Anda di halaman 1dari 6

SERIAL PEMBELAJARAN

OLEH : ANIS MATTA, Lc

1. Pahlawan, Pecinta dan Pembelajar


Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang menggerakkan
segenap raga kita untuk menciptakan taman kehidupan yang indah bagi diri kita da
n orang lain. Tapi pembelajaran menuntun kita untuk berjalan dengan cara yang be
nar pada peta jalan yang tepat menuju ke sana.
Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang mendorong kit
a untuk terus-menerus memberi, untuk berkontribusi tanpa henti dalam menciptakan
taman kehidupan yang indah itu. Tapi pembelajaran menuntun kita untuk mengemban
gkan kapasitas diri kita, juga tanpa henti, agar semangat memberi berbanding lur
us dengan kemampuan kita untuk memberi. Sebab mereka yang tidak punya apa-apa, k
ata pepatah Arab, takkan bisa memberi apa-apa.
Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang lahir dari ke
ikhlasan dan ketulusan niat, tumbuh berkembang dalam lingkungan hati yang mulia
dan luhur, mekar dan berbuah dalam rengkuhan jiwa yang baik dan bijak. Maka selu
ruh niatnya adalah kebajikan. Maka segala cintanya adalah ketinggian. Tapi pembe
lajaran membingkai niat baik itu denga cara yang benar dan tepat.
Maka berpadulah ketulusan dengan kebenaran. Maka bertautlah kebaikan dengan kete
patan. Maka menyatulah keluhuran dengan keterarahan. Maka bersamalah ketinggian
cita dengan peta jalan yang terang benderang.
Begitulah pada mulanya pahlawan sejati menapaki tilas sejarah mereka. Mereka men
dengar panggilan sejarah yang diteriakkan oleh pekik nurani mereka. Maka mereka
terbangun, tersadar, lalu bergerak. Lalu datanglah cinta memberi tenaga pada ger
ak mereka. Maka langkah kaki mereka menancap kokoh di tapak sejarah, melaju sece
pat angin, kuat bertenaga bagai badai. Tapi mereka menyadari makna waktu dalam a
ksi mereka; bahwa ada keterbatasan waktu yang tidak bisa mereka kendalikan padah
al cita mereka teramat tingggi; bahwa memberi adalah proses yang tak boleh berhe
nti seperti kompetisi maraton yang mensyaratkan nafas panjang. Mereka memiliki s
umber energi yang dahsyat, tapi mereka juga tahu bagaimana mengelola energi itu
untuk bisa menciptakan karya kehidupan yang maksimal. Mereka menyadari bahwa mer
eka memiliki keterbatasan yang rapuh, tetapi mereka juga tahu bagaimana mensiasa
ti keterbatasan itu untuk bisa tetap bertumbuh sampai ke puncak.

2. Mendaki Sejarah
Di alam batin para pahlawan, pencinta dan pembelajar sejati, hidup selalu dimakn
ai dengan pendakian sejarah. Kita akan sampai ke puncak kalau kita selamanya mem
punyai energi dan rute pendakian yang jelas. Pendakian kita akan terhenti begitu
kita kehabisan nafas dan kehilangan arah. Energi dan rute, nafas dan arah, adal
ah kekuatan fundamental yang selamanya membuat kita terus mendaki, selamanya mem
buat hidup terus bertumbuh.
Semakin tinggi gunung yang kita daki, semakin panjang nafas yang kita butuhkan.
Begitu kita kehabisan oksigen, kita mati. Semakin kita berada di ketinggian sema
kin kita kekurangan oksigen. Itu sebabnya kita harus merawat dan mempertahankan
semangat kepahlawanan kita. Karena dari sanalah kita mendapatkan nafas untuk ter
us mendaki.
Tapi kita perlu rute yang akurat dan jelas. Sebab kesadaran tentang jarak member
ikan kita kita kesadaran lain tentang bagaimana mendistribusikan energi secara s
eimbang dan proporsional dalam jarak tempuh yang harus dilalui dan pada lama wak
tu yang tersedia.
Rute yang jelas dan akurat akan membuat kita jadi terarah. Keterarahan, atau per
asaan terarah, sense of direction, memberi kita kepastian dan kemantapan hati un
tuk melangkah. Pandangan mata kita jauh menjangkau masa depan, menembus tabir ke
tidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian. Kita tahu ke mana kita melangkah, bera
pa jauh jarak yang harus kita tempuh, berapa lama waktu yang kita perlukan. Keti
ka kita menengok ke belakang, atau melihat ke bawah, ke kaki gunung yang telah k
ita lalui, ke lembah ngarai yang terhampar di sana, kita juga tahu jarak yang te
lah kita lalui. Ilham dari masa lalu dan mimpi masa depan terajut indah dan cera
h dalam realitas kekinian.
Rute itu membuat kita menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan jarak dan
waktu. Dalam kesadaran ini fokus kita tertuju pada semua upaya untuk menjadi efi
sien, efektif dan maksimal. Kita menjadi peserta kehidupan yang sadar, kata Muha
mmad Iqbal.
Kesadaran itu manifestasi pembelajaran. Kesadaran itu melahirkan kekhusyukan. Ma
ka begitulah sejak dini benar, tepatnya pada tahun keempat periode Makkah, Allah
menegur keras para sahabat Rasulullah SAW, generasi pertama Islam, untuk tidak
banyak bercanda dan segera menjalani kehidupan dengan kekhusyukan:
Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk mengkhusukkan diri me
ngingat Allah dan (melaksanakan) apa yang turun dari kebenaran itu (Al- Qur an) .

3. Awalnya Pembelajaran, Ujungnya Kesempurnaan


Lelaki buta huruf itu tiba-tiba disuruh membaca. Bukan. Bukan disuruh. Tepatnya
dipaksa. Sampai tiga kali. Dan pecahlah peristiwa itu dalam sejarah manusia; lel
aki buta huruf itu lantas diangkat menjadi nabi, bahkan penutup mata rantai kena
bian hingga akhir zaman.
Begitulah perintah membaca mengawali pengangkatan Muhammad menjadi Nabi. Kelak,
setelah menunaikan tugas kenabian itu selama 23 tahun, atau tepatnya 22 tahun 2
bulan 22 hari, Allah SWT menutup perjuangan beliau dengan satu ayat tentang kese
mpurnaan: Hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu, dan Ku-sempurnakan pula ni
kmat-Ku untukmu dan Aku ridho Islam sebagai agamamu.
Risalah kenabian itu dibuka dengan perintah membaca, dan kelak ditutup dengan pe
rnyataan penyempurnaan dan keridhoan. Awalnya adalah pembacaan. Ujungnya adalah
penyempurnaan. Maka berkembanglah agama terakhir ini dari seorang Nabi menjadi s
eratusan ribu manusia Muslim, dari komunitas kecil para penggembala kambing jazi
rah Arab yang tandus menjadi sebuah peradaban besar yang memimpin kemanusiaan se
lama lebih dari seribu tahun.
Kitab kehidupan ini memang begitu seharusnya dipahami: bukalah ia dengan pembaca
an yang menyeluruh, niscaya engkau akan mengkhatamkannya dengan kesempurnaan. Ji
ka kita belajar lebih banyak di awal kehidupan, niscaya kita akan mencapai kesem
purnaan di penghujung umur, dan menutup mata dengan senyum dalan keridhaan Allah
SWT.
Cara kita menjalani hidup selamanya ditentukan oleh cara kita memahami hidup. Se
perti apa cara kita memahami hidup, seperti itu pula cara kita menjalaninya. Cob
a masuk ke dalam hutan belantara tanpa peta. Pasti tersesat. Bahkan mungkin tida
k bisa keluar. Begitu juga kehidupan. Membaca adalah peta. Makin menyeluruh dan
akurat peta yang kita miliki, makin cepat dan pasti kita sampai ke tujuan.
Diantara pembelajaran dan kesempurnaan, ada satu jembatan emas yang menghubungka
nnya: pertumbuhan. Pertumbuhan adalah adalah jalan menuju kesempurnaan. Mereka b
elajar maka mereka tumbuh. Kesempurnaan adalah ujung hidup yang dicapai dari tap
ak demi tapak kehidupan. Mereka menjadi sempurna karena mereka tidak pernah berh
enti menjadi lebih baik.

4. Peradaban Para Pembelajar


Akal-akal besar itu selalu mampu mengunyah semua masalah zamannya. Tak jarang ba
hkan akal mereka menembus dinding waktu zaman mereka, dan merengkuh semua masala
h yang terjadi berpuluh bahkan beratus tahun sesudah mereka pergi. Bukan karena
ilmu yang datang bagai embun pagi yang diteteskan di atas daun otak mereka maka
mereka tahu semuanya. Bukan, mereka mengunyah semua masalah zaman mereka melalui
upaya memahami yang tidak pernah berhenti. Maka mereka selalu sanggup merespon
semua masalah yang muncul di zaman mereka.
Mereka bukan orang yang tahu segala hal. Tapi mereka adalah pembelajar yang kons
tan yang selamanya dipicu oleh rasa ingin tahu yang tak habis-habis. Maka realit
as menyediakan tantangan. Dan mereka memberikan solusi. Qur an dan hadits sebagai
sumber utama Islam dijaga Allah sepanjang zaman melalui akal-akal besar itu. Al
Qur an dikumpulkan di zaman Abu Bakar lalu ditulis secara formal di zaman Utsman d
an dijadikan sebagai standar bacaan serta digandakan dalam lima mushaf. Ini yang
kemudian dikenal sebagai mushaf utsmani. Dengan begitu kemurnian Al-Qur an terjag
a dari semua bentuk penyimpangan sepanjang masa. Selamanya.
Penjagaan kemurnian Hadist Rasulullah Saw mungkin jauh lebih kompleks. Di sampin
g perlu waktu untuk memisahkan teks-teks Hadist dari teks-teks Qur an karena secar
a lisan keduanya diucapkan oleh lisan yang sama tapi dengan rasa bahasa yang sed
ikit berbeda, juga rentang waktu pengucapannya serta jalur periwayatannya yang r
umit. Tapi ada akal besar di zaman Umar Bin Abdul Aziz, yaitu Imam Al Zuhri, yan
g kemudian ditugasi sang khalifah untuk memulai kodifikasi hadist-hadist Rasulul
lah. Ratusan tahun kemudian dunia ilmu pengetahuan mengabarkan bahwa metode ilmu
hadits ini adalah salah satu warisan pengetahuan Islam yang tidak pernah tertan
dingi oleh semua peradaban lain. Seandainya metode itu dipakai untuk meriwayatka
n sabda-sabda Nabi Isa a.s., atau meriwayatkan para filosof Yunani, mungkin takk
an ada riwayat yang sahih yang sampai kepada kita.
Akal-akal besar itu yang kemudian menjadikan ilmu fiqh sebagai ilmu yang terus m
enerus mengayomi pertumbuhan peradaban Islam, khususnya di era para imam pendiri
mazhab dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad, dari ujun
g abad pertama hingga awal abad ketiga hijrah. Ilmu fiqh telah berkembang menjad
i ilmu pengetahuan yang menjawab semua masalah dalam semua aspek kehidupan. Imam
Syafii bahkan mendirikan ilmu ushul fiqh yang jauh lebih solid dibanding ilmu l
ogika dan filsafat Yunani. Mereka bahkan masih sempat menjawab masalah yang belu
m terjadi. Lalu ketika Imam Abu Hanifah ditanya mengapa mereka melakukan itu, be
liau hanya tersenyum sembari menjawab: Orang berakal menyediakan jawaban sebelum
pertanyaannya datang.
Begitulah peradaban tumbuh dan berkembang di tangan akal-akal besar, yang sebena
rnya juga tidak serba tahu, tapi karena mereka adalah pembelajar sejati. Mereka
selalu ingin memahami segalanya secara lebih baik, maka mereka menjawab tantanga
n zaman mereka secara lebih baik.

5. Kepemimpinan Para Pembelajar


Umar Bin Khattab termenung lama. Lama sekali. Apakah ini kebaikan atau musibah?
Begitu ia bertanya pada dirinya sendiri tentang fenomena kemenangan kemenangan bes
ar yang ia peroleh. Tiba-tiba ia tersadar bahwa eranya terlalu jauh berbeda deng
an era kedua pendahulunya: Rasulullah SAW dan Abu Bakar As-Siddiq.
Di era Umar teritori Khilafah menjadi lebih dari 18 negara kalau dikonversi deng
an era sekarang. Populasi umat Islam juga bertambah begitu pesat. Lahirlah sebua
h masyarakat yang mulitikultur yang sangat besar. Lalu ada kemakmuran dan keseja
hteraan serta kekayaan yang melimpah ruah. Ini semua belum ada di era Nabi dan K
halifah pertama. Itu meresahkan Umar. Apakah ini kebaikan? Atau malah musibah? K
alau ini kebaikan, mengapa ini tidak terjadi pada masa sebelumnya? Kalau ini mus
ibah, Apakah Allah hendak memisahkan aku dari kedua pendahulu?
Ini resah seorang pemimpin yang tidak pernah selesai belajar. Ia bertanya dan te
rus bertanya. Ia berpikir dan terus berpikir. Dan hasilnya nyata. Hasil pembelaj
aranya sekarang menjadi sumber pembelajaran nyata. Hasil pembelajarannya sekaran
g menjadi sumber pembelajaran kita semua. Beliau telah mendampingi Rasulullah SA
W sekitar 18 tahun dan mendampingi Abu Bakar selama 2.5 tahun. Beliau telah bela
jar banyak. Jadi walaupun zaman yang beliau lalui terlalu jauh berbeda, tetapi b
eliau memiliki sumber pembelajaran lapangan selama 20-an tahun dan itu memadai u
ntuk membantu beliau meletakkan dasar-dasar negara baru di Madinah.
Beliau meletakkan dasar-dasar dari konstitusi dan sistem pemerintahan, menata si
stem keuangan negara, memulai pembentukan dan pengorganisasian tentara profesion
al setelah sebelumnya setiap warga negara diharuskan menjadi mujahid dan prajuri
t negara, mengatur strategi ekspansi militer yang kemudian melahirkan futuhat at
au pembebasan-pembebasan besar yang berpuncak pada pembebasan Al-Aqsha, mendistr
ibusi para ulama ke berbagai wilayah, membentuk pemerintahan-pemerintahan daerah
di wilayah-wilayah yang telah dibebaskan.
Itu sebabnya, Rasulullah SAW dan Abu Bakar bersama Umar Bin Khattab selalu dilet
akkan sebagai founding fathers dari Negara Madinah. Suatu saat sang pendiri nega
ra itu berpesan kepada siapapun yang akan menjadi pemimpin: Ta allamu Qobla An Tasu
uduu: Belajarlah sebelum kalian memimpin.

6. Mujahid Badui Penakluk Imperium


Apa penjelasannya, bahwa 3.000 mujahid dari badui-badui gurun jazirah Arab, bera
ni melawan 200.000 pasukan Romawi dalam perang Muktah? Mereka tidak menang, mema
ng, dalam pertempuran yang berlangsung tahun kedelapan hijriah itu. Tiga panglim
a mereka gugur sebagai syuhada; Zaid Bin Haritsah, Ja far Bin Abi Thalib, Abdullah
Bin Rawahah. Ketika Khalid mengambil alih kepemimpinan, yang ia lakukan adalah
mundur teratur untuk menyelamatkan nyawa mujahidin yang tersisa.
Sementara anak-anak melempari mereka dengan batu saat kembali ke Madinah, karena
dianggap melarikan diri, Rasulullah justru menggelari Khalid sebagai Syaifullah
Al Maslul. Pedang Allah yang terhunus. Menyelamatkan nyawa pasukan adalah keput
usan bijak seorang pemberani. Berhasil mundur dari kejaran pasukan sebesar itu a
dalah keahlian tempur seorang jenius perang. Tapi berani melawan pasukan sebesar
itu adalah pesan penting bagi Romawi; pertempuran sudah kita mulai, dan kami ak
an kembali.
Perang Yarmuk adalah saksi kejeniusan perang Khalid. Pertempuran yang terjadi se
kitar enam tahun setelah setelah pertempuran Muktah itu, memang terlalu legendar
is. Bayangkan 36.000 mujahid Muslim melawan 240.000 pasukan Romawi. Gelar Rasulu
llah Saw kepada Khalid jadi kenyataan. Sejak itu Romawi diusir dari wilayah jazi
rah Arab, Syam kemudian Mesir.
Apa penjelasannya, bahwa mujahid Badui itu bisa menaklukkan imperium besar seper
ti Romawi dan Persi? Dalam pendekatan aqidah dan iman, kemenangan itu dapat deng
an mudah ditafsirkan. Tapi dalam pendekatan strategi perang, kita mungkin perlu
mempelajari The Art of War dari Sun Tzu, strategi perang tertua yang ditulis 500
tahun sebelum Masehi dan telah mengilhami China dan Jepang selama 2400 tahun. A
tau The Military Institution of The Romans yang ditulis oleh Vegetius kepada Val
entinian II sekitar tahun 390 M, dan kelak mengawali pengembangan tentara regula
r di Eropa. Atau My Reveries Upon Art of War yang ditulis Jenderal Maurice De Sa
xe tahun 1732 M. Strategi ini merupakan kembangan ide-ide Vegetius dan kelak ban
yak mengilhami Napoleon seperti diurai Stonewall Jackson dalam The Military Maxi
ms of Napoleon. Atau The Secrets Instruction Frederick The Great to His Generals
yang secara kebetulan ditemukan dalam kopor kecil Jenderal Czetteritz tahun 176
0. Atau On War dari Carl Von Clausewitz s tahun 1832. Kedua pemikiran strategi mil
iter inilah yang melatari semua pengembangan strategi perang Jerman.
Kebesaran Mujahid Badui yang telah menaklukkan Imperium Persi dan Romawi itu han
ya mungkin kita pahami dalam kerangka pemikiran-pemikiran strategi perang itu. K
halid tumbuh dalam tradisi perang gerilya yang menjadi ciri perang masyarakat ja
zirah. Tapi ia menguasai cara berpikir tentara regular Romawi yang mengusai pola
perang konvensional dengan alutsista besar sejak 200 tahun sebelumnya. Keteratu
ran adalah ciri pasukan Persi dan Romawi, atau tentara Modern. Ketidakteraturan
adalah ciri pasukan gerilya. Diperlukan waktu untuk menemukan pola dalam ketidak
teraturan itu. Khalid mempelajari keteraturan itu sebagai sebuah kekuatan, tapi
tetap menggunakan pola perang gerilya sebagai kombinasi dari pusat kekuatannya.
Tapi mereka gerilyawan yang agresif. Jadi secara strategi ia unggul. Ia tahu car
a berpikir musuhnya. Tapi musuh tidak tahu keseluruhan cara berpikirnya. Ketahui
lah cara berpikir musuhmu, tapi jangan berpikir dengan cara berpikirnya.

7. Teknologi Jihad untuk Narasi Peradaban


Para penakluk imperium dari jazirah itu menyisakan satu realitas yang lucu. Mere
ka tumbuh di tengah gurun sahara dan tidak bisa berenang. Itulah yang yang jadi
kendala pasukan Muslim saat akan menaklukkan Persia di mana mereka harus menyebe
rangi sungai Eufrat dan Tigris. Dalam waktu singkat kendala itu bisa dilalui. Se
bab itu cuma sungai. Begitu juga ketika pasukan Muslim di bawah komando Amr bin
Ash itu harus menaklukkan Mesir dari kolonialisme Romawi. Sebab masih ada jalur
darat untuk sampai ke sana.
Kendala menjadi lebih besar ketika Syam, Irak dan Mesir sudah ditaklukkan. Sebab
semua ekspansi setelah itu harus melewati laut. Itulah yang menggusarkan Umar b
in Khattab. Itu terlalu berisiko. Apalagi ketika beliau bertanya kepada Amr bin A
sh tentang suasana di atas kapal di tengah laut. Amr yang cerdas dan humoris mel
ukiskan suasana itu dengan cara yang agak dramatis. Bayangkan saja, ada sebatang
pohon yang terapung di atas laut yang berombak, sementara ulat-ulat yang ada da
lam batang kayu itu berusaha untuk tetap bertahan dan tidak jatuh atau terseret
ombak. Begitu juga manusia-manusia yang ada di atas perahu atau kapal.
Umar bin Khattab tentu saja tidak buta dengan dramatisasi dalam deskripsi Amr bi
n Ash itu. Tapi ia toh akhirnya menghentikan semua ekspansi yang harus melewati l
aut. Ada alasan lain memang. Teritori mereka sudah terlalu luas, masyarakat Musl
im yang baru ini juga terlalu multi kultur. Persoalannya terletak pada pengendal
ian. Tapi kemudian kebijakan Umar itu mengalihkan arah ekspansi ke kawasan Asia
Tengah dari arah Irak, sementara ekspansi ke arah Cyprus menuju Konstantinopel d
ihentikan.
Inilaha kemudian yang menjadi pembeda dalam riwayat Umar dan Utsman. Sebab Utsma
n justru melanjutkan ekspansi ke wilayah-wilayah Romawi. Dan itu memicu penemuan
teknologi Maritim dalam sejarah peradaban Islam untuk pengembangan armada laut
pasukan Muslim. Dari situlah mereka berekspansi ke teritori terakhir Mesir, Alex
andria selanjutnya ke Afrika Selatan dan Utara, lalu membebaskan Cyprus dan Rhod
es. Itu di luar ekspansi yang berlanjut ke Armenia. Jadi hampir seluruh koloni R
omawi sudah jatuh ke tangan Islam sejak saat itu. Yang tersisa adalah pusat keku
asaan mereka di Timur, Konstantinopel, dan di barat Roma. Putera Heraklius, Cons
tantine, bahkan dibunuh pasukannya sendiri di kamar mandinya di Cyprus akibat ke
kalahan bertubi-tubi itu. Tujuh abad kemudian, dengan armada laut pula Muhammad
Al-Fatih membebaskan Konstantinopel yang sudah terlalu lama terkepung dan kesepi
an.
Peradaban adalah sebuah narasi besar. Tapi para mujahid itu telah mengubah naras
i besar itu menjadi kapasitas besar. Maka mereka mengembangkan teknologi jihad u
ntuk mengimbangi narasi besar mereka. Teknologi berkembang mengikuti semangat ji
had mereka. Dan bukan hanya ketika ada teknologi baru mereka berjihad. Mereka ad
alah para mujahid pembelajar. Lalu, takdir sejarah mempertemukan dua kekuatan da
hsyat itu; narasi peradaban untuk generasi penakluk. Jadi kalau kamu punya cita-
cita besar, kamu harus menjadi pembelajar cepat. Pembelajaran niscaya akan mengu
bahmu menjadi penakluk.

Anda mungkin juga menyukai