Anda di halaman 1dari 58

KITAB MANUNGGALING KAWULA GUSTI

WALIYULLAH SYEIKH SITI JENAR


ILMU TASHAWUF
Tasawuf merupakan ilmu halus yang sangat tinggi dan tidak bisa dengan mudah
dipelajari. Tasawuf bukan ilmu hapalan yang dipelajari dengan otak akan tetapi merupakan ilmu
praktek dan merupakan teknologi Al-Qur’an yang Maha Dahsyat. Hasil pengamalan tasawuf
akan melahirkan manusia-manusia berkualitas tinggi, tidak pernah lepas sedetikpun hubungan
dengan Allah sebagai sumber kebaikan. Salah satu tujuan Allah mengutus para nabi adalah untuk
memperbaiki akhlak manusia. Para nabi bukan sekedar menyampaikan firman Allah, akan tetapi
juga berfungsi sebagai pembawa wasilah (wasilah carrier) sebagai media penyambung antara
manusia dengan Tuhan. Nabi adalah teknolog Al Qur’an yang mengerti bagaimana menyalurkan
power maha dahsyat menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat untuk manusia. Kemampuan nabi
Musa membelah laut, kehebatan Nabi Isa menghidupkan orang mati dan menyembuhkan segala
jenis penyakit dan kehebatan Nabi Muhammad SAW membelah bulan bukan terjadi dengan serta
merta. Mereka diajarkan oleh Allah teknologi Maha Dahsyat, teknologi metafisika dan siapapun
menggunakan teknologi yang sama maka hasilnya pasti akan sama.

Kalau kita perhatikan bagaimana hebatnya teknologi fisika. Air yang tenang bisa diubah
menjadi listrik lewat teknologi turbin. Air dipanaskan menjadi uap mampu menggerakkan
gerbong kereta api yang beratnya ratusan ton. Air juga bisa mendongkrak mobil yang dengan
memakai ujung jari tentu saja lewat teknologi hidrolika. Air juga apabila di pisahkan inti
atomnya akan terjadi ledakan sangat hebat, menjadi sebuah bom yang daya rusaknya luar biasa.
Air sifat dasarnya memadamkan api bisa berubah menjadi bahan bakar yang hebat. Masih
banyak teknologi lain yang hebat hasil penemuan manusia.

Berbicara tentang teknologi al-Qur’an, alam metafisika tentu hasilnya berpuluh, beratus
bahkan berjuta kali lebih hebat dari teknologi fisika. Sampai saat ini belum ada teknologi yang
mampu membelah laut seperti yang dilakukan oleh nabi Musa atau menghidupkan orang mati.
Teknologi fisika akan selalu tertinggal jauh oleh teknologi metafisika.

Menyadari potensi yang sangat hebat terkandung dalam al-Qur’an maka para kaum
orientalis berusaha memisahkan ummat Islam dengan teknologi Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya
untuk di baca dan dilombakan, dialun-alunkan dengan suara merdu. Ilmu untuk mengeluarkan
power Al-qur’an itu tidak lain adalah Tarekatullah dibawah bimbingan Mursyid Kamil Mukamil,
yang ahli di bidangnya, ahli tentang teknologi Al Qur’an.

Kalau Mursyidnya tidak ahli dan tidak mendapat izin dari guru-guru sebelumnya, tidak
mempunyai silsilah bersambung kepada Rasulullah SAW maka Tarekat hanyalah sebuah praktek
zikir kosong tanpa power. Sudah sekian lama tarekat dikucilkan, tasawuf didebatkan terus
menerus bahkan dengan tanpa rasa bersalah memasukkan tasawuf sebagai ajaran di luar Islam,
sungguh sangat menyedihkan.

Sangat berbahaya mendalami tarekat kalau Gurunya tidak mendapat izin dari Allah.
Ibarat pilot pesawat tanpa izin terbang dan tidak mempunyai sama sekali pengalaman terbang
tentu sangat berbahaya, bukan rahmat kita dapat tapi malah celaka.

Orientalis dengan sekuat tenaga berusaha agar ummat Islam berpandangan buruk
terhadap tasawuf dengan menciptakan tarekat-tarekat palsu. Tarekat palsu tersebut kemudian
disebarkan keseluruh dunia dengan tujuan untuk menjelekkan tarekat. Ajaran-ajaran yang
menyimpang dari nilai-nilai Al-Qur’an dan hadist sehingga dengan mudah kalangan yang selama
ini miring melihat tarekat mendapat angin segar.

Pilihlah Gurumu yang kamil mukamil khalis mukhlisin, yang dicerdikkan Tuhan, tidak
setengah kasih akan dunia, kuat berpegang teguh kepada Tali Allah dan tentu saja mempunyai
silsilah sebagai tanda sah ilmu yang diajarkannya.

Tasawuf bukan ilmu hapalan, bukan pula ilmu yang dipelajari lewat membaca. Tasawuf
adalah ilmu rasa dan rasa itu datang dari Allah SWT atas ikhtiar sungguh2 dari sang murid.
Sebagai contoh, kalau hanya sekedar dibaca, letak maqam yang 7 tempat bisa dibaca dalam satu
malam bahkan seluruh kaji dalam suluk selesai dipelajari dalam 1 malam. Pertanyaannya apakah
bisa “duduk” amalan tersebut dalam satu malam? Jawabannya tidak, membutuhkan waktu
bertahun-tahun baru bisa amalan tersebut melekat dalam diri kita. Mungkin kita telah berulang
kali suluk, kalau masih ada unsur sombong dalam diri, berarti belum sempurna maqam ke-5,
begitu juga kalau masih suka memperturutkan hawa nafsu berarti suluk kita masih belum benar.
Mungkin banyak tarekat yang menulis tentang amalan dari awal suluk sampai selesai. Tapi Guru
saya sangat melarang karena amalan itu datang dulu baru dijelaskan. Sebagai kiasan, seorang
anak lahir dulu kedunia baru diberi nama.

Tasawuf merupakan keinginan kuat untuk mendapatkan ridho Allah dalam bentuk perkataan,
perbuatan, niat, dan dalam pemikiran dunia dan akhirat. Tasawuf dalam pengertian ini
menempatkan manusia pada kedududkan yang tinggi. Inilah bagian dari wahyu ilahi dan agama
itu sendiri karena dengan karakteristik ajaran ini akan munculpencarian kesempurnaan dari
dalam.

Ajaran ini merupakan penyembuhan dari penyakit jiwa. Tiada suatu manusiapun kecuali mereka
yang terlindungi, pasti terjangkit penyakit jiwa dan moral ini, sedikit atau banyak. Seluruh
risalah ilaahiyah datang untuk mengobati penyakit jiwa dan moral yang merupakan penyakit
pertama pada keturunan Adam. Para orientalis dan para oran-orang yang menulis tentang
tasawuf islam berusaha untuk mengembalikan sejarah kehidupan rohani para sufi dalam islam
pada suatu sumber islam lain, diantaranya Al-Qur’adan kehidupan Rasulullah saw.

Sebagian dari mereka berusaha untuk bersifat moderat (tengah-tengah). Mereka berpendapat
bahwa faktor pertama timbulnya ajaran tasawuf adalah Al-Qur’an dan kehidupan rasulullah saw./
dari keduanya, terambil benih-benih tasawuf yang pertama. Kemudian diikui kebudayaan asing,
yaitu india, Yunani, dan Persia. Itulah yang mempengaruhi tasawuf dan menjadikanya
berkembang. Hingga muncul berbagai pendapat yang menurut sangkaan mereka, tasawuf jauh
sekali dari roh (jiwa) dan watak islam.

Pendapat yang mengatakana bahwa umat islam tidak mengenal tasawuf sebelum abad ke-3
Hijriyah merupakan pemutarbalikkan pengetahuan dan fakta sejarah tanpa alasan yang
dibenarakan.Jika yang dimaksud adalah tidak dikenalnyua ilmu tasawuf sebelum asbad ke-3
Hijriyah, juga tidak dapat dibenarkan.

Para linguistik dan ahli sejarah bangsa Arab sepakat bahwa kata tasawuf telah dikenal jauh
sebelum datangnya islam. Hanya saja penggunaan istilah tasawuf bagi ahli sufi muncul pada ”
kodifikasi ilmu-ilmu islam. Ketika itu, mereka dikenal dengan semangat yang keras dan
kejantananya, simbol pemakaiaan pakaian yang terbuat dari bulu domba yang kasar, dan
semangat berjihat.

Pada masa ini praktik ilmu tasawwuf yang dipakai umat islam adalah ajakan memperkuat diri,
kebebasan persamaan, solidaritas, persaudaraan, persatuan, dan ajakan-ajakan lain untuk
membangun kepribadian muslim yang sempurna. Masa kodifikasi ilmu-ilmu islam ini ditandai
dengan penulisan hadis Nabi saw. Masa ini berkembang hingga mencapai puncaknya
dipenghujung abad pertama dan permulaan abad kedua, yang ditandai dengan penulisan hadis,
tafsir, fiqih dan bahasa.Jika yang dimaksud pndapat tersebut tidak dikenalnya titik materi,
hakekat, dasar-dasar, dan pokok bahasan ajaran tasawuf, pandangan ini juga tidak benar.

Materi ajaran tasawuf dilihat dari segi ibadah dan akhlaq, dalam pemngertian yang luas, sudah
terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah sebagaiiman keberadan ilmu agama yang lain. Jika ilmu
taswuf tidak ditemukan pada masa ini, ajaran tentang ibadah, akhlaq, pendidikan jiwa, hubungan
dengan Allah, dan ketinggian nilai-nilai kemanusiaan, semuanya diatur dalam Islam. Ajaran-
ajaran itulah yang disebut dengan tasawuf sebagaimaman yang dikenal oleh masyarakat pada
waktu itu. Bisa jadi ilmu tasawuf itu menjadi ilmu yang baru, tetapi materi dan cakupan
bahasanya merupakan sesuatu yang lama, seiring lamanya Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian
juga dengan keberadaan ilmu islam lainya.Hal ini bukanlah sesuatu yang baru.

Pada awal abad islam, belum ada ilmu-ilmu yang dinamakan fiqih, ushul fiqih, dan mustalakhul
hadis. Namun, materi ilmu itu sudah ada dalam Al-Qur’an dan Sunah. Ketika ilmu itu
dikodifikasin dan dirumuskan kaidah-kaidah dan istilah-istilah keilmuanya, lahirlah berbagai
nama dan istilah ilmu sesuai dengan cakupan bahsanya masing-masing.

Oleh karena itu, mengapa kita harus mengingkari penamaan tasawuf, sedangkan kita kita tidak
mengingkari penamaan ilmu-ilmu agama lainya, padahal keberadaan ilmu-ilmu tersebutadalah
satu kesatuan. Mengapa pula kita mengingkari penamaan tasawuf, sedangkan kita tidak
mengingkari penamaan tasawuf?

Dalam kitab Lisanul Arab karya Ibnu Mundzur, kata suf bermakna bulu domba, sedagkan kata
sufah bermakna lebih khusus, yakni digunakan bagi orang-orang yang mengurusi pekerjaan Al-
Bait Al-Haram. Maka mereka biasa disebut dengan istilah as-Sufan. Pada masa jahiliyah, sufah
daerah suku Mudar biasa mengabdikan dirinya untuk mengurusi Ka’bah, dan pekerjaan ini pada
waktu itu umumnya dipimpin oleh mereka. Demikian pula dengan sufah daereh suku Tamim,
mereka biasa membantu para haji pada masa jahiliah yang datang dari Mina, bahkan mereka
adalah orang pertama yang membantu mereka.Muhammmad bin Naser menuturkan dari Abu
Ishaq Ibrahim bin Sa’id Al-Habbal bahwa Abu Muhammad bin sa’id Al-Hafidz bertanya
kepaada Walid bin Qasim, “pada kata apakah kata sufi disandarkan?” Ia menjawab, “pada
orang-oarng yang menganut ajaran Nabi Ibraim, yaitu pada masa jahiliyah. Mereka
disebut sufah. Mereka semua mencurahkan hidupnya untuk Allah, dan memakai kain
katun pada Ka’bah. Orang-orang yang menyerupai mereka yang disebut dengan sufiyah”.
Kemudia ia berkata, “mereka itulah yang disebut sufah…”. Dalam Mu’jam Al-Wasit, kalimat
sawafa fulanan bermakna menjadikan sufi. Kalimat tasawafa fulanan bermakna ia telah menjadi
sufi. Jadi, tasawuf adalah suatu jalan sulukiyah (ibadah), yang mendasarkan ajaran pada
pembersihan dan penghiasan diri dengan moral yang terpuji agar jiwa menjadi bersih, dan roh
menjadi tinggi.

Adapun ilmu tasawuf merupakan sekumpulan prinsip-prinsip yang diyakini kebenaranya oleh
para sufi, baik hubungan vertikal maupun horizontal. Jadi, sufi ialah manusia yang mengikuti
prinsip-prinsip jalan tasawuf. Kata tasawuf sebenarnya merupakan istilah bahasa Arab lama.
Jadi, pendapat yang merujuk kata tasawuf pada istilah yunani, sufyah telah picik dalam
berpendapat, menyeleweng dari makna tasawuf yang sebenarnay dan telah mengikuti pendapat
yang buta arah. Adapun yang berpendapat bahwa tasawuf adalah istilah baru, mereka lebih picik,
bahkan telah keluar dari arah yang sebenarnya.

Tasawuf sebagai ajaran moral, ibadah, dakwah jihad, dan ibadah secara teknis, merupakan dari
kebenaran wahyu dan ajarn islam itu sendiri.Kata tasawuf sangat jauh dari pengaruh Yunani,
baik dari sisi makna teks maupun konstek. Kta ini telah digunakan sebelum akhir abad II
Hijriyah untuk sebutan Abu Hasyim (w. 150 H.). Sesungguhnya bentuk tasawuf adalah
manifestasi dari gerakan islam itu sendiri. Selain itu masyarakat Arab menyandarkan
pengetahuan mereka-pertama kali- pada filsafat Aristoteles melalui pemikiran plotinus modern,
tidak langsung dari buku Anthology Aristoteles yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab
sekitar tahun 840 Masehi. Pengetahuan mereka hanyalah ringkasan pemikiran Aristoteles dalam
perspektif madzhab Plotinus modern (new-plotinus).Pendapat ini diperkuat oleh Abbas Mahmud
Aqqad dalam bukunya Al-Falsafah Al-Qur’aniyah. Ia mengatakan, “pada hakikatnya, tasawuf
tidak termasuk dalam kaidah islam sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam buku
Atsar Al-Arab fi Al-HadarahAl-Urubuiyah, yang terampil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan
dasar-dasar pemikiran yang terkait dengan akidah yang jelas. Seorang muslim selalu
membaca kitab sucinya bahwa “tidak ada yang serupa dengan-Nya. Dia maha mendengar
dan melihat” (QS Asy-Syura:11). Dan membaca dan memahami simpulan pengetahuan yang
diajarkan oleh Allah, tuhan pengajar Al-Hikmah Al-Ilahiyah. Dia juga membaca “maka larilah
menuju Allah. Sesunguhnya aku bagi kalian (dari-Nya) sebagai pemberi peringatan yang
jelas” (QS Adz-Dzariat: 50.).

Oleh karena itu, dia mengetahui sesuatu sebagaimana yang diketahui para murid Asketis yang
beraghama Budha, yaitu ketika mereka meyakini bahwa pakaian-pakaian ilmuan (dari sisi fisik)
akan mengotori kebahahiaan roh. Jadi, menjauh darinya atau lari menuju Allah adalah pintu
keselamatan. Muslim yang membaca ayat-ayat ini akan terpatri untuk mengikuti jalan tasawuf
dan mengetahui rahasia-rahasia serta kedalaman hikmah ajaran agama Islam.

Fondasi dari amalan tasawwuf adalah memakan makanan yang halal dan mengikuti sunnah
Rasulullah baik dalam akhlak, perbuatan, dan perintah-perintahnya. Barangsiapa yang tidak
menjaga Alquran dan tidak dapat menulis hadis, dia tidak akan bisa meng¬ikuti tasawwuf,
karena ilmu kita berkaitan dengan Alquran dan As-sunnah. Mengikuti paham ini harus-lah
dengan sikap wara’ dan ketakwaan, karena hal ini bukan sekadar ajakan-ajakan.

Dalam tasawwuf, permulaannya adalah ilmu, tengahnya adalah amal, dan akhirnya adalah
mawhibah (anugerah). Dengan ilmu maksud yang dikandungnya akan tersingkap, sedangkan
amal mewujudkan apa yang dicari, sementara mawhibah merupakan tercapainya maksud dan
tujuan.

Ahli tasawwuf terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat pertama disebut murid talib. Yang kedua
disebut mutawassit sair. Dan ketiga, wasil. Adapun murid, adalah seorang yang mampu
memegang kendali waktunya, sedangkan mutawassit. yang mengamalkan perbuatan,
sementara wasil, orang yang telah memiliki keteguhan keyakinan. Keutamaan bagi mereka
adalah ketika melawan hawa nafsu.
Maqam seorang Murid adalah mujahadah (bergiat melawan hawa nafsu) dengan segala upaya,
mukabadah (mengekang nafsu), menikmati kepahitan dan kesengsaraan hidup, menjauhi segala
bagian-bagian nafsu, dan semua hal yang dapat menghantarkan pada nafsu duniawi.

Maqam mutawassit, adalah menaiki bahtera cobaan dan ujian untuk dapat mencapai apa yang
dicari, dengan menjaga kejujuran, dan selalu beradab dalam setiap fase. Dia juga disebut dengan
sahibut at-talwin, karena ia telah melakukan dakian dari satu fase ke fase selanjutnya, dari satu
perilaku ke perilaku lain. Inilah yang disebut dengan pertambahan karunia (ziyadah).
. ..
Dan maqamah wasil adalah kembali pada perasaan inderawi setelah lebur dalam kegaiban, dan
mapan dengan aturan-aturan ibadah, dan menjawab panggilan dari Yang Maha-Haqq, karena ia
telah berhasil melewati tahapan-tahapan sebelumnya. Dia berada dalam posisi tetap yang
tidak dipengaruhi oleh ujian dan cobaan, dan tidak pula dipengaruhi oleh keadaan
apapun. Tidak ada lagi perbedaan, apakah ia dalam kondisi susah atau senang, dilarang
atau diberikan, gagal ataupun berhasil. Kenyangnya sama seperti ketika ia merasa lapar,
tidurnya pun sama seperti ketika ia terjaga. Dimensi kedirian telah sirna. Dimensi lahirnya hadir
bersama manusia, namun dimensi badaniahnya larut bersama Yang Haqq. Ini semua termasuk
laku (hal) Nabi.

Seseorang yang telah mencapai tahap muntaha (final) diibaratkan seperti busur anak panah yang
dilepaskan di atas puncak bukit yang tinggi mengenainya, dan angin kencang menerpanya, maka
tak sedikit pun ia bergeming karenanya, meski sehelai rambut pun.

Ada yang mensinyalir bahwasanya orang-orang dinamakan sufi karena mereka menempad
barisan utama dan pertama di sisi Rabb-nya lantaran hasrat mereka yang luhur, di samping
kepasrahan mereka terhadap Allah Swt. Atas segala rahasia-rahasia mereka.

TAREKAT SUFI
Tarekat sufi atau kelompok-kelompok sufi berkembang secara bertahap dan tidak secara
langsung.

Di abad-abad awal Islam, kaum sufi tidak terorganisasi dalam lingkungan-lingkungan khusus
atau tarekat. Namun, dalam perjalanan waktu, ajaran dan teladan pribadi kaum sufi yang
menjalani kehidupan menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan agama mulai banyak menarik
kelompok manusia. Di antara abad kesembilan dan kesebelas, mulai muncul berbagai tarekat
sufi, yang meliputi para ahli dari segala lapisan masyarakat. Ketika tarekat sufi, atau
persaudaraan sufi ini muncul, pusat kegiatan sufi bukan lagi di rumah-rumah pribadi, sekolah
atau tempat kerja sang pemimpin spiritual. Selain itu, struktur yang lebih bersifat kelembagaan
pun diberikan pada pertemuan-pertemuan mereka, dan tarekat-tarekat sufi mulai menggunakan
pusat-pusat yang sudah ada khusus untuk pertemuan-pertemuan ini. Pusat pertemuan kaum sufi
biasanya disebut Khaneqah atau Zawiyya. Orang Turki menamakan tempat perlindungan orang
sufi sebagai Tekke. Di Afrika Utara tempat semacam itu disebut Ribat, nama yang juga
digunakan untuk menggambarkan kubu atau benteng tentara sufi yang membela jalan Islam dan
berjuang melawan orang-orang yang hendak menghancurkannya. Di anak-benua India, pusat sufi
disebut Jama’at Khana atau Khaneqah.

Sama halnya dengan berbagai mazhab hukum Islam, yang muncul pada abad-abad awal setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW, dimaksudkan untuk menegaskan suatu jalan yang jelas untuk
penerapan hukum tersebut, demikian pula tarekat-tarekat sufi yang muncul dalam periode yang
sama bermaksud menegaskan jalan yang sederhana bagi praktik penyucian batin. Sebagaimana
banyak mazhab hukum Islam (fiqh) tidak lagi dipropagandakan sehingga berakhir, demikian pula
banyak tarekat besar menghadapi situasi yang serupa. Di abad kesembilan terdapat lebih dari tiga
puluh mazhab fiqh Islam, tetapi kemudian jumlah tersebut berkurang hingga lima atau enam
saja. Di abad ke-12 Anda tak dapat menghitung jumlah tarekat sufi, antara lain karena
banyaknya, dan karena tarekat-tarekat itu belum ditegaskan sebagai tarekat. Sebagian besar
syekh dan guru spiritual dalam tarekat sufi dan mazhab hukum tidak mengharapkan ajaran
mereka akan diberikan penafsiran yang terbatas dan sering kaku pada masa setelah kematian
mereka, atau bahwa tarekat sufi dan mazhab hukum dinamai dengan nama mereka. Namun,
terpeliharanya tarekat-tarekat sufi sebagian sering merupakan akibat dari pengasingan diri
(uzlah) secara fisik dan arah yang diambil oleh kecenderungan Islam

Suatu kecenderungan yang nampak pada tarekat-tarekat sufi ialah bahwa banyak diantaranya
telah saling bercampur, sering saling memperkuat dan kadang saling melemahkan. Kebanyakan
tarekat sufi memelihara catatan tentang silsilahnya, yakni rantai penyampaian pengetahuan dari
syekh ke syekh, yang sering tertelusuri sampai kepada salah satu Imam Syi’ah dan karenanya
kembali melalui Imam ‘Ali ke Nabi Muhammad SAW, sebagai bukti keotentikan dan
wewenangnya. Satu-satunya kekecualian adalah tarekat Naqsyabandiyah yang silsilah
penyampaiannya melalui Abu Bakar, khalifah pertama di Madinah, ke Nabi Muhammad SAW.

Berikut ini adalah beberapa tarekat sufi yang masih ada hingga kini, masing-masing dengan ciri-
cirinya yang menonjol. Para pencari pengetahuan mungkin menjadi anggota dari satu atau
beberapa tarekat, karena memang mereka sering mengikuti lebih dari seorang syekh sufi. Yang
berikut ini hanya contoh dari beberapa tarekat sufi yang secara pribadi telah akrab dengan
penulis.

Tarekat Qadiriyah

Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani (m. 1166) dari Gilan di Iran,
yang kemudian bermukim di Baghdad, Irak. Setelah wafatnya, tarekatnya disebarkan oleh putra-
putranya. Tarekat Qadiriyah telah menyebar ke banyak tempat, termasuk Suriah, Turki, beberapa
bagian Afrika seperti Kamerun, Kongo, Mauritania dan Tanzania, dan di wilayah Kaukasus,
Chechnya dan Ferghana di Asia Tengah, serta di tempat- tempat lain.

Tarekat Rifa’iyah
Didirikan oleh Syekh Ahmad ar-Rifa’i (m. 1182) di Basra, tarekat Rifa’i telah menyebar ke
Mesir, Suriah, Anatolia di Turki, Eropa Timur dan wilayah Kaukasus, dan akhir-akhir ini di
Amerika Utara.

Tarekat Syadziliyah

Tarekat Syadzili terealisasi di sekitar Syekh Abul Hasan asy-Syadzili dari Maroko (m. 1258) dan
akhirnya menjadi salah satu tarekat terbesar yang mempunyai pengikut yang luar biasa
banyaknya. Sekarang tarekat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya dan Tanzania, Timur
Tengah, Sri Langka dan di tempat-tempat lain, termasuk di Amerika Barat dan Utara.

Tarekat Maulawiyah

Tarekat Maulawiyah berpusat di sekitar Maulana Jalaluddin Rumi dari Qonya di Turki (m.
1273). Sekarang kebanyakan terdapat di Anatolia di Turki, dan pada akhir-akhir ini di Amerika
Utara. Para pengikut tarekat ini juga dikenal sebagai para darwis yang berputar-putar.

Tarekat Naqsyabandiyah

Tarekat Naqsyabandiyah mengambil nama dari Syekh Baha’uddin Naqsyaband dari Bukhara (m.
1390). Tarekat ini tersebar luas di wilayah Asia Tengah, Volga dan Kaukasus, Cina bagian
baratlaut dan baratdaya, Indonesia, di anak-benua India, Turki, Eropa dan Amerika Utara. Ini
adalah satu-satunya tarekat terkenal yang silsilah penyampaian ilmunya kembali melalui
penguasa Muslim pertama, Abu Bakar, tidak seperti tarekat-tarekat sufi terkenal lainnya yang
asalnya kembali kepada salah satu imam Syi’ah, dan dengan demikian melalui Imam ‘Ali,
sampai Nabi Muhammad SAW.

Tarekat Bektasyiyah

Tarekat Bektasyiyah didirikan oleh Haji Bektasy dari Khurasan (m. 1338). Gagasan Syi’ah
merembes masuk dengan kuatnya pada tarekat sufi ini. Tarekat ini terbatas di Anatolia, Turki,
dan yang paling berpengaruh hingga awal abad ke-20. Tarekat ini dipandang sebagai pengikut
Mazhab Syi’ah.

Tarekat Ni’matullah

Tarekat Ni’matullah didirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad Ni’matullah (m. 1431) di
Mahan dekat Kirman baratdaya Iran. Para pengikutnya terutama terdapat di Iran dan India.

Tarekat Tijaniyah

Tarekat Tijani didirikan oleh Syekh Abbas Ahmad ibn at-Tijani, orang Berber Aljazair (rn.
1815). Tarekat ini telah menyebar dari Aljazair ke selatan Sahara dan masuk ke Sudan bagian
barat dan tengah, Mesir, Senegal, Afrika Barat dan bagian utara Nigeria, dan telah diperkenalkan
di Amerika Barat dan Utara.

Tarekat Jarrahiyah

Tarekat Jarrahi didirikan oleh Syekh Nuruddin Muhammad al-Jarrah dari Istambul (m. 1720).
Tarekat ini terutama terbatas di Turki, dengan beberapa cabang di Amerika Barat dan Utara.

Tarekat Chistiyah

Tarekat yang paling berpengaruh di anak-benua India-Pakistan adalah tarekat Chisti, yang
dinamai dengan nama pendirinya Khwaja Abu Ishaq Syami Chisti (m. 966). Penyebarannya
terutama di Asia Tenggara.

Tarekat-tarekat sufi, sebagaimana gerakan-gerakan lainnya, cenderung bersiklus. Siklus suatu


tarekat sufi biasanya antara dua sampai tiga ratus tahun sebelum melemah dan merosot.
Bilamana muncul suatu kebutuhan terhadap suatu tarekat sufi maka tarekat tersebut mulai
bangkit, kemudian mencapai klimaksnya, lalu berangsur-angsur berkurang dan bubar.
Satu kecenderungan yang dapat diamati dalam sejarah tasawuf ialah bahwa bilamana terdapat
kekurangan dalam materi sumber Islam, seperti Al-Qur’an atau sunnah Nabi Muhammad SAW,
dalam suatu tarekat sufi, maka ia cenderung didominasi oleh kultur yang lebih kuat dan tua dari
lingkungannya. Percampuran ini dapat dilihat pada tarekat Chistiyah di Asia Tenggara dan pada
tarekat-tarekat sufi di Indonesia yang telah menyerap banyak unsur adat Hindu dan Buddha ke
dalam praktik-praktiknya. Demikian pula, tarekat-tarekat sufi Afrika di bawah wilayah Sudan
telah memadukan beberapa adat keagamaan suku-suku Afrika ke dalam praktik-praktik mereka.
Nampaknya di kawasan-kawasan terpencil itu semua tarekat sufi telah mengambil warna kultus.

Meditasi bagi Pemula


Memulai meditasi bukanlah hal mudah, karena banyak kendala yang harus dihadapi. Namun
begitu, tak semestinya kita segera menyerah kalah. berikut ini akan membantu mempermudah
Anda melakukan meditasi.

MEDITASI kini semakin banyak diminati orang. Kelompok-kelompok yang secara teratur
menjalankan meditasi semakin banyak bermunculan. Meditasi memang bermanfaat bagi
kesehatan. Mempraktekkan meditasi dengan baik bisa membuat semua organ tubuh bergerak dan
berfungsi dalam keadaan seimbang, serta bekerja dengan lebih teratur. Meditasi pun membuat
seseorang mengalami relaksasi, karena itu sangat efektif untuk mengusir stress.

Persoalannya adalah, bagaimana cara melakukan meditasi dengan baik? Inilah pertanyaan
penting yang perlu dijawab dengan mempraktikkan beberapa tip berikut ini.

Matikan rasa pengaruh yg ada di luar


Pergi ke gunung agar bisa melakukan meditasi dengan tenang tidak akan membantu bila Anda
masih membawa hand phone atau televisi. Memilih tempat yang sunyi agar terlindungi dari
berbagai gangguan memang penting, tetapi kesiapan Anda untuk tidak terganggu itu lebih
penting. Bila hendak melakukan meditasi, tutuplah hasrat untuk berhubungan dengan semua
yang ada di luar diri Anda. Lalu tutup pintu dan tutup mata Anda. Lupakan sejenak semua
permasalahan yang ada.

Menutup hasrat berhubungan dengan dunia di luar diri Anda selama meditasi juga memberikan
efek psikologi yang luar biasa. Itu bisa membantu Anda untuk bersikap tenang dan tidak
langsung melompat begitu mendengar bunyi telepon. Atau, langsung keluar ruangan meditasi
begitu ada yang berbicara. Bagi Anda yang telah berkeluarga, sebaiknya lebih dulu mengatur
keperluan rumah tangga dan kebutuhan seluruh anggota keluarga agar Anda bisa bebas dan
merasa tenang bermeditasi.

Manunggal rasa dalam diri


Selanjutnya, pasrahkan diri kita sepenuhnya dalam proses meditasi. Biarkan orang-orang di
sekitar Anda tahu bahwa ini merupakan kegiatan yang penting dan rutin bagi Anda. Dengan
begitu, mereka pun akan belajar menghargainya. Pastikan agar mereka mengerti bahwa selama
menutup diri melakukan meditasi, Anda diganggu.

Sebaiknya Anda memiliki tempat khusus untuk bermeditasi. Pastikan tempat itu bersih dan
bagus sirkulasi udaranya. Tempat khusus yang suasananya tenang akan sangat membantu,
terutama di awal-awal proses meditasi. Usahakan pula agar jangan berpindah-pindah tempat.

Walaupun demikian, bukan berarti Anda tidak boleh melakukan meditasi di tempat yang lain.
Anda bisa melakukannya di mana saja, seperti di dalam bis, di mobil, bahkan di alam terbuka.
Namun medan energi meditasi akan cepat terbentuk bila Anda melakukannya di tempat yang
sama. Dengan demikian, Anda akan lebih mudah mencapai ketenangan ketika memasuki
ruangan tersebut.

Perlu latihan Konsentrasi

Jika Anda tidak berkonsentrasi ketika bermeditasi, janganlah putus asa. Jangan pula merasa
gagal dalam bermeditasi. Sebab dalam meditasi tidak ada istilah gagal, yang ada hanyalah
masalah ‘jam terbang’. Ingatlah, bukan hanya Anda yang mengalami perasaan gagal. Semua
orang, bahkan para guru besar meditasi pun pada awalnya juga mengalami berbagai kesulitan
yang sama dengan Anda.

Pikiran kacau, rasa gatal, rasa panas dingin, bagi para pemula adalah hal yang biasa. Ini adalah
proses yang harus Anda lewati. Cara menanggulanginya, sebutlah nama Tuhan sesuai dengan
kepercayaan Anda. Sebutlah berulang-ulang.

Waktu yg Baik untuk Meditasi


Anda dapat melakukan meditasi setiap saat, namun saat sandhya (matahari terbit dan terbenam)
merupakan waktu yang terbaik. Tetapkan waktu meditasi Anda. Lalu sampaikan kepada teman-
teman dan seluruh anggota keluarga agar tidak menggangu Anda pada jam-jam tersebut.
Biasanya para praktisi meditasi selalu melakukan meditasi pada waktu-waktu tertentu. Dengan
demikian, jika waktu tersebut tiba, secara otomatis mereka akan merasakan adanya keinginan
untuk melakukan meditasi.

Jadwal Meditasi

Meditasi setidaknya dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan petang. Meditasi pada pagi hari
berguna untuk memberikan semangat untuk memulai hari. Sedangkan meditasi pada malam hari
berfungsi untuk menimbulkan relaksasi dan membantu mengurai ?benang kusut’ yang terbentuk
dalam pikiran Anda serta mengubahnya menjadi ?sulaman yang indah’. Dengan demikian, Anda
dapat tidur dengan nyenyak dan tidak diganggu oleh mimpi buruk.

Para pemula seringkali mengalami kesulitan mengatur waktu yang tepat untuk meditasi. Untuk
mudahnya, terlebih dahulu periksalah rutinitas Anda sehari-hari, lalu cari waktu yang paling
cocok untuk Anda. Bila Anda telah menetapkan waktunya, maka tegakkanlah disiplin.

Jika seseorang memiliki keinginan tulus untuk mengeksplorasi tingkatan dan kedalaman
meditasi, penting baginya untuk menciptakan kebiasaan untuk bermeditasi tanpa terlewatkan.
Sebab meditasi dapat diibaratkan sebagai rantai yang indah. Setiap kali melakukan meditasi, kita
menambahkan satu buah mata rantai. Dalam jangka panjang, hasilnya adalah suatu untaian rantai
yang kuat dan bermanfaat. Namun jika sering kita tinggalkan, maka kita akan kehilangan mata
rantai. Untuk menguatkan mental, usahakan untuk tidak melewatkan waktu meditasi.

Karena itu, meski situasinya darurat, usahakan untuk tetap melakukan meditasi walau hanya
beberapa saat. Pada awalnya memang sulit, tetapi lama kelamaan akan menjadi kebiasaan,
seperti mandi. Anda pasti akan mampu melakukannya tanpa perlu membuat banyak
pertimbangan.

Para meditator yang berpengalaman, biasanya dengan sendirinya mengurangi pengurangan


waktu tidur, karena bisa juga berfungsi sebagai istirahat secara fisiologis. Dengan demikian,
mereka mendapat tambahan waktu 1-3 jam yang bisa digunakan untuk melakukan meditasi atau
untuk melakukan aktivitas lainnya.

Pengembangan Wawasan tentang Meditasi


Carilah teman yang juga melakukan praktek meditasi. Anda juga bisa membaca buku-buku
spiritual dari orang yang berkualitas tinggi dalam hal spiritual. Waktu terbaik untuk membaca
adalah setelah melakukan meditasi. Karena saat itu pikiran kita menjadi jernih dan tenang.
Pengalaman orang-orang yang berhasil melewati rintangan dalam bermeditasi juga akan banyak
membantu untuk lebih mempersiapkan diri dan mental Anda.

Sebelum melakukan meditasi, ada baiknya Anda melakukan pemanasan dan peregangan untuk
mengendorkan otot dan melancarkan peredaran darah. Meditasi dapat dilakukan dengan posisi
berdiri, duduk, bahkan berbaring. Namun pastikan tulang punggung Anda tegak. Bukan tegak ala
militer, tetapi tegak maksimal menurut Anda.

Perhatian pada Sikap, Posisi dan Sifat


Jika kita melakukan meditasi dengan posisi baik, akan ada aliran energi tulang belakang yang
mengarah ke atas. Sedangkan duduk dengan postur yang tidak tegak seperti membungkuk atau
menekuk ke belakang, hanya akan menghambat aliran energi, mengganggu napas, dan membuat
Anda mudah mengantuk.

Jadi, penting sekali untuk duduk setegak mungkin. Beberapa orang bisa terbantu meditasinya
dengan meletakkan bantal kecil sebagai alas, karena dapat mengurangi tekanan pada lutut dan
menghasilkan postur yang lebih baik dengan meninggikan tulang punggungnya. Permukaan
lantai yang rata dapat membantu membentuk posisi ini.

Bila Anda duduk bermeditasi, pastikan Anda duduk dengan nyaman, sehingga pikiran bebas
berkonsentrasi pada proses meditasi. Jika duduk di atas karpet, bantal tipis, atau selimut yang
dilipat dirasa kurang nyaman, dapat dicoba duduk di atas kursi.
Perhatian pada isi Perut
Setelah makan, Anda akan merasa malas dan mengantuk. Ini disebabkan tubuh sedang
memusatkan energi pada proses pencernaan. Sebaiknya pada saat seperti ini Anda tidak
melakukan meditasi, karena energi yang menuju ke otak tidak maksimal. Demikian pula
sebaliknya. Bermeditasi dengan perut kosong, juga tidak memungkinkan Anda meraih
konsentrasi. Karena itu, sebaiknya Anda hanya mengkonsumsi makanan ringan atau minum jus
buah saja sesaat sebelum melakukannya.

KEJAWEN BUKAN AGAMA TETAPI ESENSI DAN


SUBSTANSI PRILAKU HIDUP
1. Kejawen tentu saja tidak memiliki kitab suci sebagaimana layaknya semua agama-agama yang
ada. Karena Kejawen bukanlah agama melainkan pandangan hidup yang sudah turun temurun
ribuan tahun, melalui proses asimilasi dan sinkretisme dengan nilai-nilai agama yang pernah ada
di bumi nusantara. “Kitab Suci” Kejawen adalah hidup itu sendiri. Hidup yang meliputi jagad
gumelar. Terdiri dari kehidupan sehari-hari, kesejati di dalam diri, dan apa yang ada di dalam
lingkungan alam sekitarnya. Semua itu disebut sebagai “kitab satra jendra”. Cara membacanya
bukan dengan ucapan lisan, melainkan dengan perangkat ngelmu titen yang berlangsung turun-
temurun. Membaca “kitab sastra jendra” dengan menggunakan ngelmu titen, indera yang
digunakan adalah indera keenam (six-sense) atau indera batin. Keberhasilannya ditentukan oleh
kemampuan seseorang dalam mengolah rahsa-pangrasa yakni rasajati atau rahsa sejati.

2. Di samping nilai-nilai kearifan local yang adiluhung, Kejawen menjadikan nilai-nilai “impor”
yang dinilai berkualitas sebagai bahan baku yang dapat diramu dengan nilai kearifan local.
Keuntungannya justru terjadi proses penyempurnaan seperangkat nilai dalam pandangan hidup
Jawa atau Kejawen. Jika definisikan, mistik kejawen merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai
kearifan local yang terjadi sejak zaman kuno pada masa kebudayaan spiritual animisme,
dinamisme, dan monotesime hingga saat ini. Sikap terbuka, menghargai dan toleransi, serta dasar
spiritual cinta kasih sayang membuat Kejawen mudah menerima anasir asing yang positif.
Berbeda dengan nilai agama yang bersifat statis, kaku atau saklek dan anti-perubahan, nilai-nilai
dalam falsafah hidup Jawa bersifat fleksibel dan selalu berusaha mengolah nilai-nilai
kebudayaan asing yang masuk ke nusantara misalnya Budha, Hindu, Islam, Kristen, dan
sebagainya. Yang terjadi bukanlah kebangkrutan nilai-nilai falsafah Jawa itu sendiri, sebaliknya
justru mengalami penyempurnaan seiring perjalanan waktu. Hingga terdapat anekdor, kalau nilai
agama masuk sampai mendarah- daging, pandangan hidup Jawa bahkan mbalung-sungsum
sehingga tidak pernah lapuk dan selalu eksis. Tidak hanya pada usia tua, bahkan masyarakat usia
muda banyak pula yang diam-diam menghayati dan mengakui fleksibilitas dan kedalaman
falsafah Kejawen. Seperti kekuatan misterius, terkadang semangat penghayatan dirasakan tiba-
tiba muncul dengan sendirinya seperti panggilan darah.

3. Ritual, yang dilakukan oleh penghayat falsafah hidup Jawa. Walaupun latar belakang
keagamaan masyarakat Jawa berbeda-beda, namun memiliki unsur kesamaan dalam tata laksana
ritual Jawaisme. Bedanya hanyalah pada bahasa yang digunakan dalam doa atau mantra. Namun
hakekat dari ritual adalah sama saja yakni bertujuan untuk selamatan. Selamatan adalah tata laku
untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagai upaya mendekatkan diri
kepada Tuhan Yang Maha Suci. Maka dalam ritual banyak terdapat ubo rampe, atau syarat-
syarat sesaji, di dalamnya banyak sekali mengandung maksud permohonan doa kepada Tuhan
YME. Misalnya pada saat bulan Ruwah merupakan bulan arwah dilaksanakan acara selamatan
nyadran. Bulan ruwah tepatnya satu bulan menjelang bulan puasa, hendaknya orang memuliakan
para arwah leluhurnya, mendoakannya agar mendapat tempat yang mulia, luhur, dan suci.
Dibuatlah ketan, kolak dan kue apem, berarti sedaya kalepatan nyuwun pangapunten. Mohon
ampunan atas segala kesalahan semasa hidup. Apem berarti affuwwun, adalah lambang
permohonan ampunan kepada Tuhan. Dilanjutkan acara nyekar atau ziarah dan gotong royong
bersih-bersih serta merawat makam para leluhurnya sebagai wujud tindakan nyata rasa berbakti
dan memuliakan pepundennya yakni para leluhurnya. Karena bagi masyarakat mistik Jawa,
berbakti kepada orang tua, dilakukan tidak saja selama masih hidup, namun saat sudah
meninggal dunia pun anak turun tetap harus berbakti padanya. Tidak ketinggalan pula acara
bersih desa, sungai, hutan, sawah, ladang, sebagai bentuk kesadaran diri untuk selalu menghargai
alam semesta sebagai anugrah terindah Tuhan yang Maha Pemurah.

4. Istilah ritual seringkali diartikan secara kurang proporsional, dianggap hanya sekedar menjadi
basa-basi tradisi yang irasional. Kadang malah dianggap pula sebagai kegiatan buang-buang
waktu, beaya dan tenaga alias mubazir. Secara ekstrim ritual dikonotasikan sebagai kegiatan
yang melenceng dari kaidah atau norma agama. Tuduhan itu sangat menyakitkan, karena
tentunya hanya terucap oleh orang-orang yang tidak mampu memahami apa makna yang
sesungguhnya dari mistik dan ritual. Padahal, ritual adalah tata laku yang melekat tidak bisa
dipisahkan dari setiap agama, ajaran, tradisi dan budaya manapun di dunia ini. Dalam Budhisme
dan Hinduisme, Islam, Yahudi, Nasrani, Kong Huchu, Sakura, dan lain-lain, banyak sekali
terdapat berbagai ritual keagamaan. Mulai dari peringatan hari besar keagamaan hingga
berbentuk tradisi agama. Bahkan masyarakat modern, tradisi Barat, masyarakat akademik,
masyakarat medik, semua memiliki ritual-rutual khusus yang dutujukan untuk meraih
kesuksesan termasuk keselamatan. Dalam masyarakat Jawa ritual selamatan atau slametan
menjadi main stream penghayatan perilaku mistik Kejawen. Di dalamnya terdapat simbol-simbol
atau perlambang berupa sesaji, mantera, ubo rampe, syarat-syarat tertentu. Semua ubo rampe
sesaji mengandung makna yang dalam. Adalah keliru besar mengartikan makna sesaji sebagai
pakan setan. Bagi masyarakat Jawa sangat mengenal bahwa “setan” atau makhluk halus bukan
untuk diberi makan, tetapi harus diperlakukan secara adil dan bijaksana karena disadari bahwa
mereka semua adalah makhluk ciptaan Tuhan juga. Manusia lantas tidak boleh bersikap negatif
dan destruktif dengan mentang-mentang, semena-mena, takabur, arogan atau sombong kepada
makhluk halus. Karena sikap negatif itu hanya akan membuat manusia jatuh pada derajat yang
hina. Itulah keluhuran pandangan hidup manusia yang sering dituduh sebagai masyarakat engan
kesadaran primitif dan tidak masuk akal.

5. Sesaji merupakan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi baik secara vertikal
maupun horisontal. Karena dasar dari mistik adalah tindakan nyata, sebagai konsekuensinya
harus menghindari tabiat buruk tong kososng berbunyi nyaring, atau banyak mulut doang, tetapi
enggan menghayati dalam perbuatan sehari-hari. Maka dalam berdoa pun tidak cukup diucapkan
melalui mulut. Rasanya kurang afdhol atau kurang besar tekadnya dalam berdoa apabila tidak
diwujudkan dalam berbagai simbol yang terdapat dalam sesaji. Misalnya; doa yang beragam
hendaknya dilakukan secara tulus, suci, hati yang “putih bersih” tidak terpolusi nafsu duniawi,
dan ditujukan hanya kepada Hyang Widhi atau Tuhan Yang Mahatunggal. Maka hal itu
diwujudkan dalam bentuk tumpeng nasi putih berbentuk kerucut, besar di bawah, runcing di
bagian atas. Bubur merah dan bubur putih dalam bancakan weton sebagai lambang ibu dan bapa.
Hendaknya anak selalu ingat pada pengorbanan orang tua sejak ia di dalam kandungan ibu, lalu
dilahirkan dan diasuh hingga dewasa dan mandiri. Bubur merah silang bubur putih, merupakan
gambaran hubungan ibu dengan bapa diikat dengan tali cinta kasih yang tulus, sampai
membuahkan anak sebagai anugrah buah cinta, dilambangkan dalam bubur baro-baro, yakni
bubur putih ditumpangi parutan kelapa dan gula merah. Masih banyak lagi contoh yang dapat
kita pelajari satu persatu maknanya secara esensial.

Ilmu “Kesaktian” Sejati


Kesimpulan dari semua itu, Kejawen merupakan ilmu metafisika yang transenden dan bersifat
terapan. Perilaku mistik merupakan upaya yang ditempuh manusia dalam rangka mendekatkan
diri kepada Tuhan YME. Mendekatkan diri, atau upaya manunggal jati diri dengan kehendak
Tuhan (sumarah). Sikap sumarah merupakan wujud dari sikap manembah kepada Tuhan YME.
Sikap manembah inilah yang menjadi pedoman utama dalam menghayati mistik Kejawen. Muara
dari perjalanan spiritual pelaku mistik Kejawen, tidak lain untuk menemukan “lautan” rahmat
Tuhan, berupa manunggaling kawula kalawan Gusti, atau sifat roroning atunggil (dwi tunggal).
Eneng ening untuk masuk ke alam sunya ruri. Meraih nibbana menggapai nirvana, jalan wushul
menuju wahdatul wujud. Dengan pencapaian pamoring kawula-Gusti, akan menciptakan
ketenangan batin sekalipun menghadapai situasi dan kondisi yang sangat gawat. Karena antara
manusia sebagai mahluk dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta terjadi titik temu yang harmonis.
Batin manusia selalu tersambung dengan getaran energi Tuhan, menjadi dasar atas segala
tindakan yang dilakukannya. Atau disitilahkan sebagai sesotya manjing embanan, ing batin
amengku lair. Sesotya adalah ungkapan yang mengandikan Tuhan bagaikan permata yang tiada
taranya. “Permata” yang menyatu ke dalam embanan. Embanan sebagai ungkapan dari jasad
manusia. Tuhan yang bersemayam di dalam batin (immanen), melimputi seluruh yang ada
“being” di dunia ini. Jika manusia berhasil manembah, otomatis ia akan menjadi manusia yang
sekti mandraguna. Kesaktian sejati, bukan berasal dari usaha yang instan hanya dengan rapal
wirid semalam suntuk, atau membeli dengan mahar. Namun kesaktian itu diperoleh seseorang
apabila berhasil menghayati sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair. Seseorang selalu
manembah dalam setiap perbuatannya. Cirikhas orang yang kesaktiannya berkat manembah
(kesaktian sejati/ilmu putih) apabila perilaku dan perbuatan sehari-harinya selalu sinergis dengan
sifating Gusti; Welas tanpa alis (kebaikan tanpa pamrih jasad/nafsu/duniawi), tidak menyakiti
hati, tidak mencelakai, dan merugikan orang lain. Dilakukan dalam kurun waktu lama, tidak
angin-anginan atau plin-plan, dilakukan secara konsisten, teguh, dan penuh ketulusan serta kasih
sayang tanpa pilih kasih.

SIKAFIR MEMPROTES TUHAN


akulah si kafir, duduk termangu di bawah kaki Tuhan.
“bagaimana bisa manusia menculik hakMu mencabut nyawaku?” tanyaku.
akulah si kafir, dibalut kain kafan, di bawah kaki Tuhan.
“buatlah aku mati sekali lagi, mati dengan tanganMu”

akulah si kafir, menangis di bawah kaki Tuhan


“siksalah aku jika aku kafir di hadapMu, aku sangsi disiksa makhlukMu”

Akulah si kafir, mengadu sendu di bawah kaki Tuhan,

“duhai Sang Maha Rahman, ku lihat malaikat pencabut nyawa telah mengubah diri menjadi
manusia suci, di tangannya senjata siap perang, ia mendekatiku wujud manusia penuh nista, dan
dengan menyeru namaMu, ia kirim aku ke alam tanpa nyawa”

Akulah si kafir, yang diseru sebagai penyesat yang halal darahnya,

“Tuhan, bagaimana bisa kuasa menghidupkan, mematikan, serta mengafirkan pindah tangan ke
makhluk yang tengil bernama manusia?”

“Tuhan, bagaimana mungkin aku kafir sementara aku telah bersaksi tiada Tuhan selain Mu,
Muhammad utusanMu”

“Tuhan, bagaimana bisa aku kafir, sementara ayat-ayatMu tak pernah lelah ku sentuh dengan
bibirku?”

“Tuhan, bagaimana bisa aku mati di tangan makhluk tengilMu, sementara Engkau Maha
Rahman atas segala sesuatu?”

“Tuhan, hidupkanlah aku, biar ku adu , Tuhan yang mereka “atasnamakan” adalah Tuhan yang
tak mengenal kekerasan”.

ELING IANG WASPADA, ANA CATUR MUNGKUR


Ada banyak hal yang harus diperhatikan dengan seksama sebagai acuan moral, tak ada
yg lebih indah dari pada kaweruh jawa dengan tutur yang halus tapi tegas, luv u saudara-
saudaraku!
Ana catur mungkur arti lugasnya adalah “ada pembicaraan membelakangi”. Secara kiasan
ungkapan itu dimaksudkan untuk menggambarkan yang menyangkut keburukan atau kelemahan
pihak orang lain. Catur artinya ngrasani eleking liyan (membicarakan …keburukan orang lain)
dengan maksud menjatuhkan atau menghina orang tersebut. Tindakan ngrasani (membicarakan,
atau mempergunjingkan) harus dipandang sebagai perbuatan yang tidak baik karena dapat
menimbulkan sakit hati pada diri orang yang dirasani (pihak yang dibicarakan keburukannya).
Pada umumnya, nyatur atau ngrasani (membicarakan) orang lain itu mengacu pada sudut
kelemahannya atau sisi negatifnya, dan jarang membicarakan dari sudut kebaikannya karena
tujuannya memang untuk menjatuhkan martabat orang yang dirasani atau dipergunjingkan.
Ungkapan ini sejajar dan selaras dengan nasihat aja metani alaning liyan (jangan mencari-cari
keburukan orang lain).Seseorang lazimnya lebih senang mencela orang lain. Ia enggan dan tidak
mau mengerti tentang kesalahan sendiri. Tindakan itu sangat negatif karena dapat menimbulkan
perselisihan. Pertama, hampir semua orang tidak suka dipergunjingkan keburukannya. Orang
cenderung akan kecewa, sakit hati, atau bahkan marah sewaktu orang lain ngrasani keburukan
diri kita, keluarga kita, masyarakat kita yang secara norma hukum dan sosial tidak ada kaitannya
dengan “sang penggunjing”.
Kedua, tindakan ngrasani sebagai tindakan tidak transparan. Sang penggunjing dapat melihat
keburukan orang lain, tapi tidak berani mengatakan keburukan diri sendiri. Lebih jauh, seseorang
cenderung tidak konsekuen, dapat atau mau melihat kesalahan orang lain sekecil apapun tetapi
tidak mau melihat kesalahan diri sendiri walaupun kesalahan itu sangat besar. Sikap dan perilaku
nyatur (mempergunjingkan) kesalahan orang itu ibarat gajah di pelupuk mata tidak tampak,
semut di seberang lautan tampak.

Para pendahulu Jawa telah memberikan wejangan atau nasihat agar seseorang tidak
mempergunjingkan kesalahan orang lain. Ia lebih baik mengoreksi diri atau kesalahannya sendiri
dengan harapan dapat memperbaiki perbuatannya. Akan tetapi, hal itu sudah pasti sulit dilakukan
jika tidak didasarkan pada sikap lembah manah (rendah hati). Nasihat atau wejangan tersebut
disapaikan dengan ungkapan wong ikut ora bisa ngilo githoke dhewe (seseorang itu tidak dapat
berkaca pada punggung sendiri). Maksudnya, seseorang itu tidak dapat melihat kesalahan diri
sendiri, dan justru pandai melihat kesalahan orang lain. Cermin adalah kaca yang dapat
menampakkan sesuatu yang ada di depannya. Apa yang terlihat di cermin sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya. Namun tidak mungkin orang bercermin pada punggung sendiri. Punggung
jelas bukan cermin sehingga tidak mampu memperlihatkan kesalahan yang telah diperbuat pada
waktu sebelumnya.

Ungkapan ana catur mungkur menganjurkan kita untuk tidak membicarkan kelemahan orang
lain. Jika ada orang lain yang mengajak dirinya untuk membicarakan kelemahan orang lain, jika
ada orang yang sengaja menyeret kita untuk mempermasalahkan kelemahan orang lain, segeralah
menghindar. Segeralah untuk mungkur (menghindar) dari pembicaraan tersebut.

SASTERA DJENDRA KAWRUH SINENGKER


Kawruh / ajaran spectakular dan sangat rahasia ini bersumber dari istilah Yuning Rat yang
bersumber dari kisah Arjoena-Sasra Baoe karya pujangga R.Ng.Sindoesastra (Van Den Broek,
1870:31,33). Ungkapan yang sama: Sastra Hajendra Hayuning Bumi (ibid:30) Sastra Hajendra
Hayuningrat Pangruwating Barang Sakilar (ibid:31), atau Sastradi (ibid:31), sastra Hajendra
(ibid:31), sastra Hajendra Yuningrat Pangruwating Diyu (ibid:31), sastra Hajendra Wadiningrat
(ibid:31), Sastrayu (ibid: 32, 34), atau sastra Ugering Agesang Kasampurnaning Titah Titising
Pati Patitising Kamuksan (ibid:32), Jatining Sastra (ibid:32).

Arti masing-masing istilah ini adalah:

a. Sastra Hajendra Yuning Rat (ilmu ajaran tertinggi yang jelas mengenai keselamatan alam
semesta)

b. Sastra Harjendra Wadiningrat (ilmu ajaran keselamatan alam semesta untuk Meruwat
raksasa).

c. Sastra Hajendra Wadiningrat (ilmu ajaran tertinggi tentang keselamatan alam semesta rahasia
dunia)
d. Sastrayu (ilmu ajaran keselamatan)

Penafsirannya sebagai berikut :

a. Seperti diketahui dalam kitab Arjoena-Sasra-Boe tak ada uraian yang memadai tentang bentuk,
isi, dan nilai ajaran Sastra Jendra yang sinengker itu. Namun demikian janganlah lalu ditafsirkan
bahwa di kalangan masyarakat Jawa tidak ada ( terutama pada waktu itu ) yang tidak tahu
tentang bentuk, isi, dan nilai ajaran tersebut. Bahkan sebaliknya justru karena singkatnya uraian
Sindusastra, dapat ditafsirkan bahwa masyarakat sudah tahu dan memahami betul tentang ajaran
yang bersifat rahasia ini. Perihal Sinengker ( rahasia ) itu dapat ditafsirkan bahwa situasi,
kondisi, lingkungan , iklim, suasana sosial dan budaya setempat / waktu Sastra Jendra dilahirkan,
mungkin belum dapat diterima secara iklas dan trasparan oleh masyarakat, akan kehadiran ajaran
Sastra Jendra.

b. Didalam kitab Arjoena-Sasra-Baoe, Sastra Jendra hanya diuraikan secara singkat sebagai
berikut:

Sastrajendra hayuningrat,pangruwat barang sakalir, kapungkur sagung rarasan, ing kawruh tan
wonten malih, wus kawengku sastradi, pungkas-pungkasaning kawruh, ditya diyu raksasa,
myang sato sining wanadri, lamun weruh artine kang sastrarjendra. Rinuwat dening bathara,
sampurna patinireki, atmane wor lan manusa, manusa kang wus linuwih, yen manusa udani, wor
lan dewa panitipun, jawata kang minulya mangkana prabu Sumali, duk miyarsa tyasira
andhandhang sastra.

Terjemahannya adalah sebagai berikut :

Ilmu/ajaran tertinggi tentang keselamatan alam semesta ini untuk meruwat segala hal, dahulu
orang membicarakan pada ilmu ini tapi tidak tau maksudnya, karena telah terbingkai oleh
sastradi. Kesimpulan dari pengetahuan ini bahwa segala jenis raksasa, dan semua hewan di hutan
besar, jika mengetahui arti sastra Jendra. Akan diruwat oleh dewa,menjadi sempurna
kematiannya (menjadi) dewa yang dimuliakan, demikianlah Prabu Sumali, ketika mendengar
hatinya berhasrat sekali mengetahui Sastra Jendra.

c. Secara esensial ilmu/ajaran Sastra Jendra yang berarti ilmu/ajaran tertinggi tentang
kasampurnan, mengandung isi dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, karena pertimbangan
tertentu, maka yang dipaparkan baik dalam Serat Arjunasastra maupun didalam lakon-lakon
wayang hanyalah sebatas KULIT saja, belum mengungkap secara mendasar tentang pokok
bahasan dan materi yang sebenarnya secara memadai. Namun demikian bagi orang yang
memiliki ilmu semiotik Jawa (ilmu tanda atau ilmu tanggap sasmita), mungkin dapat menangkap
maksud dan tujuan ilmu ini , serta dapat memaknai ilmu Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
proyeksi mikro dan makro. (Jagad cilik lan jagad gede).

d. Struktur ilmu/ ajaran sastra Jendra dapat disusun sebagai berikut: Sastra
Jendra/Sastradi/Jatining Sastra/Satrayu Sastra Jendra Hayuningrat (Sastra Jendra untuk setiap
tatasurya) Sastra Jendra Hayuning Bumi ( Sastra Jendra untuk Bumi dimana manusia hidup )
Sastra Jendra Pangruwating Barang Sakelir ( Untuk Meruwat segala Macam mahluk hidup ) SJP
Kewan Dayu Manungsa dan lain-lain (Hewan) (Raksasa) (Manusia) ( gaib ).

Sastra Jendra Hayuning Bumi

(Sastra Jendra untuk bumi dimana manusia hidup) Agama Kepercayaan thd Tuhan YME lainnya
Agama: Sastra Jendra Hayuning Bumi Sastra Jendra utk Bumi dimana manusia hidup ada agama
Islam Katolik Kristen Hindu Budha Kepercayaan terhadap Tuhan YME : Sastra Jendra
Hayuning Bumi ( Serat Jendra untuk Bumi dimana manusia hidup ) Kanuragan Sangkan Paran
Kasampurnan Kasucen (SUAKTTPPK) *SUAKTTPPK = Sastra Urgening Agesang
Kasampurnaning Titah Titining Pati Patising Kamuksan. (Ilmu/ajaran) pedoman hidup
kesempurnaan manusia kesempurnaan mati dan kesempurnaan moksa). Lainnya : Sastra Jendra
Hayuning Bumi (Sastra Jendra untuk Bumi dimana manusia hidup) Agama Kepercayaan thd
Tuhan YME lainnya di dunia.

a. Sastra Jendra sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut naskah pemaparan Budaya dan spiritual. Ada pola dasar ajarannya:

1. Ajaran tentang Tuhan Yang Maha Esa

2. Ajaran tentang Alam semesta

3. Ajaran tentang Manusia

4. Ajaran tentang Kasampurnan (uraian terperinci tidak disajikan di sini) nyuwun sewu..maaf..
Sastra Jendra yang amat luas berasal dari dalam Keraton, dipergunakan oleh para Raja Raja
Mataram. Jadi sudah sejak dahulu ada. Sedangkan ilmu hanyalah terbatas pada Sastra Jendra
yang berurusan dengan peningkatan watak dan perilaku raksasa saja. Itulah sebabnya diambil
nama Sastra Jemdra Hayuningrat Pranguanting Diyu. Seseorang sebelum menyerap dan belajar
ilmu ini harus mengerti terlebih dahulu tentang mikro dan makro kosmos. Sesudah itu baru
secara bertahap di memahami, menghayati dan mengamalkan :

1). Kasatriyan (Kesatriaan)

2). Kadewasan (Kedewasaan)

3). Kasepuhan

4). Kawredhan ( semua tidak bisa di ungkapkan di sini ) maaf..

Ilmu ini sungguh bersifat sangat amat rahasia dalam arti tidak mungkin disebar luaskan secara
terbuka, karena penuh dengan laku bathin yang tidak sepenuhnya bisa diterima umum secara
rasional.

ANDA INGIN MOKSA ADA CARANYA


1. Sallahu allaihi wasallam,
Peksi Nala,
mulih he muliya,
he; Rengkulu, Saka Guru,
Sumuruping Kadratullah,
murub mumbul ing ngawang padhang,
haningali, hawang-hawang.
2. Awang dalem tinut dening iman;
Seg, padang teka padhang,
lah padhang, adoh katon cedhak,
katon byar padhang,
teka padhang,
Peksi Nala, wengakna lawang suwarga,
inepen lawang neraka.
3. Repp…. gregg….hiya iku Peksi Nala;
Kang misesa liyeping Karsa Mulya,
tan ana kerasa,
sampurna ing badane,
selamet sak parane,
teka sakajate! Amin, Amin, Amin!

Terjemahan:

1. Sallahu allaihi wasallama;


Peksi Nala,
Kembali…. hei…. kembalilah,
hei, Rengkulu, Matahari, Saka Guru,
yang meresap dikodratullah,
menyala dan membubung diangkasa cemerlang,
melihati langit dan angkasa.
2. Wahana-MU diturut oleh iman;
Seg, teranglah dan terang,
okh, terang, sekalipun jauh terlihat dekat,
kelihatan…. pyaar…. cemerlang terang,
sekonyong-konyong………. terang,
Peksi Nala, bukalah pintu surga ini,
tutuplah pintu neraka ini.
3. Repp…. gregg….yaitu Peksi Nala;
Yang misesa liyepnya Karsa Yang Mulia,
tiada terasa apa-apa,
sempurnalah dibadannya,
selamatlah kemana perginya,
sampailah segala niatnya! Amin, Amin, Amin!

Makna bait-bait wirid di atas khusus bagi orang yang akan menuju keakhir kejadian, atau
sewaktu kita hendak ajal! Karenanya, dilarang untuk bahan pembicaraan, menjaga kemurnian
sastra tersebut, kalau memang diperlukan hanya dua kali di ucapkan untuk “menolong” orang-
orang yang akan meninggal dunia, artinya hanya di peruntukkan dua orang pada hari itu bilama
(di desa) tempat kita terdapat kematian!

Kalau wirid dibait-bait tersebut hanya dibaca saja tanpa pengertian yang mendalam samalah
artinya kalau kita sewaktu meneriakkan slogan-slogan reklame; seyogyanya dihafal serta
mengerti satu persatu apa dan dimana, surga, neraka dan akhirat serta bagaimana cara
menyelaraskan wahana tersebut. Saya yakin apabila tidak disebar luaskan, maka Ilmu Kamuksan
di atas akan lenyap bersama orang-orang Tua-tua yang mempunyai Ilmu itu atau Wirid Ilmu
Khaq Sejati yang sempurna, dikarenakan uleh dua faktor:

 Pertama, orang Tua-tua kita masih merahasiakan,


 Kedua, dibawa oleh puputnya umur orang-orang tersebut!
Sungguh-sungguh akan berterimakasih para jiwa-jiwa yang meninggalkan badannya
setelah mendapat “wisikan atau bisikan” bunyi ilmu tersebut…, karena peribahasa
memberikan tongkat orang yang akan tergelincir, atau memberikan obor orang yang
sedang kegelapan!

Cara untuk mengamalkan ilmu tersebut (kepada siapa ilmu itu diberikan), terserah kepada para
pembaca, kalau tidak dengan wajar sebagaimana Guru mengajar muridnya, (seyampang orang-
orang selagi hidup) setidak-tidaknya “berikan ilmu” ini terhadap orang yang akan menemui ajal
dengan cara membisikkan melalui telinga kirinya!

Dengan demikian mulai sekarang, dari pada kita dicekam rasa kecewa dibelakang hari, sebab
pada alam Sakarotilma’oti tidak seorangpun akan dapat menolong kita, sekalipun dengan suatu
“matram” yang dianggap ampuh!

Untuk lebih memudahkan dan meresapi dalam mengamalkan ilmu tersebut, dengan penjelasan
sebagai berikut :
a. “Peksi Nala” artinya : Peksi = burung, sedangkan Nala = hati (dari bahasa Kawi), jadi
maksudnya hati laksana burung.

Sedangkan “Ilmu Kamuksan” berasal dari bahasa Kawi yang artinya : mati dengan disertai
badannya, wadagnya atau jasadnya, hal-hal mana dulu banyak dilakukan para leluhur kita seperti
para Raja-raja, Pandhita-pandhita pada zamanya!”.

“Rengkulu, Srengenge-srengenge (matahari), Soko Guru” artinya:

 Rengkulu = bantal,
 Srengenge-srengenge = sifat panas,
 Soko Guru = tiang rumah yang jumlahnya empat; kiasannya, hati manusia itu sadar-
taksadar-selalu bersandar kepada empat nafsu yang selalu panas!”.

“Sumuruping Kodratullah” bahasa ini mempunyai dua makna : “sumuruping” atau dapat
diartikan meresap atau telah mengetahui. Bila “sumurup” ini disamakan dengan “surup” akan
menjadi “kesurupan” artinya dimasuki; jadi yang tepat adalah “meresapi”, jelasnya semua
pekertinya bathin yang berpangkal dari “hati” itu, benar-benar diresapi oleh kodratnya Allah atau
hati adalah benar-benar bekerja atas kuasanya Allah! Ingat bahwa semua yang lahir maupun
yang bathin adalah kehendak dan af’al-Nya!.

b. Yang terpenting dalam pengamalan Peksi Nala sewaktu “mendobrak” pintu surga dan neraka,
selanjutnya surga dan neraka adalah “jodohnya” atau dapat diganti dengan sebutan: senang atau
susah, sehat dan sakit adalah satu rasa yang dirasakan oleh hati, di dalam dalil Qur’an
diterangkan bahwa azab neraka berpangkal dari tiga pintu, tetapi pintu-pintu yang sebenarnya
berjumlah tujuh!

Uraian-uraian selanjutnya sejajar dengan Wirid Hidayat Jati. Inilah hakekatnya dari pada Roh
dan Hati Surga dan Neraka:
1. HATI PU’AT : ialah jantung, pintunya di puser, rohnya disebut Rohullah; Surganya
dinamakan Jannatul Na’iem, maksudnya… lebih nikmat, buktinya tidur pulas. Nerakanya
Jahanam, artinya lebih panas, buktinya lapar dan sakit perut!
2. HATI MUZARAT : YAITU Syulbi, pintunya di zakar, rohnya Roh Qudus, Surganya Jannatul
Adnin, maksudnya lebih elok, buktinya keluar mani, Nerakanya Zakinn, artinya lebih dingin,
buktinya waktu mandi zinabat, atau kencing!

3. HATI TAWAJUH : yaitu perut, pintunya di anus (zubur), rohnya Roh Syirikul’alam,
Surganya Jannatul Thawwab, maksudnya puas, buktinya kentut dan berak; Nerakanya disebut
Wailun maksudnya lebih sakit, buktinya waktu sakit berak dan berak darah!

4. HATI SALIM : yaitu ginjal, pintunya di hidung, nafsunya Mutmainah; warnanya putih,
kerjanya mencium, membau, rohnya Roh Ruhkani; Surganya Jannatul Firdaus, artinya lebih
lama, buktinya keluar masuhnya nafas; Nerakanya disebut Asfala’safilien, maksudnya sesak
nafas, tandanya sakit mengi (sesak nafas)

5. HATI SANUBARI : yaitu limpa, pintunya di mata, nafsunya Sufiyah, warnanya kuning,
pekernya melihat, rohnya Roh Rabani; Surganya Jannatul Syamsi, artinya lebih terang, buktinya
mengetahui segala yang ada; Nerakanya Syahhir, artinya gelap…, nyatanya sakit lamur atau
buta!
6. HATI MAKNAWI : yaitu empedu, pintunya di telinga, nafsunya Amarah, warnanya merah,
rohnya Roh …. (?); Surganya Jannatul Ma’oti, artinya lebih elok, buktinya perpaduannya suara;
Nerakanya Laliem, maksudnya pepet, nyatanya sakit telinga atau tuli!

7. HATI SAWADI: yaitu usus, pintunya mulut, nafsunya Aluamah, rupanya hitam, pekertinga
bicara, rohnya Roh Ilafi, Surganya Jannatul Syukhri, artinya lebih suka, nyatanya tertawa;
Nerakanya Sukhra, maksudnya risi, nyatanya waktu menangis!

Ini suatu budaya yg hilang, apapun itu kita sebagai bangsa yg besar tetap harus menghormati
peninggalan leluhur, sabar ini musti artikan ke dalam bahasa Indonesia.

Makna sebenarnya dari Ilmu Kamuksan diatas terletak bulat-bulat pada kesempurnaan badaniah
yang mengharuskan kesehatan disamping latihan bathin yang khusus bagi kebatinan! Apakah
hanya dengan membaca wirid Ilmu Kamuksan tersebut akan otomatis begitu saja setelah ajal kita
sampai, kemudian badan dan jiwa sempurna dan lenyap? Syukurlah kalau wirid diatas tanpa
dipelajari dan tanpa syarat-syarat apapun dapat menyempurnakan pati dan hidup kita! Kalau
jawabannya “belum” percumalah, walaupun bagaimana keampuhan wirid-wirid tersebut tetap
tidak akan dapat menolong! Sesuai falsafah Jawa, asal kita dapat melatih Semedi pada jam-jam
tertentu dengan melatih juga “mengembalikan” kondisi aslinya indriya-indriya tersebut misalkan
: kembalikan suara, artinya melatih tidak mendengar sesuatu, kembalikan bau artinya hidung
berhenti dulu tidak membau dan sebagainya; bukan berarti seperti zaman yang sudah-sudah kita
diharuskan mengembalikan “suara kepada yang punya suara”, dalam pemikiran timbul gugatan
“Siapa yang punya suara?”.

Menurut Wirid Hidayat Jati “Iradatnya Dat” dalan bahasa Indosnesia-nya kurang lebih sebagai
berikut: karena sebenar-benarnya yang menjadi larangan atau pantangan dari para ulah Ilmu
Kasampurnan itu hanya terletak pada “nafsu”. Kalau dapat mengikis (mengurangi) biasanya
timbul hati yang awas dan ingat (awas lan emut, Jawa).

Karena benar-benar bahwa kita hidup melulu pengemban rasa dengan keterangan-keterangan
Hidayat Jati tersebut benar dan nyata bahwa surga dan neraka yang berpintu tujuh dari poko
asalnya (salurannya) berpintu tiga bukan di “sana-sana” tetapi… disilah, dibadan kita yang
keselurahannya minta perhatian khusus, agar tidak nyeleweng yang dapat menimbulkan rasa-rasa
yang kita inginkan! Sesungguhnya memang Peksi Nala-lah yang dapat mempengaruhi, misesa,
memerintah atau mengendalikan semua hasrat-hasrat lahir bathin; karenanya benar-benar sukses
atau tercapai segala tujuan, hanya terletah pada hati.

Harap diingat bahwa wirid tersebut sekali lagi hanya dapat “MERINGANKAN” jalannya Roh
waktu meninggalkan badan sewaktu ajal, agar tidak terperosok ke alam penasaran, lebih-lebih
kalau mulai sekarang kita amalkan dan hayati sesuai petunjuk Guru masing-masing, insya’allah
ajal kita menuju sempurna, kembali ke asal awalnya “DARI TIADA RASA KE TIADA RASA”!
Amin, Amin, Amin.

lha….ini ada cara moksa hilang sama sekali badan kasarnya, kalau kandjeng tulis bisa pada
kemingsun semua…..secret….kalau ingin belajar MKG benar dgn teratur baru kita infokan, nanti
ndak kegeden empyak kurang cagak.

Kasampurnan Ala Serat Pangracutan


Serat Kekiyasanning Pangracutan adalah salah satu buah karya sastra Sultan Agung Raja
Mataram antara (1613-1645). Serat Kekiyasaning Pangracutan ini juga menjadi sumber
penulisan Serat Wirid Hidayat Jati yan…g dikarang oleh R.Ng Ronggowarsito karena ada
beberapa bab yang terdapat pada Serat kekiyasanning Pangracutan terdapat pula pada Serat
Wirid Hidayat Jati. Pada manuskrip huruf Jawa Serat kekiyasanning Pangracutan tersebut telah
ditulis kembali pada tahun shaka 1857 / 1935 masehi. Disyahkan oleh pujangga di Surakarta
RONG no-GO ma-WAR ni SI ra TO = Ronggowarsito atau R. Ng. Rongowarsito.

SARASEHAN ILMU KESAMPURNAAN


Ini adalah keterangan Serat tentang Pangracutan yang telah disusun Baginda Sultan Agung Prabu
Hanyakrakusuma Panatagama di Mataram atas perkenan beliau membicarakan dan temu nalar
dalam hal ilmu yang sangat rahasi…a, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan
harapan dengan para ahli ilmu kasampurnaan.
Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma
Panatagama adalah:

I. Panembahan Purbaya
II. Panembahan Juminah
III. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya
IV. Panembahan Juru Kithing
V. Pangeran Kadilangu
VI. Pangeran Kudus
VII. Pangeran Tembayat
VIII. Pangeran Kajuran
IX. Pangeran Wangga
X. Kyai Pengulu Ahmad Kategan

Berbagai kejadian pada jenasah

Adapun yang menjadi pembicaraan, beliau menanyakan apa yang telah terjadi setelah manusia
itu meninggal dunia, ternyata mengalami bermacam-macam kejadian pada jenazahnya.

a. Ada yang langsung membusuk

b. Ada jenasah yang masih utuh

c. Ada yang hilang bentuk jenasahnya ? tidak berbentuk lagi

d. Ada yang meleleh menjadi cair

e. Ada yang menjadi mustika ( permata )

f. Istimewanya ada yang menjadi hantu

g. Bahkan ada pula yang menjelma menjadi hewan

Masih banyak pula kejadian lainnya, bagaimana itu bisa terjadi, apa penyebabnya. Ini
disebabkan adanya kelainan atau salah kejadian (tdk wajar), makanya pada waktu hidup berbuat
dosa, setelah menjadi mayatpun akan mengalami sesuatu, masuk kedalam alam penasaran.
Karena pada saat proses sakaratul maut hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak
dapat memusatkan pikiran hanya pada satu jalan yaitu menghadapi maut, seperti yang akan
diutarakan dibawah ini :

1. Pada waktu masih hidup, siapapun yang senang, tenggelam dalam kekayaan, kemewahan,
tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai akhir hayatnya, maka jenasahnya akan
menjadi busuk dan kemudian menjadi tanah liat, sukmanya melayang gentayangan,
diumpamakan bagai rama-rama tanpa mata. Sebaliknya bila pada saat hidupnya gemar
menyucikan diri lahir batin, hal itu sudah termasuk lampah, maka kejadiannya tidak
demikian.
2. Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat puasa tetapi tidak mengenal batas
waktunya, bila telah tiba saat kematiannya, maka mayatnya akan teronggok menjadi batu
dan membuat tanah pekuburannya menjadi sangar, adapun rohnya akan menjadi Danyang
Semorobumi. Walaupun begitu, bila pada masa hidupnya mempunyai sifat nrima, sabar,
artinya makan, tidur, tidak bermewah-mewah, cukup seadanya dengan perasaan tulus
lahir batin kemungkinanya tidak akan seperti diatas kejadian di akhir hidupnya.
3. Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal, dapat menahan hawa nafsu, berani
dalam lampah dan menjalani mati didalam hidupnya, misal mengharapkan agar jangan
berbudi rendah, rona muka manis, tutur kata sopan, sabar dan sederhana, se…muanya itu
jangan sampai berlebihan dan haruslah tahu tempatnya situasi dan kondisi, yang
demikian itu maka keadaan jenasahnya akan mendapat kemulyaan sempurna dalam
keadaan yang hakiki, kembali menyatu dengan Dzat Pangeran Yang Maha Agung, yang
dapat menghukum, dapat menciptakan apa saja, ada bila menghendaki, datang menururt
kemauannya.
4. Siapapun yang melantur dalam mencegah syahwat atau hubungan seks, tanpa mengenal
waktu, pada saat kematian kelak jenasahnya akan lenyap melayang, masuk kedalam
alamnya jin setan dan roh halus lainnya, sukmanya sering menjelma dan menjadi…
semacam benalu atau menempel pada orang,seperti genderuwo dan sebagainya yang
masih senang menggangu wanita, kalau berada dipohon yang besar, kalau pohon
dipotong maka benalu tadi akan ikut mati. Walaupun begitu, bila pada masa masih hidup
disertakan sifat jujur, tidak berbuat mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita
yang bukan haknya, semua itu bila tidak dilanggar tidak akan begitu kejadiannya.

Berbagai jenis Kematian

1. Mati Kisas adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari perbuatan
orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena keputusan pengadilan
atas wewenang raja.
2. Mati Kias adalah jenis kem…atian yang diakibatkan oleh suatu perbuatan, misalnya
menahan nafas atau mati karena melahirkan.
3. Mati Syahid adalah jenis kematian karena gugur dalam perang, dibajak, dirampok dan
disamun.
4. Mati Salih adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri, karena mendapat aib
atau sangat bersedih.
5. Mati Tiwas adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, tersambar petir, tertimpa
pohon, jatuh karena memanjat pohon, dan sebagainya.
6. Mati Apes adalah suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi, santet, tenung
dari orang lain, …yang demikian itu benar-benar tidak dapat sampai pada “Kematian
yang Sempurna” atau keadaan Jati bahkan dekat sekali dengan alam penasaran.

Berkatalah beliau : “Sebab-sebab kematian tadi yang mengakibatkan kejadiannya lalu apakah
tidak ada perbedaannya antara yang berilmu dengan yang bodoh ? Andaikan yang menerima
akibat dari kematian seornag pakarnya ilmu mistik, mengapa tidak… dapat mencabut seketika
itu juga ?”

Dijawab oleh yang menghadap : “Yang begitu itu mungkin disebabkan karena terkejut
menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam
batin yang dirasakan hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat
keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam melaksanakannya tetapi kalau selalu ingat
petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar dapat mencabut seketika itu juga.

Setelah mendengar jawaban itu beliau merasa masih kurang puas menurut pendaat beliau bahwa
sebelum seseorang terkena bencana apakah tidak ada suatu firasat dalam batin dan pikiran, kok
tidak terasa kalau hanya begitu saja beliau kurang sependapat oleh karenanya beliau
mengharapkan untuk dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu pendapat yang
lebih masuk akal.

Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah benar, karena sebenarnya
semua itu masih belum tentu , hanyalah Kangjeng Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat
melaksanakan ngracut

Sebab-sebab inilah yang membuat dan mengakibatk…an kejadian, seandainya dapat meracut
seketika dalam keadaan terkejut atau tiba-tiba, teringat dengan apa yang diyakininya akan
ilmunya maka akan dapat meracut seketika.

Wedaran Angracut Jasad.


Pangracutan Jasad yang dipergunakan oleh Susuhunan Kalijogo dan Syekh Siti Jenar adalah
sama, karena hanya mereka yang dapat meracut seketika dan tiba-tiba, seperti dibawah ini;

“Badaningsun jasmani wus suci, ingsu…n gawa marang kaanan(kahanan) jati tanpa jalaran pati,
bisa mulya sampurna waluya urip salawase, ana ing ‘alam donya ingsun urip tumekane ‘alam
kaanan(kahanan) jati ingsun urip, saka kodrat iradatingsun, dadi sakciptaningsun, ana
sasedyaningsun, teka sakarsaningsun.”

“Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata (hidup yang sesungguhnya), tidak
diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi selamanya, di dunia aku hidup, sampai
dialam nyata ( hidup yang sesungguhnya ,akherat=Akhiring Rat) aku juga hidup, dari kodrat
iradatku, terjadi apa yang kuciptakan, apa yang kuinginkan ada dan datang apa yang
kukehendaki.”

Wedaran Menghacurkan Jasad.


Adapun pesan beliau Kangjeng Susuhunan di Kalijogo sebagai berikut: “Siapapun yang
menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau terjadinya mukjijat seperti para Nabi,
mendatangkan keramat seperti para W…ali, mendatangkan ma’unah seperti para Mukmin Khas,
dengan cara menjalani tapa brata seperti pesan dari Kangjeng Susuhunan di Ampel Denta

1. Menahan hawa nafsu, selama seribu hari siang dan malam sekalian
2. Menahan Syahwat (Seks), selama seratus hari siang dan malam
3. Tidak berbicara, artinya membisu dalam empatpuluh hari siang dan malam
4. Puasa padam api ( pati geni ) tujuh hari tujuh malam
5. Puasa padam api ( pati geni ) tujuh hari tujuh malam
6. Jaga, lamanya tiga hari tiga malam
7. Mati raga, tidak bergerak-gerak lamanya sehari semalam

Adapun pembagian waktunya dalam lampah seribu hari seribu malam itu begini caranya:

1. Menahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari, lalu diteruskan dengan;
2. Menahan syahwat selama 40 hari lalu dirangkap juga dengan;
3. Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari. Adapun membisu bila sampai pada 33 hari
dilanjutkan dengan;
4. Pati geni selama 7 hari tujuh malam, setelah mendapat 4 hari 4 malam dilanjutkan
dengan;
5. Menahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari, lalu diteruskan dengan;
6. Menahan syahwat selama 40 hari lalu dirangkap juga dengan;
7. Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari. Adapun membisu bila sampai pada 33 hari
dilanjutkan dengan;
8. Pati geni selama 7 hari tujuh malam, setelah mendapat 4 hari 4 malam.

Adapun caranya untuk Pati raga adalah Tangan bersidakep kaki membujur lurus dan menutup 9
lubang di tubuh, tidak bergerak-gerak, menahan berdehem, batuk, tidak meludah, tidak berak,
tidak kencing selama sehari semalam. Yang bergerak hanya kedipan mata, tarikan nafas, anafas,
tanafas, nufus, artinya tinggal keluar masuknya nafas yang tenang jangan sampai tersengal
sengal campur baur.

Kyai Penghulu Ahmad Kategan menjawab: “Adapun perlunya pati raga itu, sebagai sarana
melatih kenyataan, supaya dapat mengetahui pisah dan kumpulnya Kawula Gusti, bagi para
pakar ilmu kebatinan pada jaman kuno dulu dinamakan dapat Meraga Sukma, artinya berbadan
sukma, oleh karenanya dapat mendakatkan yang jauh, apa yang dicipta jadi, mengadakan apapun
yang dikehendaki, mendatangkan sekehendaknya, semuanya itu dapat dijadikan suatu sarana
pada awal akhir. Bila dipergunakan ketika masih hidup di Dunia ada manfaatnya, begitu juga
dipergunakan kelak bila telah sampai pada sakaratul maut.

Urutan dalam Kematian dan Apa yang harus Dilakukan

Walaupun hanya panuwunan, yang dilewati juga alam kematian, kalau sampai lengah juga
berakhir mati atau mati benar-benar. Adapun tata caranya begini : Sedakep dengan kaki lurus
berdempet, menutup kesemua lubang, jari-jari kedua belah tangan saling bersilang, ibu jari
bertemu keduanya, lalu ditumpangkan di dada. Dalam sikap tidur itu kedua belah kaki
diluruskan, ibu jari kaki saling bertem…u, kontol ditarik keatas dan zakarnya sekalian, jangan
sampai terhimpit paha. Pandangan memandang lurus dari ujung hidung lurus ke dada hingga
tampak lurus melalui pusar hingga memandang ujung jari . Setelah semuanya dapat terlihat lurus
maka memulai menarik nafas tadi. Dari kiri tariklah kekanan dan dari arah kanan tariklah kekiri.
Kumpulnya menjadi satu berada di pusar beberapa saat lamanya, maka tariklah keatas pelan-
pelan jangan tergesa-gesa. Kumpulkan nafas, tanafas, anafas, nufus diciptakan menjadi perkara
gaib. Lalu memejamkan mata dengan perlahan-lahan, mengatubkan bibir dengan rapat, gigi
dengan gigi bertemu. Pada saat itulah menheningkan cipta, menyerah dengan segenap perasaan
yang telah menyatu, pasrah kepada Pangeran kita pribadi. Setelah itu, lalu memantrapkan adanya
Dzat, seperti dibawah ini:

Anjumenengkan Dzat:
“Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, anglimputi ing kawulaningsun, tunggal dadi sakahanan,
sampurna saka ing kudratingsun.”

“Aku mengumpulkan Kawula Gusti yang bersifat Esa, meliputi dalam kawulaku, satu dalam satu
keadaan dari kodrat-Ku.”

Mengatur Istana:
“Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu Agung, kang amurba amisesa kang
kawasa, andadekake ing karatoningsun kanga gung kang amaha mulya. Ingsun wengku
sampurna sakapraboningsun, sangkep, saisen-isening karatoningsu…n, pepak sabalaningsun,
kabeh ora ana kang kekurangan, byar gumelar dadi saciptaningsun kabeh saka ing kudratingsun.”

“Aku Dzat yang Maha Luhur, yang menjadi Raja Agung. Yang menguasai segala sesuatu, yang
kuasa menjadikan istana-Ku, yang Agung Maha Mulia, Ku Kuasai dengan sempurna dari
kebesaran-Ku, lengkap dengan segala isinya Keraton-Ku, lengkap dengan bala tentara-Ku, tidak
ada kekurangan, terbentang jadilah semua ciptaanKu, ada segala yang Ku-inginkan, karena
kodrat-Ku.”

Meracut Jisim:
“Jisimingsun kang kari ana ing alam dunya, yen wis ana jaman karamat kang amaha mulya, wulu
kulit daging getih balung sungsum sapanunggalane kabeh, asale saka ing cahya muliha maring
cahya, sampurna bali Ingsun maneh, saka ing kodratingsun.”

“Aku meracut jisim-Ku yang masih tertinggal di alam dunia, bila telah tiba di zaman
keramatullah yang Maha Mulia, bulu, kulit,kuku, darah, daging, tulang, sungsum
keseluruhannya, yang berasal dari cahaya, yang berasal dari bumi, api, angin, bayu kalau sudah
kembali kepada anasir-Ku sendiri-sendiri, lalu akau racut menjadi atu dengan sempurna kembali
kepada-Ku, karena kodrat-Ku.”

Menarik Anak:
“Aku menarik anak-Ku yang sudak pulang kerahmatullah, kaki, nini, ayah, ibu, anak dan isteri,
semua darah-Ku yang memang salah tempatnya, semuanya Aku tarik menjadi satu dengan
keadaan-Ku, mulia sempurna karena kodrat-Ku.”

Mengukut keadaan Dunia:


“Aku mengukut keadaan dunia, Aku jadikan satu dengan keadaanKu, karena kodrat-Ku.”

Mendo’akan Keturunan:
“Keturunanku yang masih tertinggal di alam dunia, semuanya semoga mendapatkan
kebahagiaan, kaya dan terhormat, jangan sampai ada yang kekurangan, dari kodrat-Ku.”

Mengamalkan Aji Pengasihan:


“Aku mengamalkan Aji pengasih, kepada semua mahkluk-Ku, besar, kecil, tua, muda, laki-laki,
perempuan, yang mendengar dan melihat semoga welas asih padaKu, karena kodrat-Ku.”

Menerapkan Daya Kesaktian :


“Aku menerapkan Daya Kesaktian, kepada semua mahkluk-Ku, barang siapa yang tidak
mengindahkan Aku, akan terkena akibat dari kesaktian-Ku, karena kodrat-Ku.”
Setelah begitu, maras menutup di hati, menimbulakan rasa sesak nafas, oleh karenanya harus
selalu ingat dan sentosa, jangan sampai kacau balau pernapasannya, tanafas, anpas, nuppus tadi,
karena nafas itu ikatan jisim, berada di hati suweddha, artinya menjembatani fikiran yang suci,
keadaanya jadilah angin yang keluar saja. Tannapas itu talinya hati siri, letaknya di pusar,
keadaannya menjadi hawa yang berada dalam tubuh saja. Anpas itu adalah talinya Roh, berada di
dalam jantung, keadaannya hanyalah menjadi angin di dalam saja. Nupus itu tali Rahsa, artinya
berkaitan dengan Atma, berada di dalam hati pusat yang putih, berada di pembuluh jantung,
keadaannya menjadi angin yang kekiri kekanan, dari ulah perbuatannya itu dapat meliputi
segenap organ tubuh dan rokhani.

Bila sudah begitu roh larut lalu terasalah kram seluruh organ tubuh, mengakibatkan mata
menjadi kabur, telinga menjadi lemas, hidungpun lemah lubang hidung menciut, lidah mengerut,
akhirnya cahaya suram, suara hilang, yang tinggal hanyalah hidupnya fikir saja, karena sudah
dikumpulkan ururtan syare’at, hakekat, tarekat, dan makrifat.

1. Syare’at itu lampahnya badan, berada di mulut


2. Hakekat itu lampahnya nyawa, berada di telinga
3. Tarekat itu lampahnya hari, berda di hidung
4. Makrifat itu lampahnya rahsa, berada di mata

Adapun yang ditarik terlebih dahulu adalah penglihatannya mata, diumpamakan kaburnya kaca
Wirangi, atau asalnya air Zam-zam Lalu rasanya mulut, diumpamakan rusaknya jembatan
Siratalmustakim, atau Ka’batullah.

Lalu penciumannya hidung, yang diumpamakan gugurnya gunung Tursina atau robohnya
gunung Ikrap Lalu pendengarannya telinga, diumpamakan hancurnya sajaratulmuntaha, atau
melorotnya Hajaratu’l Aswad. Kemudian tinggallah merasakan nikmat pada seluruh bagian
tubuh, melebihi kenikmatan ketika sedang bersenggama pada saat sedang mengeluarkan rahsa,
pada saat itulah batinlah suatu tekad yang kuat, seperti diibaratkan huruf Alif yang berjabar
(berfathah), diejer (kasroh), da diepes (berdlomah) bunyinya menjadi: A. I. U

 A artinya : Aku
 I artinya : Ini
 U artinya : Hidup (urip)

Setelah itu menciptakan kerinduan kepada Dzat, bagaikan merindukan kepada Dyah Ayu, supaya
jangan sampai igat kepada anak cucu yang ditinggalkan. Karena akan keliru ciptanya yang
akhirnya mengakibatkan melesetnya dari tujuan yang sebenarnya…. Semua itu tinggal
menimbang pertimbangannya ciptanya pribadi, didalam tiga pangkat :

a. Yang pertama, bila benar-benar sentausa, akan mendapatkan anugerah dari Pangeran, dapat
hidup diawal akhir, langgeng tidak mengalami perubahan.

b. Yang kedua, berhubung dicapai waluya sejati, padahal tidak mengalami menderita sakit, atau
tidak mempuyai dosa, maka dapat melakukan berbadan sukma.

c. Yang ketiga, bila didalam ciptanya masih ada rasa ragu-ragu, bimbing, pada akhirnya
hayatnya pasti akan menemukan tiwas ke tempat yang salah.

Ini kawruh manunggaling kawula gusti, ilmu luhur…kawruh yg luar biasa…tanpa


tanding…ilmunya raja2 jawa..tetap hrs di mulai dr dasar..ini yg ku keluarkan sebatas wacana, ora
ono ilmu tanpa laku..

MAKNA KEMATIAN
Al-Mukminin: 99 – 100, ada kata Bardzahchun (aling-jawa) berbatas, yaitu yang disebut Kubur,
orang pintar tidak bisa kembali lagi, karena sudah hancur dan busuk tidak bisa dipakai karena
sudah ditinggalkan (mati), yang menempati alam kubur hanya keinginan-keinginan saat hidup
didunia, permintaannya bisa terjadi lagi, itu keluhan si Roh.

Roh yang menempati alam kubur itu tidak akan terjadi lagi seperti tubuh yang kita pakai, seperti
halnya pakaian yang tidak koyak dibuang, harus ganti baru. Seumpama Roh tadi bisa lahir lagi
memakai jasmani, diterangkan di sifat 20:

1. Roh (jiwa manusia) memakai sifat 20 yang ke 5, yaitu sifat Allah Qiyamuh Binafsihi;
berdiri sendiri, bangun sendiri tanpa ada sebab apa-apa (Qiamat), umpama Roh tidak
memakai jasmani geraknya berdiri sendiri, bisa melewati alam kosong (suwung-jawa),
tidak ada yang menghalang-halangi, Roh pergi tanpa keinginan yang kotor, umpama air
kotoran itu bercampur, kotoran Roh tadi sudah membekas (tabet-jawa) dari keinginan
nafsu serakah (tamak) dan keinginannya tidak seberapa (pasif), ada yang hanya getaran
(aktif). Yang aktif itu bebannya berat, mudah tenggelam dalam air, dan yang pasif tadi
tidak tenggelam. Karena dua-duanya sama-sama menanggung beban, itu sebabnya bisa
lahir lagi karena kodratnya Allah sendiri. Dari kata-kata sendiri (Qun Fayakun) apa yang
dikehendaki, umpama ingin menghadap kepada-Nya.
2. Ukurannya hanya 2: (a) Siapa saja yang Rohnya bisa menyatu dengan sifat Layu Kayafu
(lan kena kinaya-jawa) sama dengan menghadap Allah. (b) Tidak akan menghadap atau
di Qiamatkan lagi, walaupun didunia kelihatannya Alim dan Takwa.

Menurut keterangan diatas, Roh itu hanya ada dua jenis; Baik dan Kotor. Suci ukuran dunia;
tidak pernah menjalani perbuatan yang tidak baik, tetapi suci ukuran Allah; tidak pilih kasih
tetapi sama saja (sama) mengerjakan kata-kata di ayat Qur’an Surat Al-Arraf: 29 diatas, artinya
bisa merasakan seperti bayi yang baru lahir, tetapi ukuran dunia sebaliknya; suci bagi Allah,
kotor itu semua yang merasakan yang mengalami yaitu yang menanggung sengsara, dan
sengsarnya (menanggung Roh menyorong mundur majunya kemauan) tidak diketahui yang lain
kecuali Allah Yang Maha Tahu. Tentang itu tadi batin bisa mengingkari, bukti dan rasanya
menanggung itu siapa saja yang menyesali barang yang telah hilang walaupun sedikit pikirannya
teringat, marah dan hidupnya tidak tentram.
Orang mati keluarnya nyawa melewati rasa, ingat asal Rohnya masih merasa memiliki apa-apa,
walupun sudah ditinggal Rohnya sudah tidak merasa apa-apa, orang yang sudah menyingkirkan
keinginan Sekaralnya (sekaratul maut) tidak melalui rasa ingat, sama dengan menyatunya hamba
dan Allah (Layu Kayafu).

Karena jalannya Qiamat sudah diterangkan, oleh sebab itu tanda hari Qiamat bila diselaraskan
dengan tanda Lahir ternyata cocok. Di keterangan Qiyamuh Binafsihi; berdiri dengan sendiri,
besar sendiri, bergerak sendiri, buang hajat sendiri, buang air seni sendiri, hidup sendiri artinya
memiliki sifat Qiyamuh Binafsihi yaitu sifatnya Allah. Air mani yang dikeluarkan dari Pria
diterima oleh mani wanita, lalu menjadi gumpalan darah didalam Rahim Ibu menjadi bentuk
seperti bayi masih bentuk titik lubang kecil, lubang lama kelamaan membentuk lubang-lubang
alat untuk bekerjanya Panca Indra, lama-lama membentuk bayi yang sempurna laki-laki atau
perempuan, sebab adanya sifat 20 Qiyamuh Binafsihi.

Tiap-tiap yang hidup itu bisa besar sendiri, tumbuh sendiri (Qiyamuh Binafsihi), sifat
membesarkan (mengembangkan) dan membentuk dan lain-lain. Karena perut wanita kecil jadi
tidak tahan menahan benda yang membesar, lalu lair sendiri karena sifat Qiyamuh Binafsihi. Jadi
lahir itu perjalanan yang tetap (Qiyamat), jadi bayi lahir 9 bulan 10 hari itu ketentuan kodrat
(batas melahirkan) dan kalau ada bayi lahir sebelum waktunya itu kesalahan yang mengandung
(kurang perawatan) atau kecelakaan.

Firman Allah : Qur’an surat Al-Zalzalah: 1 – 8

1. Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat),


2. dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya,
3. dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi begini)?”,
4. pada hari itu bumi menceritakan beritanya,
5. karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.
6. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya
diperlihatkan kepada mereka (balasan) amal perbuatan mereka,
7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun (debu yg halus), niscaya dia
akan melihat (balasan)nya.
8. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya pula.

Kata Guncang atau bergerak kuat itu terjadi seperti karena gempa, gunung meletus, tanah
longsor. Umpama goyangnya badan jasmani, sebenarnya mengalami kejadian tadi seperti
gemetar takut jumpa dengan harimau, gemetar hampir kejatuhan kelapa dan lain-lain, seperti itu
sebenarnya bukan hancurnya tubuh (jasmani), tetapi tetap keadaan hidup dan bisa merasakan
apa-apa,

Qur’an surat Al-Qaari’ah: 1 – 11

1. Hari Qiamat,
2. apakah hari Qiamat itu?
3. Tahukah kamu apakah hari Qiamat itu?
4. Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,
5. dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan’
6. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya,
7. maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan’
8. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,
9. maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah’

10. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?

11. (Yaitu) api yang sangat panas.

Surat diatas bila kita teliti secara jernih, intisarinya Qiamat itu bukan kerusakan tetapi tentang
kejadian-kejadian yang sangat mengherankan. Menerangkan rahasia-rahasia ayat yang diatas
perlu contonh-contoh yang bersangkutan ilmu bumi dan sejarah;

1. Pada zaman dahulu manusia hidup menurut Kodrat, kebisaaan melahirkan kandungan sangat
berbahaya menurut ukuran zaman dahulu karena sudah ada adat tradisi, jadi bagi orang zaman
sekarang dianggap bisaa, contoh yang diatas kalau di qiyas (teliti) dengan keadaan jasmani,
persis makna ayat suci yang diatas ada kata-kata kejadian yang mengerikan, maksudnya bagi
perasaan bergetar karena takut dan badan merasa pegal-pegal dan gemetar yang dirasakan oleh
wanita yang mengalami kelahiran pertama.

2. Bila ada wanita yang hamil pertama kali perutnya pasti bulat dan runcing seperti gunung, lalu
sewaktu melahirkan mereka merasa ketakutan (ngeri-jawa) dan badannya pegal-pegal dan lain-
lain. Seperti apa rasanya wanita yang akan melahirkan, ada yang mengatakan perang Sabil
(perang suci karena Allah) jika tidak selamat bisa saja mati, karena sudah waktu perutnya
mengecil karena isi perutnya yang belum diketahui sudah keluar (lahir) dan perutnya yang
menonjol seperti gunung mengabarkan kepada yang melahirkan, tentang apa yang dilahirkan
tadi. Kalau itu dikatakan gunung meletus mirip dengan ayat-ayat Al-Zalzalah tadi tentang
gunung meletus, bumi bergoyong-goyang hebat. Kalau itu disampaikan orang semestinya tidak
cocok dengan ayat Al-Qur’an seperti diatas, karena ayat mengatakan hanya gunung, karena kalau
berhubungan dengan perasaan gunung itu sama dengan menempati jasadnya manusia sendiri.

Surat Al-Zalzalah: 2 mengatakan: Mengeluarkan semua isinya, itu tinggal menebak saja isi
kandungan tadi.

Pada ayat: 6, ada kata supaya mengetahui usahanya sendiri, sudah jelas pasti lahir lagi dari
keinginan nafsu, karena nafsu menyebabkan mengutif keinginan yang terdahulu (hidupnya
dahulu).
Artinya ayat: 7 – 8, keterangannya lebih jelas dan manusia tetap berjalan dari melanjutkan
keinginan kehidupan dahulu, sudah jelas sebabnya lahir lagi untuk mengutip hasil yang
membekas, jadi bekas yang tidak baik membayar yang tidak baik dan baik membayar baik, dan
menurut perasaan buruk dan baik orang lain tidak mengetahui, hanya pikiran sendiri.

Buktinya bagaimana ayat suci diatas tadi hidup sehari-hari, itu terdapat pada 11 ayat, Surat Al-
Qaari’ah : 1,2,3, artinya pada sewaktu hari melahirkan bayi (tanda Qiamat) yang pertama di
alami oleh wanita dan setiap makhluk perempuan, para makhluk yang menjadi wadah umat.

Karena itu ayat: 4 mengatakan para wanita (istri) hari itu merasa takut, was-was, sangsi-
sangsinya itu sebenarnya tidak sendiri, karena pada hari itu wanita diseluruh dunia ada yang
mengalami melahirkan atau terkena guncang-guncangan (Qiamat).

Ayat : 5, artinya disitu ada kata gunung hancur seperti Dzarah (debu yang halus), ayat itu
sebenarnya ditujukan kepada perasaaan yang merasakan akibat tadi. Umpama kepala terbentur
benda keras, sewaktu kepala merasa pusing dan sakit mengakibatkan mata berkunanng-kunang
dan berputar-putar seperti debu yang halus berterbangan, sperti itu sebenarnya tidak terjadi
benar-benaran, hanya umpama. Pusing para wanita yang baru hamil 3 bulan (waktu
melahirkan/keguguran).

Ayat: 6, di tujukan kepada yang baru mengalami rumah tangga atau sicalon orang tadi (bayi),
jiwanya membawa bekas keinginan yang dulu baik atau buruk. Apa sebabnya kalau bayi lahir
tadi membawa bekas hidupnya yang dulu, tingkah laku tidak sama dengan yang membawa
dahulu, karena sudah lain tempatnya (jasmani).

Jiwa (roh) itu tidak memilih jasmani yang mana, sebab sudah kehendak Allah, dan jasmani itu
barang baru yang bisa rusak dan busuk, karena yang bertanggung jawab itu bukan jasmani
melainkan Rohani (rohnya), jadi bukan pekerjaan sepak atau terjang manusia yang dahulu. Yang
memakai jasmani lagi, tetapi perjalanan Roh yang dahulu untuk membayar bekas-bekas
keinginan (Tabet-tabet-jawa) keinginan.

Ayat: 7, menolak salah pendapat yang mengatakan dunia itu hancur, di ayat itu terdapat kata
hidup, yang maksudnya hidup yang memakai jasmani yang lengkap dan hidup., itu bukan
hancurnya keadaan. Jadi benar dengan keterangan lahir di dunia dengan keadaan selamat. Jadi
kalau ada bayi lahir (Qiamat) mati (tidak ada tanda-tanda hidup), itu sudah lain urusan lagi,
artinya tidak di bicarakan di kitab suci Al-Qur’an, dan lainnya yang dibicarakan dan yang
ditakut-takuti melalui siksa dan lain-lain, jadi lahir tidak hidup itu bukan benda apa-apa, sama
dengan barang yang tergeletak ditanah.

Keterangannya begini; bayi lahir mati itu seperti mainan anak-anak, mobil-mobilan, boneka dan
lain-lain. Beda bayi lahir hidup. Lalu sekian menit mati itu Rohnya yang memakai jasmani baru
tadi rohnya keluar, gentayangan di alam kubur, mengalami seperti sebelum memakai badan
jasmani.

Dan ayat: 2, sebaliknya dari ayat: 6, ayat: 9, mengatakan tempatnya di neraka, itu kebisaaan dari
dahulu, neraka itu dianggap tempat yang ada apinya yang menyala-nyala, mengerikan dan lain-
lain. Lalu di karang atau ditafsirkan disana menakut-nakuti. Mencari nama neraka tidak berbeda
dengan mencari kata-kata Qiamat, kubur atau Barzah. Di cari keterangannya yang luas
sehubungan dengan pendapat Hadist Nabi, Wali dan Mukmin haz.

a. Kata-kata di Al-Qur’an surat Maryam: 95


“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari Qiamat dengan sendiri-sendiri.”

Surat Al-Kahfi: 48

“Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang
kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakan kamu pada kali yang pertama (bayi lahir); bahkan
kamu mengatakan bahwa Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu[hari
pembalasan] perjanjian”
b. Kata-kata di Injil surat Korinta 16 Pag 475; Yes 25; 8 ayat 51, 52, 53 dan 54 tentang Qiamat;
“dan Kamu kuberitakan simpanan (rahasia), begini; kita tidak mengalami mati semua, tetapi
semua akan merubah wajah, spontan (sekejab mata) bersama terompet (sangkakala) yang
terakhir. Sebab sangkakala akan berbunyi, orang mati akan dibangunkan jadi abadi, dan kita
akan berubah wujud (jasad baru).

Di atas tadi ada kata-kata Reinkarnasi, menjelma, kalau melihat sehari-hari mati, hidup, buah,
tetap bergilir dari zaman dahulu. Jadi kata penjelmaan itu tetap ada yang sudah ditetapkan dari
Sunnahnya Allah, seperti dunia sudah diatur secara sempurna.

Sebenarnya Islam itu menolak lahir lagi, karena ada ukuran Islam di dunia kalau sudah menyatu
dengan Allah (At’tauhid), kalau sudah mati sudah sempurna (Innalillahi Wa Inna Illaihi Raji’un).
Kata-kata surat Maryam: 95, mengatakan : “semua pada hari Qiamat akan menghadap
kehadapan Allah dengan sendiri”.

Kata sendiri bagi ukuran lahir, sama dengan tidak berteman, di wedaran Wirid sebenarnya bayi
lahir ke dunia sendiri, tidak merasakan apa-apa, tidak mengetahui ibunya, apa saja itu tidak bisa
diteliti dengan ayat Qur’an, surat Al-Kahfi : 48 di atas, umpama ada bayi lahir kembar atau lebih,
antara si bayi dengan bayi yang lain tidak mengenal dan tidak ingat apa-apa.

Untuk meyakinkan keterangan di atas, ayat dari kitab Injil mengatakan “kita tidak akan mati
semua, artinya bukan rusak dunia dan umatnya, tetapi masih lestari hidup didunia, jadi yang
mengatakan Qiamat itu rusak, itu tidak benar. Ada kata-kata lagi begini : “semua berubah wajah
dengan sekejab mata”, berubah sekejab mata itu jelas benar, bila ada lahir wajahnya berupa-rupa,
ada yang gagah, cantik, jelak dan lain-lain, orang hanya tahu saja itu datangnya ke dunia hanya
sekejab mata, berubah wajah itu artinya jasmaninya di ganti dengan jasad yang baru.

Si X yang tadi mempunyai idam-idaman, keinginan mempunyai wajah yang cantik, walaupun
keinginan lama membekas (tabet-jawa) tetap tidak bisa karena sudah ganti Roh si X di
Qiamatkan melalui jasmani baru.

Qur’an surat Al-Mukminun: 99 – 100


99: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada
seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia)”
100: “agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak.
Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding
sampal hari mereka dibangkitkan”

Artinya orang mati itu tidak bisa berusaha apa-apa lagi, balik seperti semula atau memohon yang
lebih baik, karena dibatasi alam barzah, siapa yang mati jasmaninya hancur jadi abu (tanah). Di
Indonesia tidak ada orang yang seperti Gajah Mada, artinya cita-cita yang melekat pada Roh
Gajah Mada diteruskan dengan bayi yang wajahnya tidak seperti Gajah Mada.

Ayat suci di kitab Qur’an surat Ar-rum: 52

“Maka Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat
mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka itu
berpaling membelakang”

Artinya ayat-ayat itu jelas, bila kita-kita suci Injil, Taurat, Zabur dan Al-Qur’an itu tidak bisa
untuk memberi ilmu kepada orang yang berada di dalam kuburan, tetapi kitab-kitab itu isinya
untuk orang hidup dan jalannya yang menyentuh dengan tentang Qiamat, sebenarnya sama
dengan lambang (istilah), karena di situ banyak kata-kata yang intisarinya seperti dunia dan
isinya hancur seperti debu.

Kalau menyatakan kata-kata ayat yang ada, ada yang berbeda :


1. Kejadiannya benar-benar terjadi,
2. sebagai contoh, kalau dua-duanya diteliti sama-sama masuk akal, umpamanya seperti
terjadinya hari Qiamat.
Siapa saja kalau badan merasa sakit, melihat apa-apa pasti pusing dan badan terasa goyang
(pitam-jawa). Contoh di atas kalau dicocokan dengan ayat-ayat Al-Qur’an orang-orang yang
hidup bisa merasakan, Dan bisa di rasakan orang yang mati mengalami sekaratul maut, masih
bisa merasakan tanggung jawab Roh.

Kata-kata mengalami sekaratul maut, itu belum mati, karena masih bisa merasakan. Sekaratul
maut itu apa tidak di katakan Qiamatnya Roh yang akan pindah ke alam kubur. Qiamat itu
bangkit dari kubur, kalau sekaratil maut itu merasa tidak enak, karena belum mati. Walaupun
merasa pusing karena terbentur atau sewaktu Sekaratil Maut masih bisa ingat dan ingat itu
alatnya orang hidup.

Menurut ucapan Nabi Muhammad SAW yang terdapat di Hadist riwayat Bhukari seperti yang di
atas, Qiamat artinya tumbuh dari bawah keatas (dari Sudra ke Brahmana-kasta), dari sifat rendah
menjadi sifat luhur atau mulia.

Nabi Muhammad dan Qur’an tidak pernah mengucapkan Qiamat itu rusak / hancur. Dan dalam
buku Wirid Hidayat Jati di tulis ayat : 1 sampai 10 itu diteliti, seperti orang yang merasa
kesusahan itu tidak enak. Kalau dibandingkan dengan tandanya Qiamat di Wirid ini ternyata
Hidayat Jati itu menerangkan tentang mati atau rusak dunia manusia (jasmani).

Kata mengambil jelas seperti mencabut nyawa, dalam Wirid Hidyat Jati diterima bisa saja, lalu
mengalami bertentangan dengan Wedaran Wirid ini serta ucapan Nabi Muhammad dan Qur’an;
1. Wedaran Wirid berdasar sunnah, Hadist dan Qur’an, Dalil, Hadist, Ijemak dan Qiyas; jadi kata
Qiamat itu bayi lahir dengan selamat.

2. Wedaran Hidayat Jati yang berdasarkan Dalil, Hadist, menyatakan; umpama hari Qiamat
sama-sama kedatangan Malaikat Jibril untuk mencabut nyawa, tetapi dengan sedikit demi
sedikit, artinya mengurangi kerjanya Panca Indra.

Di Qur’an, Hadist dan kitab lainnya tidak ada menyalahkan adanya dilahirkan lagi, berputar,
menjelma dan tidak ada yang membenarkan. Reinkarnasi, dilahirkan lagi, penjelmaan itu ditolak
dengan agama Islam, sebenarnya yang menolak bukan Qur’an, Hadist dan Injil, tetapi para
sarjana (cendikiawan) yang mempunyai gologan menolak dilahirkan kembali kedunia yaitu
Ikhtikat Ma’rifat dan Islam (sempurna), lalu di buat pedoman orang awam (bisaa) kalau sudah
masuk agama apa saja menolak dilahirkan kembali, menjelma dan Reinkarnasi, akan tetapi
perputaran itu tetap ada (tidak pernah berhenti).

Jadi orang yang belum bisa At’tauhid (menyatu dengan Allah) harus melalui Qiamat, pakai
badan jasmani, sehingga bisa sembahyang (shalat) Ma’rifat (Semadhi) sehingga mencapai Islam
sejati, baru disebut Innalillahi wa innaillaihi rajiun (menghadap/kembali kepada Allah).

WISESA JATI
Sengaja saya memakai istilah ‘kaweruh’ artinya pengetahuan supaya berbeda dengan ‘ilmu’
yang bernuansa supranatural atau kesaktian. Sedangkan ‘wisesa jati’ adalah penguasaan yang
sejati atau pengendalian.
Jadi maksud dari kaweruh wisesa jati adalah pengetahuan tentang pengendalian, mulai dari
mengendalikan diri sendiri maupun mengendalikan alam yang tujuannya adalah mengendalikan
hidup pribadi.

Kaweruh wisesa jati adalah suatu pemahaman tentang supranatural, spiritual maupun filsafat
orang jawa dalam sudut pandang mindsetting dan sugesti.

Bukan untuk meng-ilmiah-kan budaya jawa tetapi hanya sebuah pemahaman dengan logika
jaman sekarang apakah adat dan tradisi jawa yang detail, rumit dan sarat dengan filosofi namun
kadang tersamar dalam kiasan itu masih relevan dengan era global yang serba praktis, cepat dan
langsung ke tujuan.

Pemahaman ini dirangkum dari berbagai sumber baik yang tersurat dan tersirat dalam primbon,
tembang, kidung dan sebagainya maupun yang tersamar dalam ritual, laku dan cara hidup orang
jawa. Mungkin sangat berbeda sekali pokok bahasannya karena memang saya mengamati dari
sisi dan sudut pandang yang berbeda dari biasanya.

Kaweruh wisesa jati adalah pengetahuan terapan maksudnya adalah pengetahuan untuk dijalani
sehari-hari seperti sebuah ‘laku’ dalam tradisi jawa.

Adapun tujuan dari laku ini adalah untuk meningkatkan kemampuan didalam pengendalian
dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Pengendalian diri pribadi.

Meliputi mengenal ‘sejatining pribadi’ , pengendalian perilaku, memanfaatkan chakra, self


healing, self motivation, dsb.

2. Pengendalian alam.

Meliputi mengenal alam semesta, memanfaatkan energi alam semesta, dsb.

3. Pengendalian Hidup.

Meliputi manunggaling kawulo gusti, memproyeksikan kehidupan masa depan, me-wiradati


kodrat dsb.

Yang mana akan dicapai sebuah kehidupan yang selaras dengan alam dan seimbang antara
kehidupan jasmani & rohani atau material & spiritual.

Meskipun menggunakan istilah pengendalian bukan berarti mensejajarkan diri dengan kekuasaan
Tuhan tetapi justru sebaliknya untuk lebih mengerti tentang system yang diciptakan Tuhan untuk
alam semesta ini sehingga kemampuan dalam memahami dan mengendalikan adalah berdasarkan
atas rasa kepasrahan total atas kekuasaan Tuhan. Karena bagaimanapun juga semua kejadian di
dunia ini adalah terjadi atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

I. Hidup Selaras dengan alam.

Tuhan menciptakan alam semesta termasuk didalamnya adalah manusia, dengan suatu system
yang sempurna untuk mengendalikan, merawat dan menjaga system tersebut tetap berjalan.
Dengan adanya system tersebut maka kinerja dari alam semesta dijalankan secara otomatis, terus
menerus dan saling berkait sesuai apa yang sudah menjadi ketentuan dan kehendak Sang
Pencipta.

Adanya malam dan siang, gravitasi bumi, pergantian musim dan lain sebagainya adalah
menunjukkan bahwa alam semesta berjalan dalam sebuah system yang lebih dikenal sebagai
hukum alam. Sementara hukum sebab akibat yang ada pada manusia dikenal sebagai karma,
takdir dan lain sebagainya.

Kesadaran tentang hukum alam yang saling berkait ini sudah ada pada budaya jawa sejak jaman
dahulu, mulai dari masa animisme dan dinamisme sampai kemudian ke masa masuknya agama
dan kepercayaan kesadaran akan pengaruh alam semesta terhadap manusia ini masih bertahan.
Manusia jawa percaya bahwa mereka tidak hidup ‘sendirian’ di alam semesta ini, mereka
percaya bahwa ada ‘kehidupan lain’ yang berdampingan dan berkaitan dengan kehidupan
manusia. Kehidupan lain tersebut bisa saja berada di pohon, batu, gunung, laut dan sebagainya
yang tampak oleh mata ataupun kehidupan yang tidak terlihat oleh mata, yang kesemuanya bisa
berpengaruh terhadap kehidupan manusia.

Keyakinan bahwa alam semesta sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia inilah yang
mewarnai budaya jawa sehingga pola hidup tradisional orang jawa adalah selalu selaras dengan
alam. Ilmu perbintangan (pawukon), zodiak (weton), petungan, katuranggan, sampai ilmu
tentang pusaka menunjukkan bahwa orang jawa selalu berpedoman dengan hukum alam dan
selaras dengannya.

Sementara perwujudan akan pengakuan atas eksistensi dan pengaruh alam dalam kehidupan
manusia terlihat dari bermacam ritual dan sesaji yang mana pada hakekatnya semua hal tersebut
adalah bentuk dari pengakuan bahwa manusia jawa hidup ‘bertetangga’ dengan kehidupan lain di
alam semesta ini.

Manakala konsep hidup selaras dengan alam ini mulai luntur dan diingkari maka yang terjadi
adalah kehidupan yang tanpa arah. Kehidupan yang menuntut segala sesuatu secara instant
memunculkan hidup dalam rasa tertekan yang mengakibatkan banyaknya penyakit, turunnya rasa
kepedulian sosial, arogansi, dan depresi dalam masyarakat. Sementara eksplorasi alam yang
tidak bijak menyebabkan kerusakan alam di mana-mana yang pada akhirnya menimbulkan
berbagai bencana alam.

Lunturnya pola hidup yang selaras dengan alam ini terjadi karena banyak faktor namun yang
paling besar pengaruhnya bisa disimpulkan seperti di bawah ini :

1. Karena pengajaran dari nenek moyang orang jawa yang unik dengan berbagai symbol
dan kiasan (perlambang dan sanepan) sehingga membuat banyak penafsiran sehingga tak
jarang justru penafsiran yang salah yang banyak dipercaya masyarakatnya.
2. Pengaruh masuknya agama dan budaya modern membuat semakin lunturnya konsep
hidup selaras dengan alam ini.

Pada masyarakat yang merasa modern menganggap bahwa budaya ini tidak rasional dan tidak
ilmiah sehingga dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Sementara
dikalangan masyarakat agamis konsep ini dianggap bertentangan dengan ajaran agamanya,
meskipun sebenarnya hal tersebut dikarenakan pemahaman spiritual yang sangat dangkal. Kedua
faktor tersebut, diakui atau tidak, sangat berperan dalam proses lunturnya konsep kehidupan
budaya yang sarat dengan keselarasan terhadap alam.

Ironisnya justru kesadaran untuk hidup selaras dengan alam dan bahwa alam sangat berpengaruh
terhadap kehidupan manusia justru mulai tumbuh dan berkembang di negara-negara barat yang
lebih dikenal sebagai masyarakat yang mengedepankan rasio dan sektarian. Berbagai teori baru
muncul dan meyakini bahwa alam berpengaruh terhadap kehidupan manusia baik dalam
membentuk karakter, kehidupan ekonomi dan sosial sesorang. Sebuah teori baru di negara barat
yang sudah dijalankan oleh nenek moyang orang jawa selama berabad-abad.

II. Alam semesta.

Dalam pandangan budaya jawa di alam semesta ini terdapat dua alam yang disebut sebagai jagad
alit (micro cosmos) dan jagad ageng (macro cosmos). Secara fisik, seperti halnya teori barat,
jagad alit (micro cosmos) adalah alam manusia sedangkan jagad ageng (macro cosmos) adalah
alam semesta/jagat raya, namun dalam pandangan hakekat atau supranatural jawa sebenarnya
adalah kebalikannya bahwa jagad alit (micro cosmos) adalah alam semesta dan jagad ageng
(macro cosmos) adalah alam/diri manusia.

Pandangan tersebut dikarenakan bahwa alam semesta ini berjalan menurut takdirnya sebagai
contoh: bumi berputar mengelilingi matahari, arah putaran bumi dan kecepatanya berjalan sesuai
takdir atau hukum alam, bumi tidak memiliki kehendak untuk berhenti atau berbalik arah
misalnya.
Sedangkan kehidupan manusia berjalan atas kehendak, manusia makan, minum dan beraktifitas
dalam hidupnya semua berjalan atas kehendaknya sendiri.

Begitulah maka dalam hakekat dan pandangan supranatural jawa bahwa alam atau diri manusia
lah sebenarnya yang disebut sebagai jagad ageng (macro cosmos) karena mempunyai kehendak
dalam mengatur pergerakannya.

Pandangan ini diperkuat dalam kisah wayang tentang Dewa Ruci, alkisah dalam puncak
perjalanan sang Bima untuk mencari Tirta Perwita Sari (air kehidupan) sampailah dia ke dasar
samudera dan bertemu dengan Dewa Ruci makhluk kecil merupakan miniatur dirinya yang mana
hanya kepada Dewa Ruci ini lah Bima bisa melakukan duduk dan berposisi sembah. Bima pun
ragu ketika diperintahkan untuk masuk ke tubuh dewa ruci mengingat tubuh raksasa sang Bima
tidak sebanding dengan kecilnya tubuh Dewa Ruci yang hanya sekepalan tangan. Namun kata
Dewa Ruci jangankan tubuh sang Bima,bahkan alam semesta pun bisa masuk ke dalam
tubuhnya, dan ketika sang Bima masuk kedalam tubuh Dewa Ruci maka tampaklah olehnya
bulan, bintang, matahari serta alam semesta berada bersamanya.

Cerita wayang tersebut menjelaskan tentang makna bahwasanya manusia memiliki kuasa atas
pengendalian alam semesta.

III. Bagaimana alam semesta mempengaruhi kehidupan manusia?

Kedua alam baik jagad alit maupun jagad ageng masing-masing memiliki sifat saling kuasa
menguasai atau dalam bahasa jawa disebut dengan istilah wisesa amisesa wus. Keduanya bersifat
untuk cenderung menjadi dominan dalam kehidupan, namun demikian jagad alit yang ada dalam
diri manusia akan lebih banyak mengontrol sedangkan alam semesta cenderung bersifat
merespon karena memang jagad manusia lah yang memiliki kehendak sedangkan alam semesta
hanya berjalan sesuai takdir.

Jadi sebenarnya manusia itu sendirilah yang mengatur dan mengendalikan kehidupanya apakah
menjadi sedih, gembira, miskin, kaya, beruntung, sial, dan sebagainya, karena alam semesta
hanya merespon dan menciptakan situasi sesuai dengan ‘perintah’ yang berasal dari pikiran
manusia.

Nah, yang banyak terjadi adalah manusia justru ‘dikuasai’ oleh respon alam karena tidak
menyadari bahwa dirinya mengirim sinyal tersebut dan justru menjadi lebih meyakininya sebagai
takdir.

Untuk lebih jelasnya saya berikan contoh sebagai berikut :

 Kehidupan di kota besar menuntut orang-orang untuk berfikir, bekerja atau bertindak
lebih cepat karena besarnya tingkat persaingan, alam pun merespon pikiran tersebut dan
menciptakan situasi dimana orang-orang menjadi lebih agresif dan serba cepat, tekanan
akibat situasi yang diciptakan alam ini mendorong dan meyakinkan kembali manusia
bahwa memang mereka harus agresif, demikan berulang seperti lingkaran yang tak
berujung membuat manusia terjebak dalam situasi yang sebenarnya tercipta karena hasil
pikiran sendiri.
 Seorang pengeluh akan selalu menemukan situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan
dan membuatnya mengeluh karena dia terjebak dalam sinyal pikirannya sendiri dan
meyakini akan respon alam semesta.
 Seorang periang akan selalu menemukan situasi dan kondisi yang menyenangkan yang
membuatnya selalu riang gembira karena respon alam semesta membuatnya gembira
maka sinyal yang dipancarkan dari pikiranya adalah kegembiraan, demikian berulang
kembali sehingga membuatnya menjadi seorang yang periang.
 Jika anda perhatikan sepenggal bait lagu yang berbunyi “ yang kaya makin kaya, yang
miskin makin miskin” maka fenomena tersebut bisa dijelaskan bahwa orang miskin
merasa bahwa dia harus bekerja keras untuk mendapatkan kekayaan dan merasa dirinya
tidak memiliki kekayaan sehingga alam meresponnya dengan membuat situasi dan
kondisi dimana dia serba kekurangan serta harus bekerja keras untuk mendapatkan
kekayaan, sementara sebaliknya orang kaya berfikir bahwa dia akan mudah untuk
mendapatkan harta dan merasa memiliki kekayaan sehingga alam meresponnya dengan
situasi dan kondisi dimana dia akan dengan mudah mendapatkan kekayaan dan selalu
dalam kondisi berkecukupan.

Begitulah, dalam bahasa jawa dikenal ungkapan ‘lahir kuwi utusane batin’ apa yang terlihat
lahiriah sebenarnya adalah perintah atau suatu perwujudan dari apa yang ada dalam batin/fikiran,
jika anda selalu berfikir positif maka anda juga akan mendapatkan hal-hal yang positif demikian
sebaliknya.

Nah, jika anda tidak puas dengan kehidupan anda sekarang ini maka mulailah merancang seperti
apa kehidupan yang anda inginkan dengan mengubah cara berfikir anda kemudian biarlah alam
semesta merespon dan menciptakan situasi dan kondisi sesuai kehendak anda.

IV. Pengendalian Diri.

Tahap awal dalam mengendalikan diri ini adalah mengenal diri pribadi masing-masing mulai
dari fisik, supranatural, spiritual, dsb sampai didapat sebuah gambaran tentang ‘sejatining
pribadi’, dengan demikian akan disadari tentang tataran dan kapasitas diri.

Dengan mengetahui ‘sejatining pribadi’ maka akan didapat rasa percaya diri yang tepat bukan
‘over-confidence’ namun juga bukan minder, ibarat memiliki sebuah komputer kita tahu berapa
kapasitasnya sehingga akan jelas bagaimana meng-up grade untuk meningkatkan
kemampuannya serta tahu tujuan dan penggunaanya.

A. Ruwat

Ruwatan adalah suatu ritual di jawa yang bertujuan untuk menghilangkan sukerta atau sengkala
yang bermakna membuang segala pengaruh buruk pada diri manusia, karena dipercaya ada orang
dengan kriteria tertentu yang membawa sukerta tersebut alami sejak lahir. Pada perkembanganya
ruwatan juga dilakukan untuk membersihkan pengaruh-pengaruh buruk untuk suatu tempat atau
orang-orang yang sedang terkena kesulitan hidup, seperti misalnya jika suatu daerah sering
terkena bencana alam, wabah penyakit, atau jika seseorang sering mengalami musibah dan
kesulitan ekonomi.

Jika tradisi ritual ruwatan ini masih eksis sampai sekarang tentulah karena memang ritual
tersebut telah terbukti merubah kehidupan banyak orang menjadi lebih baik atau setidaknya
sudah terbukti menghilangkan atau setidaknya meminimalkan pengaruh-pengaruh buruk yang
sering dialami.

Tentu saja banyak pula yang tidak mendapatkan pengaruh apa-apa setelah dilakukan ritual
ruwatan namun mungkin jika dibandingkan dengan yang berhasil prosentase nya lebih sedikit.
Apa sebenarnya ritual ruwatan tersebut jika dikaji dalam hubunganya dengan alam semesta, dan
mengapa ada yang berhasil dan gagal?

Hakekat ruwatan sebenarnya adalah mindseting ulang fikiran manusia, dari fikiran bahwa dirinya
selalu akan mendapat kemalangan, penyakit, musibah dan sebagainya, untuk itulah maka istilah
yang dipakaiadalah ‘dibersihkan’ artinya adalah membuang semua fikiran-fikiran negatif tentang
kehidupan pribadi dan memulai dengan mindset baru. Jika kemudian ada yang berhasil karena
mereka bisa meninggalkan mindset yang lama sehingga respon alam berupa situasi dan kondisi
yang buruk tidak lagi berlaku karena telah diganti dengan ‘kehendak’ baru yang akan membuat
alam semesta merespon dengan situasi dan kondisi sesuai mindset yang baru, sementar
kebanyakan yang gagal adalah karena masih meyakini mindset lama dan tidak mampu meyakini
perubahan yang diinginkan.

Jika anda ingin kehidupan yang lebih baik maka anda perlu diruwat, perbaharui mindset anda
agar mendukung keinginan anda. Maka anda pun akan terkondisi dengan prilaku dan situasi yang
membawa anda menuju keberhasilan tujuan anda. Bebaskan diri dari rasa ketakutan &
kekhawatiran yakinlah dalam mencapai tujuan seperti sebuah anak panah yg lepas dari busurnya
yg tdk akan berhenti sebelum mencapai titik sasaran.

Laku
Laku dan tirakat adalah cara orang jawa dalam berusaha mencapai suatu keinginan mulai dari
keinginan akan suatu ilmu, kekayaan, kesaktian, pangkat, rejeki dan sebagainya yang merupakan
keinginan orang dalam hidup. Namun laku ini bukan lah suatu usaha yang berhubungan dengan
keinginan tersebut tetapi lebih cenderung ke arah spiritual atau keyakinan. Banyak macam orang
dalam menjalani laku mulai dari puasa, tidak tidur, berendam di sungai, sampai kepada ritual
yang aneh dan tidak masuk logika orang modern yg lain, yang kesemuanya bertujuan agar apa
yang menjadi harapan mereka bisa tercapai.

Jika di aplikasikan pada jaman sekarang pastilah akan terasa berat untuk tidak tidur atau
berpuasa selama 7 atau 40 hari penuh tanpa makan, sementara kewajiban atas pekerjaan dan
aktifitas sehari hari menuntut orang untuk tetap fit dan dalam kondisi yang prima. Jika demikian
apakah konsep tentang laku ini sudah tidak relevan lagi dengan kondisi jaman sekarang ataukah
masih perlu untuk dijalankan?

Jawabanya adalah Ya, anda masih perlu menjalankan laku, karena konsep tentang laku ini masih
harus dijalankan dengan menyesuaikan perubahan jaman.

Hakekat laku adalah upaya dalam menjaga agar tetap fokus pada mindset dan tujuan, dengan
demikian akan mendorong dan mengarahkan perilaku seseorang agar selalu tetap dalam arah
yang membangun tercapainya tujuan. Sebagai contoh misalnya ada orang yang menginginkan
kekayaan maka dengan menjalankan laku dia akan menjauh dari tindakan pemborosan atau
berfoya-foya dan kemudian akan cenderung hidup berhemat serta bekerja lebih keras. Jika anda
ingin sukses dalam karir maka jadikanlah pekerjaan adalah laku anda sehingga mendorong anda
bekerja lebih profesional, jujur dan disiplin dengan demikian anda akan terhindar dari kebiasaan
dan etos kerja buruk yang dapat menghancurkan karir anda.

Jadi bisa disimpulkan bahwa yang membuat orang berhasil mencapai tujuannya dengan
menjalankan laku adalah bukan karena bentuk ritualnya melainkan karena mereka akan
cenderung tetap fokus kepada apa yang menjadi tujuan sehingga segala sesuatu yang dikerjakan
akan terkondisi pada arah untuk mencapai tujuan. Jika kita ambil hubunganya dengan
pemahaman tentang alam semesta maka laku akan memperjelas visualisasi tujuan yang terekam
dalam memori otak kita sehingga respon alam semesta akan lebih cepat diterima.

Jika anda ingin sukses dalam mencapai tujuan maka jalankan laku dengan cara tetaplah fokus
pada keinginan untuk mencapai tujuan tersebut.

Mekanisme kehendak

Tindakan manusia dikendalikan oleh 3 unsur yang terdapat dalam fikiran yaitu cipta, rasa dan
karsa, agar tercapai semua tujuan atau cita-cita maka ketiganya haruslah selaras.

 Cipta. Adalah akal fikiran manusia atau semua yang bisa ditangkap oleh panca indera
sehingga bentuk dan visualisasinya jelas.
 Rasa. Adalah hati nurani yang mengendalikan semua perasaan manusia seperti marah,
sedih, gembira, semangat, lesu dan sebagainya.
 Karsa Adalah keinginan atau bagian yang menggerakkan manusia untuk mencapai
keinginannya.

Sebagai gambaran bagaimana ketiga unsur ini berjalan adalah sebagai berikut:

 Keinginan untuk minum misalnya, berawal ketika panca indera kita merespon suhu panas
atau gerah yang ditangkap cipta kita sehingga membuat rasa merespon suasana haus dan
menggerakkan karsa untuk keinginan minum.

 Namun untuk aktifitas atau tujuan yang besar dan tidak bisa spontan sering kali ketiga
unsur tersebut tidak selaras sehingga tujuan menjadi tidak tercapai. Sebagai contoh
misalnya seseorang berkeinginan untuk meraih sukses, cipta atau visualisasi keinginan
yang ditangkap pertama kali mungkin jelas, dan rasa maupun karsa pada saat tersebut
mungkin juga merespon positif namun dalam perjalanan waktu karena benturan kesulitan
dan persoalan yang ditangkap oleh cipta pada berikutnya akan menggoyahkan keyakinan
dalam rasa sehingga berpengaruh pada karsa atau keinginan yang memudar sehingga
akhirnya tujuan tidak tercapai.
Jadi jelas bahwa untuk mencapai tujuan maka ketiga unsur tersebut haruslah selaras yang pada
akhirnya arah dan tujuan akan tetap fokus dan jelas sehingga akan menciptakan respon dari alam
semesta yang mendukungnya.

Dari ketiga unsur tersebut rasa berperan sangat penting karena rasa adalah jembatan antara cipta
dan karsa, rasa adalah keyakinan yang menjembatani antara kenyataan dan harapan. Selain
daripada tersebut karena cipta atau fikiran yang ditangkap sangatlah banyak sehingga akan susah
mengontrolnya satu persatu, sedangkan rasa berhubungan dengan suasana hati sehingga akan
lebih mudah dalam mengontrol namun demikian keyakinan yang ada pada rasa akan sangat
berpengaruh pada semuanya, itulah sebabnya banyak sekali metoda atau cara dalam mengolah
rasa.

Narimo ing pandum lilahing Gusti

Cuma pasrah artinya ‘menerima/ikhlas atas apa yg diberikan Tuhan’, narimo ing pandum bukan
berarti cuma pasrah akan apa yg terjadi, tetapi suatu sikap batin dimana kita ikhlas menerima
apapun yg terjadi setelah kita melakukan upaya dan ikhtiar.

Sikap narimo ini akan membuat kita merasa ‘selalu berkecukupan’ dan tidak akan lelah untuk
mencapai yang lebih, karena usaha dan perjuangan yg dilakukan untuk mendapatkan
peningkatan (materi maupun spiritual) bukan berdasarkan nafsu dan ambisi tetapi sebagai sebuah
laku atau kewajiban manusia dalam hidup.

kalau kata ahli agama kita harus selalu bersyukur atas anugerah Tuhan, kalau kata ahli mind
power jika kita selalu berfikir bahwa kita ‘berkecukupan’ maka alam akan merespon dan
menciptakan kondisi kita menjadi ‘berkecukupan’. orang jawa bilang: narimo ing pandum.

Sapa weruh ing panuju, sasat sugih pager wesi

Setelah diruwat, dibersihkan dari anasir-anasir yg negatif, kekuatiran, ketakutan dan ketidak
yakinan menjadi sirna lalu apa berikutnya ?

 Tetapkan tujuan !
 Tanpa tujuan, perjalanan hanya akan berputar mengikuti waktu.
 Tanpa tujuan, hidup tidak akan memiliki arah yang pasti.

Sapa weruh ing panuju (siapa yg tau akan tujuan hidupnya) sasat sugih pager wesi (seolah-olah
punya (banyak) pagar besi yg melindungi).

Siapapun yg konsisten dalam meraih tujuan pasti tidak akan tergoda oleh segala hal yang
akan menggagalkan atau memperlambat tercapainya tujuan tsb.

Karena tujuan itulah yg akan ‘memagari’ dari pengaruh-pengaruh yg mengagalkannya.

Jangan hanya menggantungkan cita-cita setinggi langit tapi yakinkan dan berusahalah untuk
mencapainya..perjalanan panjang bukan lah satu kali lompatan besar, namun terdiri dari ribuan
langkah-langkah kecil. Nuwun. Rahayu!

KITAB BASAH DAN KITAB KERING


Kata “kitab garing” popular bagi mereka yang suka untuk belajar olah batin. Dalam hidup ini
hendaknya kita tidak hanya belajar tentang “kitab garing” yaitu membaca dan memahami apa
yang tertulis di dalam buku-buku saja. Namun hendaknya kita utamakan membaca serta
menghayati apa yang ada di alam semesta dan mengenal di dalam diri manusia yang dilanjutkan
dengan melaksanakan di dalam perilaku. Ini disebut “kitab teles.” Marilah kita perdalam soal
kitab ini. Di dalam ajaran agama Islam, beriman kepada kitab-kitab-Nya menduduki ranking
ketiga.

Ranking pertama adalah beriman kepada Allah dan ranking kedua adalah beriman kepada
malaikat-Nya. Setelah itu baru beriman kepada kitab-kitabnya, dan ranking keempat adalah
beriman kepada rasul-rasul-Nya, ranking kelima adalah beriman kepada Hari Akhir dan
ranking terakhir keenam adalah beriman kepada takdir. Meskipun disini dikatakan ranking,
namun tidak berarti ranking pertama lebih hebat dan harus didahulukan dari ranking selanjutnya.
Semuanya harus diimani secara total dengan penghayatan dan perilaku yang selanjut-lanjutnya
mulai ranking satu hingga terakhir karena itu sejatinya satu kesatuan. Iman juga tidak hanya
diartikan PERCAYA alias YAKIN terhadap keberadaan sesuatu. Ini tentu saja penghayatan anak
kecil yang dangkal dan masih belum sempurna. Hakikat iman adalah WUJUD PENGAKUAN
baik yang diucapkan maupun yang diyakini di dalam hati dan kemudian dilanjutkan dengan
PERILAKU sehari-hari. Maka, iman dalam arti yang demikian adalah arti iman yang ‘HIDUP’
bukan iman yang ‘MATI’. Keimanan yang sempurna oleh karena itu tidak hanya diucapkan di
mulut saja. Kalau hanya diucapkan di mulut, para maling uang rakyat, para maling kebijakan
moneter, para maling perkara pengadilan pun juga bisa melakukannya. Namun, hakikat
keimanan yang sempurna pasti berbeda. IMAN SEMPURNA akan diraih ketika TELAH
MENDARAH DAGING dalam PERBUATAN sehari-hari. Bisa jadi dia tidak mengucapkannya
di mulut karena enggan dikatakan riya’/sombong. Namun hakikat keimanan terletak pada
bagaimana kelakuan sehari-harinya. Apakah mencerminkan dengan RUKUN IMAN atau tidak.
Oleh karena itu dalam kita beragama jelas membutuhkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan
menerangi pemahaman-pemahaman konseptual yang selama ini telah kita miliki dan kita susun
sebagai pandangan hidup. Kembali ke tema awal yaitu tentang beriman kepada kitab-kitab-Nya.
Sejak taman kanak-kanak, yang kita ketahui adalah Tuhan telah menurunkan kitab-kitab-Nya
pada para rasul. Pemahaman ala anak TK ini pun masih dipermiskin lagi dengan memaknai
kitab-kitab-Nya sebagai barang/benda yang berbentuk buku yang diturunkan kepada para nabi
yang hidup di timur tengah. Ini jelas sebuah pemiskinan makna kitab yang sesungguhnya yang
tidak pantas dilakukan oleh orang-orang yang beriman dan beramal sholeh. Iman terhadap kitab-
kitab-Nya jelas sebuah keharusan. Yaitu mengimani semua jenis kitab yang ada di alam semesta
yang semuanya bersumber dari Yang Maha Esa. Kalau kita memperdalam lagi.. maka apa ada
tulisan yang tidak merupakan kitab-kitab yang berisi sabda-sabda Tuhan di alam semesta ini?

Itu sebab dikatakan bahwa semua pergelaran alam ini disebut PAPAN TANPO
TULIS/SASTRA JENDRA. Jadi kita tidak boleh hanya mengimani kertas-kertas dan
mensucikan teks-teks yang dibuat di pabrik-pabrik kertas. Pemberhalaan teks yang merupakan
KITAB GARING tidak boleh dilakukan oleh mereka yang mengaku orang beriman. Ini sama
saja dengan kita menyembah patung, uang, jabatan, kekuasaan. Marilah kita mengkaji apa
hakikat KITAB TELES itu sesuai yang tertera di dalam Al Quran, surah al-Ankabut 49:

“Sebenarnya, Alquran adalah AYAT-AYAT YANG NYATA DI DALAM DADA orang-


orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-
orang yang dzalim.”

Dari ayat ini, orang yang beriman diharuskan ber-Iqra tentang KITAB DI DADA. Kitab ini
bukan hanya teks yang semata-mata dihafal saja namun dipahami maknanya dan
diimplementasikan dalam sikap hidup dan bertindak. Inilah yang oleh kaum kebatinan jawa
disebut dengan KITAB TELES. Memang, merunut ayat di atas hakikat Al Quran hanya bisa
dibaca oleh orang-orang yang diberi ilmu oleh-Nya. Diberi ilmu tidak sama dengan orang yang
berilmu. Bila berilmu didapat dari proses belajar, maka diberi ilmu didapat dari proses pasrah
total, sumeleh, sumarah kemudian DIA memberi kita hidayah berupa ILMU. Memahami KITAB
TELES yang berupa AYAT-AYAT YANG NYATA DI DALAM DADA, apa ini artinya?
Artinya kita wajib untuk membaca pergelaran alam semesta/MAKROKOSMOS yang ada di
dalam diri manusia. Manusia terdiri dari berbagai unsur penyusun yang bersifat FISIK dan
METAFISIK. Yang Fisik yaitu tubuh biologis kita, dan yang Metafisik yaitu tubuh eterik,
CIPTA, KARSA dan RASA. Di dalam unsur yang METAFISIK itu ada catatan amal perbuatan
BAIK DAN BURUK. Cara membaca kitab di dalam dada ini tidak lain kita perlu belajar tentang
olah kebatinan/olah rasa/dimensi dalam/tasawuf/inner world/praktik mistik agar tersingkap tirai
yang menyelubungi ketidaktahuan kita. Apakah mendalami olah rasa/dimensi dalam/mistik/
kebatinan ini berlebih-lebihan dan sesat, bahkan klenik? Jelas tuduhan itu salah alamat, bahkan
setiap individu harus mempelajarinya. Di agama manapun, praktik olah rasa ini pasti ada. Di
Islam pun ada ilmu mistiknya yang disebut ilmu tasawuf selain ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu
mantiq, ekonomi Islam, nahwu sharaf dan lain-lain… Ilmu tasawuf akan menerangi jiwa
manusia agar selalu awas( untuk selalu mendengar dan membaca ayat-ayat-NYA), eling
(mengingat dan berdzikir pada-Nya) dan waspada (dalam perbuatan/tindakan). Inti olah
kebatinan tingkat lanjut adalah mengenal

“MATI SAJRONING URIP dan URIP SAJRONING LAMPUS.”

Ini adalah jalan MISTIK agar kita bisa merasakan kematian pada saat tubuh fisik kita masih
hidup dan merasakan KEHIDUPAN pada saat tubuh kita telah mengalami KEMATIAN. Di
dalam dua alam baik alam dunia maupun alam kelanggengan/alam kubur dan dua keadaan baik
tubuh kita HIDUP atau tubuh kita sudah MATI, sebenarnya KESADARAN KITA TETAP
HIDUP. Kesadaran yang merupakan pancaran diri sejati (dalam bahasa agama diebut RUH) ini
tetap hidup kekal dan abadi. Tidak mengenal hilang dan lenyap.

Maka, yang perlu dilakukan adalah bagaimana agar seseorang bisa memilih jalan kematian yang
tidak sesat. Bila sesat dan tidak sempurna, maka ruh manusia akan ngelambrang ke alam gaib
yang paling rendah. Memasuki alamnya setan, gendruwo, peri, wewe gombel, tuyul, buto ijo…
benar-benar kasihan. Sekarang, tinggal apakah kita beriman atau tidak terhadap kitab- kitab-Nya.
Bila kita percaya, maka ada baiknya kita meneruskan laku dengan membaca KITAB TELES di
dalam dada. Kita perlu membuktikan apakah diri sejati memang tidak tersentuh kematian. Sebab
bila kita telusuri sejarah rukun iman sebagai berikut. Beriman kepada Allah adalah beriman
kepada Dzat yang baka dan abadi, yang tidak tersentuh kematian dan tetap hidup sampai
kapanpun. Dia tidak bisa ditakar dengan ukuran benda hidup atau mati, yang menciptakan
tempat dan waktu. Selanjutnya, manusia adalah wujud kehendak-Nya, wujud penjelmaan Tuhan
Yang Maha Abadi. Bahkan dalam ajaran Jawa perumpamaan eksistensi Tuhan dan manusia itu
seperti gula dan rasa manisnya.

Lir gula lan manise ta kaki Murti smara batareng sujalma Jalma iku kabyangtane Allah kang
maha agung Dira lepasira ki bayi Ya lahir ya batine Padha khaknya iku Ing jro khak jaba ya
padha Dadi nora lain lahir lawan batin Iku padha kewala

terjemahan:

Seperti gula dan rasa manisnya Hakikat Tuhan ada dalam diri manusia Manusia itu perwujudan
Allah yang Maha Agung Perwujudannya lahir dan batinnya sama-sama benar batinnya benar
lahirnya juga tiada perbedaan lahir dan batin itu sama.

MA’RIFAT ( MANUNGGALING KAWULA GUSTI )


Siraman Air Hidup

Ma’rifat artinya mengetahui, mengenal atau juga bisa disebut pengetahuan, dan dalam arti umum
ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat”
adalah “mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”.
Lewat hati sanubarinya, seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu (Ma’rifat)
diungkapkan para sufi dengan menyatakan: “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari
manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah”.

Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika
seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artinya bahwa
yang dilihat Orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah . Dengan ungkapan ini
terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan
bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan
langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk
menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang
ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil
bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta
keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang
gilang gemilang.

Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah Zunnun al-Misri
(Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan
Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia
menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang
sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta
dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun
menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”.
Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air
mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah
permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.

Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan
sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga
ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah
Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40
hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong
roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.

Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at
Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada
tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh jalan panjang
melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan Cinta atau
Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah
mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab :
“Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena
Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku).
Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.

Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai
sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak
dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan
rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.

Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa


Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:

1. Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.
2. Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan
berdasarkan logika dan penalaran akal.
3. Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada
tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan
Ma’rifat.

Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah

1. Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.
2. Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan
Zahirnya.
3. Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan
melanggar aturan Tuhan.

Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut
serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.

Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat dipahami
bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal
Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima
cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya.
Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu
maqam ke maqam yang lain.Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat
dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu
maqam.

Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak
seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan,
meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh
amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh
Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan
mungkin menampung semua air laut”.

Paham Ma’rifat yang dikemukakan oleh Zunnun Al-Misri dapat diterima al-Ghazali sehingga
paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang
berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima
kaum syari’at. Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami
(W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 – 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan
paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal dengan
“Manunggaling Kawulo Gusti”.

Hakikat
Dalam Tasawuf hakikat adalah imbangan kata syariat yang identik dengan aspek kerohanian
dalam ajaran Islam. Untuk merintis jalan mencapai hakikat seseorang harus memulai dengan
aspek moral yang dibarengi aspek ibadah. Bila kedua aspek ini diamalkan dengan penuh
kesungguhan dan keikhlasan akan dapat meningkatkan kondisi mental seseorang dari tingkat
rendah secara bertahap ke tingkat yang lebih tinggi. Pada posisi tertinggi Tuhan akan menerangi
hati sanubarinya dengan nur-Nya, sehingga ia betul-betul dapat dekat dengan Tuhan, mengenal
Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya.
Di kalangan Sufi orang yang telah mencapai tingkatan ini disebut ahli hakikat. Kalau
dihubungkan dengan Tuhan, hakikat adalah sifat-sifat Allah SWT, sedangkan Zat Allah disebut
al-Haqq. Sufi yang dikenal dengan faham hakikat adalah Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj
yang pernah menyatakan “Ana al-Haqq”.

Pembicaraan mengenai masalah ini tentu tidak bisa dilepaskan dari konsep Ittihad, Hulul dan
Tawhid yang dalam pemahaman selintas dapat diartikan sebagai penyatuan makhluk dan Khalik.
Para ulama Syari’at dalam Islam memandang konsep ini bertentangan dengan Islam. Oleh karena
itu sebagaimana diketahui al-Hallaj mati dibunuh karena mempunyai faham Hulul dan seperti di
Jawa Syekh Siti Jenar juga mengalami hal serupa. Kaum Sufi yang mempunyai faham ini
kelihatannya merasa takut untuk membicarakan Ittihad, Hulul dan Tawhid. Karena itulah uraian
tentang hal ini hanya dijumpai dalam karangan-karangan modern dan tulisan-tulisan para
Orientalis.
Ittihad adalah satu tingkatan dalam Tasawuf ketika seorang Sufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan. Saat itulah terjadi penyatuan antara yang mencintai dan yang dicintai. Dalam
kondisi Ittihad seperti inilah satu sama lain dapat memanggil Ya Ana (wahai aku). Meskipun
yang terlihat hanya satu wujud pada hakekatnya terdapat dua wujud yang berbeda.

Adapun Hulul berarti menempati atau mengambil tempat. Dalam Tasawuf, Hulul berarti suatu
keadaan (hal) yang dicapai seorang Sufi ketika aspek an-nasut (sifat kemanusiaan) Allah bersatu
dengan aspek al-Lahut (sifat ketuhanan) yang ada pada manusia. Hulul merupakan salah satu
bentuk kebersatuan antara Allah dan manusia. Kondisi ini dapat terjadi apabila manusia dapat
mencapai Fana’ dengan menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan yang dimilikinya sehingga yang
tersisa hanyalah sifat-sifat ketuhanannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa
sebelum seorang Sufi dapat bersatu dengan Tuhan ia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya.
Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tak
akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini dalam Tasawuf disebut Fana’.

Penghancuran diri dalam Fana’ ini senantiasa diiringi dengan Baqa’ yang berarti tetap atau terus
hidup. Fana’ dan Baqa’ merupakan dua sisi mata uang atau kembar dua sebagaimana penjelasan
Sufi “Jika kejahilan (kebodohan) seseorang hilang yang akan tinggal ialah pengetahuan”.

Pada saat seorang Sufi telah mencapai hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh
kasar manusia dalam arti tidak disadarinya maka yang akan tinggal hanyalah wujud rohaninya
dan ketika itulah ia dapat bersatu dengan Tuhan. Dalam kajian Tasawuf, Abu Yazid al-
Bustamilah (W. 874 M) yang dipandang sebagai Sufi pertama yang memunculkan faham Fana’
dan Baqa’.

Faham tersebut tersimpul dalam kata-katanya: “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku
hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”. Selanjutnya ia pun
mengungkapkan: “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat
aku gila pada-Nya, dan akupun hidup…….Aku berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan
gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup”.

Sementara Abu Yazid al-Bustami telah melewati tingkat tersebut dan mencapai Fana’ dan Baqa’
seterusnya Ittihad, bersatu dengan Tuhan. Dalam keadaan Hulul seorang Sufi dapat
mengeluarkan kata-kata yang aneh dalam pendengaran awam, seperti yang diucapkan oleh al-
Hallaj: “Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar)”. Dalam istilah Sufi ungkapan-ungkapan
seperti ini disebut Syatahat. Munculnya istilah seperti ini disebabkan oleh rasa cinta yang
berlimpah. Menurut faham Hulul al-Hallaj, sebenarnyalah yang mengeluarkan kata-kata tersebut
bukan roh al-Hallaj, melainkan unsur an-nasut Allah yang sedang mengambil tempat bersatu
dengan unsur al-lahut al-Hallaj. Bukan pula pada Zat Allah, melainkan unsur an-nasut-Nya yang
mengambil tempat pada unsur lahut manusia. Hal ini terlihat dari ungkapan syairnya: “Aku
adalah Rahasia Tuhan Yang Maha Benar, dan bukanlah yang Maha Benar itu Aku, Aku hanya
satu dari yang benar, bedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar”.

Dalam Hulul proses kemanunggalan Allah dan manusia itu adalah Allah turun mengisi dan
memasuki serta mengambil tempat pada tubuh-tubuh manusia yang Ia pilih, sedangkan dalam
Ittihad roh manusia naik (Mi’raj), lebur manunggal di alam Ketuhanan.

MARTABAT TUJUH
Martabat 7, Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati

Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang bermacam-macam. Baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan melalui kearifan, kecintaan dan tapa brata.
Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang
segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Ta’ala. Allah yang menjadikan sesuatu
dan Dialah a’in dari segala sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah hakikat
alam. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut
dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada rupa atau ragam dari
hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin
yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam.

Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi,
seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165
M adalah salah seorang tokoh utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus
al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham
Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan ke-insan-kamil-an. Di
mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zaud
(perasaan) tasauf.

Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India
yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (…-
1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh
sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut Muhammad
Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau
sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali
berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau penurunan — di mana
konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu faham yang
memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal.
Allah Ta’ala.

Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam
manusia melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an.
Sebab dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam
penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.”

Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan
digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal
perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang
berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin
Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).

Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar
pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf
berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi
(murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah segera menyebar ke Cirebon
dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat
yang ditulis sekitar tahun 1680.”

Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan
ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan
masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak
dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.

Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan
DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua
wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari Martabat
Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan
secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan dalam kejamakan secara
terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam
nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam
Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan
Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).
Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-
Makkiya fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang
pertama adalah dalam alam Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut,
Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana yang dimaksud dengan alam
Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.

Martabat Pertama, Ahadiyah

Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun,
atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam
kegelapan menuju alam terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam
ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq
(kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari
segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang
gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).

Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut Martabat Ahadiyah
dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.

Suluk Sujinah

Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan ajalollah
dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa
pengetahuan tentang Diri-Nya, dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya
kosong namun dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Akadiyah
disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal. Dalam alam ahadiyah dimulai
dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk
kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub
bermakna belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud
lainnya.Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha
Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran lain kecuali Allah yang
disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.

Serat Wiirid Hidayat Jati

Sajaratul Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya pohon
kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatu
pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang qadim. Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang
menjadi wahana alam Ahadiyah.

Di dalam Suluk Sujinah, tingkat pertama disebut dengan alam Ahadiyah, yaitu alam tentang
tingkat keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari pengetahuan khusus mana pun
dan karena itu tidak dapat dicapai oleh makhluk apa pun. Hanya Allah yang mengetahui diri-Nya
dan keesaan-Nya.

Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui kecuali diri-Nya.
Firmannya adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan nabi-Nya. Allah dalam
tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal, yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.

Hakikat-Nya, keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam atau
lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan kejamakan tersebut tidak
dapat dipertentangkan dengan gagasan metafisis tentang tahapan atau tingkatan eksistensi.

Dalam tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi Ghayb al-Ghuyub, yaitu, keberadaan-Nya
yang gaib. Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak membeberkan tentang kenyataan yang
fisik. Allah dalam keadaan yang tak berujud, yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para
wali, nabi, bahkan para malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia masih dalam kesendirian-Nya. Allah
belum menguraikan atau menciptakan sesuatu. Di dalam derajat ini, semua sifat umum kumpul
melebur di dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.

Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Allah adalah unsur yang pertama, dan
tak ada makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya adalah unsur yang terdahulu yang
bersifat agung. Zat-Nya adalah substansi universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami.
Dalam sifat adam-Nya, hakikat-Nya tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam
ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan dan tak dapat dimengerti oleh
siapa pun. Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.

Selanjutnya, alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama dikenal dengan kata
La yang bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah dua kata yang manunggal, karena
setiap realitas-realitas hanya merupakan refleksi dari realitas-realitas Allah. La dan illa
menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu dalam ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada. Sedangkan
pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-Nya yang bersifat
keabadian.

Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan mengisyaratkan
pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan demikian, Ad-Nya pertama menjadi
tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian La dan illa dalam masyarakat sufi memiliki tiga makna.
Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan Allah. Kedua adalah tiada Ma’bud melainkan Allah
dan ketiga tiada maujud melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada
kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Allah yang
Esa. Pengertian kedua, Allah adalah Zat yang wajib disembah sebab Allah bersifat disembah.
Tiada penguasa yang wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci. Sedangkan pengertian
ketiga, Allah adalah awal segala yang berwujud. Sebab Zat-Nya adalah wujud yang pertama dan
tak berakhir.

Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah.
Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah
Allah. Jadi, kalau yang ada ini semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep
dasar dari Widhatul al-Wujud. Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah Nafi
Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam ketiadaan-Nya, Allah tak dapat
digambarkan atau dilukiskan oleh siapa pun. Allah dalam keadaan Al-Ama, yaitu, tingkatan yang
tak dapat diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni dalam hakikat
dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian
Tahlil berarti kondisi Tuhan yang bermakna La illa illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi
pemujaan Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaan-Nya.

Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa Allah berkuasa
sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun, ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah
adalah kalimat yang wajib bagi pemeluk Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya
Allah yang menjadi pemimpin kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul Allah. Yaitu
Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.

Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Allah.
Tingkatan ini berintikan kalimat Subhhanallah, artinya, maha suci Allah dan mengingatkan
serta menunjukan seluruh keyakinan untuk selalu mempersucikan-Nya.

Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan sebutan Sajaratul
Yakin. Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan
Kajeng Sejati dan memiki makna pengertian tentang kehidupan atau hayyu.

Hayyu berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul Yakin Allah adalah Wujud al-Sirf, kondisi
wujud yang utama. Atma-Nya belum tersifati, namun ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-
ilahi-an). Ia merupakan hakikat zat mutlak dan qadim, yaitu, asal zat dari segala zat yang bersifat
abadi. Zat-Nya tak ada dalam penguraian. Segala penguraian-Nya adalah bersifat negatif. Sebab
Allah bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari segala zat yang ada di kemudian hari.
Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan diuraikan.

Zat ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat esa. Ruh itulah sejatinya Tuhan Yang
Mahasuci. Ruh-Nya adalah subyek absolut, di mana benda yang termasuk subyek individu
hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi ilusi. Sebab Allah adalah Kunh al-Dhat, asalnya zat
terbentuk.

Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam Abdurahman menuliskan, pada awal permulaan Allah
menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon kayu tersebut dikenal dengan
Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin tercipta dalam alam kesunyian yang bersifat qadim dan
azali. Pengertian sunyi di sini bukan bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna belum
terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk Syajaratul Yakin. Sedangkan
pengertian qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir. Zat-Nya
adalah terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir karena masa.

Syajaratul yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan sifat-Nya yang menonjol
adalah tentang hidup — hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat
al-Hayat adalah qadim dan azali. Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi
segala macam kenyataan yang lahir dan kekal. karena hidup atau hayyu atau atma adalah subyek
yang absolut, maka, hakikat atma atau hidup adalah mutlak yang qadim. Dan Allah adalah zat
pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal bersamaan dengan kekalnya
zat kehidupan.

Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. Zat-Nya yang al-Hayat adalah sumber munculnya
perkara-perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam dan baqa. Artinya, karena adanya ruh
atau hayyu (al-Hayat), maka, muncul ilmu (pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm)
menciptakan atau mengalirnya kehendak (iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya adalah
kekal, baqa.

WAHDATUL WUJUD
Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang
segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu, Allah Ta’ala. Allah yang menjadikan
sesuatu dan Dialah a’in dari segala sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah
hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru
yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada rupa atau
ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu
hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam.
Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn
Arabi,seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli
1165 M adalah salah seorang tokoh utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul
Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham
Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan keinsankamilan. Di
mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zaud
(perasaan) tasauf.

Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India
yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (…-
1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh
sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut Muhammad
Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau
sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali
berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau penurunan — di mana
konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu faham yang
memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal.
Allah Ta’ala.

Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan
alam manusia melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber
dari Al Qur’an. Sebab dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan
tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam, berasal
dari tidak ada menjadi ada.”

Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan
digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal
perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang
berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin
Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).

Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar
pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf
berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul
Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah segera
menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa
Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”

Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan
ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan
masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak
dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.

Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan
DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua
wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir.

“Tiga aspek batin terdiri dari (1) Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), (2) Martabat Wahdah
(kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan (3) Martabat Wahadiyah
(kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu).

Sedangkan aspek lahir terdiri (4) Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), (5) Alam
Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), (6) Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan
dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan (7) Insan Kamil (bentuk
kesempurnaan manusia).

Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-
Makkiya fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang
pertama adalah dalam alam Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut,
Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana yang dimaksud dengan alam
Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.
Martabat Pertama, Ahadiyah

Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun,
atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam
kegelapan menuju alam terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam
ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq
(kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari
segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang
gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).

Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut Martabat Ahadiyah
dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.

Suluk Sujinah

Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan ajalollah
dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa
pengetahuan tentang Diri-Nya, dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya
kosong namun dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Akadiyah
disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal.Dalam alam ahadiyah dimulai
dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk
kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub
bermakna belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud
lainnya.Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha
Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran lain kecuali Allah yang
disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.

Serat Wiirid Hidayat Jati

Sajaratul Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya pohon
kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatu
pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang qadim. Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang
menjadi wahana alam Ahadiyah.

Di dalam Suluk Sujinah, tingkat pertama disebut dengan alam Ahadiyah, yaitu alam tentang
tingkat keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari pengetahuan khusus mana pun
dan karena itu tidak dapat dicapai oleh makhluk apa pun. Hanya Allah yang mengetahui diri-Nya
dan keesaan-Nya.

Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui kecuali diri-Nya.
Firmannya adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan nabi-Nya. Allah dalam
tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal, yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.

Hakikat-Nya, keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam atau
lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan kejamakan tersebut tidak
dapat dipertentangkan dengan gagasan metafisis tentang tahapan atau tingkatan eksistensi.

Dalam tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi Ghayb al-Ghuyub, yaitu, keberadaan-Nya yang
gaib. Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak membeberkan tentang kenyataan yang fisik.
Allah dalam keadaan yang tak berujud, yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para wali,
nabi, bahkan para malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia masih dalam kesendirian-Nya. Allah belum
menguraikan atau menciptakan sesuatu. Di dalam derajat ini, semua sifat umum kumpul melebur
di dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.

Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Allah adalah unsur yang pertama, dan
tak ada makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya adalah unsur yang terdahulu yang
bersifat agung. Zat-Nya adalah substansi universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami.
Dalam sifat adam-Nya, hakikat-Nya tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam
ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan dan tak dapat dimengerti oleh
siapa pun. Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.
Selanjutnya, alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama dikenal dengan kata
La yang bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah dua kata yang manunggal, karena
setiap realitas-realitas hanya merupakan refleksi dari realitas-realitas Allah. La dan illa
menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu dalam ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada. Sedangkan
pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-Nya yang bersifat
keabadian.

Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan mengisyaratkan
pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan demikian, Ad-Nya pertama menjadi
tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian La dan illa dalam masyarakat sufi memiliki tiga makna.
Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan Allah. Kedua adalah tiada Ma’bud melainkan Allah dan
ketiga tiada maujud melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada
kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Allah yang
Esa. Pengertian kedua, Allah adalah Zat yang wajib disembah sebab Allah bersifat disembah.
Tiada penguasa yang wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci. Sedangkan pengertian
ketiga, Allah adalah awal segala yang berwujud. Sebab Zat-Nya adalah wujud yang pertama dan
tak berakhir.

Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah.
Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah
Allah. Jadi, kalau yang ada ini semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep
dasar dari Widhatul al-Wujud. Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah Nafi
Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam ketiadaan-Nya, Allah tak dapat
digambarkan atau dilukiskan oleh siapa pun. Allah dalam keadaan Al-Ama, yaitu, tingkatan yang
tak dapat diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni dalam hakikat
dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian
Tahlil berarti kondisi Tuhan yang bermakna La illa illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi
pemujaan Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaan-Nya.

Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa Allah berkuasa
sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun, ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah
adalah kalimat yang wajib bagi pemeluk Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya
Allah yang menjadi pemimpin kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul Allah. Yaitu
Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.

Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Allah.
Tingkatan ini berintikan kalimat Subhhanallah, artinya, maha suci Allah dan mengingatkan serta
menunjukan seluruh keyakinan untuk selalu mempersucikan-Nya.

Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan sebutan Sajaratul
Yakin. Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Kajeng
Sejati dan memiki makna pengertian tentang kehidupan atau hayyu.

Hayyu berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul Yakin Allah adalah Wujud al-Sirf, kondisi
wujud yang utama. Atma-Nya belum tersifati, namun ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-
an). Ia merupakan hakikat zat mutlak dan qadim, yaitu, asal zat dari segala zat yang bersifat
abadi. Zat-Nya tak ada dalam penguraian. Segala penguraian-Nya adalah bersifat negatif. Sebab
Allah bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari segala zat yang ada di kemudian hari.
Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan diuraikan.

Zat ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat esa. Ruh itulah sejatinya Tuhan Yang
Mahasuci. Ruh-Nya adalah subyek absolut, di mana benda yang termasuk subyek individu
hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi ilusi. Sebab Allah adalah Kunh al-Dhat, asalnya zat
terbentuk.

Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam Abdurahman menuliskan, pada awal permulaan Allah
menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon kayu tersebut dikenal dengan
Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin tercipta dalam alam kesunyian yang bersifat qadim dan
azali. Pengertian sunyi di sini bukan bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna belum
terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk Syajaratul Yakin. Sedangkan
pengertian qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir. Zat-Nya
adalah terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir karena masa.
Syajaratul yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan sifat-Nya yang menonjol
adalah tentang hidup — hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat
al-Hayat adalah qadim dan azali. Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi
segala macam kenyataan yang lahir dan kekal. karena hidup atau hayyu atau atma adalah subyek
yang absolut, maka, hakikat atma atau hidup adalah mutlak yang qadim. Dan Allah adalah zat
pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal bersamaan dengan kekalnya
zat kehidupan.

Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. Zat-Nya yang al-Hayat adalah sumber munculnya
perkara-perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam dan baqa. Artinya, karena adanya ruh
atau hayyu (al-Hayat), maka, muncul ilmu (pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm)
menciptakan atau mengalirnya kehendak (iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya adalah
kekal, baqa.

PENGETAHUAN MAKRIFAT
Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu komunitas terletak pada kualitas
ma’rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka. Kesempurnaan tersebut tidak mungkin terealisasi
secara utuh tanpa didukung kualitas pengetahuan yang tinggi.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan. Pesan Islam tentang
pentingnya peningkatan intelektual dan keilmuan akan banyak kita dapati di berbagai rujukan
tradisional yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, hadis yang berbunyi,: “Tafakur
sesaat lebih utama dibanding ibadah tiga puluh tahun.”

Sedemikian tinggi nilai ma’rifat di mata Islam, sehingga ia dikategorikan sebagai paling
mulianya ibadah, yang jika dibandingkan dengan ibadah sekian puluh tahun lamanya dan tanpa
didasari ilmu dan ma’rifat, maka ia jauh lebih baik dari pada ibadah tersebut.

Allah swt dalam al-Quran menjelaskan bahwa salah satu fungsi diutusnya rasul adalah untuk
meningkatkan kualitas keilmuan dan pola fikir manusia, ” ..dan mengajarkan kepada mereka
kitab dan hikmah ..” (Q.S. Jum’ah : 2).

Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur dari tingkat ma’rifat si
pelakunya. Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya dengan pengetahuan atau ma’rifat,
perbuatannya itu tidak bernilai sama sekali. Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu tindakan
ditentukan sesuai dengan derajat ma’rifat pelakunya. Semakin tinggi derajat ma’rifat seseorang,
semakin tinggi pula kualitas perbuatannya, meskipun perbuatan itu secara lahiriah nampak
remeh, sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat “Tidurnya orang alim adalah ibadah.”

Di sisi lain, penekanan Islam dalam pengutamaan kualitas ibadah dibanding kuantitasnya sangat
mencolok, seperti yang kita amati dari ayat 2 surat Al-Mulk: “… supaya Dia menguji kamu,
siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya… “

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt lebih menekankan amal yang terbaik, bukan yang
terbanyak. Jelas bahwa amal terbaik adalah amal yang dilandasi dengan ma’rifat.

Imam Abu Ja’far a.s. bersabda, “Wahai anakku! Ketahuilah bahwasanya derajat syiah
(pengikut) kita akan sesuai dengan kadar ma’rifat mereka karena aku pernah melihat di
dalam “Kitab Ali” (Mushaf Ali) tertulis bahwa nilai kesempurnaan seseorang ditentukan
oleh kadar ma’rifat-nya” (Ma’ani al-Akhbar).

Tentu saja, riwayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat yang mengatakan, “.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa diantara kamu .” (Q.S. Al-Hujurat : 13) karena kalau ditelusuri lebih dalam
lagi kita akan ketahui bahwa ketakwaan diperoleh berkat amal saleh dan amal saleh sendiri tidak
akan lahir kecuali dari sumber keimanan, sedangkan keimanan ini mustahil dicapai tanpa
landasannya, yaitu ma’rifat.

Ringkasnya, ketakwaan tidak mungkin didapati kecuali dengan ilmu dan ma’rifat. Di samping
itu, kemuliaan manusia yang dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber
ketakwaannya tersebut; yaitu ma’rifat.

Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu dan ma’rifat,
sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt dalam hadis qudsi berikut ini: “Aku ibarat
harta yang terpendam, maka Aku senang untuk diketahui. Oleh karena itu, Kuciptakan
makhluk agar diriku diketahui” (Bihar al-Anwar).

Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya manusia yang memiliki berbagai
potensi, adalah untuk ber-ma’rifat kepada Allah yang merupakan tujuan utama penciptaan. Imam
Ja’far Shadiq a.s. dengan menukil riwayat dari kakek beliau, Imam Ali Zaenal Abidin a.s.
menafsirkan kata “al-Ibadah” yang tercantum dalam ayat “Tidaklah Kucipta-kan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S Al-hujarat : 13), bersabda, “Wahai
para manusia! Sesung-guhnya Allah swt tidak menciptakan hamba-hamba-Nya kecuali
untuk mengenal (ber-ma’rifat) kepada-Nya” (Biharul Anwar).

Jelas, dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma’rifat. Namun, jika kita lihat hubungan
keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana mungkin kita
akan beribadah kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa sudah mengenal
Zat Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk kesempurnaan jiwa
kita, sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita tahu bahwa kesempurnaan
jiwa mustahil dicapai tanpa ibadah.
Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah pertamanya dengan ucapan, “Awal
agama adalah mengenal-Nya.” Maka, awal yang harus diraih seorang hamba dalam ber-
ma’rifat adalah pengetahuan tentang penciptanya yang melahirkan suatu keyakinan. Ia tidak akan
mencapai suatu keyakinan tanpa pengetahuan.

Lawan ma’rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan seseorang tanpa landasan
argumen. Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai ilmu. Ia sama sekali tidak akan meniscayakan
keyakinan.

Sehubungan dengan ma’rifatullah dalam pandangan Islam, khususnya mazhab Ahlul Bayt, setiap
manusia harus meyakini keberadaan Allah swt dengan berbagai konsekuensi ketuhanan-Nya,
karena keyakinan tidak mungkin muncul tanpa landasan ilmu dan argumen. Oleh karena itu,
Islam melarang taqlid dalam masalah ini.

Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma’rifat dan mengenal Zat Allah SWT haqqu ma’rifatih
(secara utuh dan sempurna), sebagaimana yang dibuktikan oleh akal. Karena, bagaimana
mungkin sesuatu yang terbatas (makhluk) dapat mengetahui dan menjangkau zat yang tidak
terbatas (al-Khaliq) dari berbagai sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai makhluk yang paling
sempurna pernah bersabda dalam penggalan munajatnya, “Wahai Tu-hanku, diriku takkan
pernah mengetahui-Mu sebagaimana mestinya.“

Hal ini tidak berarti kita bebas dari kewajiban mengenalnya, Imam Ali a.s. pernah menegaskan,
“Allah swt tidak menyingkapkan hakikat sifat-Nya kepada akal, kendati Dia pun tidak
menggugurkan kewajibannya untuk mengenal diri-Nya” (Nahjul Balaghah).

Setiap ilmu dan ma’rifat, khususnya ma’rifatullah, yang dimiliki oleh setiap individu ataupun
suatu komunitas sangat berpengaruh pada perilaku moral dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Kita bisa bandingkan mereka yang meyakini pandangan dunia Ilahi dengan mereka yang
menganut pandangan dunia materialis. Kelompok kedua ini menganggap bahwa kehidupan
manusia tidak memiliki kepastian dan kejelasan tujuan yang harus ditempuh, anggapan yang
bermuara dari keyakinan bahwa kebermulaan alam ini dari shudfah (kebetulan), sehingga mereka
melihat bahwa kematian merupakan titik akhir dari kehidupan dan manusia menjadi tiada hanya
dengan kematian. Kematian itu akan menghadang setiap orang tanpa pandang bulu, zalim
maupun adil, berbudi luhur maupun tercela.

Maka, ketika anggapan-anggapan tersebut menjadi dasar pengetahuan, sekaligus menjadi dasar
keyakinan, mereka hidup sebagai hedonis yang selalu berlomba untuk mencari segala bentuk
kenikmatan duniawi dan menganggapnya sebagai kesempurnaan sejati yang harus dicari oleh
setiap orang, sebelum ajal mencengkeram mereka. Menurut mereka, tidak ada sesuatu yang lebih
sakral dibanding kenikmatan hidup ini, dan nilai-nilai moral seseorang akan terus berubah
seiring dengan perubahan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai atributnya, sehingga standar
etika mereka adalah segala hal yang berkaitan dengan prinsip materialisme dan hedonisme.

Berbeda dengan pandangan agama samawi, khususnya Islam. Bertolak dari prinsip tauhid3
muncullah keyakinan-keyakinan, seperti adanya tujuan-tujuan pasti yang tak pernah sia-sia di
balik penciptaan alam semesta ini, termasuk penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah
SWT, “Apakah engkau menyangka bahwa telah kami ciptakan dirimu (manusia) dengan
kesia-siaan, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (Q.S. Al-Mu’minun
: 115)

Oleh karena itu, kematian menurut mereka bukanlah akhir dari kehidupan. Sebaliknya, ia lebih
merupakan gerbang awal dari kehidupan abadi. Maka, suatu keniscayaan bagi Allah swt Zat
yang Maha adil dan Maha tahu akan setiap gerak perilaku makhluk-Nya, untuk menjadikan suatu
alam selain alam dunia ini sebagai tempat pertanggung-jawaban atas setiap perbuatan manusia
selama masa hidupnya di dunia.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hanya Allah swt satu-satunya Zat yang Mutlak dari
berbagai sifat kesempurnaan, sehingga jika kita dapati kebaikan dan keindahan di alam fana ini,
maka itu merupakan bentuk manifestasi penjelmaan) kebaikan dan keindahan-Nya.

Yang dimaksud dengan “manusia sempurna” adalah suatu derajat di mana manusia telah mampu
mencapai bentuk penjelmaan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, sekaligus berhasil menjauhkan diri
dari berbagai sifat yang harus dijauhkan dari sifat-sifat Allah swt. Hal inilah yang selalu
dianjurkan oleh Rasul dalam sabda beliau: “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.”

Dalam konteks ibadah sehari-hari, kita selalu dianjurkan berniat untuk taqarrub, yaitu
mendekatkan diri kepada-Nya. Taqarub di sini mengisyaratkan pada tasyabbuh (penyerupaan diri
dengan sifat-sifatNya). Semakin bertambah kualitas dan kuantitas manisfestasi sifat-sifat
kesempurnaan Ilahi dalam diri asyiq (seorang pecinta Tuhan), niscaya ia semakin dekat dengan
ma’syuq-nya (kekasih), begitu pula sebaliknya. Jika manifestasi itu minim dan pudar, atau
bahkan tidak ada sama sekali, ia akan selalu jauh dari penciptanya.

Berbicara tentang penyerupaan sudah menjadi hal yang wajar bagi seseorang mencintai sesuatu.
Ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang mengingatkan dirinya kepada kekasihnya
seperti; meniru gaya hidup, mencintai apa yang dicintai kekasihnya dan seterusnya. Begitu juga
jika ia membenci sesuatu, maka ia selalu berusaha untuk melupakan dan menjauhkan diri dari
apa yang ia benci. Demikian pula yang dialami oleh pecinta Ilahi.

Perlu ditekankan bahwa jauh-dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya bukan berupa jarak
materi, tapi merupakan tingkat manifestasi sifat-sifat Ilahi pada diri hamba tersebut, karena
kesempurnaan Ilahi tidak teratas, sementara manusia diliputi oleh berbagai macam keterbatasan.
Oleh sebab itu, perjalanan untuk liqa’ (bertemu) dengan Allah swt pun tidak berbatas.

Untuk sampai dan bertemu dengan Tuhannya, para salik akan melalui banyak rintangan, berupa
hijab (tabir-tabir penghalang) yang harus ia singkirkan untuk sampai pada tujuan yang dia
rindukan. itu semua perlu usaha optimal, baik berupa pengetahuan yang bersifat teoritis ataupun
aplikatif nyata. Karena, tanpa pengetahuan yang maksimal, suluk seorang hamba tidak akan bisa
terwujud. Bekal ilmu seorang salik yang terbatas akan menjauhkan diri dari tujuannya. Imam
Shadiq a.s. bersabda, “Seorang pelaku perbuatan tanpa landasan pengetahuan ibarat
berjalan di luar jalur yang akan ditempuh. Semakin cepat ia bergerak, tidak akan
menambah (cepat sampai tujuan), akan tetapi malah semakin menjauh (dari tujuan).”
(Ushul al-Kafi)

Kegagalan perjalanan seorang hamba dalam mencapai tujuannya disebabkan oleh bekal
pengetahuan yang tidak cukup, karena pengetahuan yang minim menyebabkan kerancuan
memilah baik dari buruk, keyakinan yang benar dari yang salah, juga niat yang tulus dari yang
tercemar oleh syirik atau bisikan setan; memperdaya dan menipu dengan berbagai angan dan
khayalan, sehingga menerjang apa yang harus dihindari dan meninggalkan apa yang harus
dilakukan. Maka, bagaimana mungkin seorang hamba yang rindu bertemu dengan kekasih
sejatinya dan mendapatkan keridhoan-Nya, sementara ia menempuh jalan yang tidak diridhai,
bahkan dibenci oleh sang kekasih.

Seperti yang telah kita ketahui ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah. Ilmu tidak akan
memberi manfaat apapun bila tidak diamalkan. Allah swt berfirman dalam surat Al-Jatsiah
ayat 23, “Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya.” Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu tidak menjamin orang untuk mendapatkan
hidayah (petunjuk). Sedangkan penyesatan yang dilakukan oleh Allah swt terhadap orang yang
berilmu tadi, hanya karena ketaatan mereka kepada hawa nafsu dan ketidaksesuaian amal mereka
dengan pengetahuannya.

Allamah Thabatha’i r.a. dalam tafsir al-Mizan dalam mengomentari ayat di atas menjelaskan
bahwa pertemuan ilmu –tentang jalan yang harus ditempuh– dengan kesesatan bukan suatu
kemustahilan. Bukankah Allah swt berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena
kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka sungguh meyakini kebenarannya” (an-
Naml:14)..

Tidak ada konsekuensi antara ilmu dan hidayah atau antara kejahilan dan kesesatan. Akan tetapi,
petunjuk (hidayah) merupakan penjelmaan ilmu di mana si empunya (alim) selalu komitmen
dengan ilmunya, namun jika tidak, maka kesesatan akan menimpanya walaupun ia berilmu.

Dalam kehidupannya, terkadang manusia melupakan apa yang disebut dengan maslahat
universal yang harus ia raih, sehingga ia lebih mengedepankan maslahat semu di depan matanya
dibanding maslahat jangka panjang yang hakiki. Dalam meraih hal semu tersebut tak jarang ia
menggunakan dengan cara-cara yang bertentangan dengan perintah Allah dan lebih mengikuti
hawa nafsunya, “Terangkan kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai Tuhannya.” (Q.S. Al-furqan : 43).

Oleh karena itu, dalam menuju kesempurnaan abadi dan maslahat hakiki, selain diperlukannya
ma’rifat sebagai pondasinya, juga tarbiyah yang dalam bahasa al-Quran disebut tazkiyah
(penyucian diri) sebagai salah satu fungsi diutusnya rasul, “.Yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkannya ..” (Q.S. Al-jum’ah : 2).
Tazkiyah inilah sebagai pilar utama dari tegaknya bangunan kesem-purnaan jiwa manusia.
RAHAYU……

DIALOQ
Isra mikraj merupakan fase yang cukup menentukan dalam sejarah kerasulan Nabi Muhammad.
Apa makna isra dan mikraj bagi perjuangan Nabi Muhammad dalam membangun masyarakat
yang beliau idamkan?

Bisa digambarkan suasana psikologis Nabi Muhammad sebelum isra mikraj?

Kalau kembali ke Sirah Nabi, sebelum isra mikraj itu telah terjadi berbagai peristiwa yang sangat
menegangkan atau memberatkan secara psikologis bagi kehidupan Nabi. Sebelum tahun ke-10
kenabian, Nabi baru saja terbebas dari boikot orang-orang kafir Quraisy. Dari pelbagai peristiwa
itu, Nabi terinspirasi untuk mencari lahan baru guna mengembangkan nilai-nilai Islam.

Seperti apa boikot masa itu?

Boikot ekonomi. Dalam bahasa sekarang: embargo ekonomi. Memang, sejak dulu sektor
ekonomi merupakan sarana yang penting bagi keberlangsungan suatu umat. Nah dari situ kita
tahu, pada masa itu Nabi telah coba mendatangi orang-orang Thaif, tapi sambutan mereka tidak
menguntungkan. Di tengah berbagai tekanan itulah Allah membuka jalan bagi Nabi supaya
perjuangannya berhasil. Karena itu di dalam Alqur’an dikatakan, “Maha suci Tuhan yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam, dari masjidil haram menuju masjidil aqsha
yang telah telah diberkati sekelilingnya.” Itulah ayat yang berkenaan dengan isra.

Sementara soal mikraj tercantum di dalam surah an-Najm. Dari ayat 13 sudah dijelaskan bahwa
Nabi semakin dekat dan bertambah dekat dengan Tuhan, bahkan jarak kedekatannya ibarat dua
busur panah atau kurang. Ketika Nabi begitu dekat, maka Allah sendiri yang mengajarinya cara
hidup. Hanya saja, tafsiran yang ada selama ini secara umum menegaskan bahwa yang datang
untuk mengajarkan Nabi itu adalah malaikat Jibril. Kalimat `allamahu syadîdul quwâ di situ
diidentifikasi sebagai Jibril. Padahal artinya lebih umum, yaitu “Ia dituntun oleh Yang
Mahakuat”. Kata “Yang Mahakuat” itu bisa bermakna Allah sendiri.

Jadi yang mengajari Nabi Muhammad di situ adalah sosok Yang Makakuat atau Allah. Dan
keterangan itu selaras dengan ayat lain di surah ar-Rahman, yang menerangkan bahwa sosok
yang mengajarkan Alqur’an itu adalah Allah sendiri. Dengan tafsir begini, yang disebut mikraj
dapat diartikan sebagai “posisi yang dicapai seorang hamba dalam proses mendekatkan dirinya
kepada Tuhan, sehingga tersingkap baginya semua rahasia kehidupan”.

Apakah tekanan-tekanan psikologis dalam hidup itu sendiri yang membuat spiritualitas
atau kedekatan Nabi dengan Tuhan begitu tak berjarak?

Tidak harus begitu. Karena begitu seseorang berada dalam himpitan hidup, dia akan menghadapi
dua kemungkinan. Pertama, orang itu akan bangkit, dan kedua ia malah akan berputus asa. Nah,
pada kasus Nabi yang sedari awal sudah punya visi, telah menyiapkan diri, serta sudah pula
mengamalkan iqra’ (merenungkan hidup, Red) ketika menerima wahyu pertama kali, himpitan
hidup justru mendorongnya untuk semakin taqarrub atau mendekatkan diri pada Allah. Kasus ini
berbeda dengan orang yang tidak memiliki misi dan visi dalam hidup. Jadi hidup memang harus
dituntun oleh sebuah misi.

Jadi dalam konteks ini, isra mikraj bukan sekadar rekreasi. Selama ini, kata isrâ secara harfiah
selalu diterjemahkan dengan “perjalanan di malam hari”. Padahal, kata isrâ’ itu sendiri, kalau
dirujuk ke kata dasar Arabnya bisa bermakna “sebuah pencarian”. Kata sâriyah yang satu dasar
kata dengan isrâ’ berarti pencarian. Jadi isrâ’ di sini bisa berarti “proses pencarian yang akan
melepaskan diri seseorang dari kegelapan hidup”.

Tapi mengapa proses pencarian itu harus melewati Yerussalem? Apa artinya?

Sebenarnya tidak ada petunjuk harfiah dalam Alquran yang menerangkan bahwa masjidil haram
yang dimaksud adalah yang ada di Mekah, dan masjidil aqsha di situ adalah yang berada di
Yerussalem. Kata masjid ketika ayat itu turun, belum lagi terwujud secara fisik. Jadi pengertian
masjidil haram di situ sebenarnya lebih bisa dipahami secara makrifat, bukan harfiah. Yang
sudah ada dalam fakta sejarah waktu itu adalah Kakbah, bukan masjidil haram. Dan secara
urutan sejarah, masjid yang pertama dibangun Nabi adalah Masjid Quba’ setelah beliau hijrah ke
Madinah.
Jadi apa makna masjidil haram dan masjidil aqsha di situ?

Karena masjidil haram dan masjidil aqsha secara fisikal belum ada, kita perlu selidiki lebih lanjut
apa yang dimaksud dengan keberangkatan nabi dari masjidil haram ke masjidil aqsha di dalam
ayat itu. Konon, sebelum itu Nabi pernah didatangi Jibril, lalu dadanya dibelah dan hatinya
dibersihkan. Artinya, sebuah perjalanan untuk keluar dari kegelapan haruslah lebih dahulu
terbebas dari segala macam perilaku haram lewat pensucian diri. Makanya di redaksi ayat itu
disebut masjidil haram.

Lalu kenapa dibawa ke masjidil aqsha? Supaya beliau dapat memahami berkat Tuhan yang ada
di sekelilingnya. Makna masjidil aqsha di situ secara umum bermakna masjid yang amat jauh.
Kita tahu, secara bahasa, kata masjid itu bisa berarti “setiap lahan dan setiap jengkal tanah yang
bisa digunakan untuk bersujud”. Makanya ada istilah kullu ardlin masjidun, atau setiap jengkal
tanah dapat dijadikan tempat bersujud.

Ini artinya, di mana saja kita berada, kita harus bisa tetap bersujud pada Tuhan. Namun supaya
orang bisa bersujud sedalam-dalamnya—sebagai makna simbolik masjidil aqsha—seseorang
harus berangkat dari masjidil haram, atau proses pensucian diri, perilaku, dan alam pikirannya.
Kalau pikiran kita hanya dipenuhi kekeruhan, sentimen dan kedengkian, kita tidak akan bisa
isrâ’.

Nah, selama ini isra’ mikraj itu hanya kita kenang sebagai kisah yang hanya dialami secara
pribadi oleh Nabi Muhammad. Padahal, sebagaimana dikatakan Alquran: “Laqad kâna lakum fî
rasûlilLâh uswatun asanah.” Jadi, apa-apa yang dialami Nabi itu adalah teladan mulia. Jadi
makna isrâ’ mikraj itu bagian dari teladan, bukan hanya kisah.

Apa yang bisa diteladani dari kisah itu?

Pertama-tama, kita harus bisa isra. Artinya, kita harus bisa ber-takhallî, atau menyingkirkan hal-
hal negatif yang ada dalam diri kita. Tahapan ini dilambangkan lewat proses dibersihkannya hati
Nabi. Lalu dari situ kita berangkat menuju tempat persujudan yang lebih jauh, karena di situ kita
akan naik. Sebab istilah mi`râj berasal dari kata `araja yang berarti naik atau meninggi. Artinya,
kita dituntut untuk naik peringkat dalam soal kecerdasan dan spiritualitas. Berarti Anda tidak
terlalu tertarik dengan polemik apakah isra mikraj itu terjadi dengan jasad atau jiwa saja,
atau dengan keduanya (jasadan wa rûan)?

Bagi saya tidak terlalu penting apakah isra mikraj itu berkaitan dengan jasad, dengan ruh saja,
atau dengan keduanya. Yang penting bagi saya adalah makna apa yang bisa kita terapkan di
dalam hidup ini dari teladan kisah itu. Misalnya dalam kisah itu digambarkan bahwa setelah
mikraj, Nabi sempat bertatap muka dengan Tuhan di sidratul muntahâ, tempat di mana Jibril
sendiri tidak bisa menempuhnya. Dari situ saya menangkap bahwa hakikat spiritualitas
kemanusiaan itu melampaui spiritualitas malaikat yang selama kita anggap paling tinggi
sekalipun.

Jadi dari spiritualitas itu, kita bisa sampai dan menjejekkan kaki di alam yang sudah tidak
terlampaui lagi oleh makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dari situ kita bisa bertatap muka dan
berdialog langsung dengan Yang Mahamutlak. Makanya, di dalam Alquran surah an-Nûr
dikatakan bahwa Allah itu al-Haqqul Mubîn. Jadi, Tuhan itu sebenarnya kebenaran (al-Haq)
yang nyata atau al-mubîn. Jadi Dia tidak sekadar ghaib. Tuhan itu Kebenaran yang Nyata; bukan
semata-mata dalam keyakinan Ia ada, tapi juga dalam bentuk Eksistensi yang bisa kita tatap, kita
pandang.

Anda menyebut Tuhan sebagai Kebenaran yang Nyata. Namun, tentu tak gampang
mengenali Kebenaran yang Nyata itu. Bagaimana proses utuk sampai pada Kebenaran itu
kalau berteladan dari kisah isra mikraj?

Kalau kita berteladan dari perjalanan Nabi untuk meraih kebenaran, pertama-tama kita harus
prihatin terhadap segenap keburukan, keresahan, dan kerusuhan yang ada dalam masyarakat.
Kita harus prihatin, bukan bangga. Kalau di masyarakat banyak kemiskinan, kriminalitas, dan
lain sebagainya, kita harus prihatin. Berangkat dari kondisi itulah kita bisa membersihkan diri.
Makanya, jauh sebelum isra mikraj, Nabi sudah membiasakan diri ber-tahannuts atau merenung
di Gua Hira’. Perenungan itu bertujuan untuk melakukan peninjauan ulang atas kenyataan hidup.
Jadi, pertama-tama kita harus melakukan cek dan ricek atas kenyataan hidup. Dari situlah
keprihatinan timbul, upaya untuk menyantuni orang-orang lemah bersemi. Ayat-ayat Alquran
yang awal-awal banyak sekali yang berbicara soal itu. Jadi kita disuruh memperhatikan orang-
orang lemah, anak yatim yang kurang mendapat kasih sayang, dan sebagainya. Setelah mampu
memperjuangkan itu, itulah pertanda bahwa hati kita akan semakin mantap menatap kebenaran.
Kalau hanya prihatin, belum mengamalkan apa yang perlu, kita belum merealisasikan kebenaran.

Apa komentar Anda tentang kisah populer soal perundingan alot Nabi menyangkut
jumlah salat?

Sebenarnya kita tidak boleh telalu terpancing soal detail dialog itu. Kita seharusnya melihat
fungsi salatnya saja. Mungkin yang perlu ditanya: mengapa perundingan itu begitu alotnya? Kita
tahu, tujuan pokok salat sebagaimana disebutkan Alquran adalah untuk mencegah kehidupan
yang penuh kekejian dan kemungkaran. Untuk mencapai tujuan itu, perlu upaya tersendiri.
Dengan semata-mata menjalankan salat, orang tidak otomatis terhindar dari perbuatan keji dan
munkar. Tujuan lain salat kalau merujuk Alquran adalah untuk berzikir kepada Allah; wa aqîmus
shalât lidzikrî. Tapi zikir di situ tidak boleh juga dimaknai sekadar mengingat. Kalau hanya
mengingat kata-kata (lafaz Allah) saja, anak kecil pun bisa melakukannya. Jadi kata “mengingat”
di sini bisa bermakna “mengingat kebenaran yang sudah dirasakan, ditatap, atau yang telah
dihayati”.

Artinya, salat itu medium umat Islam untuk mikraj, atau meningkatkan spiritualitas?

Betul. Makanya ada hadis yang berbunyi ”as-shalâtu mi`râjul mu’minîn” (salat itu adalah
mikrajnya kaum beriman, Red). Jadi, selain ada mikraj besar atau akbar, ada juga mikraj kecil
atau ashghar, yaitu salat kita sehari-hari. Jadi, kita tidak hanya diminta menjalankan salat, tapi
juga menegakkannya. Di dalam Alquran soal itu sudah disebutkan panjang lebar. Konsekuensi
“menegakkan salat” itu termasuk menyantuni fakir miskin, anak yatim, menjaga kemaluan, dan
lain sebagainya. Dalam bahasa ringkasnya, semua itu disebut tanhâ `anil fahsyâ’i wal munkar,
mencegah yang keji lagi munkar.

Jadi isi menghindar dari yang keji dan mungkar itubanyak sekali. Kesalahan kita selama ini, salat
hanya dimaknai mengerjakan salat itu sendiri lengkap dengan rukun-rukunnya. Kalau hanya
mengerjakan, jangan heran kalau Allah juga pernah menyebut orang-orang yang salat bisa
celaka. Fa wailun lil mushallîn atau celakalah orang-orang yang mengerjakan salat, kata Allah.
Kalau sekadar mengerjakan salat, pasti tidak ada aspek jelas yang dituju. Makanya dalam hadis
dikatakan: “Orang yang rajin salat tetapi tidak mampu menjauhkan diri dari perbuatan keji dan
munkar, akan menjauhkan dirinya dari Tuhan.”

Setelah Nabi menerima perintah salat sebagai upaya mencapai ketinggian spiritualitas, ia
kembali turun ke bumi. Apa maknanya?

Itu artinya, ketika kita sudah sampai di sidratul muntahâ, kita sudah sampai pada posisi yang
sangat enak. Posisi itu tidak akan dicapai segenap makhluk lain kecuali manusia. Namun,
sidratul muntahâ itu bukan tempat di mana manusia bisa menjalankan misi hidup. Makanya ada
proses nuzûl atau turun ke bumi dalam kisah Nabi. Setelah datang lagi ke bumi, Nabi langsung
melaksanakan tindak sosial, mengupayakan perdamaian, kemudian merancang proses hijrah
(transformasi sosial, Red).

Jadi, hijrah itu adalah buah dari mikraj. Kalau seseorang tidak pernah mikraj, maka tidak akan
ada tahapan hijrah. Jadi kedua hal itu berurutan. Dan setelah peristiwa mikraj, Nabi terus diminta
hijrah. Setelah hijrah, ia diminta berjihad. Jadi isra, mikraj, hijrah, dan jihad itu bergandengan.
Selama ini kita salah memaknai hijrah, salah pula memaknai jihad.

Anda menyebut rangkai peristiwa yang beruntun; tahun-tahun kesedihan, isra mikraj,
hijrah dari satu keadaan ke keadaan lain, lalu jihad. Tampaknya, fase-fase itu berlangsung
lewat tuntunan spiritual dari Tuhan langsung. Apa memang seperti itu proses
pembangunan masyarakat?

Ya. Suatu masyarakat tidak akan bisa melakukan suatu perjalanan tanpa rambu atau marka jalan
yang hendak dituju. Kalau semua itu tidak dibeberkan lebih dahulu, tidak akan terjadi kemajuan
transformasi sosial. Jadi itu merupakan suatu struktur yang telah berurut. Kalau kita mau jadi
seorang profesor, kita harus betul-betul sekolah, berupaya mencapai tahapan-tahapannya. Kalau
ingin kaya, modal finansial saja tidak akan memadai, tapi juga perlu kerja keras, keahlian, dan
punya strategi. Nah, semua itu sebenarnya baru bisa dibeber setelah manusia itu pernah mikraj.
Sebab setelah mikraj, seseorang akan mengalami ketenangan batin yang luar biasa. Di saat batin
telah tenang itulah kita baru bisa melihat persoalan dengan jernih.

Tapi kenyataannya, ada saja orang sukses tanpa menapaki proses-proses spiritual.
Bagaimana menjelaskan perkecualian itu?

Itu sangat terkait dengan persepsi kita tentang sukses. Apa sih yang disebut sukses? Kita tidak
bisa menilai sukses hanya ketika seseorang telah mendapat segebok materi. Kalau itu yang jadi
ukuran, tidak akan ada orang kaya yang ingin bunuh diri. Kenyataannya, banyak orang kaya
yang malah putus asa. Kita tahu bagaimana kondisi Elvis Presley ketika dia berada di puncak
ketenarannya. Dia malah putus asa dan banyak minum obat tidur. Jadi kalau hanya melihat
ukuran materi, kita tidak bisa menyebutnya sukses. Sebab, orang sukses tentu tak perlu putus asa.
Jadi, spiritualitas bukan hanya selalu perlu, tapimerupakan bagian pokok dari kehidupan.

Jadi ringkasnya apa makna isra’ mikraj untuk kita saat ini?

Di dalam kisah isra mikraj ada satu pesan yang maha tinggi nilainya, yaitu perjumpaan para nabi
lain dengan Nabi Muhammad. Konon Nabi Muhammad menjadi imam salat mereka. Apa arti
kisah simbolik itu? Sebagai umat Nabi terakhir yang sudah mempelajari persoalan umat nabi-
nabi sebelumnya, kita tentu akan menghadapi persoalan sebanyak yang pernah dihadapi nabi-
nabi sebelumnya. Karena itu kita diperintahkan untuk beriman bukan hanya pada seorang Rasul
(Nabi Muhamad saja), tapi ‘âmantu bilLâhi wa malâikatihi wa kutubihi wa rusulihi (beriman
kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya, Red). Dengan mengimani
semua rasul, kita bisa mengambil hikmah. Salah satu pesan penting isra’ mikraj juga adalah agar
kita bisa mengambil hikmah dari ajaran berbagai rasul sebelum Nabi Muhammad. Dengan
begitu, kita bisa bertindak lebih arif.

Alhamdu lillahi Rabbil Alamin

AWALUDDIN MA’RIFATULLAH

Anda mungkin juga menyukai