Anda di halaman 1dari 36

MASAYARAKAT MULTIKULTURAL VORSTENLANDEN:

SURAKARTA ERA KOLONIAL


SUSANTO
PRODI ILMU SEJARAH FIB UNS
SABTU 13 FEBRUARI 2021
WEBINAR “MASYARAKAT MULTIKULTURAL VORSTENLANDEN”
RUANG LINGKUP MATERI

FOKUS MATERI PEMBAHASAN TEMA INI ADALAH PERIHAL


MASYARAKAT MULTIKULTURAL VORSTENLANDEN TERUTAMA DI
WILAYAH SURAKARTA MASA KOLONIAL. URAIAN TENTANG MATERI INI
MELIPUTI SEJARAH MUNCULNYA FENOMENA MULTIKULTURAL DI
SURAKARTA SEJAK AWAL BERDIRINYA KOTA SURAKARTA, KEHIDUPAN
SOSIAL SERTA GAYA HIDUP MEREKA.
DEFINISI DAN RUANG LINGKUP
Kata Vorstenlanden secara harafiah berarti tanah atau wilayah kerajaan. Istilah
Vorstenlanden sudah dikenal sejak Perjanjian Giyanti pada 1755, namun istilah itu semakin
dipahami dan dikenal sejak akhir Perang Diponegoro, karena batas-batas wilayah
Vorstenlanden sudah semakin jelas. Wilayah ini sifatnya khusus atau istimewa. Disebut
khusus atau istimewa karena di daerah ini berlaku dua hukum. Satu hukum tradisional yang
berlaku di wilayah kekuasaan keempat penguasa Jawa ( Kasunanan, Kasultanan,
Mangkunegaran, dan Pakualaman ), dan Hukum Belanda untuk wilayah pemukiman kulit
putih. Dengan demikian di Vorstenlanden terdapat dua wilayah pemerintahan yaitu yang
disebut Zelfbestuursgebied dan Gouvernementsgebied. Karena di luar daerah Vorstenlanden
lebih banyak wilayah yang berstatus sebagai Gouvernementsgebied seperti Semarang,
Kedu, Malang, Batavia dan daerah-daerah di luar Jawa, maka menjadi jelaslah bahwa
wilayah Vorstenlanden dapat disebut sebagai daerah khusus atau istimewa. Untuk lebih
memahami tentang Vorstenlanden baca G.P. Rouffaer, "Vorstenlanden", Encyclopaedie van
Nederlandsch-Indie ( 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1905), hlm. 587 . Sebutan
Vorstenlanden berakhir pada masa pendudukan Jepang di Indonesia setelah wilayah
Surakarta dan Yogyakarta berganti status menjadi wilayah otonom dengan sebutan Kochi.
MASYARAKAT MULTIKULTURAL
VORSTENLANDEN
• LOUIS WIRTH : URBANISASI MENENTUKAN ADANYA KOMUNITAS-
KOMUNITAS DI PERKOTAAN
• URBANISASI DI VORSTENLANDEN SANGAT KHAS. PROSESNYA
DITENTUKAN OLEH KEBERADAAN ISTANA TRADISIONAL DAN KAUM
EROPA
• SITUASI IBUKOTA MATARAM KARTASURA DAN HURU-HARA - GEGER
PACINA 1741 MENJADI AWAL PROSES PERPINDAHAN KERAJAAN
• PERPINDAHAN IBUKOTA KERAJAAN MATARAM DARI KARTASURA KE
SURAKARTA
KOMUNITAS-KOMUNITAS DI VORSTENLANDEN

• Munculnya Surakarta sebagai ibukota baru pengganti


Kartasura bukan saja melahirkan lingkungan fisik kota baru,
terutama benteng dan rumah residen, namun juga
kelompok-kelompok sosial baru sekalipun gambaran itu
mirip dengan lingkungan yang ada di Kartasura yaitu
komunitas kulit putih.
• Keberadaan komunitas ini sangat tergantung pada
keberadaan benteng. Benteng yang dimaksud di sini adalah
Benteng Grootmoedigheid yang dibangun dari batu oleh VOC
pada 1745. Benteng ini pada 1750 namanya diganti menjadi
Vastenburg dan pernah diperbaiki pada 1772. Setelah dua
kali diubah oleh arsiteknya, proyek perbaikan itu selesai
pada 1788, dengan menghabiskan biaya sebanyak 2021 real
Peta Kartasura 1686 (non-skalatis)
• Selain fungsinya sebagai sarana pertahanan keberadaan
Benteng Vastenburg menandai keberadaan komunitas kulit
putih di Surakarta. Di dalam benteng itu terdapat rumah
para perwira dan pejabat politik kumpeni. Pada 1791
jumlah penghuni benteng sekitar 345 orang. Perincian dari
jumlah itu adalah sembilan orang pegawai, tiga orang calon
ahli Bahasa Jawa, 77 tentara kavaleri dan sisanya tentara
dari kesatuan infantri.
• Untuk beberapa lama pemukiman penduduk Eropa di kota
tidak banyak mengalami perubahan. Benteng tetap menjadi
tempat tinggal mereka. Penduduk sipil yang umumnya
bekas tentara juga tetap tinggal di benteng meskipun
kontrak mereka dengan VOC telah berakhir. Seringkali hal
itu terjadi karena mereka telah membentuk ikatan keluarga
Peta Solo 1821
• Komunitas kulit putih di Surakarta umumnya adalah tentara
garnisun ( garrison soldier ). Merekalah penduduk kulit putih pertama
di Surakarta.Namun keadaan sesungguhnya tidak menggambarkan
sebuah komunitas yang kaku dalam hal hubungan sosial secara
rasial.
• Kebanyakan penduduk yang dikategorikan Komunitas Eropa di
Surakarta digambarkan sebagai kelompok yang terdiri dari orang-
orang kulit putih dan pandelingen, yaitu orang pribumi yang berada
di lingkungan Eropa karena ikatan hutang-pihutang.Status mereka
umumnya tidak ada ikatan perkawinan.
• Pada waktu itu banyak pendatang baru Eropa kelihatannya lebih
senang menjalin ikatan keluarga tidak formal dengan wanita
pandelingen daripada sebaliknya. Hal itu dikarenakan pertama, akan
adanya beban tanggung jawab yang besar, dan kedua selain berupa
beban ikatan t tergantung pdengan masyarakat Timur. Ikatan
keluarga semacam inilah nantinya banyak melahirkan komunitas
Indo.
• Pada paruh kedua abad XVIII komunitas Eropa telah
mempunyai ikatan sosial lebih kuat dengan komunitas
Jawa yang tinggal mengelilingi mereka. Sekalipun
demikian mereka tetap masih mempertahankan identitas
mereka yaitu mereka tetap bekerja untuk VOC, serta
tetap menganut agama Kristen.
• Komunitas ini mengalami perubahan pesat pada masa
Daendels dan Raffles.
• Sejak era Raffles selain tinggal di lingkungan benteng
komunitas Eropa di Surakarta juga banyak ditemui di
wilayah tanah perkebunan.
• Sejak 1755 banyak anggota komunitas Eropa yang lahir
di wilayah tanah yang disewa pengusaha perkebunan
yang berada di tanah apanage.
BENTENG VASTENBURG 1924
KOMUNITAS CINA, ARAB DAN
PRIBUMI
• Komunitas lain yang menonjol selain Eropa di Surakarta adalah
Cina. Nantinya komunitas ini memainkan peranan yang cukup
penting dalam hal perkembangan kota Surakarta. Pada masa
VOC komunitas Cina umumnya selalu berada di dekat benteng.
Di Surakarta pemukiman mereka berada di sebelah utara Kali
Pepe dan di depan Benteng Grootmoedigheid. Diperkirakan ketika
ibukota Kartasura dipindahkan ke Surakarta komunitas ini ikut
berpindah pula.
• Namun sesungguhnya komunitas Cina secara historis bukanlah
sebuah komunitas baru di wilayah ini, bahkan mereka sudah
ada sebelum kota ini didirikan. Pada masa Mataram dapat
dikatakan hampir tidak terdapat sebuah desa termasuk di
wilayah pedalaman sekalipun yang tidak dihuni komunitas ini.
• Di Kartasura pemukiman-pemukiman Cina dapat ditemukan
berada dekat dengan istana Sunan. Patih Sindureja bahkan
telah mempertimbangkan untuk membangun sebuah
kampung baru khusus untuk orang-orang Cina itu.
• Sumber lain menyebutkan orang-orang Cina peranakan
sebetulnya telah lama bermukim di Pajang, daerah sebelah
barat Surakarta, menjelang berdirinya Kerajaan Mataram.
Kaum Cina di Pajang saat itu merupakan kelompok
peranakan. Kaum Cina peranakan ini umumnya berasal dari
pantai utara Jawa. Mereka bermukim di Pajang karena
profesinya sebagai tentara bayaran bersama laskar Bali,
Bugis dan Makasar pada saat Aria Pangiri memerintah di
Pajang.
• Di luar kedua komunitas ini adalah komunitas Arab yang
kecil jumlahnya dan sebaliknya komunitas yang banyak
jumlahnya yaitu Jawa
KEHIDUPAN SOSIAL

Masyarakat Surakarta terdiri dari berbagai etnis dan


kultur yang mampu hidup bersama dan saling
berinteraksi dengan pola hubungan yang khas.
Pemahaman tentang kekhasan ini mestinya harus dilihat
dari komposisi penduduk, serta kondisi sosial-
ekonominya.
PENDUDUK SURAKARTA

Jenis 1870 1871 1872


Eropa 2138 2282 2435
Cina 4863 4867 5087
Arab 42 - -
Timur Asing 214 203 509
Ambon Kristen 44 48 51
Pribumi Jawa 728912 725639 -
KONDISI SOSIAL EKONOMI
• Di mulai dari kaum Eropa. Umumnya profesi mereka
adalah pegawai pemerintah dan penyewa tanah. Selain
itu profesi mereka adalah tentara, pemain trompet dan
menjadi pelatih pasukan Sunan. Profesi lain dari mereka
adalah pedagang, pemilik toko, juru tulis, guru sekolah,
juru musik, pande besi, tukang cukur, ahli botani,
tukang bangunan, dan sebagainya.
• Profesi dokter dan penjahit sangat sedikit.
KAUM INDO
• Keturunan kulit putih yang kawin dengan wanita pribumi
adalah kaum Indo. Di Surakarta keberadaan mereka lebih
dekat dengan penduduk pribumi Jawa dibandingkan
dengan lingkungan kulit putih Eropa. Pada umumnya
kelompok Indo di Surakarta bekerja di perkebunan atau
sebagai juru tulis di kantor pemerintah. Sebagian yang lain
menduduki jabatan rendah di kantor Kasunanan maupun
Mangkunegaran, serta pada kantor para pemborong.
• Oleh karena perkembangan intelektual mereka pada
umumnya tertinggal, bahkan dibandingkan dengan orang
Jawa sekalipun, maka kelompok ini banyak yang kesulitan
dalam mendapatkan pekerjaan
KAUM CINA
• Di luar komunitas kulit putih Eropa dan Indo terdapat
komunitas Cina yang memainkan peranan penting di
bidang ekonomi. Mereka sangat menguasai perdagangan
barang-barang untuk kebutuhan pribumi. Tetapi
perdagangan mereka yang cukup dikenal secara umum
adalah kain. Toko-toko mereka sangat menonjol di
wilayah dekat Keraton Kasunanan tepatnya di Coyudan,
serta di wilayah Tambaksegaran dekat Istana
Mangkunegaran
KAUM ARAB

• Komunitas yang paling kecil di Surakarta adalah


kelompok Arab. Kelompok ini tinggal di perkampungan
Arab bernama Pasar Kliwon. Sedikit lebih banyak dari
mereka adalah Ambon Kristen. Hal yang menarik akan
komunitas ini adalah satu-satunya etnis yang sebutan
umumnya dilekatkan berdasarkan ciri agama. Sayang
sekali tentang komunitas ini tidak cukup banyak
informasinya.
PRIBUMI JAWA
• Di luar itu semua terdapat komunitas pribumi Jawa yang jumlahnya
paling banyak. Sebagian besar mereka tinggal di luar kota sebagai
petani. Di kota, kaum pribumi sebagian bekerja pada pemerintahan
istana dan sebagian lain bekerja sebagai pedagang di pasar, dan
pembuat batik terutama untuk kalangan kaum wanita. Di samping
pekerjaan ini terdapat jabatan khusus bagi kaum pribumi Jawa pada
birokrasi Eropa seperti, patih, kepala gudang kopi, kepala polisi
kehutanan, penjaga hutan, serta kepala polisi yang bertugas baik di
kantor karesidenan maupun kantor asisten residen.
GAYA HIDUP KOMUNITAS

Masyarakat Surakarta merupakan bentuk


dari diversitas sosio-kultural. Meskipun
demikian dalam komposisinya masih dapat
dilihat warna komunitas masing-masing. Di
Surakarta hal itu dapat dilihat pada bentuk
gaya hidup berdasarkan etnisitas seperti
pada bangsawan Jawa, komunitas Eropa,
kaum Indo, Cina, dan Arab.
GAYA HIDUP BANGSAWAN
KASUNANAN
Tentang gaya hidup bangsawan istana Kasunanan dapat
dibedakan pada aktivitasnya baik di dalam maupun di luar
istana. Umumnya gaya hidup di dalam istana meliputi upacara
peringatan untuk raja seperti peringatan kenaikan tahta -
jumenengan, ulang tahun berdasarkan weton atau hari
pasaran; juga pesta-pesta peringatan ulang tahun isteri raja,
perkawinan putera-puteri raja, sunatan maupun tetesan.
Sementara untuk aktivitas di luar keraton dapat disebut seperti
berburu, rekreasi rampogan dan sodoran, serta gerebeg.
GAYA HIDUP BANGSWAN
MANGKUNEGARAN
Istana Mangkunegaran adalah sebuah istana
kebangsawanan Jawa di samping Kasunanan
Surakarta. Berbeda dengan Kasunanan, di lingkungan
Mangkunegaran sangat lekat dengan pengaruh gaya
Eropa. Oleh karena itu dalam hal gaya hidup, pengaruh
Barat sangat kuat di sini. Hal itu dapat dilihat pada
fasilitas maupun aktivitasnya seperti bentuk arsitektur,
kebun binatang maupun pesta upacara di istana.
GAYA HIDUP EROPA
• Pada masyarakat Surakarta gaya hidup komunitas kulit
putih perlu diuraikan tersendiri bukan hanya sebatas
identifikasi budaya Barat, tetapi juga sebagai cerminan
sebuah budaya kota karena sebetulnya yang terlibat
adalah semua penduduk kota. Gaya hidup yang masih
berlangsung di kalangan komunitas Eropa adalah pesta
tahunan yang berlangsung tiap tanggal 1 Januari dan
Koningedag – hari raja atau Koninginnedag - hari ratu.
• Biasanya kedua pesta ini berlangsung di Societeit
Harmonie dan rumah residen. Bagi kalangan Eropa pesta
ini dianggap penting terutama pesta peringatan hari raja
atau hari ratu.
• Khusus pesta di rumah residen, Sunan diwajibkan hadir.
Kehadiran Sunan tidak disertai permaisuri karena acara
berlangsung hingga jam 02.00-03.00 pagi. Pada tahun
1891 terjadi perubahan. Sunan tidak lagi wajib datang
pada dua pesta tahunan itu melainkan cukup satu kali
saja pada saat pesta peringatan hari ulang tahun Ratu
Emma setiap tanggal 2 Agustus. Oleh karena pesta
berlangsung hanya sampai jam 20.00 hingga 21.00,
maka Sunan berkenan datang bersama sang permaisuri.
• Pesta hari ulang tahun ratu semakin ramai pada era
Ratu Wilhelmina. Pestanya diperingati pada 31 Agustus.
Selain diadakan pesta di rumah residen, juga dirayakan
dalam bentuk parade militer serta Bloemen-Corso – pawai
bunga di pusat kota Solo. Pada 1901 Bloemen-Corso
semakin meriah karena melibatkan sekelompok orang
cebol – bertubuh pendek dari Cokronegaran, juga kuda-
kuda poni milik Sunan. Dalam pawai itu tampak sebuah
gerobak yang di atasnya terdapat sebatang pohon di
mana orang-orang cebol itu mengenakan pakaian kera
dan duduk di atas dahan pohon. Banyak penonton
sangat antusias melihat parade ini
GAYA HIDUP KAUM INDO
• Di sini sangatlah penting diungkapkan gambaran gaya
hidup komunitas Indo di Surakarta, sebab dalam banyak
hal sangat berbeda dengan gaya hidup kaum Indo di
pusat kota lain semacam Batavia.
• Dalam deskripsi ini sengaja dipilih untuk mewakili
gambaran gaya hidup Surakarta adalah keluarga
Johannes Augustinus Dezentje karena terutama Dezentje
pribadi adalah putera Solo dalam arti sesungguhnya.
Ayahnya seorang mantan tentara berkebangsaan Prancis
berpangkat letnan yang menikah dengan wanita Jawa. Ia
sendiri juga menikah dengan seorang puteri bangsawan
Solo bernama Raden Ayu Condro Kusumo.
Secara pribadi Dezentje sangat menaruh perhatian cukup
besar pada budaya dan bahasa Jawa. Berkat
perkawinannya ia menjadi sangat dekat dengan kehidupan
Keraton Solo. Hal yang menarik adalah ia justru
terpengaruh oleh kultur keraton terutama pada kehidupan
para bangsawan. Itulah sebabnya dengan tanpa ragu ia
mengubah rumahnya di dekat Perkebunan Ampel dengan
bentuk bangunan dalem, sebuah gaya tempat tinggal
bangsawan Jawa. Bahkan ia juga mempunyai seperangkat
gamelan Jawa yang selalu aktif dimainkan.
BANGUNAN DEPAN RUMAH DEZENTJE DI AMPEL 1900
Kehidupan Dezentje secara langsung juga menggambarkan adat istiadat
komunitas Indo kuno yang dulunya umum dijalankan di Surakarta. Dezentje
menempati rumah besar di Ampel dengan pekarangan luas. Terdapat pula ruang
serambi belakang yang besar. Dalam kehidupan sehari-hari keluarganya selalu
dilayani oleh banyak pelayan dan para pegawai pabrik yang senantiasa menaruh
rasa hormat. Semua pelayan dan tetangga sekitarnya selalu memanggil isteri
Dezentje dengan sebutan Raden Ayu Pangeran. Demikian pula anaknya selalu
dipanggil Raden atau Raden Ajeng. Ia mempunyai enam orang anak, tiga laki-
laki dan tiga perempuan. Anak perempuan yang paling sulung kawin dengan
seorang Belanda totok yang berambut pirang; anak laki-laki kedua kawin
dengan seorang gadis Armenia, dua anak gadis lainnya kawin dengan orang-
orang Indo yang menjadikan anak-anak keturunan mereka berkulit sawo
matang. Mereka para keturunan ini juga sudah kawin dan berkumpul dengan
keluarga pirang keturunan dari anak perempuan sulung.
• Di rumah para wanita biasanya memakai pakaian
kebaya dan kain batik panjang. Ciri khas Raden Ayu
Pangeran adalah permata yang selalu melingkar di
lehernya. Warna kebaya yang disukai adalah yang
berwarna hitam. Mengikuti tuannya para pelayan
perempuan juga menggunakan kebaya dan sarung
motif batik. Sementara pembantu lelaki selalu
memakai pakaian sehari-hari pantalon berwarna putih
atau biru dengan strip.
Terdapat banyak pembantu di rumah Dezentje yang
mengerjakan tugas yang berbeda-beda, seperti menggerus
bedak, mengurus dupa, menumbuk sambal dan pekerjaan
harian lainnya. Makanan sehari-hari mereka tidak
berbeda dengan pribumi Jawa pada umumnya yaitu nasi,
sayur lodeh, dan tidak lupa sambal. Bentuk perabot
mereka khas, seperti ranjang dengan tiang kelambu yang
diukir, meja berkaki tebal, dan kursi goyang dengan
sandaran bundar. Selain itu semua prestise mereka
ditunjukkan dengan adanya lampu listrik.
GAYA HIDUP KOMUNITAS CINA
Dalam pengertian tertentu sesungguhnya tidak mudah
menggambarkan gaya hidup dari Komunitas Cina. Oleh
karena pada pertengahan abad XIX kebanyakan dari
komunitas ini tingkat ekonominya sangat rendah,
sehingga boleh dikatakan mereka hampir tidak
mempunyai potensi waktu luang. Meskipun secara umum
kelompok Cina menguasai perdagangan komoditas seperti
kain, kulit kerbau, garam, dan gula di pusat-pusat
ekonomi seperti Bandar Beton dan Boyolali, serta candu
dan minuman keras di pedesaan, akan tetapi
dibandingkan dengan para penyewa tanah Eropa dan Indo
kekuatan ekonomi mereka belum seberapa
• Gaya hidup kaum Cina di Surakarta yang menarik adalah
kegemarannya pada kesenian wayang wong yang dipelopori oleh
Gan Kam. Gan Kam adalah orang pertama dari komunitas Cina
di Surakarta yang mampu menjadikan seni wayang wong bukan
lagi seni istana melainkan sebuah seni pertunjukan popular.
• Sejak Gan Kam berhasil dalam mengelola seni pertunjukan
wayang wong keliling, banyak pengusaha Cina lain tertarik
untuk mengikuti jejak Gan Kam seperti, Lie Sien Kuan yang
kemudian mendirikan kelompok wayang wong bernama Sedya
Wandawa, Lie Wat Djien yang sukses dalam pertunjukan
wayang wong di Sonoharsono, serta Lo Tiong Ping yang dengan
grup Sri Budaya sukses pentas di Loji Wetan. Selain mereka
sumber lain juga menyebutkan pengusaha Yap Kam Lok dan Li
Yam Ping juga berperan dalam pertunjukan wayang wong di
Surakarta.
GAYA HIDUP KAUM ARAB
• Di antara komunitas-komunitas yang terdapat di
Surakarta yang tampak paling khas adalah komunitas
Arab. Komunitas ini sangat identik dengan aktivitas
keagamaan yaitu Islam. Selain itu mereka juga identik
dengan Pasar Kliwon, karena pada umumnya orang-
orang Arab Surakarta tinggal di daerah itu.
• Oleh karena jumlah yang sedikit komunitas ini kurang
diketahui bentuk gaya hidupnya. Tentang hal ini justru
memungkinkan penelitian yang lebih detail.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai