Surabaya serta para Sunan untuk bersama-sama menyerbu
Majapahit yang kafir itu. Prajurit Islam dikerahkan mengepung ibu kota kerajaan,
karena segan berperang dengan puteranya sendiri, Prabu Brawijaya meloloskan
diri dari istana bersama pengikut yang masih setia. Sehingga ketika Raden
Patah dan rombongannya (termasuk para Sunan) tiba, istana itu kosong. Atas
nasihat Sunan Ampel, untuk menawarkan segala pengaruh raja kafir, diangkatlah
Sunan Gresik jadi raja Majapahit selama 40 hari. Sesudah itu baru diserahkan
kepada Sultan Bintara untuk diboyong ke Demak. Cerita ini masih dibumbui lagi,
yaitu setelah Majapahit jatuh, Adipati Terung ditugasi mengusung paseban raja
Majapahit ke Demak untuk kemudian dijadikan serambi masjid. Adipati Bintara
itu kemudian bergelar "Senapati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan
Palembang Sayidina Panatagama". Cerita mengenai serbuan tentara Majapahit
itu dapat ditemui dalam "BABAD TANAH JAWI". Tapi cerita senada juga terdapat
dalam "Serat Kanda". Disebutkan, Adipati Bintara bersama pengikutnya
memberontak pada Prabu Brawijaya. Bala tentara Majapahit dipimpin oleh
Mahapatih Gajah Mada, Adipati Terung dan Andayaningrat (Bupati Pengging).
Karena takut kepada Syekh Lemah Abang, gurunya, Kebo Kenanga (Putra
Bupati Pengging) membelot ikut musuh. Sementara itu Kebo Kanigara
saudaranya tetap setia kepada Sang Prabu Brawijaya. Tentara Demak dibawah
pimpinan Raden Imam diperlengkapi dengan senjata sakti "Keris Makripat"
pemberian Sunan Giri yang bisa mengeluarkan hama kumbang dan "Badhong"
anugerah Sunan Cirebon yang bisa mendatangkan angin ribut. Tentara
Majapahit berhasil dipukul mundur sampai keibukota, cuma rumah adipati Terung
yang selamat karena ia memeluk Islam. Karena terdesak, Prabu Brawijaya
mengungsi ke (Tanjung) sengguruh beserta keluarganya diiringi Patih gajah
Mada. Itu terjadi tahun 1399 Saka atau 1477 Masehi. Setelah dinobatkan
menjadi Sultan Demak bergelar "Panembahan Jinbun", adipati Bintara mengutus
Lembu Peteng dan jaran panoleh ke sengguruh meminta sang Prabu masuk
agama Islam. tapi beliau tetap menolak. Akhirnya Sengguruh diserbu dan Prabu
Brawijaya lari kepulau Bali. Cerita versi BABAD TANAH JAWI dan SERAT
KANDA itulah yang selama ini popular dikalangan masyarakat Jawa, bahkan
pernah juga diajarkan disebagian sekolah dasar dimasa lalu. Secara garis besar,
cerita itu boleh dibilang menunjukkan kemenangan Islam. Padahal sebenarnya
sebaliknya, bisa memberi kesan yang merugikan, sebab seakan-akan Islam
berkembang di Jawa dengan kekerasan dan darah. Padahal kenyataannya tidak
begitu. Selain fakta lain banyak menungkap bahwa masuknya Islam dan
berkembang ditanah Jawa dengan jalan damai. Juga fakta keruntuhan Majapahit
juga menunjukkan bukan disebabkan serbuan tentara Islam demak. Prof. Dr.
Slamet Muljana dalam bukunya "Pemugaran Persada Sejarah Leluhur
Majapahit" secara panjang lebar membantah isi cerita itu berdasarkan bukti-bukti
sejarah. Dikatakan Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda yang ditulis abad XVII
dijaman Mataram itu tanpa konsultasi sumber sejarah yang dapat dipercaya.
Sumber sejarah itu antara lain beberapa prasasti dan karya sejarah tentang
Majapahit, seperti "Negara Kertagama dan Pararaton". Karena itu tidak
mengherankan jika uraiannya tentang Majapahit banyak yang cacat. "Prasasti
Petak" dan "Trailokyapuri" menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah Dyah
Suraprahawa, runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan Girindrawardhana
pada tahun 1478 masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti
sebagai ibu kota kerajaan. Dengan demikian tak mungkin Majapahit runtuh
karena serbuan Demak. Sumber sejarah Portugis tulisan Tome Pires juga
menyebutkan bahwa Kerajaan Demak sudah berdiri dijaman pemerintahan
Girindrawardhana di Keling. Saat itu Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura serta
beberapa kota lain dipesisir utara Jawa berada dalam wilayah kerajaan Kediri,
sehingga tidak mungkin seperti diceritakan dalam Babad Jawa, Raden Patah
mengumpulkan para bupati itu untuk menggempur Majapahit. Penggubah Babad
Tanah Jawi tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan kerajaan
Demak pada tahun 1478 dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan Demak dijaman
pemerintahan Sultan Trenggano 1527. Penyerbuan Sultan Trenggano ini
dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka
seperti yang dilaporkan Tome Pires. Demak yang memang memusuhi Portugis
hingga menggempurnya ke Malaka tidak rela Kediri menjalin hubungan dengan
bangsa penjajah itu. Setelah Kediri jatuh (Bukan Majapahit !) diserang Demak,
bukan lari kepulau Bali seperti disebutkan dalam uraian Serat Kanda, melainkan
ke Panarukan, Situbondo setelah dari Sengguruh, Malang. Bisa saja sebagian
lari ke Bali sehingga sampai sekarang penduduk Bali berkebudayaaan Hindu,
tetapi itu bukan pelarian raja terakhir Majapahit seperti disebutkan Babad itu.
Lebih jelasnya lagi raden Patah bukanlah putra Raja Majapahit terakhir seperti
disebutkan dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu, demikian Dr. Slamet
Muljana. Sejarawan Mr. Moh. Yamin dalam bukunya "Gajah Mada" juga
menyebutkan bahwa runtuhnya Brawijaya V raja Majapahit terakhir, akibat
serangan Ranawijaya dari kerajaan Keling, jadi bukan serangan dari Demak.
Uraian tentang keterlibatan Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan
Majapahit ketika diserang Demak 1478 itu sudah bertentangan dengan sejarah.
Soalnya Gajah Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka.
Penuturan buku "Dari Panggung Sejarah" terjemahan IP Simanjuntak yang
bersumber dari tulisan H.J. Van Den Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit
bukan akibat serangan Demak atau tentara Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa
Muslim, dalam bukunya "Ying Yai Sheng Lan" menyebutkan, ketika mendatangi
Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan masyarakat Islam yang
bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka. Disebutkannya, tahun
1400 Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi sudah bermukim di pantai
utara Jawa. Salah satunya adalah Maulana Malik Ibrahim yang dimakamkan di
Pasarean Gapura Wetan Kab. Gresik dengan angka tahun 12 Rabi'ul Awwal 882
H atau 8 April 1419 Masehi, berarti pada jaman pemerintahan Wikramawardhana
(1389-1429) yaitu Raja Majapahit IV setelah Hayam Wuruk. Batu nisan yang
berpahat kaligrafi Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan kepala Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli bukan buatan
baru. Salah satu bukti bahwa sejak jaman Majapahit sudah ada pemukiman
Muslim diibu kota, adalah situs Kuna Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan,
Mojokerto, JATIM. Makam-makam Islam disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu
beragam angka tahunnya, mulai dari tahun 1369 (abad XIV Masehi) hingga
tahun 1611 (abad XVII Masehi). Nisan-nisan makam petilasan di Troloyo ini
penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari bacaan Doa,
kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf sedikit
kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya pun bukan
bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih
banyak bersifat dakwah antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27. P.J.
Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulismakam
Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873.L.C. Damais peneliti dari Prancis yang
mengikutinya menyebutkan angka tahun pada nisan mulai abad XIV hingga XVI.
Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di
Trowulan mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit
masih berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu
kota. Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh
kedamaian dan toleransi. Satu situs kepurbakalaan lagi dikecamatan trowulan
yakni diDesa dan kecamatan Trowulan adalah Makam Putri Cempa. Menurut
Babad Tanah jawi, Putri Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri Prabu
Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks
kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391
Masehi). Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Cempa itu,
sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia
dimakamkan secara Islam dimakam panjang (Kubur Dawa). Dusun Unggah-
unggahan jarak 300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan Islam itu. Dari
fakta dan situs sejarah itu, tampak bukti otentik tentang betapa tidak benarnya
bahwa Islam dikembangkan dengan peperangan. Justru beberapa situs
kesejarahan lain membuktikan Islam sangat toleran terhadap agama lain
(termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang pesat ditanah Jawa. Dikompleks
Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur misalnya, berdiri tegak Candi Siwa Budha
dengan angka tahun 1400 Saka (1478 masehi) yang kini letaknya berada
dibelakang kantor Pemda tuban. Padahal, saat itu sudah berdiri pondok
pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok pesantren dan candi yang berdekatan
letaknya ini dilestarikan dalam sebuah maket kecil dari kayu tua yang kini
tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban. Di Kudus, Jawa Tengah, ketika
Sunan Kudus Ja'far Sodiq menyebarkan ajaran Islam disana, ia melarang umat
Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam
tetapi dilarang menyembelihnya untukmenghormati kepercayaan umat Hindu
yang memuliakan sapi. Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat
Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid yang tempatnya
masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun
dengan gaya arsitektur candi Hindu. ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai
bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya yang
bergelar Kertanegara Dharmawangsa, kerajaan ini senantiasa diliputi fenomena
pemberontakan. Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan
Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap
sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam
memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap
Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa. Pemberontakan
pertama sebetulnya sudah dimulai sejak Kertarajasa masih hidup, yaitu oleh
Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia
yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya
(1309) dapat digagalkan. Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora,
seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun 1316,
oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di
Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas. Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di
tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang raja melarikan diri
dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak
15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada. Namun dengan bantuan pasukan-
pasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya
menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan
pemerintahannya. Berhenti pemberontakan Kuti, tahun 1331 muncul
pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu
Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat
ditumpas. Keberhasilan Gajah Mada memadamkan pemberontakan Sadeng
membawanya meraih karier diangkat sebagai mahapatih kerajaan. Namun pada
masa pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun 1350-1389, berkali-kali sang
patih Gajah Mada --yang juga panglima ahli perang di masa itu—harus
menguras energi untuk memadamkan pemberontakan di beberapa daerah.
Pemberontakan Ronggolawe sampai serangan kerajaan Dhaha, Kediri. Bahkan
salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah
ketika meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang
saudara memperebutkan kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri
dan berkembangnya Islam di daerah pesisir Kerajaan Majapahit yang pernah
mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah setelah
kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Sumber ;
http://www.jawapalace.org/majapahit.htm
MANUNGGALING KAWULA LAN GUSTI
Thursday, June 18, 2009, 5:28:37 AM | Teja Buwana
Dalam gumelaring jagad, atau tergelarnya alam semesta manusia selalu ingin
tahu darimanakah dia berasal. Dalam khazanah pengetahuan Jawa, keingin-
tahuan ini diwujudkan dalam sebuah konsep yaitu Sangkan Paraning Dumadi,
alias Asal Usul Jagad-raya. Manusia Jawa melihat alam semesta ini tidak hanya
yang berwujud saja melainkan juga yang tanpa wujud. Wujud di sini di artikan
semua kenyataan hidup (kasunyatan) yang dapat dijangkau dengan indera,
sementara tanpa wujud adalah suatu hal yang kelima panca indera manusia
tidak mampu menjangkaunya. Pandangan universal Jawa ini menyatakan bahwa
Manusia adalah titah dumadi yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan
harmonis dengan jagad rat pramudhita (jagad raya seisinya). Dengan demikian,
maka orang Jawa kurang mempedulikan ritual - ritual yang bersifat hubungan
yang khusus dengan Sang Pencipta, karena ritual tersebut pada hakekatnya
juga dipandang sudah tercakup di dalam interaksi sosial (antar manusia) dan
juga interaksi dengan alam sekitarnya. Dus antara pekerjaan, interaksi, dan doa,
tidak ada batasan atau prinsip yang hakiki. Hal ini berarti pemujaan kepada Sang
Pencipta Alam diwujudkan dalam kehidupan sehari - hari yang membumi dan riil.
Prinsip universal ini yang melahirkan istilah "sedulur tunggal dina kelahiran"
(saudara satu hari kelahiran), apa artinya? yaitu bahwa apapun makhluknya
yang tumbuh / muncul bertepatan dengan saat seseorang dilahirkan maka
makhluk tersebut dianggap sebagai saudara. Betapa luhurnya pandangan ini.
Falsafah "sedulur tunggal dina kelahiran" menegaskan betapa kedudukan
manusia juga sebagai makhluk-NYA, walaupun disebutkan manusia adalah
makhluk yang paling sempurna dan mulia, namun falsafah ini mengajarkan pula
agar sebagai khalifah, manusia janganlah bersikap sombong dan arogan.
Singkatnya, anak genderuwo, bekasakan, thethekan, kambing, kucing, monyet,
tapir, tunas pohon pisang dsb yang kebetulan lahir / tumbuh bersamaan dengan
lahirnya seorang manusia, maka kesemua makhluk itu harus dianggap sebagai
saudara. Bahkan di jaman dahulu Orang Jawa sering membuat minuman dawet
ketika ada hewan ternaknya ataupun hewan piaraannya yang melahirkan karena
merayakan gumelaring titah dumadi, atau penciptaan makhluk oleh Sang
Pencipta. Dengan menganggap adanya saudara tunggal hari kelahiran ini, maka
seorang manusia Jawa akan berhati - hati dalam bertindak. Ia tidak akan
membabati hutan sedemikian buasnya karena siapa tahu, di dalam hutan itu ada
makhluk - makhluk yang merupakan sedulur tunggal dina kelahirannya. Ia tidak
akan menumpahkan polusi kedalam sungai, danau, dan laut, karena boleh jadi
tindakan itu akan menyakiti saudara - saudaranya. Sayangnya keluhuran budi ini
sering dianggap sebagai tahayul, gugon tuhon, bahkan tidak sedikit dianggap
sesat dan bid'ah. Akibatnya adalah orang menjadi beringas, ia tidak ingkat kalau
statusnya sebagai khalifah itu seharusnya membawanya menjadi orang yang
bijak dan bajik. Nafsunya menguasai "rasa" sehingga tumpullah sudah
persaudaran antara sesama makhluk. Manusia menjadi perusak hutan kelas
wahid. Sumur, sungai, danau, laut dipenuhi racun mematikan yang membunuh
flora dan fauna. Terjadilah kerusakan di mana - mana! Ketika air bah melanda,
dan banjir menggenang, ratusan nyawa melayang, tapi apalah daya. Manusia
mengerang merintih memohon ampunan. Dikatakannya semua itu adalah takdir,
semua itu adalah ujian. Tapi Tuhan bersabda bahwa telah jelas kerusakan di
muka bumi ini adalah akibat ulah manusia. Jangan pernah menyalahkan-NYA
untuk nestapa yang dialami manusia. Kesadaran bahwa manusia itu adalah
bagian dari alam semesta membawa manusia Jawa kepada konsep Jagad Cilik
(mikrocosmos) dan Jagad Gedhe(makrocosmos). Jagad cilik adalah manusia itu
sendiri dan Jagad gedhe adalah tatanan kosmis alam semesta. Manusia perlu
senantiasa menyadari bahwa kedua jagad itu harus selalu dalam keadaan
harmonis. Kesadaran konstan akan pengertian bahwa Jagad Cilik dan Jagad
Gedhe harus bersatu merupakan tujuan akhir seorang manusia. Artinya dalam
setiap hembusan nafasnya ia selalu sadar bahwa dirinya adalah bagian dari
alam semesta dan tentunya ia harus "hamemayu hayuning bhawana", atau
memperindah dunia yang sudah indah ini. Untuk terus menerus sadar ini
dibutuhkan sebuah tatanan atau aturan. Tatanan ini yang disebut dengan
"Sedulur Papat Lima Pancer". Konsepsi yang terkesan rumit ini sebenarnya
simpel, yaitu bahwa apapun di dunia ini selalu tersusun atas INTI dan PLASMA.
Mulai dari galaksi sampai atom sekalipun selalu tersusun atas Inti dan Plasma.
Matahari sebagai PANCER-nya dan planet planet yang mengitarinya sebagai
plasma-nya. Atom tersusun atas inti atom dan kulit atom sebagai plasmanya.
Hubungan inti dan plasma ini berlangsung kekal abadi. Inti dan plasma
bersinergi, yang satu tidak mungkin ada tanpa yang satunya lagi. Inti tidak bisa
bekerja tanpa plasma dan demikian pula sebaliknya. Sedulur Papat tiada guna
tanpa adanya Pancer dan Pancer tiada berfungsi tanpa bantuan sedulur papat.
Sedulur papat dimulai saat diri seorang manusia masih berada dalam Boemi
Soetji alias masih di dalam Guwa Garba seorang Ibu. Di dalam rahim ada 4
komponen utama yang mendukung kehidupan janin. Mereka adalah Air ketuban,
Ari - ari (tembuni), Pusar, dan Darah. Air Ketuban yang di dalam rahim berfungsi
menjaga si jabang bayi, meredam benturan, ari - ari menyerap sari makanan dari
tubuh ibu, Pusar menjalan tugas sebagai saluran Darah untuk membawa sari -
sari makanan yang diserap ari - ari ke dalam tubuh si bayi. Maka dari itu orang
Jawa sangat menghormati fungsi keempatnya. Air ketuban yang keluar
mendahului Bayi disebut sebagai Kakang Kawah, Plasenta yang keluar setelah
bayi disebut sebagai Adhi Ari - ari, dan Darah disebut sebagai Ponang Getih dan
terakhir Puser. Bayi sebagai pancernya dan sedulur papat sebagai plasmanya.
Ketiadaan salah satu unsur membuat unsur yang lain tiada berguna. seorang
bayi beserta ke empat saudaranya ketika lahir sebenarnya hanya berpindah
tempat. Ia masih berada di dalam rahim, namun bukan lagi rahim ibu biologis
melainkan rahim Ibu Pertiwi. Jadi analog dengan keadaan ketika masih berada di
dalam rahim seorang ibu, maka ketika manusia berada di dalam kandungan
alam semesta yang disebut sebagai Boemi Moeljo ini sedulur papat selalu
menemani. Singkatnya, manusia tidak akan bisa bertahan hidup tanpa adanya
bantuan sedulur papat di dunia ini. Ketika lahir, sedulur papat dan pancernya
disebut sebagai "Sedulur tunggal pertapan, nunggal sak wat, ning beda-beda
panggonane" yang artinya "Saudara satu tubuh, keluar lewat jalan yang sama,
tetapi berbeda - beda tempatnya". Nah sekarang apakah yang berada SATU
TUBUH dengan diri kita, dan fungsinya adalah MENYOKONG kehidupan?.
Ingatkah kisah Damarwulan dan Minakjingga? Ketika Damarwulan ingin
mendapatkan Ratu Ayu Kencanawungu, ia harus memenggal kepala
Minakjingga. Apa maknanya? Kencanawungu berparas AYU, ayu itu RAHAYU,
rahayu itu wilujeng, selamat. Kepala merupakan sumber nafsu. Nafsu diperlukan
dalam kehidupan seorang manusia untuk membuatnya menjadi MANUNGSA
SEJATI, sebenar-benar manusia. Namun apabila diperbudak oleh nafsu maka
hanya akan menimbulkan kesesatan selama hidup di dunia. Maka itu agar
beroleh keselamatan maka harus memenggal nafsu yang sumbernya ada di
kepala anda. Ketika seseorang bersamadhi ia membuka matanya, namun
nampak olehnya seorang gadis yang sangat memesona. Runtuhlah keteguhan
samadhinya karena tergoda akibat MELIHAT sang gadis. Ia mengulang
samadhinya, kini dengan mata terpejam. Namun lamat - lamat ia MENDENGAR
si gadis melantunkan kidung dengan suara merdu bagai buluh perindu. Runtuh
pula samadhinya. Kini ia kembali memulai samadhi. Ia memejamkan mata dan
fokus pada samadhinya, namun ketika sang gadis semakin mendekat maka
TERCIUM bau wangi aroma tubuh si gadis yang semerbak bak bunga melati.
Sang pertapa kembali gentar, betapa samadhinya kini rusak. Sang Pertapa
kembali memulai patrap samadhinya. Ia sudah memejamkan mata sehingga
tidak bisa melihat paras ayu sang gadis. Ia sudah memantapkan tekadnya untuk
tidak merespon suara, ia tiada menghiraukan bebauan yang masuk ke dalam
lubang hidungnya. Sang gadis menjadi semakin dekat dengan sang pertapa,
ketika ia lewat ternyata angin meniup selendang sang gadis sehingga
menyentuh tubuh sang pertapa. Sang pertapa MERASAKAN kain yang halus
selembut sutera dan seketika itu pula rusaklah samadhinya. Kini jelaslah SIAPA
yang berada satu tubuh dengan kita, yang berfungsi menyokong kehidupan kita.
Mereka adalah Indera Penglihat, Indera Pencium, Indera Pendengar, dan Indera
Perasa / Peraba. Indera Penglihat diwakili oleh Mata, Indera Pencium oleh
hidung, Indera Pendengar adalah Telinga, dan Mulut mewakili Indera Perasa /
Peraba. Untuk menjadi MANUNGSA SEJATI, kendalikanlah inderamu,
kendalikanlah nafsumu. Ketika seseorang melihat uang tergeletak di jalan, maka
timbullah nafsu untuk memilikinya. Ketika seseorang mendengar bahwa
tetangganya baru saja membeli televisi plasma 30 inci, maka timbullah nafsu
untuk memiliki pula, ketika niat itu tidak sampai, maka muncullah perasaan iri
dan dengki. Seorang laki - laki membaui harumnya parfum seorang gadis,
kemudian ia terangsang untuk memadu asmara dengan si gadis. Seseorang
yang tidak bisa menahan dirinya, menggunakan lidah dan mulutnya untuk
merasakan minuman dan makanan yang dilarang. Penggunaan Sedulur Papat
untuk hal yang demikian tentu akan runyam jadinya. Ketika seseorang melihat
uang tergeletak di jalan, dan hatinya tergerak untuk mengembalikan kepada
yang berhak. Ketika seseorang mendengar bahwa tetangganya sukses dan itu
menjadikan semangat bagi dirinya untuk meraih kesuksesan pula. Ketika
Seseorang membaui wangi tubuh lawan jenisnya dan ia mampu menahan
gejolak birahinya. Ketika lidah dan mulut memuji kebaikan Sang pencipta. Di
sanalah letak pengendalian nafsu. Ia menghormati Sedulur Papatnya dengan
menunaikan tindakan yang baik dan menjauhi kebobrokan, dan dengan cara
itulah ia merawat mereka. Jadi jelaslah kini bagi mereka yang ingin menyaksikan
siapa itu sedulur papatnya, silakan ambil cermin dan amati serta kenalilah
mereka. MANUNGSA SEJATI adalah ia yang mampu mengendalikan nafsunya.
Sebagai PANCER mampu mengendalikan PLASMA-nya. Falsafah Sedulur
Papat Lima Pancer tidak hanya ada di dalam diri manusia sebagai filosofi dan
jalan hidup namun juga dapat dilihat pada kehidupan sehari - hari. Di Jawa
dikenal satuan minggu yang berisi 5 hari. Minggu yang berisi 5 hari ini biasa
disebut PASARAN. Pasaran atau hari pasaran adalah hari dimana sebuah pasar
dibuka. Biasanya yang menjadi awal adalah Pasar Kliwon yang selalu terletak di
pusat kota / pusat keramaian, dan kemudian dikelilingi oleh 4 daerah lain yang
masing - masing memiliki pasar yang buka pada pasaran Wage, Pon, Pahing,
dan Legi. Pada pasaran Kliwon, maka pedagang dan pembeli akan berduyun
duyun menuju pasar kliwon. dan pada hari - hari berikutnya mereka akan
mengunjungi pasar yang lain secara bergantian. Dengan demikian di masyarakat
terdapat perputaran arus uang yang adil antara PUSAT dan DAERAH, sebab
masing - masing mendapatkan giliran untuk menyelenggarakan perekonomian.
Pusat tidak melulu merampas hak - hak daerah, dan karena hak - haknya
terpenuhi maka daerah-pun tidak akan berniat melepaskan diri dari kewenangan
pusat. Lihatlah keadaan Nusantara masa kini, betapa arus uang hanya beredar
di pusat dan di daerah - daerah banyak sekali pembangunan yang terbengkelai.
Pada akibatnya hal ini menjadikan banyak daerah yang ingin melepaskan diri.
Mari kita perhatikan tipikal bentuk - bentuk kota di Jawa. Di tengah - tengah ada
ALUN ALUN, kemudian disana ada KERATON, PENJARA, PASAR, dan MASJID
yang mengelilinginya. Alun - alun atau tanah lapang adalah tempat RAKYAT
BERKUMPUL. Keraton adalah tempat pemerintahan, Penjara adalah tempat
pelaksanaan hukuman, pasar tempat pelaksanaan perekonomian, dan masjid
sebagai sarana pendidikan dan peribadatan. Jadi jelas orang Jawa selalu
berorientasi pada RAKYAT yang disimbolkan dengan Alun - alun yang terletak di
tengah-tengah keempat bangunan yang lain itu. Nah semua aktifitas yang
berlangsung di pusat pemerintahan, pendidikan dan peribadatan, perekonomian,
dan penegakan hukum semuanya harus bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Secara vertikal, Pemimpin adalah PANCER dan rakyat adalah PLASMA. Sinergi
keduanya akan membawa kemakmuran bagi negeri yang bersangkutan. Nah
saat ini bagaimana kelakuan pemimpin kita? sudahkah mereka berorientasi
kepada rakyat? sudahkah mereka menjadi PANCER yang dapat diandalkan?
Sudahkah aktifitas pemerintahan, pendidikan dan peribadatan, kegiatan
ekonomi, dan penegakan hukum dijalankan demi kemakmuran rakyat? Tanyalah
kepada rumput yang bergoyang... Ketika PANCER dan PLASMA bersinergi
dengan sangat harmonis, maka terwujudlah apa yang disebut dengan
MANUNGGALING KAWULA GUSTI. Manunggal bukanlah fusi. Manunggal
adalah sinergi. Ibarat Sesotya lan embane, Permata dan cincinnya. Dalam
sebuah cincin permata, masih bisa dilihat mana yang permata dan mana yang
emas. Namun ketika sudah menjadi cincin maka keduanya bersinergi menjadi
perhiasan yang bisa mempercantik diri seorang manusia. Jadi manunggaling
kawula gusti adalah keadaan dimana DIRI PRIBADI menjelma menjadi sosok
yang SADAR akan fungsi dan peranannya. Orang tua bila berada di rumah
menjadi PANCER sebuah keluarga dimana PLASMA-nya adalah putra - putrinya.
Namun ketika Si Ayah bekerja di kantor, maka ia berubah menjadi PLASMA dan
pancernya adalah DIREKSI perusahaan yang bersangkutan. Ketika berada di
rumah Ayah berhak mendapatkan kehormatan, namun saat berada di kantor ia
harus memberikan penghormatan. Demikianlah wujud dari manunggalnya
kawula lan Gusti. Kita sebagai makhluk harus TAHU DIRI dan bisa
menempatkan diri kita sesuai dengan bakat dan keahlian yang kita miliki. Jangan
menghakimi dan mudah melaknat orang lain karena kita BUKAN Gusti. Gusti-lah
yang berhak menjadi hakim penentu kebenaran yang hakiki. Maka dari itu
hiduplah sesuai dengan petunjuk Gusti, dan petunjuk Gusti itu sesungguhnya
ada di mana - mana, karena kemanapun kita menoleh apabila kita sudah secara
KONSTAN SADAR akan keberadaan GUSTI, maka kemanapun kita
menghadapkan wajah kita di situlah kita menatap wajah Gusti. Jadi
Manunggaling Kawula Gusti bukan berarti bersatunya Makhluk dengan
Penciptanya, melainkan SINERGI diantara keduanya yang melahirkan
keteraturan dan keharmonisan di alam raya ini. Warangka manjing curiga, curiga
manjing warangka. Bagaimana bentuk sinerginya? maka kita kembali lagi ke
bagian awal tulisan ini yaitu dengan jalan menyadari akan hubungan antara
manusia dengan penciptanya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia
dengan yang lain di alam semesta ini. Sumber : : http://masjensi.blogspot.com
Sekilas Tentang Shamballa Multidimensional Healing (SMH).
Friday, June 12, 2009, 4:27:01 AM | Teja Buwana
Sekilas Tentang Shamballa Multidimensional Healing (SMH). “SMH bukan hanya
suatu system penyembuhan energi, melainkan juga suatu teknik yang dapat
mempercepat akselerasi kesadaran spiritual manusia“ SMH dibagi atas 4
tingkatan yang langsung dapat dipelajari oleh siapa saja tanpa memerlukan latar
belakang pengetahuan esoteris khusus seperti reiki, prana, dll. SMH I & SMH II
merupakan tingkat praktisi (practitioner), SMH III merupakan tingkat Master, dan
SMH IV adalah tingkatan Master Teacher. SMH adalah teknik energi esoteris
yang diperkenalkan pertama kalinya oleh Dr. John Armitage, seorang pakar
meditasi dan teknik merkaba yang berasal dari Inggris. SMH diperolehnya dari
channeling terhadap Ascended Master yang dikenal dengan nama St. Germain.
St. Germaine pertama kali menciptakan teknik SMH ini pada era Atlantis kuno,
dan ketika benua Atlantis tenggelam, ia diketahui pindah ke kawasan Tibet lama,
dimana akhirnya teknik SMH ini disempurnakan. SMH erat kaitannya dengan
fenomena Ascended Master, dimana dalam teknik SMH akan dipelajari
bagaimana bekerja dengan para Ascended Master sebagai bagian alam semesta
yang bersifat multidimensional. Manfaat SMH Mempercepat akselerasi
kesadaran spiritual, ketentraman jiwa/tubuh/pikiran Meningkatkan “Inner Beauty”,
karisma, dan kepercayaan diri. Mendorong proses anti-aging, pembersihan diri
dan menarik kemakmuran. Mempermudah penggalian kemampuan spiritual
seperti intuisi, indra keenam, telepati, dll. Memperkuat lapisan tubuh terhadap
energi negatif termasuk santet, guna-guna, dll. Menaikkan kekebalan tubuh dan
penyembuhan terhadap serangan penyakit ringan maupun kronis.
SPIRITUALITAS "NEW AGE"
Saturday, May 30, 2009, 8:50:18 AM | Teja Buwana
New Age) adalah suatu gerakan spiritual yang merupakan gabungan dari
spiritualitas Timur, Buddhisme, Pantheisme, Hinduisme, Mistisisme,
Orientalisme, dll, yang mengemukakan suatu filsafat yang berpusatkan kepada
manusia. Gerakan Zaman Baru mengajarkan bahwa manusia adalah “allah”.
Gerakan ini mulai dikembangkan dengan munculnya latihan-latihan
pengembangan diri, seminar pengembangan diri, yoga, waitankung, seminar
kata-kata motivasi, dll. (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
SALAH satu trend ekspresif zaman post modern adalah ditandainya pergolakan
sosial yang cepat. Namun, kita tak sekadar bersaksi atas progresivitas
pergolakan sosial, kecanggihan teknologi post industri abad ini. Di sisi lain, kita
dihadapkan seribu krisis kemanusiaan: mulai dari krisis diri, alienasi, depresi,
stres, keretakan institusi keluarga, sampai beragam penyakit psikologis lainnya.
Justru, jenis penyakit yang mengguncang diri kita di tengah situasi krisis dewasa
ini, tak lain adalah hadirnya perasaan ketidaknyamanan psikologis. Ada
semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri kita di tengah situasi
krisis, sarat teror, konflik, dan kekerasan, sampai pembunuhan yang menghiasi
keseharian hidup kita. Di Barat, khususnya Amerika Utara, situasi krisis serupa,
justru diiringi meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a
growing distrust of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti
dislogankan futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam
Megatrend 2000, Spirituality Yes, Organized Religion No!. Ada penolakan
terhadap agama formal yang memiliki gejala umumnya sama saja: eksklusif dan
dogmatis, sambil menengok ke arah spiritualitas baru lintas agama, yang
menurut Majalah Newsweek (28 November 1994), jumlahnya fantastis: 58
persen responden dalam suatu survei, menunjukkan kegairahannya pada
kebutuhan spiritualitas baru. Inilah model generasi baru yang gandrung pada
Spiritualitas New Age. Russel Chandler, mantan jurnalis agama pada Los
Angeles Times, mengklaim, 40 persen orang Amerika percaya pada panteisme
(kepercayaan yang berprinsip pada all is God and God is all), 36 persen percaya
pada astrologi sebagai scientific, tepatnya percaya pada astrologi sebagai
metode peramalan masa depan (a method of foretelling the future), dan 25
persen percaya pada reinkarnasi (lih. Chadler, Understanding the New Age,
1988, hlm 20, 130-33). Nah, fenomena keagamaan inilah yang menarik dipotret.
Apa itu gerakan New Age berikut ciri khasnya? Bagaimana model praktik spiritual
New Age di tengah eksistensi agama-agama besar selama ini? Benarkah
spiritualitas New Age tampil sebagai alternatif keberagaman dewasa ini?
Gerakan "New Age" Secara literal, New Age Movement adalah gerakan zaman
baru, yang oleh Rederic dan Mery Ann Brussat disebut sebagai "zaman
kemelekan spiritual". Ada semacam arus besar kebangkitan spiritual yang
melanda generasi baru dewasa ini, terutama di Amerika, Inggris, Jerman, Italia,
Selandia Baru, dan seterusnya. Ekspresinya beragam; mulai dari cult, sect, New
Thought, New Religious Movement, Human Potentials Movement, The Holistic
Health Movement, sampai New Age Movement. Namun, benang merahnya
hampir sama: memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati. Hasrat spiritual
inilah yang menjadi ciri khas New Agers (istilah New Agers ini relatif lebih lazim
dipakai dalam konteks gerakan New Age, dibanding misalnya istilah New Age
Adherents maupun New Age Believers). Sebagai a new revivalist religious
impulse directed toward the esoteric/metaphysical/spiritualism..., hasrat spiritual
New Agers yang secara praktis adalah a free-flowing spiritual movement,
terartikulasi ke berbagai manuskrip metafisika-spiritualitas (Manuskrip Celestine,
baik The Celestine Prophecy maupun The Celestine Vision, Sophia Perennis
yang menjadi filsafatnya New Agers, paradigma The Tao of... yang sangat
ekspresif menjadi trend penerbitan judul buku-buku ilmiah dan populer, The
Aquarian Conspiracy yang menjadi buku pegangan New Agers, hingga
merambah ke "pendidikan spiritual" dan bahkan klinik-klinik spiritual dengan
beragam variasinya. Sebagaimana disinggung sepintas oleh Naisbitt dalam
Megatrend 2000, In turbulent times, in times of great change, people head for the
two extremes: fundamentalism and personal, spiritual experience... With no
membership lists of even a coherent philosophy or dogma, it is difficult to define
or measure the unorganized New Age movement. But in every major U.S. and
European city, thousands who seek insight and personal growth cluster around a
metaphysical bookstore, a spiritual teacher, or and education center. Oleh karena
itu, seperti sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan adalah adanya gerakan
masif dari generasi New Age yang selalu menyebut-nyebut dirinya sebagai
flower generations, berkiblat pada mainstream spiritualitas, mulai dari kegemaran
menyelami Manuskrip Celestine sampai mengalami apa yang menjadi tradisi
spiritual New Agers sebagai spiritual gathering dengan berbagai variasi mistik-
spiritualnya. Gerakan yang dimulai di Inggris tahun 1960-an ini, antara lain
dipelopori Light Groups, Findhorm Community, Wrekin Trust. Ia menjadi sangat
cepat mendunia berskala internasional, terutama setelah diselenggarakan
seminar New Age oleh Association for Research and Enlightenment di Amerika
Utara, dan diterbitkannya East West Journal tahun 1971 yang dikenal luas
sebagai jurnalnya New Agers. Yang agak sensasional dari gerakan New Age ini
adalah setelah disiarkan via televisi secara miniseri Shirley MacLaine Out on a
Limb, bulan Januari 1987. Spiritualitas "New Agers" Ekspansi New Age menjadi
populer dan fenomenal pada dasawarsa 1970-an sebagai protes keras atas
kegagalan proyek Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual
dan petunjuk etis menatap masa depan. Pertama, di lingkungan gereja Kristen,
misalnya, kita sulit menghapus ingatan masa lalu saat Gereja menerapkan
doktrin extra ecclesiam nulla salus. No salvation outside the Church. Tidak ada
keselamatan di luar Gereja. Bukankah ini cermin watak Gereja yang sarat claim
of salvation? Bukankah claim of salvation tidak saja mengakibatkan sikap
menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi juga berimplikasi serius
terhadap konflik atas nama agama dan Tuhan. Karena itu, "keselamatan" itu
tidaklah penting di kalangan New Age. Sebab, New Agers lebih percaya prinsip
Enlightenment, di mana muncul kesadaran spiritualitas di kalangan New Age
bahwa manusia dapat tercerahkan, menjadi sacred self, karena pada
kenyataannya manusia adalah divine secara intrinsik (persis konsep fithrah
dalam Islam). Paham inilah yang akhirnya menjadikan "pantheisme" begitu
fenomenal di kalangan New Age. Kedua, protes New Agers atas hilangnya
kesadaran etis untuk menatap masa depan. Oleh karena itu, salah satu
manuskrip terpenting yang menjadi wawasan etis New Agers dalam menatap
masa depan adalah The Art of Happiness, New Ethic for the Milllenium karya
Dalai Lama. Sebagai alternatif dari protesnya terhadap kegagalan gereja Kristen
dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap
masa depan, maka New Agers menoleh pada spiritualitas baru lintas agama.
Kita tahu, betapa New Agers begitu kuat berpegang pada prinsip spirituality: the
heart of religion. Oleh karena itu, New Agers sangat menghayati betul arti
pentingnya monisme (segala sesuatu yang ada, merupakan derivasi dari sumber
tunggal, divine energy), pantheisme (all is God and God is all, menekankan
kesucian individu, dan karenanya proses pencarian Tuhan tidaklah melalui Teks
Suci, tetapi justru melalui diri sendiri, karena God within our self), reinkarnasi
(setelah kematian, manusia terlahirkan kembali, dan hidup dalam alam
kehidupan lain sebagai manusia. Mirip konsep transmigration of the soul dalam
Hindu), dan seterusnya, seperti astrologi, channeling, pantheisme, tradisi
Hinduisme, tradisi Gnostis, Neo-Paganisme, theosopi, karma, crystal, meditasi,
dan seterusnya. Tradisi spiritual New Agers lintas agama ini, tidak saja dapat
mengobati kegersangan spiritual yang sekian lama hampa dari lingkungan
agama formal, tetapi juga memberi muara kepada New Ages ke arah
terwujudnya Universal Religion. Agama Universal, di mana ada proses awal
kesadaran akan all is God and God is all yang menjadi sandaran doktrin
Pantheisme, tetapi kemudian bergeser ke arah kesadaran spiritualitas New Age
yang meyakini bahwa "hanya ada Satu Realitas yang eksis". Semua agama,
begitu keyakinan New Agers, hanyalah sekadar jalan-jalan menuju kepada Satu
Realitas yang menjadi ultimate reality dari semua pejalan spiritual (agama-
agama). Sumber:
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0006/30/opini/spir04.htm
FILSAFAT : PEMAHAMAN ABSOLUT
Saturday, May 30, 2009, 8:14:26 AM | Lingga Buana
Seekor gajah dibawa ke sekelompok orang buta yang belum pernah bertemu
binatang semacam itu. Yang satu meraba kakinya dan mengatakan bahwa gajah
adalah tiang raksasa yang hidup. yang lin meraba belalainya dan menyebutkan
gajah sebagai ular raksasa. yang lain meraba gadingnya dan menganggap gajah
adalah semacam bajak raksasa yang sangat tajam, dan seterusnya. Kemudian
mereka bertengkar, masing-masing merasa pendapatnya yang paling benar, dan
pendapat orang lain salah. Tidak ada satupun pendapat mereka yang benar
mutlak, dan tak ada satupun yang salah. Kebenaran mutlak, atau satu
kebenaran untuk semua, tidak dapat dicapai karena gerakan konstan dari
keadaan orang yang mengatakannya, kepada siapa, kapan, dimana, mengapa,
dan bagaimana hal itu diatakan. Yang ditegaskan oleh masing-masing orang
buta tersebut adalah sudut pandang yang menggambarkan bentuk seekora
gajah, bukan kebenaran absolut. Setiap orang belajar melihat berbagai hal
melalui pemikiran dan nalurinya masing-masing. Kehidupannya di masa lalu
membantu mereka untuk menentukan pendapat mereka terhadap berbagai
masalah dan obyek yang mereka temui. Karena masing-masing individu memiliki
pemikiran dan naluri, maka persepsi yang ditemui merupakan kebenaran, bukan
merupakan kesalahan. Hidup tidak hanya mengandung satu kebenaran untuk
suatu ide atau obyek tertentu, namun kita dapat menemukan banyak kebenaran
dalam persepsi seseorang. Seseorang tidak seharusnya membuktikan
kebenaran bahwa satu obyek mengandung arti yang benar, namun seharusnya
membangun konsepsi di sekeliling obyek. Usaha untuk menentukan sesuatu
kebenaran merupakan hal yang sulit, bahkan mustahil. Persepsi kita dalam
menilai suatu realitas mungkin berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Satu
hal yang mungkin benar untuk seseorang bisa jadi berbeda untuk orang lain.
Karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai hidup, sulit untuk
menimbang kandungan kebenaran sebuah konsep. Setiap pendapat dibentuk
sebagai satu kebenaran untuk individu yang mengasumsikannya. Variasi dari
berbagai konsep mungkin baik untuk dipertimbangkan kebenarannya. Disinilah
orang membangun pemahaman yang lebih mendalam untuk suatu obyek.
Kebenaran dapat diraih melalui konsep dan bukan melalui obyek itu sendiri.
karena berbagai individu memiliki persepsi yang berbeda, mereka memiliki
berbagai kebenaran untuk dipertimbangkan atau tidak dipertimbangkan. Sebagai
contoh, mustahil untuk mempertimbangkan, benar atau salah, memotong pohon
bisa merupakan hal yang 'baik' atau 'buruk'. Seseorang mungkin memiliki konsep
bahwa memotong pohon menghancurkan rumah untuk burung dan binatang-
binatang lain. Yang lain beranggapan bahwa memotong pohon merupakan
sesuatu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam
membangun rumah. Hanya karena ada beberapa sudut pandang untuk kasus ini,
tidak berarti bahwa pasti ada pernyataan yang salah. Pohon dapat digunakan
untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, kertas, sampai perahu, dan
tidak ada yang salah dari pandangan ini. Pohon akan tetap berdiri sebagai
pohon, tapi nilai dari pohon tersebut dapat berbeda, tergantung siapa yang
menggunakannya. Konsep tentang Tuhan atau ketiadaan Tuhan, adalah
masalah lain yang sering ingin dibuktikan. Seorang filsuf terkenal, Soren
Kierkegaard menyatakan, "Jika TUhan tidak ada, akan sangat mustahil untuk
bisa membuktikannya; dan jika Ia memang benar-benar ada, sangatlah tolol
untuk mencoba membuktikannya." Pembuktian keberadaan atau
ketidakberadaan TUhan hanya menghasilkan alasan untuk percaya, bukan bukti
nyata keberadaan Tuhan. Kierkegaard juga menegaskan, "... antara Tuhan dan
KaryaNya terdapat relasi yang absolut: Tuhan bukanlah sebuah nama, namun
sebuah konsep." (Kierkegaard, 72). Relasi antara manusi dengan Tuhan adalah
sebuah konsep. Seseorang yang percaya akan TUhan, tidak dapat membuktikan
keberadaanNya melalui relasi pribadinya dengan Tuhan. Kierkegaard
menambahkan lagi, "Karya Tuhan adalah sesuatu yang hanya dapat
dilakukanNya." Kita tidak memiliki dasar untuk membuktikan karya Tuhan. Kita
juga tidak tahu karya macam apa yang dilakukan TUhan pada masing-masing
individu. Namun, beberapa kelompok religius telah membuat kesalahan dengan
memaksakan kepercayaannya pada individu-individu yang berbeda. Beberapa
dari mereka menyatkaan bahwa kepercayaan mereka adalah satu-satunya
kepercayaan yang "benar". Hal ini tidak dapat dibenarkan. Ini mungkin
merupakan alasan mengapa agama atau kepercayaan menjadi faktor terbesar
dalam perang-perang yang pernah terjadi. Usaha untuk mencari pengikut satu
kebenaran, tidak dilakukan dengan membebaskan individu atau masyarakat
untuk mengikuti hal yang mereka anggap benar, namun malah membuat orang
frustasi dan bermusuhan. Semua konsep sangatlah dinamis, kebenaran bagi
seseorang yang mempercayai mungkin nampak ironis bagi dirinya. Seseorang
mungkin percaya bahwa televisi mendukung kekerasan pada anak-anak, dengan
mengekspos penggunaan kata-kata kotor dan kebodohan yang dilakukan. Orang
lain mungkin percaya bahwa televisi merupakan alat pendidik karena
mengekspos masalah-masalah tersebut dengan tujuan untuk dipahami. Meski
keduanya mungkin sangat benar bagi masing-masing orang yang
menyatakannya, dua masalah ini sangat kontradiktif. Ketidaksepahaman tidak
membuat pernyataan yang lain salah, namun membentuk kebenaran yang lain.
Jika masing-masing orang buta menghabiskan waktu lebih banyak untuk
memahami kebenaran lain yang ada dibanding membuktikan pendapatnya yang
paling benar, mereka mungkin menemukan bahwa gajah adalah sebuah tiang
raksasa yang hidup, ular raksasa, atau bajak yang sangat tajam pada saat yang
sama, atau pada saat yang berbeda-beda. Mungkin juga mereka menyimpulkan
gajah bukan salah satu dari gambaran yang telah mereka sebutkan. Opini dari
orang-orang buta itu mungkin akan bergerak konstan, karena penerimaan dari
berbagai sudut pandang yang saat ini ada, atau mungkin ada di masa yang akan
datang. Meski gajah itu tetap sama, opini tentangnya mungkin akan berubah dan
beradaptasi. Bowie, Lee G., Michaels, Meredith W., Solomon, Robert C. Twenty
Questions "An Introduction to Philosophy. Harcourt Brace & Company, 3rd ed.
Kierkegaard 72- 75 Diterjemahkan dari: Cyberessays
Pesan Syeh Siti Jenar
Friday, May 29, 2009, 12:57:21 PM | Lingga Buana
Pesan Syeh Siti Jenar Hidup itu bersifat baru dilengkapi pancaindra sebagai
barang pinjaman bila diminta pemiliknya kembali menjadi tanah dan membusuk
hancur dan bersifat najis karena sifatnya itu Pancaindra tak dapat dipakai
sebagai pedoman Budi, pikiran, angan-angan, kesadaran satu wujud dengan
akal bisa menjadi gila, sedih, bingung lupa tidur dan sering tak jujur ajak dengki
terhadap sesama ‘tuk kebahagiaan sendiri timbulkan jahat dan sombong ke
lembah nista nodai nama dan citra Manusia yang hakiki adalah wujud hak,
kemandirian dan kodrat berdiri dengan sendirinya sukma menjelma sebagai
hamba hamba menjelma pada sukma napas sirna menuju ketiadaan badan
kembali sebagai tanah Adanya kehidupan itu karena pribadi ditetapkan oleh
pribadi ditetapkan oleh kehendak nyata hidup tanpa sukma tiada merasakan
sakit atau lelah suka duka pun musnah berdiri sendiri menurut karsanya hidup
sesuai kehendaknya
Ibn Arabi
Friday, May 29, 2009, 12:38:02 PM | Lingga Buana
Ibn Arabi Muhiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad
ibn Abdullah Hatimi at-Ta'i (28 Juli 1165-16 November 1240) atau lebih dikenal
sebagai Ibnu Arabi adalah seorang sufi terkenal dalam perkembangan tasawuf di
dunia Islam. 1 Masa muda 2 Pandangan Ibnu Arabi 3 Pengaruh Ibnu Arabi 4
Karya-karya Masa muda Ibnu Arabi dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1165 di Al-
Andalus, Spanyol. Pada usianya yang ke 8, bersama keluarganya, ia pindah ke
Sevilla. Pada tahun 1198, ia pergi ke Fez, Maroko. Pandangan Ibnu Arabi Ibnu
Arabi sangat dikenal dengan konsep Wihdatul Wujud-nya. Ia mengajarkan
bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain
Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya. Keberadaan makhluk tergantung
pada keberadaan Tuhan, atau berasal dari wujud ilahiah. Manusia yang paling
sempurna adalah perwujudan penampakan diri Tuhan yang paling sempurna,
menurutnya. Pengaruh Ibnu Arabi Pengaruh Ibnu Arabi dalam bidang tasawuf,
khususnya tasawuf filosofis, sangat luar biasa. Gagasan Ibnu Arabi menyebar
luas dan memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya. Di Indonesia, paham
wihdat al-wujud Ibnu arabi berpengaruh besar. Terbukti dengan banyak ulama
Indonesia yang memakai prinsip wihdat al-wujud, diantaranya: Hamzah Fansuri,
Syamsudin as-Sumatrani dan Abdus Samad al-Palimbani. Karya-karya Ibnu
Arabi menghasilkan banyak karya, sejumlah 300 buku. Diantara buku-buku itu,
yang dikenal adalah Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah juga Tarjuman
al-Asywaq.futuhat adalah karya besar yg menyingkap ilmu gaibul gaib uluhiyat &
rububiyyat yang sangat dalam sesuai dengan keterbukaan sang syech dari Yang
Haq berhubungan dengan permohonan sang syech ketika di Makkah Ibn Arabi :
Sufi metafisika From Wikipedia, the free encyclopedia (Dialihkan dari Wahdat-ul-
Wujood) Ide utama dalam metafisika Sufi telah dikelilingi konsep Wahdat atau
"Kesatuan". Dua Sufi filosofi berlaku pada topik ini kontroversial. Wahdat-ul-
Wujood secara harfiah berarti kesatuan penciptaan. Wahdat-ul-Shuhud
(Apparentism, atau Kesatuan dari Saksi), di sisi lain, berpendapat bahwa Tuhan
dan ciptaan adalah sepenuhnya terpisah. Beberapa Islam menyatakan bahwa
perdamaian ada perbedaan antara dua filosofi berbeda hanya dalam semantik
dan bahwa seluruh perdebatan hanyalah sebuah koleksi "lisan kontroversi yang
telah terjadi karena ambiguitas bahasa.. Namun demikian, konsep hubungan
antara Tuhan dan alam semesta yang masih aktif di antara keduanya perdebatan
antara Sufis dan Sufis Sufi dan non-muslim. Wahdat-ul-Wujood Wahdat-ul-
Wujood atau Wahdat al-Wajud (Arab: ‫ )وحدة الوجود‬the "Unity of Being" adalah Sufi
filosofi menekankan bahwa 'tidak ada benar adanya kecuali Ultimate Kebenaran
(Allah)'. Atau dalam kata-kata lain yang satu-satunya kebenaran di dalam alam
semesta adalah Tuhan, dan bahwa segala sesuatu ada di dalam Allah saja.
Segala ciptaan emerge dari `Adim (‫ عدم‬non-eksistensi) untuk wujood
(keberadaan) out of his pemikiran saja. Oleh karena itu keberadaan Allah adalah
satu-satunya kebenaran (Haqq), dan konsep yang terpisah menciptakan alam
semesta adalah falshood. Arabic: ( Batil ). Arab: (Batil). Ibnu Arabi yang paling
sering ciri Islam dalam teks sebagai pencipta dari doktrin wahdat al-Wujud,
bagaimanapun, ini adalah ekspresi tidak ditemukan dalam karya-karyanya.
Meskipun dia sering membuat pernyataan bahwa perkiraan itu, tidak dapat
menyatakan bahwa "keesaan dari Menjadi" adalah deskripsi yang cukup
ontologi, sejak ia affirms the manyness kenyataan "sama dengan semangat. [1]
Dalam pandangannya, Wujud adalah unknowable tanah dan tidak dapat diakses
dari semua yang ada.. Tuhan sendiri adalah benar Wujud, sementara segala
sesuatu di nonexistence diam, begitu pula Wujud sendiri adalah nondelimited
(mutlaq), sedangkan yang lainnya adalah Bayangan, dibatasi, dan constricted.
Wujud adalah mutlak, tak terbatas, nondelimited kenyataan Tuhan, sedangkan
yang lainnya tetap relatif, terbatas, dan delimited. [2] Sejak Wujud adalah
nondelimited, adalah berbeda dari yang lainnya. Apapun yang ada dan dapat
diketahui atau tergenggam adalah pembatasan dan definisi, sebuah kesesakan
yang tidak terbatas, yang terbatas objek yang dapat diakses terbatas subjek.
Dengan cara yang sama, Wujud dari kesadaran diri adalah nondelimited,
sementara setiap lainnya adalah kesadaran dan terpaksa dibatasi. Tetapi kita
harus berhati-hati dalam asserting Wujud dari nondelimitation. Ini tidak harus
dipahami untuk berarti Wujud berbeda dan hanya berbeda dari setiap
pembatasan. Shaykh yang cepat untuk keluar dari Wujud yang nondelimitation
tuntutan yang dapat menganggap setiap pembatasan.. Wujud jika tidak dapat
menjadi delimited, akan dibatasi oleh nondelimitation sendiri. Dengan demikian
"Dia memiliki nondelimitation dalam penetapan batas" Atau, "Allah memiliki
nondelimited Wujud, namun tidak ada pembatasan pembatasan mencegah.
Sebaliknya, Ia memiliki semua delimitations, jadi Dia adalah penetapan batas
nondelimited, karena tidak ada pembatasan satu daripada yang lain melalui
peraturan-Nya Oleh karena itu .... tidak ada yang dapat diberikan kepada-Nya
dalam preferensi untuk hal lain ". Wujud harus memiliki kekuatan asumsi setiap
pembatasan pada sakit menjadi terbatas delimitations oleh mereka yang tidak
dapat menganggap. Pada saat yang sama, ia transcends formulir yang menjadi
delimited dan mereka tetap disentuh oleh kendala. [2] Hanya Dia yang memiliki
Berada dalam diriNya (Wujud dhâtî) dan yang menjadi inti adalah sangat Nya
(wujûduhu 'ayn dhâtihi), ciri nama Menjadi. Tuhan hanya bisa seperti itu. [3] Pada
tingkat tertinggi, Wujud adalah mutlak dan nondelimited kenyataan dari Allah,
"Necessary Being" (Wajib al-Wujud) yang tidak bisa tidak ada. Dalam hal ini,
yang Essence designates Wujud Allah atau dari Real (dhāt al-haqq), satu-
satunya realitas yang nyata dalam segala hal. Pada tingkat bawah, Wujud yang
merupakan substansi "semuanya selain Allah" (MA Siwa Allah)-yang merupakan
cara Ibnu Arabi dan lain-lain menentukan "kosmos" atau "alam semesta"
(Al-'ālam). Oleh karena itu, dalam arti kedua, istilah yang digunakan sebagai
Wujud steno untuk mengacu kepada seluruh alam semesta, untuk semua yang
ada. Juga dapat digunakan untuk mengacu ke keberadaan dari setiap hal yang
ditemukan di alam semesta. [1] Allah 'nama' (asma ') atau' atribut '(sifat), di sisi
lain, ada hubungan yang dapat discerned antara Essence dan kosmos. Mereka
kepada Tuhan karena ia tahu setiap obyek pengetahuan, tetapi mereka tidak ada
badan atau ontological kualitas, karena ini akan menyiratkan kemajemukan
dalam ketuhanan. [4] Untuk makhluk, Menjadi bukan bagian dari inti mereka.
Jadi makhluk yang tidak memiliki-nya ini, yang tidak pernah menjadi independen
dalam dirinya sendiri. Saya rasa ini, yang dibuat tidak layak dari atribusi yang
Menjadi. Karena hanya Allah, dan sisanya pada kenyataannya kemungkinan
(imkân), yang relatif, mungkin tidak ada. [3] Ibn 'Arabi menggunakan istilah
"cairan" (fayd) untuk menunjukkan perbuatan penciptaan. Tulisannya berisi
kalimat yang menampilkan berbagai tahap penciptaan, hanya sebuah perbedaan
dan tidak logis sebenarnya. Berikut ini memberikan rincian tentang visi-Nya
penciptaan dalam tiga tahapan, yaitu: cairan yang Maha Suci (Al-fayd al-aqdas),
cairan Suci (Al-fayd al-muqaddas) dan terus cairan (al-fayd al-mustamirr). [3]
Wahdat-ul-Wujood menyebar melalui ajaran yang Sufis seperti Qunyawi, Jandi,
Tilimsani, Qayshari, Jami etc [5]. Ini mistik Sufi filosofi ditemukan kondusif tanah
di banyak negara Asia, karena kebanyakan orang-orang kudus dan berdedikasi
sages menjadi murid-Wahdat-ul-Wujood. Hal ini juga terkait dengan Hamah Ust
(Persia berarti "Dia adalah satu-satunya") filosofi di Asia Selatan. Sachal
Sarmast dan Bulleh Shah dua Sufi Poets dari Pakistan, juga bernafsu
pengikutnya dari Wahdat-ul-Wujood. Hari ini, beberapa Sufi Orders, terutama
yang Bektashi sekte dan non-tradisional mazhab dari Universal Sufism,
menempatkan banyak penekanan pada konsep wahdat-ul-wujood. Pantheisme,
Panentheism, dan Wahdat-ul-wujood Dalam Bahasa Inggris kata Pantheisme
berarti Semua adalah Allah [6] sedangkan Arab kata wahdat ul-wujood
menekankan bahwa hanya ada satu wujud dan yang satu ini adalah makhluk
Allah. Namun, wahdat ul-wujood mungkin lebih dekat ke panentheism, karena ia
menyatakan bahwa sementara Universe merupakan bagian dari Tuhan Allah
atau pikiran, Allah masih lebih besar dari penciptaan-Nya. Tashkeek Menurut
sekolah ini, tidak hanya ada gradasi dari existents yang berdiri di begitu banyak
rantai yang hirarkis (maratib al-Wujud) dari lantai (farsh) ke takhta ilahi (arsh),
tetapi dari setiap wujud Wujud maahiya tidak tetapi nilai satu-satunya Wujud
yang nyata dari sumber adalah Allah, yang mutlak (al-Wujud al-mutlaq). Apakah
Wujud dari beberapa yang berbeda existents Wujud tetapi tidak berbeda dalam
derajat kekuatan & kelemahan. Alam semesta adalah sesuatu yang berbeda
tetapi tingkat kekuatan & kelemahan dari Wujud, mulai dari tingkat intens Wujud
dari arch-malaikat realitas, ke redup Wujud dari debu rendah dari adam yang
dibuat. [7] Criticism dari konsep Beberapa umat Islam, termasuk kedua Sufis dan
Salafis, membuat perbandingan antara wahdat ul-wujood dan Pantheisme,
konsep bahwa semua adalah Allah. Kritik ini telah datang baik dari Salafis dan
dari Sufis juga. [Kutipan diperlukan] Beberapa, bagaimanapun, akan counter
bahwa dua konsep yang berbeda dalam wahdat ul-wujood menyatakan bahwa
Tuhan dan alam semesta tidak sama. [8] Mereka terus keberadaan menjadi
nyata bagi Allah saja dan alam semesta tidak ada pada masing-masing (tanpa
Tuhan). Kritikan Salafi Beberapa Salafis mengkritik konsep wahdat ul-wujood
atas dasar bahwa ia merupakan produk Arab interaksi dengan Hindu filsafat, dan
bukan semata-mata konsep Islam. [Kutipan diperlukan] Lainnya juga mengutip
kesamaan dengan Kabbalah. [Kutipan diperlukan] Kritikan Sufi Beberapa Sufis,
seperti Ahmad Sirhindi (Mujaddid Alif Sani), ada kritik wahdat ul-wujood. Ahmad
Sirhindi menulis tentang sayings semesta yang tidak memiliki keberadaan sendiri
dan merupakan bayangan keberadaan yang diperlukan. Dia juga menulis bahwa
satu harus melihat keberadaan alam semesta dari yang mutlak dan yang mutlak
tidak ada karena keberadaan tetapi karena ia inti. [9] Kesamaan lain
kepercayaan sistem Juga speculated bahwa konsep wahdat ul-wujood dapat
produk di Arab interaksi dengan mistik Hindu dan sastra, terutama dalam
merujuk pada non-dualistic ajaran dari Upanishads, preaches yang sangat mirip
dalam konsep tentang realitas sebagai sebuah ilusi dan satu-satunya yang benar
keberadaan Brahman. Wahdat-ul-Shuhud Wahdat-ul-Shuhud (atau wah-dat-ul-
shuhud, wahdat-ul-shuhud, atau wahdatul shuhud) sering diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris sebagai Apparentism. In Arabic it literally means "unity of
witness", "unity of perception" or "unity of appearance".. Dalam bahasa Arab itu
secara harfiah berarti "kesatuan saksi", "kesatuan persepsi" atau "kesatuan
tampilan" .. Dari orang-orang yang bertentangan dengan doctorine dari wahdat
al-wujood, terdapat orang-orang yang digantikan dengan tiang dari subjek objek,
merumuskan doctorine dari Wahdat ul-shahood. Ajaran/Faham ini telah
dirumuskan oleh `Ala al-Dawlah Simnānī, adalah untuk menarik banyak
pengikutnya di India, termasuk Ahmed Sirhindi yang disediakan beberapa yang
paling banyak diterima dirumuskan ini doctorine di sub-benua India. [5] Menurut
Ahmed Sirhindi's doktrin, setiap pengalaman persatuan antara Allah dan dunia
yang dibuat bersifat subjektif dan hanya terjadi dalam fikiran yang beriman, yang
tidak memiliki tujuan banding di dunia nyata. Shaykh Ahmad terasa
menyebabkan panteisme, yang bertentangan dengan tenets of Sunnite Islam.
[Kutipan diperlukan] Dia menyatakan bahwa Tuhan dan ciptaan tidak sama;
sebaliknya, yang kedua adalah bayangan atau refleksi dari Divines Nama dan
atribut ketika mereka tercermin dalam mirror mereka berlawanan non-makhluk
(a'dam al-mutaqabila). [kutipan diperlukan] Abu Hafs Umar al-Suhrawardi dan
Abd al-Karim-Jili juga proponents dari apparentism. Shah Waliullah tampilan
Wahdat Shah Waliullah dibuat pertama berusaha untuk mendamaikan kedua
(ternyata) kontradiktif dari doktrin wahdat al-Wujud (kesatuan makhluk) dari Ibnu
Arabi dan wahdat al-shuhud (kesatuan di dalam hati nurani) dari Shaykh Ahmad
Sirhindi. Shah Waliullah rapi terselesaikan konflik, panggilan ini perbedaan 'lisan
kontroversi' yang telah terjadi karena ambiguitas bahasa. Jika kami berangkat,
dia mengatakan, semua metafor dan similes digunakan untuk ekspresi ide
samping, yang tampaknya berlawanan dilihat dari dua metaphysicians akan
setuju. Positif hasil Shah Wali Allah reconciliatory upaya telah dua kali lipat: ia
membawa tentang keharmonisan antara kedua melawan kelompok
metaphysicians, dan juga legitimized doktrin wahdat al-Wujud di antara
mutakallimun (theologians), yang sebelumnya tidak pernah siap untuk menerima
ini. Dalam buku Lamahat dan Sata'at, ia membahas tahapan itu tanggap
fakultas, hubungan yang abstrak dengan alam semesta, jiwa yang universal dan
jiwa manusia, setelah kematian, intisari, keajaiban, lingkup manusia, yang jiwa
yang sempurna, agar universal, sumber manifestasi, dan transformasi mistik dari
kualitas untuk kualitas. Ia juga menunjukkan bahwa lama berdiri asumsi bahwa
doktrin Sufi dibagi antara Apparentism dan Kesatuan dari Menjadi seorang
perbedaan ekspresi saja, yang kedua yang dilihat sebagai doktrin yang hanya
kurang-tahap lanjutan dari proyeksi. [10] Menurutnya di seluruh alam semesta ini
juga telah diri (nafs) sebagai perorangan memiliki sendiri, yang disebut Universal
Soul (an-Nafs-ul-Kulliyah). Yang bermacam-macam ragam dari seluruh alam
semesta yang berasal dari itu. Ketika Ibnu Arabi mengatakan bahwa semuanya
adalah Tuhan, sehingga ia berarti Universal Soul. Universal Soul ini, atau Cukup
unfolding Makhluk (Al-Wujud-ul-Munbasait), subsists dengan sendirinya. Ini
keberadaan pervades seluruh alam semesta, baik substansi dan kecelakaan,
dan menerima segala bentuk. It is both immanent and transcendental. Hal ini
sangat baik dan yg tetap ada.. Beyond keberadaan ini (Al-Wujud Al-Munbasit:
Universal Soul) terhadap keberadaan asli (Allah) tidak memiliki akses. Dengan
kata lain, manusia dengan kemajuan berakhir Universal Soul atau Cukup
unfolding Menjadi. Ia tidak dapat memindahkan langkah lebih lanjut. Universal
Soul dan Allah sangat intermingled bahwa mantan sering diambil untuk yang
kedua. " Adapun pertanyaan tentang hubungan yang existencen ini (Al-Wujud-ul-
Munbasit) telah dengan intisari Tuhan itu sendiri. Hubungan ini adalah,
bagaimanapun, hanya dikenal dalam kenyataan (anniyyah: I-ness); kualitasnya
tidak diketahui dan tidak dapat diketahui. Dengan demikian ketika Ibnu Arabi
mengatakan bahwa realitas yang ada hal-hal yang nama dan atribut Universal
Soul (Cukup unfolding Menjadi) pada tahap pengetahuan (Fi Martabat-il-'Ilm,
dalam Divine Consciousness), atau jika Imam Rabbani menegaskan bahwa
realitas yang ada benda yang benar-benar ketiadaan lampu di mana nama-nama
dan atribut Universal Soul (al-Wujud-ul-Munbasit) tercermin adalah hal yang
sama persis. Perbedaan dalam bahasa mereka sangat sedikit sehingga tidak
perlu dipertimbangkan. [11] Referensi ^ a b Imaginal worlds, William
Chiittick(1994), pg.15 ^ a b Imaginal worlds, William Chiittick(1994), pg.53 ^ a b c
Souad Hakim - Unity of Being in Ibn 'Arabî ^ Ibn al-'Arabi, Muhyi al-Din (1164-
1240) ^ a b Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present(2006), pg76 ^ pantheism derives from Greek: πάν ( 'pan' ) = all and θεός
( 'theos' ) = God ^ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present, pg 78 ^ Tehqiq ul Haq fi Kalamat ul Haq a book by Pir Meher Ali Shah ^
Maktoobat Rabbaniyah ^ Shah Wali Allah (Qutb al-Din Ahmad al-Rahim) (1703-
62) ^ G. N. Jalbani, The Teachings of Shah Waliyullah of Delhi, pg98 God
Speaks, The Theme and Purpose of Creation. Meher Baba, Dodd Meade, 1955.
(second edition, p. 280) Further reading Thaqīq al-haqq fi'l kalamat al-haqq a
book by Peer Mahr Ali Shah A Salafi refutation of the concept See alsoShahab
al-Din Suhrawardi (1153 - 1191). Emanationism Illuminationist philosophy Ibn
Arabi External links Letter on Wahdat-ul-Wujud by Ustadha Umm Sahl Wahdatul
Wajood Kiya Hai by Sayyed Ahmad Saeed Kazmi (In Urdu) Index of articles
related to Wahdat-ul-Wujood What is Wahdat al-Wujood Wahdat-al-Wujud and
the politics of polytheism Marefat Allah by Allame Tehrani (In Arabic) Tawhid Elmi
va Eini by Allameh Tabatabaei and Allame Tehrani (In Persian) Wahdat Wujud by
Ruhollah Khomeini(In Persian) Wahdat al-Wujood clarified Wahdat ul-wujud &
Wahdat ush-shahood simplified
Masnawi Jalaludin Rumi (cuplikan)
Friday, May 29, 2009, 11:18:04 AM | Lingga Buana
Jalaludin Rumi was born in 1207 in Balkh in modern Afganistan he lived most of
his life in Konya, Turkey. A brilliant theologian, and one of Persia's greatest poets
he was also a Sufi Master (See: Sufism) who gave spiritual instruction to several
hundered disciples. A great number of these were transcribed and survive today
amidst his vast body of works. SEBERAPA JAUH ENGKAU DATANG!
Sesungguhnya, engkau adalah tanah liat. Dari bentukan mineral, kau menjadi
sayur-sayuran. Dari sayuran, kau menjadi binatang, dan dari binatang ke
manusia. Selama periode ini, manusia tidak tahu ke mana ia telah pergi, tetapi ia
telah ditentukan menempuh perjalanan panjang. Dan engkau harus pergi
melintasi ratusan dunia yang berbeda. JALAN Jalan sudah ditandai. Jika
menyimpang darinya, kau akan binasa. Jika mencoba mengganggu tanda-tanda
jalan tersebut, kau melakukan perbuatan setan. EMPAT LAKI-LAKI DAN
PENERJEMAH Empat orang diberi sekeping uang. Pertama adalah orang
Persia, ia berkata, “Aku akan membeli anggur.” Kedua adalah orang Arab, ia
berkata, “Tidak, karena aku ingin inab.” Ketiga adalah orang Turki, ia berkata,
“Aku tidak ingin inab, aku ingin uzum.” Keempat adalah orang Yunani, ia berkata,
“Aku ingin stafil.” Karena mereka tidak tahu arti nama-nama tersebut, mereka
mulai bertengkar. Mereka memang sudah mendapat informasi, tetapi tanpa
pengetahuan. Orang bijak yang memperhatikan mereka berkata, “Aku tidak
dapat memenuhi semua keinginan kalian, hanya dengan sekeping uang yang
sama. Jika kalian jujur percayalah kepadaku, sekeping uang kalian akan menjadi
empat; dan keempatnya akan menjadi satu.” Mereka pun tahu bahwa
sebenarnya keempatnya dalam bahasa masing-masing, menginginkan benda
yang sama, buah anggur. AKU ADALAH KEHIDUPAN KEKASIHKU Apa yang
dapat aku lakukan, wahai ummat Muslim? Aku tidak mengetahui diriku sendiri.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Majusi, bukan Islam. Bukan dari Timur,
maupun Barat. Bukan dari darat, maupun laut. Bukan dari Sumber Alam, bukan
dari surga yang berputar, Bukan dari bumi, air, udara, maupun api; Bukan dari
singgasana, penjara, eksistensi, maupun makhluk; Bukan dari India, Cina,
Bulgaria, Saqseen; Bukan dari kerajaan Iraq, maupun Khurasan; Bukan dari
dunia kini atau akan datang: surga atau neraka; Bukan dari Adam, istrinya Adam,
taman Surgawi atau Firdaus; Tempatku tidak bertempat, jejakku tidak berjejak.
Baik raga maupun jiwaku: semuanya adalah kehidupan Kekasihku … BURUNG
HANTU DAN ELANG RAJA Seekor elang kerajaan hinggap di dinding
reruntuhan yang dihuni burung hantu. Burung-burung hantu menakutkannya, si
elang berkata, “Bagi kalian tempat ini mungkin tampak makmur, tetapi tempatku
ada di pergelangan tangan raja.” Beberapa burung hantu berteriak kepada
temannya, “Jangan percaya kepadanya! Ia menggunakan tipu muslihat untuk
mencuri rumah kita.” DIMENSI LAIN Dunia tersembunyi memiliki awan dan
hujan, tetapi dalam jenis yang berbeda. Langit dan cahaya mataharinya, juga
berbeda. Ini tampak nyata, hanya untuk orang yang berbudi halus — mereka
yang tidak tertipu oleh kesempurnaan dunia yang semu. MANFAAT
PENGALAMAN Kebenaran yang agung ada pada kita Panas dan dingin, duka
cita dan penderitaan, Ketakutan dan kelemahan dari kekayaan dan raga
Bersama, supaya kepingan kita yang paling dalam Menjadi nyata. KESADARAN
Manusia mungkin berada dalam keadaan gembira, dan manusia lainnya
berusaha untuk menyadarkan. Itu memang usaha yang baik. Namun keadaan ini
mungkin buruk baginya, dan kesadaran mungkin baik baginya. Membangunkan
orang yang tidur, baik atau buruk tergantung siapa yang melakukannya. Jika si
pembangun adalah orang yang memiliki pencapaian tinggi, maka akan
meningkatkan keadaan orang lain. Jika tidak, maka akan memburukkan
kesadaran orang lain. DIA TIDAK DI TEMPAT LAIN Salib dan ummat Kristen,
ujung ke ujung, sudah kuuji. Dia tidak di Salib. Aku pergi ke kuil Hindu, ke
pagoda kuno. Tidak ada tanda apa pun di dalamnya. Menuju ke pegunungan
Herat aku melangkah, dan ke Kandahar Aku memandang. Dia tidak di dataran
tinggi maupun dataran rendah. Dengan tegas, aku pergi ke puncak gunung Kaf
(yang menakjubkan). Di sana cuma ada tempat tinggal (legenda) burung Anqa.
Aku pergi ke Ka’bah di Mekkah. Dia tidak ada di sana. Aku menanyakannya
kepada Avicenna (lbnu Sina) sang filosuf Dia ada di luar jangkauan Avicenna …
Aku melihat ke dalam hatiku sendiri. Di situlah, tempatnya, aku melihat dirinya.
Dia tidak di tempat lain. MEREKA YANG TAHU, TIDAK DAPAT BICARA Kapan
pun Rahasia Pemahaman diajarkan kepada semua orang Bibir-Nya dijahit
melawan pembicaraan tentang Kesadaran. JOHA DAN KEMATIAN Seorang
anak laki-laki menangis dan berteriak di belakang jenazah ayahnya, ia berkata,
“Ayah! Mereka membawamu ke tempat di mana tidak ada pelindung lantai. Di
sana tidak ada cahaya, tidak ada makanan; tidak ada pintu maupun bantuan
tetangga…” Joha, diperingatkan karena penjelasan tampaknya mencukupi,
berteriak kepada ayahnya sendiri: “Orangtua yang dihormati oleh Allah, mereka
diambil ke rumah kami!” KECERDASAN DAN PEMAHAMAN SEJATI
Kecerdasan adalah bayangan dari Kebenaran obyektif Bagaimana bayangan
dapat bersaing dengan cahaya matahari? REALITAS SEJATI Di sini, tidak ada
bukti akademis di dunia; Karena tersembunyi, dan tersembunyi, dan
tersembunyi. JIWA MANUSIA Pergilah lebih tinggi — Lihatlah Jiwa Manusia!
PELEPASAN MENIMBULKAN PEMAHAMAN Wahai Hati! Sampai dalam penjara
muslihat, kau dapat melihat perbedaan antara Ini dan Itu, Karena pelepasan
seketika dari Sumber Tirani; bertahan di luar KAU DAN AKU Nikmati waktu
selagi kita duduk di punjung, Kau dan Aku; Dalam dua bentuk dan dua wajah —
dengan satu jiwa, Kau dan Aku. Warna-warni taman dan nyanyian burung
memberi obat keabadian Seketika kita menuju ke kebun buah-buahan, Kau dan
Aku. Bintang-bintang Surga keluar memandang kita — Kita akan menunjukkan
Bulan pada mereka, Kau dan Aku. Kau dan Aku, dengan tiada ‘Kau’ atau ‘Aku’,
akan menjadi satu melalui rasa kita; Bahagia, aman dari omong-kosong, Kau
dan Aku. Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita — Ketika kita akan
tertawa sedemikian rupa; Kau dan Aku. Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut
sini … Keduanya dalam satu nafas di Iraq, dan di Khurasan — Kau dan Aku.
DUA ALANG-ALANG Dua alang-alang minum dari satu sungai. Satunya palsu,
lainnya tebu. AKAN JADI APA DIRIKU? Aku terus dan terus tumbuh seperti
rumput; Aku telah alami tujuhratus dan tujuhpuluh bentuk. Aku mati dari mineral
dan menjadi sayur-sayuran; Dan dari sayuran Aku mati dan menjadi binatang.
Aku mati dari kebinatangan menjadi manusia. Maka mengapa takut hilang
melalui kematian? Kelak aku akan mati Membawa sayap dan bulu seperti
malaikat: Kemudian melambung lebih tinggi dari malaikat — Apa yang tidak
dapat kau bayangkan. Aku akan menjadi itu. RASUL Rasul adalah mabuk tanpa
anggur: Rasul adalah kenyang tanpa makanan. Rasul adalah terpesona, takjub:
Rasul adalah tidak makan maupun tidur Rasul adalah raja di balik jubah kasar:
Rasul adalah harta benda dalam reruntuhan. Rasul adalah bukan dari angin dan
bumi: Rasul adalah bukan dari api dan air. Rasul adalah laut tanpa pantai: Rasul
adalah hujan mutiara tanpa menalang. Rasul adalah memiliki ratusan bulan dan
langit: Rasul adalah memiliki ratusan cahaya matahari. Rasul adalah bijaksana
melalui Kebenaran: Rasul adalah bukan sarjana karena buku. Rasul adalah
melebihi keyakinan dan kesangsian: Karena Rasul apakah ada ‘dosa’ atau
‘kebaikan’? Rasul berangkat dari Ketiadaan: Rasul telah tiba, benar-benar
berangkat. Rasul adalah, Tersembunyi, Wahai Syamsuddin! Carilah, dan
temukan – Rasul! KEBENARAN Nabi bersabda bahwa Kebenaran telah
dinyatakan: “Aku tidak tersembunyi, tinggi atau rendah Tidak di bumi, langit atau
singgasana. Ini kepastian, wahai kekasih: Aku tersembunyi di kaibu orang yang
beriman. Jika kau mencari aku, carilah di kalbu-kalbu ini.” ILMU PENGETAHUAN
Pengetahuan akan Kebenaran lenyap dalam pengetahuan Sufi. Kapan manusia
akan memahami ucapan ini? DEBU DI ATAS CERMIN Hidup/jiwa seperti cermin
bening; tubuh adalah debu di atasnya. Kecantikan kita tidak terasa, karena kita
berada di bawah debu. TINDAKAN DAN KATA-KATA Aku memberi orang-orang
apa yang mereka inginkan. Aku membawakan sajak karena mereka
menyukainya sebagai hiburan. Di negaraku, orang tidak menyukai puisi. Sudah
lama aku mencari orang yang menginginkan tindakan, tetapi mereka semua
ingin kata-kata. Aku siap menunjukkan tindakan pada kalian; tetapi tidak seorang
pun akan menyikapinya. Maka aku hadirkan padamu — kata-kata.
Ketidakpedulian yang bodoh akhirnya membahayakan, Bagaimanapun hatinya
satu denganmu. KERJA Kerja bukan seperti yang dipikirkan orang. Bukan
sekadar sesuatu yang jika sedang berlangsung, kau dapat melihatnya dari luar.
Seberapa lama kita, di Bumi-dunia, seperti anak-anak Memenuhi lintasan kita
dengan debu dan batu dan serpihan-serpihan? Mari kita tinggalkan dunia dan
terbang ke surga, Mari kita tinggalkan kekanak-kanakan dan menuju ke
kelompok Manusia. RUMAH Jika sepuluh orang ingin memasuki sebuah rumah,
dan hanya sembilan yang menemukan jalan masuk, yang kesepuluh mestinya
tidak mengatakan, “Ini sudah takdir Tuhan.” Ia seharusnya mencari tahu apa
kekurangannya. BURUNG HANTU Hanya burung bersuara merdu yang
dikurung. Burung hantu tidak dimasukkan sangkar UPAYA Ikat dua burung
bersama. Mereka tidak akan dapat terbang, kendati mereka tahu memiliki empat
sayap. PENCARIAN Carilah mutiara, saudaraku, di dalam tempurung; Dan
carilah keahlian diantara manusia di dunia. TUGAS INI Kau mempunyai tugas
untuk dijalankan. Lakukan yang lainnya, lakukan sejumlah kegiatan, isilah
waktumu secara penuh, dan jika kau tidak menjalankan tugas ini, seluruh
waktumu akan sia-sia. KOMUNITAS CINTA Komunitas Cinta tersembunyi
diantara orang banyak; Seperti orang baik dikelilingi orang jahat. SEBUAH BUKU
Tujuan sebuah buku mungkin sebagai petunjuk. Namun kau dapat juga
menggunakannya sebagai bantal; Kendati sasarannya adalah memberi
pengetahuan, petunjuk, keuntungan. TULISAN DI BATU NISAN JALALUDDIN
AR-RUMI Ketika kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati
manusia. TENTANG JALALUDIN RUMI Rumi memang bukan sekadar penyair,
tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru
nomor satu tarekat Maulawiah –sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan
berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar
dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar
tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal
dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam
memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi kelompok yang mengagul-agulkan
akal, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal.
Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat
mereka ingkari dan tidak diakui. Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran
semacam itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan
karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat
yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama
samawi, bisa menjadi goyah. Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam
menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori
kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada
panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal,
sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan
tidak mau pula memanjakannya.” Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu
hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah
meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik
yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal,
yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang
tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat?
Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi. œ PENGARUH
TABRIZ. Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga, ketika berjumpa dengan Rumi
yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal
menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin
itu tidak meleset. Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September
1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad
al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya
dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum
(Roma). Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang
ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya
penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun
rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan
merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa.
Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan
Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun. Sejak itu
Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke
negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur
pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan
terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat
ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan
sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah
Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun. Di samping kepada ayahnya, Rumi
juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan
pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam
(Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut
mengajar pada perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi
menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang
luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika
itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian
menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru
dunia. Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup
tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah
madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama,
ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu.
Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa
dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz. Suatu saat,
seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang
menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing –yakni Syamsi
Tabriz– ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?”
Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu
dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi
berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum
kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat
tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga
berhari-hari. Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu,
“Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil.
Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya
beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru
besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.” Rumi benar-benar tunduk
kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma
celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak
muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya.
Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas
secara diam-diam meninggalkan Konya. Bak remaja ditinggalkan kekasihnya,
saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi
dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam
rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini,
lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan
gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi.
Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari
Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan
dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin
keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya. Demi mengabulkan
permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik
kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan
diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang
kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan
Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke
Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi. Rumi telah menjadi sufi, berkat
pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk
berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan
emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang
dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian
dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-
wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh
Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil
selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang
besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam
jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran
tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel,
legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak
empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa;
merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan
surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syekh Hisamuddin
pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di
Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang
Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan
tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka
untuk mencapai ekstase. œ WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali
kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba
dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka,
Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih
menampakkan kejernihannya. Seorang sahabatnya datang menjenguk dan
mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan
kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap
manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit.”
Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah.
Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak
ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.
from http://www.khamush.com/melayu/
SUN-TZU THE ART OF WARFARE
Friday, May 29, 2009, 11:05:57 AM | Lingga Buana
Sun-Tzu “Dia yang mengenal musuh maupun dirinya sendiri takkan pernah
beresiko dalam seratus pertempuran; Dia yang tidak mengenal musuh tetapi
mengenal dirinya sendiri akan sesekali menang dan sesekali kalah; Dia yang
tidak mengenal musuh ataupun dirinya sendiri akan beresiko dalam setiap
pertempuran.” (Sun-Tzu) Senjata paling ampuh dalam sebuah perang adalah
Strategi, dan banyak jenderal ternyata mengandalkan strategi perangnya pada
buku Seni Berperang karya Sun Tzu, yang ditulis kira-kira 2500 tahun yang
lampau. Berikut Kitab Asli seni berperang Sun Tzu! Terjemahan asli dari bahasa
Tionghoa Judul buku : SUN-TZU THE ART OF WARFARE Penerjemaah bahasa
Inggris : Roger Ames Penerjemaah bahasa Indonesia: Arvin Saputra DRs.
Penerbit : Lucky Publisher, 2002 SENI BERPERANG oleh : Sun Tzu 13 bab
Strategi militer klasik: 1. Kalkulasi 2. Perencanaan 3. Strategi 4. Kekuatan
pertahanan 5. Formasi 6. Kekuatan dan kelemahan 7. Manuver 8. Sembilan
varuiasi 9. Mobilitas 10. Tanah lapang 11. Sembilan situasi klasik 12. Menyerang
dengan api 13. Intelijen Isi Tiap Bab. I. Kalkulasi “Perang adalah urusan vital bagi
negara; jalan menuju kelangsungan hidup atau kehancuran. Oleh karena itu,
mempelajari perang secara seksama adalah suatu keharusan;” Lima hal yang
harus dipertimbangkan dalam mempelajari peperangan : 1. Alasan moral :
keyakinan rakyat dan kepentingan negara untuk tujuan bersama. 2. Alam :
cuaca, iklim, waktu. 3. Situasi : jarak, sifat alami, kondisi fisik. 4. Kepemimpimnan
: kebijaksanaan, kepercayaan diri, keberanian, belas kasihan. 5. Disiplin :
imbalan, ancaman, hukuman, logistik. Tujuh aspek dan fakta kalkulasi : Untuk
memulai perang setidaknya panglima harus memperhatikan beberapa fakta
dilapangan seperti dibawah ini. 1. Siapa yang dapat mempersatukan rakyat dan
angkatan bersenjata 2. Siapa yang memilki komandan yang lebih baik 3. Siapa
yang mampu memanfaatkan iklim dan keadaan suatu daerah? 4. Siapa yang
dapat memberi perintah dan disiplin yang lebih baik? 5. Pasukan mana yang
lebih tangguh? 6. Anggota pasukan mana yang lebih terlatih? 7. Siapa yang
memiliki sistem imbalan dan ancaman hukuman yang lebih adil? Jika kita lebih
mampu memenuhi semua faktor diatas melebihi musuh, maka kemungkinan
menang kita diatas musuh, sangat wajar untuk memulai peperangan. Jika faktor
diatas kertas saja tidak mampu meyakinkan panglima untuk menang bagaimana
dia dapat meyakinkan rakyat dan prajuritnya bahwa mereka semua akan
berperang dan menang! Jika tidak yakin menang untuk apa memulai perang!
Tipu muslihat : perang dipenuhi oleh tipu muslihat dalam bentuk strategi,
siapapun yang tidak mampu berstrategi dan tidak cakap dalam menggunakan
tipu muslihat, tidak akan menang dalam perang apapun. 1. Yang mampu harus
berpura-pura tidak mampu 2. Tampillah seolah-olah tak ada apa-apa padahal
sedang mengaktifkan kekuatan. 3. Bila ingin menyerbu sasaran terdekat, seolah-
olah sedang ingin menyerbu yang lebih jauh. 4. Bila ingin menyerbu daerah yang
lebih jauh , seakan-akan ingin menyerbu daerah yang terdekat. Eksploitasi :
Gunakan negaramu, ekonomimu, tentaramu dan segala daya upayamu untuk
mengalahkan dan melemahkan musuhmu! 1. Pancing musuh dengan umpan
yang kecil, lalu hancurkanlah setelah menyebarkan operselisihan diantara
angkatan bersenjata. 2. Waspada musuh senantiasa siap siaga dan tanpa
kelemahan. 3. Langkah mundur jika musuh kuat 4. Berpura-pura lemah sehingga
musuh dikuasai rasa puas diri. 5. Sebar perselisihan jika kekuatan musuh
bersatu padu. 6. Serang saat musuh tidak siap siaga. Pertimbangan : 1.
Kekuatan dan kelemahan pasukan diri dan musuh 2. Perencanaan yang cermat.
II. Perencanaan Waktu adalah uang : - Perbekalan - Pengeluaran harian Hindari
pertempuaran yang berlarut : - Moral jadi turun - Biaya yang boros - Tidak aman
dan rentan kalah Bertempurlah agar cepat menang Manfaatkalah sumber-
sumber kekuatan musuh : Misal : bekal rampasan musuh - Pancing amarah
musuh - Bangkitkan motivasi untuk membunuh - Rangsang untuk merampas
harta kekuatan musuh Taktik jitu menentukan nasib sebuah bangsa : - Perang
cepat negara aman -Perang berlarut larut, persediaan negara habis, ekonomi
ambruk, motivasi tentara jatuh. III. Strategi Perbandingan jika pasukan kita
berhadapan dengan musuh : Jika pasukan kita 10 : 1 dari musuh= kepung dan
serang Jika pasukan kita 5 : 1 dari musuh= pecahkan dan bagilah musuh lalu
serang Jika pasukan kita 2 : 1 dari musuh= menyerang 2 arah Jika pasukan kita
1 : 1 dari musuh= dahului perang Musuh sedikit lebih besar bertahan. Musuh
lebih besar berkelit dari serangan. Musuh jauh lebih besar, mundur.
Kepemimpinan: 1. Panglima bagaikan pilar negara 2. Cakap berperang menjadi
negara kuat 3. Bukan pejuang yang baik negara menjadi lemah Penguasa akan
membahayakan angkatan bersenjata : 1. Memerintahkan maju / mundur saat
waktu yang tidak tepat 2. Tak bisa memperlakukan kemiliteran tanpa tahu militer
itu sendiri 3. Mengambil alih komando tanpa paham strategi militer. Lima cara
untuk menang : 1. Tahu saat perang dan tidak berperang 2. Tahu memanfaatkan
kekuatan pasukan 3. Rebut simpati dan dukungan rakyat 4. Tunggu untuk
antisipasi yang belum siap 5. Perwira cakap menjadi komandan yang tanpa
campur tangan pemerintah. Mengenal lawan dan diri sendiri : 1. Tahu kekuatan
sendiri dan musush utuk mampu masuk dalam peperangan tanpa ancaman
bahaya 2. Tahu kekuatan sendiri dan tak tahu kekuatan musuh memberikan
kesempatan menang hanya separonya. 3. Tak tahu kekuatan sendiri dan musuh
akan kalah. IV. Kekuatan pertahanan Alasan menyusun strategi : 1. Kita harus
berjuang keras agar tidak kalah 2. Musuh yang harus terlebih dahulu membuat
kesalahan besar baru kita mengalahkannya. 3. Kita tak bisa bilang kita tak akan
kalah tapi kita tak bisa memastikan musuh akan membuat kesalahan sehingga
kita meraih kemenangan, orang bisa tahu cara untuk menang tapi tidak bisa
memastikan akan memperoleh kemenangan. 4. Yang merasa tidak yakin
menang akan bertahan 5. Yang merasa akan menang maka menyeranglah 6.
Meraka yang cakap dalam bertahan seolah-olah tak tampak oleh musuh 7.
Mereka yang calak dalam hal bertahan akan menang bila tiba saatnya untuk
menyerang. Menang tanpa air mata : 1. Ahli taktik akan tetap bertahan dalam
keadaan aman. 2. Tak pernah lewatkan kesempatan hancurkan musuh. 3. Yang
ingin menang harus terlebih dahulu menciptakan kemenangan. Pahlawan yang
benar-benar sejati tidak pernah membanggakan kecakapan atau keberanian
mereka. Mereka menang karena memiliki rasa percaya diri serta kemampuan
untuk tetap pada posisi yang aman Mengatur posisi : 1. Ahli tatik mempunyai
sasaran-sasaran jelas dan disiplin yang ketat dalam pasukan. 2. Ahli taktik cakap
: a. Ukur jarak b. Memperkirakan ongkos c. Memepelajari kekuatan d.
Memperhitungkan kesempatan e. Merencakan kemenangan. V. Formasi
Penyergapan tiba-tiba, konfrontasi langsung : 1. Atur pasukan (organisasi) besar
dan kecil 2. Komando (Komunikasi) pasukan besar dan kecil 3. Pasukan besar.
Hakikat kejutan : 1. Perang adalah konfrontasi lansung 2. Pasukan yang
melakukan kejutan akan menang Serangan tiba-tiba dan kofrontasi langsung ada
dalam peperangan, kombinasi kedunya membuat suatu variasi perang.
Kesiagaan Gerakan. VI. Kekuatan dan kelemahan Inisiatif : 1. Pasukan pertama
mengambil posisi yang fleksibel 2. Pasukan akhir ikut perang walau dalam
keadaan kelelahan 3. Perwira melakukan gertakan mental 4. Umpan untuk
mencapai tujuan yang dimaksud 5. Gertakan ke musuh 6. Ganggu musuh
Mengacaukan musuh : 1. Buat kegaduhan (kacaukan perhatian) 2. Serang satu
arah Ibarat air : 1. Tinggi ke rendah, menghindari musuh yang kuat tapi serang
yang lemah 2. Ikut bentuk yang dilalui . Rencana berubah sesuai perubahan
kubu musuh. 3. Tidak dominan pada suatu perubahan, ubah strategi sesuai
perubahan pihak musuh. VII. Manuver Dari keterbatasan ke keuntungan ; 1.
Strategi baik adalah lebih dahulu mencapai garis depan untuk menempati posisi
yang menguntungkan lalu hancurkan musuh. 2. Atur jalan pintas 3. Hitung
seksama keterbatasan menjadi keuntungan. 4. Sekalipun dalam keadaan yang
prima tetap dalam keadaan yang waspada. Keuntungan dan kerugian : 1.
Amankan perbekalan 2. Pasukan yang lincah maju terus tanpa istirahat 3.
Organisir pasukan 4. Negara netral tidak boleh masuk dalam persekutuan 5.
Jangan perang yang belum pernah kita tahu kondisinya 6. Manfaatkan orang asli
wilayah sebagai pemandu arah Angin, hutan, api, dan gunung : 1. Serang saat
waktu yang tepat 2. Manuver pasukan yang efektif Angin – cepat bagai tiupan
angin Hutan – tenag sesunyi hutan Api – ganas bagai amukan api Gunung –
tahankan diri bagai gunung Kegelapan – sembunyi tak tembus Kilat – serangan
tiba-tiba VIII. Sembilan variasi 1. Jangan sekali-kali mencari perlindungan disuatu
wilayah yang tidak aman 2. Jangan mengabaikan basa-basi diplomasi dalam
meminta simpati suatu negara. 3. Jangan menunda suatu perjalanan pada saat
suatu gerakan justru sulit dilakukan. 4. Dalam situasi penuh bahaya ,
merencanakan untuk meloloskan diri secepat mungkin. 5. Saat situasi sulit,
bertempurlah sampai titik darah penghabisan 6. Ada rute perjalanan yang harus
dihindari dan dipintasi agar dapat mengubah keadaan yang serba terbatas untuk
memberikan peluang yang besar. 7. Biarkan musuh meloloskan diri sebagian
walau punya kemampuan mengejar, pikirkan serangan berikutnya. 8. Untuk
menghancurkan angkatan bersenjata, jangan terperdaya dengan kemudahan
merebut kota. 9. jika perintah penguasa negara tidak mendukung kemajuan
perang yang sedang berlangsung maka abaikan saja. Kelemahan umum
komandan : 1. Saat sembarangan mudah dibunuh 2. Saat takut mudah
ditangkap 3. Saat marah mudah dihasut 4. Saat sensitif mudah merasa hina 5.
Saat emosional mudah gelisah Akhir cerita panglima : 1. Bertempur untuk mati
biasanya mati 2. Takut mati biasanya tertangkap 3. Tidak sabar biasanya mudah
marah dan terima ejekan 4. Merasa terhormat biasanya menerima segala hal
yang merendahkan 5. Terlalu baik hati biasanya terus menghadapi masalah. IX.
Mobilitas Penyebaran : 1. Ketika bergerak maju, jangan melalui punggung
gunung / bukit tapi lewat lembah 2. Naik dataran yang lebih tinggi untuk tahu
posisi yang paling menguntungkan menyerang dan bertahan. 3. Jika musuh di
dataran yang lebih tinggi, jangan sekali-kali melayani/mendahului serangan. 4.
Segera seberangi sungai, jadi musuh tidak ambil kesempatan – jangan serang
musuh saat musuh di sungai – seranglah musuh saat baru menapakkan kaki di
daratan ketika separo kekuatan ada di sungai. 5. Dataran lebih tinggi lebih baik
daripada sungai. 6. Jangan menyerang musuh dihulu sungai. 7. Bial bertempur
ditempat berawa, tetaplah bertahan dekat dengan tepi rawa yang berumput. 8.
Lebih bagus lagi bila dibelakang pasukanmu terdapat pepohonan , ini strategi
untuk bertempur didaerah rawa. 9. Pertempuran di tanah datar, maka
letakkanlah ditanah yang datar. Strategi perang : 1. Jika pasukan musuh tampil
tenang dan mantap berarti yakin akan posisi strategis dan kekuatan yang
dimilikinya. 2. Jika pasukan musuh menantang, mereka sangat cemas gerak
maju lawan. 3. Jika musuh pada posisi datar yang tidak menguntungkan berarti
melakukan jebakan. X. Tanah lapang/Medan Tipe tanah lapang/medan
pertempuran: 1. Mudah dilalui 2. Sulit dilalui 3. Netral : sama-sama sulit
menyerang 4. Sempit 5. Berbahaya 6. Jangkaun jauh. Bahaya yang dilakukan
oleh pemimpin militer : 1. Sulit meloloskan diri. 2. Pembangkangan perintah dari
bawahan 3. Guncangan 4. Kehancuran 5. Kekacauan 6. Gerakan mundur.
Panglima yang cakap merupakan aset yang paling berharga . - Panglima wajib
memerintahkan perang jika yakin pasukannya akan menang. - Jika yakin akan
kalah, jangan ikuti perintah penguasa untuk perang. XI. Sembilan situasi klasik 1.
Biasa-biasa – berada di wilayah sendiri. 2. Sederhana – wilayah musuh 3. Kritis
– posisi yang sama-sama punya 2 pihak. 4. Terbuka – wilayah yang dapat
dimiliki 2 pihak 5. Memegang komando – untuk merebut posisi strategis,
komando semua daerah. 6. Serius – di dalam wilayah musuh 7. Berbahaya –
wilayah yang tidak aman dan sukar 8. Sulit – wilayah yang merupakan jalur
masuk dan keluar 9. Putus asa – terpojok Keprajuritan yang cakap : 1. Paham
hubungan internasional dalam hal diplomasi 2. Paham keadaan alam, gunung,
rawa dan lainnya. 3. Paham dapat pemandu dari penduduk sekitar. Ular dari
gunung Chang : 1. Diserang kepala ekor melawan 2. Diserang ekor kepala
melawan 3. Diserang tengahnya kepala dan ekor melawan. XII. Menyerang
dengan api Lima serangan ganas : 1. Bakar pasukan musuh 2. Rebut atau
hancurkan perbekalan mereka 3. Sarana transportasi diganggu 4. Gudang
senjata dihancurkan 5. Jalur perbekalan di rusak. Serang saat musim panas dan
kering atau malam hari ketika angin berhembus kencang. Bergerak dari
kesempatan yang menguntungkan : 1. Menyerang jika yakin menang. 2.
Penguasa tidak menyatakan perang karena rasa marah 3. Komandan
menyatakan perang bukan karena rasa dengki 4. Berperang jika punya tujuan
yang pasti XIII. Intelijen Jenis mata-mata : 1. Penduduk setempat lawan 2.
Perwira militer dalam dewan istana 3. Mata-mata yang beralih haluan tetapi
dapat dibeli 4. Mata-mata pembawa kematian – tawanan yang diinterogai 5.
Mata-mata pembawa kepastian – membawa informasi dengan selamat Upah
yang besar bagi mata-mata Rahasia Info dari mata-mata dianalisa Bidang
intelijen merupakan kegiatan yang paling penting dalam peperangan sebab
tidaklah akan tersusun suatu rencana perang yang efektif tanpa informasi dari
musuh. Menurut Roger Ames, buku ini diterjemaahkan dari berbagai temuan
arkeologis di beberapa tempat di Cina dari waktu yang berbeda. Yang pertama,
Naskah 13 Bab Inti dari Sun-Tzu Chiao-shih yang diedit oleh Wu Chiu-Lung dan
kawan-kawan yang diterbitkan pada tahun 1990. Kedua, dari Lima Bab
Tambahan yang ditemukan dari makam-makam Han di gunung Silver Mountain
volume 1, yang disusun oleh Komite Rekonstruksi Tulisan-tulisan Han di Yin-
ch’ueh-shan, serta diterbitkan oleh Wen-wu Publishing House tahun 1985.
kemudian bahan-bahan ensiklopedia yang diterjemaahkan dari lampiran-
lampiran Sun-tzu hui-chien karya Yang Ping-an (1986) dan Sun-tzu tao-tu karya
Huang K’uei (1989) yang didasarkan pada koleksi dinasti Ch’ing dari Pi I-hsun,
Sun-tzu hsu-lu (Surat penghargaan Dari Sun Tzu). Koleksi dinasti Ch’ing ini telah
disusun dari tulisan-tulisan bambu dari dinasti Western Han yang ditemukan
pada tahun 1978 dalam makam ke-115 dari kompleks keluarga Sun di kabupaten
Ta-t’ung, provinsi Ch’ing-hai. Selanjutnya, Wang Jen-chun, Sun-tzu i-wen
(naskah yang tidak diterbitkan , yang dilestarikan dalam catatan sejarah di
perpustakaan Shanghai). Berbeda dengan kebanyakan buku yang bersumber
dari karya guru Sun yang beredar di Indonesia, selain merupakan terjemaahan
atas temuan-temuan arkeologis tulisan-tulisan bambu yang berasal dari berbagai
zaman yang berbicara tentang guru Sun, di dalam pendahuluan buku ini,
Profesor Roger Ames yang merupakan salah seorang penerjemaah filsafat Cina
terkemuka di Amerika Serikat, memberikan penjelasan tentang latar belakang
filosofis buku Sun-Tzu, karena ia menyadari bahwa karya ini merupakan buku
filosofi berperang. Untuk memperkuat nilai sejarah isi buku ini, penulis buku The
Art of Rulership: Studies in Ancient Chinese Political Thought (1983) ini
melampirkan salinan tulisan Cina-nya, deskripsi lokasi penemuan dan kondisi
barang-barang hasil temuan serta gambar perlengkapan perang Cina kuno
lengkap dengan penjelasannya. Keunggulan lain buku ini dibanding terjemaahan
atas karya Sun Wu lainnya adalah komprehensifitas. Sebab ia memuat bab-bab
tambahan dari temuan arkeologis di Yin-ch’ueh-shan maupun dari kisah-kisah
dari berbagai sumber yang menyebutkan nama Sun Wu. Judul buku : SUN-TZU
THE ART OF WARFARE Penerjemaah bahasa Inggris : Roger Ames
Penerjemaah bahasa Indonesia: Arvin Saputra DRs. Penerbit : Lucky Publisher,
2002
SELUK BELUK KUJANG MENURUT BERITA PANTUN BOGOR
Wednesday, May 27, 2009, 11:54:27 AM | Lingga Buana
Purwaka Berbicara tentang kujang, identik dengan berbicara Sunda Pajajaran
masa silam. Sebab, alat ini berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya
Sunda kala itu. Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai
sekarang belum ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara
jelas dan rinci. Malah bisa dikatakan tidak adanya sumber berita sejarah yang
akurat. Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara)
yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang banyak
disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih lengkap
memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung Kendeng
sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir abad ke-19
hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal (pinggiran), yaitu
masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan intelektual, setelahnya
tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang besar perhatiannya kepada
sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul Moending Laja Di Koesoemah,
berupa catatan pribadinya hasil mendengar langsung dari tuturan juru pantun di
daerah Bogor sebelah Barat dan sekitarnya. Ia lebih menaruh perhatian besar
kepada Pantun Bogor, karena menurut penelitiannya Pantun Bogor termasuk
yang paling utuh jika dibandingkan dengan pantun-pantun daerah Jawa Barat
sebelah Timur, baik dalam cara memainkan pantunnya, bahasa Sundanya, juga
termasuk sumber sejarah yang dikisahkannya. Sedangkan pantun-pantun
daerah Jawa Barat sebelah Timur, kala itu katanya sudah banyak yang semrawut
tidak utuh lagi. Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam setiap
lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi, jenis, dan
bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara
menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai kujang-
pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah kembar; Badis
pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaanâ atau melukiskan seorang
wanita; Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong
combong di ganjanaan dsb. Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna
hitam putih juga diberitakan bersulamkan gambar kujang Umbul-umbul Pajajaran
hideung sawarah bodas sawarah disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak
dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda obsolete
tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada
keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang
tersimpan di museum-museum. Di samping itu, sebutan kujang banyak pula
yang masih abadi seperti pada: 1. Nama kampung; Parungkujang, Cikujang,
Gunungkujang, Parakankujang. 2. Nama Tangtu Baduy; Tangtu Kadukujang
(Cikartawana), Sanghyang Kujang (Undak ke-3 pamujaan Baduy di Gunung
Pamuntuan). 3. Nama Batalyon; Batalyon Kujang pada Kodam Siliwangi. 4.
Nama perusahaan; Pupuk Kujang, Semen Kujang, dsb. 5. Nama tugu
peringatan: Tugu Kujang di Kota Bogor. Pengabadian kujang lainnya, banyak
yang menggunakan gambar bentuk kujang pada lambang-lambang daerah, pada
badge-badge organisasi kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang tempaan
baru (tiruan), sebagai benda aksesori atau cenderamata. Selain keberadaan
kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten masih ada komunitas yang
masih akrab dengan kujang dalam pranata hidupnya sehari-hari, yaitu
masyarakat Sunda Pancer Pangawinanâ tersebar di wilayah Kecamatan Bayah
Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di
Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat
Sunda Wiwitan Urang Kanekas (Baduy) di Kabupaten Lebak Provinsi Banten.
Dalam lingkungan budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu
digunakan pada upacara Nyacarâ (menebangi pepohonan untuk lahan ladang).
Patokan pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan Unggah Kidang Turun
Kujang, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh,
pertanda musim Nyacar sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas) masanya
digunakan sebagai pembuka kegiatan Ngahuma (berladang). Bentuk dan Jenis
Kujang Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari
beberapa bentuk, di antaranya: 1. Kujang Ciung; yaitu kujang yang bentuknya
dianggap menyerupai burung Ciung. 2. Kujang Jago; kujang yang bentuknya
menyerupai ayam jago. 3. Kujang Kuntul; kujang yang menyerupai burung
Kuntul. 4. Kujang Bangkong; kujang yang menyerupai bangkong (kodok). 5.
Kujang Naga; kujang yang bentuknya menyerupai naga. 6. Kujang Badak;
kujang berbadan lebar dianggap seperti badak. 7. Kudi; perkakas sejenis kujang.
Berdasarkan jenisnya, kujang memiliki fungsi sebagai: 1. Kujang Pusaka; yaitu
kujang sebagai lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan lainnya
dengan kadar kesakralannya sangat tinggi seraya memiliki tuah dan daya gaib
tinggi. 2. Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang
dikala diserang musuh. 3. Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang
seperti tombak sebagai alat upacara. 4. Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat
pertanian (perladangan). Nama-nama Bagian Kujang Wujud sebilah kujang
memiliki bagian yang masing-masing mempunyai namanya sendiri-sendiri,
meskipun tidak seluruh bentuk kujang memiliki bagian sama lengkapnya. Kujang
yang memiliki bagian-bagian secara lengkap, biasanya dimiliki oleh para raja,
para menak (bangsawan), dan para pangagung (pejabat tinggi) kerajaan lainnya.
Bagian-bagian kujang tersebut di antaranya: 1. Papatuk (Congo); bagian ujung
kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil. 2. Eluk (Siih);
lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas,
gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh. 3. Waruga; nama bilahan (badan)
kujang. 4. Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang
pada awalnya lubang-lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau
juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisanya berupa
lubang-lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap status si pemakainya,
paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata, malah ada pula kujang tak
bermata, disebut Kujang Buta 5. Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan
kujang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya
selain untuk memperindah bilah kujangnya juga untuk mematikan musuh secara
cepat. 6. Tonggong; sisi yang tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk
mengerat juga mengiris. 7. Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang,
gunanya sama dengan bagian punggungnya. 8. Tadah; lengkung kecil pada
bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan melintir senjata
musuh agar terpental dari genggaman. 9. Paksi; bagian ekor kujang yang lancip
untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang. 10. Combong; lubang pada gagang
kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang). 11. Selut; ring pada ujung atas
gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada
ekor (paksi). 12. Ganja (landsan); nama khas gagang (tangkai) kujang. 13.
Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang. Di antara bagian-bagian kujang tadi,
ada satu bagian yang memiliki lambang œke-Mandalaan, yakni mata yang
berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala
Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari
bawah): 1. Mandala Kasungka, 2. mandala Parmana, 3. Mandala Karna, 4.
Mandala Rasa, 5. Mandala Saba, 6. Mandala Suda, 7. Jati Mandala, 8. Mandala
Samar, 9. Mandala Agung. 10. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia
yang ketika hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau
Jagat Pancaka, yaitu Neraka. Kelompok Pemakai Kujang Meskipun perkakas
kujang identik dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun
berita Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa alat itu dipakai oleh seluruh warga
masyarakat secara umum. Perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok
tertentu, yaitu para raja, prabu anom (putera mahkota), golongan pangiwa,
golongan panengen, golongan agama, para puteri serta kaum wanita tertentu,
para kokolot. Sedangkan rakyat biasa hanya menggunakan perkakas-perkakas
lain seperti golok, congkrang, sunduk, dsb. Kalaupun di antaranya ada yang
menggunakan kujang, hanya sebatas kujang pamangkas dalam kaitan keperluan
berladang. Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara)
sampai para kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih
bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing. Bentuk
kujang untuk para raja tidak boleh sama dengan milik balapati. Demikian pula,
kujang milik balapati mesti berbeda dengan kujang miliknya barisan pratulup,
dan seterusnya. Dalam kaitan pemakaian kujang tadi, akan tergambar dari
tahapan fungsi para pejabat yang tertera dalam struktur jabatan pemerintahan
Negara Pajajaran sebagai berikut: 1. Raja 2. Langsa 3. Brahmesta 4. Prabu
Anom (Putera Mahkota) 5. Bupati Panangkes dan Balapati 6. Geurang Seurat 7.
Para Bupati Pakuan dan Bupati Luar Pakuan 8. Para Patih termasuk Patih
Tangtu dan Mantri Paseban 9. Para Lulugu 10. Para Kanduru 11. Para Sambilan
12. Para Jaro termasuk Jaro Tangtu 13. Para Bareusan, Para Guru, Para
Pangwereg 14. Para Kokolot Jabatan Prabu Anom (3) sampai para Bareusan,
para Guru, juga para Pangwereg (12), tergabung di dalam golongan Pangiwa
dan Panengen. Tetapi dalam pemilikan dan pemakaian kujang, ditentukan oleh
kesejajaran tugas dan fungsinya masing-masing, seperti: 1. Kujang Ciung mata-
9: hanya dipakai khusus oleh Raja; 2. Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri
Dangka dan Prabu Anom; 3. Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat,
Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan; 4. Kujang Jago: dipakai oleh
Balapati, para Lulugu, dan Sambilan; 5. Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih
(Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga
digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paseban, Mantri Layar, Mantri
Karang, dan Mantri Jero); 6. Kujang Bangkong: dipakai oleh Guru Sekar, Guru
Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk; 7. Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru,
para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan; 8. Kujang Badak: dipakai oleh
para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para
Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot. Selain
diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh kelompok
agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang
perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya mata. Kujang Ciung bagi
peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang bermata-9, sama
dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita bermata-7, para
Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang Ciung bermata-3,
para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang Ciung bermata-1.
Di samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama menyimpan
pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang yang gunanya
khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana, Upacara
Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa saja dipakai untuk
menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi utama seluruh
kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai pusaka pengayom
kesentosaan seluruh isi negara. Kelompok lain yang juga mempunyai
kewenangan memakai kujang yaitu para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan
dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi tertentu, seperti para Puteri
Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu
Geurang, para Guru, dan para Sukla Mayang (Dayang Kaputren). Kujang bagi
kaum wanita ini, biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal
ini karena bentuknya yang langsing, tidak terlalu galabag (berbadan lebar, dan
ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria. Untuk
membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama dengan
untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan yang
dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya kujang
bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning pilihan. Sedangkan
(kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang
Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan. Kaum wanita Pajajaran yang
bukan menak tadi, di samping menggunakan kujang ada pula yang memakai
perkakas khas wanita lainnya, yaitu yang disebut Kudi, alat ini kedua sisinya
berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua
sisinya bergerigi seperti pada kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran
Kujang Bikang (kujang pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1
jengkal termasuk tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak
ada yang memamai mata. Proses Pembuatan Kujang Pada zamannya Kerajaan
Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari
logam termasuk pembuatan senjata kujang, ada patokan-patokan tertentu yang
harus dipatuhi, di antaranya: Patokan Waktu Mulainya mengerjakan penempaan
kujang dan benda-benda tajam lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang Kerti,
hal ini terpatri dalam ungkapan Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun
beusi, artinya ˜Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda
masanya kujang digunakan untuk nyacar (mulai berladang). Demikian pula jika
Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara
waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda tajam
dari logam (besi-baja). Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku di
lingkungan masyarakat Urang Kanekes (Baduy). Kesucian Guru Teupa
(Pembuat Kujang) Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan
pembuatan kujang mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut olah tapa
(berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang
bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang bertuah.
Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia mesti
pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam membentuk
bilah kujang yang sempurna seraya mampu menentukan Gaib Sakti sebagai
tuahnya. Bahan Pembuatan Kujang Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan
bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti: Besi,
besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan
kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang). Akar kayu, biasanya akar kayu
Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini
memiliki aroma tertentu. Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan
kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus. Emas,
perak untuk pembuatan mata atau pamor kujang pusaka atau kujang para
menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk
matabanyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah. Peurah (bisa
binatang) biasanya bisa Ular Tiru, bisa Ular Tanah, Bisa Ular Gibug, bisa
Kelabang atau bisa Kalajengking. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-
tumbuhan seperti getah akar Leteng getah Caruluk (buah Enau) atau serbuk
daun Rarawea, dsb. Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan Pamor.
Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh
meski hanya tergores. Gaib Sakti sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah
tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri
dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti
ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai
penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan
isi biasanya para arwah leluhur atau para Guriyang yang memiliki sifat baik,
bijak, dan bajik. Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang Tempat untuk membuat
benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau,
dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus
untuk membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan. Seperti dalam
lakon Pantun Bogor kisah Kalangsunda Makalangan terdapat ungkapan yang
menggamvarkan kemiripan rupa tokoh Kumbang Bagus Setra dan Rakean
Kalang Sunda dengan kalimat berbunyi: Yuni Kudi sa-Gosali, rua Kujang sa-
Paneupaan, ungkapan tersebut mengindi-kasikan bahwa istilah Paneupaan
benar-benar berupa nama untuk tempat pembuatan perkakas kujang. Hal ini
lebih diperjelas lagi dengan sebutan Guru Teupa bagi si pembuat kujang, yang
mungkin sederajat dengan Empu pembuat keris di lingkungan masyarakat Jawa.
Cara Membawa Kujang Membawa perkakas kujang tidak hanya satu cara,
namun tergantung kepada bentuk dan ukuran besar kecilnya dan kadar
kesakralannya. Disoren; yaitu dengan cara digantungkan pada pinggang sebelah
kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang diikatkan ke pinggang.
Yang dibawa dengan cara disoren ini, Kujang Galabag (berbadan lebar) seperti
Kujang Naga dan Kujang Badak sebab kowaknya (sarungnya) cukup lebar.
Ditogel; yaitu dengan cara diselipkan pada sabuk di depan perut tanpa
menggunakan tali pengikat. Kujang yang dibawa dengan cara ini yaitu Kujang
Bangking (kujang berbadan kecil) seperti Kujang Ciung, Kujang Kuntul, Kujang
Bangkong, Kujang Jago, Kudi yang ukuran kowaknya pun lebih kecil. Demikian
pula kujang yang termasuk Kujang Ageman (bertuah) selalu dibawa dengan cara
ditogel. Dipundak; yaitu dengan cara dipikul tangkainya yang panjang, seperti
membawa tombak. Yang dibawa dengan cara demikian hanya khusus Kujang
Pangarak, karena memiliki tangkai panjang. Dijinjing; yaitu dengan cara
ditenteng, dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara ini hanya
Kujang pamangkas, sebab kujang ini tidak memakai sarung (kowak) alias
telanjang. Cara Menggunakan Kujang Tersebar berita, bahwa cara
menggunakan kujang konon dengan cara dijepit ekornya (paksi-nya) yang
telanjang tanpa ganja (tangkai) menggunakan ibu jari kaki. Sedangkan cara lain,
yaitu dengan dijepit menggunakan telunjuk dan ibu jari kemudian ditusuk-
tusukan ke badan lawan. Alasan mengapa cara menggunakannya demikian,
sebab katanya kujang memang berupa senjata telanjang tanpa tangkai dan
tanpa sarung (kowak). Jika para Guru Teupa penempa Kujang Pajajaran sengaja
membuatnya demikian, hal itu merupakan pekerjaan tanpa perhitungan. Sebab
dilihat dari bentuk ekor (paksi) kujang yang banyak ditemukan, bentuknya sama
seperti ekor senjata tajam lainnya yang lazim memakai gagang (tangkai) seperti
golok, arit, pisau, dsb. Dengan cara menggunakannya seperti diutarakan tadi,
sedikitnya ia akan terluka jari jemari kakinya ataupun jari jemari tangannya. Lain
halnya jika bentuk ekornya tadi dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk
dijepit dengan jari jemarinya. Berita tadi jika dibandingkan dengan berita Pantun
Bogor dan beberapa temuan penulis, ternyata bertabrakan. Sebagaimana
diutarakan pada bagian terdahulu, bahwa Kujang Pajajaran merupakan benda
tajam yang lengkap memakai ganja (tangkai) dan memakai kowak (sarung).
Kalau timbulnya pendapat seperti tadi, hal ini mungkin beranjak dari temuan-
temuan yang tergali dari dalam tanah, mayoritas kujang telanjang tanpa ganja
tanpa kowak bahkan tanpa mata (berlubang-lubang). Sebenarnya, keberadaan
kujang yang ditemukan seperti itu akibat dari terlalu lamanya tertimbun tanah,
sehingga ganja atau kowak-nya yang terbuat dari kayu mengalami lapuk dan
hancur. Sedangkan jarang ditemukan kujang yang masih lengkap dengan
matanya, inipun mungkin saja setiap penemu kujang tadi mencungkilnya, sebab
kebanyakan mata kujang terbuat dari emas, batu permata yang indah-indah, dan
cukup mahal harganya. Kujang yang masih lengkap dengan matanya, kini masih
bisa dilihat di Museum Geusan Ulun Kabupaten Sumedang. Pada bagian-bagian
terdahulu diutarakan, bahwa kujang memiliki fungsi sebagai pusaka, pakarang,
pangarak, pamangkas. Sebagai pusaka; tuah/daya kesaktian kujang
mengandung nilai sakral. Melalui kekuatan daya gaib/kesaktian tersebut kujang
digunakan sebagai pelindung keselamatan diri, keluarga, bahkan masyarakat
sekelilingnya, demi terhindar dari marabahaya yang mengancam. Sebagai
pakarang (senjata); kujang dengan ukurannya yang relatif pendek, tidak
termasuk alat tebas, tapi tergolong alat tikam, alat tusuk, alat toreh, dan
alatkerat. Wujud senjata ini (secara hipotesis), mungkin disesuaikan dengan
karakter manusia Sunda Pajajaran itu sendiri yang bersifat defensif tatkala
menghadapi marabahaya, tidak bersifat ofensif. Hal ini terungkap dari kisah
Pakujajar Majajaran yang memberitakan bahwa Sunda Pajajaran lain kudu pinter
perang, tapi kudu pinter diperangan (Sunda Pajajaran bukan mesti pandai
berperang, tapi mesti pandai di kala diperangi). Pernyataan ini terbukti pula,
bahwa dalam seluruh cerita pantun, tidak ada satu pun kisah yang memberitakan
Kerajaan Pajajaran menyerang atau menaklukan kerajaan lain, kecuali malah
digempur negara lain. Mengingat karakter Sunda Pajajaran yang defensif tadi,
kujang dengan fungsinya sebagai senjata, bukan hanya untuk menyerang tetapi
hanya untuk bela diri di kala keadaan susah sangat terdesak. Dalam cara
pembelaan diri tersebut, kujang digunakan dengan sekali tusuk ke perut, ketika
ditarik mampu merobek-robek seisi perut. Atau dengan sekali toreh dan sekali
kerat saja musuh bisa langsung sekarat mendadak dan mati. Sebagai pangarak
(alat upacara); Kujang Pangarak dalam kegiatan upacara menggunakannya
dengan dipikul pada satu prosesi tertentu, oleh pelaku barisan terdepan. Dalam
keadaan mendesak, kujang semacam ini bisa digunakan sebagai alat membela
diri dengan cara ditusukkan atau dilemparkan kepada musuh dari jarak agak
jauh, sebab kujang ini bertangkai panjang semacam tombak. Sebagai
pamangkas (alat pertanian); kujang untuk kegiatan ini yaitu Kujang Pamangkas,
menggunakannya untuk menebangi pepohonan dalam rangka membuka lahan
huma (ladang). Sampai dewasa ini kujang semacam ini masih digunakan di
lingkungan masyarakat Urang Kanekes (Baduy) dan masyarakat Pancer
Pangawinan. Dalam keadaan darurat, kujang ini pun bisa saja digunakan
sebagai senjata untuk bela diri jika satu saat si pemakai mendapat serangan dari
fihak musuh, dengan cara ditebaskan atau dibacokkan, karena bentuk kujang
semacam ini berukuran agak panjang dan agak besar. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan 1. Pantun Bogor memberitakan, bahwa zaman jayanya Kerajaan
Pajajaran, kujang berupa perkakas yang multiguna, 2. Kujang dalam kapasitas
dan fungsinya sebagai alat pertanian (Kujang Pamangkas), kini masih
dipergunakan di lingkungan masyarakat adat Urang Kanekes (Baduy) dan
masyarakat Pancer Pangawinan 3. Kujang peninggalan masa silam yang kini
banyak tersimpan banyak dimiliki oleh perorangan mayoritas sudah tidak
lengkap, karena bahagian lainnya sudah banyak yang rusak/hilang. Saran 1.
lebih dikenalinya lagi kujang sebagai salah satu perkakas Pajajaran Sunda masa
silam, perlu dilahirkan buku tentang kujang sebagai bahan bacaan SD, SLTP,
SMU, PerguruanTinggi dan bacaan umum. 2. Produksi kujang pada masa kini
perlu ditingkatkan baik bentuknya, penggunaan pamor sampai kepada
bahannya, agar mampu jadi cendera mata bagi tamu-tamu penting dari luar
negeri. Atau agar bisa dimiliki oleh orang-orang Sunda yang berkepentingan.
Sumber dari : Anis Djatisunda
Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga
Tuesday, May 26, 2009, 7:13:01 AM | Lingga Buana
Ana kidung rumeksa ing wengi teguh hayu luputa ing lara luputa bilahine kabeh
jim setan datan purun paneluhan tan ana wani miwah panggawe ala gunaning
wong luput geni atemahan tirta maling adoh tan ana ngarah ing mami guna
duduk pan sirna Ada lagu yang mengalun di malam hari. Lagu yang menjadikan
kuat, selamat, dan terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala macam
petaka. Jin dan setan pun tidak mau. Segala jenis sihir tidak ada yang berani,
apalagi perbuatan jahat. Guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuri pun
menjauh dariku. Segala bahaya akan sirna. Untuk memahami isi yang
terkandung dari bait-bait tentang kidung ini bisa dibaca dalam buku Mistik dan
Makrifat Sunan Kalijaga yang ditulis oleh Achmad Chodim dan diterbitkan oleh
penerbit Serambi. Dalam buku ini secara runut mewedar ajaran-ajaran Sunan
Kalijaga sesuai dengan penghayatan yang dilakoni penulisnya. Di mulai dari
tembang rumeksa ing wengi, puasa mutih 40 hari 40 malam, selamatan, hakikat
diri manusia, papat lima pancer dan detil2 lainyal. Buku ini memaparkan ajaran-
ajaran tersebut tanpa menilai baik buruk salah benarnya ajaran-ajaran spiritual
yang di anggap bid'ah oleh golingan tertentu tepi mengambil sikap tengah
dengan meberikan reasoning yang mudah dicerna dan dapat diterima.
Seterusnya hehehehe baca aja bukunya, enakk kok biar dibaca dua tiga kali
nggak mbosenin, dan setip membaca ulang ada aja pemahaman baru yang
didapatkan.
Sekilas Pintas Tentang Yoga
Monday, May 25, 2009, 11:38:12 AM | Lingga Buana
"Bagaikan bulan dalam tempayan air. Seperti itulah Tuhan menampakkan dirinya
kepada orang yang melakukan Yoga." (Paramhansa Yogananda) A. Pengertian
Yoga berasal dari bahasa Sanskrta 'Yuj' berarti "menghubungkan" atau
"mempersatukan". Yoga adalah suatu teknik untuk menghubungkan kesadaran
manusia dengan Ilahi. Pernyataan ini bukan berarti "penyatuan" Tuhan dan
manusia secara fisika, namun kesadaran. Sebenarnya bukannya Tuhan yang
terpisah dari manusia, tapi manusialah yang memisahkan diri. Ketidaktahuan
(avidya) yang menjadi sebab terjadinya pemisahan antara manusia dan Tuhan.
Jenis penyatuan ini sulit untuk diwujudkan. Namun, tiap usaha walaupun kecil
tetap ada manfaatnya. Penyatuan ini seperti sungai menuju ke samudra yang
kemudian lenyap meninggalkan nama dan bentuknya. Begitu pula seseorang
yang menyatu dengan yang Ilahi.. Yoga bukanlah sesuatu yang berhubungan
dengan agama atau kepercayaan tertentu. Yoga adalah Yoga. Yoga merupakan
suatu satu seni spiritual yang lebih tua dari agama apa pun di dunia, termasuk
agama Hindu dan Buddha. Para Yogi (praktisi yoga) sudah terdapat di India jauh
sebelum jaman Veda, jaman berdirinya agama Hindu. Namun harus diakui,
bahwa Yoga sekarang merupakan warisan dari budaya India. Maka istilah-istilah
dalam Yoga mempunyai banyak kesamaan dengan istilah-istilah dari agama
yang lahir di India. Oleh karenanya, bila ingin mendalami Yoga, harus tidak
keberatan menerima istilah-istilah sanskrta. Sebagaimana kita tidak pernah
keberatan menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris untuk mendalami ilmu
Ekonomi. Sampai saat ini, praktisi yoga tidak hanya pemeluk Hindu saja, namun
dari berbagai agama dan kepercayaan. Yoga adalah milik dunia, tanpa ada
ikatan agama maupun tradisi. Sebagaimana sinar matahari, semua berhak
berjemur dibawahnya. Bila kita mengenal Kungfu dan yang semacamnya
sebagai sebagai suatu seni untuk membela diri, maka Yoga merupakan suatu
seni untuk mengenal diri. Mengenal diri sendiri adalah syarat dalam spiritual.
"Siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya". Sebagai seni
spiritual (Sadhana), maka gerakan Yoga tidak seperti senam biasa, harus
berlandaskan moralitas, barulah diperoleh kesadaran spiritual, sembuh dari
penyakit, kebangkitan kundalini, dan penghapusan karma. Sebagaimana seni
bela diri, berlatih Yoga juga memerlukan disiplin yang keras. Tidak ada
dispensasi untuk memperpendek jalan. Namun, berlatih Yoga tidak ada istilah
terlambat untuk dimulai. Apakah seorang anak - orang tua, wanita - pria, cacat -
sehat, terpelajar - buta huruf, bahkan seorang yang suci atau pendosa pun
dengan kesungguhan hati semuanya dapat berlatih Yoga. Latihan yoga tidak
harus meninggalkan keluarga dan menyepi di hutan. Seorang Yogi (praktisi
yoga) bisa saja berada di tengah keramaian dunia. Seperti bunga teratai yang
tumbuh di lumpur, tapi tidak tercemar oleh lumpur. Teknik yoga merupakan
explorasi terhadap diri sendiri, sehingga dapat memaksimalkan segenap potensi
diri yang belum dikenali. Tubuh manusia merupakan perangkat komputer yang
super canggih sekaligus pesawat yang dapat membawa dirinya menjelajah ke
seluruh pelosok penjuru bumi dan langit Yoga membawa manusia untuk
melampaui yang fana, baik yang tampak maupun tidak tampak. Yoga menuntut
pengalaman langsung. Tidak hanya berkutat pada pengetahuan saja,
sebagaimana kaum cendekiawan, berolah pikir dan berdebat tentang Tuhan,
alam dan manusia, tapi tidak pernah sampai pada pengalaman yang lebih jauh
tentang alam, manusia, dan Tuhan. Bahkan seringkali justru terjerumus pada
pen-dewa-an akal dan alam, kemudian mengesampingkan Tuhan. Mereka tidak
memiliki pengalaman rohani, karena tidak pernah menterjemahkan
pengetahuannya dalam hidup sehari-hari. Menguasai berbagai kitab suci, tapi
tidak memahaminya. Memahaminya tapi tidak melaksanakan. Di sinilah
perbedaan antara para Yogi dengan para cendekiawan. B. Jenis-Jenis Yoga Di
bumi ini ada ratusan bahkan ribuan macam Yoga. Secara garis besar dapat
dibedakan dalam empat macam, yaitu Jnana Yoga, Bhakti Yoga, Karma Yoga,
dan Raja Yoga. Adapun Mantra Yoga, Japa Yoga, Hatha Yoga, Kundalini Yoga,
dll. dikatagorikan sebagai Yoga hasil dari pengembangan. Namun semua
perbedaan terjadi hanya pada penekanannya saja, adapun tujuannya sama.
Jnana Yoga, merupakan yoga yang dilakukan dengan penekanan pengetahuan.
Praktisi yoga ini beranggapan bahwa kebodohan (avidya) merupakan penyebab
utama terjadinya kesalahan dan kelalaian. Terhapusnya kebodohan, maka
terhapus pula kemiskinan, ketidakadilan, kesewenangan, serta kerusakan alam
semesta. Dengan demikian semakin damai dunia. Semua itu dikarenakan
manusia tahu akan hakekat dirinya. Manusia yang tahu hakekat dirinya, maka
dia akan tahu hakekat Tuhannya. Karma Yoga, merupakan yoga yang dilakukan
penekanan pada tindakan. Para praktisinya selalu memperhatikan segala
sesuatu yang diperbuatnya, sehingga tidak menimbulkan karma yang membawa
pada penderitaan. Para praktisinya tidak pernah mengeluh menghadapi masalah
kehidupan. Semua masalah dipandang merupakan akibat dari karma yang telah
dibuatnya, maka harus diterima dan dihadapi sebagai pendidikan dan kasih
sayang Ilahi. Konsep ini banyak disalah-pahami sebagai konsep hidup pasif,
padahal konsep ini justru membawa manusia menjadi aktif dalam menghadapi
kehidupan. Karma Yoga mengajarkan pada manusia untuk menghadapi dan
menyelesaikan persoalan, bukan melarikan diri dari persoalan. Praktisi Karma
Yoga tidak pernah melarikan diri dari masalah. Melarikan diri bukan solusi, tapi
justru menimbun masalah dan membuat masalah baru. Masalah tidak akan
pernah hilang, yang ada hanyalah penundaan dan penumpukan. Untuk
menyelesaikannya, mau ataupun tidak, suka ataupun terpaksa, semua harus
dihadapi. Entah kapan, yang jelas semua persoalan perlu penyelesaian. Banyak
penderita stress, bahkan yang bunuh diri, dikarenakan tidak mau menerima
suatu persoalan sebagai kenyataan dan menyelesaikannya, kemudian melarikan
diri tanpa mau menghadapi dan menyelesaikannya. Bhakti Yoga, merupakan
yoga yang dilakukan dengan penekanan pada bakti kepada Tuhan, yaitu
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. Semuanya dilakukan
dengan cinta tanpa memiliki pamrih apa pun (termasuk ingin masuk sorga).
Kecintaan praktisi Bhakti bermakna luas. Bukan hanya pada Tuhan, namun juga
pada semua ciptaanNYA. Mencintai ciptaan merupakan manifestasi dari
mencintai Sang Pencipta itu sendiri. Cinta seorang Bhakta tidak membeda-
bedakan ras, suku, bangsa, dan agama. Tidak membenci yang miskin maupun
yang kaya, yang indah maupun yang buruk, yang pintar maupun yang bodoh,
yang beriman maupun yang kafir. Raja Yoga, merupakan yoga yang dilakukan
dengan menekankan pada pengendalian pikiran. Dengan mengendalikan pikiran,
maka terkendali pula semua indra-indra manusia. Hasil dari semua itu disebut
Pencerahan, Manunggaling Kawula Gusti (Jw.). Makrifatullah (Is.). Apapun
namanya, bukan suatu masalah yang patut diperdebatkan. Perkembangan
kemudian, hanya Raja Yoga lah yang dikenal sebagai Yoga. Bagi praktisi Raja
Yoga, praktek Hatha, Japa, Mantra, Kundalini, dsb. bukanlah sesuatu yang
terpisah. C. Bagian-Bagian Yoga Patanjali, seorang Yogi, menerangkan bahwa
yoga memiliki 8 bagian yang tidak terpisahkan. Bagian-bagian yoga tersebut
tidak dapat dipisahkan, sebagaimana bagian tubuh manusia yang juga tidak
dapat dipisah-pisahkan. Kedelapan bagian itu adalah : 1. Yama (menjauhi
larangan), 2. Niyama (mentaati perintah), 3. Asanas (sikap-sikap badan), 4.
Pranayama (pengaturan prana), 5. Pratyahara (pengaturan indra), 6. Dharana
(konsentrasi), 7. Dhyana (meditasi), 8. Samadhi (keseimbangan total).
Kedelapan bagian tersebut adalah satu kesatuan yang dikenal sebagai Astanga
Yoga. Telah dijelaskan di atas bahwa Yoga adalah sadhana (disiplin spiritual),
maka pondasinya adalah moralitas (Yama dan Niyama). Tanpa moralitas tidak
dapat disebut sebagai Yoga. Kemampuan supernormal (shakti) bukanlah tujuan
yoga. Banyak sekali kemampuan supernormal dapat diperoleh dengan teknik
yoga. Namun tanpa didukung dengan moralitas yang baik, maka kemampuan-
kemampuan tersebut tidak akan menunjang peningkatan spiritual para praktisi
yoga. Keinginan untuk memperoleh kemampuan supernormal bukanlah sesuatu
yang salah, namun keterikatan itulah yang tidak dapat dibenarkan. Bagi pemula
seringkali kemampuan ini menjadi obsesi sehingga menghambat
perkembangannya. Adapun bagi praktisi yang sudah memperoleh seringkali
terjerumus dalam penyalahgunaan daya super tersebut sehingga membuat
semakin jauh dari tujuan spiritual. Tanpa ditunjang dengan moralitas yang baik,
kemampuan supernormal justru memperburuk kondisi praktisi. Perlu diingat
bahwa segala perbuatan merupakan "sebab" yang akan melahirkan "akibat". Rsi
Patanjali menetapkan Yama dan Niyama sebagai dasar moralitas kehidupan
spiritual. Aturan ini dibuat untuk para praktisi yoga supaya tetap berada dalam
jalur spiritual yang benar. Dan hendaknya diingat bahwa moralitas bukan
merupakan puncak tujuan hidup kerohanian, namun hanyalah merupakan suatu
perangkat. Walau demikian moralitas harus digariskan sedemikian rupa sehingga
mampu melengkapi kehidupan manusia dengan penuh "keserasian" dan
"keindahan" untuk bergerak maju di dalam menempuh jalan kerohanian. Yama
dan Niyama bukan suatu perangkat hukum yang bermakna perintah. Yama dan
Niyama adalah suatu nasehat yang tidak menekankan pada hukuman bila
melanggar, namun menekankan pada keuntungan bila dilaksanakan. 1. Yama
dan Niyama A. Yama Yama (kendali) terdiri dari lima aspek yang prinsip yaitu
Ahimsa, Satya, Asteya, Brahmacarya dan Aparigraha. Kelima prinsip Yama ini
lebih bermakna ekstern yaitu mengatur hubungan diri kita dengan pihak lain. a.
Ahimsa, jangan berbuat kekerasan. Jangan sekali-kali dengan sengaja menyakiti
mahluk lain baik dalam perbuatan, ucapan, maupun pikiran. Hal terpenting dalam
prinsip ini adalah bahwa pencari spiritual harus selalu mempertahankan sikap
tanpa kekerasan. b. Satya, jangan tidak jujur. Ini merupakan salah satu alasan
mengapa para praktisi spiritual lebih banyak diam. Prinsip ini harus didorong oleh
semangat untuk memberi kebahagiaan sehingga melahirkan kebaikan untuk
bersama. c. Asteya, jangan mencuri. Prinsip ini bertujuan untuk melepaskan
keterikatan pada sesuatu yang bukan milik kita baik dalam pikiran maupun
perbuatan. Tipu muslihat yang menyebabkan orang lain tidak mendapatkan apa
yang semestinya telah menjadi haknya, termasuk katagori mencuri. d.
Aparigraha, jangan menerima. Prinsip ini merupakan konsekwensi wajar dari
prinsip "jangan mencuri". Aparigraha merupakan perjuangan terus menerus guna
membatasi kesenangan pribadi yang diperoleh dari penderitaan orang lain. e.
Brahmacarya, mengalir bersama Brahma, tetap melekat pada Brahma (Tuhan).
Pengertian Brahmacarya yang benar adalah memandang dengan sepenuh
perasaan jiwa bahwa di dalam segala-galanya tersembunyi kecemerlangan sinar
Brahma, cahaya Illahi. Dengan demikian memunculkan rasa saling menghormati
sesama mahluk dan menciptakan kekuatan untuk pengendalian diri di semua
bidang kehidupan, B. Niyama Niyama (lakukan) terdiri dari lima prinsip pula yaitu
shaoca, santosa, tapah, svadhaya, Isvara Pranidhana. Berbeda dengan Yama,
prinsip Niyama lebih bermakna intern yaitu mengatur diri kita sendiri. a. Shaoca,
kebersihan. Bersih secara lahir dan batin. Menjaga agar badan, pakaian dan
lingkungan tetap bersih, merupakan kebersihan lahiriah, dengan kebersihan ini
maka benda-benda yang langsung berhubungan dengan diri kita dibersihkan
sehingga baik untuk dipergunakan. Kebersihan batin, merupakan kegiatan
mental yang harus dilakukan dengan menghilangkan segala kekacauan di dalam
pikiran. b. Santosa, kepuasan. Keadaan yang menyenangkan dan wajar. Ini
dicapai dengan didasarkan bahwa kesenangan tidak akan dapat dicapai dengan
mengikuti dorongan-dorongan lahiriah berupa keinginan-keinginan yang tak
berkesudahan. c. Tapah, kesederhanaan. Keadaan yang tidak berlebih-lebihan
dalam segala sendi kehidupan. d. Svadhyaya, Sva (diri sendiri); dhyaya (belajar).
Svadhyaya memiliki arti lebih dari sekedar introspeksi diri. Svadhyaya berarti
memahami dengan sebaik-baiknya setiap permasalah diri. Mencari kebenaran di
balik semua kejadian, bukan mencari pembenaran akan tindakan. e. Ishvara
Pranidhana, Isvara (Tuhan); Pranidhana (menjadikan sesuatu sebagai tempat
bersandar). Ishvara Pranidhana bermakna penyerahan diri atau pengabdian
kepada Tuhan. Dalam artian bahwa satu-satunya tujuan hanyalah Tuhan dalam
segala tindakan. Maksud dari sadhana ini adalah dalam setiap aktivitas kita,
senantiasa mengingat Tuhan, bahkan dalam keadaan tidur sekalipun, sehingga
suatu ketika akan dicapai keadaan turiya, suatu keadaan dimana kesadaran
Illahi selalu ada dalam keadaan dan aktivitas apapun. Jika kita mau menyadari
bahwa dalam 24 jam sehari seluruh aktivitas tubuh kita melakukan aktivitas
mengingat tuhan (zikr), dalam denyut jantung, setiap tarikan dan hembusan
napas, pori-pori kulit, aliran darah, kedipan mata, dsb. Yang kita perlukan
hanyalah menyadarinya sepenuhnya hakekat dari semua itu. Maka langkah awal
yang termudah untuk menyadarinya adalah melalui Ishvara Pranidhana. Dalam
setiap aktivitas kita, senantiasa mengingat Tuhan, memusatkan dan
mengarahkan pikiran pada Tuhan. Jika hal ini kita lakukan maka kesadaran akan
semakin meluas, mencapai kesadaran supra, dan bahkan melampauinya. Yama
dan Niyama sangat penting bagi seorang praktisi spiritual Yoga. Perbuatan yang
bertentangan dengan sepuluh prinsip di atas dapat menjatuhkan seorang yogi.
Rsi Patanjali menjelaskan bahwa lobha (keserakahan), krodha (kemarahan), dan
moha (keterikatan) menjadi penyebab kelalaian yang menjerumuskan seorang
yogi untuk melanggar kesepuluh prinsip di atas. Karena Yama dan Niyama
merupakan panduan untuk menghadapi realitas kehidupan, maka Yama dan
Niyama ini merupakan pondasi untuk mencapai kesempurnaan jalan yoga
selanjutnya yaitu asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, dan samadhi.
2. Asanas Asanas adalah pengaturan sikap-sikap tubuh. Dalam
perkembangannya menjadi sebuah teknik yang disebut Hatha Yoga, yoga yang
mempelajari berbagai postur-postur untuk memperbaiki sistem tubuh. Seorang
praktisi Hatha Yoga melakukan berbagai postur tubuh untuk merangsang
berbagai kelenjar dan syaraf, selain untuk keseimbangan tubuh dan menjaga
keremajaan seluruh persendiannya. Asanas tidak hanya berarti sikap yang
nyaman dalam postur-postur tubuh saja, tapi secara luas adalah pola hidup yang
nyaman, yaitu pola hidup yang seimbang. Makan tidak berlebihan, puasa juga
tidak berlebihan. Mencintai tidak berlebihan,-membenci juga tidak berlebihan,
dan seterusnya. Rasa nyaman ini harus permanen-tidak temporer. 3. Pranayama
Pranayama yaitu menyadari proses pernafasan. Menyadari proses pernafasan
berarti menyadari tipisnya jarak antara kehidupan dan kematian. Bermula dari
sini manusia akan mencapai tingkatan kasih tanpa pamrih. Tingkatan ini-lah yang
membedakan antara manusia dengan hewan. 4. Pratyahara Pratyahara berarti
menyadari pola-pola berpikir. Pola pikir terkendali maka kontrol diri (indra-indra)
juga terkendali. Dengan demikian seseorang tidak akan tergoda oleh objek-objek
duniawi. Peng-haram-an atas objek-objek dunia, seperti sex bebas, narkoba,
dsb. Tidak akan banyak membantu. Justru, pelarangan tersebut seringkali
membuat seseorang terobsesi. Ajaran yoga tidak mengharamkan sesuatu apa-
pun, tapi menuntut pengendalian/pelepasan diri terhadap objek-objek duniawi
tersebut. Demikian-lah yoga, menuntut pelepasan ego secara luas. Selama
seseorang belum dapat mengendalikan dirinya, maka tidak dianjurkan
melakukan yoga (jalan spiritual). Karena tujuan yoga adalah menenangkan
danau pikiran manusia sehingga bayangan ilahi nampak terlihat dengan sangat
jelas. Oleh sebab itu, supaya pikiran tidak kacau maka dibutuhkan niat yang kuat
dalam melaksanakan yoga. 5. Dharana Dharana (konsentrasi), mencapai
konsentrasi berarti seseorang telah mencapai ketenangan yang alami.
Ketenangan yang permanen-bukan dibuat-buat. Pada bagian ini seseorang
mencapai kedamaian Illahi sekaligus memancarkan cahaya ilahi pada
lingkungannya. Tidak ada lagi gundah-gulana, sedih-gembira, baik-buruk, yang
dapat mempengaruhinya. 6. Dhyana Dhyana (meditasi yang mendalam),
menyadari sesuatu tanpa ada gangguan lagi. 7. Samadhi Samadhi (tujuan akhir
meditasi), kondisi ini tidak dapat lagi dijelaskan. Inilah pencerahan, tempat
pertemuan antara kekasih dengan yang dikasihi, pertemuan antara hamba
dengan Tuan, pertemuan antara Khalik dengan mahluk. Demikian sekilas
penjelasan tentang 8 bagian yoga yang diajarkan oleh Patanjali. Kedelapan
bagian tersebut berkaitan-tidak bisa dipisahkan. Pelaksanaan dari 8 bagian
tersebut itu-lah yang disebut yoga dalam arti yang sesungguhnya. Ini perlu
dijelaskan karena bagi masyarakat Indonesia, yoga seringkali disalahartikan
sebagai “akrobat” atau semacam “praktek-praktek klenik”, dan lain sebagainya. I.
Kelenjar-kelenjar penting dalam tubuh Saling ketergantungan antara kelenjar dan
emosi dihubungkan oleh kelenjar endokrin, yang memimpin simponi tubuh yang
rumit dengan mengeluarkan cairan hormon ke dalam aliran darah. Hormon-
hormon ini mempunyai bermacam-macam efek tidak hanya terhadap fungsi
tubuh saja, seperti pertumbuhan, pencernaan, energi, seks, dan lain-lain,
melainkan juga berpengaruh terhadap pikiran. Kadar hormon memiliki efek yang
bermacam-macam terhadap suasana hati, temperamen dan efisiensi mental.
Kelebihan dan kekurangan hormon dapat menyebabkan gangguan emosi dan
mental, yang merusak kesehatan dan ketenangan pikiran. Kelebihan hormon
yang berasal dari kelenjar tiroid, misalnya akan membuat orang yang sangat
normal menjadi gugup dan mudah marah. Pada saat ovulasi seorang wanita
kelihatan optimis dan penuh percaya diri, yaitu pada saat hormon estrogen dan
progresteron berkadar tinggi, akan tetapi wanita tersebut akan menjadi was-was
dan pemarah ketika kadar hormonnya menurun, yaitu pada saat sebelum dan
selama menstruasi. Ada interaksi yang dinamis antara emosi, hormon dan
penyakit - antara tubuh dan pikiran. Hubungan di atas telah lama dirasakan oleh
para yogi yang mengembangkan sistem latihan untuk memberikan tekanan yang
spesifik pada bermacam-macam kelenjar endokrin. a. Kelenjar Pineal
Merupakan kelenjar yang paling misterius dalam tubuh manusia, terletak tepat di
tengah otak. Para Yogi menyebutkan sebagai salah satu bagian dari Guru
Chakra, yaitu yang berhubungan dengan tubuh fisik, dan merupakan inti jiwa
atau pengendali pikiran. Kelenjar ini mengeluarkan cairan hormon yang disebut
'seratonin' dan 'melatonin', yang tidak saja mempengaruhi oran-organ
tubuhnamun juga situasi pikiran. Kelenjar ini sangat sensitif terhadap cahaya,
sehingga pada saat malam jumlah melatonin yang dikeluarkan sangat tinggi dan
seratoin sangat rendah. Hal ini menghasilkan rasa rileks pada tubuh dan pikiran
sehingga kita mudah tertidur. Sepanjang siang hari, keadaan yang berlawanan
terjadi, jumlah melatonin berkurang dan seratonin bertambah, sehingga
menghasilkan suasana penuh aktivitas. Jika prosuksi seratonin secara bertahap
dihentikan, maka seseorang akan merasakan keadaan yang semakin damai
sebelum ia memasuki keadaan yang lebih tinggi dan dapat merasakan
kebahagiaan batin dan perasaan bersatu dengan alam. b. Kelenjar Pituitari
Dalam ilmu kedokteran disebut kelenjar utama, namun dalam kenyataannya
berfungsi sebagai stasiun pemancar bagi impuls-impuls yang muncul pada
hipotalamus di dalam otak, yang menghubungkan sistem saraf dengan sistem
kelenjar. Kelenjar ini mengirim berita dari hipotalamus ke semua kelenjar endkrin
dalam tubuh. Hormon pituitari merangsang gerakan usus, menggiatkan jalan
darah, mengontrol suhu tubuh, pertumbuhan, perkembangan dan menstimulir
kerja ginjal. Produksi kelenjar pituitari yang tidak semestinya mengakibatkan
pertumbuhan yang abnormal, seperti kegemukan, kerdil, terlalu besar, dsb. c.
Kelenjar Tiroid dan Paratiroid Terletak di leher (dengan lubang-lubangnya pada
kedua sisi jakun), mengendalikan kecepatan metabolik tubuh, dimana terjadi
proses kimia dari tubuh. Kelenjar ini mengatur proses perbaikan dan
pembuangan. Hormon yang dihasilkan dari kelenjar 'paratiroid' mengatur
metabolisme kalsiun dan fosfor. Ketidak seimbangan kelenjar tiroid ini bisa
berakibat serius. Kelebihan sedikit produksi hormon ini akan menyebabkan
seseorang mudah sekali tersinggung, sedangkan kelebihan banyak kelenjar
tiroid akan menyebabkan gugup, jantung berdebar, sulit tidur, gangguan usus,
serng berkeringat, gemetar, kehilangan berat badan. Sebaliknya kekurangan
hormon ini akan menyebabkan rasa lelah dan lemah, sedangkan sangat
kekurangan hormon ini akan menyebabkan metabolisme yang lambat, lemah
jantung, sehu rendah, dungu, nafsu makan turun, lambat bicara dan kegemukan.
d. Kelenjar Timus Terletak di belakang tulang dada, pada masa anak-anak
bentuknya sangat besar dan mengkerut menjadi seperempat dari bentuk aslinya
pada masa puber. Kelenjar ini mengatur daya tahan tubuh terhadap penyakit. e.
Kelenjar Adrenal Terletak tepat di atas ginjal, membantu mengendalikan
pengeluaran panas dan energi secara mendadak dan menstimulir respon untuk
melawan atau menghindar. Pada saat krisis, ketika semua tergantung pada kerja
otot, maka otak akan mengirim berita kepada kelenjar ini, yang segera
mengeluarkan cairannya ke dalam aliran darah. Cairan adrenalin mempercepat
kerja jantung dan memperlebar aliran darah ke otot serta menstimulir kelenjar
keringat, sehingga tubuh menjadi sejuk. Hal ini memperlambat gerakan organ
pencernaan dan mengkontraksi aliran-aliran darahnya, hal ini membuat limpa
mengeluarkan simpanan gulanya sehingga otot-otot mempunyai suplai bahan
bakar yang berlimpah. Seseorang yang kelenjar adrenalnya tidak mampu
berproduksi secara cukup, tidak akan beraksi degan baik pada saat menghadapi
suatu krisis, sebaliknya apabila terlalu banyak beroduksi akan menyebabkan
ketegangan saraf. f. Kelenjar Pankreas Terletak di perut dan menghasilkan
enzim pencernaan yang disalurkan ke dalam usus kecil, seperti insulin, suatu
hormon yang menurunkan kadar gula (yang menjadi sumber energi) dalam
darah. Kerusakan kelenjar ini menyebabkan penyakit diabetes. g. Kelenjar
Gonads Gonads (ovarium dan testis) terutama mengatur fungsi seksual. Pada
wanita, ovarium terletak di daerah perut dan pada pria, testis terletak di daerah
kantung kemaluan. Kelenjar ini memproduksi sperma dan sel telur,
mengeluarkan andrenogen (hormon seks pria) dan estrogen (hormon seks
wanita). Hormon-hormon ini mengatur perkembangan fisik dan pola seksual.
Proporsi hormon yang tepat menyebabkan terjadinya keseimbangan
kepribadian. II. Efek Asanas Seluruh jaringan, sel, organ tubuh manusia
dipengaruhi oleh hormon, pertumbuhan yang wajar dan fungsi bermacam-
macam bagian tubuh hanya mungkin berjalan jika ada keseimbangan
pengeluaran hormon, ketidak seimbangan sedikit saja dapat menyebabkan
terjadinya berbagai macam penyakit. Gerakan asanas membuat produksi
hormon dari berbagai kelenjar menjadi seimbang. Posisi menekuk dan meregang
dari gerakan asanas yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu, memberikan
tekanan yang khusus dan kontinyu pada kelenjar-kelenjar, sehingga akan
merangsang kelenjar dengan berbagai cara, mengatur produksi kelenjar dan
akhirnya akan mengontrol emosi. Jika keseimbangan kelenjar teratasi, pikiran
menjadi bebas dan ganggunan emosi serta ketenangan batin yang sempurna
akan tercapai.
Kecintaan akan Cinta
Sunday, May 24, 2009, 10:14:16 AM | Lingga Buana
Aku mencintaiMu dengan dua cinta yaitu cinta karena keinginan Dan cinta
karena Engkau layak untuk dicintai Adapun yang merupakan cinta karena
keinginan, Maka kesibukanku dengan mengingatiMu daripada mengingati
selainMu. Adapun cinta karena Engkaulah yang layak untuknya, Maka Engkau
menyingkap untukku tabir sehingga aku melihatMu. Tiada pujian dalam
kecintaan ini maupun kecintaan itu bagiku, Tetapi hanyalah bagimu segala pujian
pada kedua-dua cinta itu
WARISAN NILAI BUDAYA SUNDA
Saturday, May 16, 2009, 8:06:08 AM | Lingga Buana
Pakuan mencapai puncak perkembangannya dalam masa pemerintahan Sri
Baduga Maharaja--yang oleh masyarakat Jawa Barat dikenal dengan Prabu
Siliwangi. Sejalan dengan itu penduduk Pakuan pun mencapai jumlah nomor dua
terbesar di antara kota-kota di Nusantara waktu itu. Masa inilah yang disebut
"Gemuh Pakuan" dalam beberapa naskah tradisional karena di daerah-daerah
pun banyak kerabat atau yang terikat kekerabatan dengan Siliwangi menjadi
pemegang kekuasaan dan mengembangkan kesejahteraan hidup di
kawasannya. Zaman dahulu, ketika segala hal masih harus dikerjakan dengan
tenaga manusia, jumlah penduduk menjadi ciri kemajuan dan kemakmuran
negara. Bagi negara agraris zaman dulu, penyerangan dan penaklukan negara
tetangga lebih ditujukan kepada upaya menambah jumlah penduduk dari pada
perluasan tanah. Oleh sebab itul, negara agraris dalam zaman silam selalu
mengidap watak agresif yang tersembunyi dan akan meledak setiap kali ada
kesempatan. Negara yang banyak penduduknya disebut negara gemah ripah.
Gemah atau gemuh berarti "banyak penduduknya" (Volkrijk, menurut Coolsma),
sedangkan ripah atau rimpah artinya "limpah" atau "meluap". Jadi, Gemah-ripah
mengandung arti "sangat banyak penduduk seolah-olah melimpah". Entah
mengapa, timbul salah kaprah mengenai artinya yang pada saat ini banyak
dipahami sebagai "subur makmur". Akibat pengaruh Hindu, kata gemah-ripah
sering disambung dengan loh jinawi. Loh atau iwah berarti "sungai", dan jinawi
adalah nama lain untuk Sungai Gangga di India. Jadi, arti utuh dari gemah-ripah
loh jinawi adalah "padat dan banyak sekali penduduknya seperti daerah Sungai
Gangga". Keadaan seperti ini memang yang didambakan negara agraris zaman
dahulu. Masa Gemah Pakuan disertai oleh kemajuan dalam berbagai segi
kehidupan, sesuai dengan zamannya, apa yang kita sebut maju waktu itu,
mungkin hanya keadaan "sederhana" menurut ukuran hidup masa sekarang.
Meski demikian, ada hal yang sifatnya bisa "abadi" jika dilihat dari segi isi dan
maknanya, yaitu nilai budaya. Dari zaman Siliwangi, kita diwarisi naskah kuno
yang disebut Siksa Kandang Karesian dan Kundangeun Urang Reya (Pegangan
Hidup Orang Banyak). Naskah ini tersiri atas 30 lembar dan pada akhir naskah
dicantumkan tahun penulisannya, yaitu nora catur sagara wulan (tahun 1440
Saka atau 1518 M). Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode
Kropak 630. Sebagian isi dari naskah itu berisi: dasakerta (sepuluh
kesejahteraan); tapa di nagara; panca parisuda; hidup penuh berkah; parigeuing
dan dasapasanta; tritangtu di bumi (Tiga Posisi di Dunia). 1. Dasakerta (Sepuluh
Kesejahteraan) Kesejahteraan hidup dapat kita capai bila kita mampu
memelihara kegunaan 10 bagian tubuh, yaitu: telinga, mata, kulit, lidah, hidung,
mulut, tangan, kaki, tumbung (dubur), dan alat kelamin (baga atau purusa).
Berikut kutipannya: "Telinga jangan mendengarkan hal-hal yang tidak layak
didengar karena menjadi pintu bencana penyebab kita menemukan
kesengsaraan di dasar kenistaan neraka, tetapi bila (telinga) digunakan untuk
hal-hal yang baik, kita akan memeroleh keutamaan dari pendengarannya" Dukun
bayi zaman dulu selalu membisikkan ajaran ini pada telinga kiri si bayi setelah
bayi itu dimandikan. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang pertama-tama
diperkenalkan kepada manusia adalah ajaran moral tentang hidup bersusila. 2.
Tapa di Nagara Naskah itu menyebut sebagai contoh 29 macam pekerjaan yang
bermanfaat bagi umum, di antaranya: menteri, bayangkara, pandai besi, prajurit,
petani, anak gembala, dalang, dan lain-lain. Lalu dijelaskan: "Eta kehna
turutaneun, kena eta ngawakan tapa di nagara" (Semua itu patut ditiru karena
mereka itu melakuan tapa dalam negara). Jadi, yang dimaksud dengan tapa ini
adalah melaksanakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum. Oleh
sebab itu, penulis Carita Parahyangan mencela sikap Ratu Dewata yang
melakukan cara tapa yang tidak sesuai dengan tugasnya sebagai raja sementara
keadaan negara terancam musuh. 3. Panca Parisuda Panca parisuda
mengandung arti "lima obat penawar". Ini kaitannya dengan sikap menerima
celaan atau kritik: "lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih" (bila ada
yang mengkritik kepada kita, terimalah kritik orang lain itu). Anggaplah: - ibarat
kita sedang dekil menemukan air untuk mandi; - ibarat kita sedang burik ada
orang yang meminyaki; - ibarat kita sedang lapar ada orang yang memberi nasi;
- ibarat kita sedang dahaga ada orang yang mengantarkan minuman; - ibarat kita
sedang kesal datang orang yang membawakan sirih-pinang (sepaheun). Dengan
sikap seperti itu dikatakannya:"kadyangga ning galah cedek tinugalan teka"
(sama halnya dengan galah sodok dipapas runcing). Artinya: galah cedek
(bambu runcing) makin pendek makin baik, karenanya kemungkinan patah
makin berkurang. Dengan kritik, akal budi kita akan menjadi makin kukuh dan
tajam. Disebutkan pula: "lamun makasuka urang kangken pare beurat sangga"
(kalau senang menerima kritik orang, kita akan seperti padi yang runduk karena
berat berisi). 4. Hidup yang Penuh Berkah Ajaran ini merupakan pelengkap hidup
agar selamat dalam kehidupan dan mendapat berkah dalam rumah tangga
harus. Maka itu kita harus: - cermat (emet); - teliti (imeut); - rajin (rajeun); - tekun
(leukeun); - cukup sandang (paka predana); - bersemangat (morogol-rogol); -
berpribadi pahlawan (purusa ningsa); - bijaksana (widagda); - berani berkurban
(hapitan); - dermawan (waleya); - gesit (cangcingan); - cekatan (langsitan).
Prinsip hidupnya adalah: tidak menyusahkan orang lain, hidup berkecukupan,
tetapi tidak berlebihan. Disebutkan: "Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak
tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan" (Hendaknya kita
ingat, bahwa tidur sekadar penghilang kantuk, minum tuak sekadar pelepas
haus, makan sekadar penghilang lapar, janganlah kita berlebihan). 5. Parigeuing
dan Dasapasanta Hidup yang cukup itu harus disertai tiga kemampuan (tri
geuing), yaitu: geuing, upageuing, dan parigeuing. Geuing adalah "bisa ngicap
ngicup dina kasukaan" (bisa makan dan minum dalam kesenangan). Upageuing
adalah "bisa nyandang bisa nganggo, bisa babasahan bisa dibusana" (bisa
berpakaian, bisa punya cadangan pakaian bila yang lain dicuci, bisa berdandan).
Parigeuing adalah "bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawanginya mana
hanteu surah nu dipiwarang" (bisa memberi perintah, bisa menyuruh karena tutur
bahasa yang manis sehingga orang yang disuruh tidak merasa jengkel hatinya).
Parigeuing memerlukan dasapasanta (10 cara penenang), yaitu: 1. bijaksana
(guna); 2. ramah (rama); 3. sayang (hook); 4. memikat (pesok); 5. kasih (asih); 6.
iba hati (karunya); 7. membujuk (mupreruk); 8. memuji (ngulas); 9. membesarkan
hati (nyecep); 10. mengambil hati (ngala angen); Tujuan dari hal di atas adalah:
"nya mana suka bungah padang-caang nu dipiwarang" (agar senang dan penuh
kegairahan orang yang disuruh). Harus kita akui, bahwa seseorang menjalankan
perintah dengan penuh rasa senang dan gairah, prestasinya akan maksimal.
Yang terutama adalah janganlah kita mengabaikan harga diri seseorang. 6.
Tritangtu di Bumi (Tiga Posisi di Dunia) Dalam kehidupan masyarakat Jawa
Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tongak kehidupan, yaitu: - rama
(pendiri kampung yang menjadi pemimpin masyarakat dan keturunannya yang
mewarisi jabatan itu); - resi (ulama atau pendeta); - prabu (raja, pemegang
kekuasaan). Dalam naskah dianjurkan agar orang berusaha memiliki: - bayu
pinaka prabu (wibawa seorang raja); - sabda pinaka rama (ucapan seorang
rama); - hedap pinaka resi (tekad seorang resi). Tugas ketiga tokoh itu dalam
Kropak 632 ditegaskan: "jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi,
jagat palangka di sang prabu" (urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab
sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung
jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab
raja/pemegang kekuasaan). Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena "pada
pawitannya, pada muliyana" (sama asal-usulnya, sama mulianya). Oleh karena
itu diantara ketiganya: "haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala
pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka pada mulia ku ulah,ku sabda ku
hedap si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar,
semu guyu, tejah ambek guru basa dina urang sakabeh, tuha kalawan anwam,"
Artinya: jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut
hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan
tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh,
yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan
mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda. Tritangtu sebagai
sistem kepemimpinan itu masih dilaksanakan di Kanekes. Orang Badui
menyebutnya Tangtu Telu. Ketiga orang Puun di Kanekes masing-masing
menempati posisi Resi (Puun Cikertawana), Rama (Puun Cikeusik), dan
Ponggawa (Puun Cibeo). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga Puun itu berkuada
penuh di daerah masing-masing. Tetapi dalam hal umum menyangkut seluruh
Kanekes, barulah fungsi Tangtu Telu itu berlaku. Pada dasarnya ketiga posisi itu
terdapat pula dalam masyarakat kita sekarang, yaitu pemuka masyarakat,
ulama, dan pemerintah. Apa yang diharapkan dari trio itu pada zaman Siliwangi
masih diharapkan juga dewasa ini. Tradisi tidak selamanya usang. Anggap
sajalah semua itu "wangsit Siliwangi" karena memang ditulus sebagai
"perudang-undangan" pada zamannya. Bagian akhir naskah Siksa Kandang
Karesian berisi anjuran agar orang tua tidak mengawinkan anak-anaknya yang
masih di bawah umur: "hanteu yogya mijodohkeun bocah, bisi kabawa salah, bisi
kaparisedek nu ngajadikeun" (tidak layak mengawinkan anak kecil, agar tidak
terbawa salah, agar tidak merepotkan yang menjodohkan). Bila memperhatikan
ajaran moral dalam zaman Siliwangi melalui naskah tersebut, mengertilah kita
mengapa sikap Ratu Dewata, Ratu Sakti, dan Nilakendra sangat dicela oelh
penulis Carita Parahyangan: "Aja tinut de sang karuwi polah sang nata" (jangan
ditiru oleh yang kemudian kelakuan sang raja). Itulah beberapa warisan nilai
budaya dari zaman Siliwangi yang sekarang pun tampaknya masih bisa
dimanfaatkan oleh kita sebagai "seuweu-siwi" atau "anak-cucu" Siliwangi.
Kepustakaan Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda
berdasarkan Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka
Jaya. Danasasmita,Saleh. 2003. Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung
Prabu Siliwang. Bandung: Kiblat Buku Utama. Iskandar, Yoseph. 1997. Sejarah
Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten. Sumber dari :
http://wacananusantara.org
Kearifan Tradisional : Jati Diri Ki Sunda dalam Perspektif Sejarah
Saturday, May 16, 2009, 7:36:50 AM | Lingga Buana
*) I. PENDAHULUAN Tema seminar “Ngaguar Budaya Sunda Pikeun
Mulangkeun Jati Diri Ki Sunda” (“Mengungkap Budaya Sunda Untuk
Mengembalikan Jati Diri Ki Sunda”), sangatlah tepat. Tema itu mengandung
makna, bahwa kini jati diri Ki Sunda cenderung luntur. Memang sekarang budaya
Sunda seolah-olah terserabut dari akarnya oleh pengaruh budaya lain (budaya
deungeun). Banyak orang Sunda yang seolah-olah kehilangan atau lupa akan
jati dirinya. Hal itu menyebabkan kondisi Ki Sunda saat ini sering dibahas, baik
dalam forum diskusi dan seminar, maupun dalam mass media. Berbicara
mengenai jati diri Ki Sunda dengan tujuan untuk mengembalikan ke asalnya,
berarti harus membicarakan masa awal eksistensi Ki Sunda, karena jatidiri Ki
Sunda dapat diketahui dengan memahami eksistensi Ki Sunda di masa lampau.
Sumber-sumber yang relevan menunjukkan – secara tersurat atau tersirat --, jati
diri itu tercermin dalam budaya kekuasaan, budaya kepemimpinan, dan budaya
hidup pribadi dan bermasyarakat. Budaya itu mencerminkan pula sifat dan sikap
Ki Sunda. Dalam budaya-budaya itulah adanya unsur-unsur jati diri Ki Sunda.
Dengan kata lain, berbicara jati diri Ki Sunda berarti harus ngaguar sejarah
Sunda. Perlu dikemukakan, bahwa tradisi (penulisan) sejarah di Indonesia
sampai dengan pertengahan abad ke-20, berorientasi kepada sejarah orang
besar (tokoh pemerintahan dan politik). Kiprah rakyat (orang kecil/wong cilik)
tidak terekam dalam sejarah secara eksplisit. Oleh karena itu, Ki Sunda dalam
pembicaraan ini punterutama diwakili oleh kaum elit (golongan ménak),
khususnya elit politik (elitbirokrasi). II. GAMBARAN JATI DIRI KI SUNDA 2.1 Akar
Jati Diri Ki Sunda Secara historis, akar jati diri Ki Sunda berada pada masa
kerajaan. Sejumlah sumber sejarah menunjukkan, bahwa Ki Sunda mulai muncul
dalam panggung sejarah ditandai oleh berdirinya kerajaan pertama di Tatar
Sunda, yaitu Kerajaan Tarumanagara. Kerajaan itu didirikan oleh
Jayasingawarman alias Maharesi Rajadirajaguru pada pertengahan abad ke-4.
Ia memerintah tahun 358 – 382 M.). Eksistensi Kerajaan Tarumanagara
berlangsung selama lebih-kurang tiga setengah abad (pertengahan abad ke-4
s.d. akhir abad ke-7), diperintah oleh 13 orang raja secara berkesinambungan.
Raja yang paling terkenal adalah Purnawarman, raja Tarumanagara ketiga (395
– 434 M.). Ketika Kerajaan Tarumanagara diperintah oleh Maharaja Tarusbawa,
raja ke- 13 atau raja Tarumanagara terakhir (669 – 723 M.), pamor
Tarumanagara sudah menurun. Untuk meningkatkan kembali citra dan
kebesaran kerajaan seperti pada jaman Purnawarman, Maharaja Tarusbawa
mengubah nama kerajaannya menjadi Kerajaan Sunda (tahun 670 M.). Informasi
itu setidaknya mengandung dua arti. Pertama, raja-raja Tarumanagara boleh jadi
keturunan orang Sunda. Kedua, Maharaja Tarusbawa adalah pendiri Kerajaan
Sunda, tetapi kerajaan itu merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran, karena
Maharaja Tarusbawa memindahkan pusat pemerintahan dari daerah pantai ke
Pakuan (Pakuan Pajajaran) di daerah pedalaman. Hampir seiring dengan
kemunculan Kerajaan Sunda, di Tatar Sunda berdiri pula Kerajaan Galuh yang
diproklamasikan oleh Wretikandayun. Tahun 612 M. Wretikandayun mewarisi
tahta Kerajaan Kendan (Kerajaan Kendan berlokasi di daerah Nagreg sekarang.
Wretikandayun menggantikan ayahnya, yaitu Sang Kandiawan (Rajaresi
Dewaraja), raja Kendan yang ketiga) bawahan Tarumanagara. Akan tetapi,
Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan. Ia mendirikan ibukota baru
dengan nama Galuh (tempat itu sekarang bernama Karangkamulyan).
Lemahnya pamor Tarumanagara mendorong Wretikandayun untuk melepaskan
diri dari kekuasaan kerajaan tersebut, Hal itu disebabkan Wretikandayun
memiliki hubungan keluarga dengan raja-raja Tarumanagara, khususnya
keturunan Maharaja Kertawarman, raja Tarumanagara ke-8 (561 – 628 M.).
Selain karena faktor hubungan keluarga, hal itu terjadi pula karena Maharaja
Tarusbawa miliki sifat suka berdamai. Hubungan antara Kerajaan Sunda dengan
Kerajaan Galuh terus berlangsung dengan baik, bahkan untuk beberapa waktu
lamanya, kedua kerajaan itu bersatu menjadi Kerajaan Sunda-Galuh. Hal itu
terjadi mulai tahun 723 M. ketika Kerajaan Sunda/Pajajaran diperintah oleh
Maharaja Tarusbawa, dan Kerajaan Galuh diperintah oleh Sanjaya (723 – 732
M.). Maharaja Tarusbawa mewariskan tahta Kerajaan Sunda kepada Sanjaya
selaku menantunya. Perpaduan Kerajaan Sunda-Galuh setidaknya berlangsung
sampai dengan akhir abad ke-15. Pusat kerajaan itu berpindah-pindah, dari
Pakuan Pajajaran ke Galuh, dari Galuh ke Kawali, kemudian pindah lagi ke
Pakuan Pajajaran (ketika pusat kerajaan berada di Pakuan Pajajaran,
pemerintahan di Galuh terus berlangsung. Hal itu berarti terjadi dualisme
pemerintahan, yaitu adanya pemerintahan Kerajaan Sunda- Pajajaran dan
pemerintahan Kerajaan Sunda-Galuh). Pusat kerajaan berada di Galuh diduga
berlangsung hingga tahun 739 M., akhir masa pemerintahan Rahiyang
Tamperan, putra Sanjaya. Pada masa pemerintahan putra Tamperan, yaitu
Rahiyang Banga (739 – 766 M.), pusat pemerintahan pindah lagi ke Pakuan
Pajajaran. Sejak pemerintahan Linggadewata (1311 –1333 M.) sampai dengan
awal pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482 M.), Kerajaan Sunda-Galuh
dikendalikan dari Keraton Surawisesa di Kawali. Selama pusat kerajaan berada
di Kawali, kerajaan tersebut mengalami kejayaan, diperintah oleh 7 orang raja
secara berkesinambungan. Raja-raja yang terkenal antara lain Prabu Maharaja
(Ia adalah raja Sunda yang gugur dalam “Perang Bubat” tahun1357 M) alias
Linggabuana (1350 – 1357), Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475) (Waktu itu
penyebaran agama Islam dari Cirebon mulai masuk ke daerah Galuh), dan Sri
Baduga Maharaja (1482 – 1521 M.). Pada masa pemerintahan Sri Baduga
Maharaja, pusat pemerintahan pindah lagi ke Pakuan Pajajaran. Hal itu
berlangsung sampai pemerintahan Nusiya Mulya (1567 – 1579). Tahun 1579
pemerintahan Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh akibat gerakan pasukan Banten
dalam rangka penyebaran agama Islam. Setelah kejadian itu, Kerajaan Galuh
berdiri sendiri dan berlangsung hingga akhir abad ke-16 (Batas-batas wilayah
Kerajaan Galuh waktu itu adalah : Sumedang batas sebelah utara). Mulai kira-
kira tahun 1580, Kerajaan Galuh diperintah oleh Prabu Sanghiyang Cipta di
Galuh, putra Prabu Haurkuning7), dilanjutkan oleh Prabu Galuh Cipta Permana
sampai akhir abad ke-16. Ia berkedudukan di Gara Tengah (Cineam). Sampai
dengan akhir abad ke-16, boleh jadi jati diri Ki Sunda mengakar cukup kuat,
karena belum terpengaruh atau terganggu oleh budaya luar. Pengaruh dari luar
baru terjadi sejak Mataram menguasai Galuh. Tahun 1595 Galuh jatuh ke dalam
kekuasaan Mataram di bawah pemerintahan Senopati (1586 – 1601).
Pemerintahan di Galuh dijalankan oleh Adipati Panaekan yang diangkat oleh
penguasa Mataram menjadi Bupati Wedana Galuh. Berdasarkan jabatan dan
gelar adipati pada diri Adipati Panaekan, diduga sejak itulah Galuh menjadi
sebuah kabupaten, yaitu sebagai kabupaten vassal Mataram. Perubahan status
Galuh dari kerajaan menjadi kabupaten merupakan salah satu pengaruh
Mataram (Jawa) terhadap kehidupan Ki Sunda. Pengaruh budaya Mataram yang
cukup kuat terhadap Ki Sunda adalah feodalisme. Pengaruh itu terutama terjadi
melalui bahasa, sehingga dalam bahasa Sunda terjadi undak-usuk (tingkatan)
bahasa Huruf Jawa (Cacarakan) disosialisasikan dengan efektip dalam
kehidupan di Tatar Sunda, sehingga sampai sekarang pun masih ada orang
Sunda yang menganggap, bahwa Cacarakan adalah huruf Sunda). Dalam
eksistensi Ki Sunda masa selanjutnya, perpaduan budaya Sunda dan budaya
Jawa, disadari atau pun tidak, menjadi jati diri Ki Sunda. 2.2 Unsur-Unsur Jati
Diri Ki Sunda Telah disebutkan (pada uraian pendahuluan), bahwa jati diri Ki
Sunda dapat dipahami melalui budaya kekuasaan dan kepemimpinan Ki Sunda
di masa kerajaan, yang menunjukkan karakter pemiliknya. Beberapa prasasti
peninggalan Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu, Prasasti Ciaruteun,
Prasasti Kebon Kopi, dan Prasasti Cidangiang) menginformasikan tentang
keagungan Purnawarman. Ia memiliki kekuasaan besar dan gagah berani. Oleh
karena itu ia memiliki kharisma dan wibawa sangat besar, sehingga
pemerintahannya berlangsung berdasarkan konsep otoritas-kharismatik.
Meskipun kekuasaan raja bersifat absolut, tetapi dalam menjalankan
kepemimpinannya, ia adalah raja yang memiliki sifat-sifat baik, yait u bijaksana,
jujur, kesatria, dermawan, dan hormat kepada para pangeran (pejabat tinggi
kerajaan). Kebesaran, wibawa, dan kekuasaan Purnawarman dinyatakan dalam
Prasasti Tugu dan Cidangiang, bahwa Purnawarman adalah “panji sekalian raja”.
Sifat-sifat tersebut merupakan “akar” dari unsur-unsur jati diri Ki Sunda, karena
sifat-sifat itu diwarisi oleh raja-raja Sunda berikutnya, termasuk raja-raja Galuh.
Para pejabat tinggi bawahan raja pun kiranya menyerap sifat dan sikap raja
melalui hubungan “kawula-gusti”. Sumber-sumber sejarah yang akurat, antara
lain prasasti, menyatakan bahwa Kerajaan Sunda dan Galuh dalam
eksistensinya mengalami kejayaan. Kehidupan kerajaan dan masyarakatnya
mengalami kesejahteraan. Hal itu terjadi berkat kepemimpinan yang baik dari
raja-raja pada umumnya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, baik
dalam menjalankan pemerintahan maupun dalam mengayomi masyarakat.
Kekuasaan raja banyak ditujukan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, raja
disenangi oleh rakyat dan menjadi panutan. Raja-raja Sunda yang memerintah
silih berganti, meninggalkan nama yang wangi (citra yang baik), sehingga
muncul julukan “siliwangi” bagi raja-raja Sunda. Meskipun raja-raja Sunda
memiliki kekuasaan absolut, tetapi mereka pun memiliki dan menerapkan sikap
demokratis. Misalnya, Indrawarman, raja Tarumanagara kelima (455 – 515 M.)
dan Sanjaya, raja Sunda-Galuh (723 – 732 M.), tidak mengharuskan (memaksa)
rakyatnya untuk memluk agama/ajaran yang dianut oleh raja/keluarga kerajaan.
Dalam menentukan batas wilayah kerajaan, Sanjaya melakukannya melalui
musyawarah. Candrawarman, raja Tarumanagara keenam (515 – 535 M.),
menyerahkan kembali pemerintahan beberapa daerah kekuasaannya kepada
keturunan raja-raja daerah yang bersangkutan. Bahwa sifat demokratis telah
terdapat dalam budaya kekuasaan dan kepemimpinan Sunda masa kerajaan,
ditunjukkan dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Naskah itu
antara lain berisi ajaran kesusilaan (moral) dan gambaran birokrasi Kerajaan
Sunda. Bagian awal naskah itu memuat dasar ajaran “Sanghyang Sasanakreta”
(cara mencapai kesejahteraan), yaitu ajaran untuk melangsungkan
pemerintahan. Dalam ajaran itu antara lain disebutkan bahwa “Siapa (penguasa)
yang hendak menegakkan Sasanakreta, agar dapat lama hidup, lama berjaya,
ternak berkembang biak, tanaman subur, selalu unggul dalam perang,
sumbernya terletak pada orang banyak (rakyat)”. Disebutkan pula, bahwa
apabila raja teguh dalam tugasnya sebagai penguasa, maka akan sejahteralah
kerajaannya. Ajaran tersebut rupanya dilaksanakan oleh raja-raja Sunda. Hal itu
antara lain ditunjukkan oleh Prasasti Kawali – yang bertuliskan huruf Sunda --
peninggalan Prabu Wastukancana atau Prabu Raja Wastu (1371 – 1475). Dalam
Prasasti Kawali I antara lain dinyatakan “….. parebu raja wastu mangadeg di
kuta kawali ….. nu najur sagala desa …..” (“….. Prabu Raja Wastu bertahta di
kota Kawali ….. yang mensejahterakan seluruh negeri …..”). Melalui prasasti itu,
ia juga berwasiat kepada para penerusnya agar “membiasakan diri berbuat
kebajikan agar lama berjaya di dunia” (“pakena gawe rahayu pakeun heubeul
jaya di buana”). Dalam Prasasti Kawali II, Prabu Wastukancana juga berwasiat
agar “membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam
perang” (“pakena kereta bener pakeun nanjeur na juritan”). Data tersebut
menunjukkan bahwa kepemimpinan raja-raja Sunda pada umumnya termasuk ke
dalam tipe pemimpin ideal, seperti disebutkan dalam naskah Carita
Parahiyangan. Secara garis besar, tipe raja yang ideal menurut naskah itu
adalah raja yang taat menjalankan ajaran agama, memelihara tradisi
leluhur,menghormati pemimpin agama, memakmurkan negeri, mensejahterakan
dan menenteramkan kehidupan rakyat. Sifat dan sikap raja-raja Sunda tersebut,
pada dasarnya terus terpelihara, paling tidak sampai dengan abad ke-19.
Meskipun sejak akhir abad ke-16 kehidupan di Tatar Sunda mendapat pengaruh
budaya luar (pengaruh Mataram, Belanda, dan pengaruh budaya asing lainnya),
tetapi jati diri Ki Sunda pada masa kerajaan padasarnya diwarisi oleh para bupati
Sunda umumnya pada masa kolonial. Hal itu ditunjukkan oleh sejumlah sumber
sejarah yang cukup akurat, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Itulah
gambaran jati diri Ki Sunda yang pada hakekatnya mengacu pada sifat dan sikap
yang baik. Sifat dan sikap itu pula yang menjadi pandangan hidup Ki Sunda,
seperti tercermin dalam sejumlah ungkapan tradisional. Ungkapan itu
menunjukan pandangan hidup Ki Sunda tentang sikap manusia : a) Manusia
secara pribadi. b) Hubungan pribadi dengan masyarakat (kehidupan
bermasyarakat). c) Sikap manusia yang mengacu pada alam. d) Hubungan
manusia dengan Tuhan. e) Sikap manusia dalam mengejar kemajuan. Contoh
ungkapan-ungkapan dimaksud antara lain sebagai berikut : a) Pandangan hidup
manusia secara pribadi. • Kudu hadé gogog hadé tagog (Harus baik budi bahasa
dan tingkah laku) • Teu busik bulu salambar (Pendirian yang kuat) b) Pandangan
hidup mengenai hubungan pribadi dengan masyarakat. • Silih asih, silih asah,
silih asuh (Saling mengasihi, saling bantu, saling jaga untuk kebaikan) • Ulah
nyieun pucuk ti girang (Jangan mencari-cari bibit permusuhan) c) Sikap manusia
yang mengacu pada alam • Manuk hiber ku jangjangna, jalma hirup ku akalna
(Setiap mahluk memiliki cara untuk melangsungkan kehidupannya) d)
Pandangan hidup mengenai hubungan manusia dengan Tuhan. • Mulih ka jati
mulang ka asal (Kematian itu bermakna berasal dari Tuhan, kembali kepada
Tuhan). e) Sikap manusia dalam mengejar kemajuan. • Ulah puraga tamba
kadenda (Melakukan suatu pekerjaan harus sungguhsungguh, jangan asal-
asalan). • Kudu tungkul ka jukut, tanggah ka sadapan (Dalam menghadapi suatu
urusan/pekerjaan harus konsentrasi, jangan tergoda oleh hal lain). Ungkapan-
ungkapan tersebut berasal dari masa lampau, kemudian diserap secara turun-
temurun. Oleh karena itu, makna ungkapan-ungkapan itu pun merupakan unsur
atau bagian dari jati diri Ki Sunda. III. PENUTUP Secara historis, jati diri Ki
Sunda berakar dari masa lampau yang bertitik tolak dari masa kerajaan. Jati diri
itu ditunjukkan oleh karakter yang tercermin dalam budaya kekuasaan, budaya
kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi dan bermasyarakat. Masa kerajaan di
Tatar Sunda berlangsung sangat lama, lebih-kurang 13 abad (pertengahan abad
ke-4 s.d. akhir abad ke-16). Oleh karena itu, jati diri Ki Sunda mengakar dengan
kuat. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah Ki Sunda, jati diri itu cenderung
berangsur-angsur luntur, bahkan sekarang banyak orang Sunda yang terkesan
kehilangan jati diri. Kondisi tersebut kiranya disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, akibat pengaruh budaya lain (budaya deungeun). Unsur-unsur budaya
lain, khususnya budaya barat, makin lama makin masuk dan meresap dalam
kehidupan Ki Sunda, akibat perkembangan teknologi, antara lain media
elektronik (televisi dan lain-lain). Dampaknya, “tontonan menjadi tuntunan”.
Kedua, dari contoh-contoh kasus yang terjadi, terkesan adanya sikap yang
cenderung kebablasan dalam mengartikan kemerdekaan dan reformasi.
Kemerdekaan diartikan sebagai kebebasan, dan reformasi diterapkan pula
terhadap jati diri (reformasi jati diri). Ketiga, secara umum, sekarang ini hampir
tidak ada pemimpin yang benarbenar dapat menjadi panutan. Sejak Indonesia
merdeka, lepas dari belenggu penjajahan sampai sekarang, Ki Sunda belum
memiliki pemimpin yang menduduki jabatan tertinggi di tingkat nasional.
Pemimpin Ki Sunda di tingkat daerah, terkesan kurang memelihara jati diri Ki
Sunda khususnya dan budaya Sunda umumnya. Keempat, bangsa kita,
termasuk Ki Sunda, umumnya kurang memiliki kesadaran sejarah. Padahal
sejarah berisi akumulasi pengalaman penting manusia, yang maknanya baik
untuk dipetik sebagai bahan pelajaran. Oleh karena itu, pikeun mulangkeun deui
(untuk mengembalikan lagi) jati diri Ki Sunda, maka Ki Sunda harus mau belajar
dari sejarah, dalam arti belajar dari pengalaman dan memahami makna
kejadian/peristiwa yang telah terjadi dalam kehidupan Ki Sunda khususnya dan
kehidupan bangsa Indonesia umumnya. Gentra Galuh, Edisi III/Oktober/2007 *)
oleh Sobana Hardjasaputra Penulis adalah sejarawan dan pustakawan pada
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Makalah disampaikan dalam seminar
bertema ‘Ngaguar Budaya Sunda Pikeun Mulangkeun Jati Diri Ki Sunda”.
Seminar diselenggarakan oleh Yayasan Wawangi Sunda bekerjasama dengan
Pamanahan (Paguyuban Mahasiswa Tanah Pasundan, KPM Galuh Rahayu
Yogyakarta, tanggal 25 September 2003 di Kampus UGM SUMBER ACUAN
Alisjahbana, Samiati. 1954. A Preliminary Study of Class Structure Among the
Sundanese in the Priangan. Master Thesis. Cornell University. Atja. 1981. Carita
Parahiyangan; Transkripsi, Terjemahan dan Komentar. Bandung : Poyek
Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. --------. 1981. Sanghiang Siksa
Kanda Ng Karesian. Bandung : Poyek Pengembangan Permuseuman Jawa
Barat. Berg, L.W.C. van den. 1902. De Inlandsche Rangen en Titels op Java en
Madoera. ‘s-Gravenhage : Martinus Nijhoff. Danasasmita, Saleh et al.
1983/1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Jilid ke-2 dan
ke-3. Bandung : Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat. --------. 1985. Siliwangi
Sebagai Pangkal Silsilah Kebangsawanan. Makalah pada Seminar Sejarah dan
Tradisi tentang Prabu Siliwangi. Bandung. --------. 1987. Sewaka Dharma,
Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat dari Galunggung. Bandung : Proyek
Sundanologi. Deenik, A.C. 1929. Aanvulingen op Babad Pasoendan Djeung
Ringkesan Babad Hindia Belanda. Groningen : Wolters. Ekadjati, Edi S. 1997.
Wawacan Sajarah Galuh. Bandung : EFEO. Hardjasaputra, A. Sobana. 1985.
Bupati-Bupati Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad Ke-19. Tesis.
Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. --------. 2003 Budaya Kekuasaan Sunda;
Analisis Historis. Makalah dalam seminar dengan tema “Sunda dan Budaya
Kekuasaan”. Bandung : IAIN Sunan Gunung Jati. Jawa Barat. Pemerintah
Propinsi Daerah Tingkat I. 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung.
Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Ménak Priangan 1800 – 1942. Bandung :
Pusat Informasi Kebudayaan Sunda. Mayer, L.Th. 1889. Soerat Kandoengan
Boeat Goenanja Segala Prijajie-Prijajie jang Memegang Pekerdjaan di Tanah
Gouvernemennan di Poelo Djawa dan Madoera. I. Semarang : Van Dorp.
Rusyana, Yus. 1985. Carita Pantun tentang Prabu Siliwangi dan Tedak Pakuan.
Makalah pada Seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Siliwangi. Bandung.
Sutaarga, Moh. Amir. 1984. Prabu Siliwangi. Jakarta :Pustaka Jaya. Warnaen,
Suwarsi et al. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin Dalam
Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung : Depdikbud. Dirjen Kebudayaan.
Bagian Proyek Sundanologi.
"Iqra" Antithesis "Cogito ergo sum"
Wednesday, May 06, 2009, 6:38:51 AM | Herman Adriansyah
Kalau merunut jalan sejarah, Islam adalah jalan tengah, jalan lurus, setelah
adanya pertarungan peradaban besar antara Persia dan Romawi. Dalam hal ini,
kenyataannya budaya dua kubu banyak mempengaruhi spirit berdienul Islam.
Dari Romawi, yang paling kuat dan mengakar sampai saat ini adalah konsep
berfikir Yunani oleh Descartes dengan jargon "Cogito ergo sum - saya berfikir
maka saya ada". Dari Persia yang paling berpengaruh adalah sebuah konsep
kemutlakan kepemimpinan spiritual seperti guru, mursyid, Imam atau kemutlakan
otorisasi sabda. Dengan adanya Muhammad, semua itu diluruskan dengan
gebrakan konsep awal "Iqra ... bacalah ...", tetapi tidak hanya terhenti disitu
melainkan "Bacalah dengan nama Tuhanmu ..." adalah konsep penolakan halus
konsep cogito ergo sum dan kemutlakan guru. Dua hal ini didudukkan secara
adil dan proporsional oleh beliau tanpa mengingkarinya sama sekali. Kalau
Descartes ngomong saya berfikir maka saya ada, maka oleh Nabi Muhammad
didudukkan persoalan yang sebenarnya menjadi antitesis saya tidak berfikir dan
saya sesungguhnya tidak ada. Dan hal ini terangkum menjadi sebuah kalimat
agung La ilaha ilallah .... tidak ada yang patut dibahas - dibesar - besarkan -
disembah - dituju selain Allah sendiri ... karena semua la ... tidak, semu.
MEMBUKA RAHASIA ILMU KASAMPURNAAN
Sunday, May 03, 2009, 9:11:15 AM | Herman Adriansyah
Ketika selesai membangun pesantren, Raden Paku teringat salah satu
bungkusan yg harus dibukanya. Ia ingat kata2 ayahnya kalau bingkisan itu berisi
rahasia ilmu sejati yg harus dibacanya. Dengan hati2 dibukanya bungkusan tsb.
Didalamnya ada beberapa lembar daun lontar bertuliskan huruf arab pegon.
Segera dibacanya tulisan tsb. A. Tentang Macam Ilmu Manusia. Adalah suatu yg
pasti terjadi anakku, ketahuilah ini, renungkan demi kasampurnaan ilmumu. Di
dunia ini, entah kapan, sakit, dan mati pasti terjadi. Maka hendaklah waspada,
tidak urung kita juga akan mati, jangan lupa pada sangkan paran dumadi. Untuk
itu, di dunia ini hendaklah selalu prihatin. Agar benar2 sempurna engkau berilmu.
Dalam memperbincangkan ilmu kasempurnaan ini, jangan lupa arti bahasanya
jika engkau mempertanyakannya. Karena mengetahui arti bahasa adalah
kuncinya. Kesungguhanlah yg pasti, itulah yg perlu benar2 engkau mengerti.
Jangan takut pd biaya. Bukan emas, bukan dirham, dan bukan pula harta benda.
Namun hanya niat ikhlas saja yg diperlukan. Adapun ilmu manusia itu ada 2,
anakku. Yang pertama adalah ilmu kamanungsan yg lahir daru jalan indrawi dan
melalui laku kamanungsan. Yang kedua adalah ilmu kasampurnaan yg lahir
melalui pembelajaran langsung dari Sang Khalik. Untuk yg kedua ini, ia terjadi
melalui 2 cara, yaitu dari luar dan dari dalam. Yang dari luar, dilalui dg cara
belajar. Sedangkan yg dari dalam, dilalui dg cara menyibukan diri dg jalan
bertapa ( bertafakur ). Adapun bertafakur secara batin itu sepadan dg belajar
secara lahir. Belajar memilki arti pengambilan manfaat oleh seorang murid dari
gerak seorang guru. Sedangkan tafakur memilki makna batin, yaitu suksma
seorang murid yg mengambil manfaat dari suksma sejati, ialah jiwa sejati.
Suksma sejati dalam olah ngelmu memilki pengaruh yg lebih kuat dibandingkan
berbagai nasehat dari ahli ilmu dan ahli nalar. Ilmu2 seperti itu tersimpan kuat
pada pangkal suksma, bagaikan benih yg tertanam dalam tanah, atau mutiara di
dasar laut. Ketahuilah anakku, kewajiban orang hidup tidak lain adalah selalu
berusaha menjadikan daya potensial yg ada di dalam dirinya menjadi suatu
bentuk aksi (perbuatan) yg bermanfaat. Sebagaimana engkau juga wajib
mengubah daya potensial yg ada dalam dirimu menjadi perbuatan, melalui
belajar. Sejatinya dalam belajar, suksma sang murid menyerupai dan berdekatan
dg suksma sang guru. Sebagai yg memberi manfaat, guru laksana petani. Dan
sbg yg meminta manfaat, murid ibarat bumi atau tanah. Anakku ketahuilah, ilmu
merupakan kekuatan seperti benih atau tepatnya seperti tumbuh2an. Apabila
suksma sang murid sudah matang, ia akan menjadi seperti pohon yg berbuah,
atau seperti mutiara yg sudah dikeluarkan dari dasar laut. Jika kekuatan
badaniah mengalahkan jiwa, berarti murid masih harus terus menjalani laku
prihatin dalam olah ngelmu dg menyelami kesulitan demi kesulitan dan
kepenatan demi kepenatan, dalam rangka menggapai manfaat. Jika Cahaya
Rasa mengalahkan macam2 indra, berarti murid lebih membutuhkan sedikit
tafakur ketimbang banyak belajar. Sebab suksma yg cair atau dalam bahasa
arab dsb nafs al-qabil akan berhasil menggapai manfaat walau hanya dg berfikir
sesaat, ketimbang proses belajar setahun yg dilakukan oleh suksma yg beku
nafs al-jamid. Jadi, engkau bisa meraih ilmu dg cara belajar, dan bisa juga
mendapatkannya dg cara bertafakur. Walaupun sebenarnya dalam belajar itu
juga memerlukan proses tafakur. Dan dg tafakur engkau tahu manusia hanya
bisa mempelajari sebagian saja dari seluruh ilmu dan tidak bisa semuanya.
Banyak ilmu2 mendasar atau yg dsb annazhariyyah dan penemuan2 baru,
berhasil dikuak oleh orang2 yg memilki kearifan. Dg kejernihan otak, kekuatan
daya fikir dan ketajaman batin, mereka berhasil menguak hal2 tsb tanpa proses
belajar dan usaha pencapaian ilmu yg berlebihan. Dg bertafakur, manusia
berhasil menguak ajaran sangkan paraning dumadi . Dg begitu terbukalah
asumsi dasar dari keilmuan sehingga persoalan tidak berlarut2 dan segera
tersingkap kebodohan yg menyelimuti kalbu. Seperti telah kuberitahukan
sebelumnya anakku, suksma tidak bisa mempelajari semua yg di inginka, baik yg
bersifat sebagian ( juz’i / parsial ) maupun yg menyeluruh ( kulli / universal ) dg
cara belajar. Ia harus mempelajari dg induksi, sebagian dg deduksi sebagaimana
umumnya manusia dan sebagian lagi dg analogi yg membutuhkan kejernihan
berfikir. Berdasarkan hal ini, ahli ilmu terus membentangkan kaidah2 keilmuan.
Ketahuilah anakku. Seorang ahli ilmu tidak bisa mempelajari apa yg dibutuhkan
seluruh hidupnya. Ia hanya bisa mempelajari keilmuan umum dan beragam
bentuk yg merupakan turunannya dan hal itu menjadi dasar untuk melakukan
qiyas terhadap berbagi persoalan lainnya. Begitu pula para tabib, tidaklah bisa
mempelajari seluruh unsur obat2an untuk orang lain. Meraka hanya mempelajari
gejala2 umum. Dan setiap orang diobati menurut sifat masing2 Demikian juga
para ahli perbintangan, mereka mempelajari hal2 umum yg berkaitan dg bintang,
kemudian berfikir dan memutuskan berbagai hukum. Demikian juga halnya
seorang ahli fikih dan pujangga. Begitu seterusnya, imajinasi dan karsa yg
indah2 berjalan. Yang satu menggunakan tafakur sbg alat pukul, semacam lidi,
sedangkan yg lain menggunakan alat bantu lain untuk merealisasikan. Anakku
jika pintu suksma terbuka, ia akan tahu bagaimana cara bertafakur dg benar dan
selanjutnya ia bisa memahami bagaimana merealisasikan apa yg diinginkan.
Karena itu hati pun menjadi lapang, pikiran jadi terbuka dan daya potensial yg
ada dalam diri akan lahir menjadi aksi (perbuatan) yg berkelanjutan dan tak
mengenal lelah. B. Memahami Ilmu Kasampurnaan. Ketahuilah anakku bahwa
ilmu kasampurnaan itu ada 2 macam, Pertama, diberikan melalui wahyu. Apabila
suksma manusia telah sempurna, niscaya akan sirna segala sesuatu yg dapat
mengotori watak, seperti halnya sikap rakus dan impian semu. Suksma akan
menghadap Sang Pencipta, merengkuh cintaNya dan berharap manfaat serta
limpahan cahayaNya. Allah akan menyambut suksma itu secara total. Tatapan
Ketuhan memandanginya dan menjadikannya seperti papan. kemudian Allah
akan menjadikan pena dari suskma sejati. Dan pena itu diukirkan ilmu pada
papan tadi. Suksma sejati laksana guru, suksma manusia suci ibarat sang murid.
Sehingga dicapailah seluruh ilmu, dan padanya semua bentuk terukir tanpa
proses belajar maupun berfikir. Dalilnya : “Dan Dialah yg mengajarkanmu apa2
yg tidak kamu ketahui” (QS. An-Nisa:213). Ilmu para nabi lebih tinggi derajatnya
dibandingkan ilmu mahluk2 yg lain. Karena ilmu tsb diperoleh langsung dari YME
tanpa perantara. Kau bisa memahami dalam kisah para malaikat dg kanjeng
Nabi Adam. Sepanjang usianya para malaikat terus belajar. Dan dg berbagi cara
mereka berhasil mendapatkan banyak macam ilmu, sehingga mereka menjadi
mahluk yg paling berilmu dan mahluk paling berpengetahuan. Sementara itu
Adam tidaklah tergolong ahli ngelmu karena ia tidak pernah belajar dan
berjumpa dg seorang guru. Malaikat bangga dan dg besar hati mereka berkata:”
padahal kami Senantisa bertasbih dg memuji Engkau dan mensucikan Engkau.”
(QS. Al-Baqarah:30). Kanjeng Nabi Adam kembali menuju Sang Pencipta.
Lantas beberapa bagian dalam hati Kanjeng Nabi oleh Allah dikeluarkan ketika ia
menghadap dan memohon pertolongan kepada Tuhan. Lalu Allah ajarkan
seluruh nama2 benda. “Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat,
lantas Allah berfirman: “Sebutkanlah kepadaku nama benda2 itu jika kamu
memang orang2 yg benar” (QS. Al-Baqarah:31). Ketahuilah, malaikat menjadi
kerdil dihadapan Adam. Ilmu mereka menjadi terlihat sempit. Mereka tak bisa
berbangga dab besar hati, justru yg ada hanya rasa tak berdaya. “Maha Suci
Engkau, tidak ada yg kami ketahui selain dari apa yg Engkau ajarkan kpd kami”
(QS. Al-Baqarah:32). Maka kepada mereka Adam diberitahukan bbrp bagian ilmu
dan hal2 yg masih tersembunyi. Akhirnya jelaslah bagi kaum berakal, bahwa ilmu
gaib yg bersumber dari wahyu lebih kuat dan lebih sempurna dibandingkan ilmu
yg diperoleh dg penglihatan langsung. Ilmu yg diperoleh melalui wahyu
merupakan warisan dari hak para nabi. Namun mulai masa Kanjeng Nabi
Muhammad pintu wahyu telah ditutup oleh Allah. Sebab Muhammad adalah
penutup para nabi. Dia mewakili sosok paling berilmu dan paling fasih
dikalangan manusia. Allah telah mendidiknya dg budi pekertinya menjadi baik.
Ketahuilah anakku, Ilmu Rasul itu lebih sempurna, lebih mulia, dan kuat. Karena
ilmu tsb diperoleh langsung dari Sang Khalik. Beliau sama sekali tidak pernah
menjalankan proses belajar-mengajar insani. Ilmu Kasampurnaan yg Kedua,
disampaikan sebagai ilham yaitu peringatan suksma sejati terhadap suksma
manusia berdasarkan kadar kejernihan, penerimaan dan daya kesiapannya.
Ilham boleh dikatakan mengiringi wahyu. Kalau wahyu merupakan penegasan
perkara gaib, maka ilham merupakan penjelasannya. Ilmu yg diperoleh dg wahyu
itulah sejatinya ilmu kenabian, sedangkan yg diperoleh dg ilham itulah sejatinya
ilmu kewalian. Ilmu kewalian diperoleh secara langsung, tanpa perantara antara
suksma dan Sang Pencipta. Ilmu Kasampurnaan itu laksana secercah cahaya
dari alam gaib, yang datang menerpa hati yg jernih, hampa dan lembut. Semua
ilmu merupakan produk pengetahuan yg diperoleh dari suksma sejati yg terdapat
dalam inti sangkan paraning dumadi dg menisbatkan pada RASA SEJATI,
seperti penisbatan Siti Hawa kepada Kanjeng Nabi Adam. Ketahuilah anakku,
rasa sejati lebih mulia, lebih sempurna dan lebih kuat dari disisi Allah
dibandingkan suksma sejati. Sedangkan suksma sejati lebih terhormat, lebih
lembut dan lebih mulia dibandingkan mahluk2 lain. Adapun ilham itu terlahir dari
melimpahnya rasa sejati dan juga terlahir dari melimpahnya pancaran sinar
suksma sejati. Jika wahyu menjadi perhiasan para nabi, maka ilham menjadi
perhiasan para wali. Adapun ilmu yg diperoleh dari wahyu adalah sebagaimana
suksma tanpa rasa atau wali tanpa nabi. Begitu pula ilham tanpa wahyu akan
menjadi lemah. Ilmu akan menjadi kuat jika dinisbatkan kepada wahyu yg
bersandar pada penglihatan ruhani. Itulah ilmu para nabi dan wali Ketahuilah,
ilmu yg diperoleh dg wahyu hanya khusus bagi para rasul, seperti diberikan
kepada Adam, Musa, Ibrahim, Isa, Muhammad saw dan para rasul lain. Itulah yg
menbedakan antara risalah dg nubuwwah . Adapun nubuwwah adalah perolehan
hakikat dari ilmu dan rasionalitas2 oleh suksma yg suci kepada orang2 yg
mengambil manfaat. Barangkali perolehan semacam itu didapat salah satu
suksma, tetapi ia tidak berkewajiban menyebarkannya karena suatu alasan dan
oleh sebab2 tertentu. Ilmu kasampurnaan menjadi milik seorang nabi dan wali,
sebagaimana dimilki Khidir a.s. Hal itu terdapat pd dalil: “Dan yg telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (QS. Al-Kahfi:65). Ingatlah ketika khalifah
Ali berujar: “Kumasukan lisanku kemulutku, hingga terbukalah dihatiku seribu
pintu ilmu, yg pada setiap pintu terdapat seribu pintu yg lain”. Dan ia berkata:
“Andai kuletakkan bantal dan aku duduk diatasnya, niscaya aku akan mengambil
putusan hukum bagi penganut Taurat berdasarkan Taurat mereka, bagi penganut
Injil berdasarkan Injil mereka, dan bagi penganut al-Quran berdasarkan al-Quran
mereka”. Derajat seperti ini tidak bisa diterima dg melalui ilmu kemanungsa
semata yg hanya dari pembelajaran insani. Pastilah seseorang yg telah
mencapai derajat tsb telah dikarunia ilmu kasampurnaan. Jika Allah
menghendaki kebaikan pada dirimu, Dia akan menyingkap tabir atau hijab yg
menhalangi dirimu dg suksma yg menjadi papan itu. Dg demikian, sebagian
rahasia dari apa2 yg tersembunyi akan ditampakan pdmu. segenap makna yg
terkandung didalam rahasia tsb akan terpahat pd suksmamu. Dan suksma itupun
mengungkapkan sebagaimana engkau ingin karena dikehendakiNya.. Sejatinya,
kearifan bisa lahir dari ilmu kasampurnaan. Selama engkau belum mencapai
derajat atau tingkatan ini, engkau tidak akan menjadi seorang arif. Karena
kearifan merupakan pemberian Hyang Widi. Dalilnya : ” Allah menganugrahkan
al-hikmah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang
dianugerahi al-hikmah itu, ia benar2 telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang2 yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran ” (QS. Al-
Baqarah:269). Hal itu karena orang2 yg berhasil mencapai ilmu kasampurnaan
tidak perlu lagi banyak berusaha memahami ilmu secara induktif dan berpayah-
payah belajar. Orang yg demikian sedikit belajar, banyak mengajar, sedikit capai,
banyak istirahat. Ketahuilah anakku, setelah wahyu terputus dan sesudah pintu
risalah ditutup, umat manusia tidak lagi membutuhkan kehadiran rasul atau
utusan. Mereka tidak lagi memerlukan penampakan dakwah setelah
penyempurnaan agama. Bukanlah termasuk kearifan menampakan nilai lebih
tidak berdasarkan kebutuhan. Tapi ketahuilah anakku, pintu ilham itu tidak
pernah ditutup. Pancaran cahaya suksma sejati tidak pernah terputus. Karena
suksma terus membutuhkan arahan, pembaharuan dan peringatan. Umat
manusia tidak memerlukan risalah dan dakwah, tetapi masih membutuhkan
peringatan sebagai akibat dari tenggelamnya mereka pada rasa was-was dan
terhanyut oleh gelombang syahwat. Karena itu Allah menutup pintu wahyu
sebagai pertanda bagi hamba-Nya dan membuka pintu ilham sebagai rahmat
serta menyiapkan segala sesuatu menyusun tingkatan2 supaya mereka tahu
bahwa Allah Maha Lembut kepada hamba2-Nya, memberikan rezeki kepada
siapa saja yg dikendaki tanpa perhitungan. Selesai sudah nasehatku tentang
kawruh kesejatian yg kubeberkan padamu. Hendaklah engkau bisa
menggunakan sebaik mungkin. Dengan sikap takzim, Raden Paku ( Sunan Giri )
menerawang ke depan membayangkan wajah ayahandanya mengucapkan
sendiri kata2 yg barusan dibacanya. Digengamnya erat2 lembaran lontar itu, lalu
didekapkan didada serasa hendak menggoreskan makna dalam hatinya. Suatu
makna dari nasehat orang suci yg tak lain adalah ayahandanya sendiri Syeh Wali
Lanang / Syeh Awallul Islam ( Maulana Ishak ), lelaki suci keturunan manusia
utama.
________________________________________________________________
____________________ Sumber : kutipan dari Buku Suluk Syeh Wali Lanang
Wisdom akhir pekan
Sunday, April 26, 2009, 10:49:53 AM | Herman Adriansyah
Diambil dari kumpulan kata-kata Wiyoso Hadi: "Janganlah mencari-cari
kesalahan orang lain, tapi carilah potensi-potensi kebaikan-kebaikan pada orang
lain dan bantulah mereka untuk mengembangkannya sehingga berkuranglah
sisi-sisi keburukan, yang terpancar tinggal Kebaikan-Kebaikan pada orang-orang
itu.. Dan carilah keburukan-keburukan, kesalahan-kesalahan diri sendiri dan
hapuskanlah dengan tobat dan amal-amal-kebajikan sebelum memudarnya
Cahaya-Cahaya Kebaikan pada diri kita ini Dan bagaimana bisa melihat potensi-
potensi kebaikan pada orang lain termasuk kepada orang-orang yang melawan
kita jika hawa-hawa setani masih menguasai hati dan jiwa ini,yaitu hawa-hawa
amarah, dengki, buruk sangka dan merasa benar sendiri? "Hai orang-orang yang
beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebahagian dari
prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang
lain dan janganlah sebahagian kamu mengumpat sebahagian yang lain. sukakah
salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". (Al-
Hujuraat, 49:12) *Sumber: dikutip dari kata-kata Wiyoso Hadi Penulis, Pegawai
Departeman Keuangan R.I.
KEPERCAYAAN/KETUHANAN
Thursday, April 23, 2009, 10:45:00 AM | Herman Adriansyah
Pitudúh : # 1 Pangéran Kang Måhå Kuwåså (Gusti Allah, Tuhan) iku siji, angliputi
ing ngêndi papan, langgêng, síng nganakaké jagad iki saisiné, dadi sêsêmbahan
wóng saalam donyå kabèh, panêmbahan nganggo carané dhéwé-dhéwé.
Pitudúh : # 2 Pangéran Kang Måhå Kuwåså iku anglimput ånå ing ngêndi papan,
anèng sira ugå ånå Pangéran (maksudé : tajaliné Kang Múrbèng Dumadi).
Pitudúh : # 3 Pangéran iki Måhå Kuwåså, pêpêsthèn såkå karsaning Pangéran
ora ånå síng biså murúngaké.
Pitudúh : # 4 Pangéran iku nitahaké sirå lantaran båpå lan biyúngirå, mulå kudu
sirå ngurmati marang båpå lan biyúngirå.
Pitudúh : # 5 Ing donyå iki ånå róng warnå síng diarani bêbênêr, yakuwi bênêr
mungguhíng Pangéran lan bênêr såkå kang lagi kuwåså.
Pitudúh : # 6 Kêtêmu Gusti (Pangéran) iku lamún sira tansah élíng.
Pitudúh : # 7 Cåkrå manggilingan (uríp iku ibaraté rodhå kang tansah mubêng).
Pitudúh : # 8 Åjå sirå wani-wani ngaku Pangéran, sênadyan kawrúhira wís
tumêka "Ngadêg Sarirå Tunggal" utåwå bisa mêngêrtèni "Manunggaling Kawulå
Gusti".
Pitudúh : # 9 Åjå ndisiki kêrså.
Wêwalêr : # 10 Åjå sirå wani marang wóng tuwanira, jalaran sirå bakal kênå
bêndhu såkå Kang Múrbèng Dumadi.
Wêwalêr : # 11 Åjå múng kèlingan lan migatèkaké barang kang katón baé, sêbab
kang katón gumêlar iki anané malah ora langgêng.
Wêwalêr : # 12 Åjå darbé pangirå yèn lêlêmbút iku mêsthi alané, jalaran síng
apik iyå ånå, síng ålå iyå ånå, ora bédå karo manungså.
Wêwalêr : # 13 Åjå lali sabên ari (dinå) éling marang Pangéranira, jalaran
sêjatiné sirå iku tansah katunggón Pangéranirå.
ANDHARAN PIWULANG KAUTAMAN
Thursday, April 23, 2009, 10:40:00 AM | Herman Adriansyah
Andharan Piwulang Kautaman

Falsafah Ajaran Hidup Jawa memiliki tiga aras dasar utama.Yaitu: aras sadar
ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia. Aras
keberadaban manusia implementasinya dalam ujud budi pekerti luhur. Maka di
dalam Falsafah Ajaran Hidup Jawa ada ajaran keutamaan hidup yang
diistilahkan dalam bahasa Jawa sebagai piwulang (wewarah) kautaman.Secara
alamiah manusia sudah terbekali kemampuan untuk membedakan perbuatan
benar dan salah serta perbuatan baik dan buruk.
Maka peranan Piwulang Kautaman adalah upaya pembelajaran untuk
mempertajam kemampuan tersebut serta mengajarkan kepada manusia untuk
selalu memilih perbuatan yang benar dan baik menjauhi yang salah dan
buruk.Namun demikian, pemilihan yang benar dan baik saja tidaklah cukup untuk
memandu setiap individu dalam berintegrasi dalam kehidupan bersama atau
bermasyarakat.
Oleh karena itu, dalam Piwulang Kautaman juga diajarkan pengenalan budi luhur
dan budi asor dimana pilihan manusia hendaknya kepada budi luhur. Dengan
demikian setiap individu atau person menjadi terpandu untuk selalu menjalani
hidup bermasyarakat secara benar, baik dan pener (tepat, pas).Cukup banyak
piwulang kautaman dalam ajaran hidup cara Jawa.
Ada yang berupa tembang-tembang sebagaimana Wulangreh, Wedhatama,
Tripama, dll. Ada pula yang berupa sesanti atau unen-unen yang mengandung
pengertian luas dan mendalam tentang makna budi luhur.Misalnya : tepa selira
dan mulat sarira, mikul dhuwur mendhem jero, dan alon-alon waton
kelakon.Filosofi yang ada dibalik kalimat sesanti atau unen-unen tersebut tidak
cukup sekedar dipahami dengan menterjemahkan makna kata-kata dalam
kalimat tersebut.Oleh karena itu sering terjadi ”salah mengerti” dari para pihak
yang bukan Jawa. Juga oleh kebanyakan orang Jawa sendiri.
Akibatnya ada anggapan bahwa sesanti dan unen-unen Jawa sebagai anti-logis
atau dianggap bertentangan dengan logika umum. Akibat selanjutnya berupa
kemalasan orang Jawa sendiri untuk mendalami makna sesanti dan unen-unen
yang ada pada khasanah budaya dan peradabannya.Namun kemudian, sesanti
dan unen-unen tersebut dijadikan olok-olok dalam kehidupan masyarakat.
Mulat sarira dan tepa selira diartikan bahwa Jawa sangat toleran dengan
perbuatan KKN yang dilakukan kerabat dan golongannya.Mikul dhuwur
mendhem jero dimaknai untuk tidak mengadili orangtua dan pemimpin yang
bersalah. Alon-alon waton kelakon dianggap mengajarkan kemalasan.Padahal
ajaran sesungguhnya dari sesanti dan unen-unen tersebut adalah pembekalan
watak bagi setiap individu untuk hidup bersama atau bermasyarakat. Tujuan
utamanya adalah terbangunnya kehidupan bersama yang rukun, dami dan
sejahtera. Bukan sebagai dalil pembenar perbuatan salah, buruk dan tergolong
budi asor.
Makna dari mulat sarira dan tepa selira adalah untuk selalu mengoperasionalkan
rasa pangrasa dalam bergaul dengan orang lain. Mulat sarira, mengajarkan
untuk selalu instropeksi akan diri sendiri.
”Aku ini apa? Aku ini siapa? Aku ini akan kemana? Aku ini mengapa ada?”
Kesadaran untuk selalu instropeksi pada diri sendiri akan melahirkan watak tepa
selira, berempati secara terus menerus kepada sesama umat manusia.
Kebebasan individu akan berakhir ketika individu yang lain juga berkehendak
atau merasa bebas. Maka pemahaman mulat sarira dan tepa selira merupakan
bekal kepada setiap individu yang mencitakan kebebasan dalam hidup bersama-
sama, bukan?
Mikul dhuwur mendhem jero, meskipun dimaksudkan untuk selalu menghormat
kepada orangtua dan pemimpin, namun tidak membutakan diri untuk menilai
perbuatan orangtua dan pemimpin. Karena yang tua dan pemimpin juga memiliki
kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatan yang benar, baik dan
pener. Justru yang tua dan pemimpin dituntut ”lebih” dalam mengaktualisasikan
budi pekerti luhur. Orangtua yang tidak memiliki budi luhur disebut tuwa tuwas lir
sepah samun. Orangtua yang tidak ada guna dan makna sehingga tidak pantas
ditauladani.
Pemimpin yang tidak memiliki budi luhur juga bukan pemimpin.Alon-alon waton
kelakon, bukan ajaran untuk bermalas-malasan. Namun merupakan ajaran untuk
selalu mengoperasionalkan watak sabar, setia kepada cita-cita sambil menyadari
akan kapasitas diri.Contoh yang mudah dipahami ada dalam dunia pendidikan
tinggi.Normatif setiap mahasiswa untuk bisa menyelesaikan kuliah Strata I
dibutuhkan waktu 8 semester. Namun kapasitas setiap mahasiswa tidaklah
sama. Hanya sedikit yang memiliki kemampuan untuk selesai kuliah 8 semester
tersebut. Sedikit pula yang prestasinya cum-laude dan memuaskan. Rata-rata
biasa dan selesai kuliah lebih dari 8 semester. Dengan mengoperasionalkan
ajaran alon-alon waton kelakon, maka mahasiswa yang kapasitas
kemampuannya biasa-biasa akan selesai kuliah juga meskipun melebihi target
waktu 8 semester.
Makna positifnya mengajarkan kesabaran dan tidak putus asa ketika dirinya tidak
bisa seperti yang lain. Landasan falsafahnya, hidup bukanlah kompetisi tetapi
lebih mengutamakan kebersamaan.Banyak pula kita ketemukan Piwulang
Kautaman yang berupa nasehat atau pitutur yang jelas paparannya.
Sebagai contoh adalah sebagai berikut :“Ing samubarang gawe aja sok wani
mesthekake, awit akeh lelakon kang akeh banget sambekalane sing ora bisa
dinuga tumibane. Jer kaya unine pepenget, “menawa manungsa iku pancen
wajib ihtiyar, nanging pepesthene dumunung ing astane Pangeran Kang Maha
Wikan”.Mula ora samesthine yen manungsa iku nyumurupi bab-bab sing durung
kelakon. Saupama nyumurupana, prayoga aja diblakakake wong liya, awit
temahane mung bakal murihake bilahi.
Terjemahannya:“Dalam setiap perbuatan hendaknya jangan sok berani
memastikan, sebab banyak sambekala (halangan) yang tidak bisa diramal
datangnya pada “perjalanan hidup” (lelakon) manusia.
Sebagaimana disebut dalam kalimat peringatan “bahwa manusia itu memang
wajib berihtiar, namun kepastian berada pada kekuasaan Tuhan Yang Maha
Mengetahui”.
Maka sesungguhnya manusia itu tidak semestinya mengetahui sesuatu yang
belum terjadi. Seandainya mengetahui (kejadian yang akan datang), kurang baik
kalau diberitahukan kepada orang lain, karena akan mendatangkan bencana
(bilahi).”Piwulang Kautaman memiliki aras kuat pada kesadaran ber-Tuhan.Maka
sebagaimana pitutur diatas, ditabukan mencampuri “hak prerogatif Tuhan” dalam
menentukan dan memastikan kejadian yang belum terjadi.
NGELMU URIP (SAJATINING URIP)
Thursday, April 23, 2009, 10:36:00 AM | Herman Adriansyah
Ngelmu Urip #1

Anane tak wenehi irah-irahan ‘ngelmu urip' amarga ‘ngelmu Jawa' iku pancadane
babagan nglakoni urip tumraping manungsa ana ing ngalam donya.Fokus
utamane tumuju nglakoni urip sing bener, becik lan pener murih bisa ‘titis ing
pati'.‘Titis ing pati' iku ora ngrembuk suwarga lan neraka.Nanging luwih tumuju
bisowa ngulihake sakabehing ‘unsur-unsur' kang mangun wujuding ‘manungsa
urip' marang sumbere dhewe-dhewe kanthi sampurna.Sing saka unsur alam
(geni, lemah, angin, banyu) bali marang sumber-sumbere kang ‘azali'. Sing saka
cahya lan teja ya bali marang sumber azaline.Dene suksma (dzat urip, ruh) ya
bali marang Suksma Kawekas (Guruning Ngadadi, Dzat Sejatining Urip).
Wondene kang maune ‘wujud' ninggala jeneng kang becik kang bisa tinulad
dening turas (anak turune).Amarga piwulange ngenani ‘ngelmu urip', mulane
piwulang Jawa luwih migatekake babagan urip bebarengan karo sakabehing
titah.Kanyatan kang ora bisa dibantah, menawa manungsa ora bisa urip ijen,
nanging kudu bebarengan karo manungsa liyane lan sakabehing titah kang
manggon ing alam donya (Ngarcapada) kene iki.Holistik, mangkono anggone
para ahli menehi tenger marang wawasan (falsafah) Jawa iki. Karepe, menawa
sakabehing ‘kang ana' ing alam semesta iki ana sesambungane sacara ‘kosmis-
magis'.Kang mangkene iki tumrape wong Jawa sejatine wis mbalung sungsum
dadi otot bayu. Karepe, wis dadi ‘naluri dasar' kanggone wong Jawa.Piwulang
Jawa kang wujud ngelmu lan laku tumangkare wiwit saka sumber asal biyen-
biyene nganti tumekane jaman saiki ora sarana anane ‘sistim pendidikan'.Mung
sarana gethok tular ing antarane ‘sesepuh' marang generasi bacute.Nanging
pilih-pilih marang sing bias ditulari kawruh. Mulane saya auwe saya tipis lan
terasing saka wong Jawa dhewe.Malah-malah saking ora ngertine lan kebacut
nyecep kawruh saka kabudayan lan peradaban saka manca banjur nganggep
ngelmu lan laku Jawa iku mung gegayutan karo olah kebatinan.Sing ekstrim
banjur ngarani yen klenik, tahayul lan gugon tuhon.Kemajuan jaman ing wektu iki
ndadekake manungsa mundhak pinter lan mulur nalare. Mula yen ngadhepi bab-
bab sing kurang ‘nalar' padha ora tertarik.Kabeh-kabeh dianggep kudu logika
penalaran kang klebu akal.Yen ora, dianggep omong kosong nggedebus adol
abab.Apamaneh tuntutan kanggo ‘survive' ing jaman saiki butuh ‘segala
daya'.Genahe, wektu iki ana ‘pergerakan' peradaban tumraping manungsa sak
jagad.Owah-owahan kang dumadi rikat banget lan akeh wong sing ‘bengong'
semlengeren ora gaduk nalare kanggo ‘memahami'.Sing operasional kari ‘naluri
defensif' supaya tetep ‘survive'.Kabeh butuh urip kang underane (manut
Wedhatama): kecukupan kebutuhan sandhang-pangan-papan (kerta utawa arta),
kajen keringan ing tengahing bebrayan (wirya) lan pinunjul ngelmu lan kawruhe
(winasis).Menawa salah siji bab tetelu mau ora diduweni banjur banget nisthane
kang diupamakake ‘luwih aji godhong jati aking'.Senajan diskripsi underane
kebutuhan urip wis cetha diterangake, nanging kanyatane ora saben uwong bisa
nggayuh kanthi sampurna.Ing tengahing masyarakat ana sing sugih pol ning ya
ana sing mlarat banget.Ana sing bisa dadi panutaning liyang (nggayuh kawiryan)
nanging ana sing dadi ‘memalaning bebrayan'.Ana sing pinter, nanging ya akeh
sing bodho lan bloon banget.Kabeh prabedaning manungsa sing siji lan liyane
kanyatane ana ing tenghing masyarakat. Mula ana ‘potensi ketegangan' kang ora
ana enteke.Mbok menawa bae sakabehing ajaran agama lan ideologi kang lair
ing donya iki salah siji tujuwane kanggo ngawekani murih rukune
manungsa.Potensi ketegangan diredam nganggo hukum negara, adat, ajaran
agama lan etika moral liyane. Semono uga ngelmu lan laku Jawa uga duwe
tujuwan kanggo gawe tata tentrem kerta raharjaning bebrayan.Mung bae, cara
Jawa iku lueih tumuju marang rekadaya nata ‘kesadaran' batine manungsa
katimbang gawe hukum-hukum kang ngatur tumindake saben manungsa ing
bebrayane.Ya kanggo nata ‘kesadaran' iku anane ngelmu lan laku ana ing
piwulang Jawa.Pitakone, apa ngelmu lan laku Jawa isih relevan kanggo
ngadhepi persoalan urip ing jaman globalisasi wektu iki ?Nilai-nilai budaya lan
peradabane manungsa pancen owah gingsir manut jaman kelakone. Ngelmu lan
laku kang ana ing piwulang Jawa wernane akeh lan duwe piguna dhewe-dhewe.
nanging umume, gunane kanggo kepentingan urip.Kamangka wateking
manungsa urip uga werna-werna.Ana sing ‘becik-bener-pener' kanggo
kepentingane urip bebarengan, nanging ya akeh sing ‘ala-salah-ngawur' sing
ngrusak bebrayan.Anehe, kok ngelmu lan laku kanggo kekarone ya ana kabeh
ing jagad Jawa. Kabeh pancadane kanggo sangu nglakoni urip.Kanthi mangkono
pancen rada abot angone arep njlentrehake bab sakabehing ngelmu lan laku
Jawa.Mulane, murih kepenake anggonku ngaturake ‘Ngelmu Urip' ing postingan
iki tak rujukake marang serat-serat kapujanggan kayadene Wulangreh,
Wedhatama, lan liya-liyane. Muga-muga Gusti Kang Murbeng Dumadi
ngeparengake.

Ngelmu Urip #2
Pancadane ‘Ngelmu Urip' iku ‘eling', yaiku eling marang ‘sejatining urip' utawa
‘hakekating urip' tumraping manungsa.Manungsa iku titah pinunjul katimbang
titah liyane.Pinunjule amarga kaparingan ‘perangkat urip' kang ana ing khasanah
Jawa disebut ‘cipta-rasa-karsa'. Tinengeran ana ing aksara Jawa:"ha-na-ca-ra-
ka" kang tegese ‘utusan' (hananira hananing Hyang) kang diparingi cipta (ca),
rasa (ra), lan karsa (ka).Ya peparing ‘cipta-rasa-karsa' iki kang mbedakake titah
manungsa karo titah liyane.Kang lumrah siklus urip kang dilakoni manungsa iku:-
‘ana (lair)- dadi momongan wong tuwane- dhiwasa (bisa golek pangan dhewe)-
kawin- duwe anak (momong)- ngentasake momongane- mati'.Siklus kang
mangkene iki ora ming tumrape manungsa, nanging titah-titah liyane iya duwe
siklus mangkene.Tegese, mung nglakoni naluri alamiah. Ora ngoperasionalake
perangkat urip peparinging Gusti Kang Maha Kuwasa kang njalari manungsa iku
disebut ‘titah utama'.Menawa miturut basa agama Islam manungsa iku
dipapanake (diposisikan) dadi ‘Kalifatullah fil ardhi', wakile utawa utusane Gusti
Allah neng ngalam donya.Nanging perlu dieling-eling menawa manungsa kang
bisa dadi utusan utawa wakile Gusti Allah iku cetha sing bisa ngoperasionalake
‘cipta-rasa-karsa'-ne kang jumbuh karo kersane Gusti Kang Murbeng
Dumadi.Dudu sing mung operasional naluri alamiahe kaya kang tak aturake ing
ndhuwur.Kanggo bisa operasionalake ‘cipta-rasa-karsa' dibutuhake ‘ngelmu' lan
‘laku'.Ngelmune kanggo mangerteni (memahami) babagan sejatining ‘cipta-rasa-
karsa' iku. Dene lakune kanggo mapanake pangerten ngelmu dadi watak-
wantu.Menawa dirembuk nganggo basa Inggris ‘watak-wantu' iku nglingkupi :-
knowledge,- attitude,- skill,- aptitude, lan- habit kang bisa disingkat KASAH.Ya
ing kene iki salah sijine cara kanggo mangerteni unen-unen "ngelmu iku
kelakone kanthi laku".Tegese: ngelmu iku bisa manjing dadi watak wantune
manungsa manawa dikantheni laku.Gandheng ‘cipta-rasa-karsa' iku manggone
ana ing manungsa urip, mula ngelmune ya ngelmu urip, lakune ya laku nglakoni
urip.Pitakonane, nek ana ‘ngelmu urip', mesthine ya ana ‘ngelmu mati'.Pancen
ya ana,yaiku ‘ngelmu-ngelmu' sing mentingake kanggo persiapan mati.
Sakabehing dayaning urip kanggo persiapan mati.Ana kang ‘tata lair', upamane
petungan kanggo nyukupi kebutuhane ahli waris njur numpuk bandha kang perlu
diwarisake.Ana kang ‘ranah kebatinan', umpamane ngelmu ‘mati sajroning urip'
kang pakertine (cara nglakoni) kanthi nglereni obahing ‘cipta-rasa-karsa'.Yaiku
tapa brata neng papan sepi nyingkir saka bebrayan (masyarakat).Ngelmu sing
kaya mangkono iku ora salah lan ora kleru.Amarga subyektif banget, kaitane
karo ‘persepsi' saben uwong babagan jejibahan urip kang beda-beda.Mulane
ana ing khasanah Jawa, iya ana ngelmu-ngelmu sing mentingake ‘persiapan
mati' iku.Nyuwun pangapunten, babagan ‘ngelmu mati' iki kareben diterangake
sedulur liya sing luwih nguwasani.Jujur bae, KSM ora pati mudheng. Ngelmu urip
iku ora mung ing babagan tata lair, nanging uga ana gegayutane karo
kebatinan.Amarga manut filosofi Jawa, ana gegayutan (hubungan) ‘kosmis-
magis' ing antarane jagad cilik (manungsa urip) karo jagad gedhe (alam
semesta).Pangertene ndudut saka ‘kawruh sangkan paraning dumadi'.Menawa
manungsa urip iku kawangun saka unsur telung perkara, yaiku: materi (bumi lan
langit), cahya lan teja, sarta suksma sejati (dzat urip, roh).Katelune unsur-unsur
iku asale saka ‘Guruning Ngadadi' kang uga disebut ‘Suksma Kawekas', kang
ora liya iya Gusti Kang Murbeng Dumadi sing dadi sesembahane sagunging titah
dumadi.Kanthi andaran kasebut ing nduwur, filosofi Jawa kanyatane kanthi cetha
wela-wela nerangake anane ‘Sesembahan' kang disebut ‘Gusti Kang Murbeng
Dumadi', ‘Hyang Agung", ‘Hyang Suksma Kawekas', ‘Guruning Ngadadi' lan
sebutan-sebutan liyane kang akeh banget cacahe.Panjenengane R. Ng.
Ranggawarsita ngumpulake sesebutan tumrap ‘Sesembahan' Jawa iku ana ing
seratane, ‘Paramayoga'.

Ngelmu Urip #3
Pokok baku dhedhasarane ‘ngelmu urip" iku ana 3 (telung) prekara :1)
kesadaran anane Sesembahan (keber-Tuhan-an,2) kesadaran kesemestaan
(hubungan kosmis-magis jagad cilik lan jagad gedhe),3) kesadaran kautamaning
urip (keberadaban).Katelune ora bisa mlaku dhewe-dhewe, nanging kudu nyawiji
dadi sawijining pangerten (kawruh). Lumrahe padha diarani ‘Kawruh
Kejawen'.Aturku ing ndhuwur iku minangka pambukaning pangerten menawa
‘Kawruh Kejawen' iku sawijining kawruh babagan ‘Sejatining Urip' utawa
‘Hakekating Urip'.Dudu ajaran agama, wong ora duwe ‘kitab suci' lan ‘nabi'
(utusan) kang piniji Gusti kanggo mulang-muruk manungsa kaya salumrahe
‘definisi' agama.Kawruh Kejawen pancadane saka olah ‘cipta-rasa-karsa' para
empu lan pujangga Jawa (para jenius Jawa) wiwit jaman prasejarah nganti
tumekaning peradaban lan kabudayan kang nga-Jawa.Ing kene banjur ana
sintesa, asimilasi lan hybrid ing antarane pangerten-pangerten Jawa karo nilai-
nilai budaya lan peradaban (klebu pangerten agama) sing tumeka ing tanah
Jawa. Senajan ana sinergi lan sinkretisme, nanging pokok baku pancadane
Kawruh Kejawen 3 (telung) perkara kasebut ing ndhuwur ora ilang lan kesilep,
amarga mapan manggon ana ing bab ‘sejatining urip'.Bisa uga, malah aweh
jembaring pangerten (melengkapi pemahaman) ajaran-ajaran agama. Nanging
perkara iki becike ora digawe rembuk, amarga njur mlebu ana ing ‘Ilmu
Perbandingan Agama' kaya kang diwulangake ing perguruan-perguruan
agama.Kang tak aturake mligi ‘konsep-konsep pandangan Jawa', supaya bisa
dimangerteni dening bebrayan masyarakat kareben ora ‘salah paham'.Ana ing
jagad ngelmune wong Jawa, ana kang disebut Kawruh Kasampurnan.Yaiku
sawijining ngelmu kanggo nggayuh kasampurnaning urip.Kang dikarepake ‘urip
sampurna' iku nglingkupi tata lair lan kebatinan.Ing tata lair wis kacetha kaya
kang disebut ing Wedhatama: "wirya arta tri winasis". Kajen keringan, cukup
sandhang pangan papan, lan pinunjul ing kapinterane.Dene ing babagan
‘kebatinan' sing dikarepake ‘urip sempurna' iku lamun bisa ‘titis ing pati'.Yaiku
bisa ngulihake (mbalekake) kanthi sampurna sakabehing ‘gadhuhan' marang
sing kagungan.Menawa wujude manungsa urip iku kedadeyan saka unsur-unsur:
bumi langit, cahya lan teja, sarta dzat urip (suksma, roh), sempurnane menawa
bisa ngulihake unsur-unsur mau marang sumbere dhewe-dhewe.Unsur materi
saka bumi lan langit sarta unsur cahya lan teja, bisa bali sampurna nalikane
manungsa mati (pishing raga lan suksma).Nanging baline dzat urip (roh,
suksma) marang Dzat Sejatining Urip, angel bisane sampurna.Manut keterangan
ing kawruh sangkan paran (Wedaran Sang Wiku), angel sampunane iku jalaran
‘dzat urip' wis suda kasuciane.Sudane amarga kawoworan rereged saka asiling
pakerti nalika nglakoni urip.Uga saka jalaran durung rampung anggone netepi
wajib nindakake sabda dhawuhing Gusti Kang Maha Kuwasa.Akeh-akehe padha
leren ana ing ‘alam pangrantunan' (suwarga pangrantunan).Utawa malah
kesasar ana ing alaming lelembut, alaming sato kewan, utawa kesangsang dadi
dhanyang neng kayu lan watu.Gandheng bisa sampurna lan orane ‘dzat urip'
(suksma) bali marang sumbere (Dzat Sejatining Urip, Suksma Kawekas,
Guruning Ngadadi) gumantung saka pakerti nalika nglakoni urip neng ngalam
donya, mula banjur ana paugeran-paugeran kang tumuju marang
kasampurnaning urip iku. Iya ing kene iki ‘ngelmu urip' kang dirembuk iki ana
tegese.

Ngelmu Urip #4
Menawa manungsa urip ijen, sejatine ora butuh ilmu lan ngelmu.Cukup naluri
alamiahe wae. Nanging nalika urip bebarengan karo manungsa liyane lan karo
titah dumadi liyane dibutuhake ilmu lan ngelmu.Dadine, ngelmu urip iku
lumakune kanggo nuntun manungsa nglakoni urip bebarengan ing ngalam
donya.Ilmu iku ngoperasionalake nalar utawa cipta, dene ngelmu sing
dioperasionalake cipta-rasa-karsa.Mula ya beda tatacarane ngudi antarane ilmu
lan ngelmu. Menawa ngudi ilmu iku lumrahe saka sekolahan lan pawiyatan-
pawiyatan, dene ngudi ngelmu ora cukup semono, nanging kudu disranani laku
murih bisa manjing ing sajroning batin.Ana ing khasanah Jawa kang luwih diudi
iku ‘ngelmu', mulane kadhang kala lumrahe wong Jawa iku sok diarani ‘bodho'
ana ing ‘ilmu pengetahuan'.Keladuking panganggep, Jawa iku kakehan klenik lan
gugon tuhon.Rumit, mbulet, angel dinalar, lan ora duwe ‘greget' pepinginan
marang kemajuwan.Sing diudi mung kasekten lan tapa brata.Panganggep sing
mangkono iku pancene ana alasane. Contone, bisa gawe candhi Borobudur
apadene Prambanan sing cetha butuh ilmu pengetahuan werna-werna tingkat
tinggi, nanging kanyatane ora marisake ilmu matematika, ilmu fisika, mekanika,
lan ilmu pengetahuan liyane.Kamangka lagi milih panggonan kanggo ngedegake
candhi-cndhi iku wae wis kabukten pener banget.Uga ing babagan kalender
(almanak) sing njlimet nganti bisa nemtokake wektu kang akurasine luar biasa,
nanging kok ora ana tinggalan bab angka-angka pangetunge.Manut ngendikane
para pakar, menawa ing bab petungan (ping, para, lan, suda, kuwadrat, lsp.)
wong Jawa nganggo cara ‘awangan'.Panemu mangkene iki bisa uga pancen
bener. Jalaran operasionale ‘cipta-rasa-karsa' iku mapan manggon ing ‘daya
spiritual' kang diduweni manungsa.Ora bisa ditulis kayadene ilmu-ilmune wong
Barat.Ora beda karo ilmu nalar, ngelmu ‘cipta-rasa-karsa' uga ana tataran
cendhek lan dhuwure.Ana manungsa kang nalare dhedhel sing bodhone ora
karu-karuwan, pijer nunggak sing sekolah.Semono uga ing bab ngelmu ‘cipta-
rasa-karsa' ya ana sing maju lan ana singsendhet ora mundhak babar bisan
senajan wis meguru neng pirang-pirang para sepuh.Malah-malah wis nglakoni
laku pirang-pirang werna uga ora ana kaundhakane.Akeh-akehe padha
nganggep menawa ngudi ngelmu ‘cipta-rasa-karsa' iku padha karo wong ngudi
ilmu pengetahuan.Bakune karep sing kenceng thok. Kamangka banget bedane.
Menawa ngudi ilmu sing dibutuhake pancen ‘kekarepan' utawa ‘cita-cita'
(semangat).Dene ngudi ngelmu sing dibutuhake malah menebake ‘kekarepan'
murih bisa ‘ênêng' lan ‘êning'.Bisane ‘ênêng' lan ‘êning' iku disranani ‘laku' lan
butuh ‘kas kang nyantosani setya budya pangekesing dur angkara' (niat kang
mantep nduweni budi luhur).Dadine, kang luwih dhisik kudu diduweni kanggo
ngudi ngelmu iku ‘budi luhur'.Ngudi ngelmu ora bisa menawa mung kanggo
‘pelarian' jalaran semplah kelangan semangat ngadhepi urip.Upamane, rekasa
golek pegaweyan (golek sandhang pangan) njur nekuni ‘ngelmu
kebatinan'.Panganggepe, nek wis nglakoni ‘lakubrata' werna-werna njur
gampang entuk pegaweyan utawa gampang rejekine. Modhel pelarian sing kaya
mangkene iki akeh banget tinemu ing tengahing bebrayan.Salah kaprah panemu
liyane, ‘ngelmu' iku bisa kanggo mrantasi pirang-pirang perkara. Ing antarane
kanggo nylametake dhiri saka tumindak salah lan ala.Upamane, murih ora kena
‘jerat hukum' sawise korupsi njur nglakoni ‘lakubrata' utawa golek ‘backing
spiritual' marang ‘sesepuh'.mBok menawa wae pancen ana kasekten-kasekten
sing bisa kanggo kepentingan kang mangkono. Nanging kasekten kang
mangkono iku dudu ‘ngelmu urip' kang ‘bener-becik-pener'.Ana ing Wedhatama,
kasekten jinis mangkono iku diarani ‘ngelmu karang'.Kekerane (kekuwatane)
saka asile kekarangan (bersekutu) karo bangsaning gaib.Ora rumasuk jroning
daging (ora manjing ing jroning batin).Ngibarate mung manggon ing kulit
kayadene boreh (wedhak pupur) alias apus-apus utawa palsu.Mula ora bisa
diandelake kanggo nglakoni urip kang ‘bener-becik-pener'.Ewa semono,
kanyatane ing tengahing bebrayan akeh pawongan kang bebudene seneng
golek gampang.Samubarang apa wae dianggep bisa diprantasi nganggo
kekuwatan spiritual silihan saka bangsaning gaib mau.

Ngelmu Urip #5
Budi Luhur minangka dhedhasarane ‘ngelmu urip'. Ajaran Jawa nduweni konsep
menawa urip bebarengan iku kudu tata (tertib), tentrem (aman tenteram), kerta
(makmur) lan raharja (sejahtera). Bisane wujud menawa para manungsane iku
nduweni budi luhur. Murih bisa duwe budi luhur kudu nyecep ‘piwulang
kautaman'.Apa wae sing diwulangake ing ‘piwulang kautaman' iku ngandhut
‘kawruh' lan ‘laku'. Tegese ora mung bisa ngerti bab kawruhe, nanging uga kudu
dilakoni apa kang diwulangake.Babon baku piwulang kautaman mulangake
kawruh murih manungsa padha ‘eling' marang kajatene. Yaiku titah kang
diparingi kaluwihan wujud ‘cipta-rasa-karsa'.Mula kaelingan sing ‘bener-becik-
pener' yaiku :1. Eling menawa dadi titahing Gusti (Sangkan Paran, Manunggaling
Kawula Gusti).2. Eling menawa dititahake manggon ing planet bumi kang ora ijen
anane, nanging minangka bagian cilik saka ‘alam semesta'. (Jumbuhing jagad
cilik lan jagad gedhe).3. Eling marang peparing ‘cipta-rasa-karsa' kang ukurane
manungsa kudu ‘beradab'.4. Eling manwa kudu tansah ngutamakake kerukunan
karo manungsa iyane lan titahe Gusti liyane.5. Eling menawa kudu tansah njaga
‘keselarasan' (kemarmonisan): melu memayu hayuning bawana.Dhasaring laku
diarani ‘Panca Brata', yaiku lakubrata kanggo nguripake (ngoperasionalake)
‘cipta-rasa-karsa', yaiku:1. Nglatih bisane nduweni watak ‘narima', disranani laku
kanthi ngengurangi mangan lan ngombe. Umpamane laku pasa, mutih, ngrowot
lan sapiturute. Bedane pasa ing laku Jawa karo pasa tumrape ibadah agama,
yaiku ana ing tujuwane. Nek pasa cara agama kanggo nggayuh suwarga, dene
pasa laku Jawa amung kanggo nglatih bisane duwe watak narima. Ewa semono,
kanyatane luwih abot syarat-syarate. Ing antarane, senajan bisa pasa sedina
nutug, nanging yen ing batin isih durung bisa nrimakake pangan lan ngombe
saanane nalika ‘buka' bakal njugarake gegayuhan. Ora bisa kanggonan watak
‘anarima'. Selagine kanggonan watak anarima wae ora bisa, lha kok kepingin
nggayuh suwarga mesthi tangeh lamun.2. Nglatih bisane tansah ‘eling', disranani
ngengurangi sare (turu). Syarate, anggone melek ora kena disambi apa wae.
Apamaneh dislamur nganggo dolanan kertu utawa jagongan gayeng karo para
kanca. Kang ditindakake, melek lan tansah eling marang kajatene manungsa.3.
Nglatih urip kang tata utawa tertib, disranani laku ngengurangi sanggama.
Nanging anggone ngurangi kudu kanthi pangerten babagan sanggama kang
sejatine. Yaiku pangerten sanggama kang gegandhengan karo ‘titising wiji' kang
mahanani ‘rasa sejati'. Yaiku ‘rasa nikmat mulya' kang ditampa manungsa nalika
dadi saranane Gusti nyipta manungsa anyar. Rasa nikmat mulyane sanggama
kang bisa nitisake wiji, dudu nikmat sanggama kang lumrah amung nuruti
derenging birahi. Kanthi mangkono, sing dikurangi iku sanggama kang mung
mburu kanikmataning birahi.4. Nglatih kesabaran, disranani kanthi laku ‘ora kena
nesu'. Mula kang becik iku laku: "ing siyang ratri tansah amamangun karyenak
tyasing sesama".5. Nglatih panalangsa utawa pasrah sakabehane marang Gusti
Kang Maha Kuwasa. Srana lakune ‘mbisu'. Nanging ora mung ora guneman
thok. Ing jroning batin tansah ngulati mobah-mosiking ati. Iya obah osiking ati iku
kang bisa uga mujudake wisik utawa dhawuhing Gusti marang kita sowang-
sowang (dhewe-dhewe). Bisane dimangerteni kudu dipêndêng utawa mêlêng
temenan. Mêndêng utawa mêlêng ora bisa kelakon yen sinambi ngendika utawa
omong-omong. Wohing pasrah iku antuk wisik utawa ‘sabda dhawuh' kang
nuntun marang bebener, kabecikan sing pener.

Ngelmu Urip #6
Filosofi Jawa mulangake menawa manungsa iku duwe sedulur-sedulur gaib kang
njangkungi uripe, yaiku:1 Sedulur Marmarti, kedadeyan saka rasa kumesaring ati
lan ngemar-emari awake biyung (ibu) nalika arep nglairake.2 Sedulur papat,
yaiku rohe kawah (ketuban), ari-ari, getih, lan puser.3 Sedulur tungal dina
kelairan, yaiku sakabehing anake titah dumadi kang bareng dina laire utawa
kedadeyane.Filosofi Jawa iki pancen akeh sing ora percaya apa maneh
mudheng karo karepe.Jalaran pancen arang kang kersa nerangake lan
njlentrehake kanthi wijang. Embuh marga ora ngerti apa pancen angel
dudutane.Kamangka sejatine baku banget kanggone ngelmu urip.Jalaran kanthi
cetha mulangake bab hubungan kosmis-magis antarane jagad cilik (manungsa)
karo jagad gedhe (alam semesta).Sedulur marmarti maringi pangerten bab
sesambungan lair batine anak karo biyung kandhunge munggahe marang para
leluhure.Sedulur papat (kalima pancer) nerangake menawa roh (suksma)-ne
manungsa iku ‘wujud hubungan inti-plasma'.Pancer sing dadi ‘inti', dene sedulur
papat ‘plasma'-ne.Dene anane sedulur tunggal dina kelairan, mulangake
menawa sakabehing kang ana ing alam semesta iki ‘manunggal'.Miturut
Kejawen, alam donya (ngarcapada) kang dipanggoni manungsa urip iki sejatine
phase lanjutane alam kandhutane biyung.Nalika ing jero kandhutan, sing
ngreksa urip lan dadi piranti sesambungane janin karo anggane biyung wujud
‘kawah, ari-ari, getih lan puser', mula nalika urip ing ngarcapada iya rohe ‘kawah,
ari-ari, getih lan puser' sing ngreksa lan dadi ‘tali gaibe' manungsa urip karo alam
ngarcapada (donya).Anane sedulur tunggal dina kelairan nerangake bab
‘panunggalan', sakabehing kang gumelar ing jagad iki miturut kepercayaan Jawa,
manunggal utawa nyawiji.Kawangun kanthi hubungan kosmis-magis ‘inti-
plasma': "Manunggaling Kawula Gusti". Kawula plasma, dene Gusti
(Sesembahan) minangka ‘inti'. Sesembahan iku ora mung duwekke manungsa,
nanging uga sesembahane sakabehing titah dumadi.Mula konsep Jawa
nyedulurake sakabehing ‘titah'.Ora ana memungsuhan ing antarane titah. Kabeh
duwe kewajiban ‘nyangga' maujude panunggalan.Gandheng kapercayaan anane
sedulur gaib tumraping manungsa iku banget kanggone ngelmu urip, mula ana
ritual Jawa kang khusus kanggo ‘memule' anane sedulur gaib iku. Memule dudu
pekerti nyembah, nanging mung mulyakake lan ngelingi anane.Yaiku eling
marang ‘hubungan gaib' dhirine manungsa karo alam semesta sak isine.
Suksmane manungsa ora mung nguripi, nanging uga ngreksa lan ‘adeg'
sesambungan karo suksmane sakabehing titah dumadi liyane.Bisa uga
pangerten iki ora nyambung karo ajaran agama. Mula banjur akeh kang ora
mathuk lan keladuke malah nganggep menawa memule sedulur gaib dianggep
bersekutu karo setan.Ya sumangga wae, pancen kapercayan Jawa ngono
anane. Dipercaya kena, ora percaya inggih kenging kemawon. Dilaras lan dinalar
dhewe-dhewe sing kepenak wae.Ritual utawa laku kanggo memule sedulur gaib
werna-werna. Gumantung marang abot enthenge jejibahan uripe dhewe-
dhewe.Sing kuwagang lan duwe penggayuh dhuwur mesthine ya nganggo laku
sing abot.Dene sing trima lugu lan sanane, lakune ya sing entheng-
enthengan.Sing abot ya laku Pancabrata saben wetonane dhewe-dhewe.Dene
sing entheng wujud sesaji ing saben dina wetonan kelairane dhewe-dhewe.Sing
ora sreg karo sesaji, nindakake pasa saben wetonane dhewe-dhewe.Njur
pikolehe apa? Mangkono pitakonan kang asring tak tampa.Gandheng bab iki
nyangkut kapercayan, mula pikolehe ya dirasakake karo sing nglakoni. Sing
percaya lan gelem nglakoni mesthine ya bisa ngrasakake oleh-olehane.Dene
sing ora percaya mesthine ya ora gelem nglakoni, mula ya ora bisa ngrasakake
oleh-olehane.Sing kudu dieling-eling, saben laku iku kudu disranani tekad sing
mantep, ora kena gamang utawa was-was. Sumangga.

Ngelmu Urip #7
Sedulur gaib manut ajaran Jawa (marmarti, sedulur papat kalima pancer, lan
sedulur tunggal dina kelairan) konteks pengertiane anane hubungan kosmis-
magis jagad cilik lan jagad gedhe.Tegese, adege manungsa urip iku duwe
sesambungan karo jagad saiisine tata lair lan spirituil.Pangerten kesadaran
kesemestaan lan holistik mangkene iki baku banget kanggo mangerteni lan
nindakake ‘ngelmu urip' kanggo nggayuh katentreman lan kamulyan. Tentrem lan
mulya kanggo pribadi lan bebrayan tumekaning hayining bawana
(jagad).Paugeran urip mungguhing wong Jawa normatif uga kudu didhasari
kesadaran kesemestaan.Mula ranah budaya lan peradaban Jawa mlakune ora
ninggal kesadaran kesemestaan iki. Prasasat ora ana ‘kepentingan individu'
tumrape para empu/pujangga/sarjana sujana anggone ngripta lan nyipta ‘seni
budaya' Jawa.Contone, kaloka dikayangapa gendhing ‘Ketawang Puspawarna',
kanyatane ora dipatenake lan nalika diproduksi wujud rekaman ora ana tuntutan
‘royalty' saka kang nyipta utawa ahli warise.Ing kene iki katon banget menawa
‘profesionalisme' Jawa ora gegayutan karo materi lan komersialisme, nanging
wujud ‘persembahan' tumuju marang hayuning bebrayan.Adoh banget karo
model Barat kang sarwa komersiil lan materialisme. Kabeh mau amarga kang
wus ngrasuk Kejawen kanthi ‘bener-becik-pener' pancen wus
kagungan‘kesadaran panunggalan' kang dhuwur tingkatane.Uripe dipasrahake
kanggo ‘ngawula kawulaning Gusti'.Emane, amung sethithik manungsa kang
bisa kanggonan ‘kesadaran panunggalan' iki. Nanging, senajan sethithik
dibutuhake kanggo aweh ‘pencerahan' marang manungsa liyane.Banget sing
mumet nalika diparingi piwulang bab ‘kesadaran kosmis' iki.Amarga istilahe
medeni banget, "Manunggaling Kawula Gusti".Terus carane mulang tansah ana
ing ranah spirituil sing lakune jan abot temenan.Ing antarane ana laku bisane
ketemu karo para ‘sedulur papat' kang digambarake madha rupa karo awake
dhewe mung beda cahyane.Ing kene iki KSM ngaku blaka menawa gagal, malah
njur gumun dene kanca-kanca sing bareng sinau, jarene kasil bisa
ketemu.Embuh kanyatane, amarga sing ngerti lan pana temenan ya sing
nglakoni.Ing batin KSM ngudarasa, "Kanggo apa menawa wis bisa ketemu
sedulur gaibe dhewe? "Ana sesepuh kang paring pangandikan menawa ‘sedulur
papat' iku sejatine padha karo ‘empat nafsu' (Amarah, Luamah, Sufiah lan
Mutmainah).Nanging KSM tambah bingung maneh. Lha wong sing dingerteni
‘sedulur papat' iku rohe ‘kawah-aruman (ari-ari)-getih-puser' kok njur
dipadhakake karo ‘empat nafsu dasare manusia hidup', kepriye anggone
nyambungake pangertene?Luwih kodheng maneh nalika entuk keterangan ing
‘Layang Djojoboyo' menawa kang disebut sedulur spirituale manungsa (cacahe
papat) jenenge: Jâbârâlâ, Mâkâhâlâ, Hâjârâlâ, lan Hâsârâpâlâ.Kapapate utusane
Gusti Kang Maha Kuwasa kang ing khasanah agama-agama saka Timur Tengah
disebut Malaikat.Bisa ditarik kesimpulan mengkono jalaran jenenge utusan
kasebut persis basa nglegena asmane Malaikat ing ranah agama Islam: Jibril,
Mikail, Ijroil, lan Ishrofil.Ing ranah ajaran Jawa ora ana diskripsi ngenani anane
‘malaikat' lan ‘setan'.Amarga dasare ‘filosofi panunggalan' kang nerangake
menawa kabeh kang ana ing jagad gumelar iki mujudake ‘Kesatuan Tunggal
Semesta'.Manunggaling kawula Gusti, nerangake menawa sing disebut ‘utusan'
iku ora liya ya suksma sejatine manungsa dhewe.Wondene suksma sejati iku
derivasine ‘Suksma Kawekas (Guruning Ngadadi, Hyang Agung, Hyang Widdhi,
Gusti Allah).Wacana ing ndhuwur iku tak aturake murih para kadang kang
kepingin ngudi ‘nglemu urip' bisa mudheng temenan sesambungane sedulur
gaibe manungsa karo ‘ngelmu urip'. Uga aja nganti ‘wor suh' karo pangerten-
pangerten ‘ajaran agama'.Ngerti bedane lan diskripsine murih bisa ndudut
hikmahe lan bisa milih lan milah kanthi becik, bener, lan pener.Bakune, ‘ngelmu
urip' iku tuntunan nglakoni urip cara Jawa.Sinebut ing Wedhatama: "mrih kretarta
pakartining ngelmu luhung kang tumrap ing tanah Jawi".Manungsa iku amung
‘kawula' utawa ‘titah' kang duwe kewajiban ‘memayu hayuning alam
semesta'.Dene ‘titah' iku ora mung manungsa thok, lan kabeh padha kaparingan
kewajiban sing padha "memayu hayuning bawana (alam semesta)".Iya
kesadaran dasar ngrumangsani dadi titah kang wajib memayu hayuning bawana
iku pancadan baku ‘ngelmu urip'.Kesadaran iki kang disebut ‘ngelmu luhung' ing
Wedhatama kasebut ndhuwur.

Ngelmu Urip #8
Ditelisik lan dionceki sing nganti jero, filosofi Jawa iku mulangake menawa
sakabehing kang ana (dumadi) iku ‘manunggal'.Panunggalane sinebut ing unen-
unen: ‘Manunggaling Kawula Gusti'.Menawa diistilahake nganggo basa
Indonesia: ‘Maha Kesatuan Tunggal Semesta'.Nanging perlu dimangerteni uga
menawa ana ing jagad ngelmu kebatinan, ‘Manunggaling Kawula Gusti'
mujudake tataran makrifat kang paling dhuwur dhewe. Yaiku tingkat kesadaran
batin kang wus tekan ‘jumbuhing' kawula lan Gusti.Tegese kang gampang
dimangerteni awam yaiku tataran kebatinan kang wis mangerteni ‘sejatining urip'
utawa ‘hakekating urip'.Mengerteni ‘sejatining urip' iku kang dikarepake bisa
nggayuh ‘Kawruh Kasampurnan'. Magerti wajibing kawula (titah):1. Marang
Gustine (Sesembahane).2. Marang sesamaning titah manungsa.3. Marang jagad
saisine.Pepunthoning pangerten werna telu kasebut ndhuwur ora wurunga uga
tekan marang kesadaran panunggalan. ‘Sakabehing kang ana iku
manunggal'.Wondene gegambarane panunggalan iku sinebut ing unen-unen
‘kadya kembang lan cangkoke' utawa ‘kadya sesotya lan embanane'.Menawa
nganggo istilah moderen kadidene hubungan ‘inti' lan ‘plasma'. Gusti kang dadi
intine, dene kawula dadi plasmane.Struktur hubungan inti pancer, jawa lan
plasma (macapat, jawa) kanyatane dadi lelandhesane sakabehing ‘ide-ide' ing
jagad Jawa,Contone, ‘roh alam semesta' disebut ‘Hyang Manikmaya'.Hyang
Manik minangka inti, dene Hyang Maya dadi plasmane.Ing pewayangan Hyang
Manik disebut uga Sang Hyang Jagad Girinata utawa Bathara Guru.Dene Hyang
Maya disebut Hyang Ismaya utawa Hyang Taya alias Semar.Conto liyane, rohe
manungsa disebut ‘Pancer lan Sedulur Papat', ‘Pancer' dadi inti lan ‘Sedulur
Papat' dadi plasmane.Ide sistim ‘pancer-mancapat' uga dipigunakake kanggo
ngadegake negara, mangun desa, percandian, keraton, kutha-kutha,
persawahan, gawe giliran pasaran (ekonomi) tumekane gawe tumpeng
sesaji.Dadi cethane, menawa ing jagading ilmu pengetahuan ditemokake sistim
inti-plasma (pancer-mancapat) wiwit anane renaisans ing Eropa, Jawa wis
mraktekake wiwit jaman kuna makuthi.Kang bisa kanggo conto, ide ‘pancer-
mancapat' Jawa babagan adeg negara.Kang dadi pancer (inti, Gusti) yaiku ide
(cita-cita, gegayuhan) didegake negara kang sinebut ing janturan/suluk
pedalangan: "Negari adi dasa purwa, panjang-punjung pasir wukir gemah ripah
loh jinawi, tata tentrem kerta raharja".Dene sakabehing warga negara tanpa
mbedak-mbedakake antarane rakyat jelata lan pemimpin dadi mancapat
(plasma, kawula).Kewajibane kawula negara njaga lan nyengkuyung madege
negara.Nanging kanyatane, wiwit jaman kerajaan-kerajaan tumekane jaman
republik wektu iki, ide ‘pancer-mancapat' babagan kenegaraan dienggokake.Raja
(pemimpin) dadi pancer (gusti, inti) dene rakyat dadi mancapat (kawula, plasma).
Wusanane ide Jawa kang ‘adiluhung' owah dadi sistim feodalisme kang kebak
KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).Owahe sistim peradaban adiluhung Jawa dadi
feodalisme wis lumaku atusan taun. Kawiwitan nalika mlebune budaya lan
peradaban saka Asia Daratan.Mlebune budaya lan peradaban India kang
ngenalake sistim kerajaan lan kasta liwat (numpang) agama Hindu lan
Budha.Diterusake lumebune budaya lan peradaban Timur Tengah liwat
lumebune agama Islam kang ngenalake sistim pemusatan kekuasaan (Imperium
Turki lan Kekuasaan Ulama Mekah).Sabanjure lumebune penjajahan Landa
kang ndadekake warga pribumi kelas telu, warga asing Asia (China, Arab, India,
lsp.) kelas loro, dene wong Landa (Eropa) kelas sijine.Pribumi Jawa dening para
penjajah asing dianggep kelas batur lan jongos.Marang wong Landa (Eropa)
kudu nyebut ‘ndârâ tuwan', marang wong China nyebut ‘yuk' lan marang wong
Arab nyebut ‘ayik'.Sebutan kabeh mau nandhakake menawa wong Jawa drajate
asor. Ora kepenake maneh, para wong asing sing neneka neng Jawa padha
nganggep wewatekane wong Jawa:‘nyadhong-nggemblong-nyolong-
nggarong'.Awake dhewe, wong Jawa, mesthine suthik ora trima dianggep asor
mengkono.Lha wong budayane ‘adiluhung' kok dianggep duwe wewatekan:
‘nyadhong' (mandho, ngemis, njaluk suap), ‘nggemblong' (nglengket neng
panguwasa lan sing duwe dhuwit ben entuk cipratan rejeki), ‘nyolong' (ngunthet,
korupsi kelas cilik-cilikan), ‘nggarong' (ngrampok bandhane negara, gawe proyek
fiktif nggo ngentekne anggaran, lsp.).Nah, sok sintena kemawon menawa
kepingin ngudi ‘ngelmu urip' kang ‘bener-becik-pener' kudu bisa ngilangi
wewatekan ‘nyadhong-nggemblong-nyolong-nggarong' luwih dhisik.

Ngelmu Urip #9
Ajaran Jawa akeh sing nganggep aliran kebatinan utawa aliran
kepercayaan.Banjur saka kalangan agamawan dianggep ajaran kang durung
mateng kang perlu dimatengake murih slamet ing ngalam akherat
mbesuke.Alasan utamane, ajaran Jawa ora duwe kitab suci kayadene ajaran
agama.Wusanane akeh panganggep menawa ajaran Jawa amung dianggep
gaweyane manungsa kang ora bisa dianggo pandoming urip.KSM uga duwe
penganggep mangkono dhek isih enom nganti umur seket.Lha wis, saben
ketemu sesepuh Jawa ora nate entuk keterangan kang maremake bab ‘kitab
suci' lan ‘utusan'.Kamangka para sepuh sing tak temoni padha ngendika
menawa sing digilut iku ‘Agama Budi'.Dene keterangan bab kepriye sing
dikersakake ‘Agama Budi' iku, wangsulane mbulet angel tak tampa.Gandheng
senengane ngayam wana nemoni para sepuh lan ngulama, KSM entuk tepungan
Kyai Bahrul Rondhi ing tlatah Jepara ing taun 1991.Mas Kyai iki dening para
ulama dianggep ‘sesat' jalaran mulangake kebatinan Islam campur Kejawen.Ora
marga kepilut karo ajarane, nanging kang penting tak critakake neng kene,
amarga Mas Kyai ngendika menawa panjenengane asring ditekani ‘kitab gaib'
ing saben semedi. Mas Kyai aweh bukti anggone nulis (ngutip) kitab gaib kang
ngatoni panjenengane.Asil penulise iku kang ditontonake marang KSM. Wujude
tulisan Arab Pegon kang KSM babar pisan ora bisa maca. Mas Kyai njur
macakake sak kalimat tulisane: "Hananira sejatining wahananing Hyang".Lho
kok basa Jawa, mengkono pangudarasane KSM. Lelakon sabanjure, KSM tuku
buku karangane Ir. Sri Mulyono, "Apa dan Siapa Semar ?".Ing bukune iku
dikutipake ‘Filsafat Nusantara' kang isine filosofi aksara Jawa ‘ha-na-ca-ra-
ka'.Kalimat filosofi aksara (ha) unine: "Hananira sejatining wahananing
Hyang".Persis karo kalimat ing kitab gaib Arab Pegon sing nemoni Kyai
Rondhi.KSM bisane mung gumun, amarga ngakoni menawa ora duwe kabisan
spiritual kanggo golek wangsulan kang gumathok.Ya mung ana pengaruh gedhe
kang mlebu ing batin, menawa Carakan Aksara Jawa iku ngemot ajaran teologi
Jawa. Kodhenge, kok ing aksara Arab Pegon ya ana tur gaib pisan, iki kepriye
larah-larahe.Ya embuh kepriye kersane Gusti Kang Maha Wikan, lelakone KSM
isih berlanjut. Nalikane KDP (Ki Denggleng Pagelaran) mulih saka Jepang
(taun ?) ngajak KSM gresek buku neng lowakan mburi Sriwedari Solo, entuk
fotocopian Kitab Darmagandhul, Gatholoco lan Walisanga.KDP sing maca kitab-
kitab mau nganti kepingkel-pingkel gumun karo krenahe pujangga sing
ngarang.Lha wong isine kawruh kang jero lan luhur kok dikemas nganggo crita
porno saru banget senajan wujude sastra tembang.Saya kepingkel-pingkel KDP
nalika maca angele Prabu Brawijaya arep pindhah agama. Saka Agama Buda
menyang Agama Islam, bab kepingkel-pingkele KDP kareben adhi ragilku iku
sing crita.Nek KSM pancen ora prigel ngguyu lan geguyon, bisane mung mesem
rada nyureng serius.Nyureng seriuse KSM jalaran maca kitab Darmagandhul
pupuh Megatruh kang ngrembuk ‘Sastra Urip', sebutane Ki Pujangga kanggo
‘ngelmune Gusti Allah'.Mangga tak kutipake sethithik :1. Sastraning Hyang mung
sagulma cacahipun, pinencar ngebeki bumi, dadine saking sabda kun, aranira
Sastra Urip, binagi dadi sawiyos.2. Kang rumiyin Sastra Rancang aranipun,
kangge miyat sira kadim, ana aran tanpa wujud, wujude ginelar sepi, arane
cinancang batos.3. Sastra Swarawangsit kaping kalihipun, ginadhuhke marang
peksi, kang urip ing dharat laut, sikap peksi duwe uni, unine wangsit pasemon.4.
Saunine iku sabdane Hyang Agung, peksi amung darma angling, dhawuh enget
eling pemut, sasmita kang elok gaib, kang ngreti wong ahli kawroh.5. Sastra Arja
Ayuningrat kaping telu, tanpa papan kretas mangsi, sastrane nglimput jro wujud,
sipat wujud duwe nami, namane mawa pangretos.6. Sastra Endraprawata kaping
patipun, dadi saking anggit janmi, kalam lantaraning wujud, cinorek ing dluwang
mangsi, kang kena dinulu mring wong.7. Mata loro melolo kinarya ndulu, sipat
janma doyan kuldi, manut cara bangsanipun, yen marsudi kawruh budi, sayekti
bisa mangretos.

Ngelmu Urip #10


Miturut ngendikane pujangga kang ngripta Serat Darmagandhul (Ki Kalamwadi),
sastra suci (firman, sabda dhawuh) saka Gusti Kang Maha Agung iku tunggal
sumebar sak jagad, arane Sastra Urip, kaperang ing tataran tumurune,
bawarasane KSM:
1. Kang sepisan disebut Sastra Rancang, sastra kang nglimputi sakabehing titah
urip (kadim).2. Kapindho sinebut Sastra Swarawangsit, wujude unine manuk.
Unine manuk iku sabdane Hyang Agung, manuk amung darma ngelingake
dhawuh sasmita elok gaibe Hyang marang sakabehing titah dumadi.3. Katelu,
sinebut Sastra Arja Ayuningrat kang gaib wujude, ora tinulis ing kertas nanging
nglimput jroning wujud (titah).4. Kaping papat sinebut Sastra Endraprawata,
yaiku sastra anggitane manungsa kang tinulis lan bisa disawang mata lahiriah.
Saben bangsa manungsa duwe aksara dhewe-dhewe. Mula sastra (firman,
sabda)-ne Gusti Allah kanggo saben bangsa tinulis mawa cara bangsane dhewe-
dhewe. Dene bisane mangerti isining sastra (firman, sabda) kudu marsudi ing
budi kawruh.5. Kaping lima disebut Sastra Swarasandi, swara (wisik) metu
saking gaib.Kang ngrungu kuping pribadi, ngrungu swarane wong wadon.Amung
titah pinilih kang bisa mangerti Sastra Rancang, Sastra Swarawangsit lan Sastra
Arja Ayuningrat.Titah pinilih ya titah kang wus tumapak ing tataran ‘paramayoga',
tingkat yoga (semedi, meditasi) kang paling dhuwur dhewe.Begjane tinitah Jawa,
Gusti Allah ngeparengake para winasise kang wus ing tataran ‘paramayoga'
medar sabda mbabar kawruh rungsit babagan sejatining urip (hakekating
urip).Kawruh kang winedar nulad saka asiling nampa ‘pencerahan' maca Sastra
Rancang, Sastra Swarawangsit, lan Sastra Arja Ayuningrat.Sastra gaib tetelune
iki mbok menawa kang disebut "Sastra Jendra Hayuningrat".Babagan ‘sastra' iki
tak aturake ana ing bawarasa Ngelmu Urip kanggo mengerteni prekara
spiritualisme (kebatinan) Jawa.Bab iki perlu, amarga ing ranah ejawen akeh kang
umyek ngrembuk bab "Sastra Jendra Hayuningrat", lan akeh uga kang wani
ngaku wus bisa ndungkap kawruh ‘Sastra Jendra'. Kejaba iku, kanggo atur
pangerten menawa ngelmu Sejatining Urip cara Jawa ora ngayawara lan dudu
mistik keprimitifan kaya kang didakwakake sasuwene iki.Ngelmu Jawa iku bisa
ditelusuri logika rasionale.Ana pitakon, Jawa iku sejatine duwe donga lan cara
panembah marang Gusti Kang Maha Kuwasa apa ora?Ewuh aya anggone arep
atur wangsulan. Menawa diwangsuli ana, sing kepriye donga lan tatacara
panembahe? Menawa diwangsuli ora ana, lha kok aneh !Bab iki, sajake pancen
wis dadi rembuk umyek duk jaman kapujanggan.Jaman nalika sebaran agama
Islam lan sebaran ide rasionil Barat gencar-gencare ngisi ruang batine wong
Jawa.Kahanan kang dening para pujangga Kraton ditengarani bakal gawe
rusake pranatan Jawa.Mula menawa nyimak jero karya sastrane para pujangga,
ngumunake.Diskusi antarane para pujangga adu penemu lan argumen banget
narik kawigaten.Ana sastra kang isine ‘memantapkan' ajaran Islam, ana sastra
kang samar-samar ngemot ‘perlawanan', ana uga sastra kang ‘mensinergikan'
ajaran agama Islam, Hindhu, lan Buddha karo piwulang Jawa.Ana uga kang
radikal menyerang doktrin dogma agama-agama.Kawicaksanan politik Kraton
anggone ngemong diskusi aja nganti gawe dredah ing antarane para kawula
banjur nganakake seleksi karya sastrane para pujangga.Ana kang
dikeparengake lolos dikonsumsi kawula, ana kang kudu disimpen dadi
kapustakan sinengkere Kraton.Elok temenan para intelektual Jawa jaman iku lan
kawicaksanane pemerintahan Kraton anggone ngecakake ‘manajemen konflik'
murih ora gawe dredahe bebrayan.Nanging, kang sinengker iku akeh kang
didadekake ‘cindera mata' marang para warga Eropa, digawa mulih neng
negarane, disinau lan dianggo studi pirang-pirang kepentingan.Sing cetha banjur
kanggo pancadan ‘menjajah'.Saperangan karya sastra kang radikal ana sing
lolos sensor utawa pancen disengaja dening pemerintah penjajahan murih
kahanan para kawula Jawa kegawa ana ing suwasana ‘konflik' saengga lali
menawa bumine diperes entek-entekan.

Ngelmu Urip #11


Ditelisik saka literatur lan laku budaya Jawa pancen ora ditemokake donga lan
tatacara panembah kang wujud laku ritual.Kang ana: mantra, sesaji, laku sesirih
lan laku semedi (meditasi). Gandheng ora padha mudheng larah-larahe, banjur
ana panganggep menawa mantra iku pada karo donga, sesaji, laku sesirih lan
laku semedi padha karo ritual panembah.Mantra ora padha karo donga. Menawa
donga iku panyuwun marang Gusti, dene mantra iku ngempakake daya uripe
manungsa peparinge Gusti.Atur sesaji, laku sesirih lan laku semedi mujudake
tatacara ndayakake dayaning urip murih bisa nindakake urip kang bener, becik
lan pener.Yaiku nindakake urip melu memayu hayuning bawana.Daya uripe
manungsa mahanani anane ‘aurora magis' kang nglingkupi anggane
manungsa.Wateke aurora magis iku dhewe-dhewe amarga beda-bedane
kahanan unsur-unsur kang mangun jasade manungsa.Unsur-unsur iku asale
saka bumi, langit, cahya lan teja kang tansah owah gingsir kahanane ing saben
wektune.Mula banjur ana ngelmu Jawa kanggo nengeri beda-bedane ‘aurora
magis' nganggo dhasar wetonan lan wuku.Aurora magis uripe manungsa karo
aurora alam semesta iku ana sesambungane lan daya-dinayan sacara kosmis-
magis.Dinamika daya-dinayan ana kang jumbuh (nyambung, bersinergi),
nanging uga ana kang tolak-menolak.Laku sesirih lan semedi mujudake
pangrekadaya njumbuhake aurora magis uripe manungsa karo aurora alam
semesta.nJumbuhake jagad cilik (manungsa) karo jagad gedhe (alam
semesta).Dene sesaji minangka pangrekadaya njumbuhake aurora magise
manungsa karo titah dumadi kang padha-padha manggon ing jagad, khususe
titah gaib.Manungsa kang wus bisa nggayuh jumbuhing jagad cilik lan jagad
gedhe disebut wus bisa nggayuh ‘wahyu dyatmika'.Yaiku manungsa kang
kaparingan Gusti nduweni ‘daya linuwih' tumrap cipta rasa karsane kang sinebut
‘prana'.Pandayaning prana sinebut mantra. Jinising mantra werna-werna, kabeh
mesthi ana syarat lakune.Bisa kanggo kabecikan nanging ora sethithik uga kang
bisa kanggo laku ala lan nistha. Mulane ing piwulang Jawa banget ditekanake
bab ‘eling'.Yaiku eling marang ‘aras kesadaran': ber-Tuhan, kesemestaan,
keberadaban, kerukunan lan keselarasan.Operasionale ‘eling' mahanani
manungsa bisa ndayakake pranane wujud mantra kang tumuju marang
kabecikan urip bebarengan kang ‘tata tentrem kerta raharja'.Luwih utama lan
dhuwur maneh, menawa mantra katujokake kanggo ‘nyengkuyung panunggalan
semesta'.Nyengkuyung panunggalan semesta bisa diarani panembahe
manungsa marang Gusti miturut piwulang Jawa.Kang mangkene iki
dingendikakake dening pujangga R.Ng. Ranggawarsita ana ing Kitab Pustaka
Raja Purwa: "Dene patrapipun angabekti ing Dewa (manembah dhumateng
Kang Murbeng Dumadi) punika kalih prakawis, punika boten kenging pisah,
karanten ing saestunipun boten wenang amumuja yen dereng anglampahi
tapabrata."Panembah pribadi (perorangan) wujud operasionale budi luhur ing
tengahing bebrayan. Sinebut ing unen-unen: "Hangawula kawulaning
Gusti".Yaiku pekerti urip kang tansah eling marang jejibahan ‘nyengkuyung
panunggalan semesta'.Panembah bebarengan ing tata lair nindakake ‘laku
budaya' ngaturake kaendahan (Laku Kalangwan), kayata: upacara ruwat bumi
(grebeg, suran, sadranan, apitan lsp.), upacara kidungan, ritual gamelan,
bedhaya ketawang, lan sapanunggalane.Intine panembah bebarengan ing tata
kebatinan, nyawijekake daya urip (prana urip) kanggo mujudake ‘mahamantra'
kang bisa ndayani keselarasan sesambungan (harmonisasi hubungan) spirituale
umat manungsa karo spirituale alam semesta saisine. Tujuwane golek slamet ing
sakabehane.Emane, saka anane owah-owahan jaman, laku budaya kang
sejatine luhur banget iku wis akeh wong Jawa kang ninggalake.Tradisi grebeg,
suran, sadranan, apitan wis owah saka tujuwan nyawijekake ‘prana urip' lan
mung dadi tradisi adat kang ‘kering tanpa makna'.Upacara kidungan lan ritual
gamelan saya adoh saka nuansa sakral kang suci.Bedhaya ketawang dianggep
amung Kraton kang wenang nganakake.Kawula alit ora diwenangake, mengko
mundhak kuwalat.

Ngelmu Urip #12


Piwulang Jawa kang ngrembuk babagan ‘Sejatining Urip' digelar ing ‘Wirid
Wolung Pangkat' utawa ‘Wolung Martabat' kaya kasebut ing ngisor iki:1
Wejangan pituduh wahananing Pangeran : Sajatine ora ana apa-apa, awit duk
maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhihin iku Ingsun, ora ana
Pangeran nanging Ingsun sajatining kang urip luwih suci, anartani warna, aran,
lan pakartining-Sun (dzat, sipat, asma, afngal).2 Wejangan pambuka kahananing
Pangeran : Satuhune Ingsun Pangeran Sejati, lan kawasa anitahake sawiji-wiji,
dadi ana padha sanalika saka karsa lan pepesthening-Sun, ing kono
kanyatahane gumelaring karsa lan pakartining-Sun kang dadi pratandha: Kang
dhihin, Ingsun gumana ing dalem alam awang-uwung kang tanpa wiwitan tanpa
wekasan, iya iku alaming-Sun kang maksih piningit. Kapindho, Ingsun
anganakake cahya minangka panuksmaning-Sun dumunung ana ing alam
pasenedaning-Sun. Kaping telu, Ingsun anganakake wawayangan minangka
panuksma lan rahsaning-Sun, dumunung ana ing alam pambabaring wiji. Kaping
pat, Ingsun anganakake suksma minangka dadi pratandha kauripaning-Sun,
dumunung ana alaming herah. Kaping lima, Ingsun anganakake angen-angen
kang uga dadi warnaning-Sun ana ing sajerone alam kang lagi kena
kaupamakake. Kaping enem, Ingsun anganakake budi kang minangka
kanyatahan pencaring angen-angen kang dumunung ana ing sajerone alaming
badan alus. Kaping pitu, Ingsun anggelar warana (tabir) kang minangka
kakandhangan paserenaning-Sun. Kasebut nem prakara ing ndhuwur mau
tumitah ing donya, yaiku sejatining manungsa. (Dzat Urip kang ana ing
manungsa, ksm).3 Wejangan gegelaran kahananing Pangeran : Sajatining
manungsa iku rahsaning-Sun, lan Ingsun iki rahsaning manungsa, karana Ingsun
anitahake wiji kang cacamboran dadi saka karsa lan panguwasaning-Sun, yaiku
sasamaning geni bumi angin lan banyu, Ingsun panjingi limang prakara, yaiku:
cahya, cipta, suksma (nyawa), angen-angen lan budi. Iku kang minangka
embanan panuksmaning-Sun sumarambah ana ing dalem badaning manungsa.4
Wejangan kayektening Pangeran amurba ciptane manungsa : Sajatine Ingsun
anata palenggahan parameyaning-Sun (baitul makmur) dumunung ana ing
sirahing manungsa, kang ana sajroning sirah iku utek, kang gegandhengan ana
ing antarane utek iku manik (telenging netra aran pramana), sajroning manik iku
cipta (nalar), sajroning cipta iku budi, sajroning budi iku napsu (angen-angen),
sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku
Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsun, Sejatining Urip kang anglimputi
sagunging kahanan.5 Wejangan kayektening Pangeran amurba rasa
pangrasaning manungsa : Sajatine Ingsun anata palenggahan laranganing-Sun
(baitul haram) dumunung ana dhadhaning manungsa, ing sajroning dhadha iku
ati lan jantung, kang gegandhengan ing antarane ati lan jantung iku rasa
pangrasa, ing sajroning rasa pangrasa iku budi, ing sajroning budi iku jinem
(angen-angen, napsu), sajroning jinem iku suksma, sajroning suksma iku rahsa,
sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsun, Sejatining Urip
kang anglimputi sagunging kahanan.6 Wejangan kayektening Pangeran amurba
tuwuhing wiji uripe manungsa: Sajatine Ingsun anata palenggahan pasucianing-
Sun (baitul kudus) kang dumunung ana kontholing (wadon: baganing)
manungsa, kang ana ing sajroning konthol (wadon: baga) iku pringsilan (wadon:
purana), kang ana ing antaraning pringsilan (wadon: purana) iku mani (wadon:
reta), sajroning mani (wadon: reta) iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning
wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora
ana Pangeran anging Ingsun, Sejatining Urip kang anglimputi sak liring tumitah,
jumeneng dadi wiji kang piningit, tumurun mahanani sesotya kang dhingin
kahanan kabeh maksih dumunung ana alaming wiji, laju manggon ana alam
pambabaring wiji, laju tumurun ana alaming suksma, laju tumurun ana ing alam
kang durung kahanan (alam kang ingaran upama), laju tumurun marang alam
donya (alaming "manungsa urip"), iya iku sajatine warnaning-Sun.7 Wejangan
panetepan santosaning pangandel : Yaiku bubukaning kawruh "manunggaling
kawula-gusti" sing amangsit pikukuh anggone bisa angandel (yakin) menawa
urip kita pribadi kayektene rinasuk dening dzate Pangeran (Dzat Urip, Sejatining
Urip). Pangeran iku ya "jumenenge urip kita pribadi sing sejati". Roroning
atunggal, sing sinebut ya sing anebut. Dene pangertene utusan iku cahya kita
pribadi, karana cahya kita iku dadi panengeraning Pangeran. Dununge
mangkene: "Sayekti temen kabeh tumeka marang sira utusaning Pangeran metu
saka awakira, mungguh utusan iku nyembadani barang saciptanira, yen
angandel yekti antuk sih pangapuraning Pangeran". Menawa bisa nampa pituduh
sing mangkene diarah awas ing panggalih, ya urip kita pribadi iki jumenenging
nugraha lan kanugrahan. Nugraha iku gusti, kanugrahan iku kawula. Tunggal
tanpa wangenan ana ing badan kita pribadi.8 Wejangan paseksen : Yaiku
wejangan jumenenge urip kita pribadi angakoni dadi "warganing Pangeran Kang
Sejati" kinen aneksekake marang sanak sedulur kita, yaiku: bumi, langit,
srengenge, rembulan, lintang, geni, angin, banyu, lan sakabehing dumadi kang
gumelar ing jagad.

Ngelmu Urip #13


Wejangan Wolung Pangkat (Martabat) medarake "konsep spiritual" Jawa
menawa ‘sejatining uripe' manungsa "tunggal kahanan" karo sesembahane kang
disebut Pangeran utawa Gusti.Yaiku: dzat mutlak suwung, abadi, tanpa arah
tanpa papan, tanpa kantha (wujud) tanpa warna, sepi ing ganda-rasa-swara,
asipat elok, ora lanang ora wadon ora wandu, rumasuk ing alam semesta
saisine.Wejangan Wolung Pangkat ana ing serat-serat kapujanggan disebutake
minangka kawruh Warisane para Wali.Wondene sumbere saka wejangane
Kanjeng Nabi Muhammad marang Sayidina Ali. Pamejange kanthi cara
diwisikake ing talingan kiwa.Bener lan orane krenahe para pujangga anggone
nyantholake Wejangan Wolung Pangkat marang para Wali butuh ditelisik sing
jero.Apa ya ana wejangan kaya ing wirid kasebut ana ing ajaran Islam.Utamane
bab ketasawufan. Kanggo iku, becike para kadang kersa maos ‘Islam Kejawen'
tulisane Prof. Simuh kang ngudhari "Serat Wirid Hidayat Jati' anggitane R.Ng.
Ranggawarsita.Wejangan Wolung Pangkat diaturake ing bawarasa ‘Ngelmu Urip'
kepentingane kanggo mangerteni ‘pokok baku' konsep spiritualisme
Jawa.Keadiluhungan piwulang kebatinan Jawa kanyatane akeh kang sumbere
saka literatur serat-serat kapujanggan (Kawiwitan jaman Sultan Agung).Menawa
diunggahake ing literatur ing sadurunge (parwa lan kakawin) wis akeh kang ora
mudheng basane.Mula perlu dikaji bener lan orane menawa basa Jawa kang
saiki isih lumaku iki biyen-biyene saka basa Kawi (Jawa Kuna).Pandugane KSM,
basa Jawa Kuna iku basa persatuan (lingua franca), dudu basa ibu kanggone
wong Jawa.Mula ora merakyat lan ora dimudhengi dening umume wong
Jawa.Menawa panduga iki bener, bisa didudut pangerten menawa sejatine Jawa
iku sepanjang sejarahe dikooptasi (terjajah secara spiritual) dening budaya lan
peradaban asing.Wiwit thukul kejatidhiriane maneh nalika Sultan Agung
jumeneng nata ing Mataram. Wiwit jaman iku para intelektual Jawa (pujangga)
nganggit sastra kang ngemot ilmu-ilmu Jawa kanggo ‘melawan' kooptasi budaya
lan peradaban asing.Salah sijine kanggo ‘menjembatani' kutub religius agama
lan kutub rasionalitas sekuler Barat kang digawa penjajah Landa.Kanyatane ing
donya iki pancen ana kutub werna loro iku.Analisane para winasis Jawa,
ngandhakake menawa kutub werna loro (religius agama lan rasionalitas sekuler)
iku tansah regejegan kang gawe ora tentreme kahanan donya. Analisane digawe
crita ‘carakan aksara Jawa':hanacaraka (piwulang urip: religius lan
rasionalitas),datasawala (regejegan rebut bener),padhajayanya (padha dene
duwe argumen dasar kang kuwat),magabathanga (tumuju konflik kang bisa gawe
pepati).Hebate, para winasis Jawa banjur nemokake solusi kanggo ‘meredam
konflik' kasebut tumrape bebrayan Jawa kanthi mulangake ‘hakekating
urip'.Piwulange uga dimomotake ana ing nilai-nilai filosofis aksara Jawa.Ing
antarane nerangake menawa sakabehing aksara Jawa iku dipapanake ana ing
angganing manungsa urip:Ha : Endraprawata, dununge ing grana utawa
irung.Na : Purwana, dununge ing netra (mripat).Ca : Sandipranata, dununge ing
lesan (tutuk).Ra : Pujanggatarulata, dununge ing rema (rambut).Ka : Endradipa,
dununge ing karna (kuping).Da : Pujanggataruresmi, dununge ing jangga
(gulu).Ta : Tunjungresmi, dununge ing asta (tangan).Sa : Sekarsinom, dununge
ing dhadha.Wa : Purwakanthi, dununge weteng.La : Purwaresmi, dununge ing
lempeng antarane lambung lan ula-ula.Pa : Pratignya, dununge ing puser.Dha :
Patista, dununge ing kempung, weteng perangan ngisor wudel.Ja : Baskara,
dununge ing blegere manungsa disawang saka kadohan.Ya : Purwangka,
dununge ing perji (wewadi).Nya : Pujanggamurdha, dununge ing pupuMa :
Pustakajamus, dununge plawangan ngisor (silit).Ga : Krendha, dununge ing
gantangan (pupu kekarone).Ba : Prawignyaadi, dununge ing bokong.Tha :
Gendhingbarang, dununge ing thiklek (cecingklok, dhengkul mburi).Nga :
Bonangrante, dununge ing dalamakan (tlapak sikil).A : Sunggingpurbakara,
dununge ing titis, yaiku: wujud sawutuhe manungsa.

Ngelmu Urip #14


Sing wis lumrah dimangerteni umum, carakan aksara Jawa iku disambungake
karo dongeng ‘Ajisaka'.Kamangka figur Ajisaka iku misterius banget. Asale saka
India kang teka ing tanah Jawa kira-kira abad 3-4 M.Kamangka penelitian bab
aksara Jawa ‘hanacaraka' nemokake menawa panganggite lan digunakake wiwit
jaman Sultan Agung (Abad 16).Malah-malah, bisa uga, nembe ing jaman
kapujanggan.Jaman nalikane Jawa saperangan gedhe wis dijajah Landa kang
nyebarake pemikiran rasionalitas lan aksara Latin.Dene umume wong Jawa
wektu iku luwih akrab karo pemikiran religius Islam lan aksara Arab Pegon. Iya
amarga kanggo ngawekani kemungkinan konflik iku, para winasis Jawa
ngrekadaya ‘menjembatani' kanthi mulangake ‘hakekating urip' nganggo carakan
aksara Jawa ‘hanacaraka' kasebut.Ana uga piwulang ‘hakekating urip' kang
migunakake urut-urutane carakan aksara Jawa Piwulang kasebut dening suwargi
Ir. Sri Mulyono ana ing bukune "Apa dan Siapa Semar' disebut ‘Filsafat
Nusantara':Ha : Hananira sejatining wahananing Hyang.Na : Nadyan nora kasat
mata pasti ana.Ca : Careming Hyang yekti tan cetha wineca.Ra : Rasakena
rakete lan angganira.Ka : Kawruhana jiwanira kongsi kurang weweka.Da : Dadi
sasar yen sira nora waspada.Ta : Tamatna prabaning Hyang sung sasmita.Sa :
Sasmitane kang kongsi bisa karasa.Wa : Waspadakna wewadi kang sira
gawa.La : Lalekna yen sira tumekeng lalis.Pa : Pati sasar tan wun manggya
papa.Dha : Dhasar beda kang wus kalis ing godha.Ja : Jangkane mung jenak
jenjeming jiwaraga.Ya : Yatnana liyep luyuting pralaya.Nya : Nyata sonya
nyenyet labeting kadonyan.Ma : Madyeng ngalam pangrantunan aywa samar.Ga
: Gayuhaning tanna liyan jung sarwa arga.Ba : Bali murba misesa ing njero
njaba.Tha : Thakulane widadarja tebah nistha.Nga : Ngarah ing reh mardi-
mardiningratNgelmu urip Jawa pancadane ana ing kesadaran religius, kesadaran
kesemestaan lan kesadaran keberadaban (kemanusiaan).Mula bab spiritualisme
Jawa penting banget dimangerteni kanggo menerake kesadaran telung perkara
kasebut.Wirid Wolung Pangkat lan kandhungan nilai-nilai filosofis aksara Jawa
bisa kanggo pancadan mangerteni spiritualisme Jawa kang ora liya wujud
‘piwulang sejatining urip'.Bisa uga akeh para kadang kang kurang bisa nampa
wejangan Wirid Wolung Pangkat apadene Filsafat Nusantara.Wondene anggone
maoni jalaran kang sinebut ing wejangan lan filosofi iku dudu sabda dhawuhing
Gusti kang liwat utusan (mesias, nabi).Pancene Jawa ora kenal sing disebut
utusan kayadene kang lumrah ing agama.Kang ana amung pangandikane para
winasis kang lumrahe disebut ‘guru' utawa ‘panuntun'.Jejibahane guru iku
mulang lan nuntun siswane mangerteni kawruh.Wondene kawruhe dhewe uga
saka anggone ‘meguru'. Gurune ngerti kawruh uga saka meguru maneh.Ing kene
banjur sapa guru kang sepisanan paring wedaran kawruh ?‘Guru Sejati' ora liya
iya Pangeran utawa Gusti kang dadi sesembahane sakabehing titah
dumadi.Mulane kawruh kang diwulangake para winasis amung nuduhake dalan
supaya siswane gelem nglakoni ‘sinau' marang ‘Guru Sejati'.Wirid Wolung
Pangkat apadene Filsafat Nusantara iku fungsine dadi kawruh panuntun marang
kita kabeh (lajer Jawa) supaya meguru marang Guru Sejati.Mula ora salah
anggone para pujangga ngendika "Durung wenang amumuja Bathara lamun
durung nglakoni tapabrata".Wondene laku tapabrata wus diringkes wujud
‘Pancabrata' kang wus diaturake.Jutuling laku, utawa bisane rampung
tapabratane sawuse nampa ‘wahyu dyatmika' kang ana ing basa ampange bisa
diarani ‘pencerahan'.Pencerahane ya pencerahan bab ‘Ngelmu Urip'.

Ngelmu Urip #15


Spiritualisme Jawa kang intine kesadaran religius, kesadaran kesemestaan lan
kesadaran keberadaban bisa kanggo pancadan dhudhah-dhudhah sakabehing
Kawruh Kejawen.Uga kena kanggo milah-milahake endi kang ‘becik-bener-
pener' lan endi kang mung ‘ngelmu karang'.Nanging, ora saben wong Jawa bisa
kadunungan kabisan ing jagad spiritualisme. Saperangan gedhe malah awam
lugu lan butuh dituntun.Mula ing tengahing bebrayan Jawa akeh tinemu anane
sesepuh kang dipercaya dadi panuntun.Sesepuh kang dadi panuntun biyen-
biyene uga mujudake tetungguling bebrayan (tetua adat).Sebutane werna-werna,
upamane: Ki Ajar, Ki Buyut, Ki Gedhe, Ki Ageng, lan liya-liyane.Lumrahe uga
dadi panguwasa ing tanah perdikan kang bebas mardika ora direh pemerintahan
kerajaan.Nanging anane owah-owahan jaman, tanah-tanah perdikan dikuwasani
para raja.Tetungguling bebrayan (tetua adat) didadekake ‘hirarki jabatan tata
pemerintahan'.Ki Ajar, Ki Buyut, Ki Ageng lan Ki Gedhe diganti Bupati
(Tumenggung), Wedana, Demang, lan sapiturute.Tata pemerintahan migunakake
kukum (sistem) kang diadopsi saka budaya lan peradaban manca. (Asia Daratan
lan Eropa).Peranane para tetua adat Jawa kesisih, wusanane mung kari para
‘sesepuh pinggiran' kang dianggep duwe kaluwihan.Marang sesepuh pinggiran
mangkene iki wong Jawa awam padha golek ‘tuntunan' spiritualisme.Cilakane,
para sesepuh pinggiran uga diarani dukun. Mula banjur ana anggepan negatif
menawa wong Jawa seneng merdukun.Banjur tuwuh anggepan spiritualisme
(kebatinan) Jawa dipadhakake karo ‘ngelmu perdukunan'.Wusanane nglairake
panganggep menawa spiritualisme Jawa iku ‘aliran sesat' kang ‘bersekutu karo
setan' lan sapiturute.Penyebaran agama saka manca lan lumebune modernisasi
ala Barat kang ujung tombake ilmu pengetahuan lan teknologi ing tanah Jawa
intensif banget tumekane wektu iki.Nilai-nilai Jawa kejepit ing antarane
religiusitas agama lan rasionalitas moderen Barat. Kamangka wiwit saka sumber
asale, antarane religiusitas lan rasionalitas ‘terperangkap perseteruan' kang ora
ana enteke.Akibate, kejepite Jawa uga terus-terusan. Para pujangga Jawa kang
waskitha banjur ngrekadaya bisane uwal saka ‘situasi kejepit' kasebut.Ing kene
banjur lair ‘Kawruh Kejawen' kang intine nerangake ‘Sejatining Urip' (Hakekating
urip, Ngelmu Urip).Iya wiwit jaman kapujanggan sejatine Kejawen kang
adiluhung wiwit ditata diskripsine. Para pujangga nganggit tulisan-tulisan diskripsi
babagan: kebatinan (spiritualisme), balsafah (filosofi lan etika), laku budaya
(pertanian, ekonomi, sosial, ritus-ritus, lsp.), primbon, pranata mangsa, seni
budaya (wayang, karawitan, tari, batik, keris, arsitektur, lsp.), basa lan sastra,
sarta ngelmu-ngelmu liyane kang dibutuhake kanggo uripe manungsa
Jawa.Diarani adiluhung jalaran sakabehing kawruh Jawa kasebut dimomoti
konsep: religius, sadar semesta lan kesadaran berbudi luhur (beradab).Emane,
perkembangan situasine akeh-akehe wong Jawa dhewe nganggep Kejawen iku
rumit lan angel dimudhengi.Banjur padha golek gampange (pragmatisme) milih
mengadopsi budaya lan peradaban manca kang luwih populer lan
gampang.Sethithik mbaka sethithik Kejawen dilalekake kang wusanane ilang
kesilep dening dominasine nilai-nilai religius agama lan rasionalitas Barat.Kodrat
pepesthene Gusti Kang Maha Agung kanyatane ora gampang ilang musna.
Semono uga kinodrat Jawa uga ora gampang ilange senajan kesilep dening
dominasi tata nilai liya.Arepa ing tata lair wong Jawa malih ora Jawa maneh,
kanyatane otot bayune tetep Jawa. Senajan ngelmu urip cara Jawa wektu iki
dilalekake, nanging isih tetep ana ing sajroning batine saben wong Jawa.Kanthi
mangkono isih bisa diuri-uri lan sawijining wektu ing mbesuke bakal dadi
ideologine wong Jawa maneh.Apamaneh ing mengko sawise akeh sing mangerti
menawa ngelmu urip Jawa iku piwulang luhur babagan ‘sejatining urip' tumraping
manungsa.Lan cetha banget arase kanggo urip bebarengan.

Ngelmu Urip #16


Ngelmu Urip cara Jawa sumber bakune filosofi Jawa, panunggalan.Wondene
kang dituju kanggo nggayuh urip bebarengan kang tata tentrem kerta
raharja.Menawa diringkes, kang dituju iku: slamet.Slamet kanggo pribadi, slamet
kanggo kulawarga, slamet kanggo bebrayan, munggahe slamet utawa hayuning
bawana.Kanggo nggayuh sakabehing slamet mau, ajaran Jawa mulangake cara
pangati-ati. Sakabehing persoalan ditimbang-timbang lan dipetung mateng.Mula
banjur ana ‘ngelmu petung'. Yaiku ngelmu pangati-ati anggone nemtokake
tumindak murih bisa nggayuh slamet.Kang paling populer babagan ‘ngelmu
petung' iki, yaiku petung owah gingsire kahanan ‘alam semesta' kang diarani
Primbon Wuku lan Wetonan.Primbon Wuku lan Wetonan klebu ngelmu kang
angel lan rumit, mula akeh kang banjur ora percaya pigunane.Malah-malah
banjur ana sing nganggep gugon tuhon lan ngayawara.Kamangka sejatine
mujudake sawijining sarana kanggo tumindak ngati-ati. Lan maneh uga nganggo
landhesan kang maton, yaiku anane owah gingsire kahanan alam semesta.Para
leluhur Jawa kanyatane bisa niteni babagan owah gingsire alam semesta miturut
lakuning wektu.Bangsa liya, owah-owahan iku akeh-akehe amung kanggo
nyatheti ‘perjalanan waktu'. Dene para leluhur Jawa kang nduweni ‘kesadaran
semesta', owah gingsire kahanan alam semesta ana pengaruhe tumrap kahanan
uripe manungsa.Salagine ubenge bumi ing sumbune, wis menehi owahing
kahanan anane awan lan bengi. Naluri alamiah manungsa urip yen awan padha
luru pangan dene bengine turu.Mula ora mokal menawa owah-owahan ‘posisine'
bumi karo sakabehing ‘benda angkasa' ana daya pengaruhe marang uripe
manungsa.Kesadaran semestane wong Jawa banjur bisa menehi tenger owah
gingsire kahanan alam semesta. Ing antarane tenger owahing kahanan miturut
perjalanan waktu :1 Pasaran (Pancawara), etungan dina cacah 5 (lima): Kliwon
(Kasih), Legi (Manis), P

To see the complete text, please view the original source.


PARARATON
Thursday, April 23, 2009, 9:56:00 AM | Herman Adriansyah

= 01 =

KITAB PARA DATU ATAU KISAH KEN ANGROK.

Tuhan, Pencipta, Pelindung dan Pengakhir Alam,Semoga tak ada halangan,


Sudjudku sesempurna sempurnanya.

I. Demikian inilah kisah Ken Angrok. Asal mulanja, ia didjadikan manusia: Adalah
seorang anak janda di Jiput, bertingkah laku tak baik, memutus - mutus tali
kekang kesusilaan, menjadi gangguan Hyang yang bersifat gaib; pergilah ia dari
Jiput, mengungsi ke daerah Bulalak.Nama yang dipertuan di Bulalak itu: Mpu
Tapawangkeng, ia sedang membuat pintu gerbang asramanya, dimintai seekor
kambing merah jantan oleh roh pintu.Kata Tapawangkèng: "Tak akan berhasil
berpusing kepala, akhirnya ini akan menjebabkan diriku jatuh kedalam dosa,
kalau sampai terjadi aku membunuh manusia, tak akan ada yang dapat
menyelesaikan permintaan korban kambing merah itu."Kemudian orang yang
memutus mutus tali kekang kesusilaan tadi berkata, sanggup mejadi korban
pintu Mpu Tapawangkeng, sungguh ia bersedia dijadikan korban, agar ini dapat
menjadi lantaran untuk dapat kembali ke surga dewa Wisnu dan menjelma lagi
didalam kelahiran mulia, ke alam tengah lagi, demikianlah permintaannya.
Demikianlah ketika ia direstui oleh Mpu Tapawangkeng, agar dapat menjelma,
disetujui inti sari kematiannya, akan menikmati tujuh daerah.Sesudah mati, maka
ia dijadikan korban oleh Mpu Tapawangkeng.
Selesai itu, ia terbang ke surga Wisnu, dan tidak bolak inti perjanjian yang
dijadikan korban, ia meminta untuk dijelmakan di sebelah timur Kawi.Dewa
Brahma melihat lihat siapa akan dijadikan temanya bersepasang. Sesudah
demikian itu, adalah mempelai baru, sedang cinta mencintai, yang laki laki
bernama Gajahpara, yang perempuan bernama Ken Endok, mereka ini bercocok
tanam.Ken Endok pergi ke sawah, mengirim suaminya, yalah: si Gadjahpara;
nama sawah tempat ia: mengirim :
Ayuga; desa Ken Endok bernama Pangkur.Dewa Brahma turun kesitu, bertemu
dengan Ken Endok, pertemuan mereka kedua ini terdjadi di ladang Lalaten;
dewa Brahma mengenakan perjanjian kepada isteri itu: "Jangan kamu bertemu
dengan lakimu lagi, kalau kamu bertemu dengan suamimu, ia akan mati, lagi
pula akan tercampur anakku itu, nama anakku itu: Ken Angrok, dialah yang kelak
akan memerintah tanah Jawa".
Dewa Brahma lalu menghilang. Ken Endok lalu ke sawah, berjumpa dengan
Gajahpara.Kata Ken Endok: "Kakak Gajahpara, hendaknyalah maklumi, saya
ditemani didalam pertemuan oleh Hyang yang tidak tampak di ladang Lalateng,
pesan beliau kepadaku: jangan tidur dengan lakimu lagi, akan matilah lakimu,
kalau ia memaksa tidur dengan kamu, dan akan tercampurlah anakku itu.Lalu
pulanglah Gajahpara, sesampainya di rumah Ken Endok diajak tidur, akan
ditemani didalam pertemuan lagi.
Ken Endok segan terhadap Gajahpara. "Wahai, kakak Gajahpara putuslah
perkawinanku dengan kakak, saya takut kepada perkataan Sang Hyang.Ia tidak
mengijinkan aku berkumpul dengan kakak lagi."Kata Gadjahpara: "Adik,
bagaimana ini, apa yang harus kuperbuat, nah tak berkeberatan saya, kalau
saya harus bercerai dengan kamu; adapun harta benda pembawaanmu kembali
kepadamu lagi, adik, harta benda milikku kembali pula kepadaku lagi".Sesudah
itu Ken Endok pulang ke Pangkur di seberang utara, dan Gajahpara tetap
bertempat tinggal di Campara di seberang selatan.Belum genap sepekan
kemudian matilah Gajahpara.Kata orang yang mempercakapkan: "Luar biasa
panas anak didalam kandungan itu, belum seberapa lama perceraian orang tua
laki laki perempuan sudah diikuti, orang tua laki laki segera meninggal dunia".
Akhirnja sesudah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki, dibuang di
kuburan kanak kanak oleh Ken Endok.
Selanjutnya ada seorang pencuri, bernama Lembong, tersesat di kuburan anak
anak itu, melihat benda bernyala, didatangi oleh Lembong, mendengar anak
menangis, setelah didekati oleh Lembong itu, nyatalah yang menyala itu anak
yang menangis tadi, diambil diambin dan dibawa pulang diaku anak oleh
Lembong.
Ken Endok mendengar, bahwa Lembong memungut seorang anak, teman
Lembonglah yang memberitakan itu dengan menyebut nyebut anak, yang
didapatinya di kuburan kanak kanak, tampak bernyala pada waktu malam
hari.Lalu Ken Endok datang kepadanya, sungguhlah itu anaknya sendiri.
Kata Ken Endok: "Kakak Lembong, kiranya tuan tidak tahu tentang anak yang
tuan dapat itu, itu adalah anak saya, kakak, jika kakak ingin tahu riwayatnya,
demikianlah: Dewa Brahma bertemu dengan saya, jangan tuan tidak
memuliakan anak itu, karena dapat diumpamakan, anak itu beribu dua berayah
satu, demikian persamaannya."Lembong beserta keluarganya semakin cinta dan
senang, lambat laun anak itu akhirnya menjadi besar, dibawa pergi mencuri oleh
Lembong.Setelah mencapai usia sebaya dengan anak gembala, Ken Angrok
bertempat tinggal di Pangkur.Habislah harta benda Ken Endok dan harta benda
Lembong, habis dibuat taruhan oleh Ken Angrok.
Kemudian ia menjadi anak gembala pada yang dipertuan di Lebak,
menggembalakan sepasang kerbau, lama kelamaan kerbau yang digembalakan
itu hilang, kerbau sepasang diberi harga delapan ribu oleh yang dipertuan di
Lebak, Ken Angrok sekarang dimarahi oleh orang tua laki laki dan perempuan,
kedua duanya: "Nah buyung, kami berdua mau menjadi hamba tanggungan, asal
kamu tidak pergi saja, kami sajalah yang akan menjalani, menjadi budak
tanggungan pada yang dipertuan di Lebak".
Akhirnya tidak dihiraukan, Ken Angrok pergi, kedua orang tuanya ditinggalkan di
Campara dan di Pangkur.Lalu Ken Angrok pergi mencari perlindungan di
Kapundungan;Orang yang diungsi dan dimintai tempat berlindung tak menaruh
belas kasihan.Ada seorang penjudi permainan Saji berasal dari Karuman,
bernama Bango Samparan, kalah bertaruhan dengan seorang bandar judi di
Karuman, ditagih tak dapat membayar uang, Bango Samparan itu pergi dari
Karuman, berjiarah ke tempat keramat Rabut Jalu, mendengar kata dari
angkasa, disuruh pulang ke Karuman lagi. "Kami mempunyai anak yang akan
dapat menyelesaikan hutangmu ia bernama Ken Angrok."
Pergilah Bango Samparan dari Rabut Jalu, berjalan pada waktu malam, akhirnya
menjumpai seorang anak, dicocokkan oleh Bango Samparan dengan petunjuk
Hyang, sungguhlah itu Ken Angrok, dibawa puIang ke Karuman, diaku anak oleh
Bango Samparan.Dia itu lalu ketempat berjudi, bandar judi ditemui oleh Bango
Samparan dilawan berjudi, kalahlah bandar itu, kembali kekalahan Bango
Samparan, memang betul petunjuk Hyang itu, Bango Samparan pulang, Ken
Angrok dibawa pulang oleh Bango Samparan.Bango Samparan berbayuh dua
orang bersaudara, Genuk Buntu nama istri tuanja. dan Tirtaya nama isteri
mudanja.Adapun nama anak anaknya dari isteri muda, yalah Panji Bawuk, anak
tengah Panji Kuncang, adiknya ini Panji Kunal dan Panji Kenengkung, bungsu
seorang anak perempuan bernama Cucu Puranti.
Ken Angrok diambil anak oleh Genuk Buntu. Lama ia berada di Karuman, tidak
dapat sehati dengan semua para Panji itu, Ken Angrok berkehendak pergi dari
Karuman.Lalu ia ke Kapundungan bertermu dengan seorang anak gembala anak
tuwan Sahaja, kepala desa tertua di Sagenggeng, bernama Tuwan Tita; ia
bersahabat karib dengan Ken Angrok.Tuwan Tita dan Ken Angrok sangat cinta
mencinta, selanjutnya Ken Angrok bertermpat tinggal pada Tuwan Sahaja, tak
pernah berpisahlah Ken Angrok dan Tuwan Sahaja itu, mereka ingin tahu
tentang bentuk huruf huruf, pergilah ke seorang guru di Sagenggeng, sangat
ingin menjadi murid, minta diajar sastera.Mereka diberi pelajaran tentang bentuk
bentuk bentuk dan penggunaan pengetahuan tentang huruf huruf hidup dan
huruf huruf mati, semua perobahan huruf, juga diajar tentang sengkalan,
perincian hari tengah bulan, bulan, tahun Saka, hari enam, hari lima, hari tujuh,
hari tiga, hari dua, hari sembilan, nama nama minggu.
Ken Angrok dan Tuwan Tita kedua duanya pandai diajar pengetahuan oleh
Guru.Ada tanaman guru, menjadi hiasan halaman, berupa pohon jambu, yang
ditanamnya sendiri.Buahnya sangat lebat, sungguh padat karena sedang
musimnya, dijaga baik tak ada yang diijinkan memetik, tak ada yang berani
mengambil buah jambu itu.Kata guru: "Jika sudah masak jambu itu, petiklah".
Ken Angrok sangat ingin, melihat buah jambu itu, sangat dikenang kenangkan
buah jambu tadi.Setelah malam tiba waktu orang tidur sedang nyenyak
nyenyaknya, Ken Angrok tidur, kini keluarlah kelelawar dari ubun ubun Ken
Angrok, berbondong bondong tak ada putusnya, semalam malaman makan buah
jambu sang guru.
Pada waktu paginya buah jambu tampak berserak serak di halaman, diambil
oleh pengiring guru.Ketika guru melihat buah jambu rusak berserakan di
halaman itu, maka rnendjadi susah.Kata guru kepada murid murid: "Apakah
sebabnya maka jambu itu rusak." Menjawablah pengiring guru: "Tuanku rusaklah
itu, karena bekas kelelawar makan jambu itu".Kemudian guru mengambil duri
rotan untuk mengurung jambunya dan dijaga semalam malaman.Ken Angrok
tidur lagi diatas balai balai sebelah selatan, dekat tempat daun ilalang kering, di
tempat ini guru biasanya menganyam atap.
Menurut penglihatan, guru melihat kelelawar penuh sesak berbondong bondong,
keluar dari ubun ubun Ken Angrok, semuanya makan buah jambu guru,
bingunglah hati guru itu, merasa tak berdaya mengusir kelelawar yang banyak
dan memakan jambunya, marahlah guru itu, Ken Angrok diusir oleh guru, kira
kira pada waktu tengah malam guru rnengusirnya.Ken Angrok terperanjat,
bangun terhuyung huyung, lalu keluar, pergi tidur di tempat ilalang di luar.Ketika
guru menengoknya keluar, ia melihat ada benda menyala di tengah ilalang, guru
terperanjat mengira kebakaran, setelah diperiksa yang tampak menyala itu
adalah Ken Angrok, ia disuruh bangun, dan pulang, diajak tidur di dalam rumah
lagi, menurutlah Ken Angrok pergi tidur di ruang tengah lagi.
Pagi paginya ia disuruh mengambil buah jambu oleh guru, Ken Angrok senang.
katanya : "Aku mengharap semoga aku menjadi orang, aku akan membalas budi
kepada guru."Lama kelamaan Ken Angrok telah menjadi dewasa, menggembala
dengan Tuwan Tita, membuat pondok, bertempat di sebelah timur Sagenggeng,
di ladang Sanja, dijadikan tempatnya untuk menghadang orang yang lalu lintas di
jalan, dengan Tuwan Titalah temannya.Adalah seorang penyadap enau di hutan
orang Kapundungan, mempunyai seorang anak perempuan cantik, ikut serta
pergi ke hutan, dipegang oleh Ken Angrok, ditemani didalam pertemuan didalam
hutan, hutan itu bernama Adiyuga.
Makin lama makin berbuat rusuhlah Ken Angrok, kemudian ia memperkosa
orang yang melalui jalan, hal ini diberitakan sampai di negara Daha, bahwasanya
Ken Angrok berbuat rusuh itu, maka ia ditindak untuk dilenyapkan oleh penguasa
daerah yang berpangkat akuwu, bernama Tunggul Ametung.Pergilah Ken Angrok
dari Sagenggêng, mengungsi ke tempat keramat.
Rabut Gorontol. "Semoga tergenang didalam air, orang yang akan melenyapkan
saya" kutuk Ken Angrok, semoga keluar air dan tidak ada, sehingga terdjadilah
tahun tak ada kesukaran di Jawa."Ia pergi dari Rabut Gorontol, mengungsi ke
Wayang, ladang di Sukamanggala.
Ada seorang pemikat burung pitpit, ia memperkosa orang yang sedang
rnemanggil manggil burung itu, lalu menuju ke tempat keramat Rabut Katu. Ia
heran, melihat tumbuh tumbuhan katu sebesar beringin, dari situ lari mengungsi
ke Jun Watu, daerah orang sempurna, mengungsi ke Lulumbang, bertempat
tinggal pada penduduk desa, keturunan golongan tentara, bernana Gagak Uget.
Lamalah ia bertempat tinggal disitu, memerkosa orang yang sedang rnelalui
jalan.Ia lalu pergi ke Kapundungan, mencuri di Pamalantenan, ketahuanlah ia,
dikejar dikepung, tak tahu kemana ia akan mengungsi, ia memanjat pohon tal, di
tepi sungai, setelah siang, diketahui, bahwasanya ia memanjat pohon tal itu,
ditunggu orang Kepundungan dibawah, sambil dipukulkan canang, Pohon tal itu
ditebang oleh orang-orang yang mengejarnya.
Sekarang hi menangis, menyebut nyebut Sang Pentjipta Kebaikan atas dirinya,
akhirnya ia mendengar sabda dari angkasa, ia disuruh memotong daun tal, untuk
didjadikan sayapnya kiri kanan, agar supaya dapat melayang ke seberang timur,
mustahil ia akan mati, lalu ia memotong daun tal mendapat dua helai, dijadikan
sayapnya kiri kanan, ia melayang keseberang timur, dan mengungsi ke
Nagamasa, diikuti dikejar, mengungsilah ia kedaerah Oran masih juga dikejar
diburu, lari mengungsi ke daerah Kapundungan, yang dipertuan di daerah
Kapundungan didapatinya sedang bertanam, Ken Angrok ditutupi dengan cara
diaku anak oleh yang dipertuan itu.
Anak yang dipertuan di daerah itu sedang bertanam, banyaknya enam orang,
kebetulan yang seoarang sedang pergi mengeringkan empangan, tinggal 1ima
orang; yang sedang pergi itu diganti menanam oleh ken Angrok, datanglah yang
mengejarnya, seraya berkata kepada penguasa daerah: "Wahai, tuan kepala
daerah, ada seorang perusuh yang kami kejar, tadi mengungsi kemari."
meanjawablah penguasa daerah itu: "Tuan tuan, kami tidak sungguh bohong
kami tuan, ia tidak disini; anak kami enam orang, yang sedang bertanam ini
genap enam orang, hitunglah sendiri saja, jika lebih dari enam orang tentu ada
orang lain disini"Kata orang-orang yang mengejar: "Memang sungguh, anak
penguasa daerah enam orang, betul juga yang bertanam itu ada enam orang."
Segera pergilah yang mengejar.Kata penguasa daerah kepada ken Angrok:
"Pergilah kamu, buyung, jangan jangan kembali yang mengejar kamu, kalau
kalau ada yang membicarakan kata kataku tadi, akan sia sia kamu berlindung
kepadaku, pergilah mengungsi ke hutan". Maka kata ken Angrok: "Semoga
berhenti lagilah yang mengejar, itulah sebabnya maka Ken Angrok bersembunyi
di dalam hutan, Patangtangan nama hutan itu.Selanjutnya ia mengungsi ke Ano,
pergi ke hutan Terwag. ia semakin merusuh.Adalah seorang kepala lingkungan
daerah Luki akan melakukan pekerjaan membajak tanah, berangkatlah ia
membajak ladang, mempesiapkan. tanahnya untuk ditanami kacang, membawa
nasi untuk anak yang menggembalakan lembu kepala Lingkungan itu,
dimasukkin kedalam tabung bambu, diletakkan diatas onggokan; sangat asyiklah
kepala Lingkungan itu, selalu membajak ladang kacang saja, maka dirunduk
diambil dan dicari nasinya oleh Ken Angrok, tiap tiap hari terdjadi demikian itu,
kepala Lingkungan bingunglah, karena tiap tiap hari kehilangan nasi untuk anak
gembalanya, kata kepala Lingkungan: "Apakah sebabnya maka nasi itu hilang".

= 02 =

Sekarang nasi anak gembala kepala Lingkungan di tempat membajak itu diintai,
dengan bersembunyi, anak gembalanya disuruh membajak, tak lama kemudian
Ken Angrok datang dari dalam hutan, maksud Ken Angrok akan mengambil nasi,
ditegor oleh kepala lingkungan: "Terangnya, kamulah, buyung, yang nengambil
nasi anak gembalaku tiap tiap hari itu,"Ken Angrok menjawab: "Betullah tuan
kepala lingkungan, saya inilah yang mengambil nasi anak gembala tuan tiap-tiap
hari, karena saya lapar, tak ada yang kumakan.."Kata kepala Lingkungan: "Nah
buyung. datanglah ke asramaku, kalau kamu lapar, mintalah nasi tiap tiap hari,
memang saya tiap tiap hari mengharap ada tamu datang".
Lalu Ken Angrok diajak pergi ke rumah tempat tinggal kepala lingkungan itu,
dijamu dengan nasi dan lauk pauk.Kata kepala lingkungan kepada isterinya:
"Nini batari, saya berpesan kepadamu, kalau Ken Angrok datang kemari,
meskipun saya tak ada di rumah juga, lekas lekas terima sebagai keluarga,
kasihanilah ia"diceriterakan, Ken Angrok tiap tiap hari datang, seperginya dari
situ menuju ke Lulumbang, ke banjar Kocapet.
Ada seorang kepala lingkungan daerah Turyantapada, ia pulang dari Kebalon,
bernama Mpu Palot, ia adalah tukang emas, berguru kepada kepala desa tertua
di Kebalon yang seakan akan sudah berbadankan kepandaian membuat barang
barang emas dengan sesempurna sesempurnanya,sungguh ia telah sempurna
tak bercacad, Mpu Palot pulang dari Kebalon, membawa beban seberat lima
tahil, berhenti di Lulumbang, Mpu Palot itu takut akan pulang sendirian ke
Turyantapada, karena ada orang dikhabarkan melakukan perkosaan di jalan,
bernama Ken Angrok.
Mpu Palot tidak melihat orang lain, ia berjumpa dengan Ken Angrok di tempat
beristirahat.Kata ken Angrok kepada Mpu Palot: ,,Wahai, akan pergi kemanakah
tuanku ini,"Kata Mpu, menjawabnya: "Saya sedang bepergian dari Kebalon,
buyung, akan pulang ke Turyantapada, saya takut di jalan, memikir mikir ada
orang yang melakukan perkosaan dijalan, bernama Ken Angrok".Tersenyumlah
Ken Angrok: "Nah Tuan, anaknda ini akan menghantarkan pulang tuan, anaknda
nanti yang akan melawan kalau sampai terdjadi berjumpa dengan orang yang
bernama ken Angrok itu, laju sajalah tuan pulang ke Turyantapada, jangan
khawatir."Mpu di Tuyantapada itu merasa berhutang budi mendengar
kesanggupan Ken Angrok. Setelah datang di Turyantapada, Ken Angrok diajar
ilmu kepandaian membuat barang barang emas, lekas pandai, tak kalah kalau
kesaktiannya dibandingkan dengan Mpu Palot, selanjutnya Ken Angrok diaku
anak oleh Mpu Palot, itulah sebabnya asrama Turyantapada dinamakan daerah
Bapa.
Demikianlah Ken Angrok mengaku ayah kepada Mpu Palot, karena masih ada
kekurangan Mpu Palot itu, maka Ken Angrok disuruhi pergi ke Kebalon oleh Mpu
Palot, disuruh menyempurnakan kepandaiaan membuat barang barang emas
pada orang tertua di Kebalon, agar dapat menyelesaikan bahan yang
ditinggalkan oleh bapak kepala lingkungan. Ken Angrok berangkat menuju ke
Kebalon, tidak dipercaya Ken Angrok itu oleh penduduk di Kebalon.Ken Angrok
lalu marah : "Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini,"Ken
Angrok menikam, orang lari mengungsi kepada kepala desa tertua di Kebalon,
dipanggil berkumpul petapa petapa yang berada di Kebalon semua, para guru
Hyang, sampai pada para punta, semuanya keluar, membawa pukul perunggu,
bersama sama mengejar dan memukul Ken Angrok dengan pukulan perunggu
itu, maksud para petapa itu akan memperlihatkan kehendaknya untuk
membunuh Ken Angrok.
Segera mendengar suara dari angkasa: "Jangan kamu bunuh orang itu, wahai
para petapa, anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di alam tengah ini."
Demikan1ah suara dari angkasa, terdengar oleh para petapa.Maka ditolong Ken
Angrok, bangun seperti sedia kala.Ken Angrok lalu mengenakan kutuk: "Semoga
tak ada petapa di sebelah timur Kawi yang tidak sempurna kepandaianya
membuat benda-benda emas".Ken Angrok pergi dari Kebalon, mengungsi ke
Turyantapada, ke daerah lingkungan Bapa; sempurnalah kepandaiannya tentang
emas.Ken Angrok pergi dari lingkungan Bapa menuju ke daerah desa Tugaran,
Kepala tertua di Tugaran tidak menaruh belas digangguilah orang Tugaran oleh
Ken Angrok, arca penjaga pintu gerbangnya didukung diletakkan di daerah
lingkungan Bapa, kemudian dijumpai anak perempuan kepala tertua di Tugaran
itu, sedang menanam kacang di sawah kering.Gadis ini lalu ditemani didalam
pertemuan oleh Ken Angrok, lama kelamaan tanaman kacang menghasilkan
berkampit kampit; inilah sebabnya pula maka kacang Tugaran benihnya
mengkilat besar dan gurih.Ia pergi dari Tugaran pulang ke daerah Bapa lagi.
Kata ken Angrok: "Kalau saja kelak menjadi orang, saya akan memberi perak
kepada yang dipertuan di daerah Bapa ini. Di kota Daha dikabarkan tentang Ken
Angrok, bahwa ia merusuh dan bersembunyi di Turyantapada, dan
Daha,Diadakan tindakan untuk melenyapkannya, ia dicari oleh orang orang
Daha, pergilah dari daerah Bapa menuju ke gunung Pustaka.Ia pergi dari situ,
mengungsi ke Limbehan, kepala tertua di Limbehan menaruh belas kasihanlah
dimintai perlindungan oleh Ken Angrok itu, akhirnya Ken Angrok berjiarah ke
tempat keramat Rabut Gunung Panitikan.Kepadanya turun petunjuk dewa,
disuruh pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo Wage, minggu Wariga
pertama, para dewa bermusyawarah berrapat;
Demikian ini kata seorang nenek kebayan di Panitikan: "Saya akan membantu
menyembunyikan kamu, buyung, agar supaya tak ada yang akan tahu, saya
akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu semua dewa dewa bermusyawarah."
Demikian kata nenek kebayan di Panitikan itu.Ken Angrok lari menuju ke Gunung
Lejar, hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama tiba, ia pergi ke tempat
musyawarah.Ia bersembunyi di tempat sampah ditimbuni dengan semak belukar
oleh nenek kebayan Panitikan.Lalu berbunyilah suara tujuh nada, guntur, petir,
gempa guruh, kilat, taufan, angin ribut, hujan bukan masanya, tak ada selatnya
sinar dan cahaya, maka demikian itu ia mendengar suara tak ada hentinya,
berdengung dengung bergemuruh.
Adapun inti musyawarah para dewa: "Yang rnemperkokoh nusa Jawa, daerah
manalah mestinya."Demikianlah kata para dewa, saling mengemukakan
pembicaraan: "Siapakah yang pantas menjadi raja di pulau Jawa," demikian
pertanyaan para dewa semua.Menjawablah dewa Guru: "Ketahuilah dewa dewa
semua, adalah anakku, seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, itulah
yang memperkokoh tanah Jawa."Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah,
dilihat, oleh para dewa; semua dewa menjetujui, ia direstui bernama nobatan
Batara Guru, demikian itu pujian dari dewa dewa, yang bersorak sorai riuh
rendah. Diberi petunjuklah Ken Angrok agar mengaku ayah kepada seorang
brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. dia ini baru saja dari
Jambudipa, disuruh menemuinya di Taloka. Itulah asal mulanja ada brahmana di
sebelah timur Kawi.Pada waktu ia menuju ke Jawa, tidak berperahu. hanya
menginjak rumput kekatang tiga potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju
ke daerah Taloka, dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok.Kata
Dang Hyang Lohgawe: "Ada seorang anak, panjang tangannya melampaui lutut,
tulis tangan kanannya cakera dan yang kiri sangka, bernana Ken Angrok.
Ia tampak pada waktu aku memuja, ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu,
pemberitahuannya dahulu di Jambudwipa, demikian: "Wahai Dang Hyang
Lohgawe, hentikan kamu memuja arca Wisnu, aku telah tak ada disini, aku telah
menjelma pada orang di Jawa, hendaknya kamu mengikuti aku di tempat
perjudian."Tak lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, diamat
amati dengan baik baik, betul ia adalah orang yang tampak pada Dang Hyang
Lohgawe sewaktu ia memuja.Maka ia ditanyai.
Kata Dang Hyang Lohgawe: "Tentu buyunglah yang bernama Ken Angrok,
adapun sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu tampak padaku pada waktu
aku memuja".Menjawablah Ken Angrok: "Betul tuan, anaknda bernama Ken
Angrok."Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: "Kamu
saya aku anak, buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh kemana
saja kamu pergi."Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula
brahmana itu.Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia
sangat ingin menghamba pada akuwu. kepala daerah di Tumapel yang bernama
Tunggul Ametung.Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya,
Kata Tunggul Ametung: "Selamatlah tuanku brahmana, dimana tempat asal tuan,
saya baru kali ini melihat tuan."Menjawablah Dang Hyang Lohgawe: Tuan Sang
Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saja ini sangat ingin menghamba
kepada sang akuwu".Menjawablah Tunggul Ametung: "Nah, senanglah saya,
kalau tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal dengan tenteram pada anaknda
ini".
Demikianlah kata Tunggul Ametung.Lamalah Ken Angrok menghamba kepada
Tunggul Ametung yang berpangkat akuwu di Tumapel itu,Kemudian adalah
seorang pujangga, pemeluk agama Budha, menganut aliran Mahayana, bertapa
di ladang orang Panawijen, bernama Mpu Purwa.Ia mempunyai seorang anak
perempuan tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta Mahayana.Anak
perempuan itu luar biasa cantik moleknja bernama Ken Dedes. Dikabarkan,
bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, termasyur di sebelah
timur Kawi sampai Tumapel.Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang di
Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes;
Tunggul Ametung sangat senang melihat gads cantik itu.Kebetulan Mpu Purwa
tak ada di pertapaannya, sekarang Ken Dedes sekonyong konyong dilarikan oleh
Tunggu1 Ametung.Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak
rnenjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu soal
yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah yang tidak baik: "Nah,
semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia
ditusuk keris dan diambil isterinya, demikian juga orang orang di Panawidjen ini,
semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air
kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa anakku dilarikan
orang dengan paksaan.
Demikian kata Mpu Purwa: ,,Adapun anakku yang menyebabkan gairat dan
bercahaya terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga ia mendapat
keselamatan dan kebahagiaan besar."Demikian kutuk pendeta Mahayana di
Panawidjen.
Setelah datang di Tumapel, ken Dedes ditemani seperaduar oleh Tunggul
Ametung, Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya, baharu saja Ken
Dedes menampakkan gejala gejala mengandung, Tunggul Ametung pergi
bersenang senang, bercengkerama berserta isterinya ke taman Boboji;Ken
Dedes turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap betisnya,
terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken Angrok, terpesona
ia melihat, tambahan pula kecantikannya memang sempurna, tak ada yang
menyamai kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan
diperbuat.Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok
memberitahu kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata: "Bapa Dang Hyang, ada
seorang perempuan bernyala rahasianya, tanda perempuan yang bagaimanakah
demikian itu, tanda buruk atau tanda baikkah itu".Dang Hyang menjawab: "
Siapa itu, buyung".
Kata Ken Angrok: " Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan
rahasianya oleh hamba".Kata Dang Hyang: "Jika ada perempuan yang demikian,
buyung, perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling
utama, buyung, berdosa, jika memperisteri perempuan itu, akan menjadi
maharaja."Ke Angrok diam, akhirnya berkata: "Bapa Dang Hyang, perempuan
yang bernyala rahasianya itu yalah isteri sang akuwu di Tumapel, jika demikian
akuwu, saya akan bunuh dan saya ambil isterinya, tentu ia akan mati, itu kalau
tuan mengijinkan."Jawab Dang Hyang: " Ya, tentu matilah, buyung, Tunggul
Ametung olehmu, hanya saja tidak pantas memberi ijin itu kepadamu, itu bukan
tindakan seorang pendeta, batasnya adalah kehendakmu sendiri."Kata Ken
Angrok: "Jika demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada tuan."Sang
Brahmana menjawab: "Akan kemana kamu buyung?"Ken
Angrok menjawab: " Hamba pergi ke Karuman, ada seorang penjudi yang
mengaku anak kepada hamba bernama Bango Samparan, ia cinta kepada
hamba, dialah yang akan hamba mintai pertimbangan, mungkin ia akan
menyetujuinya."
Kata Dang Hyang: "Baiklah kalau demikian, kamu jangan tinggal terlalu lama di
Karuman, buyung."
Kata Ken Angrok: "Apakah perlunya hamba lama disana."Ken Angrok pergi dari
Tumapel, sedatangnya Karuman, bertemu dengan Bango Samparan. "Kamu ini
keluar dari mana, lama tidak datang kepadaku, seperti didalam impian saja
bertemu dengan kamu ini, lama betul kamu pergi."Ken Angrok menjawab:
"Hamba berada di Tumapel, Bapa, menghamba pada sang akuwu. Adapun
sebabnya hamba datang kepada tuan, adalah seorang isteri akuwu, turun dari
kereta, tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh hamba.Ada seorang
brahmana yang baru saja datang di Jawa, bernama Dang Hyang Lohgawe, ia
mengaku anak kepada hamba, hamba bertanya kepadanya: "Apakah nama
seorang perempuan yang menyala rahasianya itu."
Kata Sang Brahmana: "Itu yang disebut seorang perempuan ardana reswari,
sungguh baik tanda itu, karena siapa saja yang memperisterinya, akan dapat
menjadi maharaja."Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja, Tunggul Ametung
akan hamba bunuh, isterinya akan hamba ambil, agar supaya anaknda menjadi
raja, hamba minta persetujuan Bapa Dang Hyang,Kata Dang Hyang: "Buyung
Angrok, tidak dapat seorang brahmana memberi persetujuan kepada orang yang
mengambil isteri orang lain, adapun batasnya kehendakmu sendiri."Itulah
sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango, untuk meminta ijin kepada bapa, sang
akuwu akan hamba bunuh dengan rahasia, tentu akuwu mati oleh hamba."
Menjawablah Bango Samparan: "Nah, baiklah kalau demikian, saya memberi ijin,
bahwa kamu akan menusuk keris kepada Tunggul Ametung dan mengambil
isterinya itu, tetapi hanya saja, buyung Angrok, akuwu itu sakti, mungkin tidak
dapat luka, jika kamu tusuk keris yang kurang bertuah.Saya ada seorang teman,
seorang pandai keris di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, keris buatannya
bertuah, tak ada orang sakti terhadap buatannya, tak perlu dua kali ditusukkan,
hendaknyalah kamu menyuruh membuat keris kepadanya, jikalau keris ini sudah
selesai dengan itulah hendaknya kamu membunuh Tunggul Ametung secara
rahasia."Demikian pesan Bango Samparan kepada Ken Angrok.kata Ken
Angrok: "Hamba memohon diri, Bapa, akan pergi ke Lulumbang."Ia pergi dari
Karuman, lalu ke Lulumbang, bertemu dengan Gandring yang sedang bekerja di
tempat membuat keris. Ken Angrok datang lalu bertanya: "Tuankah barangkali
yang bernama Gandring itu, hendaknyalah hamba dibuatkan sebilah keris yang
dapat selesai didalam waktu lima bulan, akan datang keperluan yang harus
hamba lakukan."

= 03 =

Kata Mpu Gandring: "Jangan lima bulan itu, kalau kamu menginginkan yang
baik, kira – kira setahun baru selesai, akan baik dan matang tempaannya,"Ken
Angrok berkata: "Nah, biar bagaimana mengasahnya, hanya saja, hendaknya
selesai didalam lima bulan."Ken Angrok pergi dari Lulumbang, ke Tumapel
bertemu dengan Dang Hyang Lohgawe yang bertanya kepada Ken Angrok:
"Apakah sebabnya kamu lama di Tumapel itu."Sesudah genap lima bulan, ia
ingat kepada perjanjiannya, bahwa ia menyuruh membuatkan keris kepada Mpu
Gandring.Pergilah ia ke Lulumbang, bertemu dengan Mpu Gandring yang
sedang mengasah dan memotong motong keris pesanan Ken Angrok.
Kata Ken Angrok: "Manakah pesanan hamba kepada tuan
Gandring."Menjawablah Gandring itu: "Yang sedang saya asah ini, buyung
Angrok."Keris diminta untuk dilihat oleh Ken Angrok.Katanya dengan agak
marah: "Ah tak ada gunanya aku menyuruh kepada tuan Gandring ini, bukankah
belum selesai diasah keris ini, memang celaka, inikah rupanya yang tuan
kerjakan selama lima bulan itu."Menjadi panas hati Ken Angrok, akhirnya
ditusukkan kepada Gandring keris buatan Gandring itu.Lalu diletakkan pada
lumpang batu tempat air asahan, lumpang berbelah menjadi dua, diletakkan
pada landasan penempa, juga ini berbelah menjadi dua.Kini Gandring berkata:
"Buyung Angrok, kelak kamu akan mati oleh keris itu, anak cucumu akan mati
karena keris itu juga, tujuh orang raja akan mati karena keris itu."Sesudah
Gandring berkata demikian lalu meninggal.
Sekarang Ken Angrok tampak menyesal karena Gandring meninggal itu, kata
Ken Angrok: "Kalau aku menjadi orang, semoga kemulianku melimpah, juga
kepada anak cucu pandai keris di Lulumbang."Lalu pulanglah Ken Angrok ke
Tumapel.Ada seorang kekasih Tunggul Ametung, bernama Kebo Hijo,
bersahabat dengan Ken Angrok, cinta mencintai.Pada waktu itu Kebo Hijo
melihat bahwa Ken Angrok menyisip keris baru, berhulu kayu cangkring masih
berduri, belum diberi perekat, masih kasar, senanglah Kebo Hijo melihat itu.Ia
berkata kepada Ken Angrok: " Wahai kakak, saya pinjam keris itu."Diberikan oleh
Ken Angrok, terus dipakai oleh Kebo Hijo, karena senang memakai melihatnya
itu.Lamalah keris Ken Angrok dipakai oleh Kebo Hijo, tidak orang Tumapel yang
tidak pernah melihat Kebo Hijo menyisip keris baru dipinggangnya.Tak lama
kemudian keris itu dicuri oleh Ken Angrok dan dapat diambil oleh yang mencuri
itu.
Selanjutnya Ken Angrok pada waktu malam hari pergi kedalam rumah akuwu,
saat itu baik, sedang sunyi dan orang orang tidur, kebetulan juga disertai nasib
baik , ia menuju ke peraduan Tunggul Ametung, tidak terhalang perjalanannya,
ditusuklah Tunggul Ametung oleh Ken Angrok, tembus jantung Tunggul Ametung,
mati seketika itu juga. Keris buatan Gandring ditinggalkan dengan
sengaja.Sekarang sesudah pagi pagi keris yang tertanam didada Tunggul
Ametung diamat amati orang, dan oleh orang yang tahu keris itu dikenal keris
Kebo Hijo yang biasa dipakai tiap tiap hari kerja.Kata orang Tumapel semua:
"Terangnya Kebo Hijolah yang membunuh Tunggul Ametung dengan secara
rahasia, karena memang nyata kerisnya masih tertanam didada sang akuwu di
Tumapel.
Kini Kebo Hijo ditangkap oleh keluarga Tunggul Ametung, ditusuk dengan keris
buatan Gandring, meninggallah Kebo Hijo.Kebo Hijo mempunyai seorang anak,
bernama Mahisa Randi, sedih karena ayahnya meninggal, Ken Angrok menaruh
belas kasihan kepadanya, kemana mana anak ini dibawa, karena Ken Angrok
luar biasa kasih sayangnya terhadap Mahisa Randi.Selanjutnya Dewa memang
telah menghendaki, bahwasanya Ken Angrok memang sungguh sungguh
menjadi jodoh Ken Dedes, lamalah sudah mereka saling hendak menghendaki,
tak ada orang Tumapel yang berani membicarakan semua tingkah laku Ken
Angrok, demikian juga semua keluarga Tunggul Ametung diam, tak ada yang
berani mengucap apa apa, akhirnya Ken Angrok kawin dengan Ken Dedes.
Pada waktu ditinggalkan oleh Tunggul Ametung, dia ini telah mengandung tiga
bulan, lalu dicampuri oleh Ken Angrok.Ken Angrok dan Ken Dedes sangat cinta
mencintai. Telah lama perkawinannya.Setelah genap bulannya Ken Dedes
melahirkan seorang anak laki laki, lahir dari ayah Tunggul Ametung, diberi nama
Sang Anusapati dan nama kepanjangannya kepanjiannya Sang Apanji
Anengah.Setelah lama perkawinan Ken Angrok dan Ken Dedes itu, maka Ken
Dedes dari Ken Angrok melahirkan anak laki laki, bernama Mahisa Wonga
Teleng, dan adik Mahisa Wonga Teleng bernama Sang Apanji Saprang, adik
panji Saprang juga laki laki bernama Agnibaya, adik Agnibaya perempuan
bernama Dewi Rimbu, Ken Angrok dan Ken Dedes mempunyai empat orang
anak.Ken Angrok mempunyai isteri muda bernama Ken Umang, ia melahirkan
anak laki laki bernama panji Tohjaya, adik panji Tohjaya, bernama Twan Wregola,
adik Twan Wregola perempuan bernama Dewi Rambi.
Banyaknya anak semua ada 9 orang, laki laki 7 orang, perempuan 2
orang.Sudah dikuasailah sebelah timur Kawi, bahkan seluruh daerah sebelah
timur Kawi itu, semua takut terhadap Ken Angrok, mulailah Ken Angrok
menampakkan keinginannya untuk menjadi raja, orang orang Tumapel semua
senang, kalau Ken Angrok menjadi raja itu.Kebetulan disertai kehendak nasib,
raja Daha, yalah raja Dandhang Gendis, berkata kepada para bujangga yang
berada di seluruh wilayah Daha, katanya: "Wahai, tuan tuan bujangga pemeluk
agama Siwa dan agama Budha, apakah sebabnya tuan tuan tidak menyembah
kepada kami, bukanlah kami ini semata mata Batara Guru."Menjawablah para
bujangga di seluruh daerah negara Daha: "Tuanku, semenjak jaman dahulu kala
tak ada bujangga yang menyembah raja." demikianlah kata bujangga
semua.Kata Raja Dandhang Gendis: "Nah, jika semenjak dahulu kala tak ada
yang menyembah, sekarang ini hendaknyalah kami tuan sembah, jika tuan tuan
tidak tahu kesaktian kami, sekarang akan kami beri buktinya."
Kini Raja Dandhang Gendis mendirikan tombak, batang tombak itu
dipancangkan kedalam tanah, ia duduk di ujung tombak, seraya berkata: "Nah,
tuan tuan bujangga, lihatlah kesaktian kami."Ia tampak berlengan empat,
bermata tiga, semata mata Batara Guru perwujudannya, para bujangga di
seluruh daerah Daha diperintahkan menyembah, semua tidak ada yang mau,
bahkan menentang dan mencari perlindungan ke Tumapel, menghamba kepada
Ken Angrok.Itulah asal mulanya Tumapel tak mau tahu negara Daha.
Tak lama sesudah itu Ken Angrok direstui menjadi raja di Tumapel, negaranya
bernama Singasari, nama nobatannya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi,
disaksikan oleh para bujangga pemeluk agama Siwa dan Budha yang berasal
dari Daha, terutama Dang Hyang Lohgawe, ia diangkat menjadi pendeta istana,
adapun mereka yang menaruh belas kasihan kepada Ken Angrok, dahulu
sewaktu ia sedang menderita, semua dipanggil, diberi perlindungan dan diberi
belas balasan atas budi jasanya, misalnya Bango Samparan, tidak perlu
dikatakan tentang kepala lingkungan Turyantapada, dan anak anak pandai besi
Lulumbang yang bernama Mpu Gandring, seratus pandai besi di Lulumbang itu
diberi hak istimewa di dalam lingkungan batas jejak bajak beliung
cangkulnya.Adapun anak Kebo Hijo disamakan haknya dengan anak Mpu
Gandring.
Anak laki laki Dang Hyang Lohgawe, bernama Wangbang Sadang, lahir dari ibu
pemeluk agama Wisnu, dikawinkan dengan anak Bapa Bango yang bernama
Cucu Puranti, demikianlah inti keutamaan Sang Amurwabumi. Sangat berhasillah
negara Singasari, sempurna tak ada halangan.Telah lama terdengar berita,
bahwa Ken Angrok sudah menjadi raja, diberitahulah raja Dandhang Gendis,
bahwa Ken Angrok bermaksud akan menyerang Daha.Kata Raja Dandhang
Gendis: "Siapakah yang akan mengalahkan negara kami ini, barangkali baru
kalah, kalau Batara Guru turun dari angkasa, mungkin baru kalah."Diberi tahulah
Ken Angrok, bahwa raja Dandhang Gedis berkata demikian.
Kata Sang Amurwabumi: "Wahai, para bujangga pemeluk Siwa dan Budha,
restuilah kami mengambil nama nobatan Batara Guru."Demikianlah asal
mulanya ia bernama nobatan Batara Guru, direstui oleh bujangga brahmana dan
resi.Selanjutnya ia lalu pergi menyerang Daha. Raja Dandhang Gendis
mendengar, bahwa Sang Amurwabumi di Tumapel datang menyerang Daha,
Dandhang Gendis berkata: "Kami akan kalah, karena Ken Angrok sedang
dilindungi Dewa."Sekarang tentara Tumapel bertempur melawan tentara Daha,
berperang disebelah utara Ganter, bertemu sama sama berani, bunuh
membunuh, terdesaklah tentara Daha.Adik Raja Dandhang Gendis gugur
sebagai pahlawan, ia bernama Mahisa Walungan, bersama sama dengan
menterinya yang perwira, bernama Gubar Baleman.Adapun sebabnya itu gugur,
karena diserang bersama sama oleh tentara Tumapel, yang berperang laksana
banjir dari gunung.
Sekarang tentara Daha terpaksa lari, karena yang menjadi inti kekuatan perang
telah kalah. Maka tentara Daha bubar seperti lebah, lari terbirit birit
meninggalkan musuh seperti kambing, mencabut semua payung payungnya, tak
ada yang mengadakan perlawanan lagi.Maka Raja Dandhang Gendis mundur
dari pertempuran, mengungsi ke alam dewa, bergantung gantung di angkasa,
beserta dengan kuda, pengiring kuda, pembawa payung, dan pembawa tempat
sirih, tempat air minum, tikar, semuanya naik ke angkasa.
Sungguh kalah Daha oleh Ken Angrok.Dan adik adik Sang Dandhang Gendis,
yalah: Dewi Amisam, Dewi Hasin, dan Dewi Paja diberi tahu, bahwa raja
Dandhang Gendis kalah berperang, dan terdengar, ia telah di alam dewa,
bergantung gantung di angkasa, maka tuan dewi ketiga tiganya itu menghilang
bersama sama dengan istananya juga.Sesudah Ken Angrok menang terhadap
musuh, lalu pulang ke Tumapel, dikuasailah tanah Jawa olehnya, ia sebagai raja
telah berhasil mengalahkan Daha pada tahun saka : 1144.
Lama kelamaan ada berita, bahwa sang Anusapati, anak tunggal Tunggul
Ametung bertanya tanya kepada pengasuhnya."Hamba takut terhadap ayah
tuan", demikian kata pengasuh itu: "Lebih baik tuan berbicara dengan ibu
tuan".Karena tidak mendapat keterangan, Nusapati bertanya kepada ibunya:
"Ibu, hamba bertanya kepada tuan, bagaimanakah jelasnya ini?" Kalau ayah
melihat hamba, berbeda pandangannya dengan kalau ia melihat anak anak ibu
muda, semakin berbeda pandangan ayah itu."Sungguh sudah datang saat Sang
Amurwabumi. Jawab Ken Dedes: "Rupa rupanya telah ada rasa tidak percaya,
nah, kalau buyung ingin tahu, ayahmu itu bernama Tunggul Ametung, pada
waktu ia meninggal, saya telah mengandung tiga bulan, lalu saya diambil oleh
Sang Amurwabumi.:Kata Nusapati: "Jadi terangnya, ibu, Sang Amurwabumi itu
bukan ayah hamba, lalu bagaimana tentang meninggalnya ayah itu?" "Sang
Amurwabumi buyung yang membunuhnya."Diamlah Ken Dedes, tampak merasa
membuat kesalahan karena memberi tahu soal yang sebenarnya kepada
anaknya.Kata Nusapati: "Ibu, ayah mempunyai keris buatan Gandring. itu hamba
pinta, ibu."Diberikan oleh Ken Dedes. Sang Anusapati memohon diri pulang ke
tempat tinggalnya.
Adalah seorang hambanya berpangkat pengalasan di Batil, dipanggil oleh
Nusapati, disuruh membunuh Ken Angrok, diberi keris buatan Gandring, agar
supaya dipakainya untuk membunuh Sang Amurwabumi, orang di Batil itu
disanggupi akan diberi upah oleh Nusapati.Berangkatlah orang Batil masuk
kedalam istana, dijumpai Sang Amurwabumi sedang bersantap, ditusuk dengan
segera oleh orang Batil. Waktu ia dicidera, yalah: Pada hari Kamis Pon, minggu
Landhep, saat ia sedang makan, pada waktu senjakala, matahari telah
terbenam, orang telah menyiapkan pelita pada tempatnya.Sesudah Sang
Amurwabumi mati, maka larilah orang Batil, mencari perlindungan pada Sang
Anusapati, kata orang Batil: "Sudah wafatlah ayah tuan oleh hamba." Segera
orang Batil ditusuk oleh Nusapati.Kata orang Tumapel: "Ah, Batara diamuk oleh
pengalasan di Batil, Sang Amurwabumi wafat pada tahun saka 1168, dicandikan
di Kagenengan.

= 04 =
II. Sesudah demikian, sang Anusapati mengganti menjadi raja, ia menjadi raja
pada tahun Saka 1170.Lama kelamaan diberitakan kepada Raden Tohjaya, anak
Ken Angrok dari isteri muda, sehingga ia mendengar segala tindakan Anusapati,
yang mengupahkan pembunuhan Sang Amurwabumi kepada orang Batil.Sang
Apanji Tohjaya tidak senang tentang kematian ayahnya itu, meikir mikir mencari
cara untuk membalas, agar supaya ia dapat membunuh Anusapati.
Anusapati tahu, bahwasanya ia sedang direncana oleh Panji Tohjaya, berhati
hatilah Sang Anusapati, tempat tidurnya dikelilingi kolam, dan pintunya selalu
dijaga orang, sentosa dan teratur.Setelah lama kemudian Sang Apanji Tohjaya
datang menghadap dengan membawa ayam jantan pada Batara Anuspati.Kata
Apanji Tohjaya: "Kakak, ada keris ayah buatan Gandring, itu hamba pinta dari
tuan."Sungguh sudah tiba saat Batara Anuspati. Diberikan keris buatan Gandring
oleh Sang Anusapati, diterima oleh Apanji Tohjaya, disisipkan dipinggangnya,
lalu kerisnya yang dipakai semula, diberikan kepada hambanya.Kata Apanji
Tohjaya: "Baiklah, kakak mari kita menyiapkan ayam jantan untuk segera kita
ajukan di gelanggang."Menjawablah Sang Adipati: "Baiklah, adik."
Selanjutnya ia menyuruh kepada hamba pemelihara ayam mengambil ayam
jantan, kata Anusapati: "Nah, adik mari mari kita sabung segera.", "Baiklah" kata
Apanji Tohjaya.Mereka bersama sama memasang taji sendiri – sendiri, telah
sebanding, Sang Anusapati asyik sekali.Sungguh telah datang saat berakhirnya,
lupa diri, karena selalu asyik menyabung ayamnya, ditusuk keris oleh Apanji
Tohjaya.Sang Anusapati wafat pada tahun Saka 1171, dicandikan di Kidal.

III. Apanji Tohjaya menjadi raja di Tumapel.Sang Anusapati mempunyai seorang


anak laki laki bernama Ranggawuni, hubungan keluarganya dengan Apanji
Tohjaya adalah kemenakan.Mahisa Wonga Teleng, saudara Apanji Tohjaya,
sama ayah lain ibu, mempunyai anak laku laki, yalah: Mahisa Campaka,
hubungan keluarganya dengan Apanji Tohjaya adalah kemenakan juga.
Pada waktu Apanji Tohjaya duduk diatas tahta, disaksikan oleh orang banyak,
dihadap oleh menteri menteri, semua terutama Pranaraja, Ranggawuni beserta
Kebo Campak juga menghadap.Kata Apanji Tohjaya: "Wahai, menteri menteri
semua, terutama Pranaraja, lihatlah kemenakanku ini, luar biasa bagus dan
tampan badannya. Bagaimana rupa musuhku diluar Tumapel ini, kalau
dibandingkan dengan orang dua itu, bagaimanakah mereka, wahai
Pranaraja."Pranaraja menjawab sambil menyembah: "Betul tuanku, seperti titah
tuanku itu, bagus rupanya dan sama sama berani mereka berdua, hanya saja
tuanku, mereka dapat diumpamakan sebagai bisul di pusat perut tak urung akan
menyebabkan mati akhirnya."Paduka batara itu lalu diam, sembah Pranaraja
makin terasa, Apanji Tohjaya menjadi marah, lalu ia memanggil Lembu Ampal,
diberi perintah untuk melenyapkan kedua bangsawan itu.Kata Apanji Tohjaya
kepada Lembu Ampal: "Jika kamu tidak berhasil melenyapkan dua orang
kesatriya itu, kamulah yang akan kulenyapkan."Pada waktu Apanji Tohjaya,
memberi perintah kepada Lembu Ampal melenyapkan dua bangsawan itu, ada
seorang brahmana yang sedang melakukan upacara agama sebagai pendeta
istana untuk Apanji Tohjaya.
Dang Hyang itu mendengar, bahwa kedua bangsawan itu disuruh melenyapkan.
Sang Brahmana menaruh belas kasihan kepada dua bangsawan, lalu memberi
tahu: "Lembu Ampal diberi perintah untuk melenyapkan tuan berdua, kalau tuan
kalian dapat lepas dari Lembu Ampal ini, maka Lembu Ampallah yang akan
dilenyapkan oleh Seri Maharaja."Kedua bangsawan itu berkata: "Wahai Dang
Hyang, bukanlah kami tidak berdosa."Sang Brahmana menjawab: "Lebih baik
tuan bersembunyi dahulu."Karena masih dibimbangkan, kalau kalau brahmana
itu bohong, maka kedua bangsawan itu pergi ke Apanji Patipati.
Kata bangsawan itu: "Panji Patipati, kami bersembunyi di dalam rumahmu, kami
mengira, bahwa kami akan dilenyapkan oleh Batara, kalau memang akan terjadi
kami dilenyapkan itu, kami tidak ada dosa."Setelah itu maka Apanji Patipati
mencoba mendengar dengarkan: "Tuan, memang betul, tuan akan dilenyapkan,
Lembu Ampal lah yang mendapat tugas."Keduanya makin baik cara
bersembunyi, dicari, kedua duanya tak dapat diketemukan.Didengar dengarkan,
kemana gerangan mereka pergi, tak juga dapat terdengar.Maka Lembu Ampal
didakwa bersekutu dengan kedua bangsawan itu oleh Batara.
Sekarang Lembu Ampal ditindak untuk dilenyapkan, larilah ia, bersembunyi di
dalam rumah tetangga Apanji Patipati.Lembu Ampal mendengar, bahwa kedua
bangsawan berada di tempat tinggal Apanji Pati Pati.Lembu Ampal pergi
menghadap kedua bangsawan, kata Lembu Ampal kepada kedua bangsawan
itu: "Hamba berlindung kepada tuan hamba, dosa hamba: disuruh melenyapkan
tuan oleh Batara. Sekarang hamba minta disumpah, kalau tuan tidak percaya,
agar supaya hamba dapat menghamba paduka tuan dengan tenteram."
Setelah disumpah dua hari kemudian Lembu Ampal menghadap kepada kedua
bangsawan itu: "Bagaimanakah akhirnya tuan, tak ada habis habisnya terus
menerus bersembunyi ini, sebaiknya hamba akan menusuk orang Rajasa, nanti
kalau mereka sedang pergi kesungai."Pada waktu sore Lembu Ampal menusuk
orang Rajasa, ketika orang berteriak, ia lari kepada orang Sinelir.Kata orang
Rajasa: "Orang Sinelir menusuk orang Rajasa. Kata orang Sinelir: "Orang
Rajasa menusuk orang Sinelir."
Akhirnya orang orang Rajasa dan orang orang Sinelir itu berkelahi, bunuh
membunuh sangat ramainya, dipisah orang dari istana, tidak mau
memperhatikan. Apanji Tohjaya marah, dari kedua golongan ada yang dihukum
mati.Lembu Ampal mendengar, bahwa dari kedua belah pihak ada yang
dilenyapkan, maka Lembu Ampal pergi ke Orang Rajasa.Kata Lembu Ampal:
"Kalau kamu ada yang akan dilenyapkan hendaknyalah kamu mengungsi
kepada kedua bangsawan, karena kedua bangsawan itu masih ada."
Orang orang Rajasa menyatakan kesanggupannya: "Nah, bawalah kami hamba
hamba ini menghadapnya, wahai Lembu Ampal."Maka ketua orang Rajasa
dibawa menghadap kepada kedua bangsawan.Kata orang Rajasa itu: "Tuanku,
hendaknyalah tuan lindungi hamba hamba Rajasa ini, apa saja yang menjadi
tuan titah, hendaknyalah hamba tuan sumpah, kalau kalau tidak sungguh
sungguh kami menghamba ini, kalau tidak jujur penghambaan kami ini."Demikian
pula orang Sinelir, dipanggilah ketuanya, sama kesanggupannya dengan orang
Rajasa, selanjutnya kedua belah pihak telah didamaikan dan telah disumpah
semua, lalu dipesan: "Nanti sore hendaknya kamu datang kemari, dan bawalah
temanmu masing masing, hendaknyalah kamu memberontak meluka lukai di
dalam istana."
Orang Sinelir dan orang Rajasa bersama sama memohon diri. Setelah sore hari
orang orang dari kedua belah pihak datang membawa teman temannya,
bersama sama menghadap kepada kedua bangsawan, mereka keduanya saling
mengucap selamat datang, lalu berangkat menyerbu kedalam istana.Apanji
Tohjaya sangat terperanjat, lari terpisah, sekali gus kena tombak. Sesudah huru
hara berhenti, ia dicari oleh hamba hambanya, diusung dan dibawa lari ke
Katanglumbang. Orang yang mengusung lepas cawatnya, tampak
belakangnya.Kata Apanji Tohjaya kepada orang yang memikul itu: "Perbaikilah
cawatmu, karena tampak belakangmu."Adapun sebabnya ia tidak lama menjadi
raja itu, karena pantat itu.Setelah datang di Lumbangkatang, wafatlah ia, lalu
dicandikan di Katanglumbang, ia wafat pada tahun Saka 1172.

IV. Kemudian Ranggawuni menjadi raja, ia dengan Mahisa Campaka dapat


diumpamakan seperti dua ular naga didalam satu liang.Ranggawuni bernama
nobatan Wisnuwardana, demikanlah namanya sebagai raja, Mahisa Campaka
menjadi Ratu Angabhaya, bernama nobatan Batara Narasinga. Sangat rukunlah
mereka, tak pernah berpisah.Batara Wisnuwardana mendirikan benteng di
Canggu sebelah utara pada tahun Saka 1193.Ia berangkat menyerang Mahibit,
untuk melenyapkan Sang Lingganing Pati.
Adapun sebabnya Mahibit kalah, karena kemasukkan orang yang bernama
Mahisa Bungalan.Sri Ranggawuni menjadi raja lamanya 14 tahun, ia wafat pada
tahun 1194, dicandikan di Jajagu.
Mahisa Campaka wafat, dicandikan di Kumeper, sebagian abunya dicandikan di
Wudi Kuncir.V. Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki laki, bernama
Sri Kertanegara, Mahisa Campaka meninggalkan seorang anak laki laki juga,
bernama Raden Wijaya. Kertanegara menjadi Raja, bernama nobatan Batara
Siwabuda. Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka,
bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa rupanya tidak
dipercaya, dijatuhkan, disuruh menjadi Adipati di Sungeneb, bertempat tinggal di
Madura sebelah timur.
Ada Patihnya, pada waktu ia baru saja naik keatas tahta kerajaan, bernama Mpu
Raganata, ini selalu memberi nasehat untuk keselamatan raja, ia tidak
dihiraukan oleh Sri Kertanegara, karenanya itu Mpu Raganata lalu meletakkan
jabatan tak lagi menjadi Patih, diganti oleh Kebo Tengah Sang Apanji
Aragani.Mpu Raganata lalu menjadi Adiyaksa di Tumapel.Sri Kertanegara pada
waktu memerintah, melenyapkan seorang kelana bernama Baya. Sesudah
kelana itu mati, ia memberi perintah kepada hamba rakyatnya, untuk pergi
menyerang Melayu.Apanji Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia kembali,
sedatangnya di Tumapel Sang Apanji Aragani mempersembahkan makanan tiap
tiap hari, raja Kertanegara bersenang senang.
Ada perselisihannya dengan raja Jaya Katong, raja di Daha, ini menjadi musuh
raja Kertanegara, karena lengah terhadap usaha musuh yang sedang mencari
kesempatan dan ketepatan waktu, ia tidak memikir kesalahannya.Banyak Wide
berumur 40 tahun pada peristiwa penyerangan Melayu itu, ia berteman dengan
raja Jaya Katong, Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu dari Madura,
mengadakan hubungan dan berkirim utusan.Demikian juga raja Jaya Katong
berkirim utusan ke Madura. Wiraraja berkirim surat kepada raja Jaya Katong,
bunyi surat: "Tuanku, patik baginda bersembah kepada paduka raja, jika paduka
raja bermaksud akan berburu di tanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja
sekarang pergi berburu, ketepatan dan kesempatan adalah baik sekali, tak ada
bahaya, tak ada harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya, ada harimau,
tetapi tak bergigi."Patih tua Raganata itu yang dinamakan harimau tak bergigi,
karena sudah tua.
Sekarang raja Jaya Katong berangkat menyerang Tumapel. Tentaranya yang
datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari orang orang yang tidak baik,
bendera dan bunyi bunyian penuh, rusaklah daerah sebelah utara Tumapel,
mereka yang melawan banyak yang menderita luka. Tentara Daha yang melalui
jalan utara itu berhenti di Memeling.Batara Siwa Buda senantiasa minum
minuman keras, diberi tahu bahwa diserang dari Daha, ia tidak percaya, selalu
mengucapkan kata: "Bagaimana dapat raja Jaya Katong demikian terhadap
kami, bukanlah ia telah baik dengan kami."
Setelah orang membawa yang menderita luka, barulah ia percaya.Sekarang
Raden Wijaya ditunjuk untuk berperang melawan tentara yang datang dari
sebelah utara Tumapel, disertai oleh para arya terkemuka: Banyak Kapuk,
Rangga Lawe, Pedang Sora, Dangdi Gajah Pangon, anak Wiraraja yang
bernama Nambi, Peteng dan Wirot, semua prajurit baik, melawan tentara Daha
di bagian utara itu, dikejar diburu oleh Raden Wijaya.Kemudian turunlah tentara
besar besar dari Daha yang datang dari tepi sungai Aksa, menuju ke Lawor,
mereka ini tak diperbolehkan membikin gaduh, tidak membawa bendera, apalagi
bunyi bunyian, sedatangnya di Sidabawana langsung menuju Singasari.
Yang menjadi prajurit utama dari tentara Daha sebelah selatan ini, yalah: Patih
Daha Kebo Mundarang, Pudot dan Bowong.Ketika Batara Siwa Buda sedang
minum minuman keras bersama sama dengan patih, maka pada waktu itu ia
dikalahkan, semua gugur, Kebo Tengah yang melakukan pembalasan,
meninggal di Manguntur.

= 06 =

VII. Sekarang Raden Wijaya menjadi raja pada tahun Saka: Rasa Rupa Dua
Bulan atau 1216. Kemudian ia mempunyai seorang anak laki laki dari Dara
Pethak, nama kesatriyannya: Raden Kalagemet. Adapun dua orang anak
perempuan Batara Siwa Buda, yang dibayang bayangkan kepada orang Tatar,
keduanya itu juga dikawin oleh Raden Wijaya, yang tua menjadi ratu di
Kahuripan, yang muda menjadi ratu di Daha.Nama nobatan Raden Wijaya pada
waktu menjadi raja: Sri Kertarajasa.Didalam tahun pemerintahannya ia
mendapat penyakit bisul berbengkak.Ia wafat di Antapura, wafat pada tahun
1257.

VIII. Raden Kalagemet menggantikannya menjadi raja, nama nobatannya:


Batara Jayanagara. Sri Siwa Buda dicandikan di Tumapel, nama resmi candi:
Purwa Patapan. Berdiri candi itu berselat 17 tahun dengan peristiwa
Ranggalawe.Ranggalawe akan dijadikan patih, tetapi urung, itulah sebabnya
maka ia mengadakan pemberontakan di Tuban, dan mengadakan perserikatan
dengan kawan kawannya.Telah terjadi orang orang Tuban di gunung sebelah
utara dimasukkan didalam perserikatannya , mereka itu semua menaruh
perhatian kepada Ranggalawe.
Nama orang orang yang menyetujuinya, yalah: Panji Marajaya, Ra Jaran Waha,
Ra Arya Sidi, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Galatik, Ra Tati, mereka itu teman teman
Ranggalawe pada waktu berontak.Adapun sebabnya ia pergi dari Majapahit itu,
merebut kedudukan, Mahapati menjalankan fitnah dengan bahan kata kata
Ranggalawe: "Jangan banyak bicara, didalam kitab Partayadnya ada tempat
untuk penakut penakut."Setelah terdengar, bahwa Ranggalawe berontak,
Mahapatih-lah yang memberi memberi tahu hal itu, maka raja Jayanagara
marah, semua teman teman Ranggalawe didalam pemberontakan itu mati,
hanya Ra Gelatik yang masih hidup, karena ia disuruh berbalik hati.
Peristiwa Ranggalawe itu pada tahun saka: Kuda Bumi Sayap Orang, atau
1217.Wiraraja memohon diri untuk bertempat tinggal di Lamajang, yang luasnya
tiga daerah juru, karena Raden Wijaya telah berjanji akan membagi dua Pulau
Jawa, dan akan menganugerahkan daerah lembah Lumajang sebelah selatan
dan utara beserta daerah tiga juru.Telah lama itu dinikmati oleh Wiraraja, Nambi
masih menjadi patih, Sora menjadi Demung dan Tipar menjadi
Tumenggung.Tumenggung pada waktu itu lebih rendah dari pada
Demung.Wiraraja tidak kembali ke Majapahit, ia tidak mau menghamba. Setelah
berselat tiga tahun dari peristiwa Ranggalawe maka terjadilah peristiwa
Sora.Sora difitnah oleh Mahapati, dan Sora ini dapat dilenyapkan, dibunuh oleh
Kebo Mundarang, pada tahun saka: Baba Tangan Orang atau 1222.
Juga Nambi difitnah oleh Mahapati, jasa jasa perangnya tidak diperhatikan, pada
waktu ia melihat saat yang tepat dan baik, ia memohon diri untuk meninjau
Wiraraja yang menderita sakit. Sri Jayanagara memberi ijin, hanya saja tidak
diperkenankan pergi lama lama.Nambi tak datang kembali, menetap di Lembah,
mendirikan benteng, menyiapkan tentara.Wiraraja meninggal dunia.Sri
Jayanagara menjadi raja, lamanya dua tahun.Ada peristiwa gunung meletus,
yalah gunung Lungge pada tahun saka: Api Api Tangan Satu atau : 1233.
Selanjutnya terjadi peristiwa Juru Demung, berselat dua tahun dengan peristiwa
Sora.Juru Demung mati pada tahun saka: Keinginan Sifat Sayap Orang, atau:
1235.Lalu terjadi peristiwa Gajah Biru pada tahun saka: Rasa Sifat Sayap Orang
atau: 1236.
Selanjutnya terjadi peristiwa Mandana, Jayanagara berangkat sendiri untuk
melenyapkan orang orang Mandana.Sesudah itu ia pergi ke timur untuk
melenyapkan Nambi.Nambi diberi tahu, bahwa Juru Demung sudah mati,
demikian pula patih pengasuh, Tumenggung Jaran Lejong, menteri menteri
pemberani semua sudah mati, gugur di medan perang.Nambi berkata: "Kakak
Samara, Ki Derpana, Ki Teguh, Paman Jaran Bangkal, Ki Wirot, Ra Windan, Ra
Jangkung, jika dibanding banding, orang orang disebelah timur ini, tak akan
kalah, apalagi setelah mereka sudah rusak itu, siapa lagi yang menjadi teras
orang orang sebelah barat, apakah Jabung Terewes, Lembu Peteng atau Ikal
Ikalan Bang, saja tak akan gentar, biar selaksa semacam itu didepan dan
dibelakang, akan kuhadapi pula seperti perang di Bubat."
Setelah orang orang Majapahit datang, dan Nambi pergi ke selatan, maka
Ganding rusak, piyagamnya dapat dirampas, Nambi dikejar kejar dan didesak,
Derpana, Samara, Wirot Made, Windan, Jangkung mulai bertindak, terutama
Nambi, ia mengadakan serangan pertama tama. seakan akan tercabutlah orang
orang Majapahit, tak ada yang mengadakan perlawanan.
Jabung Terewes, Lembu Peteng dan Ikal Ikalan Bang lalu bersama sama
menyerang Nambi, Nambi gugur, demikian pula teman teman Nambi yang
menyerang tadi gugur semua, patahlah perlawanan di Rabut Buhayabang, orang
orang disebelah timur itu mencabut payung kebesarannya, daerah Lumajang
kalah pada tahun saka: Ular Menggigit Bulan, atau: 1238.Peristiwa Wagal dan
Mandana itu bersamaan waktunya.
Berselat dua tahun Peristiwa Wagal dengan peristiwa Lasem. Semi dibunuh, ia
mati dibawah pohon kapuk, pada tahun saka: Bukan Kitab Suci Sayap Orang,
atau: 1240.
Sesudah itu terjadi peristiwa Ra Kuti. Ada dua golongan Darmaputra Raja,
mereka ini dahulunya adalah pejabat pejabat yang diberi anugerah raja,
banyaknya tujuh orang, bernama: Kuti, Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra
Tanca dan Ra Banyak.Ra Kuti dan Ra Semi dibunuh, karena difitnah oleh
Mahapati, akhirnya Mahapati diketahui melakukan fitnahan, ia ditangkap, dan
dibunuh seperti seekor babi hutan, dosanya akan pergi sendiri ke Bedander. Ia
pergi pada waktu malam, tak ada orang tahu, hanya orang orang Bayangkara
mengiringkannya, semua yang kebetulan mendapat giliran menjaga pada waktu
raja pergi itu, banyaknya 15 orang, pada waktu itu Gajah Mada menjadi Kepala
Bayangkara dan kebetulan juga sedang menerima giliran menjaga, itulah
sebabnya ia mengiring raja pada waktu raja pergi dengan menyamar itu.
Lamalah raja tinggal di Bedander.
Adalah seorang pejabat, ia memohon ijin akan pulang kerumahnya, tidak
diperbolehkan oleh Gajah Mada, karena jumlah orang yang mengiring raja hanya
sedikit, ia memaksa akan pulang, lalu ditusuk oleh Gajah Mada, maksud ia
menusuk itu, yalah: "jangan jangan ia nanti memberi tahu, bahwa raja bertempat
tinggal dirumah kepala desa Bedander, sehingga Ra Kuti, sehingga Ra Kuti
dapat mengetahuinya.
Kira kira lima hari kemudiannya Gajah Mada memohon ijin untuk pergi ke
Majapahit.Sedatangnya di Majapahit, Gajah Mada ditanyai oleh para Amanca
Negara tentang tempat raja, ia mengatakan, bahwa raja telah diambil oleh teman
teman Kuti.Orang orang yang diberi tahu semuanya menangis, Gajah Mada
berkata: "Janganlah menangis, apakah tuan tuan tidak ingin menghamba kepada
Ra Kuti."Menjawablah yang diajak berbicara itu: "Apakah kata tuan itu, Ra Kuti
bukan tuan kami."
Akhirnya Gajah Mada memberi tahu bahwa raja berada di Bedander, Gajah
Mada lalu mengadakan persetujuan dengan para menteri, mereka semua
sanggup membunuh Ra Kuti, dan Ra Kuti mati dibunuh.Raja pulang dari
Bedander, kepala desa ditinggalkan, selanjutnya ia menjadi orang yang terkenal
pada waktu itu.Sesudah raja pulang, maka Gajah Mada tak lagi menjadi Kepala
orang orang Bayangkara, dua bulan lamanya ia mendapat cuti dibebaskan dari
kewajiban, ia dipindah menjadi Patih di Kahuripan, dua tahun lamanya menjadi
patih itu.Sang Arya Tilam, patih di Daha meninggal dunia, Gajah Mada
menggantinya, ditempatkan menjadi patih di Daha, patih Mangkubumi Sang Arya
Tadah menyetujui, ialah yang menyokong Gajah Mada menjadi patih di Daha itu.
Raja Jayanagara mempunyai dua orang saudara perempuan, lain ibu, mereka
tak diperbolehkan kawin dengan orang lain, akan diambil sendiri.Pada waktu itu
tak ada kesatriya di Majapahit, tiap tiap kesatriya yang tampak lalu dilenyapkan,
jangan jangan ada yang mengingini adiknya itu, itulah sebabnya maka kesatriya
kesatriya bersembunyi tidak keluar.Isteri Tanca menyiarkan berita, bahwa ia
diperlakukan tidak baik oleh raja.Tanca dituntut oleh Gajah Mada. Kebetulan raja
Jayanegara menderita sakit bengkak, tak dapat pergi keluar, Tanca mendapat
perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji, ia menghadap didekat
tempat tidur. Raja ditusuk oleh Tanca dengan taji sekali dua kali, tidak makan
tajinya, lalu raja

To see the complete text, please view the original source.


BABAD TANAH DJAWI
Thursday, April 23, 2009, 9:47:00 AM | Herman Adriansyah
Babad Tanah Djawi
Gubahanipun
L. VAN RIJCKEVORSEL
Directeur Normaalschool Muntilan
Kabantu
R.D.S. HADIWIDJANA
Guru Kweekschool Muntilan
Pangecapan J.B. Wolters U.M.
Groningen - Den Haag - Weltervreden - 1925

Pérangan Kang Kapisan


Babad Jawa Wiwit Jaman Indhu tumekané
Rusaking Karajan Majapahit
Abad 2 utawa 3 - Abad 16

01 Pérangan Kang Kapisan


Bab 1
Karajan Indhu ing Tanah Jawa Kulon
(wiwit abad 2 utawa 3)

Kang wus kasumurupan, karajané bangsa Indhu ana ing Tanah Jawa, kang
dhisik dhéwé, diarani karajan "Tarumanagara" (Tarum = tom. kaliné jeneng
Citarum).
Karajan iku mau dhèk abad kaping 4 lan 5 wis ana, déné titi mangsaning adegé
ora kawruhan.
Ratu ratuné darah Purnawarman. Mirit saka gambar gambar kembang tunjung
kang ana ing watu watu patilasan, darah Purnawarman iku padha nganggo
agama Wisnu.

Ing tahun 414 ana Cina aran Fa Hien, mulih saka enggoné sujarah menyang
patilasané Resi Budha, ing tanah Indhu Ngarep mampir ing Tanah Jawa nganti 5
sasi.
Ing cathetané ana kang nerangaké mangkéné :
1. Ing kono akèh wong ora duwé agama (wong Sundha), sarta ora
ana kang tunggal agama karo dhèwèkné: Budha.
2. Bangsa Cina ora ana, awit ora kasebut ing cathetané.
3. Barengané nunggang prahu saka Indhu wong 200, ana sing
dedagangan, ana kang mung lelungan, karepé arep padha
menyang Canton.

Yèn mangkono dadi dalané dedagangan saka tanah Indhu Ngarep menyang
tanah Cina pancèn ngliwati Tanah Jawa.
Ing Tahun 435 malah wis ana utusané Ratu Jawa Kulon menyang tanah Cina,
ngaturaké pisungsung menyang Maharaja ing tanah Cina, minangka tandhaning
tetepungan sarta murih gampang lakuning dedagangan.
Karajan Tarumanagara mau ora kasumurupan pirang tahun suwéné lan kepriyé
rusaké.
Wong Indhu ana ing kono ora ngowahaké adat lan panguripané wong bumi, awit
pancèn ora gelem mulangi apa apa, lan wong bumi uga durung duwé akal niru
kapinterané wong Indhu.
Ewa déné meksa ana kaundhakaning kawruhé, yaiku mbatik lan nyoga jarit.

02 Pérangan Kang Kapisan


Bab 2
Karajan Indhu ing Jawa Tengah
(abad kaping 6)
Mirit saka:
1. Cathetané bangsa Cina
2. Unining tulisan tulisan kang ana ing watu watu lan candhi
3. Cathetané sawijining wong Arab, wis bisa kasumurupan
sathithik sathithik mungguh kaananing wong Indhu ana ing
Tanah Jawa Tengah dhèk jaman samono.

Nalika wiwitané abad kang kanem ana wong Indhu anyar teka ing Tanah Jawa
Kulon.
Ana ing kono padha kena ing lelara, mulané banjur padha nglèrèg mangétan,
menyang Tanah Jawa Tengah.
Wong Jawa wektu samono, isih kari banget kapinterané, yèn ditandhing karo
wong Indhu kang lagi neneka mau; mulané banjur dadi sor-sorané.
Wong Indhu banjur ngadegaké karajan ing Jepara.
Omah omah padunungané wong Jawa, ya wis mèmper karo omah omahé wong
jaman saiki, apayon atep utawa eduk lan wis nganggo képang.
Enggoné dedagangan lelawanan karo wong Cina; barang dedagangané kayata:
emas, salaka, gading lan liya liyané.
Cina cina ngarani nagara iku Kalinga, besuké, ya diarani: Jawa.
Karajan mau saya suwé saya gedhé, malah nganti mbawahaké karajan cilik cilik
28 (wolu likur).
Wong Cina uga nyebutaké asmané sawijining ratu putri: Sima; dikandakaké
becik banget enggoné nyekel pangrèhing praja (tahun 674).
Tulisaning watu kang ana ciriné tahun 732, dadi kang tuwa dhéwé, katemu ana
sacedhaké Magelang, nyebutaké, manawa ana ratu kang jumeneng, jejuluk
Prabu Sannaha, karajané gedhé, kang klebu jajahané yaiku tanah tanah Kedhu,
Ngayogyakarta, Surakarta lan bokmenawa Tanah Jawa Wétan uga klebu dadi
wewengkoné karajan iku.

Mirit caritané, karajan kang kasebut iku tata tentrem banget kaya kang kasebut
ing tulisan kang katemu ana ing patilasan: Nadyan wong wong padha turu ana
ing dalan dalan, ora sumelang, yèn ana bégal utawa bebaya liyané.
Mirit kandhané sawijining wong Arab, dhèk tengah tengahané abad kang kaping
sanga, ratu ing Tanah Jawa wis mbawahaké tanah Kedah ing Malaka (pamelikan
timah).

Karajan ing dhuwur iki sakawit ora kawruhan jenengé, nanging banjur ana
karangan kang katulis ing watu kang titi mangsané tahun 919, nyebutaké karajan
Jawa ing Mataram.
Jembar jajahané, mungguha saiki tekan Kedhu, Ngayogyakarta, Surakarta;
mangloré tekan sagara; mangétané tekan tanah tanah ing Tanah Jawa Wétan
sawatara.
Kuthané karan : Mendhangkamulan.

Wong Arab ngandhakaké, ana ratu Jawa mbedhah karajan Khamer (Indhu Buri).
Sing kasebut iki ayaké iya karajan Mataram mau. Kajaba Khamer, karajan Jawa
iya wis mbawahaké pulo pulo akèh. Pulo pulo iku mawa gunung geni.
Karajan Jawa mau sugih emas lan bumbu crakèn. Wong Arab iya akèh kang
lelawanan dedagangan.

Sabakdané tahun 928 ora ana katrangan apa apa ing bab kaanané karajan
Mataram.
Kang kacarita banjur ing Tanah Jawa Wétan. Ayaké baé karajan Mataram mau
rusak déning panjebluge gunung Merapi (Merbabu), déné wongé kang akèh
padha ngungsi mangétan.
Ing abad 17 karajan Mataram banjur madeg manèh, gedhé lan panguwasané irib
iriban karo karajan Mataram kuna.

Agamané wong Indhu sing padha ngejawa rupa rupa. Ana ing tanah wutah
getihe dhéwé ing kunané wong Indhu ngèdhep marang Brahma, Wisnu lan
Syiwah, iya iku kang kaaranan Trimurti. Kejaba saka iku uga nembah marang
déwa akèh liya liyané, kayata: Ganésya, putrané Bethari Durga.
Manut piwulangé agama Indhu pamérangé manungsa dadi patang golongan,
yaiku:
- para Brahmana (bangsa pandhita)
- para Satriya (bangsa luhur)
- para Wesya (bangsa kriya)
- para Syudra (bangsa wong cilik)
Piwulangé agama lan padatané wong Indhu kaemot ing layang kang misuwur,
jenengé Wedha.
Kira kira 500 tahun sadurungé wiwitané tahun Kristen, ing tanah Indhu ana
sawijining darah luhur peparab Syakya Muni, Gautama utawa Budha.
Mungguh piwulangé gèsèh banget karo agamané wong Indhu mau.
Resi Budha ninggal marang kadonyan, asesirik lan mulang muruk marang wong.
Kajaba ora nembah dewa dewa, piwulangé: sarèhné wong iku mungguhing
kamanungsané padha baé, dadiné ora kena dipérang patang golongan.
Para Brahmana Indhu mesthi baé ora seneng pikire, mulané kerep ana
pasulayan gedhé.
Ana ing tanah Indhu wong Budha mau banjur peperangan karo wong agama
Indhu.
Wusana bangsa Budha kalah lan banjur ngili menyang Ceylon sisih kidul, Indu
Buri, Thibet, Cina, Jepang.
Mungguh wong agama Indhu iku pangèdêpé ora padha. Ana sing banget olèhe
memundhi marang Syiwah yaiku para Syiwaiet (ing Tanah Jawa Tengah); ana
sing banget pangèdêpé marang Wisynu, yaiku para Wisynuiet (ing Tanah Jawa
Kulon).
Kajaba saka iku uga akèh wong agama Budha, nanging ana ing Tanah Jawa
agama agama iku bisa rukun, malah sok dicampur baé.
Petilasané agama Indhu mau saikiné akèh banget, kayata:
- Candhi candhi ing plato Dieng (Syiwah), iku bokmenawa yasané
ratu darah Sanjaya.
- Candhi ing Kalasan ana titi mangsané tahun 778, ayaké iki
candhi tuwa dhéwé (Budha), yasané ratu darah Syailendra.
- Candhi Budha kang misuwur dhéwé, yaiku Barabudhur lan
Mendut.
- Candhi Prambanan (Syiwah). Ing sacedhaké Prambanan ana
candhi campuran Budha lan Syiwah.

03 Pérangan Kang Kapisan


Bab 3
Karajan Ing Tanah Jawa Wétan
(wiwitané abad 10 - tahun 1220)

Ing dhuwur wus kasebutaké yèn Tanah Jawa Wétan, kabawah karajan Indhu ing
Mataram; nanging wong Indhu kang manggon ana ing Tanah Jawa Wétan ora
pati akèh, yèn katimbang karo kang manggon ing Tanah Jawa Tengah (Kedhu).
Marga saka iku wong Indhu kudu kumpul karo wong bumi, prasasat tunggal dadi
sabangsa.
Ing wiwitané abad 10 ana pepatihing karajan Tanah Jawa Tengah aran Empu
Sindhok lolos mangétan. Let sawatara tahun empu Sindhok mau jumeneng ratu
ing Tanah Jawa Wétan, karajané ing Kauripan (Paresidhènan Surabaya sisih
kidul).

Ambawahaké: Surabaya, Pasuruwan, Kedhiri, Bali bok manawa iya kabawah.


Enggoné jumeneng ratu tekan tahun 944 lan iya jejuluk Nata ing Mataram.
Nata ing Mataram mau banget pangèdêpé marang agama Budha.
Empu Sindhok misuwur wasis enggoné ngerèh praja. Ana cathetan kang muni
mangkéné: "Awit saka suwéning enggoné jumeneng ratu, marcapada katon
tentrem; wulu wetuning bumi nganti turah turah ora karuhan kèhé."

Ing tahun 1010 Erlangga tetep jumeneng ratu, banjur nerusaké enggoné mangun
paprangan lan ngelar jajahan.
Ing tahun 1037 enggoné paprangan wis rampung, negara reja, para kawula
padha tentrem. Déné karatoné iya ana ing Kauripan.
Sang Prabu Erlangga ora kesupèn marang kabecikaning para pandhita lan para
tapa, kang gedhé pitulungané nalika panjenengané lagi kasrakat.

Minangka pamalesing kabecikané para pandhita, Sang Nata yasa pasraman apik
banget, dumunung ing sikile gunung Penanggungan.
Pasraman mau kinubeng ing patamanan kang luwih déning asri, lan rerenggané
sarwa peni sarta endah. Saka ediné, nganti misuwur ing manca praja, saben
dina aselur wong kang padha sujarah mrono.

Pangadilané Sang Nata jejeg. Wong désa kang nrajang angger angger nagara
padha kapatrapan paukuman utawa didhendha.
Kècu, maling, sapanunggalané kapatrapan ukum pati.
Sang Prabu enggoné nindakaké paprentahan dibantu ing priyagung 4, padha
oleh asil saka pametuning lemah lenggahè.
Saka enggoné manggalih marang tetanèn yaiku pagawéyaning kawula kang
akèh, Sang Nata yasa bendungan gedhé ana ing kali Brantas.
Sang Nata uga menggalih banget marang panggaotan lan dedagangan.
Kutha Tuban nalika samono panggonan sudagar, oleh biyantu akèh banget saka
Sang Prabu murih majuning dedagangan lan lelayaran.

Sang Nata yèn sinéwaka lenggah dhampar (palenggahan cendhèk pesagi),


ngagem agem ageman sarwa sutra, remané diukel lan ngagem cênéla.
Yèn miyos nitih dwipangga utawa rata, diarak prajurit 700.
Punggawa lan kawula kang kapethuk tindaké Sang Nata banjur padha
sumungkem ing lemah (ndhodhok ngapurancang?).
Para kawula padha ngoré rambut, enggoné bebedan tekan ing wates dhadha.
Omahè kalebu asri, nganggo payon gendhèng kuning utawa abang.
Wong lara padha ora tetamba mung nyuwun pitulunganing para dewa baé,
utawa marang Budha.
Wong wong padha seneng praon lan lelungan turut gunung, akèh kang
nunggang tandhu utawa joli.
Dhèk samono wong wong iya wis padha bisa njogèt, gamelané suling, kendhang
lan gambang.

Karsané Sang Prabu besuk ing sapengkeré kang gumanti jumeneng Nata
putrané loro pisan, mulané kratoné banjur diparo: Jenggala (sabageyaning:
Surabaya sarta Pasuruwan) lan Kedhiri.
Déné kang minangka watesé: pager témbok kang sinebut "Pinggir Raksa", wiwit
saka puncaking Gunung Kawi, mangisor, nurut kali Leksa banjur urut ing
brangloré kali Brantas saka wétan mangulon tekan ing désa kang saiki aran
"Juga", nuli munggah mangidul, terusé kira kira nganti tumeka ing pasisir.
Gugur gugurané tembok iku saiki isih ana tilasé, kayata ing sacedhaking kali
Leksa, sakulon lan sakiduling kali Brantas, ing watesing afd. Malang lan Blitar.
Mungguhing babad Jawa jumenengé Prabu Erlangga kaanggep minangka
pepadhang sajroning pepeteng, awit rada akèh caritané kang kasumurupan.
Kawruh kasusastran wis dhuwur. Layang layangé ing jaman iku tekané ing jaman
saiki isih misuwur becik lan dadi teturutaning crita crita wayang.
Layang layang mau basané diarani: Jawa Kuna, kayata:
1. Layang Mahabarata
2. Layang Ramayana lan Arjuna Wiwaha.

Karajan Jenggala ora lestari gedhé, awit pecah pecah dadi karajan cilik cilik,
marga saka diwaris marang putraning Nata; yaiku praja Jenggala (Jenggala
anyar); Tumapel utawa Singasari lan Urawan.
Karajan cilik cilik kang cedhak wates Kedhiri or suwé banjur ngumpul mèlu
Kedhiri, liyané isih terus madeg dhéwé nganti tekan abad 13.
Kerajan Kedhiri (Daha, Panjalu) mungguha saiki mbawahaké paresidhènan
Kedhiri, sapérangané Pasuruwan lan Madiyun.
Kuthané ana ing kutha Kedhiri saiki. Karajan mau bisa dadi kuncara.
Ing wektu iku kasusastran Jawa dhuwur banget, nalika jamané Jayabaya (abad
12) ngluwihi kang uwis uwis lan tumekané jaman saiki isih sinebut luhur, durung
ana kang madhani.

Ing tahun 1104 ing kedhaton ana pujangga jenengé: Triguna utawa Managocna.
Pujangga iku sing nganggit layang Sumanasantaka lan Kresnayana.
Radèn putra utawa Panji kang kacarita ing dongèng kae, bokmenawa iya ratu ing
Daha, kang jejuluk Prabu Kamesywara I. Jumeneng ana wiwitané abad kang
kaping 12. Garwané kekasih ratu Kirana (Candra Kirana) putrané ratu Jenggala.
Ing mangsa iki ana pujangga jenengé Empu Dharmaja nganggit layang
Smaradhana. Radèn Panji nganti saiki tansah kacarita ana lakoné wayang
gedhog lan wayang topeng.

Pujanggané Jayabaya aran Empu Sedah lan Empu Panuluh.


Empu Sedah ing tahun Saka 1079 (= 1157) methik sapéranganing layang
Mahabarata, dianggit lan didhapur cara Jawa, dijenengaké layang Bharata
Yudha.
Wong Jawa ing wektu iku wis pinter, wong Indhu kesilep, karajan Indhu wis dadi
karajan Jawa.

04 Pérangan Kang Kapisan


Bab 4
Ken Angrok Nelukaké Karajan Karajan Cilik
(1220 - 1247)

Ing tahun 1222 ana ratu ing Tumapel utawa Singasari, jenengé Ken Angrok.

Critané Ken Angrok iki saka layang Pararaton. Ketemuné layang iki ana ing Bali
dhèk tahun 1891.
Ken Angrok lair ana ing sacedhaké Tumapel (Singasari), asal wong tani lumrah
baé.
Ken Angrok kacarita bagus rupané lan bisa nenarik katresnaning wong, nanging
banget kareme marang pangaji aji lan wani marang penggawé luput.
Ing sawijining dina ana Brahmana ketemu karo dhéwékné, kandha yèn
dhéwékné titising Wisnu.
Anggoné kandha mangkono iku, awit Brahmana mau ngerti yèn Ken Angrok iku
wong kang gedhé karepe lan kenceng budiné.
Brahmana banjur golèk dalan bisané Ken Angrok kacedhak karo adipati ing
kono, Sang Tunggul Ametung.
Ora antara suwé kelakon Ken Angrok kaabdèkaké. Bareng wis mangkono, Ken
Angrok banjur tansah golèk dalan kapriyé enggoné bisa ngendhih Sang Adipati,
nggentèni jumeneng.
Ketemuning nalar Ken Angrok banjur ndandakaké keris becik marang Empu
Gandring.
Sawisé keris dadi, katon becik temenan, nganti mitrané Ken Angrok aran Keboijo
kepéncut kepéngin nganggo, banjur nembung nyilih: oleh.
Saka senengé, keris mau saben dina dianggo sarta dipamèr pamèraké,
dikandhakaké duwèké dhéwé.
Bareng wis sawatara dina Ken Angrok banjur nyolong kerisé dhéwé kang lagi
disilih ing mitrané mau dianggo nyidra Sang Adipati.
Kelakon séda, keris ditinggal ing sandhingé layon. Urusaning prakara: mitrané
Ken Angrok sing kena ing dakwa, diputus ukum pati.
Ken Angrok banjur bisa oleh Sang putri randaning Tunggul Ametung lan gumanti
madeg adipati: Sang Putri asmané Ken Dhedhes.

Sasuwéné dicekel Ken Angrok negarané tata, reja, wong cilik banget sungkemé.
Sawisé mbedhah karajan cilik cilik ing Jenggala, Ken Angrok banjur emoh
kebawah Kedhiri, malah ing tahun 1222 mbedhah praja Kedhiri nganti kelakon
menang, Ratu ing Kedhiri Prabu Kertajaya séda nggantung sabalané kang
padha tuhu.
Kedhiri banjur ditanduri adipati kabawah Singasari.
Bareng para ratu darah Empu Sindhok wis kalah kabèh karo Ken Angrok, Ken
Angrok banjur jumeneng Ratu gedhé, jejuluk Prabu Rejasa, yaiku kang nurunaké
para ratu ing Majapait.

Kacarita Sang Retna Dhedhes nalika sédané adipati Tunggul Ametung wis
ambobot. Bareng wis tekan mangsané, Sang Retna mbabar putra kakung,
diparingi peparab Radèn Anusapati.
Wiwit timur nganti diwasa Sang Pangéran ora ngerti yèn satemené dudu putrané
Prabu Rejasa, nanging rumangsa yèn ora ditresnani ing Sang Prabu, béda
banget karo rayi rayiné.
Ing sawijining dina Anusapati kelair marang ibuné mangkéné: "Ibu, punapa, déné
Kangjeng rama punika teka boten remen dhateng kula?"
Sang Retna banget trenyuhing galih mireng atur sasambaté kang putra, wasana
banjur keprojol pangandikané; kang putra dicritani lelakoné wiwitan tekan
wekasan.
Anusapati banget ing pangunguné, sanalika banjur duwé sedya males ukum,
nanging isih sinamun ing semu.
Keris yasané Empu Gandring disuwun, pawatané mung kepingin banget
anganggo.
Kang ibu lamba ing galih, keris diparingaké.

Anusapati banjur nimbali abdiné kekasih, diparingi keris mau lan diweruhaké ing
wewadiné. Benginé Sang Prabu séda kaprajaya ing duratmaka.
Layoné Sang Prabu dicandhi ana ing Kagenengan (cedhak Malang).
Anusapati nggentèni jumeneng Nata.
Anusapati jumeneng ora suwé, awit Radèn Tohjaya ngerti yèn Anusapati kang
nyédani ramané, mulané sumedya males ukum lan iya kelakon.
Tohjaya jumeneng Nata, nanging iya ora suwé. Tohjaya utusan mantriné aran
Lembu Ampal, didhawuhi nyirnakaké kalilipé loro, yaiku: Ranggawuni, putrané
Anusapati, lan nakdulure kang aran Narasingamurti; yèn ora bisa kelakon,
Lembu Ampal dhéwé bakal kena ukum pati.

Dumadakan ana sawijining Brahmana kang welas marang radèn loro, banjur
wewarah saperluné.
Satriya loro banjur ndhelik ana ing panggonané Panji Patipati.
Lembu Ampal nggolèki radèn loro ora ketemu, banjur ora wani mulih, ngungsi
marang Panji Patipati.
Bareng ana ing kono mbalik ngiloni radèn loro, malah ngrembugi para punggawa
kang ora cocog karo Tohjaya diajak ngraman, wasana kelakon, Sang Prabu
nganti nemahi séda.

Ranggawuni jumeneng Nata ajejuluk Syri Wisynuwardhana nganti nakdhèrèké


Narasinga.
Nganti tekan ing séda priyagung loro mau rukun banget, nganti dibasakaké:
"Kaya Wisynu lan kang raka Bathara Endra".
Karatoné mundhak gedhé pulih kaya dhèk jamané Prabu Erlangga, malah
jajahané wuwuh Madura.
Sang Nata séda ing tahun 1268, layoné diobong kaya adat, awuné sing separo
dicandhi ana ing Welèri, ditumpangi reca Syiwah, sing separo dipethak ana
candhi Jago (Tumpang) nganggo reca Budha.
Dadi tetéla ing wektu iku agama Syiwah karo Budha campur.

05 Pérangan Kang Kapisan


Bab 5
Jumenengé Kartanagara ing Tumapel
(1268 - 1292)
Ratu Singasari kang Kaping V, jumeneng mekasi. Sasédané Syri
Wisynuwardhana pangéran pati jumeneng Nata, ajejuluk Prabu Kartanagara.
Sang Prabu manggalih marang kawruh kagunan, lan kasusastran, lan iya
manggalih marang undhaking jajahan, nanging kurang ngatos atos, lan kersa
ngunjuk nganti dadi wuru.
Ana nayakaning praja aran Banyak Widhe utama Arya Wiraraja, tepung becik lan
Jayakatwang, adipati ing Daha.
Satriya iku ora sungkem marang ratuné, malah wis sekuthon karo Jayakatwang,
arep mbaléla.
Dumadakan ana punggawa kang matur prakara iku, nanging Sang Prabu ora
menggalih, Wiraraja malah diangkat dadi adipati ana ing Madura.

Pepatihe Sang Nata aran Raganatha rumeksa banget marang ratuné, nganti sok
wani ngaturi pènget marang Sang Prabu ing bab kang ora bener, nanging Sang
Prabu ora rena ing galih, ora nimbangi rumeksaning patih setya iku, malah
banjur milih patih liya kang bisa ngladèni karsané.
Patih wredha diundur, winisuda dadi: nayaka pradata, dadi wis ora campur karo
prakara pangrèh praja.
Patih anyar senengé mung ngalem marang ratuné lan ngladosi unjuk unjukan.

Ana utusan saka ratu agung ing nagara Cina (Chubilai) dhawuh supaya Prabu
Kartanagara nyalirani dhéwé utawa wakilsuwana marang nagara Cina perlu caos
bekti (tahun 1289).
Sang Prabu duka banget. Bathuking Cina utusan digambari pasemon kang ora
apik, nelakaké dukané Sang Prabu.
Bareng tekan ing nagara Cina patrape ratu Jawa kang mangkono iku mau njalari
dukané ratu binathara ing Cina,
Ing tahun1292 ana prajurit gedhé saka ing Cina arep ngukum ing kuwanéné
wong Jawa.
Wiraraja sasuwéné ana ing Madura isih ngrungok ngrungokaké apa kang
kalakon ana ing Singasari, lan iya weruh uga yèn ing wektu iku prajurit Singasari
dilurugaké menyang Sumatra.
Wiraraja ngajani Jayakatwang akon nangguh mbedhah Singasari, mumpung
nagara lagi kesisan bala.
Jayakatwang ngleksanani, lan Singasari kelakon bedhah. Ratu lan patihé
katungkep ing mungsuh isih terus unjuk unjukan baé (wuru), mulané ora rekasa
pinurih sédané.

Radèn Wijaya, wayahè Narasinga, nuli umangsah ngetog kaprawiran mbelani


nagara lan ratuné, nanging wis kaslepek karoban wong Daha, mulané banjur
kepeksa ngoncati, mung kari nggawa bala 12, genti genti nggéndhong Sang
Putri garwané Radèn Wijaya, putrané Prabu Kartanagara.
Lampahè Radèn Wijaya sasentanané nusup angayam alas.
Kalebu wilangan 12 iku ana satriyané loro, putrané Wiraraja, duwè atur marang
Gustiné supaya ngungsi menyang Madura.
Sang Pangéran mauné ora karsa, nanging suwé suwé nuruti. Ana ing Madura
ditampani kalawan becik.
Rembugé Wiraraja, Radèn Wijaya diaturi suwita menyang Daha. Wiraraja sing
arep nglantaraké.
Yèn wis kelakon suwita Radèn Wijaya diaturi nyetitèkaké para punggawa ing
Daha, sapa sing kendel utawa jirih, tuhu utawa lamis.
Yèn wis antara suwé diaturi nyuwun tanah tanah Trik, dibabada banjur
dienggonana.
Radèn Wijaya nurut ing pitudhuh, lan iya kelakon suwita ing Daha.
Kacarita pasuwitané kanggep banget, amarga saka pinteré nuju karsa, lan saka
pinteré olah gegaman; wong sa Daha ora ana sing bisa ngalahaké.
Kabèh piwulangé Wiraraja ditindakaké, dilalah Sang Prabu teka dhangan baé,
malah bareng tanah Trik wis dibabad, Radèn Wijaya nyuwun manggon ing kono
iya dililani.
Kacarita nalika babade tanah Trik mau, ana wong kang methik woh maja
dipangan, nanging rasané pait. Awit saka iku désa ingkono mau banjur
dijenengaké Majapait.
Bareng Radèn Wijaya wis manggon ing Majapait, rumangsa wis wayahè tata tata
males ukum, ngrusak kraton Daha, ananging Wiraraja akon sabar dhisik, awit
isih ngenteni prajurit saka nagara Cina kang arep ngukum wong Singasari.
Karepe Wiraraja arep ngréwangi Cina baé dhisik, besuké arep mbalik mungsuh
Cina. Wiraraja banjur boyong sakulawargané lan saprajurite menyang Majapait
ngumpul dadi siji karo Radèn Wijaya.

06 Pérangan Kang Kapisan


Bab 6
Karajan Melayu

Ing Bab 5 ana critané Prabu Kartanagara enggoné anjangka undhaking jajahané.
Ana ing tanah Sumatra kelakon bisa oleh jajahan.
Ing ngisor iki crita sathithik tumraping karajan karajan ing tanah Melayu.
Kacarita ratu ing Funan, kira kira ing sajroning abad 3 ngelar jajahan, ngelun
tanah Sumatra, Jawa lan liya liyané, ayaké ratu iku kang yasa reca reca ing
tanah Pasémah.
Ing abad kapitu ana golonganing para pangéran saka ing Indhu Buri, padha
manggon ing sakiwa tengening Palembang, banjur ngedegaké nagara gedhé,
jenengé karajan çrivijaya (= Syriwijaya, sinebut ing bangsa Cina nagara:
Sambotsai).
Ratu ratuné padha darah Warman, isih dumunung sanak karo darah
Purnawarman ing Tanah Jawa dhèk abad 4 - 5, apadéné darah Mulawarman ing
Kutai lan Bornéo dhèk watara tahun 400.
Nagara çrivijaya jajahané kira kira Sumatra sisih kidul lan tengah, Malaka,
Kamboja lan malah tekan Tanah Jawa.
Ing tahun 686 ratu agung ing negara çrivijaya nglurugi Tanah Jawa, awit Tanah
Jawa ora tuhu pangèdhêpé marang çrivijaya.
Sajroning abad 10 prajurit Jawa genti nglurugi çrivijaya, menang, nanging ora
suwé çrivijaya bisa kombul manèh.
Praja iku ajeg enggoné nglakokaké utusan marang Naréndra ing Cina.
Ing sajroning abad 12 lan 13 nagara gedhé çrivijaya pecah dadi karajan cilik cilik.
Darah Warman jumeneng ana ing tanah kang sinebut tanah: "Melayu" yaiku
saikiné Jambi.
Rèhning pasisiré tanah Melayu kono akèh rerusuh, wongé akèh kang padha
ngungsi marang tanah pagunungan kang loh, ana ing kono padha dedhukuh.
Bareng Tanah Jawa gedhé panguwasané, Prabu Kartanagara (1268 - 1292)
kalakon bisa ngrusak kutha Paséi, lan ngejegi Jambi, Palembang, Riouw sarta
kutha kutha akèh ing Bornéo apadéné pulo pulo ing Moloko.
Ing saantaraning tahun 1275 lan 1293 wong Jawa nglurugi tanah pagunungan
Jambi mau yaiku tanah kang besuké aran Menangkabau. Lurugan iku diarani:
Pamalayu.
Ing tahun 1268 Prabu Kartanagara angganjar reca marang ratu ing
Dharmmaçraya (Darmasraya) uga dumunung ing tanah Jambi, ing saikiné ora
adoh karo Sungai Lansat.
Karajan iku ing besuké kalebu jajahan Majapait, rajané darah Warman jejuluk
Tribuwana (Mauliwarman) kagungan garwa bangsa Melayu, kang putriné
(putrané putri) ayaké dai garwané Radèn Wijaya biyèn.
Sang Raja Tribhuwana mèlu karo bangsa Jawa nglurugi tanah Padhang Hulu.
Miturut carita Melayu, lurugan mau ora oleh gawé, mung marga saka klebu ing
gelar, kalah enggoné adu kebo, mulané kuthané banjur jeneng Menangkabau
iku.
Ana raja wewengkoné karajan Dharmmaçraya jejuluk Adityawarman nagarané
ing Malayupura, kang ing tahun 1347 wus merdika, ambawa pribadhi, iku
nglurugi Menangkabau, nanging ora nganti dadi perang, malah banjur diangkat
dadi raja ing kono, awit pancèn dianggep bangsa Melayu.
Jumenengé ana ing Menangkabau wiwit tahun 1347 tekan 1375, kecrita ing
kawicaksanané lan pinteré nyekel praja.

Tumeka sapréné Sang Adityawarman sarta nayakané loro kang aran Papatih
Sabatang lan Kyai Katumanggungan isih dipundhi pundhi marang bangsa
Menangkabau.
Sapungkuré Sang Aditya wis ora ana raja ing Menangkabau kang kecrita.
Negarané pecah pecah, ing saiki isih akèh titiké, mungguh ing kaluhuraning para
raja Jawa asal Indhu, ana ing tanah Menangkabau kono, luwih luwih tumraping
basa lan sastrané.
Darah raja raja kuna ing Menangkabau mau enteke durung lawas, kang pungkas
pungkasan putri, sédané lagi saiki baé.

Ing tahun 1377 kutha Sanbotsai ing tanah Palembang rinusak ing balané Prabu
Ayamwuruk.
Kang kuwasa ing tanah Palembang kasebut jeneng Arya Damar nurunaké
Radèn Patah (+/- tahun 1500).
Awit saka ambruking karaton Majapait, Palembang iya katut apes, besuké kalah
karo Banten.
Kaluhuraning Tanah Jawa ana ing Sumatra sisih kidul kono tumekané dina iki
uga iya isih akèh tilas tilasé.

Régol patilasan bètèng Majapait, jenengé Bajang Ratu

07 Pérangan Kang Kapisan


Bab 7
Perang Cina lan Adegé Karajan Majapait (1292)

Ing tengah tengahané tahun 1292 Maharaja Choebilai sida ngangkataké wadya
bala menyang ing Tanah Jawa perlu arep ngukum Prabu Kartanagara.
Ana ing pacekan (Surabaya) prau Jawa kalah, nuli bala Cina arep nglurugi9
Daha, kang dikira panggonané Kartanagara (kang nalika iku wis séda).
Kacarita Radèn Wijaya dhèk jaman samono wus wiwit mbalela marang
Jayakatwang ratu ing Daha.
Sarèhné duwè pangarep arep bisaa ditulungi ing Cina numpes ratu ing Daha,
mulané Radèn Wijaya banjur gawé gelar ethok ethok arep teluk marang sénapati
Cina.
Kabeneran ora let suwé Majapait, panggonané Radèn Widjaya ditempuh ing
wong Daha, Radèn Wijaya éntuk pitulungané wong Cina bisa menang.
Wasana ing tahun 1293 kutha Daha dikepung ing balané Shih Pih lan Radèn
Wijaya, Daha bedhah, ratuné kacekel, pèni pèni raja pèni dijarah rayah, Radèn
Wijaya nulungi putri putri, putrané Prabu Kartanagara digawa oncad menyang
Majapait.
Ora antara suwé, marga saka akalé Wiraraja, Radèn Wijaya bisa ngusir prajurit
Cina.
Wondéné prajurit mau, senadyan kesusu susu meksa isih bisa anggawa barang
rayahan, pengaji mas satengah yuta tail lan tawanan wong satus saka Daha.
Radèn Wijaya banjur jumeneng Nata ing Majapait, jejuluk Kertarejasa
Jayawardhana utawa Brawijaya I (tahun 1294 - 1309)

Sawisé jumeneng Nata, Sang Prabu anggeganjar marang sakabèhing kawula


kang mauné labuh, marang panjenengané. Wiraraja dibagèhi tanah Lumajang
sauruté.
Putriné Kartanagara papat pisan dadi garwané Sang Prabu, lan isi ana garwa
paminggir siji saka tanah Melayu aran Sri Indresywari.
Saka garwa paminggir iki Sang Prabu kagungan putra R. Kaligemet, kang
besuké nggentos kaprabon, ajejuluk Jayanégara, saka Prameswari Sang Prabu
peputra putri loro.
Ing tahun 1295 R. Kalagemet lagi yuswa sataun wis diangkat dadi pangéran pati
lan dadi ratu ing Kedhiri, ibuné kang ngembani nyekel praja Kedhiri.
Ing nalika panjenengané Prabu Kertarejasa Jayawardhana iku, Tanah Jawa karo
Cina becik manèh, perdagangané gedhé, wong Cina teka ing Tanah Jawa
nggawa mas, salaka, merjan, sutra biru, sutra kembang kembangan, bala pecah
lan dandanan wesi.
Saka ing Tanah Jawa, Cina kulak: beras, kopi kapri, rami, bumbon crakèn luwih
luwih mrica, barang barang mas utawa salaka, bangsa dandanan kuningan
utawa tembaga, tenunan kapas lan sutra, welirang, gading, cula warak, kayu
warna warna, manuk jakatuwa lan barang nam naman.

Ing Tanah Jawa ing wektu iku akèh palabuhan ramé, kayata: Tuban, Sedayu;
Canggu.
Nalika jamané ratu iki ing bawah karaton Majapait kena dibasakaké ungsum
kraman.
Para satriya kang mèlu lara lapa dhèk jamané Radèn Wijaya saiki ora oleh ati,
awit Sang Prabu mung anggega aturing nayakané kang aran Mahapati, wasana
para satriya mau banjur genti genti padha ngraman, nanging temahan asor jurite.
Ing tahun 1328 Sang Prabu séda, dicidra ing dukun kang didhawuhi ambedhel
salirané.
Sasédané Prabu Jayanégara kang gumanti sadhèrèké putri, kang sesilih Bhreng
Kauripan banjur jejuluk Jayawisynuwardhani.
Sang nata dewi krama oleh satriya, kekasih Kartawardhana, misuwur pinter,
sregep lan jejeg penggalihé.
Sang Pangéran diangkat dadi panggedhéning jaksa lan oleh lungguh bumi
Singasari sawewengkoné.
Gajahmada dadi warangkaning ratu. Karepe Gajahmada arep nungkulaké
satanah Jawa kabèh lan pulo pulo sakiwatengené.
Ora let suwé yaiku tahun 1334 Sumbawa lan Bali bedhah banjur kabawah
marang Majapait, mangka Bali nalika samana wis mbawahaké Lombok, Madura,
Blambangan lan Sélebes sabagéyan.
Sénapatining prajurit kang ngelar jajahan ing sajabaning Jawa aran Nala.
Ing tahun 1334 Sang Raja putri mbabar miyos kakung diparabi Ayam Wuruk,
kang banjur dijumenengaké Nata, nanging isih diembani kang ibu nganti tekan
tahun 1350.

08 Pérangan Kang Kapisan


Bab 8
Ayam Wuruk, Syri Rajasanagara,
Ratu kang kaping IV ing Majapait (tahun 1350 - 1389)

Awit saking gedhéné lelabuhané Patih Gajahmada, nagara Majapait saya suwé
saya misuwur kuwasané.
Prabu Ayam Wuruk tetep jumeneng ratu agung binathara ngerèh sapepadhaning
ratu.
Sang Nata krama oleh nakdhèrèke piyambak kang wewangi Retna
Susumnadewi.
Para santanané padha ginadhuhan tanah dhéwé dhéwé ing samurwaté. Déné
kuwajibané para santana utawa adipati mau ing mangsa kang wus ditamtokaké
kudu ngadhep ing panjenengané Nata, mulané kabèh padha duwè dalem becik
becik ana ing Majapait, muwuhi asrining nagara.
Ing jaman iku ana pujangga kraton aran "Prapanca" (Budha).
Ing tahun 1365 pujangga iki nganggit layang kang aran Nagarakertagama.
Ana manèh pujangga aran Empu Tantular nganggit layang Arjunawiwaha.
Majapait ing wektu iku emèh mbawahaké satanah Indhiya Wétan kabèh, kayata:
Tanah Jawa Wétan lan Tengah, Sumatra, wiwit Lampung tekan Acih (Perlak),
Bornéo (Banjarmasin), Sélebes (Banggawai, Salaiya, Bantaiyan), Florès
(Larantuka), Sumbawa (Dompo), saparoning Malaka lan sabageyaning Nieuw
Guinéa.

Tanah Sundha ora ditelukaké. Kang jumeneng ratu ana ing tanah Sundha mau
ajejuluk Prabu Wangi, putrané putri dilamar Prabu Ayam Wuruk iya dicaosaké,
ananging Prabu Wangi banjur pasulayan karo Patih Gajahmada, nganti dadi
perang.
Prabu Wangi séda ing paprangan lan akèh punggawané kang mati ana
paprangan; ewadéné tanah Sundha ora dibawah Majapait, isih madeg dhéwé ing
saterusé.

Ing Jaman samono paro ajar utawa pandhita (agama Budha utawa Syiwah) mèlu
nindakaké paprentahan nagara, mulané padha diparingi lungguh bumi dhéwé
dhéwé kang diarani bumi: Pradikan.
Padésan ing sakubenging candhi utawa padhépokaning para pandhita lumrahè
uga dadi bumi pradikan, wongé diwajibaké jaga lan ngopèni candhi padhépokan
mau.
Kawula liyané padha kena pajeg prapuluhan (saprapuluhing pametuning
buminé), lan kena ing pagawéyan gugur gunung lan sapepadhané.
Pajeg rajakaya, pajeg panggaotan lan tambangan ing wektu samono iya wis ana.
Pametoning praja gedhé banget, perlu kanggo ragad perang lan kanggo
kapraboning Sang Nata sarta kanggo yeyasan nagara, kayata: kraton, gedhong
gedhong, pasanggrahan pasanggrahan lan liya liyané.

Ing nagara Majapait wis akèh omah kang becik becik, payoné sirap, déné omah
kang lumrah padha apager gedhég, ananging ing jero racaké ana pethiné watu
kang santosa perlu kanggo nyimpen barangé kang pangaji.
Wong wong dhèk jaman samono padha doyan nginang, senengané padha tuku
bala pecah saka juragan Cina, pambayare nganggo dhuwit sing diarani Kèpèng.
Wong lanang padha ngoré rambut, wong wadon gelungan kondhé. Wiwit enom
wong wong padha nganggo gegaman keris, lan gegaman iku kerep diempakaké.
Wong yèn mati jisime diobong, yèn sing mati iku bangsa luhur utawa wong sugih
bojo bojoné (randha randhané) padha mèlu obong.
Ora adoh saka nagara ana papan kanggo adu adu kéwan utawa uwong utawa
kanggo karaméyan liya liyané. Papan iku arané "Bubat"
Sang Nata kerep lelana tinggal nagara, ing Blambangan sauruté iya tau dirawuhi.
Prakara perdagangan iya dadi gedhé banget, awit saka majuning lelayaran
kagawa saka kèhing nagara nagara kang kabawah ing Majapait sing kelet letan
sagara.
Bab kagunan, kayata: ngukir ukir sapepadhané, kombule ing Tanah Jawa Wétan
dhèk pungkasané abad kang katelulas, lan ing wiwitané abad kang pat belas,
mung baé panggawéné reca reca kang apik apik iku nganggo tuntunaning wong
Indhu utawa nurun kagunan Indhu.
Cekaking carita: Nalika panjenengané Prabu Ayam Wuruk iku, Majapait lagi
unggul unggule, samubarang lagi sarwa onjo.
Prabu Ayam Wuruk tilar putra kakung miyos saka selir asma "Bhre Wirabhumi"
jumeneng Nata ana ing bagéyan kang wétan.
Déné kang nggentèni keprabon Majapait putra mantuné Sang Nata, ajejuluk
Wikramawardhana (tahun 1389 - 1400).
Ing tahun 1400 Sang Prabu sèlèh keprabon, kersané arep mandhita, ananging
sapengkeré Sang nata, putra lan sentanané padha rebutan nggentèni keprabon.
Prabu Wikramawardhana banjur kapeksa kundur jumeneng ratu manèh nganti
tekan tahun 1428.
Sajroning jumeneng sing kèri iki Sang Prabu nerusaké merangi santanané kang
wus kabanjur ngraman nalika Sang Prabu jengkar saka kraton.
Rèhning perang iki nganti suwé dadi nganakaké kapitunan akèh lan karusakan
gedhé, awit teluk telukan ing tanah sabrang banjur padha wani mbangkang wus
ora gelem kabawah Majapait.
Tataning kawula iya banjur rusak. Prakara patèn pinatèn wis dadi lumrah.
Akèh wong main lan adu jago totohané gedhéni.
Ing tahun 1428 - 1447 kang jumeneng nata ratu putri jejuluk Retna Dewi Suhita,
putrané Prabu Wikramawardhana saka garwa paminggir.
Terusé banjur banjur Prabu Kertawijaya (1447 - 1452) lan manèh Prabu Bhra
Hiyang Purwawisyesa (1456 - 1466), Pandan Salas (1446 - 1468), banjur Prabu
Bhrawijaya V (1468 - 1478).
Mungguh babade ratu ratu kang wekasan iki ora terang, mulané ora disebutaké.
Ana ratu ing nagara Keling (salor wétané Kedhiri, sakidul kuloné Surabaya)
jejuluk Prabu Ranawijaya Giridrawardhana ngelar jajahan nelukaké Jenggala,
Kedhiri lan uga mbedhah Majapait (tahun 1478).
Bedhahè Majapait iku kuthané ora dirusak, awit ing tahun 1521 lan 1541 nagara
Majapait isih kecrita kutha kang gedhé.
Suwé suwé kutha Majapait dadi rusak, awit wong wongé kang ora seneng
kaerèh ing kraton liya, padha genti genti ninggal negarané, nglèrèg marang
tanah Bali.
Saiki Majapait mung kari patilasan baé, awujud pager bata tilas mubeng lan tilas
gapura (Candhi Tikus, Bajang Ratu).
Isih sajroning jaman Majapait, agama Islam wis mlebu saka sathithik, saya suwé
saya bisa ngalahaké dayaning agama Indhu ana ing Jawa Wétan.

Mungguh kaananing tanah Sundha ing wektu iku ora pati kasumurupan.
Sawisé krajan Tarumanagara dhèk abad 4 lan 5, mung ana kang kacarita krajan
Sundha ing tahun 1030 nagarané kira kira ing Cibadhak.
Enggoné ora ana wong manca kang mlebu mrono, marga saka kèhing bajag
kang padha nganggu gawé ing sauruting pasisir.
Ing Priyangan sisih wétan ana krajané aran Galuh, kang ngadegaké ayaké ratu
aran Pusaka, ratu liyané jejuluk Wastukencana lan Prabu Wang(g)i.
ing tahun 1433 Sang Ratu Dewa iya Raja Purana, ngadegaké kutha anyar aran
Pakuan (Batutulis).
Karajan iki aran Pajajaran. Tulisan kang ana ing watu kono nerangaké manawa
Sang Prabu yasa segaran.
Pajajaran semuné krajan rada gedhé lan ngerèhaké Cirebon barang.

Pérangan Kang Kaping Pindho


Babad Tanah Jawa Wiwit Adegé
Karajan Karajan Islam lan Tekané Bangsa Europa tumekané Gempale Karajan
Mataram lan Ambruké Vereenig de Oost indische Compagenie (VOC)
tahun 1500 - 1799

09 Pérangan Kang Kaping Pindho


Bab 1
Karajan Demak lan Karajan Pajang
+/- tahun 1500 - 1582

Wiwitané ing Tanah Jawa ana agama Islam ing antarané tahun 1400 - 1425.
Ing tahun 1292 ing tanah Perlak ing pulo Sumatra wis ana wong Islam; ing tahun
1300 ana wong Islam manggon Samudra Paséi. Ing pungkasané abad kang ping
14 ing Malaka iya wis ana wong Islam.
Tekané padha saka Gujarat. Saka Malaka kono agama Islam mencar marang
Tanah Jawa, tanah Cina, Indhiya Buri lan Indhiya Ngarep.
Kang mencaraké agama Islam ing Tanah Jawa dhisike yaiku sudagar Jawa saka
Tuban lan Gresik, kang padha dedagangan ing Malaka, padha sinau agama
Islam, dadiné Islam terkadhang sok kepeksa.
Sudagar sudagar jawa mau padha bali marang Tanah Jawa Wétan, sudagar
Indhu lan Pèrsi uga ana sing teka ing kono lan nuli mencaraké agama Islam
marang wong wong.
Sing misuwur yaiku: Maulana Malik Ibrahim (wong Persi?), séda ana ing Gresik
ing tahun 1419, nganti saiki pasareané isih.

Bareng kuwasané karaton Majapait saya suwé saya suda, para bupati ing pasisir
rumangsa gedhé panguwasané, wani nglakoni sakarep karep.
Para bupati mau lumrahè wis padha Islam wiwit tumapaking abad kaping 16
(tahun 1500 - 1525),
Jalaran saka iku kerep baé perang karo para raja agama Indhu kang manggon
ing tengahing Tanah Jawa.
Miturut carita: Sang Prabu Kertawijaya ing Majapait iku wis tau krama karo putri
saka ing Cempa (tanah Indhiya Buri).
Putri mau kapernah ibu alit karo Radèn Rahmat utawa Sunan Ngampel
(sacedhaké Surabaya).
Sunan Ngampel kagungan putra kakung siji, asma Sunan Bonang, lan putra putri
siji, asma Nyai Gedhé Malaka.
Nyai Gedhé Malaka iku marasepuhé Radèn Patah utawa Panémbahan Jimbun,
yaiku kang sinebut: Sultan Demak kang kapisan.
Sunan Ngampel lan Sunan Bonang iku dadi panunggalané para wali.
Para wali mau kang misuwur: Sunan Giri (sakidul Gresik), ana ing kono yasa
kedhaton lan mesjid; Ki Pandan Arang (ing Semarang) lan Sunan Kali Jaga (ing
Demak).
Ing tahun 1458 ing Demak wis ana mesjid becik.

Padha padha bupati ing pasisir pati Unus iku kang kuwasa dhéwé.
Pati Unus uga kasebut Pangéran Sabrang Lor.
Iku putrané Radèn Patah utawa Panémbahan Jimbun.
Ing tahun 1511 Pati Unus mbedhah Jepara,
Ing tahun 1513 nglurugi Malaka.
Enggoné tata tata arep nglurug mau nganti pitung tahun lawasé.
Lan bisa nglumpukaké prau kèhé nganti sangang puluh lan prajurit 12.000,
apadéné mriyem pirang pirang.
Nanging panémpuhé bangsa Portegis ing Malaka nggegirisi, nganti Pati Unus
kapeksa bali lan ora oleh gawé.
Pati Unus ing tahun 1518 uga ngalahaké Majapait nanging Majapait dhèk
samana pancèn wis ora gedhé. Kuthané ora dirusak, mung pusaka kraton banjur
digawa menyang Demak sarta Pati Unus ngaku nggentèni ratu Majapait.
Ing tahun 1521 Pati Unus séda isih enèm lan ora tinggal putra.
Kang gumanti rayi let siji yaiku Radèn Trenggana, jalaran rayiné tumuli:
Pangéran Sekar Séda Lèpèn, wis disédani putrané radèn Trenggana, kang aran
Pangéran Mukmin.
Sajroning jumenengé Sultan Trenggana (tahun 1521 - 1550) karaton Demak
kuwasa banget, nguwasani Tanah Jawa Kulon, ngerèh kutha kutha ing pasisir lor
lan uga mbawahaké jajahan Majapait, sarta karaton Supit Urang (Tumapel) uga
banjur kapréntah ing Demak. Déné Blambangan iku bawah Bali.
Pelabuhan bawah Demak akèh sing ramé, kayata: Jepara, Tuban, Gresik lan
Jaratan.
Gresik lan Jaratan iku sing ramé dhéwé, wong kang manggon ing kono luwih
23.000.
Ing tahun 1546 Sunan Gunung Jati kalawan Sultan Trenggana arep mbedhah
Pasuruwan.
Kutha Pasuruwan banjur kinepung ing wadya bala, nanging durung nganti
bedhah, pangepungé diwurungaké, jalaran Sultan Trenggana séda cinidra
déning sawijining punakawan santana, kang mentas didukani.
Putrané Sultan Trenggana akèh. Putra putriné padha krama oleh priyayi gedhé
gedhé.
Ana sing krama oleh bupati ing Pajang, kang asma: Adiwijaya, yaiku Mas Krèbèt,
Ki Jaka Tingkir utawa Panji Mas.
Putrané Sultan Trenggana loro: Pangéran Mukmin utawa Sunan Prawata, lan
Pangéran Timur, kang ing besuké dadi adipati ing Madura.
Sunan Prawata iku kang nyedani Pangéran Sekar Séda Lèpèn.
Ing semu putrané Pangéran Sekar Séda Lèpèn kang asma Arya Panangsang
arep malesaké sédané kang rama.
Sakawit Arya Panangsang nyedani Pangéran Mukmin sagarwané, nuli putra
mantuné Sultan Trenggana, ora oleh gawé, malah Arya Panangsang bareng
dipapagaké perang, kalah nemahi pati.
Adiwijaya banjur nguwasani Tanah Jawa: amboyong pusaka kraton menyang
Pajang lan nuli dijumenengaké Sultan déning Sunan Giri.
Nalika Adiwijaya jumeneng ratu ana ing Pajang, blambangan lan Panarukan
kabawah ratu agama Syiwah ing Blambangan, kang uga mbawahaké Bali lan
Sumbawa (tahun 1575).
Jajahan jajahan ing Pajang kapréntah ing pangéran (adipati) yaiku: Surabaya,
Tuban, Pati, Demak, Pemalang (Tegal), Purbaya (Madiyun), Blitar (Kedhiri),
Selarong (Banyumas), Krapyak (Kedhu sisih kidul kulon, sakuloné bengawan
Sala.
Ana ing tanah Pasundhan karaton Pajang mèh ora duwè panguwasa, jalaran ing
tahun +/- 1568 tanah Banten dimerdikakaké déning Hasanuddin, dadi tanah
kasultanan.

10 Pérangan Kang Kaping Pindho


Bab 2
Karajan Mataram Nalika Jumenengé Sénapati
(tahun 1582 - 1601)

Ana wong linuwih sinebut Kyai Gedhé Pamanahan, asalé mung wong lumrah
baé.
Jalaran saka akèh lelabuhané marang Sultan Pajang, banjur didadèkaké patinggi
ing Mataram.
Nalika iku tanah Mataram durung reja lan Pasar Gedhé, padunungané Kyai
Pamanahan mau isih awujud désa.

Putrané Kyai Gedhé Pamanahan kang asma Sutawijaya utawa Radèn Bagus,
utawa Pangéran Ngabèhi Loring Pasar iku dipundhut putra angkat déning Sultan
Pajang lan nganti diwasa tansah ana ing kraton , dadi mitrané Pangéran Pati
yaiku Pangéran Banawa.
Ing tahun 1575 Sutawijaya gumanti kang rama ana ing Mataram, oleh jejuluk
Sénapati Ing Ngalaga Sahidin Panatagama.
Panémbahan Sénapati (Sutawijaya) mau banget ing pangarahé supaya bisa
jumeneng ratu.
Ing sasi Mulud ora ngadhep marang Pajang, lan Pasar Gedhé didadèkaké
bètèng, ndadèkaké kuwatiré Sultan Adiwijaya.
Kelakon ora suwé banjur peperangan, Adiwijaya kalah lan ing tahun 1582 séda
jalaran karacun.
Pangéran Banawa ora wani nglawan Sénapati.
Sénapati banjur ngaku jumeneng Sultan, sarta pusakaning kraton kaelih marang
Mataram.
Sénapati ngerèhaké Mataram ing tahun 1586 - 1601.
Jajahan jajahan karaton Pajang kang wis kasebut ndhuwur kaerèhaké ing
Mataram kanthi ngrekasa banget.
Sénapati kepeksa kudu kerep perang, kayata: perang karo Panaraga, Madiyun,
Pasuruwan lan luwih luwih karo Blambangan.
Ewadéné Blambangan iku ora bisa kalah babar pisan. Karo Sénapati memitran.
Banten arep ditelukaké, nanging ora bisa kalakon.
Galuh pineksa karèh Mataram.
Ing nalika iku akèh kutha kutha pelabuhan kang ramé, padha ditekani wong
Portegis, ora lawas wong Walanda iya padha nekani ing kono.
Dedagangané mrica, pala, cengkèh, kapas lan barang barang liyané akèh,
nanging bab kawruh lan kagunan ora pati diperduli.
Ing tahun 1601 Sénapati séda, kang gumanti putra Mas Jolang. Pasaréyan
Sénapati nunggal kang rama ana ing Pasar Gedhé sarta padha pinundi pundhi.

11 Pérangan Kang Kaping Pindho


Bab 3
Karajan Banten lan Cirebon wiwit jumenengé
Sunan Gunung Jati (+/- tahun 1527) tumeka
Sédané maulana Mohamad (tahun 1596)

Ing wiwitané abad kang ping 16 ing Tanah Jawa Kulon ana nagara aran
Pajajaran, Kutha aran Pakuan. Kutha pelabuhan iya duwè, yaiku Banten lan
Sundha Kalapa, nanging dedagangané durung ramé.
Awit saka Malaka ing tahun 1511 kacekel ing bangsa Portegis, para sudagar
Islam padha dedagangan ana ing pasisiré lor Tanah Jawa Kulon.
Ing Banten nuli ana pedagangan gedhé, dagangané mrica.
Ing nalika iku ana wong Paséi (Sumatra), agamané Islam, teka ing Tanah Jawa
Kulon merangi ratu ing Pejajaran nganggo prajurit saka ing Demak.
Wong Paséi mau ing tembéné aran Sunan Gunung Jati, mauné bok menawa
aran Falètèhan.
Iku ipéné Radèn Trenggana. Marga saka pitulungané Radèn Trenggana ing
tahun 1527 bisa mbedhah Sundha Kalapa (Jayakarta utawa Jakarta) lan
Cirebon.
Ing tahun 1552 Sunan Gunung Jati ing Banten digentèni kang putra Hasanuddin.
Déné putra liyané kang asma Pangéran Pasaréan, iku kang nurunaké para
Sultan ing Cirebon.
Falètèhan séda ing tahun 1570 ana ing Cirebon lan disarèkaké ana ing punthuk
Gunung Jati.
Kutha Pakuan bedhahè sawisé tahun 1570. Para wong ing Tanah Jawa Kulon
banjur dipeksa manjing agama Islam.
Nalika Falètèhan séda kang jumeneng Sultan ing Cirebon Panémbahan Batu,
yaiku buyute Falètèhan mau.
Hasanuddin iku krama oleh putriné Pangéran Trenggana.
Bareng Pangéran Trenggana séda, karaton Banten banjur madeg dhéwé (tahun
1568).
Hasanuddin uga nelukaké Lampung, sarta raja Indrapura ngaturaké putrané putri
minangka garwa.

Kutha Banten dadi ramé lan pelabuhané gedhé. Ananging kutha urut pasisir ana
750 M, déné ujuré marang dharatan +/- 1600 M.
Prau prau bisa lumebu ing kutha metu ing kali kang nrajang kutha mau; saiki
kaliné wis waled, jalaran wedhi.
Kutha mau kang sasisih dipageri lan ana gerdhu gerdhuné panggonan prajurit
jaga tuwin panggonan mriyem.

Hasanuddin séda ing tahun 1570, banjur kasarèkaké ing Sabakingking.


Kang gumanti kaprabon Pangéran Yusup.

Nalika iku wong Banten yèn nandur pari lumrahè ana ing pategalan (ladhang).
Sawisé dienèni pariné banjur ora ditanduri manèh, wong wongé banjur golèk
panggonan liya digawé ladhang, yèn wus panèn iya diberakaké manèh, enggoné
nanduri iya kaya kang wis mau.
Sing kaya mangkono iku tumraping lemahé mesthi baé ora becik.
Bareng Pangéran Yusup jumeneng Sultan, wong wong padha didhawuhi
sesawah.
Jalaran saka iku wong tani iya kapeksa milih panggonan sing tetep, ora pijer
ngolah ngalih, iku njalari anané désa désa.
Pangéran Yusup uga dhawuh yasa bendungan lan susukan susukan perlu
kanggo ngelebi sawah.

Sing mbedhah kutha Pakuan iku iya Pangéran Yusup.


Ratu ing Pakuan séda, para luhur ing kono kapeksa mlebu Islam.
Sawènèh ana sing ngungsi marang pagunungan ing Banten Kidul; wong Beduwi
iku turuné wong wong sing padha ngungsi mau.
Pangéran Yusup lumrahè karan Pangéran Pasaréyan (tunggal jeneng karo kang
paman ing Cirebon).
Ing sasédané Pangéran Yusup, Pangéran Jepara utawa Pangéran Arya anjaluk
jumeneng Sultan, nanging ora bisa kelakon, jalaran saka setyané Mangkubumi
(Patih) ing Banten marang Pangéran Yusup.
Kang gumanti Pangéran Yusup, putra kang sisilih Maulana Mohamad.
Nalika iku yuswané lagi 9 tahun, mulané nganggo diembani ing Mangkubumi.
Sing maréntah kutha Jakarta sebutan Pangéran, dhisike Ratu Bagus Angké lan
tumurun marang putra. Kutha mau kinubeng ing pager, ing jeroné pager ana
mesjidé omah gedhé sing didalemi sang Pangéran, alun alun lan pasar.
Iku mau kabèh dumunung ing pusering kutha. Dagangané ora pati ramé kaya ing
Banten. Tanah tanah sakubengé kutha isih kebak buron alas.

Cirebon iku uga ngréka daya bisané mardika saka Banten.


Sultan Cirebon mbawahaké sapérangané tanah Priyangan.
Watesé kang wétan Banyumas, kang kulon Cimanuk (Citarum),.
Bareng sepuhé, Pangéran Mohamad ditresnani ing kawula, jalaran saka mursid
lan wasis.
Sang papatih Jayanagara banget setya marang ratuné.
Nalika iku Sultan Mohamad diaturi nglurugi Palembang déning Pangéran Mas,
wayahè Sunan Prawata,
Sandyan patihé malangi, nanging Sultan Mohamad ngrujuki; kalakon ing tahun
1596 Palembang dilurugi.
Wadyabala ing Banten wis ngira bakal menang, dumadakan nalika Sultan
Mohamad pinuju dhahar, kataman ing mimis, ndadèkaké sédané.
Sédané mau digawé wadi, mung wadyabala diundangi bali marang Banten.
Bareng layon arep disarèkaké, ing kono wong wong lagi ngerti yèn Sultan séda,
lan ing wektu iku uga Pangéran Abulmafachir dijumenengaké Sultan, nanging
yuswané lagi sawatara sasi, mulané pamaréntahing nagara kacekel ing
Mangkubumi, manèh dibantoni ing Nyai Emban Rangkung, kang jalaran saka
wicaksanané karan: Ratu Putri Ing Banten.
Ing pungkasané abad kang ping 16 Banten iku dadi kutha pedagangan kang
ramé dhéwé ing saTanah Jawa.

Wong manca kang ana ing kono: wong Persi, wong Indhu saka Gujarat, wong
Turki, Arab, Portegis, Melayu lan wong Keling.
Wong wong ngamanca mau lumrahè ngingu batur tukon lan juru basa.
Luwih luwih wong Cina, ing Banten akèh banget.
Bangsa Cina manggoné ana sajabaning temboking kutha, lan omahè apik apik.
Panggaotané wong manca padha kulak mrica.
Sing nganakaké dhuwit timbel (kètèng, gobang) ing Banten iya wong wong
ngamanca mau. Dhuwit timbel 1.00 pengajiné +/- 20 sèn.
Pangan ing Banten murah banget, dhuwit 20 sèn baé tumraping wong
ngamanca, wis turah turah. Hawané ing kutha ora becik, jalaran kali Banten ing
biyèné becik, banjur dadi cethèk lan reged.
Dalan dalan padha kurugan ing wedhi, omah omahè isih gedhég, mung
senthongé pasimpenan wis tembok.
Para priyayi padha duwè pakarangan isi wit krambil, sangarepé omah ana
pendhapané lan ing pojoking latar sok ana langgaré.
Kejaba mesjid gedhé lan pamulangan, ing Banten mung ana omah gedhong siji,
yaiku omahè Syahbandar.
Kajaba para luhur, wong kang ngibadah ing Banten ora akèh.
Para luhur padha ngagem sarung sutra, (terkadhang sinulam ing benang emas)
serban lan keris, kenakané diingu dawa, wajané dipasahi lan tinrètès ing mas
utawa disisigi.
Ngagemé sepatu utawa selop mung yèn ana ing dalemé baé.
Pandèrèké ana sing ngampil wadhah kinang, kendhi, payung, lampit lan tumbak.
Para luhur mau (para punggawa) padha milu ngerèh praja.
Ing mangsa perang para prajurit olèh keré, sandhangan lan pangan.
Para punggawa mau padha ngingu batur tukon akèh.
Ing Banten sing nyambut gawé temenan mung para batur tukon, wong cilik
liyané mèh ora nyambut gawé, mulané padha ora kacukupan.
Yèn ana wong ora bisa mbayar utangé, iku banjur dadi batur tukon saanak
bojoné.
Wong kemalingan ing Banten akèh; maling kang kacekel, kena nuli dipatèni.
Wong kang dosa pati, kena nebus dosané sarana mbayar dhendha marang
Sultané.
Yèn ana wong lanang mati, Sultan wenang mundhut anak bojoné wong mau.
Jalaran saka iku akèh wong isih kenomen padha omah omah.
Kuwasané Sultan Banten gedhé banget, nanging prakara nagara lumrahè
dirembug karo para luhur; pangrembugé wayah bengi ana ing alun alun.
Para luhur mau kang kuwasa banget Mangkubumi (patih), laksamana
(panggedhéné prau lautan) lan sénapati.

Ing jaman samana kaanané kutha kutha ing Tanah Jawa kurang luwih iya
mèmper karo kutha Banten iku.

prau_vasco_de_gama
Prauné Vasco de Gama

12 Pérangan Kang Kaping Pindho


Bab 4
Wong Portegis lan Sepanyol
(tahun 1513)
Wiwit jaman Rum mula wong Asia iku wis wiwit lawanan dedagangan lan wong
Europa. Dagangan saka Asia Wétan, kayata: Tanah Indhu, Cina, apadéné
kapulowan Moloko digawa ing kafilah, metu ing Afganistan, Persi, Syrie (Sam),
banjur menyang Egypte (Mesir), jujugé ing Alexandrie.
Dagangan mau saka kono banjur dikirimaké menyang kutha kutha pelabuhan ing
sapinggire Sagara Tengah, kayata: Rum, Vénétie lan Genua; banjur disebaraké
ing nagara liya ing Europa.
Lakuné kafilah saka Hindustan ngrekasa banget, jalaran ana ing dalan kesuwèn,
mangka kerep diadhang ing bégal.
Marga saka iku pametuné tanah Asia ana ing Europa dadi larang banget,
samono uga bumbon saka kapulowan Moloko.
Bareng wong Turki mèlu mèlu gawé kasusahaning kafilah mau, bangsa bangsa
Europa liyané banjur arep mbudi akal bisané oleh dagangan saka tanah Asia
dhéwé ora nganggo metu dharatan, dadi arep ngambah sagara baé.
Nalika abad kang kaping 15 ing tanah Europa wus ana bangsa kang kendel
banget lelayaran, yaiku bangsa Portegis.

Bangsa iku enggoné lelayaran saya suwé saya mangidul, nganti nemu pulo lan
tanah pirang pirang enggon, wasana pasisiré tanah Afrika kang sisih lor kulon
wus kawruhan kabèh.
Ing tahun 1486 ana nakoda bangsa Portegis aran Bartholomeus Dias, bisa tekan
ing pongole buwana Afrika kang sisih kidul dhéwé.

Ing Tahun 1498 kelakon ana nakoda Portegis aran Vasco de Gama tekan ing
Kalikut kutha ing tanah Indhu.

Wong Portegis nuli miwiti lelawanan dedagangan lan wong Indhu, lan
nenelukaké kutha pelabuhan kang ramé ramé ing tanah Indhu kono.
d'Albuquerque kang wus katetepaké jumeneng Prabu anom ing Asia nuli
ngumpulaké prau perang kanggo merangi kutha kutha pelabuhan; Goa, Ormus
lan Malaka genti genti dikalahaké.
Iya jamané d'Alburquerque (tahun 1509 - 1515), iku mumbul mumbule wong
Portegis nguwasani tanah tanah pasisir ing Samodra Indhiya tekan Macao.

Bareng wong Portegis wis bisa manggon lan duwè panguwasa ana ing Malaka,
ing tahun 1513 nuli nakoda aran d'abreu, layar menyang Moloko.
Lakuné nganggo mampir mampir, kayata: menyang Gresik.
Ing wektu samono Gresik wis dadi kutha padagangan gedhé, wong wongé wis
Islam.
Wong Portegis mau ana ing Tanah Jawa Tengah lan Wétan sasat tansah
dimungsuh baé, mung ana ing Panarukan bisa mimitran lan wong bumi, jalaran
wong ing kono isih mardika, durung Islam lan durung kaerèh marang Demak.
Rèhné wong Portegis ana ing Tanah Jawa Tengah lan Wétan tansah ngrekasa
banget, mulané banjur ana kang nyoba arep lelawanan dedagangan lan Banten.
Ing sakawit ana ing Banten ditampani becik, nanging nuli wong Portegis lan
wong Banten kerep cecongkrahan, jalaran padha déné ora percayané.
Wasana enggoné dedagangan wong Portegis kang dipeng ana ing Moloko lan
pulo Timur.
Nalika wong Portegis teka ana ing tanah Indhiya kang anggedhéni laku dagang
ing kepulowan Moloko bangsa Jawa, nanging bareng Malaka bedhah, wong
Jawa kadhesuk soko kono lan saka kapulowan Moloko, banjur karingkes
pasabané, kang anggedhéni genti wong Portegis, malah ing tahun 1522 ing
Ternate wis didegi bètèng, sarta wong Portegis wis prajangjian lelawanan
dedagangan ijèn ijènan (monopolie) lan Sultan ing kono.
Ing tembéné kang dadi dhok dhokané wong Portegis ing Ambon lan Bandha.
Ana ing pulo pulo Moloko lan ing pulo pulo Sundha Cilik sisih wétan wong
Portegis padha mencaraké agama Kristen.
Bareng wong Portegis nemu dalané menyang tanah Indhiya, wong Sepanyol iya
banjur arep nyoba uga menyang tanah Indhiya dhéwé.
Wong Genua aran Christophorus Columbus layar saka Sepanyol mangulon atas
asmané Sang nata ing Sepanyol.
Saka panémuné Chr. Columbus wus tetéla yèn jagad iku bunder kepleng, dadi
yèn saka Sepanyol terus layar mangulon mesthi banjur tekan ing jagad sisih
wétan yaiku enggoné tanah Indhiya.
Yèn saka Indhiya diterusaké mangulon baé, mesthi banjur bali tekan ing
Sepanyol manèh.
Ing tahun 1492 kelakon Chr. Columbus nemu kepulowan kang diarani kapulowan
Indhiya, jalaran pametuné akèh emperé lan tanah Indhiya, nanging ora antara
suwé tetéla yèn kepulowan mau dudu Indhiya, mulané mung banjur diarani
kepulowan Indhiya Kulon.
Mungguh satemené kepulowan Indhiya Kulon iku wewengkoné buwana Amerika.
Saking kepenginé marang kauntungan lan misuwuring jeneng, banjur akèh baé
wong Sepanyol kang napak dalané Chr. Columbus padha layar mangulon ketug
ing Amerika.
Sawisé buwana Amerika kawruhan, nuli ana wong Portegis kang aran
Magelhaen kang nedya menyang Indhiya metu Amerika atas asmané ratu
Sepanyol.
Mangkaté Magelhaen sakancané wong Sepanyol ing tahun 1519 lakuné nurut
pasisiré Amerika sisih kidul, njedul supitan ing saantarané pongol Amerika kang
kidul dhéwé lan pulo Vuurland, saka kono terus ngalor ngulon nrajang Samodra
gedhé, anjog ing kapulowan Filipina.

Wong Sepanyol nuli layar menyang Moloko, anjog ing Tidore.


Sultan Tidore bungah banget, awit bakal olèh lengganan bangsa Europa,
mangka nalika d'Abreu teka ing Ambon diajak lengganan ora gelem, gelemé
mung karo Sultan Ternate.

Sarèhné wong Sepanyol, kancané Magelhaen, kalah santosa karo wong


Portegis, mulané bareng dimungsuh, banjur kapeksa mlayu menyang Jilolo, saka
kono terus layar mangulon, nutugaké enggoné ngubengi bumi, tekané ing
Sepanyol manèh tahun 1522.
Iya wong Sepanyol kang dipanggedhéni Magelhaen iku kang ngubengi bumi
sapisan.

Wong Portegis bareng sumurup ana wong Sepanyol teka, banget panasé, ngudi,
lungané wong Sepanyol saka tanah Indhiya, dadi bangsa loro mau padha
memungsuhan.
Nanging ing tahun 1529 padha bedhami, jalaran watesing jajahan dipastèkaké
déning Kangjeng Paus.

Wiwit tahun 1542 bangsa Sepanyol neluk nelukaké pulo pulo Filipina.
Jeneng Filipina iku kapirit asmané ratu ing Sepanyol (Filips II).
Lan ana ing pulo pulo mau banjur padha mencaraké agama Kristen.

13 Pérangan Kang Kaping Pindho


Bab 5
Tekané Wong Walanda
( tahun 1596)
Ing abad kang kaping 15 ing nagara Walanda bab misaya iwak maju banget
( iwak haring). Iwaké didol sumrambah ing tanah Europa.
Jalaran saka iku lelayarané prau prau momot barang dadi ramé.
Prau prau momotan mau kejaba momot iwak, uga nggawa barang barang liyané,
kayata: mertega, kèju lan laken saka Nederland didol menyang Europa sisih lor
lan kidu

To see the complete text, please view the original source.


NASEHAT SUKMOJATI
Thursday, April 09, 2009, 3:38:00 AM | Herman Adriansyah

Sumber : http://sang-rajawali.blogspot.com/search/label/Nasehat%20SukmoJati

Empat jenis golongan manusia

Wahai para cucuku semua.


Sesuai wangsit yang kuterima secara waskita,
Sang Hyang Esa memberitahuku tentang empat jenis golongan manusia yang
hidup di jagad raya ini.

yaitu :
1. Orang yang tahu dengan semua yang diketahuinya. Ini tergolong manusia
Istimewa. Surganya adalah bertemu Allah dan menjadi wakil Allah di dunia.
2. Orang yang tahu dengan semua yang tidak diketahuinya. Ini tergolong
manusia yang mau belajar dan sedang belajar tentang hidup dan siapa
Tuhannya. Surganya adalah surga yang telah dijanjikan sejauh yang
dipelajarinya.
3. Orang yang tidak tahu dengan semua yang diketahuinya. Ini tergolong
manusia Selamat. Sepanjang hidupnya dia hanya tahu untuk menjalankan hidup
ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Surganya ada di halaman Surga.
4. Orang yang tidak tahu dengan semua yang tidak diketahuinya. Ini tergolong
manusia Sok Tahu. Surganya adalah hidup berdampingan dengan Iblis.

Selemah-lemahnya kamu semua, pilihlah golongan yang ketiga.


Jika kamu ternyata termasuk golongan ke empat, cepat-cepatlah sadar diri dan
bertaubat. Karena jika tidak, bahkan lalatpun enggan untuk mendekat.

Waspadalah ……. !!!

Kesesatan yang nyata

Suatu kali, lewatlah seorang pengelana di depan pondokan sang Panembahan


SukmoJati. Badannya tinggi, tegap, dan tampak guratan-guratan di wajahnya
yang menampakkan sosok manusia yang penuh dengan semangat dan optimis
yang tinggi.

Bertanyalah dia kepada Sang Panembahan.


Pengelana :
“Wahai Panembahan, apakah engkau tahu dimana letak desa TUJUAN ?”
SukmoJati :
“Bila engkau mengikuti jalan yang kau lalui niscaya akan sampai di desa
TUJUAN.”
Pengelana :
“Sudah berapa lama engkau berada di pondokanmu ini ?”
SukmoJati :
“Tujuh belas tahun “
Pengelana :
“Bagaimana aku percaya dengan kamu, sedangkan engkau tidak pernah
meninggalkan pndokanmu selama tujuh belas tahun ?”

Dengan tersenyum Sang Panembahan SukmoJati pun menjawab :


“Wahai angger yang baik rupa. Aku mengenal ada orang yang sangat percaya
pada dirinya, maka dia tidak begitu mudah untuk percaya pada orang lain. Ada
orang yang tidak percaya pada dirinya, maka biasanya dia mudah sekali
mempercayai orang lain. Akan halnya engkau, ternyata engkau sendiri tidak
pernah yakin dengan tujuan perjalananmu. Padahal jalan yang kau lalui hanya
satu arah. Apa lagi yang membuatmu ragu ? Biasanya orang yang tidak percaya
dengan dirinya sendiri, akan mudah percaya dengan orang lain. Sedangkan
engkau tidak. Sesungguhnya engkau tergolong orang yang berada di jalan
kesesatan yang nyata.”

Maka menangislah si pengelana. Lantas ia berkata,"Siapakah engkau wahai


panembahan ?". "Namaku SukmoJati. Carilah arti kata namaku maka engkau
akan mengenal siapa diriku"

Tiga pemuda bertanya, manakah yang sombong ?


Sang Panembahan SukmoJati kedatangan tiga orang pemuda yang bermaksud
untuk menimba "kaweruh" (ilmu hikmah).

Pemuda 1 :
“Wahai Panembahan, siapakah di antara kami yang lebih sombong ?”

Panembahan :
“Aku tak tahu. Mengapa engkau bertanya seperti itu ?”

Pemuda 2 :
“Tak mungkin engkau tidak tahu. Mestinya engkau menjelaskan terlebih dahulu
arti sombong itu apa kepada kami bertiga.”

Panembahan :
“Apakah engkau tahu, anak muda ?”, sambil wajahnya menghadap ke Pemuda
2.

Pemuda 2 :
“Ya, pasti. Sombong adalah dengan sengaja menunjukkan dan memberitahukan
kemampuannya kepada orang lain untuk menampakkan betapa ia memiliki
kelebihan.”

Panembahan :
“Bagaimana dengan kamu, anak muda ?”, sambil memandang pemuda 1.

Pemuda 1 :
“Aku tidak tahu. Yang jelas, aku selalu melakukan apa yang harus kulakukan dan
aku mampu melakukannya. Aku tidak akan melakukan sesuatu selama aku tidak
mampu melakukannya. Apakah aku sombong ?”

Pertapa tersenyum, lalu bertanya kepada pemuda 3 :


“Bagaimana dengan kamu, anak muda ?”

Pemuda 3 tidak menjawab hanya tersenyum kecil.

Panembahan :
“Sekarang aku tahu siapa yang lebih sombong di antara kalian bertiga. Dia
adalah yang berlagak tidak tahu apa-apa, tetapi di dalam hatinya merasa lebih
tahu dan lebih mampu di antara yang lain. Inilah kesombongan yang nyata….!!!”

Kawan dan Musuh Sang SukmoJati


Sang Panembahan SukmoJati sedang terlibat diskusi serius di pondokannya
yang tampak sangat reot walau sebenarnya kokoh luar biasa dalam hal
menghadapi keganasan alam di sekitarnya. Kawan diskusinya adalah Kyai Resik
Rogo.

“SukmoJati, bagaimana engkau memenuhi kebutuhan hidupmu selama ini ?”.


SukmoJati menjawab,”Dengan apa yang ada di seluruh anggota tubuhku
pemberian Sang Hyang Esa untuk dapat mengambil manfaat apapun yang ada
di sekitarku, sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia”.

“Bagaimana engkau hidup sendirian di rimba belantara ini ?”, kata Kyai Resik
Rogo melanjutkan. Sambil tersenyum SukmoJati meneruskan,”Aku tidak
sendirian. Aku selalu dikelilingi oleh kawan-kawan dan musuh-musuhku”.
“Siapakah gerangan mereka ?”, lanjut Kyai Resik Rogo penasaran.

Seketika suasana menjadi hening, mencekam, baik SukmoJati maupun Resik


Rogo sama-sama terdiam. Tiba-tiba terdengarlah suara tanpa diketahui asalnya
yang mengulas bait-bait seperti berikut :

Duhai Sang Hyang Esa


Tiada mampu satu ruh-pun mengelak dari janji atas-Mu di alam arwah

Di dalam rahim sang ibu, aku ditemani oleh keempat pengiringku …..
• Keselamatan
• Keyakinan
• Ketuhanan
• Pengenalan
Setiap dua darinya bisa menjadi kawan atau musuhku kelak, entah yang mana

Sebelum aku dikeluarkan dari gua garba sang bunda,


Sang Hyang Esa pun memberiku empat bekal hidup di dunia,…..
• Rejeki yang dibagikan
• Rejeki yang dijamin
• Rejeki yang dicari
• Rejeki yang diutamakan
Setiap dua darinya bisa menjadi kawan atau musuhku kelak, entah yang mana

Saat aku dikeluarkan dari gua garba sang bunda,


Sang Hyang Esa pun menghantarkan diriku dengan empat pengiring :
• Air ketuban
• Air seni
• Ari-ari
• Darah segar
Setiap dua darinya bisa menjadi kawan atau musuhku kelak, entah yang mana
Dan setiap bagiannya, terkandunglah empat unsur alam :
• Air
• Api
• Angin
• Tanah
Setiap dua darinya bisa menjadi kawan atau musuhku kelak, entah yang mana

Selama aku berkelana di dunia fana ini, Sang Hyang Esa selalu mengutus empat
pengiring utama bagiku :
• Petunjuk
• Kesejahteraan
• Peringatan
• Kematian
Setiap dua darinya bisa menjadi kawan atau musuhku kelak, entah yang mana

Selama aku menempuh jalan ketuhanan untuk dapat pulang kembali ke


kampung halaman yang abadi, Sang Hyang Esa juga membekali diriku dengan
empat mustika :
• Akal
• Hati
• Pancaindera
• Jiwa
Setiap dua darinya bisa menjadi kawan atau musuhku kelak, entah yang mana

Sungguh dunia ini tiada pernah sepi dari mereka semua, bahkan lebih ramai
dibandingkan dengan hiruk pikuk kesibukan seluruh manusia di bumi ini.

Panembahan Sukmojati tersenyum


Sang Panembahan Sukmojati sedang beradu pengetahuan dengan seorang
anak muda dari “negeri seberang”. Mereka berdua sangat serius terlibat di
perdebatan seputar makna “pemimpin”. Entah apa tujuan mereka berdua. Saling
mengukur pengetahuan, saling mengalahkan, saling bertukar pengetahuan, atau
hanya sekedar mengisi waktu luang mereka. Yang jelas mereka berdua benar-
benar serius melakukannya, hingga di kening mereka mengucur deras keringat
seperti banjir.

Anak muda :
Ki Sukmo, menurutku tidak satupun di dunia ini sekarang yang pantas menjadi
pemimpin.

Sukmojati :
Mengapa begitu ? Tidakkah Allah telah mengutus manusia untuk menjadi
pemimpin bagi jagadraya beserta isinya ini ?

Anak muda :
Itu memang benar. Tetapi manusia mana yang pantas untuk memimpin
jagadraya sekarang ini. Sedangkan memimpin diri mereka sendiri saja mereka
seolah hampir tak sanggup.

Sukmojati :
Mengapa begitu ? Perlukah manusia memimpin dirinya sendiri ? Padahal yang
namanya pemimpin pastilah ada yang dipimpin. Akan halnya dengan manusia
terhadap dirinya sendiri, siapa yang memimpin siapa yang dipimpin ?

Anak muda :
Menurut Ki Sukmo sendiri bagaimana ?

Sukmojati :
Hmm…menurutku, pemimpin mestilah yang memiliki kemampuan untuk
memimpin, dan yang dipimpin mestilah yakin dan percaya dengan yang
memimpinnya. Akan halnya manusia terhadap dirinya sendiri, tergantung
bagaimana manusia itu sendiri yang harus mampu melihat dirinya sendiri, bagian
mana dari dirinya yang layak untuk memimpin dirinya sendiri, dan bagian mana
dari dirinya yang harus direlakan untuk dipimpin oleh bagian diri yang lain.

Anak muda :
Ringkasnya bagaimana Ki Sukmo ? Menurut sampeyan, bagian mana dari diri
kita yang layak untuk memimpin dan yang harus rela untuk dipimpin ?

Sukmojati :
Hmm…agak sukar aku menjawabnya. Karena setiap orang akan berbeda-beda
jawabannya untuk hal ini.

Anak muda :
Begitu susahnya kah Ki Sukmo untuk menentukan siapa pemimpin dan siapa
yang dipimpin dari diri Ki Sukmo sendiri ? Tidak kah dengan begitu
sesungguhnya adalah cermin bagi Ki Sukmo sendiri bahwa tidak ada satupun
dari diri Ki Sukmo yang berhak menjadi pemimpin dan yang harus dipimpin ?

Sukmojati :
Hmmm….anak muda. Jika memang begitu adanya, maka sia-sialah aku ini
dilahirkan ke bumi. Andai tidak ada di bagian diriku ini yang pantas menjadi
pemimpin bagi bagian diriku yang lain, maka pastilah seluruh bagian diriku ini
wajib menyatakan diri untuk siap dipimpin, jika aku masih berguna. Dan secara
hakiki, mestilah pemimpin itu berawal dari yang sudah terbiasa dipimpin.

Anak muda :
Nah….ini yang aku suka. Diri kita ini, jika tidak ada yang pantas untuk memimpin
maka pastilah wajib untuk siap dipimpin, jika masih ingin berguna. Dan
pemimpin, pastilah bermula dari yang terbiasa untuk dipimpin. Dengan alasan
itulah Ki Sukmo, aku berani mengatakan bahwa sekarang ini tidak ada lagi
manusia yang pantas menjadi pemimpin bagi yang lain, apalagi bagi seluruh isi
jagadraya ini. Karena manusia sekarang, apapun alasannya, mereka tidak siap
bahkan tidak mau untuk dipimpin. Apalagi menjadi pemimpin ?

Sukmojati :
Bagaimana dengan dirimu sendiri anak muda ?

Anak muda :
(Sambil menangis …..). Ki Sukmo, aku kemari untuk berdebat denganmu,
sesungguhnya adalah wujud dari kegundah-gulanaan diriku selama ini. Aku
merasa gagal untuk menjadi manusia yang siap dipimpin dan diperintah oleh
Sang Pencipta. Setiap aku mengkaji diriku, kemudian aku mencoba
melakukannya, setiap itu pula aku sedih. Apakah yang kulakukan ini sudah
benar-benar yang dikehendaki oleh Sang Pencipta.

Ki Sukmojati terdiam seribu bahasa. Tidak berapa lama ia tersenyum. Tanpa satu
patah katapun yang keluar dari mereka berdua. Sisa waktu di malam itu
dihabiskan oleh mereka berdua dengan menikmati satu ceret kopi panas dan
sepanci pisang goreng. Hingga waktu memerintahkan mereka berdua untuk
saling berpisah.
Jenis pemimpin menurut Ki Sukmojati
Sukmojati sedang asyik duduk di beranda padepokannya menjelang tengah
malam tiba. Entah darimana asalnya, tiba-tiba terdengar suara memanggilnya.
“Sukmojati…!!! Bicaralah engkau dengan dirimu sendiri. Sampaikan apapun
pengetahuanmu tentang manusia. Pantaskah engkau menjadi manusia, hingga
engkau harus menerima amanah Allah untuk menjadi khalifah bagi jagad-Nya “.

Sukmojati tersentak. Ia terdiam sejenak. Kemudian tanpa basa-basi lagi, tanpa


mencari siapa dan darimana sumber suara itu, maka berbicaralah Sukmojati
sendirian seperti orang gila.

Pemimpin, pastilah ada yang dipimpinnya. Manusia, selama belum mampu


memimpin dirinya sendiri, mestilah sadar dan siap untuk dipimpin oleh
sesamanya.
Menurutku, ada berbagai jenis pemimpin di dunia ini.

Pemimpin Gila
Manusia yang merasa menjadi pemimpin, padahal tidak ada satupun di
sekitarnya yang sedang dipimpinnya. Dia memimpin seolah ada yang
dipimpinnya, seolah ada yang mau dipimpinnya, seolah ada yang menuruti
apapun perintahnya. Padahal tidak ada sama sekali.

Pemimpin Ambisi
Dia menjadi pemimpin oleh karena keinginan dirinya dan didukung oleh segala
kekuatan yang dimilikinya. Maka dia hanya menjadi pemimpin bagi kekuatannya.
Orang-orang yang ada di sekitarnya hanyalah sekedar makhluk hidup yang
menerima akibat apapun dari kekuatan yang dimilikinya.

Pemimpin Lupa Diri


Dia dinyatakan sebagai pemimpin, tetapi lebih banyak melakukan segala
sesuatu sesuka dirinya. Dia lupa bahwa ada orang-orang di sekitarnya yang
perlu diperhatikan dan dipimpinnya. Dia lupa bahwa dirinya masih ada dan dilihat
dengan jelas oleh banyak orang apapun yang dilakukannya.

Pemimpin Bodoh
Dia dinyatakan sebagai pemimpin, tetapi lebih banyak menyerahkan tugas-tugas
kepemimpinannya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Dia hanyalah seperti
boneka yang dipajang di etalase untuk hanya sekedar dilihat dan dikomentari
cara penampilannya.

Pemimpin Lemah
Dia dinyatakan sebagai pemimpin, tetapi selalu ragu dalam melakukan segala
sesuatu sehingga selalu tergantung pada orang-orang yang dipimpinnya. Dia
seperti seorang pelayan bagi pelayannya. Sedangkan pelayanlah yang jadi
jurangannya.
Pemimpin Terpaksa
Dia dinyatakan sebagai pemimpin oleh karena situasi dan kondisi yang
memaksanya untuk mau tidak mau menjadi pemimpin. Dalam perjalannya, bisa
jadi rasa tanggungjawab dirinya sebagai pemimpin akan selalu bertabrakan
dengan penyebab dirinya menjadi pemimpin.

Pemimpin Sejati
Dia tidak memerlukan pengakuan orang lain sebagai pemimpin. Dia selalu
diperlukan pada waktu dan keadaan yang memang seharusnya. Dia
mengutamakan orang lain pada saat sedang memimpin, dan mengurus dirinya
sendiri pada saat sedang tidak memimpin.

“Sukmojati ….!!!”, terdengar lagi suara misterius itu. “Menurutmu, jenis pemimpin
mana sekarang ini yang lebih banyak ….!!!!”.

“Pemimpin Gila….!!!”, jawab Ki Sukmojati.

Wallahu a’lam bissawaab.

Sukmojati mengulas "Ilmu"


Panembahan Sukmojati sedang duduk di ruang pendopo Kelurahan. Ki Sukmo
diminta oleh Ki Lurah untuk memberikan sedikit wejangan kepada para pamong
desa tentang apapun yang berguna bagi mereka dalam mengemban amanat
rakyat. Tampak di situ Jogoboyo, Carik, Jogotirto, Kepetengan, dan lain-lain
petinggi desa. Sejenak Ki Sukmojati berdiam diri. Para pamong pun berdiam diri,
menunggu dengan sabar keluarnya petuah dari Ki Sukmo, yang dikenal sebagai
"sesepuh" Desa Langitan.

"Assalaamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh", Ki Sukmo membuka


pembicaraan. Kontan dijawab oleh semua yang hadir,"Wa alaikum salaam
warahmatullaahi wabarakaatuh". Lanjut Ki Sukmo,"Sang Hyang Murbhen
Dhumadhi menciptakan alam semesta ini adalah agar Dia dikenal oleh semua
ciptaan-Nya. Maka jadilah jagad raya ini beserta isinya. Manusia sebagai ciptaan
yang paling sempurna, mendapat titah untuk memerintah di Kerajaan jagad Raya
ini atas amanah Sang Hyang Welas Asih, agar menjadi rahmat bagi alam
jagadnata ini. Diberilah manusia bekal berupa AKAL, yang mengandung segala
bekal yang diperlukan manusia untuk memerintah Kerajaan Jagadraya ini."
Kemudian Ki Sukmo terdiam.

Seluruh yang hadir pun ikut terdiam. Begitu lamanya Ki Sukmo terdiam, hingga
tampak beberapa dari yang hadir mulai tak sabar. Sepertinya Ki Rogosukmo,
petinggi keamanan desa yang dikenal digdaya dan berkanuragan tinggi, adalah
yang paling tidak sabar. Kontan saja dia berkata,"Maaf Ki Sukmo. Mengapa tidak
dilanjutkan ?". Ki Sukmo tersenyum. Terjadilah percakapan antar keduanya
dengan disaksikan seluruh yang hadir.

Ki Sukmo :
"Mengapa engkau bertanya seperti itu Ki Rogosukmo ?"

Ki Rogosukmo :
"Ki Sukmo telah membuka wejangan, maka wajarlah kami menanti lanjutannya".

Ki Sukmo :
"Inilah awal hidup manusia di bumi. BERTANYA untuk TAHU, kemudian
MENGERTI"
Mendengar penuturan Ki Sukmo lantas Ki Carik bersuara :

"Ki Sukmo, apakah hidup itu hanya sekedar untuk mengerti ?"

Jawab Ki Sukmo :
"Saat kita mengerti maka berilmulah kita. Wajiblah bagi siapapun yang mengerti
untuk mengamalkannya."

Ki Carik :
"Mengapa kita harus mengamalkan apapun yang kita mengerti ?"

Ki Sukmo :
"Agar kita menjadi beradab. Menjadi manusia yang berbudi luhur dan ber-etika
serta ber-estetika. Maka jadilah kita manusia yang sesungguhnya, yang layak
untuk menjadi pemimpin bagi Kerajaan Jagadraya ini"

Tiba-tiba Ki Lurah pun ikut bertanya :


"Ki Sukmo, aku ini adalah pemimpin desa. Wajarlah bila aku harus lebih
mendalami apa yang engkau wejangkan kepada kami. BERTANYA, lalu tahu,
kemudian MENGERTI adalah proses tercurahnya ILMU. MENGAMALKAN ILMU
adalah agar kita menjadi MANUSIA BERADAB yang ber-ETIKA dan ber-
ESTETIKA. Hanya MANUSIA yang mampu memanusiakan dirinya dengan ILMU
dan AMAL. Apakah seperti itu Ki Sukmo ?"

Ki Sukmo tersenyum sambil berkata :


"Benar Ki Lurah. Itulah yang membedakan kita dengan ciptaan Hyang Jagatnata
yang lain."

Lantas terdiamlah semua yang hadir. Sesaat kemudian seorang pemuda yang
dari tadi ikut mengamati dengan duduk paling belakang, berkata :
Ki Sukmo ...!!! Seperti apakah seharusnya seorang pemimpin yang manusiawi ?"
Ki Sukmo kaget, tapi kemudian menjawab :
"Dia harus ber LOGIKA, ber-ETIKA, dan ber-ESTETIKA ..."
Pemuda :
"Seperti apa pemimpin yang ber-LOGIKA ?"
Ki Sukmo :
"Berpikir sederhana dengan menggunakan akal jernih dan hati bersih. Sebagai
indikatornya adalah mewujudnya perilaku yang ber-etika dan ber-estetika yang
murni. Tidak dibuat-buat ....."

Semua yang hadir manggut-manggut dengan beragam pemahaman yang


ditangkap oleh masing-masing yang hadir.
.......................................................
PRABU JAYA BAYA DAN RAMALANNYA
Thursday, April 09, 2009, 12:58:00 AM | Herman Adriansyah

Prabu Jayabaya raja Kediri bertemu pendita dari Rum yang sangat sakti,
Maulana Ali Samsujen (Maulana Ali Samsuddin). Ia pandai meramal serta tahu
akan hal yang belum terjadi. Jayabaya lalu berguru padanya, sang pendeta
menerangkan berbagai ramalan yang tersebut dalam kitab Musaror dan
menceritakan penanaman orang sebanyak 12.000 keluarga oleh utusan Sultan
Galbah di Rum.

Orang-orang itu lalu ditempatkan di pegunungan Kendenag, lalu bekerja


membuka hutan tetapi banyak yang mati karena gangguan makhluk halus, jin
dsb, itu pada th rum 437, lalu Sultan Rum memerintahkan lagi di Pulau Jawa dan
kepulauan lainnya dgn mengambil orang dari India, Kandi, Siam.

Sejak penanaman orang-orang ini sampai hari kiamat kobro terhitung 210 tahun
matahari lamanya atau 2163 tahun bulan, Sang pendeta mengatakan orang di
Jawa yang berguru padanya tentang isi ramalan hanyalah Hajar Subroto di G.
Padang. Beberapa hari kemudian Jayabaya menulis ramalan Pulau Jawa sejak
ditanami yang kedua-kalinya hingga kiamat, lamanya 2.100 th matahari.

Ramalannya menjadi Tri-takali, yaitu :


I. Jaman permulaan disebut KALI-SWARA, lamanya 700 th matahari (721 th
bulan). Pada waku itu di jawa banyak terdengar suara alam, gara-gara geger,
halintar, petir, serta banyak kejadian-kejadian yang ajaib dikarenakan banyak
manusia menjadi dewa dan dewa turun kebumi menjadi manusia.

II. Jaman pertengahan disebut KALI-YOGA, banyak perobahan pada bumi, bumi
belah menyebabkan terjadinya pulau kecil-kecil, banyak makhluk yang salah
jalan, karena orang yamg mati banyak menjelma (nitis).

III. Jaman akhir disebut KALI-SANGARA, 700 th. Banyak hujan salah mangsa
dan banyak kali dan bengawan bergeser, bumi kurang manfaatnya, menghambat
datangnya kebahagian, mengurangi rasa-terima, sebab manusia yang yang mati
banyak yang tetap memegang ilmunya.

Tiga jaman tsb. Masing-masing dibagi menjadi Saptama-kala, artinya jaman


kecil-kecil, tiap jaman rata-rata berumur 100 th. Matahari (103 th. bulan), seperti
dibawah ini :

I. JAMAN KALI-SWARA dibagi menjadi :


Kala-kukila 100 th, (th. 1-100): Hidupnya orang seperti burung, berebutan mana
yang kuat dia yang menang, belum ada raja, jadi belum ada yang
mengatur/memerintah.
Kala-buddha (th. 101-200): Permulaan orang Jawa masuk agama Buddha
menurut syariat Hyang agadnata (Batara Guru).

Kala-brawa (th. 201 - 300): Orang-orang di Jawa mengatur ibadahnya kepada


Dewa, sebab banyak Dewa yang turun kebumi menyiarkan ilmu.

Kala-tirta (th. 301-400): Banjir besar, air laut menggenang daratan, di sepanjang
air itu bumi menjadi belah dua. Yang sebelah barat disebut pulau Sumatra, lalu
banyak muncul sumber-sumber air, disebut umbul, sedang, telaga, dsb.

Kala-swabara (th. 401-500): Banyak keajaiban yang tampak atau menimpa diri
manusia.

Kala-rebawa (th. 501-600): Orang Jawa mengadakan keramaian2-kesenian dsb.


Kala-purwa (th. 601-700): Banyak tumbuh2an keturunan orang2 besar yang
sudah menjadi orang biasa mulai jadi orang besar lagi.

II. JAMAN KALA-YOGA dibagi menjadi :


Kala-brata (th. 701-800): Orang mengalami hidup sebagai fakir.
Kala-drawa (th. 801-900): Banyak orang mendapat ilham, orang pandai
menerangkan hal-hal yang gaib.
Kala-dwawara (th. 901-1.000): Banyak kejadian yang mustahil.
Kala-praniti (th. 1.001- 1.101): Banyak orang mementingkan ulah pikir.
Kala-teteka (th. 1.101 - 1.200): Banyak oran g datang dari negeri-negeri lain.
Kala-wisesa (th. 1.201 - 1.300): Banyak orang yang terhukum.
Kala-wisaya (th. 1.301 - 1.400): Banyak orang memfitnah.

III. JAMAN KALA-SANGARA dibagi menjadi :


Kala-jangga (th. 1.401 - 1.500): Banyak orang ulah kehebatan.
Kala-sakti (th. 1.501 - 1.600): Banyak orang ulah kesaktian.
Kala-jaya (th. 1.601 - 1.700): Banyak orang ulah kekuatan untuk tulang
punggung kehidupannya.
Kala-bendu (th. 1.701 - 1.800): Banyak orang senang berbantahan, akhirnya
bentrokkan.
Kala-suba (th. 1.801 - 1.900 ) : Pulau Jawa mulai sejahtera, tanpa kesulitan,
orang bersenang hati.
Kala-sumbaga (th. 1.901 - 2.000) : Banyak orang tersohor pandai dan hebat.
Kala-surasa (th. 2.001 - 2.100): Pulau Jawa ramai sejahtera, serba teratur, tak
ada kesulitan, banyak orang ulah asmara.

Ramalan yang ditulis Jayabaya itu disetujui oleh pendeta Ali Samsujen,
kemudian sang pendeta pulang ke negerinya, diantar oleh Jayabaya dan putera
mahkotanya Jaya-amijaya di Pagedongan, sampai di perbatasan. Jayabaya
diiringi oleh puteranya pergi ke Gunung Padang, disambut oleh Ajar Subrata dan
diterima di sanggar semadinya. Sang Ajar hendak menguji sang Prabu yang
terkenal sebagai pejelmaan Batara Wisnu, maka ia memberi isyarat kepada
endang-nya (pelayan wanita muda) agar menghidangkan suguhan yang terdiri
dari :
• Kunir (kunyit) satu akar
• Juadah satu takir (mangkok dibuat dari daun pisang)
• Geti (biji wijen bergula) satu takir
• Kajar (senthe sebangsa ubi rasanya pahit memabokkan satu batang)
• Bawang putih satu takir
• Kembang melati satu takir
• Kembang seruni (serunai; tluki) satu takir

Ajar Subrata menyerahkan hidangan itu kepada sang prabu. Seketika Prabu
Jayabaya menjadi murka dan menghunus kerisnya, sang Ajar ditikamnya hingga
mati, jenazahnya muksa hilang. Endangnya yang hendak laripun ditikamnya pula
dan mati seketika.

Sang putera mahkota sangat heran melihat murkanya Sang Prabu yang
membunuh mertuanya (Ajar Subrata) tanpa dosa. Melihat putera mahkotanya
sedih, sesudah pulang Prabu Jayabaya berkata dengan lemah lembut.

"Ya anakku putera mahkota, janganlah engkau sedih karena matinya mertuamu,
sebab sebenarnya ia berdosa terhadap Kraton. Ia bermaksud mempercepat
berakhirnya para raja di tanah Jawa yang belum terjadi. Hidangan sang Ajar
menjadi perlambang akan hal-hal yang belum terjadi. Kalau kusambut (hidangan
itu) niscaya tidak akan ada kerajaan melainkan hanya para pendeta yang
menjadi orang-orang yang dihormati oleh orang banyak, sebab menurut guruku
Baginda Ali Samsujen, semua ilmu Ajar itu sama dengan semua ilmuku".

Sang prabu anom bertunduk kepala memahami, kemudian mohon penjelasan


tentang hidangan-hidangan sang pendeta dalam hubungannya dengan kraton-
kraton yang bersangkutan.

Sabda Prabu Jayabaya,


"Ketahuilah anakku, bahwa aku ini penjelmaan Wisnu Murti, berkewajiban
mendatangkan kesejahteraan kepada dunia, sedang penjelmaanku itu tinggal
dua kali lagi. Sesudah penjelmaan di Kediri ini, aku akan menjelma Malawapati
dan yang terakhir di Jenggala, sesudah itu aku tidak akan lagi menjelma di pulau
Jawa, sebab hal itu tidak menjadi kewajibanku lagi. Tata atau rusaknya jagad aku
tidak ikut-ikut, serta keadaanku sudah gaib bersatu dengan keadaan di dalam
kepala-tongkat guruku. Waktu itulah terjadinya hal-hal yang dilambangkan
dengan hidangan Sang Ajar tadi. Terdapat pada 7 tingkat kerajaan, alamnya
bergantian, berlainan peraturannya. Wasiatkanlah hal itu kepada anak cucumu di
kemudian hari".
Adapun keterangan tentang 7 (tujuh) kraton itu sbb:

1. Jaman Anderpati dalam jaman Kalawisesa, ibukotanya Pajajaran, tanpa adil


dan peraturan. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa emas. Itulah yang
diperlambangkan dalam suguhan si Ajar berupa kunyit. Lenyapnya kerajaan
karena pertengkaran di antara saudara. Yang kuat menjadi-jadi kesukaanya akan
perang dalam tahun rusaknya negara.

2. Jaman Srikala Rajapati Dewaraja, ibukotanya Majapahit, ada peraturan


negara sementara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa perak. Itulah
diperlambangkan suguhan Ajar berupa juadah. Dalam 100 th. Kraton itu sirna,
karena bertengkar dengan putera sendiri.

3. Jaman Hadiyati dalam jaman Kalawisaya. Disanalah mulai ada hukum


keadilan dan peraturan negara, ibukota kerajaan di Bintara. Pengorbanan-
pengabdian orang kecil berupa tenaga kerja. Itulah yang diperlambangkan dalam
suguhan berupa geti. Kraton sirna karena bertentangan dengan yang memegang
kekuasaan peradilan.

4. Jaman Kalajangga, bertakhtalah seorang raja bagaikan Batara, ibukotanya di


Pajang. Disanalah mulai ada peraturan kerukunan dalam perkara. Pengorbanan-
pengabdian orang kecil berupa segala macam hasil bumi di desa. Itulah yang
diperlambangkan dalam suguhan Ajar berupa kajar sebatang. Sirnanya kerajaan
karena bertengkar dengan putera angkat.

5. Jaman Kala-sakti yang bertakhta raja bintara, ibukotanya Mataram. Disanalah


mulai ada peraturan agama dan peraturan negara. Pengorbanan-pengabdian
orang kecil berupa uang perak. Itulah yang dilambangkan dalam suguhan Ajar
berupa bawang putih.

6. Jaman Kala-jaya dalam pemerintahan raja yang angkara murka, semua orang
kecil bertabiat sebagai kera karena sulitnya penghidupan, ibukotanya di
Wanakarta. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa uang real. Itulah
lambang suguhan yang berupa kembang melati. Kedudukan raja diganti oleh
sesama saudara karena terjadi kutuk. Hilanglah manfaat bumi, banyak manusia
menderita, ada yang bertempat tinggal di jalanan, ada yang di pasar. Sirnanya
Karaton karena bertengkar dengan bangsa asing.

7. Jaman Kala-bedu di jaman raja hartati, artinya yang menjadi tujuan manusia
hanya harta, terjadilah Karaton kembali di Pajang-Mataram. Pengorbanan-
pengabdian orang kecil berupa macam-macam, ada yang berupa emas-perak,
beras, padi dsb. Itulah yang dilambangkan Ajar dengan suguhannya yang berupa
bunga serunai. Makin lama makin tinggi pajak orang kecil, berupa senjata dan
hewan ternak dsb, sebab negara bertambah rusak, kacau, sebab pembesar-
pembesarnya bertabiat buruk, orang kecil tidak menghormat. Rajanya tanpa
paramarta, karena tidak ada lagi wahyunya, banyak wahyu setan, tabiat manusia
berubah-ubah.

Perempuan hilang malunya, tiada rindu pada sanak saudara, tak ada berita
benar, banyak orang melarat, sering ada peperangan, orang pandai
kebijaksanaannya terbelakang, kejahatan menjadi-jadi, orang-orang yang berani
kurangajar tetap menonjol, tak kena dilarang, banyak maling menghadang di
jalanan, banyak gerhana matahari dan bulan, hujan abu, gempa perlambang
tahun, angin puyuh, hujan salah mangsa, perang rusuh, tak ketentuan
musuhnya.

Itulah semua perlambang si Ajar yang mengandung berbagai maksud yang


dirahasiakan dengan endangnya ditemukan dengan Prabu Jayabaya. Saat itu
sudah dekat dengan akhir jaman Kalabendu. Sirnanya raja karena bertentangan
dengan saingannya (maru=madu). Lalu datanglah jaman kemuliaan raja.

Di saat inilah pulau Jawa sejahtera, hilang segala penyakit dunia, karena
datangnya raja yang gaib, yaitu keturunan utama disebut Ratu Amisan karena
sangat hina dan miskin, berdirinya tanpa syarat sedikitpun, bijaksanalah sang
raja. Kratonnya Sunyaruri, artinya sepi tanpa sesuatu sarana tidak ada sesuatu
halangan. Waktu masih dirahasiakan Tuhan membikin kebalikan keadaan, ia
menjadi raja bagaikan pendeta, adil paramarta, menjauhi harta, disebut Sultan
Herucakra.

Datangnya ratu itu tanpa asal, tidak mengadu bala manusia, prajuritnya hanya
Sirullah, keagungannya berzikir, namun musuhnya takut. Yang memusuhinya
jatuh, tumpes ludes menyingkir, sebab raja menghendaki kesejahteraan negara
dan keselamatan dunia seluruhnya.

Setahun bukannya dibatasi hanya 7.000 real tak boleh lebih. Bumi satu jung
(ukuran lebar. kl. 4 bahu) pajaknya setahun hanya satu dinar, sawah seribu
(jung?) hasilnya (pajaknya) hanya satu uwang sehari, bebas tidak ada kewajiban
yang lain. Oleh karena semuanya sudah tobat, takut kena kutuk (kuwalat) ratu
adil yang berkerajaan di bumi Pethikat dengan kali Katangga, di dalam hutan
Punhak. Kecepit di Karangbaya. Sampai kepada puteranya ia sirna, karena
bertentangan dengan nafsunya sendiri.

Lalu ada Ratu (raja) Asmarakingkin, sangat cantik rupanya, menjadi buah tutur
pujian wadya punggawa, beribukota di Kediri. Keturunan ketiganya pindah ke
tanah Madura. Tak lama kemudian Raja sirna karena bertentangan dengan
kekasihnya.

Lalu ada 3 orang raja disatu jaman, yaitu :


1. Ber-ibukota di bumi Kapanasan
2. Ber-ibukota di bumi Gegelang
3. Ber-ibukota di bumi Tembalang.
Sesudah 30 th. mereka saling bertengkar, akhirnya ketiganya sirna semua. Pada
waktu itu tidak ada raja, para bupati di Mancapraja berdiri sendiri-sendiri, karena
tidak ada yang dianggap (disegani).

Beberapa tahun kemudian ada seorang raja yang berasal dari sabrang (lain
negeri). Nusa Srenggi menjadi raja di Pulau Jawa ber-ibukotadi sebelah timur
Gunung Indrakila, di kaki gunung candramuka. Beberapa tahun kemudian
datang prajurit dari Rum memerangi raja dari Nusa Srenggi, raja dari Nusa
Srenggi kalah, sirna dengan bala tentaranya. Para prajurit Rum mengangkat raja
keturunan Herucakra, ber-ibukota di sebelah timur kali opak, negaranya menjadi
lebih sejahtera, disebut Ngamartalaya. Sampai pada keturunanya yang ke tiga,
sampailah umur Pulau jawa genap 210 matahari. Ramalan di atas disambung
dengan "Lambang Praja" yang dengan kata-kata indah terbungkus melukiskan
sifat keadaan kerajaan kerajaan di bawah ini

1. JANGGALA
2. PAJAJARAN
3. MAJAPAHIT
4. DEMAK
5. PAJANG
6. MATARAM KARTASURA
7. SURAKARTA
8. JOGJAKARTA.

Yang terakhir mengenai hal yang belum terjadi ialah :


1. Negara Ketangga Pethik tanah madiun
2. Negara Ketangga kajepit Karangboyo
3. Kediri
4. Bumi Kepanasan, Gegelang (Jipang), Tembilang (Dekat Tembayat)
5. Ngamartalaya

Perlu diterangkan bahwa tidak semua naskah Ramalan Jayabaya memuat


"Lambang Praja". Maka hal ini banyak menimbulkan dugaan, bahwa ini sebuah
tambahan belaka. Demikianlah pokok inti ramalan Jayabaya.

Show all items

Displaying39 / 39

All39New29
Sort by:
List OrderDateTitleAuthor

Filter by category:
http://id-id.facebook.com/agus.suprijanto2http://id-
id.facebook.com/armasa1http://id-
id.facebook.com/bkristanto3http://www.facebook.com/lisa.rahadi1http://www.face
book.com/people/Saut-
Tango/17585363502http://www.facebook.com/people/Tuti-
Sudiarti/14162832522http://www.facebook.com/tuti.sudiarti1
Mark feed as readView feed properties...

Anda mungkin juga menyukai