Anda di halaman 1dari 7

Biografi Amien Rais 

 
Amien Rais lahir di Solo, 26 April 1944, dari sebuah keluarga yang sangat taat dalam
menjalankan agamanya. Suhud Rais, ayahnya, adalah lulusan Mu’allimin Muhammadiyah dan
semasa hidupnya bekerja sebagai pegawai kantor Departemen Agama. Sang ibu, Sudalmiyah,
adalah alumni Hogere Inlandsche Kweekschool [HIK] Muhammadiyah, kemudian menjadi
aktivis Aisyiyah dan pernah menjabat sebagai ketuanya di Surakarta selama dua puluh tahun.

Sudalmiyah juga dikenal sebagai seorang guru yang ulet. Ia mengajar di Sekolah Guru
Kepandaian Putri [SGKP] Negeri dan Sekolah Bidan Aisyiyah Surakarta. Karena prestasinya di
dunia pendidikan, pada tahun 1985, Sudalmiyah mendapat gelar Ibu Teladan se-Jawa Tengah. Ia
juga aktif di partai politik Masyumi ketika masa jayanya pada tahun 1950-an. Kakek Amien
Rais, Wiryo Soedarmo, adalah salah seorang pendiri Muhammadiyah di Gombong, Jawa
Tengah. Jadi, Amien Rais dilahirkan dari keluarga yang sangat kental warna
Muhammadiyahnya.

Amien merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Kakaknya adalah Fatimah, dan empat
adiknya adalah Abdul Rozak, Achmad Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Asyiah. Mereka tumbuh dan
dibesarkan di kampung Kepatihan Kulon. Sejak kecil mereka sudah dilatih disiplin oleh sang
ibu. Bila Amien kecil melanggar, sang ibu tidak segan-segan menghukumnya. Mereka harus
bangun pukul 04.00 WIB setiap pagi. Caranya dengan meletakkan jam weker di dekat tempat
tidur. Dan ketika bangun, mereka diminta untuk mengucapkan “ashalatu khairum minan naum”
dengan suara keras sehingga terdengar sang ibu. Sang ibu biasanya memberikan imbalan berupa
uang 50 sen. Uang tersebut lalu mereka tabung, untuk dibelikan baju baru menjelang lebaran.

Walaupun tegas, tetapi sang ibu tidak pernah memaksakan kehendaknya. Anak-anaknya
dibiarkan tumbuh secara alami, sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Hanya saja,
pesan sang ibu yang tak pernah putus adalah mengingatkan mereka bahwa hakikat hidup adalah
ibadah. Yang terus diingat Amien, ketika ibunya berkata, “Ingat Mien, berkemah pun ibadah.”

Dalam berbagai kesempatan, Amien Rais secara terus terang mengakui bahwa ibunyalah yang
sangat mempengaruhi karakternya yang lugas tanpa basa-basi. Sampai kini Amien masih
menempatkan ibunya sebagai konsultannya dan tempat pelipur lara. Mana kala ia menghadapi
situasi atau persoalan pelik, ia selalu pulang ke Solo menemui sang ibu untuk meminta
pendapatnya, atau sekadar untuk menghindari kejaran wartawan yang pantang ia tolak. Setiap
Idul Fitri ia beserta semua saudaranya juga berkumpul di rumah sang ibu. Menurut Amien,
hingga usia 80-an, ketegasan dan kejernihan berpikir Ibunya masih tetap seperti dulu. Ibunda
Amien Rais wafat hari Jumat, 14 September 2001 di Solo, Jawa Tengah, dalam usia 89 tahun.

Sewaktu masih duduk di bangku SD, Amien kecil bercita-cita ingin menjadi walikota. Cita-cita
ini sangat dipengaruhi oleh kekagumannya pada Muhammad Saleh yang menjabat Walikota Solo
waktu itu. Muhammad Saleh adalah seorang muslim yang taat. Ia sering memberikan pengajian
di Balai Muhammadiyah Solo. Walikota asal Madura ini sangat dihormati dan dicintai oleh
rakyatnya. Namun setelah SMA, cita-cita Amien berubah. Ia ingin jadi duta besar. Mungkin cita-
cita ini yang ikut mempengaruhinya untuk memilih jurusan hubungan internasional ketika
memasuki perguruan tinggi.

Prinsip hidup yang jadi pegangannya diakuinya sangat sederhana, yaitu mencari ridha dan
ampunan Allah. Untuk mencapainya, orang harus berbicara dan berbuat apa adanya. “You are
what you are,” katanya suatu ketika. Ia membagi kebahagiaan menjadi tiga jenis, yaitu
kebahagiaan spiritual, kebahagiaan intelektual, dan kebahagiaan psikologis. Kebahagiaan
spiritual diperoleh dengan cara menjalani hidup sesuai dengan rel agama. Kebahagiaan
intelektual diperoleh dengan cara memberikan konstribusi pemikiran kepada masyarakat.
Sedangkan kebahagiaan psikologis didapatnya bila ia bisa berbuat atau menolong orang lain.

Amien Rais menikah pada 9 Februari 1969, dengan seorang gadis yang sudah dikenalnya sejak
mereka masih sama-sama kanak-kanak, Kusnasriyati Sri Rahayu. Selama sepuluh tahun pertama
pernikahannya ia belum dikaruniai anak, meskipun ia sudah berkonsultasi dengan banyak dokter
spesialis kandungan di Solo, Yogya, bahkan ketika berada di Chicago. Sampai suatu saat mereka
berdua mendapat kesempatan naik haji ke Makkah. Di depan Ka’bah mereka berdua
memanjatkan doa, memohon kepada Allah agar memenuhi keinginan mereka akan keturunan.
Waktu itu mereka sedang melakukan penelitian di Mesir. Setelah kembali ke Kairo, dua bulan
lebih sang istri tidak dikunjungi tamu rutin bulanan. Bahkan ada yang aneh: perutnya terasa
gatal-gatal. Akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke dokter kandungan. Dan hasilnya positif,
sang istri dinyatakan hamil. Bagi mereka berdua, kejadian itu merupakan mukjizat dan karunia
Allah semata. Setelah anak yang pertama lahir, selanjutnya setiap dua tahun sang istri hamil lagi.
Kini mereka sudah dikaruniai lima orang anak, tiga putra dan dua putri. Nama-nama mereka
diambil dari Al Qur’an dan dikaitkan dengan kenangan dan peristiwa yang menyertai
kelahirannya. Yang pertama diberi nama Ahmad Hanafi, kemudian Hanum Salsabiela, Ahmad
Mumtaz, Tasnim Fauzia, dan yang terakhir Ahmad Baihaqy.

Kusnasriyati adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Untuk mengisi kesibukannya, ia
mendirikan Taman Kanak-Kanak [TK] di sebelah rumahnya. Karena ketekunannya, TK ini
kemudian menjadi besar dan terkenal. Ia juga membuka kedai sederhana yang diminati banyak
mahasiswa. Dilihat dari penampilannya yang sederhana, termasuk gaya bicara yang sederhana, ia
tidak beda dengan ibu rumah tangga lainnya. Tetapi, di mata Amien Rais, ia adalah wanita luar
biasa.

Keberanian dan ketegaran yang dimiliki Amien Rais ternyata tidak lepas dari peran sang istri.
Suatu saat, ketika diinterviu seorang wartawan Jepang, saya melihat dengan nada bangga Amien
Rais mengatakan, “Istri saya mungkin merupakan wanita terbaik se-Asia Tenggara.” Komentar
tersebut mungkin terasa berlebihan bagi kebanyakan orang, tapi tidak bagi Amien Rais. Ia
pernah menceritakan kepada saya bahwa ketika studi di Chicago, karena beratnya beban kuliah
yang dihadapi, hampir saja ia putus asa. Untung ada sang istri yang terus-menerus memompa
semangatnya.
 

Begitu juga ketika ia merasa lelah saat melawan Orde Baru, istrinya tidak pernah lelah untuk
membangunkan kembali spiritnya. Sampai-sampai ia pernah mengomentari istrinya sebagai
sumber inspirasi dan motivasinya. Bahkan menjelang tumbangnya Soeharto, sempat tersebar isu
bahwa Amien Rais akan ditangkap. Ia kemudian memberi tahu sang istri tentang berita buruk
yang akan menimpanya. Dengan nada tegar sang istri menjawab, “Insya Allah ini akan
mempercepat kejatuhan Rezim Soeharto.”

Bila Allah mengaruniainya umur panjang, di masa tuanya nanti Amien hanya ingin melihat anak-
anaknya bisa menyelesaikan pendidikannya masing-masing. Sementara ia sendiri ingin mengisi
masa tuanya dengan menulis dan memberikan pengajian. Amien merujuk pada almarhum A.R.
Fachruddin dan ibunya sendiri yang sampai akhir hayatnya masih memimpin Sekolah
Keperawatan Muhammadiyah di Solo.

Aktifitas Saat Belia


Sejak belia Amien Rais sudah terlibat dalam berbagai gerakan. Kecintaannya pada organisasi
diawali dari keterlibatannya di pandu Hizbul Wathon. Ia dipercaya oleh teman-temannya untuk
memimpin sebuah regu yang terdiri dari tujuh orang yang diberi nama regu Rajawali. Regu yang
dipimpinnya selalu memenangkan berbagai perlombaan, seperti lomba tali-temali, morse,
membuat jembatan, sampai pada lomba masak-memasak.

Di sinilah Amien kecil mulai menyadari kekuatan kebersamaan dan makna kepemimpinan.
Ketika menjadi mahasiswa, ia termasuk salah seorang pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
[IMM]. Ia juga pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam [HMI], dan pernah dipercaya untuk
menduduki jabatan sekretaris Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam [LDMI] HMI Yogyakarta.

Di samping kegandrungannya berorganisasi, Amien Rais juga sudah mulai aktif menulis artikel
sejak belia. Dawam Rahardjo menuturkan:

“Ketika mahasiswa, Amien Rais telah menjadi penulis kolom yang tajam dan produktif. Oleh
tabloid mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung bersama-sama dengan Harian
Kami di Jakarta, koran mahasiswa yang legendaris di awal Orde Baru, Amien pernah di-
anugerahi Zainal Zakse Award.”

Riwayat Pendidikan
Pendidikan Amien Rais, mulai dari TK sampai SMA, semuanya dijalani di sekolah
Muhammadiyah, di kota kelahirannya, Solo. Menurut Amien, karena kecintaan sang ibu pada
sekolah Muhammadiyah, maka seandainya ketika itu sudah ada perguruan tinggi
Muhammadiyah, pasti ibunya akan memintanya untuk kuliah di situ. Sekolah Dasar diselesaikan
tahun 1956, kemudian SMP pada tahun 1959 dan SMA pada tahun 1962. Di samping sekolah
umum, ia juga mengikuti pendidikan agama di Pesantren Mamba’ul Ulum. Ia juga pernah
nyantri di Pesantren Al Islam.
Setelah tamat SMA, ibunya menginginkan Amien melanjutkan studinya ke Al-Azhar, Mesir.
Sementara ayahnya lebih memilih Universitas Gajah Mada [UGM]. Amien tampaknya lebih
cocok dengan pilihan sang ayah. Ia kemudian diterima di dua fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi
dan Fisipol UGM. Ia lalu berkonsultasi dengan sang ayah, mana fakultas yang lebih baik untuk
dipilih. Sang ayah menyerahkan kembali pada Amien untuk memilihnya. Akhirnya ia memilih
Fisipol. Mungkin untuk tidak mengecewakan harapan sang ibu, Amien juga kemudian
mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri [IAIN]
Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kuliah paralel ini dijalaninya sampai munculnya larangan kuliah
ganda oleh pemerintah.

Tahun 1968 Amien menyelesaikan studinya di UGM dengan tugas akhir berjudul Mengapa
Politik Luar Negeri Israel Berorientasi Pro Barat. Ia lulus dengan nilai A. Kemudian ia
melanjutkan pendidikan pascasarjana di University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat
yang diselesaikan tahun 1974 dengan gelar MA. Tesisnya adalah mengenai politik luar negeri
Anwar Sadat yang waktu itu sangat dekat dengan Moskow. Itu sebabnya Amien juga harus
mendalami masalah komunisme, Uni Soviet, dan Eropa Timur. Minatnya yang sangat besar
dalam masalah Timur Tengah tetap tumbuh.

Setelah pulang ke tanah air sebentar, ia kembali lagi ke Amerika untuk mengikuti program
doktor di University of Chicago, AS dengan mengambil bidang studi Timur Tengah. Ia berhasil
meraih gelar doktor pada tahun 1981, dengan disertasi berjudul The Moslem Brotherhood in
Egypt: Its Rise, Demise and Resurgence [Ikhwanul Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan,
dan Kebangkitannya Kembali]. Penelitian untuk menyusun disertasinya dilakukan di Mesir
dalam waktu sekitar satu tahun. Selama berada di Mesir, waktunya dimanfaatkan juga untuk
menjadi mahasiswa luar biasa di Departemen Bahasa Universitas Al Azhar, Kairo.

Di UGM ia mengasuh mata kuliah Teori Politik Internasional serta Sejarah dan Diplomasi di
Timur Tengah. Ia juga dipercaya mengajar mata kuliah Teori-teori Sosialisme. Yang paling
menyenangkannya adalah mata kuliah Teori Politik Internasional. Di Fakultas Pascasarjana
UGM ia dipercaya memegang mata kuliah Teori Revolusi dan Teori Politik.

'Mengelola Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan [PPSK]'


Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan [PPSK] adalah lembaga pengkajian dan penelitian di
bawah yayasan Mulia Bangsa Yogyakarta. Salah satu raison d’etre kelahiran PPSK adalah
keprihatinan masih terbatasnya hasil-hasil pengkajian yang menyangkut masalah-masalah
strategis dan kebijakan yang berorientasi pada masyarakat lemah.

Lembaga pengkajian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pemikiran yang meliputi:
Pertama, identifikasi permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam berbagai bidang
kehidupan. Kedua, analisa yang akurat mengenai berbagai kecenderungan global di bidang
sosial-budaya, agama, ekonomi, politik, dan iptek, serta dampaknya pada bangsa Indonesia.
Ketiga, usulan pemecahan terhadap berbagai persoalan bangsa berdasarkan telaah strategis dan
kebijakan yang realistis dan matang. Berbagai produk pemikirannya dipublikasikan lewat
majalah Prospektif, yang terbit tiga bulan sekali.

Menurut Dawam Rahardjo, PPSK memiliki peran besar dalam membidani lahirnya ICMI. Di
kantor inilah pertama kali konsep ICMI digodok, kemudian dibawa ke Wisma Muhammadiyah
di Tawangmangu, Solo, untuk disempurnakan. Setelah itu baru dibawa ke Malang.

Sejumlah tokoh penting bergabung di lembaga ini, di antaranya: Moeljoto Djojomartono,


Soedjatmoko, Ahmad Baiquni, Kuntowijoyo, Bambang Sudibyo, Umar Anggara Jenie, Ichlasul
Amal, Yahya A. Muhaimin, Affan Gafar, A. Syafi’i Maarif, dan Amien Rais yang dipercaya
untuk memimpinnya. Masyarakat ilmiah mengenal dan sangat memperhitungkan lembaga ini,
selain karena produk-produk pemikirannya, juga karena kredibilitas keilmuan dan reputasi
tokoh-tokohnya.

Namun masyarakat luas baru mengetahuinya setelah terjadinya dua peristiwa. Pertama,
meninggalnya Dr. Soedjatmoko, seorang yang dikenal luas memiliki reputasi internasional.
Beliau pernah menjadi Dubes RI untuk Amerika Serikat, juga pernah menjadi Rektor Pertama
Universitas PBB di Tokio. Almarhum meninggal saat berceramah di hadapan teman-temannya di
kantor PPSK, sehingga hampir semua media massa di tanah air memberitakan peristiwa
kematiannya. Kedua, pertemuan antara Arifin Panigoro dan kawan-kawan dengan kelompok
PPSK yang diselenggarakan di Hotel Radison, Yogyakarta, 5 Februari 1998.

Pertemuan ini kemudian dikenal dengan istilah “kasus Radison” dan menjadi polemik panjang
yang mewarnai media massa waktu itu, karena oleh rezim Soeharto dituduh sebagai upaya
“makar” terhadap pemerintah Orde Baru. Sebetulnya acara tersebut merupakan acara rutin dan
bersifat akademis dengan tema reformasi yang meliputi reformasi politik, reformasi ekonomi,
dan reformasi hukum. Beberapa orang yang hadir dalam pertemuan itu sempat dimintai
keterangan oleh pihak berwajib, bahkan Arifin Panigoro sempat menjadi tersangka. ►sumber
Web Tech Amien Rais Center  ►LANJUT

  
   

     
   
Nama:
Prof. Dr. H.
Muhammad Amien
Rais, MA
Lahir:
Surakarta, 26 April
1944
Orang tua:
Syuhud Rais dan
Sudalmiyah
Istri:
Kusnariyati Sri
Rahayu
Pendidikan:
Fakultas Sosial Politik
Universitas Gajah
Mada (lulus 1968)
Notre Dame Catholic
University, Indiana,
USA (1974)
Al-Azhar University,
Cairo, Mesir (1981)
Chicago University,
Chicago, USA (gelar
Ph.D dalam ilmu
politik 1984)
George Washington
University
(postdoctoral degree,
1988-1989)
Perjalanan karir:
Dosen pada FISIP
UGM (1969-1999)
Pengurus
Muhammadiyah
(1985)
Asisten Ketua Ikatan
Cendekiawan Muslim
Indonesia (1991-
1995)
Wakil Ketua
Muhammadiyah
(1991)
Direktur Pusat Kajian
Politik (1988)
Peneliti Senior di
BPPT (1991)
Anggota Grup V
Dewan Riset Nasional
(1995-2000)
Ketua
Muhammadiyah
(1995-2000)
Ketua Umum Partai
Amanat Nasional
(1999-sekarang)
Ketua MPR (1999-
2004)
 

 
     

Anda mungkin juga menyukai