Anda di halaman 1dari 12

Jumat, 2008 September 19

Teknologi DNA rekombinan

Teknologi DNA rekombinan telah mungkinkan bagi kita untuk: mengisolasi DNA
dari berbagai organisme, menggabungkan DNA yang berasal dari organisme yang
berbeda sehingga terbentuk DNA rekombinan, memasukkan DNA rekombinan ke
dalam sel organisme prokariot maupun eukariot hingga DNA rekombinan dapat
berepilkasi dan bahkan dapat diekspresikan. Jadi, Teknologi DNA Rekombinan
merupakan kumpulan teknik atau metoda yang digunakan untuk mengkombinasikan
gen-gen di dalam tabung reaksi. Teknik-teknik tersebut meliputi:

- Teknik untuk mengisolasi DNA.

- Teknik untuk memotong DNA.

- Teknik untuk menggabung atau menyambung DNA.

- Teknik untuk memasukkan DNA ke dalam sel hidup.

perangkat yang digunakan dalam teknologi DNA rekombinan adalah perangkat-


perangkat yang ada pada bakteri. Perangkat tersebut antara lain adalah: enzim
restriksi, enzim DNA ligase, plasmid, transposon, pustaka genom, enzim transkripsi
balik, pelacak DNA/RNA.

Enzim restriksi digunakan untuk memotong DNA

Enzim DNA ligase digunakan untuk menyambung DNA

Plasmid digunakan sebagai vektor untuk mengklonkan gen atau mengklonkan


fragmen DNA atau mengubah sifat bakteri.
Transposon digunakan sebagai alat untuk melakukan mutagenesis dan untuk
menyisipkan penanda.

Pustaka Genom digunakan untuk menyimpan gen atau fragmen DNA yang telah
diklonkan.

Enzim traskripsi balik digunakan untuk membuat DNA berdasarkan RNA.

Pelacak DNA / RNA digunakan untuk mendeteksi gen atau fragmen DNA yang
diinginkan atau untuk mendeteksi klon yang benar.
http://biologikubiologimu.blogspot.com/2008/09/teknologi-dna-rekombinan.html

bab VII Dasar-Dasar Teknoloi DNA Rekombinan


Di dalam bab ini akan dibicarakan pengertian teknologi DNA rekombinan beserta
tahapan-tahapan kloning gen, yang secara garis besar meliputi isolasi DNA
kromosom dan DNA vektor, pemotongan DNA menggunakan enzim restriksi,
pembentukan molekul DNA rekombinan, dan transformasi sel inang oleh molekul
DNA rekombinan. Setelah mempelajari pokok bahasan di dalam bab ini mahasiswa
diharapkan mampu menjelaskan:
1. pengertian teknologi DNA rekombinan,
2. dua segi manfaat teknologi DNA rekombinan,
3. tahapan-tahapan kloning gen,
4. pengertian dan cara kerja enzim restriksi, dan
5. garis besar cara seleksi transforman dan seleksi rekombinan.
Pengetahuan awal yang diperlukan oleh mahasiswa agar dapat mempelajari pokok
bahasan ini dengan lebih baik adalah struktur dan sifat-sifat asam nukleat seperti yang
telah dibahas pada Bab II.
Pengertian Teknologi DNA Rekombinan
Secara klasik analisis molekuler protein dan materi lainnya dari kebanyakan
organisme ternyata sangat tidak mudah untuk dilakukan karena adanya kesulitan
untuk memurnikannya dalam jumlah besar. Namun, sejak tahun 1970-an berkembang
suatu teknologi yang dapat diterapkan sebagai pendekatan dalam mengatasi masalah
tersebut melalui isolasi dan manipulasi terhadap gen yang bertanggung jawab atas
ekspresi protein tertentu atau pembentukan suatu produk.
Teknologi yang dikenal sebagai teknologi DNA rekombinan, atau dengan istilah
yang lebih populer rekayasa genetika, ini melibatkan upaya perbanyakan gen
tertentu di dalam suatu sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan
sebagai kloning gen. Banyak definisi telah diberikan untuk mendeskripsikan
pengertian teknologi DNA rekombinan. Salah satu di antaranya, yang mungkin paling
representatif, menyebutkan bahwa teknologi DNA rekombinan adalah pembentukan
kombinasi materi genetik yang baru dengan cara penyisipan molekul DNA ke dalam
suatu vektor sehingga memungkinkannya untuk terintegrasi dan mengalami
perbanyakan di dalam suatu sel organisme lain yang berperan sebagai sel inang.
Teknologi DNA rekombinan mempunyai dua segi manfaat. Pertama, dengan
mengisolasi dan mempelajari masing-masing gen akan diperoleh pengetahuan tentang
fungsi dan mekanisme kontrolnya. Kedua, teknologi ini memungkinkan diperolehnya
produk gen tertentu dalam waktu lebih cepat dan jumlah lebih besar daripada produksi
secara konvensional.
Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan melalui
teknologi DNA rekombinan melibatkan beberapa tahapan tertentu (Gambar 9.1).
Tahapan-tahapan tersebut adalah isolasi DNA genomik/kromosom yang akan diklon,
pemotongan molekul DNA menjadi sejumlah fragmen dengan berbagai ukuran,
isolasi DNA vektor, penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor untuk menghasilkan
molekul DNA rekombinan, transformasi sel inang menggunakan molekul DNA
rekombinan, reisolasi molekul DNA rekombinan dari sel inang, dan analisis DNA
rekombinan.
Isolasi DNA
Isolasi DNA diawali dengan perusakan dan atau pembuangan dinding sel, yang dapat
dilakukan baik dengan cara mekanis seperti sonikasi, tekanan tinggi, beku-leleh
maupun dengan cara enzimatis seperti pemberian lisozim. Langkah berikutnya adalah
lisis sel. Bahan-bahan sel yang relatif lunak dapat dengan mudah diresuspensi di
dalam medium bufer nonosmotik, sedangkan bahan-bahan yang lebih kasar perlu
diperlakukan dengan deterjen yang kuat seperti triton X-100 atau dengan sodium
dodesil sulfat (SDS). Pada eukariot langkah ini harus disertai dengan perusakan
membran nukleus. Setelah sel mengalami lisis, remukan-remukan sel harus dibuang.
Biasanya pembuangan remukan sel dilakukan dengan sentrifugasi. Protein yang
tersisa dipresipitasi menggunakan fenol atau pelarut organik seperti kloroform untuk
kemudian disentrifugasi dan dihancurkan secara enzimatis dengan proteinase. DNA
yang telah dibersihkan dari protein dan remukan sel masih tercampur dengan RNA
sehingga perlu ditambahkan RNAse untuk membersihkan DNA dari RNA. Molekul
DNA yang telah diisolasi tersebut kemudian dimurnikan dengan penambahan
amonium asetat dan alkohol atau dengan sentrifugasi kerapatan menggunakan CsCl
(lihat Bab II).
Gambar 9.1. Skema tahapan kloning gen
Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk DNA genomik maupun
DNA vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih di antara kedua macam molekul
DNA ini yang akan diisolasi dapat digunakan dua pendekatan. Pertama, plasmid pada
umumnya berada dalam struktur tersier yang sangat kuat atau dikatakan mempunyai
bentuk covalently closed circular (CCC), sedangkan DNA kromosom jauh lebih
longgar ikatan kedua untainya dan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi.
Perbedaan tersebut menyebabkan DNA plasmid jauh lebih tahan terhadap denaturasi
apabila dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh karena itu, aplikasi kondisi
denaturasi akan dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA kromosom.
Pendekatan kedua didasarkan atas perbedaan daya serap etidium bromid, zat pewarna
DNA yang menyisip atau melakukan interkalasi di sela-sela basa molekul DNA. DNA
plasmid akan menyerap etidium bromid jauh lebih sedikit daripada jumlah yang
diserap oleh DNA kromosom per satuan panjangnya. Dengan demikian, perlakuan
menggunakan etidium bromid akan menjadikan kerapatan DNA kromosom lebih
tinggi daripada kerapatan DNA plasmid sehingga keduanya dapat dipisahkan melalui
sentrifugasi kerapatan.
Enzim Restriksi
Tahap kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul DNA, baik genomik
maupun plasmid. Perkembangan teknik pemotongan DNA berawal dari saat
ditemukannya sistem restriksi dan modifikasi DNA pada bakteri E. coli, yang
berkaitan dengan infeksi virus atau bakteriofag lambda (l). Virus l digunakan untuk
menginfeksi dua strain E. coli, yakni strain K dan C.  Jika l yang telah menginfeksi
strain C diisolasi dari strain tersebut dan kemudian digunakan untuk mereinfeksi
strain C, maka akan diperoleh l progeni (keturunan) yang lebih kurang sama
banyaknya dengan jumlah yang diperoleh dari infeksi pertama. Dalam hal ini,
dikatakan bahwa efficiency of plating (EOP) dari strain C ke strain C adalah 1. 
Namun, jika l yang diisolasi dari strain C digunakan untuk menginfeksi strain K,
maka nilai EOP-nya hanya 10-4. Artinya, hanya ditemukan l progeni sebanyak
1/10.000 kali jumlah yang diinfeksikan. Sementara itu, l yang diisolasi dari strain K
mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika direinfeksikan pada strain K maupun
pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem restriksi/modifikasi (r/m) pada
strain K.
Pada waktu bakteriofag l yang diisolasi dari strain C diinfeksikan ke strain K, molekul
DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease restriksi yang terdapat di dalam strain K.
Di sisi lain, untuk mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri, strain K
juga mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi beberapa basa
pada sejumlah urutan tertentu yang merupakan tempat-tempat pengenalan
(recognition sites) bagi enzim restriksi tersebut.
DNA bakteriofag l yang mampu bertahan dari perusakan oleh enzim restriksi pada
siklus infeksi pertama akan mengalami modifikasi dan memperoleh kekebalan
terhadap enzim restrisksi tersebut. Namun, kekebalan ini tidak diwariskan dan harus
dibuat pada setiap akhir putaran replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag l yang
diinfeksikan dari strain K ke strain C dan dikembalikan lagi ke strain K akan menjadi
rentan terhadap enzim restriksi.
Metilasi hanya terjadi pada salah satu di antara kedua untai molekul DNA.
Berlangsungnya metilasi ini demikian cepatnya pada tiap akhir replikasi hingga
molekul DNA baru hasil replikasi tidak akan sempat terpotong oleh enzim restriksi.
Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak dipelajari. Selanjutnya, enzim
ini dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang dinamakan enzim restriksi
tipe I.  Banyak enzim serupa yang ditemukan kemudian pada berbagai spesies bakteri
lainnya.
Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang kemudian dimasukkan
ke dalam kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II. Ia
mengisolasi enzim tersebut dari bakteri Haemophilus influenzae strain Rd, dan sejak
saat itu ditemukan lebih dari 475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies dan
strain bakteri. Semuanya sekarang telah menjadi salah satu komponen utama dalam
tata kerja rekayasa genetika.
Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat-sifat umum yang penting sebagai
berikut:
1.      mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa di dalam
molekul DNA
2.      memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat
tempat pengenalannya
3.      menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan basa.
Sebagian besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan memotong urutan pengenal
yang mempunyai sumbu simetri rotasi. Gambar 11.3 memperlihatkan beberapa enzim
restriksi beserta tempat pengenalannya.
Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti aturan sebagai berikut. Huruf
pertama adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber isolasi enzim, sedangkan
huruf kedua dan ketiga masing-masing adalah huruf pertama dan kedua nama
petunjuk spesies bakteri sumber tersebut. Huruf-huruf tambahan, jika ada, berasal dari
nama strain bakteri, dan angka romawi digunakan untuk membedakan enzim yang
berbeda tetapi diisolasi dari spesies yang sama.
Tempat pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah sejauh beberapa
pasang basa. Pemotongan DNA dengan tempat pemotongan semacam ini akan
menghasilkan fragmen-fragmen dengan ujung 5’ yang runcing karena masing-masing
untai tunggalnya menjadi tidak sama panjang. Dua fragmen DNA dengan ujung yang
runcing akan mudah disambungkan satu sama lain sehingga ujung runcing sering pula
disebut sebagai ujung lengket (sticky end) atau ujung kohesif.
Hal itu berbeda dengan enzim restriksi seperti Hae III, yang mempunyai tempat
pemotongan DNA pada posisi yang sama. Kedua fragmen hasil pemotongannya akan
mempunyai ujung 5’ yang tumpul karena masing-masing untai tunggalnya sama
panjangnya. Fragmen-fragmen DNA dengan ujung tumpul (blunt end) akan sulit
untuk disambungkan. Biasanya diperlukan perlakuan tambahan untuk menyatukan
dua fragmen DNA dengan ujung tumpul, misalnya pemberian molekul linker,
molekul adaptor, atau penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk
menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’.
Ligasi Molekul – molekul DNA
Pemotongan DNA genomik dan DNA vektor menggunakan enzim restriksi harus
menghasilkan ujung-ujung potongan yang kompatibel. Artinya, fragmen-fragmen
DNA genomik nantinya harus dapat disambungkan (diligasi) dengan DNA vektor
yang sudah berbentuk linier.
Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meligasi fragmen-fragmen DNA secara in
vitro. Pertama, ligasi menggunakan enzim DNA ligase dari bakteri. Kedua, ligasi
menggunakan DNA ligase dari sel-sel E. coli yang telah diinfeksi dengan bakteriofag
T4 atau lazim disebut sebagai enzim T4 ligase. Jika cara yang pertama hanya dapat
digunakan untuk meligasi ujung-ujung lengket, cara yang kedua dapat digunakan baik
pada ujung lengket maupun pada ujung tumpul. Sementara itu, cara yang ketiga telah
disinggung di atas, yaitu pemberian enzim deoksinukleotidil transferase untuk
menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’. Dengan untai tunggal semacam ini akan
diperoleh ujung lengket buatan, yang selanjutnya dapat diligasi menggunakan DNA
ligase.
Suhu optimum bagi aktivitas DNA ligase sebenarnya 37ºC. Akan tetapi, pada suhu ini
ikatan hidrogen yang secara alami terbentuk di antara ujung-ujung lengket akan
menjadi tidak stabil dan kerusakan akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan
tersebut.  Oleh karena itu, ligasi biasanya dilakukan pada suhu antara 4 dan 15ºC
dengan waktu inkubasi (reaksi) yang diperpanjang (sering kali hingga semalam).
Pada reaksi ligasi antara fragmen-fragmen DNA genomik dan DNA vektor,
khususnya plasmid, dapat terjadi peristiwa religasi atau ligasi sendiri sehingga
plasmid yang telah dilinierkan dengan enzim restriksi akan menjadi plasmid sirkuler
kembali. Hal ini jelas akan menurunkan efisiensi ligasi. Untuk meningkatkan efisiensi
ligasi dapat dilakukan beberapa cara, antara lain penggunaan DNA dengan
konsentrasi tinggi (lebih dari 100µg/ml), perlakuan dengan enzim alkalin fosfatase
untuk menghilangkan gugus fosfat dari ujung 5’ pada molekul DNA yang telah
terpotong, serta pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau penambahan enzim
deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’
seperti telah disebutkan di atas.
Transformasi Sel Inang
Tahap berikutnya setelah ligasi adalah analisis terhadap hasil pemotongan DNA
genomik dan DNA vektor serta analisis hasil ligasi molekul-molekul DNA tersebut.
menggunakan teknik elektroforesis (lihat Bab X). Jika hasil elektroforesis
menunjukkan bahwa fragmen-fragmen DNA genomik telah terligasi dengan baik
pada DNA vektor sehingga terbentuk molekul DNA rekombinan, campuran reaksi
ligasi dimasukkan ke dalam sel inang agar dapat diperbanyak dengan cepat. Dengan
sendirinya, di dalam campuran reaksi tersebut selain terdapat molekul DNA
rekombinan, juga ada sejumlah fragmen DNA genomik dan DNA plasmid yang tidak
terligasi satu sama lain. Tahap memasukkan campuran reaksi ligasi ke dalam sel
inang ini dinamakan transformasi karena sel inang diharapkan akan mengalami
perubahan sifat tertentu setelah dimasuki molekul DNA rekombinan.
Teknik transformasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 oleh M. Mandel
dan A. Higa, yang melakukan transformasi bakteri E. coli. Sebelumnya, transformasi
pada beberapa spesies bakteri lainnya yang mempunyai sistem transformasi alami
seperti Bacillus subtilis telah dapat dilakukan. Kemampuan transformasi B. subtilis
pada waktu itu telah dimanfaatkan untuk mengubah strain-strain auksotrof (tidak
dapat tumbuh pada medium minimal) menjadi prototrof (dapat tumbuh pada medium
minimal) dengan menggunakan preparasi DNA genomik utuh. Baru beberapa waktu
kemudian transformasi dilakukan menggunakan perantara vektor, yang selanjutnya
juga dikembangkan pada transformasi E.coli. 
Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan Higa adalah perlakuan kalsium
klorid (CaCl2) yang memungkinkan sel-sel E. coli untuk mengambil DNA dari
bakteriofag l. Pada tahun 1972 S.N. Cohen dan kawan-kawannya menemukan bahwa
sel-sel yang diperlakukan dengan CaCl2 dapat juga mengambil DNA plasmid.
Frekuensi transformasi tertinggi akan diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur di
dalam larutan CaCl2 pada suhu 0 hingga 5ºC. Perlakuan kejut panas antara 37 dan
45ºC selama lebih kurang satu menit yang diberikan setelah pencampuran DNA
dengan larutan CaCl2 tersebut dapat meningkatkan frekuensi transformasi tetapi tidak
terlalu esensial. Molekul DNA berukuran besar lebih rendah efisiensi transformasinya
daripada molekul DNA kecil.
Mekanisme transformasi belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Namun, setidak-
tidaknya transformasi melibatkan tahap-tahap berikut ini. Molekul CaCl2 akan
menyebabkan sel-sel bakteri membengkak dan membentuk sferoplas yang kehilangan
protein periplasmiknya sehingga dinding sel menjadi bocor. DNA yang ditambahkan
ke dalam campuran ini akan membentuk kompleks resisten DNase dengan ion-ion
Ca2+ yang terikat pada permukaan sel. Kompleks ini kemudian diambil oleh sel
selama perlakuan kejut panas diberikan.
Seleksi Transforman dan Seleksi Rekombinan
Oleh karena DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan hanya DNA
rekombinan, maka kita harus melakukan seleksi untuk memilih sel inang transforman
yang membawa DNA rekombinan. Selanjutnya, di antara sel-sel transforman yang
membawa DNA rekombinan masih harus dilakukan seleksi untuk mendapatkan sel
yang DNA rekombinannya membawa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan.
Cara seleksi sel transforman akan diuraikan lebih rinci pada penjelasan tentang
plasmid (lihat Bab XI). Pada dasarnya ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi
setelah transformasi dilakukan, yaitu (1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau
berarti transformasi gagal, (2) sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi
gagal, dan (3) sel inang dimasuki vektor rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan
atau gen yang diinginkan. Untuk membedakan antara kemungkinan pertama dan
kedua dilihat perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang
memperlihatkan dua sifat marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan
kedualah yang terjadi. Selanjutnya, untuk membedakan antara kemungkinan kedua
dan ketiga dilihat pula perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang
hanya memperlihatkan salah satu sifat di antara kedua marker vektor, maka dapat
dipastikan bahwa kemungkinan ketigalah yang terjadi.
Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan dilakukan dengan
mencari fragmen tersebut menggunakan fragmen pelacak (probe), yang
pembuatannya dilakukan secara in vitro menggunakan teknik reaksi polimerisasi
berantai atau polymerase chain reaction (PCR). Penjelasan lebih rinci tentang
teknik PCR dapat dilihat pada Bab XII. Pelacakan fragmen yang diinginkan antara
lain dapat dilakukan melalui cara yang dinamakan hibridisasi koloni (lihat Bab X).
Koloni-koloni sel rekombinan ditransfer ke membran nilon, dilisis agar isi selnya
keluar, dibersihkan protein dan remukan sel lainnya hingga tinggal tersisa DNAnya
saja. Selanjutnya, dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di dalam larutan pelacak.
Posisi-posisi DNA yang terhibridisasi oleh fragmen pelacak dicocokkan dengan posisi
koloni pada kultur awal (master plate). Dengan demikian, kita bisa menentukan
koloni-koloni sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan.
http://biomol.wordpress.com/bahan-ajar/dasar-tek-dna-rek/

Jumat, 2009 Januari 23


Dasar - Dasar teknologi DNA Rekombinan

Pengertian Teknologi DNA Rekombinan


Secara klasik analisis molekuler protein dan materi lainnya dari kebanyakan
organisme ternyata sangat tidak mudah untuk dilakukan karena adanya kesulitan
untuk memurnikannya dalam jumlah besar. Namun, sejak tahun 1970-an berkembang
suatu teknologi yang dapat diterapkan sebagai pendekatan dalam mengatasi masalah
tersebut melalui isolasi dan manipulasi terhadap gen yang bertanggung jawab atas
ekspresi protein tertentu atau pembentukan suatu produk. Teknologi yang dikenal
sebagai teknologi DNA rekombinan, atau dengan istilah yang lebih populer rekayasa
genetika, ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu di dalam suatu sel yang
bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai kloning gen. Banyak
definisi telah diberikan untuk mendeskripsikan pengertian teknologi DNA
rekombinan. Salah satu di antaranya, yang mungkin paling representatif,
menyebutkan bahwa teknologi DNA rekombinan adalah pembentukan kombinasi
materi genetik yang baru dengan cara penyisipan molekul DNA ke dalam suatu vektor
sehingga memungkinkannya untuk terintegrasi dan mengalami perbanyakan di dalam
suatu sel organisme lain yang berperan sebagai sel inang. Teknologi DNA
rekombinan mempunyai dua segi manfaat. Pertama, dengan mengisolasi dan
mempelajari masing-masing gen akan diperoleh pengetahuan tentang fungsi dan
mekanisme kontrolnya. Kedua, teknologi ini memungkinkan diperolehnya produk gen
tertentu dalam waktu lebih cepat dan jumlah lebih besar daripada produksi secara
konvensional.
Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan melalui
teknologi DNA rekombinan melibatkan beberapa tahapan tertentu. Tahapan-tahapan
tersebut adalah isolasi DNA genomik/kromosom yang akan diklon, pemotongan
molekul DNA menjadi sejumlah fragmen dengan berbagai ukuran, isolasi DNA
vektor, penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor untuk menghasilkan molekul DNA
rekombinan, transformasi sel inang menggunakan molekul DNA rekombinan,
reisolasi molekul DNA rekombinan dari sel inang, dan analisis DNA rekombinan.
Isolasi DNA
Isolasi DNA diawali dengan perusakan dan atau pembuangan dinding sel, yang dapat
dilakukan baik dengan cara mekanis seperti sonikasi, tekanan tinggi, beku-leleh
maupun dengan cara enzimatis seperti pemberian lisozim. Langkah berikutnya adalah
lisis sel. Bahan-bahan sel yang relatif lunak dapat dengan mudah diresuspensi di
dalam medium bufer nonosmotik, sedangkan bahan-bahan yang lebih kasar perlu
diperlakukan dengan deterjen yang kuat seperti triton X-100 atau dengan sodium
dodesil sulfat (SDS). Pada eukariot langkah ini harus disertai dengan perusakan
membran nukleus. Setelah sel mengalami lisis, remukan-remukan sel harus dibuang.
Biasanya pembuangan remukan sel dilakukan dengan sentrifugasi. Protein yang
tersisa dipresipitasi menggunakan fenol atau pelarut organik seperti kloroform untuk
kemudian disentrifugasi dan dihancurkan secara enzimatis dengan proteinase. DNA
yang telah dibersihkan dari protein dan remukan sel masih tercampur dengan RNA
sehingga perlu ditambahkan RNAse untuk membersihkan DNA dari RNA. Molekul
DNA yang telah diisolasi tersebut kemudian dimurnikan dengan penambahan
amonium asetat dan alkohol atau dengan sentrifugasi kerapatan menggunakan CsCl.
...

Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk DNA genomik maupun
DNA vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih di antara kedua macam molekul
DNA ini yang akan diisolasi dapat digunakan dua pendekatan. Pertama, plasmid pada
umumnya berada dalam struktur tersier yang sangat kuat atau dikatakan mempunyai
bentuk covalently closed circular (CCC), sedangkan DNA kromosom jauh lebih
longgar ikatan kedua untainya dan mempunyai nisbah aksial yang sangat tinggi.
Perbedaan tersebut menyebabkan DNA plasmid jauh lebih tahan terhadap denaturasi
apabila dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh karena itu, aplikasi kondisi
denaturasi akan dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA kromosom.
Pendekatan kedua didasarkan atas perbedaan daya serap etidium bromid, zat pewarna
DNA yang menyisip atau melakukan interkalasi di sela-sela basa molekul DNA. DNA
plasmid akan menyerap etidium bromid jauh lebih sedikit daripada jumlah yang
diserap oleh DNA kromosom per satuan panjangnya. Dengan demikian, perlakuan
menggunakan etidium bromid akan menjadikan kerapatan DNA kromosom lebih
tinggi daripada kerapatan DNA plasmid sehingga keduanya dapat dipisahkan melalui
sentrifugasi kerapatan.
Enzim Restriksi
Tahap kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul DNA, baik genomik
maupun plasmid. Perkembangan teknik pemotongan DNA berawal dari saat
ditemukannya sistem restriksi dan modifikasi DNA pada bakteri E. coli, yang
berkaitan dengan infeksi virus atau bakteriofag lambda (l). Virus l digunakan untuk
menginfeksi dua strain E. coli, yakni strain K dan C. Jika l yang telah menginfeksi
strain C diisolasi dari strain tersebut dan kemudian digunakan untuk mereinfeksi
strain C, maka akan diperoleh l progeni (keturunan) yang lebih kurang sama
banyaknya dengan jumlah yang diperoleh dari infeksi pertama. Dalam hal ini,
dikatakan bahwa efficiency of plating (EOP) dari strain C ke strain C adalah 1.
Namun, jika l yang diisolasi dari strain C digunakan untuk menginfeksi strain K,
maka nilai EOP-nya hanya 10-4. Artinya, hanya ditemukan l progeni sebanyak
1/10.000 kali jumlah yang diinfeksikan. Sementara itu, l yang diisolasi dari strain K
mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika direinfeksikan pada strain K maupun
pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem restriksi/modifikasi (r/m) pada
strain K.Pada waktu bakteriofag l yang diisolasi dari strain C diinfeksikan ke strain K,
molekul DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease restriksi yang terdapat di dalam
strain K. Di sisi lain, untuk mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri,
strain K juga mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi
beberapa basa pada sejumlah urutan tertentu yang merupakan tempat-tempat
pengenalan (recognition sites) bagi enzim restriksi tersebut.
DNA bakteriofag l yang mampu bertahan dari perusakan oleh enzim restriksi pada
siklus infeksi pertama akan mengalami modifikasi dan memperoleh kekebalan
terhadap enzim restrisksi tersebut. Namun, kekebalan ini tidak diwariskan dan harus
dibuat pada setiap akhir putaran replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag l yang
diinfeksikan dari strain K ke strain C dan dikembalikan lagi ke strain K akan menjadi
rentan terhadap enzim restriksi. Metilasi hanya terjadi pada salah satu di antara kedua
untai molekul DNA. Berlangsungnya metilasi ini demikian cepatnya pada tiap akhir
replikasi hingga molekul DNA baru hasil replikasi tidak akan sempat terpotong oleh
enzim restriksi.
Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak dipelajari. Selanjutnya, enzim
ini dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang dinamakan enzim restriksi tipe
I. Banyak enzim serupa yang ditemukan kemudian pada berbagai spesies bakteri
lainnya. Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang kemudian
dimasukkan ke dalam kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II.
Ia mengisolasi enzim tersebut dari bakteri Haemophilus influenzae strain Rd, dan
sejak saat itu ditemukan lebih dari 475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies dan
strain bakteri. Semuanya sekarang telah menjadi salah satu komponen utama dalam
tata kerja rekayasa genetika.
Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat-sifat umum yang penting
sebagai berikut:
1. Mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa di dalam
molekul DNA
2. Memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat tempat
pengenalannya
3. Menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan basa.
Sebagian besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan memotong urutan pengenal
yang mempunyai sumbu simetri rotasi. Pemberian nama kepada enzim restriksi
mengikuti aturan sebagai berikut. Huruf pertama adalah huruf pertama nama genus
bakteri sumber isolasi enzim, sedangkan huruf kedua dan ketiga masing-masing
adalah huruf pertama dan kedua nama petunjuk spesies bakteri sumber tersebut.
Huruf-huruf tambahan, jika ada, berasal dari nama strain bakteri, dan angka romawi
digunakan untuk membedakan enzim yang berbeda tetapi diisolasi dari spesies yang
sama.
Tempat pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah sejauh beberapa
pasang basa. Pemotongan DNA dengan tempat pemotongan semacam ini akan
menghasilkan fragmen-fragmen dengan ujung 5’ yang runcing karena masing-masing
untai tunggalnya menjadi tidak sama panjang. Dua fragmen DNA dengan ujung yang
runcing akan mudah disambungkan satu sama lain sehingga ujung runcing sering pula
disebut sebagai ujung lengket (sticky end) atau ujung kohesif. Hal itu berbeda dengan
enzim restriksi seperti Hae III, yang mempunyai tempat pemotongan DNA pada
posisi yang sama. Kedua fragmen hasil pemotongannya akan mempunyai ujung 5’
yang tumpul karena masing-masing untai tunggalnya sama panjangnya. Fragmen-
fragmen DNA dengan ujung tumpul (blunt end) akan sulit untuk disambungkan.
Biasanya diperlukan perlakuan tambahan untuk menyatukan dua fragmen DNA
dengan ujung tumpul, misalnya pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau
penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal
homopolimerik 3’.
Ligasi Molekul - molekul DNA
Pemotongan DNA genomik dan DNA vektor menggunakan enzim restriksi harus
menghasilkan ujung-ujung potongan yang kompatibel. Artinya, fragmen-fragmen
DNA genomik nantinya harus dapat disambungkan (diligasi) dengan DNA vektor
yang sudah berbentuk linier. Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meligasi
fragmen-fragmen DNA secara in vitro. Pertama, ligasi menggunakan enzim DNA
ligase dari bakteri. Kedua, ligasi menggunakan DNA ligase dari sel-sel E. coli yang
telah diinfeksi dengan bakteriofag T4 atau lazim disebut sebagai enzim T4 ligase. Jika
cara yang pertama hanya dapat digunakan untuk meligasi ujung-ujung lengket, cara
yang kedua dapat digunakan baik pada ujung lengket maupun pada ujung tumpul.
Sementara itu, cara yang ketiga telah disinggung di atas, yaitu pemberian enzim
deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’.
Dengan untai tunggal semacam ini akan diperoleh ujung lengket buatan, yang
selanjutnya dapat diligasi menggunakan DNA ligase. Suhu optimum bagi aktivitas
DNA ligase sebenarnya 37ºC. Akan tetapi, pada suhu ini ikatan hidrogen yang secara
alami terbentuk di antara ujung-ujung lengket akan menjadi tidak stabil dan kerusakan
akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan tersebut. Oleh karena itu, ligasi biasanya
dilakukan pada suhu antara 4 dan 15ºC dengan waktu inkubasi (reaksi) yang
diperpanjang (sering kali hingga semalam).Pada reaksi ligasi antara fragmen-fragmen
DNA genomik dan DNA vektor, khususnya plasmid, dapat terjadi peristiwa religasi
atau ligasi sendiri sehingga plasmid yang telah dilinierkan dengan enzim restriksi
akan menjadi plasmid sirkuler kembali. Hal ini jelas akan menurunkan efisiensi ligasi.
Untuk meningkatkan efisiensi ligasi dapat dilakukan beberapa cara, antara lain
penggunaan DNA dengan konsentrasi tinggi (lebih dari 100µg/ml), perlakuan dengan
enzim alkalin fosfatase untuk menghilangkan gugus fosfat dari ujung 5’ pada molekul
DNA yang telah terpotong, serta pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau
penambahan enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal
homopolimerik 3’ seperti telah disebutkan di atas.
Transformasi Sel Inang
Tahap berikutnya setelah ligasi adalah analisis terhadap hasil pemotongan DNA
genomik dan DNA vektor serta analisis hasil ligasi molekul-molekul DNA tersebut.
menggunakan teknik elektroforesis. Jika hasil elektroforesis menunjukkan bahwa
fragmen-fragmen DNA genomik telah terligasi dengan baik pada DNA vektor
sehingga terbentuk molekul DNA rekombinan, campuran reaksi ligasi dimasukkan ke
dalam sel inang agar dapat diperbanyak dengan cepat. Dengan sendirinya, di dalam
campuran reaksi tersebut selain terdapat molekul DNA rekombinan, juga ada
sejumlah fragmen DNA genomik dan DNA plasmid yang tidak terligasi satu sama
lain. Tahap memasukkan campuran reaksi ligasi ke dalam sel inang ini dinamakan
transformasi karena sel inang diharapkan akan mengalami perubahan sifat tertentu
setelah dimasuki molekul DNA rekombinan. Teknik transformasi pertama kali
dikembangkan pada tahun 1970 oleh M. Mandel dan A. Higa, yang melakukan
transformasi bakteri E. coli. Sebelumnya, transformasi pada beberapa spesies bakteri
lainnya yang mempunyai sistem transformasi alami seperti Bacillus subtilis telah
dapat dilakukan. Kemampuan transformasi B. subtilis pada waktu itu telah
dimanfaatkan untuk mengubah strain-strain auksotrof (tidak dapat tumbuh pada
medium minimal) menjadi prototrof (dapat tumbuh pada medium minimal) dengan
menggunakan preparasi DNA genomik utuh. Baru beberapa waktu kemudian
transformasi dilakukan menggunakan perantara vektor, yang selanjutnya juga
dikembangkan pada transformasi E.coli.
Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan Higa adalah perlakuan kalsium
klorid (CaCl2) yang memungkinkan sel-sel E. coli untuk mengambil DNA dari
bakteriofag l. Pada tahun 1972 S.N. Cohen dan kawan-kawannya menemukan bahwa
sel-sel yang diperlakukan dengan CaCl2 dapat juga mengambil DNA plasmid.
Frekuensi transformasi tertinggi akan diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur di
dalam larutan CaCl2 pada suhu 0 hingga 5ºC. Perlakuan kejut panas antara 37 dan
45ºC selama lebih kurang satu menit yang diberikan setelah pencampuran DNA
dengan larutan CaCl2 tersebut dapat meningkatkan frekuensi transformasi tetapi tidak
terlalu esensial. Molekul DNA berukuran besar lebih rendah efisiensi transformasinya
daripada molekul DNA kecil.Mekanisme transformasi belum sepenuhnya dapat
dijelaskan. Namun, setidak-tidaknya transformasi melibatkan tahap-tahap berikut ini.
Molekul CaCl2 akan menyebabkan sel-sel bakteri membengkak dan membentuk
sferoplas yang kehilangan protein periplasmiknya sehingga dinding sel menjadi
bocor. DNA yang ditambahkan ke dalam campuran ini akan membentuk kompleks
resisten DNase dengan ion-ion Ca2+ yang terikat pada permukaan sel. Kompleks ini
kemudian diambil oleh sel selama perlakuan kejut panas diberikan.
Seleksi Transforman dan Seleksi Rekombinan
Oleh karena DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan hanya DNA
rekombinan, maka kita harus melakukan seleksi untuk memilih sel inang transforman
yang membawa DNA rekombinan. Selanjutnya, di antara sel-sel transforman yang
membawa DNA rekombinan masih harus dilakukan seleksi untuk mendapatkan sel
yang DNA rekombinannya membawa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan. Cara
seleksi sel transforman akan diuraikan lebih rinci pada penjelasan tentang plasmid.
Pada dasarnya ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi setelah transformasi
dilakukan, yaitu:
(1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti transformasi gagal,
(2) sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal, dan
(3) sel inang dimasuki vektor rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan atau gen
yang diinginkan.
Untuk membedakan antara kemungkinan pertama dan kedua dilihat perubahan sifat
yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang memperlihatkan dua sifat marker vektor,
maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan kedualah yang terjadi. Selanjutnya, untuk
membedakan antara kemungkinan kedua dan ketiga dilihat pula perubahan sifat yang
terjadi pada sel inang. Jika sel inang hanya memperlihatkan salah satu sifat di antara
kedua marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan ketigalah yang
terjadi. Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan dilakukan
dengan mencari fragmen tersebut menggunakan fragmen pelacak (probe), yang
pembuatannya dilakukan secara in vitro menggunakan teknik reaksi polimerisasi
berantai atau polymerase chain reaction (PCR). Pelacakan fragmen yang diinginkan
antara lain dapat dilakukan melalui cara yang dinamakan hibridisasi koloni. Koloni-
koloni sel rekombinan ditransfer ke membran nilon, dilisis agar isi selnya keluar,
dibersihkan protein dan remukan sel lainnya hingga tinggal tersisa DNAnya saja.
Selanjutnya, dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di dalam larutan pelacak. Posisi-
posisi DNA yang terhibridisasi oleh fragmen pelacak dicocokkan dengan posisi
koloni pada kultur awal (master plate). Dengan demikian, kita bisa menentukan
koloni-koloni sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan.
http://mickeyamekan.blogspot.com/2009/01/dasar-dasar-teknologi-dna-
rekombinan.html
Sabtu, 2009 Januari 24
Enzim Restriksi

Salah satu sebab cepatnya perkenmbangan teknologi DNA adalah penemuan berbagai
macam enzim yang dapat mengkatalisis pembelahan DNA di beberapa tempat yang
dapat di produksi. Enzim ini disebut enzim restriksi atau endonuklease restriksi.
...

Semua nuklease, enzim yang ditemukan pertama kali mampu memecah ikatan
fosfodiester asam nukleat, menunjukkan ketergantungan dalam urutan yang samhat
kecil, yang paling spesifik adalah T1 RNase, yang diketahui hanya dapat memotong
berikut tempat suatu sisa guanin. Pada RNA tertentu ditemukan tempat pemutusan
yang sangat disukai, tetapi hal ini mencerminkan molekul RNA untai tunggal yang
terlipat ke dalam susunan tiga simensi yang kompleks, dan bukan menunjukkan
kecenderungan apapun bagi enzim untuk melakukan pemotongan dalam urutan basa
tertentu. Pandangan umum yanh berlaku adlah bahwa nuklease yang sangat spesifik
tidak akan pernah akan ditemukan, dan oleh sebab itu pemisahan fragmen DNA yang
berlainan bahkan dari DNA virus, tidak akan mungkin. Satu - satunya dasar untuk
berpikir lain adlah pengamatan, yang dimulai pasa awal tahun 1953, bahwa bila
molekul DNA daei suatu galur E. coli dimasukkan kedalam galur E. coli yang lain,
DNA tadi jarang berfungsi secara genetik. Malahan, DNA asing hampir selalu sepa
dipecah - pecah ke dalam kepingan - kepingan kecil. jarang sekali molekul DNA yang
menginfeksi tidak akan terurai, karena entah bagaimana caranya DNA itu mengalami
midifikasi, sehingga DNA tadi dengan semua keturunannya sekarang dapat
memperbanyak diri pada galur bakteri yang baru. Dalam tahun 1966 analisis kimia
DNA virus kecil yang dimodifilasi dengan cara seperti itu, sehingga dapat
mempertahankan diri dalam galur E. coli yang berbeda, mengungkapkan adanya satu
atau beberapa basa yang termetilkan yang tidak terdapat dalam DNA yang tidak
mengalami modifikasi. Basa termetilkan tidak disisipkan dalam bentuk itu ke dalam
rantai DNA yang sedang tumbuh, bsa - basa itu timbul melalui edisi gugus metil yang
dikatalisasi secara enzimatik ke dalam rantai DNA yang baru disintesiskan.
Enzim restriksi dibedakan dalam 2 golongan atas dasar cara enzim memecah DNA.
Enzim golongan I mengenal urutan pasangan nukleotid spesifik dan kemudian
memecah DNA pada tempat tidak spesifik jauh dari tempat pengolahan. Enzim yang
terlibat dalam sistem restrilsi K dan B E. coli termasuk dalam golongan ini.
sebaliknya, enzim golongan II, memecah DNA pada temat pengenalan spesifik.
Endonuklease restriksi kelompok II telah diisolasi dalam sejumlah besar
mikroorganisme.
http://mickeyamekan.blogspot.com/2009/01/enzim-restriksi.html

Anda mungkin juga menyukai