فقه الأضحية
فقه الأضحية
Pertama. Hewan jinak yang berada di tangan kita. Hewan yang dapat kita kurung, lepas,
kendarai atau tunggangi, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Kedua. Hewan yang berada di luar jangkauan kita, menjauh dari kita dan sulit
menangkapnya dan ini ada dua jenis:
1. Jenis hewan yang terpisah dari manusia, seperti di hutan, padang pasir, gunung
dan sebagainya. Jenis ini dinamakan hewan liar.
2. Jenis hewan yang jinak dan tidak liar namun terjadi keadaan kabur dan jauh dari
jangkauan kita dan dianggap liar. Jenis ini dalam bahasa Arab dinamakan al
Na’am al Mutawahisy.
Jenis-jenis ini semua memiliki tata cara penyembelihan yang berbeda-beda sesuai
keadaannya.
Oleh karena itu perlu sekali diketahui pengertian sembelihan (al Dzakah) dan tata
caranya agar dapat memilah-milah cara penyembelihan yang sesuai syari’at.
Al Dzabhu adalah menyembelih dengan cara memutus tenggorokan dari badan pada
persendian antara kepala dengan leher di bawah dagu. Inilah yang sudah dikenal banyak
dalam menyembelih sembelihan selain unta.
Sedangkan al Nahru adalah menyembelih hewan dengan cara menusukkan pisau atau
sejenisnya di bagian Lubbah (bagian bawah leher tempat kalung), dan ini khusus untuk
unta saja.
Pengkhususan al Nahru pada unta dan al Dzabhu pada selainnya adalah sunnah, karena
Allah menyebutkan kata al Nahru pada penyembelihan onta dan al Dzabhu pada
selainnya, seperti firmanNya:
Dan firmanNya:
Serta firmanNya:
Hukum Penyembelihan
Para ulama Islam telah bersepakat ketidakhalalan hewan yang dimakan dagingnya
kecuali ikan-ikanan dan belalang tanpa disembelih atau yang semakna dengannya.
Dasar kesepakatan ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Dalam hadits ini ada petunjuk bahwa sembelihan dan menyebut nama Allah adalah syarat
kehalalan hewan tersebut.
Hikmahnya
Diantara hikmah penyembelihan yang disampaikan para ulama adalah:
1. Keharaman dalam hewan yang dimakan adalah pada darah yang tertupah (al Dam
al Masfuh) dan ini akan hilang hanya dengan penyembelihan. Padahal Allah telah
berfirman:
Telah lalu dipaparkan syarat pertama dalam penyembelihan secara syar’i. Sekarang akan
dijelaskan syarat kedua.
Syarat Kedua: Syarat yang Berhubungan dengan Alat Potong atau Sembelih
Syarat yang berhubungan dengan alat potong atau alat sembelih ada dua:
Pertama: Alat sembelih harus tajam, memotong atau menyobek dengan ketajamannya
bukan dengan beratnya.
Apabila telah ada dua syarat ini dalam penyembelihan, maka halal sembelihannya, baik
alat tersebut berupa besi, batu, kayu atau kaca. Dikecualikan gigi dan kuku, karena
keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menegaskan bahwa semua alat
potong yang dapat menumpahkan darah hewan sembelihan dengan ketajamannya
menjadikan sembelihan sah secara syar’i, kecuali dua; yaitu Gigi dan Kuku. Pengertian
kuku di sini adalah kuku manusia dan selainnya dari hewan-hewan baik yang masih
bersambung dengan tubuhnya atau sudah terpisah. Seperti menyembelih dengan kuku
harimau atau binatang buas lainnya. Inilah pendapat mayoritas ulama dan yang rajih
karena keumuman hadits di atas.
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum memotong hewan dengan potongan
tulang dalam dua pendapat:
1. Diperbolehkan, karena yang dilarang hanyalah gigi sehingga diperbolehkan
memotong hewan dengan potongan tulang selain gigi.
2. Tidak diperbolehkan karena larangan bersifat umum pada semua tulang. Inilah
pendapat madzhab Syafi’i, dengan berlandaskan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam :
Yang rajih tentang hal ini adalah pendapat kedua yang tidak memperbolehkannya.
Wallahu A’lam
Para ulama sepakat bahwa bagian yang disembelih adalah leher dan Lubbah dan tidak
boleh menyembelih di bagian lainnya. Dikhususkan bagian ini dalam penyembelihan,
karena ia adalah tempat berkumpulnya pembuluh darah dan urat, sehingga akan mudah
tumpah darah dan cepat hilangnya nyawa. Sehingga dengan demikian, dapat menjadikan
daging lebih bagus dan lebih mudah bagi hewan yang disembelih. Sembelihan di leher
dinamakan al Dzabh dan ini untuk selain unta, sedangkan sembelihan di Lubbah yaitu
bagian yang ada di pangkal leher dan di atas dada dinamakan Nahr dan ini khusus untuk
unta. Denga demikian, sembelihan di leher bagian atas dinamakan al Dzabh dan di
bagian bawah leher dinamakan Nahr.
Adapun yang wajib dipotong dalam sembelihan adalah memotong empat bagian:
Telah lalu disampaikan syarat kedua dan ketiga dalam penyembelihan yang syar’i dan ini
kelanjutannya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman menjelaskan syarat keempat ini dalam Al
Qur’an yang berbunyi:
Para ulama sepakat disyari’atkannya menyebut nama Allah dalam penyembelihan dengan
dasar ayat ini.
Hukumnya
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum menyebut nama Allah (mengucapkan
‘bismillah’) ini, namun yang rajih adalah wajib dengan dasar sebagai berikut:
”Dan janganlah kamu mamakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu
kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu;dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi
orang-orang yang musyrik.” (QS. al An’am [6]: 121)
2. Hadits Rafi’ bin Khudaij yang berbunyi: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
Hikmah Pensyariatannya
Demikian juga dalam permasalahan ini, namun yang rajih adalah harus dengan bismilah
tidak bisa diganti dengan lainnya. Hal ini berdasarkan amalan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika menyembelih membaca: “Bismillah”. Amalan inilah yang
menjelaskan kemutlakan ayat perintah menyebut nama Allah. Inilah yang di-rajih-kan
Syaikh Shalih Al Fauzan.
Waktu Membacanya
Menurut kesepakatan para ulama bahwa waktu membacanya adalah pada waktu
penyembelihan, sebab tidak terwujud makna menyebut nama Allah dalam penyembelihan
kecuali pada waktunya dan diperbolehkan dibaca menjelang waktu penyembelihan dalam
waktu yang sebentar dan tidak lama dari penyembelihan.
Hukum Sembelihan yang Tidak Jelas Apakah Dibacakan Bismilah Atau Tidak?
Permasalahan ini langsung dijawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist
A’isyah, beliau berkata:
Dari hadits ini dapat diambil satu hukum, yaitu seseorang bila mendapatkan daging yang
telah disembelih orang lain, maka ia diperbolehkan memakannya dan menyebut nama
Allah, dengan dasar prasangka baik kepada orang lain.
Syaikh Shalih Al Fauzan memberikan penjelasan sebagai berikut: “Apabila yakin bahwa
sang penyembelih tidak menyebut nama Allah, maka tidak boleh memakannya. Bila tidak
mengetahuinya apakah dibacakan padanya nama Allah atau tidak, maka boleh
memakannya, karena tidak diwajibkan kamu mengetahui dibacakan bismilah atau tidak
dalam semua yang ada di pasar kaum muslimin dari sembelihan kaum muslimin atau ahlu
kitab. Karena kaum muslimin semua mengetahui dan bisa mengucapkan ‘bismilah’ dan
seorang muslim harus diberi prasangka baik selama belum jelas yang menyelisihinya dan
ahlu kitab sama hukumnya dengan mereka.”