Anda di halaman 1dari 20

DARI ‘EXOTIC THEORY’ HINGGA NEO -MARXIS

Jalan Panjang Pencarian Model Asal -Mula Produksi Pangan 1

Sugeng P. Syahrie
Alumni Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia

Pendahuluan
Asal-mula produksi pangan -- strategi subsistensi yang berbasis pada domestikasi
tumbuhan dan hewan -- tak henti-hentinya dikaji secara arkeologis dan tak habis -habisnya
diperdebatkan secara teoretis. Walaupun urutan apa yang terjadi serta di mana mulai
berlangsung tampak agak jelas, tetapi bagaimana dan mengapa hal itu terjadi belum dapat
dipastikan.
Pakar-pakar ilmu sosial telah lama menaruh minat besar terhadap persoalan ini. Maka
tidak mengherankan bila asal -mula produksi pangan menjadi persoalan yang begitu
multiperspektif, tak ubahnya suatu mosaik di mana berbagai komponen yang terlibat di
dalamnya berinteraksi dengan cara yang sa ngat kompleks. Debat-debat teoretis dan
pernyataan-pernyataan etnografis telah menjadikannya kanvas penuh warna selama
beberapa dasawarsa terakhir. Demografi, bentuk teknologi dan corak ekonomi subsistensi,
bentuk struktur sosial dan politik, dan lingkunga n ekologis bertemu di situ, berbaur,
bersilangan.
Ada dua alasan, setidaknya, sebagaimana disimpulkan oleh Roger M. Keesing (1992),
mengapa para ilmuwan sosial mencurahkan perhatian yang besar terhadap asal -mula
produksi pangan ini. Salah satu alasan ialah bahwa produksi pangan telah membawa
pengaruh besar dalam masyarakat; ia meningkatkan populasi manusia dengan pesat dan
mengubah tata cara kehidupan di setiap benua, kecuali Australia. Alasan kedua ialah bahwa
produksi pangan, seperti halnya urbanisme dan pembentukan negara, telah menghadapi
tantangan serius bagi pemerian teoretis, untuk pemahaman kita tentang bagaimana dan apa
sebabnya kebudayaan berubah.
Produksi pangan mengalami evolusi secara terpisah paling tidak di lima bagian dunia -di
Asia Baratdaya (Timur Tengah), di Cina dan Asia Tenggara, dan di Mesoamerika dan Peru
(Keesing, 1992; Sanderson, 1993). Bukti bagi Asia Tenggara masih kabur dan terpenggal -
penggal, tetapi urutan perkembangan di Asia Baratdaya dan Mesoamerika telah menantang
para teoretikus perubahan budaya dalam setengah abad terakhir.
Para teoretikus perubahan budaya dan asal -usul negara, yang melihat perubahan
budaya sebagai eksplorasi sejajar dalam menuju masyarakat yang lebih kompleks dan
kontrol teknologi yang lebih besar, umumnya s ependapat tentang implikasi positif (namun
berbeda pendapat tentang implikasi negatifnya) dari evolusi (atau ‘revolusi’, tergantung
bagaimana kita melihatnya) sistem subsistensi ini. Mereka meyakini bahwa produksi pangan

1 Artikel ini dinukil dari skripsi saya di Jurusan Ar keologi FS UI yang berjudul Model Asal-Mula Produksi
Pangan: Sigi Tiga Buku Prasejarah (1998).

1
memang memungkinkan suatu realokasi beban kerja. Beberapa orang mampu
menghasilkan cukup banyak pangan sehingga yang lain dapat menggunakan lebih banyak
waktunya untuk mengerjakan tugas -tugas lain; dan dengan demikian, sejumlah inovasi di
bidang teknologi, seperti tenun dan pembuatan tembik ar, yang pada umumnya menyertai
produksi pangan lalu berkembang (Haviland, 1988).
Di samping itu, salah satu hal yang berkorelasi kuat dengan munculnya produksi
pangan ini ialah timbulnya pemukiman yang tetap karena orang mulai menyelenggarakan
hortikultura sederhana -- tanpa menggunakan bajak atau irigasi; atau mengadakan pertanian
intensif -- pola subsistensi yang lebih kompleks yang memerlukan irigasi, pupuk, dan
binatang penarik. Pada awal pergeseran ke arah masyarakat pertanian ini, jumlah penduduk
memang meningkat yang dibarengi dengan pengelompokannya menjadi komunitas yang
lebih besar (Haviland, 1988; Sanderson, 1993). Tetapi masyarakat tetap tanpa kelas.
Spesialisasi penuh dalam pekerjaan belum ada dan jarang, akumulasi dan redistribusi
surplus produksi masih terbatas. Dengan demikian, belum ada organisasi politik dengan
hierarki yang ketat, tidak ada yang benar -benar jadi pemimpin, tidak ada organisasi
pemerintahan. "Masyarakat" terdiri dari kumpulan unit sosiopolitik yang otonom dengan
lokasi yang terpisah, dipersatukan oleh bahasa dan budaya yang sama (Keesing, 1992).
Pada umumnya, dalam hal perubahan yang berdampak luas seperti ini, masyarakat
beserta segala tatanannya memang mengalami perubahan. Teknologi, organisasi sosial
politik, faktor-faktor ekologi, dan komponen -komponen demografi mengalami
transformasi karena semuanya saling berkaitan secara fungsional; dan dalam perubahan,
semuanya tetap saling berkaitan meskipun bentuk dan sifat masing -masing mengalami
perubahan-yang berbeda dalam skala dan intensitasnya (Haviland, 1988).

Sepanjang sejarah kajiannya yang telah berlangsung berpuluh dasawarsa, problem penting
menyangkut perubahan budaya pada masa prasejarah ini menjadi perhatian banyak
kalangan ilmuwan, mulai dari pakar arkeologi, antro pologi, paleobotani, hingga geografi
sejarah. Juga pakar paleoekologi, ekonomi, sejarah, sosiologi -- bahkan filsafat (Wright,
1992).
Jika ditelusuri lebih jauh, berbagai pemikiran, konsepsi, maupun teori yang berdasarkan
mitos-mitos populer maupun gagasan -gagasan sederhana mengenai problem ini,
sebenarnya malah telah berlangsung selama beberapa abad sebelumnya. Berbagai spekulasi
filsafat, juga antropologi, misalnya, banyak berkembang jauh sebelum dilakukannya
penelitian-penelitian ilmiah di bidang ini. Ta k heran, jika pada masa itu hidup berbagai
mitos dan salah paham ( misconception) di seputar persoalan asal -mula produksi pangan
(Wright, 1992).
Mitos-mitos itu, seperti yang telah diringkas dengan baik oleh Hayden (1993: 220 -21),
misalnya adalah bahwa dome stikasi bermula dari satu tempat. Pandangan kaum difusionis
ini kenyataannya bertentangan dengan pelbagai penelitian mutakhir yang menyatakan
bahwa produksi pangan muncul secara mandiri dan serentak di berbagai belahan dunia
antara 10 000-5 000 tahun yang lalu. Ada pula mitos, bahwa produksi pangan adalah
perkembangan budaya yang berdampak pada penghematan kerja. Kenyataannya, data -data
etnografis terbaru justru menyimpulkan sebaliknya: pemburu -peramu justru menghabiskan
energi yang lebih sedikit ketimbang para produsen pangan untuk memperoleh jumlah
makanan yang sama.
Mitos lain menyatakan bahwa masyarakat produsen pangan memiliki status gizi yang
lebih baik. Asumsi ini berseberangan dengan studi -studi antropologi kesehatan mutakhir
yang menunjukkan bahwa masyarakat petani cenderung memiliki status kesehatan yang

2
lebih buruk ketimbang masyarakat pemburu -peramu dalam lingkungan ekologis yang sama.
The Great Man Theory adalah mitos lain yang amat populer ketika difusionisme menjadi
paham yang amat berpengaruh di kalangan arkeolog. Teori ini mengangggap bahwa pada
masa lalu ada sejumlah orang jenius yang mengetahui bahwa biji -biji yang terpendam
dalam tanah bisa menghasilkan tumbuhan. Mereka jugalah yang mengerti bagaimana
hewan-hewan dikembangbiakkan. Berbaga i mitos populer ini, tentu saja, kini telah
kadaluwarsa.
Penelitian ilmiah, di mana berbagai konsepsi, teori, maupun hipotesis yang bersifat
terkaan (conjectural) itu diuji melalui pengamatan lapangan ( field study), baru dimulai pada awal
abad kedua puluh, ketika V. Gordon Childe secara berturut -turut melakukan serangkaian
penelitian lapangan di Asia Baratdaya (Wright, 1992). Childe telah berjasa besar, karena apa
yang dilakukannya telah meretas jalan baru bagi dilakukannya penelitian -penelitian lapangan
yang lebih sistematis--melalui penggalian-penggalian arkeologi--kelak di kemudian hari.
Sejak penelitian Childe itu sampai dasawarsa 1990 -an ini, kajian asal-mula produksi
pangan disemarakkan oleh berbagai model, teori, ataupun hipotesis yang mensyaratkan
dilakukannya pengujian hipotesis. Paradigma prosesualisme, yang menjadi kiblat bagi
sebagian besar pakar arkeologi dalam empat dasawarsa terakhir, bahkan dikenal terutam
karena metode-metode pengujian hipotesisnya yang sangat sistematis dan ilmiah (Courbin,
1988).
Tapi prosesualisme, dengan begitu, juga tak luput dari berbagai kritik. Keberhasilan
prosesualisme melahirkan bermacam model asal -mula produksi pangan, sebagaimana
pernah ditengarai oleh Courbin (1988), ternyata untuk kasus -kasus di mana data arkeologi
memang terawetkan dengan baik, seperti di Asia Baratdaya dan Mesoamerika. Bagaimana
untuk wilayah-wilayah lain di mana data arkeologi tidak cukup mendukung, seperti di
daerah tropis? Di sini Courbin menyangsikan kehandalan prosesualisme untuk meraih
keberhasilan serupa sebagaimana di daerah -daerah bukan tropis.

Jalan Panjang Pencarian Model


Sejarah pemikiran mengenai asal mula produksi pangan -- pembiakan tanaman dan
penjinakan binatang -- sudah berlangsung berabad -abad. Tentu saja, pemikiran -pemikiran
tersebut tidak memiliki klaim ilmiah yang memadai, karena memang tidak dihasilkan dari
penelitian ilmiah. Seperti yang dicatat Hayden (1992: 222), pemikiran -pemikiran tersebut
memang lebih merupakan mitos ketimbang konsep. Hayden menyebutnya sebagai exotic
theories ‘teori-teori yang eksotis’.
Para sarjana, seperti yang telah dirangkum dan dipetakan dengan baik oleh Wright
(1992), baru tertarik dengan isu ini pada paroh akhir abad ke -18. Mereka itu, antara lain,
Adam Ferguson, Anne R.J. Turgot, August e de Condorcet, Lewis H. Morgan. Pada abad
berikutnya muncul nama-nama H.L. Roths, E.B. Tylor, Daniel Wilson, Charles R. Darwin,
Alphonse de Candolle, Eduard Hahn, Alexander von Humboldt, dan Friedrich Ratzel.
Sementara itu. J.L. Myres, Ellsworth Huntingto n, S. Chusing, P.E Newberry, C.E.P.
Brooks, R. Pumpelly, Harold Peake, dan Herbert J. Fleure adalah generasi berikutnya yang
meramaikan percaturan gagasan dan pemikiran soal asal mula produksi pangan. Namun,
ide-ide yang paling progresif pada masa ini dat ang dari seorang arkeolog Marxis, V.
Gordon Childe.
Gordon Childe, arkeolog Marxis berpengaruh, mengenalkan istilah 'Revolusi Neolitik'
dalam buku New Light on the Most Ancient East , yang terbit pada 1934. Penganjur terkemuka

3
hipotesis oasis ini telah mere tas jalan baru melalui serangkaian penelitian yang dipusatkan di
Asia Baratdaya dan lembah Nil. Meski hipotesis oasis tidak lagi populer sekarang ini,
namun sejumlah gagasan Childe, terutama soal proses pengeringan ( dessiccation) pasca-
Pleistosen dan dampaknya terhadap asal-mula produksi pangan, telah menggugah minat
yang luas di kalangan arkeolog. Dari sinilah, penelitian -penelitian lapangan yang berorientasi
pada pengujian hipotesis terhadap bukti -bukti arkeologis semakin semarak.
Kesemua gagasan, pemikiran, maupun konsep tentang asal mula produksi pangan yang
dihasilkan sarjana-sarjana tersebut sebagian besar berdasarkan data etnografi. Sebagian yang
lain berdasarkan tipologi artefak yang kemudian dibandingkan dengan deskripsi -deskripsi
etnografi atau data sejarah melalui prosedur general analogy 'analogi umum'. Tidak semua
pemikiran tersebut mengikuti garis pandang evolusi budaya unilinear atau pun pendekatan
sejarah budaya (culture historical approach), yang amat dominan pada saat itu; namun, ada juga
yang mulai memakai perspektif lingkungan ( environmentalism), seperti the environmental model
dan the natural habitat zone model (Wright, 1992).
Secara kategoris, pemikiran -pemikiran yang berkembang pada abad ke -18 dan ke-19 itu
memang bisa dirangkum ke da lam dua paradigma: evolusi budaya ( unilinear) dan sejarah
budaya. Para teoretikus perubahan budaya umumnya kini tidak lagi memakai dua paradigma
itu karena keduanya dianggap tidak memadai untuk menjelaskan soal bagaimana dan
mengapa kebudayaan berubah. Jik a paradigma evolusi budaya universal dianggap gagal
terutama karena ketidakmampuannya menjelaskan perbedaan -perbedaan sosiokultural
(sosiocultural differences) sebaik menjelaskan persamaan -persamaan (similarities) sosiokultural
(Flannery 1983), maka paradi gma sejarah budaya dinilai sebagai piranti konseptual yang
tidak memadai untuk memahami bagaimana faktor -faktor internal kebudayaan berperan
dalam menjelaskan perubahan budaya.
Meski telah ditunjukkan bahwa ketertarikan para sarjana terhadap asal mula pr oduksi
pangan sudah dimulai sejak abad ke -18, tidak satu pun dari mereka yang memprakarsai
dilakukannya pengujian secara langsung di lapangan -melalui ekskavasi-ekskavasi arkeologi-
terhadap gagasan-gagasan tersebut. Penelitian lapangan pertama baru berlangs ung usai
Perang Dunia kedua. Sebuah tim ekspedisi dengan misi mencari bukti -bukti terbaru
berdasarkan bagan pemikiran Childe dibentuk. Sejumlah arkeolog disebar di kawasan
Timur Tengah, kawasan yang kaya dengan bukti -bukti arkeologis dan selama beratus -ratus
tahun menjadi pusat perhatian banyak kalangan ilmuwan. Orang pertama yang melakukan
hal itu adalah Robert J. Braidwood, pada tahun 1948. Arkeolog dari Oriental Institute of
the University of Chicago itu melakukan ekskavasi di Qalat Jarmo, di kaki bukit Kurdish,
Irak (Renfrew dan Bahn, 1991).
Apa yang dilakukan Braidwood ternyata berdampak sangat luas. Dari publikasi proyek
Jarmo, terbit pada 1960, bisa diketahui bahwa ekskavasi itu ternyata melahirkan sejumlah
spesialisasi yang nantinya populer dalam pen elitian lapangan arkeologi. Spesialisasi itu:
keramologi, paleoklimatologi, paleoetnobotani, arkeozoologi, juga teknik baru dalam
radiocarbon dating 'penanggalan radiokarbon' (Braidwood, 1960). Tapi, sumbangan terbesar
Braidwood terletak pada hasil penelit ian yang ditunjukkannya bahwa model -model asal
mula produksi pangan yang berkembang pada paroh awal abad ke -20 itu, sebagaimana
dicatat Wright (1992), ternyata tidak bertahan di lapangan. Model -model itu, the culture
environment model dengan penganjur terkemukanya V. Gorden Childe dan the natural habitat
zone model yang dipromosi oleh Harold Peake dan Herbert J. Fleure, dinilai terlalu
deterministik secara lingkungan ( environmental determinism) sehingga miskin dengan
penjelasan kultural.

4
Sejak itu, ekspedisi demi ekspedisi penelitian lapangan, dengan tugas pokok
menjelaskan secara ilmiah asal -mula produksi pangan, datang silih berganti. Kali ini,
ekspedisi-ekspedisi itu bukan saja merambah kawasan Mesopotamia dan Mediterania, tapi
juga kawasan-kawasan seperti lembah Tehuacan dan Oaxaca Mexico. Bahkan, mencakup
seluruh dunia. Sejumlah pakar kemudian amat populer karena penelitiannya dalam masalah
ini: Carl O. Sauer, Lewis R. Binford, Kent V. Flannery, Robert McC. Adams. Secara
terpisah, Grahame Clark juga mel akukan hal serupa. Penggalian yang dilakukannya di situs
Star Carr, Inggris, dan di daerah Skandinavia, menghasilkan karya yang cemerlang, Prehistoric
Europe: the Economic Basis, terbit pada 1952 (Renfrew dan Bahn, 1991).
Dari sinilah, kemudian, arkeolog m akin intensif melakukan penelitian lapangan dengan
basis konseptual yang baru, yakni cultural ecology model ‘model ekologi budaya’. Kata kunci
pendekatan ini adalah konsep adaptive processes 'proses-proses adaptif'. Mengutip Vayda
(1969), pendekatan ini bersumber pada studi ekologi manusia. "Interaction between living
organisms and their environments,” tulis Vayda, “are the subject matter of ecological
studies…. The study of human ecology,” lanjut Vayda, “is concerned with the interaction
of human population and their environments.” Beberapa nama yang kemudian cukup
dikenal sebagai penganjur-penganjur studi ekologi dalam arkeologi, antara lain, Karl W.
Butzer, Ralph Solecki, Rose L. Solecki, dan Robert McC Adams (Wright, 1992).
Ekskavasi dengan perspektif ekologi kemudian dilakukan oleh James Mellaart di Catal
Huyuk, dataran Konya, Turki, pada 1960. Pada tahun itu juga, Frank Hole dan Kent
Flannery memimpin ekskavasi besar di situs Ali Kosh, Iran. Di penghujung tahun 1960 -an,
arkeolog Universitas Cambridge, Eric Higgs dan koleganya Claudio Vita -Vinzi,
merumuskan teknik analisis baru yang disebutnya sebagai catchment area analysis 'analisis
daerah tangkapan' atau exploitation territory analysis 'analisis wilayah eksploitasi'. Metode inilah
yang kelak dipakai oleh Kent Flannery dan Joyce Marcus dalam penelitiannya yang sangat
terkenal di situs Monte Alban -- bekas ibu kota ‘negara’ Zapotec -- di lembah Oaxaca,
Meksiko, antara tahun 1974 hingga 1981. Berikutnya, pada 1968, Lewis Binford
menerbitkan makalah yang sangat impresif, “Post Pleistocene Adaptations”. Makalah ini
secara cemerlang meruntuhkan argumen ‘tradisional’ kaum migrasionis -difusionis serta,
sebagai gantinya, mengetengahkan penjelasan prosesual -- dengan titik berat pada faktor
demografis -- mengenai problem asal mula produksi pangan (Renfrew dan Bahn, 1991).
Meski model Binford ini sebenarnya tidak sepenuhnya orisinal, karena gagasan tentang
desakan pertambahan penduduk sebagai stimulus diusahakannya produksi pangan
sebenarnya telah hadir sejak akhi r abad ke-19 melalui buku karya arkeolog Swedia, The
primitive Inhabitants of Scandinavia yang terbit pada 1868; namun, teorinya bahwa produksi
pangan terjadi ketika keseimbangan sistemik budaya tergangggu -- mungkin oleh perubahan
iklim, tetapi kemungkinan besar oleh persaingan sengit di daerah -daerah pinggiran -- adalah
sangat menarik sekaligus provokatif. Provokatif karena teori ini secara lugas telah
menyangkal hipotesis oasis-nya Childe. Perubahan iklim memang sering dipandang sebagai
penyebabnya, tetapi penjelasan seperti itu jarang tahan uji karena terlalu sederhana. Binford
juga menyanggah hipotesisnya Braidwood, bahwa: “Domestication occured when culture
was ready to achieve it”, memang tidak bertahan ketika diuji secara arkeologis. Paul
Courbin, arkeolog strukturalis Prancis terkemuka, secara memikat telah meringkas tautan
ketiga model tersebut dalam What is archaeology: An essay on the Nature of Archaeological Research
(1988: 25):
In the paper...published in 1968...on post -Pleistocene adaptations, in which he criticizes
and ridicules (in his own eyes at least) both Robert Braidwood and, to lesser extent, V.

5
Gordon Childe, Binford makes much of one aspect of an idea borrowed from Leslie White.
According to this notion, agriculture arose not through a mere concentration of population
caused by dessication (Childe 'oasis' theory), not through increased knowledge of environment
(Braidwood's theory), but through a demographic disequilibrium, a population increased
caused by the “immigration” of neighbori ng peoples, and, concequently, a diminished food
supply (here he links up again with Childe). This crisis situation favors "the development of
plant and animal domestication," assuming that animal and plant forms are "amenable to
manipulation" (which, incidentally, is a return to Braidwood's thesis).

Akhirnya, pada paroh awal 1970 -an, sebuah penelitian terpadu yang melibatkan
berbagai disiplin ilmu terkait -- paleoetnobotani, paleozoologi, paleokologi, geomorfologi,
paleoekonomi, dan antropologi -- dilakukan oleh sebuah tim besar yang dipimpin oleh
Andrew M. T. Moore, di situs Abu Hureyra, Syria. Penelitian yang dirancang untuk
menghasilkan gambaran yang lengkap tentang ekonomi subsistensi pada masa prasejarah
itu, membuahkan makalah penting berjudul A Pre-Neolithic Farmer Village on the Euphrates ,
yang ditulis oleh Moore pada 1979.
Kuatnya pengaruh pendekatan ekologi pada kurun waktu tersebut bisa dijelaskan
dengan menelusuri lingkungan pemikiran yang membentuk tokoh -tokoh prosesualisme
yang mengibarkan bendera 'Arkeologi Baru' itu. Usai Perang Dunia kedua, dua pendekar
antropologi asal Amerika,Julian H. Steward dan Leslie A. White, mengkampanyekan
penolakan terhadap pendekatan historical particularism 'partikularisme sejarah' ala Franz Boas
yang mendominasi khazanah pemikiran antropologi saat itu. Seraya menolak perspektif
Boasian dalam menjelaskan perubahan budaya jangka panjang, yang amat dominan pada
paroh awal abad ke-20 itu, Steward dan White mulai memperkenalkan penggunaan
pendekatan ekologi dalam a ntropologi. Pada gilirannya, pendekatan kedua tokoh ini amat
mempengaruhi corak pemikiran para pelopor Arkeologi Baru pada dasawarsa 1960 -an
sampai 1970-an, terutama Lewis Binford, Kent Flannery, dan David L. Clarke. Dalam
arkeologi, pemakaian pendekatan ekologi ini bisa dianggap sebagai reaksi melawan
pendekatan culture history ‘sejarah budaya’ dan normative archaeology ‘arkeologi normatif’.

Banyak kemajuan yang disumbangkan oleh pendekatan berperspektif ekologi ini dalam
menjelaskan problem asal-mula produksi pangan -- setidaknya dalam tiga dekade terakhir.
Meskipun sejak paroh akhir 1970 -an mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan,
terutama dari kaum strukturalis, kaum neo -Marxis (strukturalis Marxis), dan kaum critical
theory 'teori kritis' atau mazhab Frankfurt, karena dinilai terlalu sistemik dan fungsionalis
(Renfrew dan Bahn, 1991); namun, harus diakui bahwa kaum prosesual -fungsional
merupakan penyumbang terbesar dalam pengembangan metodologi arkeologi (Meltzer,
1979). Dua tema penelitian y ang dianggap sebagai simbol keberhasilan kaum prosesual
dalam hal metodologi adalah penjelasan mereka yang sangat cemerlang dalam soal the rise of
agriculture ‘munculnya pertanian’ dan the origin of the state ‘asal-mula terbentuknya negara’
(Renfrew dan Bahn, 1991: 334).
Dengan kemampuan metodologi yang memadai seperti itu, orang tidak perlu heran jika
kaum prosesual amat 'produktif' menghasilkan model -model asal mula produksi pangan.
Model-model yang dibangun itu bukan saja teruji dengan bukti -bukti terbaru di lapangan --
the hypothetico-deductive method -- tapi juga amat argumentatif dalam memberikan penjelasan
proses perubahan budaya. Ironisnya, justru di situlah letak kelemahannya kaum prosesualis.
Paradoks prosesualisme adalah bahwa kemampuannya membe ri penjelasan yang
‘sempurna’ dengan gagasan budaya sebagai proses adaptif dan penerapan teori sistem serta
teori pertukaran informasi ( information exchange theory), justru menjadi sebab dari

6
ketidakmampuannya untuk (mengutip Hodder, 1991): “…translating t he meaning of past
texts into their own contemporary language.” Hodder menganggap bahwa arkeolog
prosesual terlalu empirisis dan positivis, dan sebab itu menjadi ‘materialis’. Dengan begitu,
fakta-fakta arkeologi (Hodder memperlakukannya sebagai ‘teks’) ti dak lagi ‘meaningfully
constituted’. Padahal, fakta -fakta arkeologi itu: “…they lend themselves to divergent
readings,” kata Hodder.

Dalam wacana teori, jika ditilik secara mendalam, percaturan model -model itu ternyata
memang berakar pada dikotomi kl asik prosesualisme-strukturalisme dalam khazanah
pemikiran arkeologi. Paradigma prosesual -- aliran materialisme-adaptasionisme budaya --
memang tampil amat impresif dalam menghadirkan penjelasan tentang asal mula produksi
pangan. Penafsiran mereka bersifa t persuasif. Mereka punya potensi kuat dalam bidang
ilmiah.
Hal ini sebagian karena cara mereka menggunakan tolok ukur, angka, simulasi
komputer, perhitungan biologis, dan sebagian lagi dari argumentasi ihwal adaptasi ekologis,
tekanan demografis, asumsi keseimbangan lingkungan, penggunaan model teori sistem dan
pendekatan fungsionalisme. Fenomena sosial dijelaskan tidak dengan merujuk pada
pemikiran atau simbol, tetapi dengan merujuk pada perhitungan ruang sumberdaya, tandon
pangan, energi, iklim, dan dat a ‘keras’ lainnya. Kecenderungan ilmiah ini menggeser
penafsiran budaya pada posisi yang tidak menguntungkan, sebagai tidak ilmiah, tidak
kokoh, bertele-tele, dan ngelantur -- berbeda dengan uraian ‘nyata’ yang berdasar pada fakta -
fakta yang jelas dan terukur mengenai dunia sesungguhnya.
Akan tetapi, dalam dua dasawarsa terakhir, paradigma prosesual telah menghadapi
tantangan serius dari paradigma struktural (dalam bentuk yang lebih canggih) yang
menitikberatkan penjelasannya pada aspek sistem kepercayaan dan konsep simbolik.
Melukiskan perkembangan budaya sebagai cara adaptasi terhadap tekanan -tekanan ekologis
dan demografis, dalam pandangan Keesing (1992), sangat merendahkan arti penting sistem -
sistem simbolik melalui mana manusia menghadapi dunia. Padah al manusia, menurut
Sahlins (1977), tidak pernah menghadapi lingkungan fisik secara langsung. Mereka selalu
mendekati alam melalui budaya, melalui berbagai sistem simbol dan sistem hubungan sosial.
Dengan begitu, jika pun kita memandang budaya sebagai sist em adaptasi, maka adaptasi
ekologis itu beroperasi melalui sistem -sistem makna budaya dan hubungan -hubungan
sosial; dan ini melibatkan manusia untuk menciptakan dan mengembangkan dunia simbol,
suatu jaringan makna, jauh melampaui kepentingan praktis dan tu juan material.
Kritik tajam terhadap prosesualisme datang dari kalangan arkeologi pasca -struktural,
seperti Christopher Tilley, Michael Shanks, Daniel Miller dan Michael Rowlands, Ian Bapty
dan Tim Yates (Malina dan Vasicek, 1990; Trigger, 1989).
Kritik tajam lainnya dilontarkan oleh berbagai kalangan 'minoritas' tapi tumbuh dengan
cepat, terutama di Eropa, seperti arkeologi sosial (social archaeology) yang tampak dalam studi-
studinya Bruce G. Trigger; arkeologi simbolik ( symbolic archaeology) yang mewarnai karya-
karya John M. Frits, R.L. Hall, G. Hamell; arkeologi kognitif ( cognitive archaeology) yang
tampil dalam kajian-kajian A.B. Kehoe dan T.F. Kehoe, S.E. van der Leeuw, Mark P.Leone,
A.C. Renfrew, S. Tayler; dan arkeologi kritis ( critical archaeology)--kadang disebut dengan
istilah ‘para Marxist Frankfurt School’ dengan cirinya yang anti positivisme --yang hadir
dalam beberapa telaah Mark Leone.
Gagasan-gagasan Ian Hodder, yang menjadi dasar bagi argumen teoretis arkeologi
kontekstual (contextual archaeology), juga secara konsisten mengkritik paradigma prosesual. Ini
terlihat, antara lain, pada beberapa buku Hodder. Kritisisme serupa juga bisa ditemukan

7
dalam analisis-analisis yang menggunakan perspektif neo -historicism, seperti analisis M.J
Rowlands, E.W. Andrews V.
Di Amerika Serikat, kajian-kajian arkeologi yang menggunakan pendekatan struktural
tampak menonjol dalam karya -karya Mark P. Leone. Publikasi teknisnya yang menonjol dan
inspiratif di mana Leone menggunakan konsep ideologi neo -Marxis secara kreatif adalah
“Interpreting Ideology in Historical Archaeology: Using the Rules of Perspective in the
William Paca Garden in Annapolis, Maryland”, dalam Ideology, Power, and Prehistory (Trigger,
1989).
Tapi, serangan paling melumpuhkan datang dari arkeo logi pasca-prosesual. Pada
dasarnya, arkeologi pasca prosesual adalah terminologi yang diberikan oleh Hodder untuk
merangkum berbagai argumen dasar perspektif -perspektif ‘non-prosesual’ tadi (kognitif,
kontekstual, kritikal, simbolik, neo -historisisme, sosial, neo-Marxis, pasca-struktural)
menjadi suatu ramuan baru (Malina dan Vasicek, 1991).
Ian Hodder, sebagai penganjur paling cermat dan sangat teoretis mengenai pendekatan
pasca-prosesual, telah berupaya mengamati secara kritis setiap kasus arkeologi yan g penting
di mana berbagai tinggalan budaya ( material culture) ditafsirkan secara fisikal -- lingkungan
fisik dan manusia, proses-proses deposisi, pertukaran barang, energi dan informasi, ukuran
pemukiman, organisasi kerja -- dan mengajukan tafsiran tandin gan berdasarkan simbolisme.
Dalam serangkaian bukunya yang provokatif dan sejumlah publikasi teknisnya, Hodder
-- tokoh paling artikulatif dari kalangan strukturalis -- telah mengajukan penafsiran
simbolisme yang mengisyaratkan perlunya dokumen -dokumen arkeologis itu diperlakukan
sebagai ‘teks’ yang harus ‘dibaca’, untuk merekonstruksi makna simboliknya. Pendek kata,
jika dalam penafsiran fisikal fakta arkeologi dipandang sebagai ‘objek’ ( object as object), maka
dalam penafsiran simbolik (tekstual) fakta a rkeologi dilihat sebagai ‘kesatuan yang sarat
makna’ (object as meaningfully constituted ).
Apa yang dilakukan Hodder bukanlah hendak mempertajam dikotomi itu menjadi
konflik, melainkan untuk menunjukkan kegagalan paradigma prosesual dalam memahami
fakta arkeologi sebagai ‘muatan yang tersusun dari kode -kode simbolik’ (the structured contents
of symbolic codes) (Hodder, 1991). Hodder sadar bahwa perdebatan prosesualisme -
strukturalisme terjadi lantaran keduanya berada pada tataran penafsiran dan realitas yan g
berbeda. Sebab itu, ia mencoba membangun sebuah jembatan untuk mempertemukan
keduanya.
Jembatan yang dibangun Hodder, kurang lebihnya, merupakan jawaban terhadap
kerisauan David Clarke lebih dari dua dasawarsa yang lalu. Dalam salah satu artikelnya yan g
penting di Antiquity – “Archaeology: the Loss of Innocence” (1973) -- Clarke
mengungkapkan betapa arkeologi telah kehilangan kemurniannya karena pendekatan ilmiah
yang ketat, kelengkapan prosedur pengujian lapangan, model, dan teori yang dimilikinya.
Jembatan itu memungkinkan arkeologi untuk memiliki perspektif yang berdaya jangkau
lebih luas dalam menafsirkan masa lalu. “The age of unreflecting speculation was over,”
kata Hodder (Hodder, 1991: ix). Jembatan itu juga telah menghubungkan, sampai batas
yang paling mungkin, dua paradigma yang berseberangan secara diametral.

Fenomena menguatnya kembali apresiasi terhadap paradigma struktural, sebenarnya telah


terlihat sejak paroh akhir 1970 -an. Ironisnya, gejala ini justru muncul pada karya dua orang
yang dianggap sebagai teoretikus tangguh paradigma prosesual, yakni Kent Flannery dan
Joyce Marcus. Artikel mereka di American Scientist edisi 64 tahun 1976, “Formative Oaxaca
and the Zapotec Cosmos”, memperlihatkan bagaimana sebuah penelitian yang dirancang
dengan pendekatan sistemik yang materialis ternyata menghasilkan penjelasan yang lebih

8
luas, yakni penafsiran terhadap makna budaya, ideologi, ritual, dan segi metafisik lainnya
(Hodder, 1991: 21-30).
Pada tahun 1983, Flannery dan Marcus kembali memperlihat kan kecenderungan itu
melalui buku The Cloud People: Divergent Evolution of the Zapotec and Mixtec Civilizations . Dalam
buku ini, disajikan suatu kajian integral tentang asal -mula produksi -- juga tentang asal-mula
terbentuknya negara -- di mana aspek-aspek kognitif dan simbolik diintegrasikan dengan
segi-segi subsistensi, ekonomi dan sosial untuk membentuk pandangan yang terpadu dan
lebih komprehensif tentang masyarakat. Sintesis atas paradigma prosesual dan struktural ini,
sedikit berbeda dengan sintesis Hodder yang menghasilkan arkeologi pasca -prosesual,
melahirkan suatu paradigma baru yang disebut cognitive-processual archaeology (Renfrew dan
Bahn, 1991: 446-54).
Proyek Oaxaca yang dimulai sejak 1966 dan berakhir 1981 itu, rupanya, memberikan
banyak pengalaman dan visi baru bagi Flannery. Sebagai salah seorang teoretikus asal -mula
produksi pangan yang paling berpengaruh, Flannery akhirnya menyempurnakan modelnya,
dari hasil penelitiannya di situs Guila Naquitz itu, berdasarkan paradigma kognitif -
prosesual. Hasilnya ia tuangkan ke dalam buku Guila Naquitz: Archaic Foraging and Early
Agriculture in Oaxaca, Mexico yang terbit pada 1986 (Renfrew dan Bahn, 1991). Namun,
tampaknya, paradigma kognitif -prosesual ini kurang populer, kurang disambut. Mungkin
karena paradigma ini cenderung mengikuti strategi eklektisisme -- suatu strategi yang
agaknya dihindari oleh banyak teoretikus ilmu sosial dan humaniora.
Kecenderungan yang sama diperlihatkan oleh model -model yang dibangun di bawah
naungan arkeologi Marxis, tep atnya perspektif neo-Marxis. Titik temu strukturalisme
dengan Marxisme, agaknya, bisa dijelaskan dalam dua hal. Pertama, keduanya cenderung
menghindari penjelasan prosesual -fungsional; dan, kedua, masing -masing menggunakan
konsep struktur. Hanya saja, stru kturalisme memakai konsep ‘struktur’ dalam pengertian
struktur makna (meaning structure) -- yang tersimpan dalam pikiran, yang terpola dalam logika
binary oppositions ‘pertentangan kembar’. Sedangkan Marxisme memakai konsep ‘struktur’
dalam pengertian struktur sosial (social structure) -- yang tersusun dalam masyarakat, yang
dilihat dengan perspektif teori konflik.
Neo-Marxisme (Marxisme struktural) adalah hasil pemikiran kritis yang dikembangkan,
terutama pada paroh kedua abad keduapuluh, untuk memperluas dasar-dasar teori yang
dibangun oleh Karl Marx. Tidak seperti Marxisme, yang sependapat dengan para penganut
materialisme budaya bahwa lingkungan dan kehidupan manusia (infrastruktur) adalah
primer dan pranata sosial serta sistem kepercayaan (suprastruktur ) adalah sekunder; neo-
Marxisme memberi peran yang signifikan terhadap aspek ideologis dan kognitif
(suprastruktur) dalam menjelaskan perubahan sosiokultural. Akan tetapi, tidak bisa
dianggap bahwa suprastruktur itu dominan dan infrastruktur itu subordinat . Neo-Marxis
menganggap suprastruktur dan infrastruktur sebagai dua komponen tatanan sosial yang
saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.
Segi tipikal dari neo-Marxis adalah bahwa kontradiksi internal yang muncul di antara
tenaga produksi (forces of production) dan hubungan produksi ( relations of production) yang sering
disebut sebagai class struggle ‘perjuangan kelas’ -- dalam teori Marxis, tenaga produksi yang
bersifat teknologis dan hubungan produksi yang bersifat sosial, secara bersama -sama
dianggap menentukan mode of production ‘cara produksi’ sebagai dasar ekonomi suatu
masyarakat dan dilestarikan melalui proses reproduksi sosial -- seakan-akan berada ‘di
bawah permukaan’, tersembunyi dan tersamarkan. Salah satu alasannya adalah karena
struktur ini diselubungi oleh harmoni pranata sosial dan kedok ideologi. Dalam teori neo -

9
Marxis, proses di mana hubungan sosial dan ekonomi disamarkan melalui berbagai
selubung ideologi disebut mistifikasi ( mistyfication) (Edgel, 1993; Storey, 1993).
Contoh menarik yang menggunakan strategi analitis neo -Marxis ini adalah model yang
dikemukakan oleh Barbara Bender di jurnal World Archaeology edisi 1978 di bawah judul
“Gatherer-Hunter to Farmer: a Social Perspective”. Bender mempostulasikan, bahwa --
sebelum adanya produksi pangan -- telah berlangsung suatu persaingan di antara kelompok -
kelompok lokal dalam sebuah komunitas dengan maksud untuk mendapatkan dominasi
sosial atas kelompok yang lain. Persaingan prestise sosial ini disamarkan melalui pelbagai
praktik ritual, pesta-pesta, dan pertukaran barang. Untuk keperluan tersebut, suatu
kelompok dituntut untuk membelanjakan persediaan bahan pangannya dalam jumlah besar.
Konsumsi yang berlebih ini mendorong mereka untuk meningkatkan jumlah perolehan
bahan pangan sampai ke tingkat optimal, untuk menopang kedudukan dan peranan mereka
dalam komunitas. Bender menegaskan, bahwa pada titik inilah suatu kelompok mulai
memikirkan cara-cara baru dalam pola subsistensi mereka. Mereka mencari strategi dan
sumber perolehan pangan alternatif. Pola subsistensi yang lama, berburu -meramu, makin
tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gaya hidup yang seperti itu. Ini berarti tuntutan
untuk mengintensifkan lahan sumber pangan, dan karenanya menciptakan kondisi yang
memungkinkan langkah-langkah ke arah pengembangan produksi pangan.
Tampak di sini bahwa perubahan yang terjadi dalam tenaga produksi, yakni hubungan
antara sarana produksi dan organisasi produksi, bergantung pada hubungan sosial. Dalam
hubungan sosial itu, komunitas dilihat se bagai struktur yang cenderung mengarah pada
diferensiasi dan polarisasi sosial, sehingga timbul konflik dan persaingan. Dalam analisis
neo-Marxis, kontradiksi internal itu disamarkan melalui selubung ideologi dan praktik -
praktik budaya seperti pesta perjam uan (Bender, 1978).
Model paling mutakhir yang berperspektif neo -Marxis diusulkan oleh Brian Hayden.
Dalam esei ilmiahnya yang provokatif, “Nimrods, Piscators, Pluckers, and Planters: the
Origin of Food Production”, di Journal of Anthropological Archaeolo gy edisi 1990, Hayden
mempromosikan model alternatif (Hayden memaksudkannya sebagai model tandingan bagi
model-model tekanan (stress model) yang amat digemari oleh kalangan prosesualis) dengan
mengelaborasi konsep persaingan status sosial -ekonomi pada masyarakat pemburu-peramu
tipe kompleks (complex hunter-gatherer) atau masyarakat hortikultura sederhana, serta dengan
menelaah fenomena munculnya the Big Man complex. Konseptualisasi yang dilakukan
Hayden itu melahirkan apa yang ia sebut sebagai competitive feasting model (Hayden, 1993).

Dari perdebatan dua posisi paradigmatik di atas, bisa ditangkap adanya kecenderungan
mutakhir dalam pemikiran arkeologi untuk memberi peran yang lebih signifikan bagi
analisis-analisis struktural. Implikasinya terlihat ny ata dalam percaturan model -model asal-
mula produksi pangan yang berkembang dalam dua dekade terakhir. Dapat digarisbawahi di
sini bahwa kupasan-kupasan kritis yang dilakukan oleh kalangan yang menaruh hormat
pada strukturalisme, dilakukan dengan pelbagai m otif dan tujuan. Tapi, yang jelas, bukan
untuk saling menafikan.
Bila kognitif-prosesual cenderung pada konvergensi teori -teori dengan mengambil
pandangan sinergis, maka kalangan pasca -struktural, pasca-prosesual (juga neo-Marxis)
tampaknya memilih pandan gan divergensi teori-teori dengan mengumandangkan sikap
pluralis. Mereka menolak, dengan cara masing -masing, penafsiran monolitik di bawah satu
paradigma. Mereka menghargai wacana -wacana alternatif yang majemuk, dan menyangkal
kemutlakan atau monopoli kebe naran tunggal dari pusat (decentered). Dalam istilah pasca-
modernisme, mereka mengingkari eksistensi narasi besar ( grand naration) dengan cara

10
menghidupkan narasi-narasi kecil yang pinggiran. Mereka menampik ‘bahasa’ yang seragam,
sembari merayakan keragam an. Baik pasca-prosesual maupun pasca -struktural, keduanya
melihat realitas (material culture) sebagai sebuah teks, yang terbuka bagi kemungkinan
pelbagai cara pembacaan, dan semuanya bermain dalam tataran yang sama -- menghargai
perbedaan tapi juga ada re lasi-relasi bermain. Tidak memparadigmakannya ke dalam
konteks materialnya saja, tapi juga membaca konteks simboliknya.
Begitulah, model-model asal-mula produksi pangan lahir, tumbuh, dan berkembang
selaras dengan langkah-langkah keilmuan dalam arkeologi. Sebagai suatu persoalan yang
bisa ditilik secara multiperspektif, model -model tersebut didesain melalui, dan di dalam,
perspektif teori tertentu. Popularitas suatu paradigma dalam khazanah pemikiran arkeologi,
berpengaruh secara signifikan terhadap pendeka tan yang digunakan dalam menjelaskan
persoalan asal-mula produksi pangan. Kecenderungan mana yang tengah berlaku,
menentukan teropong mana yang akan digunakan -- begitu lazimnya. Tanpa bermaksud
mengabaikan kritik-kritik yang dialamatkan ke paradigma prose sual dalam dua dasawarsa
terakhir; dalam soal asal -mula produksi pangan, model -model prosesual tampaknya
memiliki klaim ilmiah yang paling mengesankan.
Mungkin memang begitu. Tapi, mungkin juga karena kita, sebagaimana umumnya
orang yang hidup di abad in i, gampang mengangguk di depan argumentasi ’'ilmiah’, apalagi
jika disajikan dalam bentuk simulasi komputer lengkap dengan pelbagai data ‘keras’ yang
mendukungnya. Di balik itu, kita tahu, kita hidup dalam alam pikiran yang secara
epistemologis berakar pada filsafat positivisme dan empirisisme. Itulah tempat paling
nyaman bagi kaum prosesual untuk unjuk kebolehan.

Penilaian: Suatu Pemetaan Teoretik


Menyimak perkembangan pemikiran mengenai asal -mula produksi pangan, seperti terurai di
atas, kita diyakinkan dengan satu kenyataan ba hwa masa lalu memang misteri. Model
dibuat, tidak lebih, sekedar untuk menambah pemahaman kita tentang masa lalu. Kita
mungkin tahu sesuatu terjadi di masa lalu, tapi kita tidak pernah benar -benar mengerti
bagaimana dan mengapa hal itu terjadi.
Selama kurang lebih tiga dasawarsa, arkeologi prosesual telah melahirkan berbagai
model asal-mula produksi pangan. Sebagian dari model -model yang dikembangkan itu
‘berambisi besar’ untuk menjadi general model ‘model umum’, seperti model yang dimajukan
oleh Carl O. Sauer (1952), Lewis Binford (1968), atau Mark Nathan Cohen (1977).
Memang bisa saja ada global theory ‘teori global’; akan tetapi, itu lebih merupakan model
teoretis, seperti model tekanan penduduk.
Masing-masing model memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Setiap model
tentu berupaya untuk menjadi yang ‘terbaik’, setidaknya untuk masa tertentu. Tapi, tidak
akan pernah ada model yang komprehensif, yang sempurna, karena setiap model
menitikberatkan pada variabel -variabel tertentu dalam penjelasannya; dan dengan demikian,
pada saat yang sama, berarti mengabaikan variabel -variabel yang lain. Hanya ada satu hal
yang sudah ‘pasti’ dalam hal ini, bahwa produksi pangan muncul secara independen di
Mesoamerika, di Timur Tengah, di Asia Timur ( Far East) hampir secara serentak pada kira -
kira 10 000-5 000 tahun yang lalu.

Dalam garis besarnya, dengan mengikuti kategorisasi yang dilakukan Hayden (1993),
pelbagai model asal mula produksi pangan yang dikembangkan selama lebih dari lima

11
dasawarsa terakhir itu, bisa dikelompokkan ke dalam dua model umum yang sampai belum
lama sebelum sekarang ini masih amat berpengaruh di sebagian besar kalangan arkeolog.
Pertumbuhan model-model itu, tentu saja, tidak lepas dari perkembangan dalam teori besar,
paradigma, dan kerangka konseptual dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam disiplin
antropologi.
Karena pada masa itu pemikiran -pemikiran dua antropolog terkemuka Amerika, Leslie
A. White dan Julian H. Steward, tengah dominan dan berpengaruh besar terhadap
penganjur-penganjur terdepan New Archaeology -- Lewis R. Binford, Kent V. Flannery, dan
David L. Clarke -- pada dasawarsa-dasawarsa berikutnya, maka tak mengherankan jika
model-model asal mula produksi pangan yang dikembangkan pun sangat bercorak
pendekatan materialisme bud aya atau ekologi budaya.
Dua kelompok model itu ialah stress model dan Sauer's fish model. Stress model barangkali
merupakan model yang paling umum digunakan oleh para arkeolog untuk menjelaskan
bermacam perkembangan besar yang menyangkut perubahan budaya, seperti halnya
pergeseran ke produksi pangan. Model ini mempunyai banyak variasi. Population pressure
model -- dipromosi oleh bukunya Ester Boserup, The Conditions of Agricultural Growth (1965)
yang mengikuti garis pemikirannya Thomas Malthus -- adalah salah satunya.
Varian lain adalah model adaptasi pasca Pleistosen yang dimajukan oleh Lewis Binford.
Argumen dasar model ini menyatakan bahwa domestikasi timbul karena keadaan yang
penuh tekanan, yakni di wilayah yang pertumbuhan penduduknya sangat tinggi a tau di
wilayah yang mengalami perubahan iklim secara dramatis.
Dua varian lain dari model -model tekanan malah sudah populer sejak beberapa
dasawarsa sebelumnya, yakni 'oasis' model yang secara implisit telah muncul dalam buku
Raphael Pumpelly, Explorations in Turkestan, yang terbit pada 1908 dan kemudian diadopsi
oleh Harold Peake dan Herbert J. Fleure melalui buku The Corridors of Time terbit 1927, dan
baru populer ketika hipotesis itu diuraikan secara gamblang oleh Gordon Childe pada 1928
lewat buku The Most Ancient East: The Oriental Prelude to European Prehistory . Sedangkan model
lainnya adalah 'increased knowledge' model yang dikemukakan oleh Robert J. Braidwood melalui
publikasi teknis berjudul Courses Toward Urban Life, pada 1962 (Trigger, 1989).
Sedang Sauer's fish model atau fishing-farming culture model sering dianggap sebagai kontras
dari stress model. Jika stress model cenderung digemari oleh para teoretikus yang bekerja di
lingkungan kering (dry environment) seperti Timur Tengah, Afrika, dan Me soamerika, maka
Sauer's model justru banyak menentang teoretikus -teoretikus yang bekerja di wilayah -wilayah
beriklim tropis, seperti Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan beberapa bagian Afrika
Tengah.
Peletak dasar model ini adalah pakar geografi Carl O. S auer yang gagasan-gagasan
teoretisnya terangkum dalam buku Agricultural Origins and Dispersals (1952). Konseptualisasi
lebih kokoh terhadap model ini tampak dalam buku Sauer berikutnya, Seeds, Spades, Hearths,
and Herds yang terbit pada 1969 (Hayden, 1993) . Di Asia Tenggara, model Sauer mendapat
apresiasi yang tinggi. Willian G. Solheim, misalnya, percaya bahwa argumen dasar Sauer
relevan untuk memahami asal -mula produksi pangan di kawasan Asia Tenggara (Soejono,
1995). Model Sauer juga meletakkan dasar ba gi banyak argumen teoretis tentang asal -mula
produksi pangan yang dikembangkan oleh Chester F. Gorman dalam serangkaian publikasi
teknisnya (Bellwood, 1985).

Tumbuh-kembang dan pasang surut pelbagai model asal -mula produksi pangan yang secara
ringkas telah disajikan dalam uraian sebelumnya, selanjutnya akan ditampilkan kembali
dalam bentuk butir-butir intisari. Butir-butir tersebut merupakan kristalisasi dari diskusi

12
panjang yang telah dilakukan para pakar dari pelbagai kalangan ilmu maupun latar teori
selama kurang lebih satu abad terakhir.
Di bawah ini akan disajikan delapan butir intisari. Tentu saja, butir -butir tersebut masih
sangat mungkin untuk bertambah, berkurang, atau berubah -- meskipun idealnya butir-butir
itu merangkum selengkap mungkin int isari sejarah pemikiran asal -mula produksi pangan.
Pertama, model-model yang dikembangkan umumnya bisa dikelompokkan ke dalam
dua tipe utama, yakni (meminjam istilah Hodder, 1991) historical processes ‘proses-proses
historis’ (seperti migrasi, difusi, inv ensi) dan adaptive processes ‘proses-proses adaptif’ (seperti
tekanan penduduk, pemanfaatan ruang sumberdaya, kompleksitas sosial, perubahan iklim
dan lingkungan).
Kedua, baik model adaptif maupun model historis, keduanya memiliki esensi yang
sama, yakni menganut strategi teoretis materialis -- sebagai kontras dari 'idealis'.
Materialisme budaya menganggap bahwa aspek ideologis, simbolik, dan sosial suatu
kebudayaan ditentukan oleh aspek -aspek praktis (ekonomi, teknologi, demografi, ekologi),
sehingga suatu perubahan budaya diyakini sebagai perubahan yang diawali oleh aspek -aspek
praktis itu. Ini mengarahkan penelitian arkeologi ke nalar empirisis dan positivis. Tipe lain
dari strategi teoretis materialis ini adalah model Marxis. Jika model historis menempa tkan
titik determinasi pada evolusi budaya ( cultural evolution), model adaptif determinasi pada
ekologi budaya (cultural ecology), maka model Marxis determinasi pada persaingan ekonomi
(economic competition) (Keesing, 1992).
Sejak awal dasawarsa 1980 -an memang ada gugatan-gugatan serius terhadap
pendekatan prosesualis (model adaptif) yang dinilai terlalu empirisistik dan positivistik itu,
namun para penggugat, yakni kaum pasca -prosesual, belum mampu menghadirkan model
yang lebih meyakinkan ketimbang model -model prosesual yang sudah ada. Buku Ian
Hodder, Domestication of Europe: Structure and Contingency in Neolithic Societies (1990), misalnya,
yang modelnya bertumpu pada analisis aspek ritual, sistem kepercayaan, dan simbolisme,
belum diapresiasi secara luas .
Umumnya, kalangan pasca prosesualis (dalam pengertian luas, yakni mereka yang
menempatkan diri di bawah payung strukturalisme) melakukan sintesis kreatif dengan
mengajukan model kombinasi antara Marxisme dan strukturalisme yang mereka sebut
sebagai holistic approach to material culture (Shanks dan Tilley, 1987). Repotnya, konfrontasi itu
sulit dielakkan karena antara prosesualisme dan pasca -prosesualisme terdapat perbedaan ide
yang mendasar menyangkut apa yang disebut sebagai ‘data arkeolog’'. Prosesuali sme
mengembangkan model dengan pendekatan fisikal; sebaliknya, pasca -prosesualisme
mengembangkan model dengan pendekatan tekstual (Patrik, 1985).
Ketiga, model-model yang dikembangkan para sarjana selama abad ke -18 dan ke-19,
kebanyakan menggunakan perspek tif evolusi budaya unilinear. Model -model itu, umumnya
tidak didefinisikan secara formal atau disebut secara eksplisit, dibuat berdasarkan klasifikasi
data arkeologis yang ditunjang oleh data sejarah dan etnografi (sayangnya, tidak terbukti
dalam penggalian-penggalian arkeologis) dengan titik berat pada deskripsi dan kronologi
(berdimensi waktu). Binford (1968) menjuluki kecenderungan model -model yang
berkembang masa itu dengan istilah idealistic approach 'pendekatan idealistis' karena
menjelaskan ihwal asal-mula produksi pangan, khususnya pertanian, lebih sebagai gagasan
besar atau penemuan secara kebetulan. Wright (1992) mengistilahkannya sebagai cultural-
evolutionary model.
Pada akhir abad ke-19, muncul model-model yang memakai perspektif sejarah budaya.
Paradigma sejarah budaya ( culture-historical paradigm) merupakan reaksi terhadap cara berpikir
dan cara bekerja para sarjana penganut evolusi kebudayaan unilinear yang hanya duduk di

13
belakang meja menggunakan laporan para misionaris dan penjelajah guna me rekonstruksi
perkembangan kebudayaan. Sebagian besar model sejarah budaya menggunakan kerangka
teoretis 'normatif' yang mengikuti tradisi Boasian. Karena itulah model -model itu biasanya
disebut normative model ‘model normatif’ (Flannery, 1967; Sharer dan A shmore, 1979) atau
kadang disebut diffusion-migration model ‘model difusi-migrasi’ (Trigger, 1989; Malina dan
Vasicek, 1990). Model ini menitikberatkan penjelasannya pada soal persebaran ide atau
pengetahuan (berdimensi ruang), tapi dengan penekanan pada a spek partikularisme
(particularism) di mana jalan difusi harus diteliti secara cermat dengan memperhatikan
konteks kebudayaan bersangkutan.
Kemudian, model-model yang berkembang pada paroh awal abad ke -20, kebanyakan
menggunakan perspektif lingkungan alam (natural environment). Model-model tersebut dibuat
berdasarkan data-data geologis (sayangnya, melalui penelitian Braidwood 1948, tidak sesuai
dengan bukti-bukti arkeologis di lapangan). Argumen dasar model ini adalah bahwa
perubahan iklim yang radikal akan diikuti oleh perubahan yang radikal pula dalam aspek
budaya. Dengan demikian pergeseran dari budaya berburu -meramu ke pertanian dijelaskan
dengan merujuk pada perubahan lingkungan alam pada akhir kala plestosan. Braidwood
(1960) menjuluki model-model ini dengan istilah deterministic culture-environment models karena
menjelaskan ihwal asal-mula produksi pangan dengan terlalu menekankan perhatian pada
lingkungan fisik dan mengabaikan aspek -aspek kultural. Gary A. Wright (1990)
menyebutnya sebagai environmental model. Hal baru dari model-model ini adalah mulai
diperhatikannya aspek adaptasi sehingga perspektifnya tidak lagi sekedar historis -
evolusioner (deskripsi, kronologi, distribusi), tapi juga adaptif -prosesual sehingga ada
penjelasan (eksplanasi) mengapa dan bagaimana suatu kebudayaan berubah.
Sedangkan model-model yang berkembang sejak penelitian Braidwood tahun 1948
hingga populernya prosesualisme, kebanyakan menggunakan perspektif ekologi budaya.
Wright (1992) menamainya cultural ecology model. Model-model ekologi budaya memusatkan
perhatian pada masalah eksplanasi (bukan deskripsi) dengan mengembangkan metodologi
yang sangat sistematis dan ketat, dengan bantuan berbagai disiplin ilmu lain. Keberhasilan
model-model ekologi budaya ini terletak pada kemam puannya memberi penjelasan
anekasebab (multicausal explanation). Di sinilah, menurut Renfrew dan Bahn (1991), letak
salah satu perbedaan dasar antara model -model ekologi budaya dan model -model
lingkungan, karena model -model lingkungan cuma menghadirkan pen jelasan satu sebab
(monocausal explanation). Keberhasilan lain adalah bahwa model -model ekologi budaya sangat
‘ilmiah’. Bagi kaum prosesual, berlaku proposisi (seperti ditulis Hayden, 1993): “An
interpretation must be tested before it can be accepted as us eful and reasonably certain.”
Keempat, tidak ada general model ‘model umum’, yang pasti dan tunggal; baik dalam
pengertian bisa berlaku di mana saja ( global context) atau pun dalam pengertian mampu
memberi penjelasan komprehensif atas setiap variabel perma salahan terkait.
Kelima, sebab tak mungkin ada model tunggal ( single model), maka munculnya pelbagai
ragam model merupakan hal yang tak terhindarkan. Tapi, fenomena itu harus lebih dilihat
sebagai upaya untuk saling melengkapi, bukan ikhtiar untuk kompet isi.
Keenam, secara aktual, model-model tipe historis (historical processes type), dengan corak
deskriptif (bertumpu pada penjelasan atas pertanyaan apa, siapa, kapan dan di mana)
dianggap sudah tertolak; terutama karena nalar difusionis yang digunakannya dinilai
mengandung terlalu banyak kelemahan untuk menjelaskan aspek sosial, ekonomi,
demografi, dan ekologi. Renfrew dan Bahn (1991) menyimpulkan seperti ini: “Today, a
processual framework of explanation has replaced the diffusionist one.” Sebagai gantin ya,
kini model-model tipe adaptif (adaptive processes type), dengan corak eksplanatif (bertumpu

14
pada penjelasan atas pertanyaan bagaimana dan mengapa) mengukuhkan diri. Makalah
Binford yang terbit tahun 1968, “Post -Pleistocene Adaptations” menjadi tonggak sejarah
dari reorientasi ini. “Binford,” kata Renfrew dan Bahn (1991), “avoided migration or
diffusion, and analyzed the position in processual terms.” Namun di tengah kekukuhannya,
model-model kalangan prosesual ini, sejak dasawarsa 1980 -an, mulai diguncang-guncang
oleh beberapa model alternatif; terutama dari generasi baru yang berakar pada paham
strukturalisme.
Ketujuh, problem krusial model-model prosesual yang selama lebih dari 25 tahun
terakhir ini jadi isu sentral, adalah penjelasan atas pertanyaan mengapa terjadi transisi dari
berburu-meramu ke pertanian? ‘Mengapa’ memang pertanyaan yang paling sulit dijawab
dalam arkeologi.
Kedelapan, terhadap problem di atas, diketengahkan argumen bahwa pertanyaan
‘mengapa’ menjadi krusial karena kita memakai ko nsep ‘transisi’ Seandainya kita memakai
konsep ‘evolusi’ -- sebagai kontras dari istilah 'revolusi' yang dipakai Childe -- pertanyaan
itu tak lagi signifikan -- dan dengan demikian kita hanya perlu memberi penjelasan atas
pertanyaan ‘bagaimana’.

Kesimpulan: Suatu Rekayasa Teoretis


Akan coba saya tawarkan di sini suatu rekayasa teoretis untuk menjawab pertanyaan
‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ produksi pangan mula -mula terjadi. Rekayasa ini
mengetengahkan logika keterpautan – suatu dinamika internal – dalam hubungan antara
manusia dan lingkungannya dan sesama manusia; kaitan antara dimensi sosial dan dimensi
kultural. Kerangka teoretis seperti itu, kiranya, bisa menjadi seperangkat orientasi teoretis
yang lebih kokoh untuk meninjau problem asal -mula produksi pangan di Indonesia,
Jawaban-jawaban yang diusulkan oleh para pengikut sejarah budaya dan materialisme
budaya atas pertanyaan itu, kita tahu, terasa kurang memadai. Kesangsian terhadap model -
model itu akan berguna sekali apabila dijadikan titik tolak untuk mencoba mempersatukan
gagasan-gagasan itu menjadi suatu paduan yang serasi, yang merupakan dinamika internal
dalam masyarakat berskala kecil. Sebelum melakukannya, ada baiknya untuk sejenak
menengok ulang latar sejarahnya, karena rekayasa teoretis yang akan dilakukan sedikit
banyak dilatari oleh perkembangan-perkembangan sebelumnya. Latar sejarah ini merujuk
pada uraian Keesing (1992).
Pelbagai rancang-bangun teori yang spekulatif ala evolusi unilinear pada abad
kesembilan belas akhirnya menyebabkan orang di Inggris maupun di Amerika Seri kat
menolak teori perubahan budaya yang bersifat terkaan ( conjectural). Di Amerika, reaksi
terhadapnya mula-mula mengambil bentuk historisisme yang hati -hati, oleh Franz Boas,
A.L. Kroeber, dan Ralph Lowie. Kemudian, kemunculan pandangan holistik tentang
kebudayaan, dalam karya sarjana -sarjana seperti -- kebanyakan murid-murid Boas -- Alfred
L. Kroeber, Ruth Benedict, Ralp Linton, Margaret Mead, Melville Herskovits, dan Clyde
Kluckhom.
Di Inggris, reaksi terhadap teori terkaan itu berupa pemusatan pandanga n kepada
organisasi dan integrasi masyarakat, yaitu tradisi fungsionalisme. Masalah bukan lagi
bagaimana pertumbuhan masyarakat itu, akan tetapi bagaimana unit -unit masyarakat itu
satu sama lain saling berkaitan dan saling memperkuat. Dalam tradisi fungsio nalisme itu,
tokoh-tokoh kuncinya ialah A.L. Rodcliffe Brown dan Bronislaw Malinowski. Mereka itu
disusul oleh ahli-ahli antropologi sosial Inggris yang menjulang tinggi pada dasawarsa -

15
dasawarsa pertengahan abad ini: E. E. Evans -Pritchard, Meyer Fortes, Ma x Gluckman,
Raymond Firth, Edmund Leach.
Antropologi sosial Inggris dari tradisi fungsionalisme mengambil struktur dan integrasi
masyarakat sebagai masalah pokok. Upacara, mitos, dan penjabaran -penjabaran simbolis
lainnya dilihat sebagai cermin dan dukunga n dari organisasi masyarakat. Secara konseptual,
masyarakat dan struktur masyarakat boleh dikatakan telah ‘menelan’ kebudayaan. Dalam
tradisi Amerika yang berasal dari Boas, kebudayaan itu meliputi seluruh tata kehidupan
manusia, yang hasil belajar dan yan g ditularkan sosial; dan dengan demikian, di dalamnya
termasuk cara berorganisasi masyarakat maupun nilai -nilai dan sistem kepercayaannya. Jadi,
kebudayaan bertendensi ‘menelan’ yang sosial. Hingga akhir tahun 1950 -an, ada
kecenderungan bahwa pakar -pakar yang bekerja menurut tradisi yang berbeda
perspektifnya itu, satu sama lain, tidak saling mengacuhkan.
Sejak tahun 1960-an, terjadilah saling pendekatan antara tradisi -tradisi tersebut,
terjadilah suatu internasionalisasi dan perluasan dari percakapan teor etis. Dengan
mendefinisikan bidang ‘sosial’ agak lebih sempit dan lebih tajam, dan mendefinisikan
‘kebudayaan’ lebih sebagai sesatu yang ideasional dan bukan institusional, diperoleh sarana
untuk menyesuaikan kedua perspektif tersebut seketika.

Berbekalkan latar konsep-konsep itu, ada baiknya sekarang menengok kepada


perkembangan-perkembangan lain; sebuah komponen besar dalam konseptualisasi proses
perubahan sosiokultural terpadu yang berasal dari teori neo -Marxis. Uraian dasar-dasar neo-
Marxis untuk teori terpadu ini selanjutnya akan lebih banyak bertumpu pada Keesing
(1992) dan Sanderson (1993), yang merupakan ringkasan yang sangat informatif tentang
pendekatan neo-Marxist dalam antropologi sosial dan sosiologi makro.
Batang tubuh teori ini mulai den gan asumsi bahwa manusia itu hanya menggarap dunia
dalam suatu sistem sosial. Tekanan yang diberikan kepada segi sosial dari produksi, yakni
kepada ekonomi sebagai sistem sosiokultural dan bukan kepada ekologi sebagai suatu
sistem biologi, adalah salah sa tu kontras antara neo-Marxis dan materialisme kultural.
Keterlibatan manusia dengan lingkungan fisik mempunyai segi sosial atau segi oraganisasi
(hubungan produksi, atau hubungan antar manusia) dan segi fisik, segi teknologi, atau
kekuatan-kekuatan produksi (hubungan antar manusia dan alam).
Hubungan dua arah antara organisasi sosial dan segi teknologis dari produksi berarti
bahwa perubahan sosial itu bukan sekadar tanggapan adaptif terhadap tekanan ekologis
atau demografis. Organisasi hubungan sosial itu membentuk pertemuan antara penduduk
dan ekosistem mereka. Sistem dua arah inilah yang menutup kemungkinan bagi
determinisme lingkungan yang sederhana. Basis ekonominya, sistem hubungan sosial yang
dua arah, dan faktor-faktor produksi menentukan bentuk masy arakat. Dalam pendekatan
neo-Marxis itu, pengembangan simbolisme kebudayaan harus dipahami dalam konteks
sosial-ekonomi, dan tidak dipecahkan sekadar sebagai suatu teka -teki logis.
Posisi kaum materialisme kultural, yang memandang struktur sosial dan gagas an-
gagasan kebudayaan sebagai reaksi adaptif terhadap tekanan ekologi dan demografi, secara
inheren bersifat statis. Untuk menerangkan mengapa kebudayaan berubah, orang harus
menemukan sesuatu ‘yang real’ yang berubah, yang menyebabkan perilaku manusia ber ubah
untuk menaggapinya secara adaptif (entah melalui modifikasi kebiasaan yang disengaja,
entah melalui penemuan tidak disengaja yang menimbulkan akibat yang berguna).
Model neo-Marxis secara inheren adalah dinamis. Tiap -tiap sistem sosial mengandung
‘medan pergolakan’, medan konflik, dan mengandung kontradiksi -kontradiksi, maupun
cara-cara untuk pemulihan diri. Meskipun ada kontradiksi -kontradiksi, namun karena

16
campur tangan suprastruktur -- yaitu hubungan-hubungan ‘yuridikopolitik’ dan ideologis --
maka kontradiksi itu akan ditekan, dipindaharahkan, atau diberikan gambaran yang salah
dari dasar konfliknya. Akan tetapi, dalam pandangan neo -Marxis, campur tangan dan
mistifikasi suprastruktur itu tidak menghapus adanya kontradiksi -kontradiksi. Itu semua
hanya memungkinkan adaanya pengulangan, sering dalam bentuk yang pertentangannya
lebih menonjol.
Prinsip umum model dengan perspektif neo -Marxis ini adalah mengurai hubungan
kausal antara fenomena intensifikasi dalam sistem subsistensi dan perubahan sosial, di
mana intensifikasi subsistensi dikendalikan mela lui kompetisi di kalangan tokoh masyarakat
(elite competition). Dua teoretikus tangguh yang memakai perspektif neo -Marxis untuk
membentuk model asal-mula produksi pangan adalah Barbara Bender (1978, 1985) dan
Brian Hayden (1993).
Hayden, profesor arkeologi di Simon Fraser University di Burnaby, British Columbia,
membandingkan model yang dibangunnya, competitive feasting model, dengan model yang
dipromosikan oleh Lewis Binford, population-pressure model. Model Hayden ini mendalilkan
bahwa domestikasi mula-mula terjadi dalam masyarakat yang paling makmur, yakni
sebagian besar masyarakat pemburu -peramu tipe kompleks, di mana terjadi persaingan
kekayaan.
Corak ekonomi berdasarkan kompetisi ini diwujudkan dalam bentuk pesta besar
(feasting) yang diselenggarakan oleh individu -individu yang berambisi meraih kekuasaan dan
hirarki yang tinggi dalam komunitasnya. Individu -individu itu, dengan cerdik, mengubah
surplus pangan mereka menjadi kekayaan; dan, dengan kekaya an itu, mereka mengukuhkan
kekuasaannya. Surplus pangan terjadi ketika teknologi mesolitik berkembang. Dengan
demikian, model ini menganggap bahwa teknologi mesolitik meningkatkan sumber -sumber
perolehan makanan yang amat mencukupi di sejumlah wilayah yang pada gilirannya
mendorong munculnya pola hidup menetap, kepemilikan kekayaan, dan kompetisi secara
ekonomis. Pada umumnya, kompetisi ini mengambil bentuk perjamuan besar.
Model ini menjelaskan mengapa tanam -tanaman yang dikenal sebagai yang mula -mula
didomestikasikan bukanlah dari jenis yang menghasilkan bahan pokok, melainkan dari jenis
yang menghasilkan makanan lezat. Juga menjelaskan mengapa domestikasi t idak
dipraktikkan sebelum 10.000 tahun yang lalu: sebab sumber -sumber perolehan makanan
belum mendukung kompetisi secara ekonomis. Barangkali, menjelaskan pula mengapa
produksi pangan terjadi secara serentak di berbagai wilayah di mana teknologi mesolitik
dipakai.
Ada dua alasan kenapa saya menganggap model yang perspektif neo -Marxis -- seperti
competitive feasting model ini -- sebagai model yang paling handal untuk memahami dan
menjelaskan asal-mula produksi pangan di Indonesia. Salah satu alasan adalah karena
model-model neo-Marxis memiliki perspektif yang paling multidimensional -dan sebab itu
bisa memberi jawaban yang lebih lengkap dan lebih ‘cerdas’. Alasan lain adalah karena
model ini lebih cocok dengan sifat data di Indonesia -banyak kemungkinan untuk
merekonstruksi model mel alui bukti-bukti tidak langsung.[]

Bibliografi
Catatan: Semua bahan pustaka yang dibaca dicantumkan di dalam daftar di bawah ini, meskipun ada
yang tidak ditunjuk di dalam uraian.

17
Bellwood, Peter S. 1985. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Sydney: Academic
Press.
Bellwood. Peter S. 1996. "Early Cul tivation and Domestication" dalam Haryati Soebadio
dkk. (peny.) Indonesian Heritage. Singapore: Grolier International.
Bender, Barbara. 1978. "Gatherer -Hunter to Farmer: a Social Perspective." World
Archaeology 10: 204-22.
Bender, Barbara. 1985. "Emerg ent Tribal Formations in the American Midcontinen
American Antiquity 50: 52-62.
Binford, Lewis R. 1983. In Pursuit of the Past. London: Thames and Hudson.
Binford, Lewis R. 1968. "Post -Pleistocene Adaptations", dalam Sally R. Binford dan
L.R. Binford (peny.) New Perspectives in Archaeology. Chicago: Aldine.
Boserup, Ester. 1965. The Conditions of Agricultural Growth: The Economic of Agrarian Change
under Population Pressure. Chicago: Aldine.
Braidwood, Robert J. 1960 "The Agricultural Revolu tion." Scientific American 203: 130- 41.
Charles, Douglas K. 1992. "Shading the Past: Models in Archaeology". American
Anthropologist 94: 905 - 925.
Chase, A.K. 1989. "Domestication and Domiculture in Northern Australia: A Social
Perspective," dalam D.R. Haris dan G.C. Hillman (peny.) Faraging and Farming: The
Evolution of Plant Exploitation . London: Unwin Hyman.
Clarke, David L. 1972. “Models and Paradigms in Contemporary Archaeology”, dalam
David L. Clarke (peny.) Models in Archaeology. London: Mathuen.
Clarke, David L. 1973. "Archaeology: the Lost of Innocence". Antiquity 47: 6 - 18.
Clarke, David L. 1978. Analytical Archaeology. Edisi kedua New York: Columbia University
Press.
Cohen, Mark Nathan. 1977. The Food Crisis in Prehistory: Ove r Population and the Origins of
Agriculture. New Haven: Yale University Press.
Courbin, Paul. 1988. What is Archaeology?: An Essey on the Nature of Archaeological Research .
Chicago: University of Chicago Press.
Edgell, Stephen. 1993. Class. London: Routledge.
Fagan, Brian. 1994. "The Origins of Agriculture: An International Perspective." Journal of
Field Archaeology 21: 374 - 376.
Flannery, Kent V. 1967. "Culture History v. Culture Process : A Debate in American
Archaeology." Scientific American 217 : 119 - 22.
Flannery, Kent V. 1983. “Archaeology and Ethnology in the Context of Divergent
Evolution”, dalam Kent V. Flannery dan Joice Marcus (peny.) The Cloud People: Divergent
Evolution of tehe Zapotec and Mixtec Cifilizations . New York: Academic Pre ss.
Flannery, Kent V dan Joice Marcus. 1976. “Formative Oaxaca and the Zapotec Cosmos”.
American Scientist 64:
Geertz, Clifford. 1963. Agricultural Involution .Berkeley: University of California Press.
Gibbon, Guy. 1984. Anthropological Archaeology. New York: Columbia University Press.
Grabber, Robert Bates. 1992. "Population Pressure, Agricultural Origins, and Global
Theory: Comment on Mc. Corriston and Hole." American Anthropologist 94:
Harris, Marvin. 1979. Cultural Materialism: the Struggle f or a Science of Culture. New York:
Random House.
Hayden, Brian. 1993. Archaeology : The Science Once and Future Things . New York : W.H.
Freeman and Company.

18
Hayden, Brian. 1995. “A Overview of Domestication”, dalam Anne B. Gebauer dan T.
Douglas Price (peny.). Transitions to Agriculture in Prehistory . Madison, Wiconsin:
Prehistory Press.
Haviland, William A. 1988. Anthropology. Jakarta: Erlangga.
Higham, Charles. 1995. “The Transition to Rice Cultivation in Southeast Asia”, dalam
Anne B. Gebauer dan T. Douglas Price (peny.). Transitions to Agriculture in Prehistory .
Madison, Wiconsin: Prehistory Press.
Hodder, Ian. 1981. “Toward a Mature Archaeology”, dala Ian Hodder, G. Issac, dan N.
Hammonds (peny.) Pattern af the Past. Cambridge: Cambridge Universit y Press.
Hodder, Ian (peny.). 1989. The Meaning of Things: Material Culture and Symbolic Expression .
London: Harper Collins Academic.
Hodder, Ian. 1991. Reading the Past: Current Approaches to Interpretation in Archaeology . Edisi
kedua. Cambridge : Cambr idge University Press.
Hodder, Ian. 1994. Theory and Practice in Archaeology . London: Routledge.
Hodder, Ian. 1995. Interpreting Archaeology: Finding Meaning in the Past . London: Routledge.
Keesing, Roger M. 1992. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Konte mporer. Jakarta: Erlangga.
Mc Guire, Randall H. 1992 . A Marxist Archaeology. San Diego: Academic Press.
Malina, Jaroslav dan Zdenek Vasicek. 1990. Archaeological Yesterday and Today: the Development
of Archaeology in the Science and Humanities . Cambridge: Cambridge University Press.
Meltzer, D. 1979. "Paradigms and the Nature of Change in Archaeology". American
Antiquity 44: 644 - 57.
Nelson, Cary dan Lewrence Grossberg. (peny.).1988. Marxism and the Interpretation of Culture .
London: Macmillan.
Neustupny, Evzen. 1993. Archaeological Method. Cambridge: Cambridge University Press.
Patrik, L.E. 1985. "Is There an Archaeological Record?" dalam Michael B. Schiffer (peny.).
Advanced in Archaeological Method and Theory , volume 8. New York: Academic Press.
Price, T. Douglas dan Anne Birgitte Gebauer. 1995. “A New Perspectives on the
Transition to Agriculture”, dalam Anne B. Gebauer dan T. Douglas Price (peny.).
Transitions to Agriculture in Prehistory . Madison, Wiconsin: Prehistory Press.
Renfrew, Colin dan Paul Bahn. 1991. Archaeological: Theories, Methods and Practice . London:
Thames and Hudson.
Rindos, David. 1984. The Origins of Agriculture: An Evolutionary Perspective . New York:
Academic Press.
Rosenberg, Michael. 1994. "Agricultural Origins in the Amei can Midwest: A Comment on
Charles." American Athropologist 96:
Sahlins, Marshal D. 1977. Culture and Practical Reason. Chicago: University of Chicago Press.
Sanderson, Stephen K. 1993. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial .
Jakarta: Rajawali Press.
Sauer, Carl O. 1952. Agricultural Origins and Dispersals . New York: The American
Geographical Society.
Sauer, Carl O, 1969. Seeds, Spades, Hearths, and Herds . Cambridge: Cambridge University
Press.
Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 1 979. Fundamentals of Archaeology. California:
Cumings, Menlo Park.
Shanks, Michael dan Christopher Tilley. 1987. Re-Constructing Archaeology. Cambridge:
Cambridge University Press.
Sherrat, Andrew G. 1992. "The Evolution of Political System: Sociopoliti cs in Small-scale
Sedentary Societies." Journal of Field Archaeology. 19: 95 - 98.

19
Slamet-Velsink, Ina E. 1995. Emerging Hierarchies, Processes of Stratification and Early State
Formation in the Indonesian Archipelago : Prehistory and the Ethnographic Pr esent. Leiden :
KITLV Press.
Soejono, R.P. (Peny.). 1975. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Storey, John. 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture . London:
Harvester Wheatsheat.
Trigger, Bruce G. 1989. A History of Archaeological Thought . Cambridge: Cambridge
University Press.
Vadya, Andrew P. 1969. Environment and Cultural Behavior . Garden City: The Natural
History Press.
White, Benjamin. 1982. "Child Labour and Population Growth in Rural Asia." Development
and Change. 13: 587-610.
Wright, Garry A. 1992. "Origins of Food Production in Southwestern Asia: A Survey of
Ideas".Current Anthropology. 33: 109-39.□

20

Anda mungkin juga menyukai