Anda di halaman 1dari 2

SOSIAL BUDAYA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Penduduk asli Kalimantan Selatan umumnya suku bangsa Banjar yang intinya
terdiri dari sub suku, yaitu Maayan, Lawangan dan Bukiat yang mengalami
percampuran dengan suku bangsa Melayu, Jawa dan Bugis. Identitas utama yang
terlihat adalah bahasa Banjar sebagai media umum.  Penduduk pendatang seperti
Jawa, Melayu, Madura, dan Bugis sudah lama datang ke Kalimantan Selatan.
Suku bangsa Melayu datang sejak zaman Sriwijaya atau sebagai pedagang yang
menetap, suku bangsa Jawa datang pada periode Majapahit bahkan sebelumnya,
dan orang Bugis datang mendirikan kerajaan Pegatan di masa lalu.

Suku-suku Maayan, Lawangan, Bukit, dan Ngaju dipengaruhi oleh kebudayaan 


Melayu dan Jawa, dipersatukan oleh kerajaan yang beragama Buddha, Hindu dan
terakhir Islam, dari kerajaan Banjar, sehingga menumbuhkan suku bangsa Banjar
yang berbahasa Banjar. Kerajaan banjar pada abad ke-16 dan 17 sudah
mengadakan hubungan dengan kesultanan Demak dan Mataram. Kerajaan inipun
tidak luput incaran bangsa asing seperti Belanda dan Inggris yang silih berganti
mendatangi pelabuhan Banjar.

Ketika terjadi perlawanan terhadap Belanda pada abad ke 29, tampil pemimpin-
pemimpin seperti Sultan Hidayat dan Pangeran Antasari menghadapi Belanda.

Masyarakat adat Kalimantan Selatan terutama suku Banjar mengenal berbagai


upacara adat yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Sejak masih dalam
kandungan hingga saat kematian. Misalnya adanya adat berpantang bagi wanita
hamil, upacara Bapalas bidan, yakni ketika bayi yang dilahirkan berumur 40 hari
dan sekaligus memberikan nama, upacara perkawianan terdiri dari beberapa tahap,
sejaka Babasasuluh yaitu mencari data-data tentang calon istri, Badatang yakni
melamar, Bantar Patalian yaitu acara penyerahan seperangkat barang atau mas
kawin, Qur’an dan puncak upacara adalah pengantin Batatai atau bersanding.
Terakhir adalah upacara Pemakanan Pengantin yaitu kedua mempelai menjalani
bulan madu, selama 7 hari 7 malam hanya makan dan minum di balik tabir
tertutup.

Pada masyarakat Banjar berkembang seni sastra dan seni suara yang indah, yang
semula dari pergaulan sehari-hari di anatara mereka saling sindir menyindir
kadang-kadang dengan bahasa syair dan pantun-pantun dan ada kalanya bersifat
humor di antara muda-mudinya. Sindir menyindir ini lama kelamaan berkembang
menjadi seni sastra yang indah hingga kini misalnya pepatah-pepatah.

Di dalam seni rupa, suku Banjar mengenal sulaman-sulaman yang indah yang
biasanya sebagai pelengkap peralatan upacara seni ukir, terdapat pada ukiran kayu
pada bangunan rumah atau mesjid, juga pada kerajinan barang-barang dari
Kuningan seperti tempat sirih, peludahan, bokor, kapit, abun dan sebagainya.
Anyaman dari pandan ataupun rotan umumnya di kerjakan oleh wanita untuk
mengisi waktu senggang berkembang pula di daerah lain.

Untuk seni bangunan terutama bangunan rumah, masyarakat suku Banjar sudah
memiliki arsitektur yang cukup tinggi nilainya. Rumah-rumah tradisional berupa
rumah panggung dengan atap yang menjulang tinggi. Dar samping bila di lihat
seperti piramide. Ruamh-rumah panggung tersebut berbeda satu sama lainnya
karenanya, dapat diketahui status sosial pemiliknya. Dahulu rumah-rumah
tersebut dibedakan dalam beberapa golongan atas, seperti bangsawan, ulama,
pedagang mempunyai rumah bubungan tinggi yang disebut gajah baliku,
palimasan palimbangan, gajak manyusu, rumah balai laki, dan rumah balai bini.
Sedangkan bagi kebanyakan rumah adalah rumah cacak burung, rumah tadah alas,
rumah gudang atau pondok biasa. Rumah bagi orang biasa umumnya berbentuk
segi empat silang atau segi empat memanjang.
Sumber: http://www.indonesia.go.id/id/index.php?
option=com_content&task=view&id=6097&Itemid=1823

Anda mungkin juga menyukai