2. Mendaki Sejarah
Di alam batin para pahlawan, pencinta dan pembelajar sejati, hidup selalu dimakn
ai dengan pendakian sejarah. Kita akan sampai ke puncak kalau kita selamanya mem
punyai energi dan rute pendakian yang jelas. Pendakian kita akan terhenti begitu
kita kehabisan nafas dan kehilangan arah. Energi dan rute, nafas dan arah, adal
ah kekuatan fundamental yang selamanya membuat kita terus mendaki, selamanya mem
buat hidup terus bertumbuh.
Semakin tinggi gunung yang kita daki, semakin panjang nafas yang kita butuhkan.
Begitu kita kehabisan oksigen, kita mati. Semakin kita berada di ketinggian sema
kin kita kekurangan oksigen. Itu sebabnya kita harus merawat dan mempertahankan
semangat kepahlawanan kita. Karena dari sanalah kita mendapatkan nafas untuk ter
us mendaki.
Tapi kita perlu rute yang akurat dan jelas. Sebab kesadaran tentang jarak member
ikan kita kita kesadaran lain tentang bagaimana mendistribusikan energi secara s
eimbang dan proporsional dalam jarak tempuh yang harus dilalui dan pada lama wak
tu yang tersedia.
Rute yang jelas dan akurat akan membuat kita jadi terarah. Keterarahan, atau per
asaan terarah, sense of direction, memberi kita kepastian dan kemantapan hati un
tuk melangkah. Pandangan mata kita jauh menjangkau masa depan, menembus tabir ke
tidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian. Kita tahu ke mana kita melangkah, bera
pa jauh jarak yang harus kita tempuh, berapa lama waktu yang kita perlukan. Keti
ka kita menengok ke belakang, atau melihat ke bawah, ke kaki gunung yang telah k
ita lalui, ke lembah ngarai yang terhampar di sana, kita juga tahu jarak yang te
lah kita lalui. Ilham dari masa lalu dan mimpi masa depan terajut indah dan cera
h dalam realitas kekinian.
Rute itu membuat kita menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan jarak dan
waktu. Dalam kesadaran ini fokus kita tertuju pada semua upaya untuk menjadi efi
sien, efektif dan maksimal. Kita menjadi peserta kehidupan yang sadar, kata Muha
mmad Iqbal.
Kesadaran itu manifestasi pembelajaran. Kesadaran itu melahirkan kekhusyukan. Ma
ka begitulah sejak dini benar, tepatnya pada tahun keempat periode Makkah, Allah
menegur keras para sahabat Rasulullah SAW, generasi pertama Islam, untuk tidak
banyak bercanda dan segera menjalani kehidupan dengan kekhusyukan:
Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk mengkhusukkan diri me
ngingat Allah dan (melaksanakan) apa yang turun dari kebenaran itu (Al- Qur an) .