Ada berbagai macam warna rambut manusia. Namun warna alami cukup dibagi dalam 6
golongan besar: hitam, coklat, pirang, auburn, merah, dan kelabu-putih. Auburn itu artinya
coklat kemerahan. Sedangkan rambut kelabu-putih hanya ditemukan pada orang tua, orang
albino, dan pada sebagian kasus defisiensi tirosin (nanti kita akan tahu kenapa bisa begitu).
Apa yang mengatur warna rambut manusia? Pigmen yang mengatur warna rambut ada dua
macam, yaitu eumelanin dan feomelanin (istilah Latinnya: phaeomelanin, kira-kira artinya
melanin kelabu). Ingat bahwa melanin tidak sama dengan melamin (beda 1 huruf fatal!).
Melanin adalah pigmen coklat gelap; yang mengatur macam-macam warna “biologis”
manusia. Mulai dari warna kulit, iris mata, sampai warna rambut (yang akan kita bahas).
Orang albino mengalami defisiensi melanin yang cukup berat, maka itu hampir tidak ada
melanin sama sekali pada kulitnya. Sedangkan melamin… hehehe tahu sendiri. Plastik yang
dipakai sebagai pelapis untuk berbagai alat rumah tangga dan industri; yang sering
dimasukkan ke dalam susu untuk menambah kadar nitrogen, namun bisa mengakibatkan
gangguan fungsi ginjal.
Di manakah melanin yang mengatur warna rambut berada? Perhatikan 2 gambar berikut
untuk mengetahuinya.
Lihat di mana letak akar folikel rambut. Setelah diperbesar beberapa kali; Anda akan melihat
struktur yang di bawah. Melanin ada dalam bentuk melanosit, yang berada di dekat akar
rambut.
Eumelanin
Eumelanin (yang artinya melanin sejati) memberi warna gelap pada rambut. Ditinjau dari
struktur kimianya, eumelanin merupakan protein yang mengandung asam amino tirosin.
Pembentukan eumelanin membutuhkan enzim tirosinase, yang menggabungkan asam amino
tirosin ke molekul dopa dan dopamin. Tirosinase lebih aktif pada orang dewasa dibanding
pada anak-anak atau remaja. Namun pada orang tua tidak begitu aktif lagi. Karena itu,
defisiensi tirosin dapat mempengaruhi warna rambut manusia. Kurangnya tirosin
menyebabkan warna rambut yang seharusnya gelap akan memudar.
Warna eumelanin ada 2 macam, yaitu coklat atau hitam. Rambut yang memiliki konsentrasi
melanin hitam tinggi tentu saja akan memperlihatkan warna hitam. Sedangkan rambut dengan
konsentrasi melanin coklat tinggi akan memperlihatkan warna coklat. Jika pigmen melanin
hitam rendah, warna yang terlihat adalah kelabu atau putih. Dan jika pigmen melanin coklat
yang rendah, warna yang terlihat adalah kuning (pirang). Melanin coklat lebih stabil dan
bertahan lama daripada melanin hitam.
Feomelanin
Sedangkan feomelanin berwarna kemerahan atau pirang dan ditemukan pada sebagian besar
orang; namun paling banyak pada orang yang berambut merah. Feomelanin juga tersusun
atas asam amino tirosin; dan juga membutuhkan enzim tirosinase. Namun feomelanin itu
sendiri merupakan produk antara dalam produksi eumelanin, yang bereaksi dengan asam
amino sistein. Asam amino sistein mengandung atom sulfur; sehingga inilah yang memberi
warna kemerahan atau oranye pada rambut. Semakin banyak interaksi dengan sistein, maka
semakin merah warna rambut yang terbentuk. Biasanya rambut merah juga berhubungan
dengan penghambatan pembentukan eumelanin. Feomelanin memiliki stabilitas di antara
melanin coklat dan hitam.
Warna rambut yang terlihat (alias fenotip) tergantung pada perbandingan kadar eumelanin
dan feomelanin pada rambut orang yang bersangkutan.
Yang berminat mengetahui aspek kimia dari pembentukan pigmen pengatur warna rambut;
bisa dilihat di sini bagaimana perbandingan kedua jenis melanin tersebut dan reaksi
pembentukannya. Yang tidak berminat atau pusing langsung lanjut ke bawah saja.
Genetika
Pewarisan warna rambut secara genetik; seperti halnya warna iris mata; tidak hanya diatur
oleh satu gen. Hal ini mulai dicurigai sejak banyak pasangan dengan rambut coklat memiliki
keturunan biologis berambut pirang. Gen pertama (coklat-pirang) adalah gen yang
berpeluang memiliki alel dominan (rambut coklat) atau alel resesif (rambut pirang).
Keberadaan salah satu alel dominan saja akan membuat fenotip rambut coklat. Tidak adanya
alel dominan sama sekali membuat fenotip rambut pirang. Sedangkan gen kedua (merah atau
tidak merah) adalah gen yang memiliki alel dominan (rambut tidak merah) atau alel resesif
(rambut merah).
Hubungannya dengan gen coklat-pirang tadi adalah: adanya alel dominan (tidak merah) akan
menampilkan fenotip rambut tidak merah (warna hanya tergantung pada alel gen pertama).
Berarti alel dominan pada gen rambut tidak merah dengan alel resesif pada gen rambut coklat
tetap menghasilkan rambut pirang. Namun jika orang tersebut memiliki alel dominan rambut
coklat plus alel resesif rambut merah, maka warna yang terlihat adalah kemerahan, auburn,
oranye, atau semacamnya (percampuran).
Teori dua gen ini mungkin saja masih belum benar-benar tepat untuk menjelaskan bagaimana
warna rambut diturunkan secara genetik (mungkin lebih?); karena banyak sekali gradasi
warna rambut yang dapat ditemukan. Contoh: rambut pirang ada beberapa macam; yaitu
coklat muda, pirang gelap, dan sebagainya. Dan diperkirakan faktor lingkungan juga
berpengaruh.
Pewarna
Sejak dulu banyak orang yang sudah mencoba mewarnai rambut. Mulai dari bleaching
sampai produk hair coloring modern. Secara garis besar, pewarna rambut dapat dibagi atas 3
macam:
Further reading
(hnz)
Peter R. Williamson
Staib first described pigmentation in Cryptococcus neoformans more than 35 years ago (6).
In spite of considerable effort by several investigators, many aspects of the structure of
melanin in Cryptococcus are not known. In vitro, electron paramagnetic resonance has been
used to show that the free radical population within the C. neoformans pigment is similar to
that found in mammalian eumelanin (15). In addition, Cryptococcal pigment has been found
to resemble mammalian pigment in its ability to reduce reactive oxygen and nitrogen
metabolites (16, 17, 18). However, elemental analysis of a melanin preparation produced in
vitro from L-DOPA led one author to suggest that the pigment produced was quite different
from mammalian or fungal melanins (19). Since chemical analyses of Cryptococcus melanin
have not yet been made, any comparison to mammalian melanin is still tentative. Mammalian
studies of melanin have emphasized the heterogeneity of melanin, whose structure is strongly
dependent on substrates and the microenvironment in which it is synthesized (20). This would
suggest that future structural and chemical studies will need to be directed toward analyzing
melanin synthesized during pathogenesis or within organism's environment just prior to
infection.
Figure 1. Proposed melanin synthesis scheme in Cryptococcus neoformans adapted from the
Mason-Raper model as modified by Ito (5, 6, 22).
The above scheme is limited by assumptions which may or may not be true for C. neoformans
within the mammalian host. For example, the Mason-Raper scheme is based on the
mammalian enzyme, tyrosinase using only tyrosine as substrate. In contrast, phenol oxidase
activity in C. neoformans has been shown to be a laccase by its copper content, broad
substrate specificity, absorbance spectrum and sequence homology of its gene, CNLAC1 (4).
Laccases have a much broader substrate specificity than tyrosinase, oxidizing a multitude of
phenolic and aminophenolic substrates. At least four principal diphenolic substrates are
believed to be present in significant quantities in brain tissue (DOPA, norepinephrine,
epinephrine and dopamine) as well as a variety of aldehyde and acid metabolites (23, 24).
All of these could potentially be oxidized by laccase from C. neoformans. A mixture of
laccase products could polymerize to produce an extremely heterogeneous and unpredictable
melanin structure within the mammalian host. Since melanin is thought to exert virulence
through anti-oxidant properties (16-18) and this property varies with the type of polymerized
substrate (25), differences in virulence could be expected, depending on variables (i.e.
animal strain, nutritional status, drugs) that affect catecholamine metabolism in the host.
Furthermore, some critical steps in melanin synthesis of C. neoformans may be significantly
different from the mammalian model, and elucidation of these differences may provide
additional targets for pharmacological intervention.
"Basic Histology", J.C.Junqueira, J.Carneiro, R.O.Kelley; Sixth Ed., 1989, Appleton & Lange, California.
2. Williams, M.L. and Elias, P.M.; CRC Crit.Rev. in Ther.Drug Carrier Systems, 1987a, 3(2), 95.
3. Elias, P.M., Drug Dev. Res., 1988, 13, 97.
4. "Pigmentation and Pigmentary Disorders", N.Levine (ed.), CRC Press, New York, 1993.
5. Mason, R.S., J.Biol. Chem., 1948, 172, 83.
6. Imokawa, G. and Mishima, Y., Jap. J. Dermatol., 1978, 88, 913.
7. Lee, O.-S. and Kim, E.-J., Cosmetics & Toiletries, 1995, 110(Oct.), 51.
8. Olson, R., Cutis, 1971, 8, 225.
9. Szabo, G., Nature, 1969, 222, 1081.
10. Jimbow, M. & Jimbow, K., Clinics Dermatol., 1989, 7(2), 11-27.
11. Chester, J.L., ‘Ethnic Products’, in "Chemistry and Technology of the Cosmetics and Toiletries Industry", Williams,
D.F. and Schmitt, W.H. (eds.), 1992, Chapman & Hall, London.
12. "Cosmetic Dermatology", Baran, R. and Maibach, H.I. (eds.), 1994, Martin Dunitz, London.
13. "Textbook of Dermatology", Champion, R.H., Burton, J.L., Ebling, F.J.G. (eds.), 1992, Blackwell, Oxford.
14. "Atlas of Clinical Dermatology", du Vivier, A. and McKee, P.H. (eds), 1994, (2nd Edn.), Gower Medical Publishing,
London.
15. Imokawa, G. et al., J. Soc. Cosm. Chem. Jpn., 1993, 17(3), 149.
16. Lee, O.-S., Kim, E.-J., Cosm. & Toil., 1995, 110(10), 51.
17. Nishimura, T., Yakugaku Zasshi, 1995, 155(8), 626.
18. Masuda, M., Tejima, T., Suzuki, T., Imokawa, G., Cosm. & Toil., 1996, 111(10), 65-77.
19. Darr, D. et al., Act. Derm. Vener. (Stockh), 1996, 76, 264.
20. Tucci, M.G., Belmonte, M.M., Biagini, G., Vellucci, E., Morganti, P., Talassi, O., Solmi, R., Ricotti, G., Cosm. & Toil.,
1998, 113(3), 55-58.
21. Hermitte, R., Cosm & Toil., 1992, 107(7), 63-67.
22. Lecchia, M.T., Beani, J.C., Ann. Dermatol. et Venereol., 1995, 122(10), 720.
23. Ditre, G.M., Griffin, T.D., Murphy, G.F., Sueki, H., Telegan, B., Johnson, W.C., Yu, R.S., VanScott, E.J.,
J.Am.Acad.Dermatol., 1996, 34, 2(1), 187.
The tanning process occurs during the production of Melanin. This is the body's
natural sunblock, produced by specialized skin cells called Melanocytes in
response to exposure to UVR. Melanin , in turn, is synthesized from the
aminoacid Tyrosine.
Once Tyrosine is synthesized into Melanin, the resulting pigment rises upward to
the uppermost levels of the Epidermis where it encapsulates individual skin cells,
resulting in what we know as a "tan". This natural process is the body's
automatic response to UVR; it is the body's way of protecting itself.
Alih-alih mendapat kulit putih mulus, yang didapat justru masalah baru yakni hiperpigmentasi. Apa
yang salah dengan kosmetika whitening ?
Kampanye iklan yang tidak didukung oleh kecukupan data ilmiah kadang justru menyesatkan.
Misalnya iklan pemutih kulit yang kini marak ditayangkan semua media. Penayangan iklan terus
menerus akan membangun image opinion publik terhadap produk tertentu. Padahal, belum tentu
prosuk tersebut aman dan sesuai untuk semua orang.
Pigmentasi kerap menjadi efek samping ketika mengunakan kosmetika pemutih kulit atau whitening
product. Tindakan yang awalnya diharapkan mampu memperbaiki tampilan paras wajah berbuntut
pada kunjungan ke ruang konsultasi dermatologis.
Dr. Lily Soepardiman dari Departemen Dermatologi Kosmetika RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta
berbicara mengenai “Conventional Treatment for Skin Pigmentation” dalam acara Regional
Conference of Dermatology yang berlangsung di Westin Resort, Nusa Dua, Bali pada 13 hingga 16
September lalu. Pigmentasi sendiri berarti perubahan warna kulit seseorang. Perubahan warna ini
disebabkan adanya penyakit atau perlukaan yang dapat menimbulkan perubahan warna yang lebih
gelap (hyperpigmentation), atau lebih terang (hypopigmentation).
Penyebab utama hiperpigmentasi adalah peningkatan jumlah melanin, substansi tubuh yang
bertanggung jawab terhadap tampilan warna kulit (pigmen). Memang ada kondisi tertentu yang
mempengaruhi jumlah melanin menjadi meningkat, misalnya kehamilan, atau penyakit Addison
(penurunan fungsi klenjar adrenal). Paparan sinar matahari yang intens juga diduga sebagai
penyebab utama hiperpigmentasi. Konsumsi obat-obat tertentu, seperti golongan antibiotik atau
amiodarone, chloroquine, dan quinacrine menjadi factor terjadinya hiperpigmentasi.
Contoh dari hiperpigmentasi adalah melasma (chloasma). Kondisi ini ditandai dengan adanya flek
kecoklatan yang berada di wajah. Melasma dapat terjadi pada wanita hamil dan dikenal sebagai
"mask of pregnancy." Umumnya melasma pada masa kehamilan akan menghilang berangsur-angsur
usai persalinan.
Menurut Lily terdapat sejumlah terapi untuk hiperpigmentasi. Namun kebanyakan memiliki
keterbatasan seperti durasi pengobatan yang lama, menimbulkan efek eritema, sensasi terbakar,
atau desquamation. Keterbatsan ini dapat diatasi dengan terapi kombinasi untuk memperkuat
efikasi, mempercepat pemulihan, mendapat hasil nyata, dan mengurangi efek samping.
Hydroquinone merupakan agen yang umum digunakan, kerja spesifiknya adalah menghambat
tyrosinase dan bersifat sitotoksik terhadap melanin.
Selain hydroquinon, penghambat tyrosinase lain adalah arbutin, kojic acid, ekstrak licorice, dan
ekstrak mulberi. Azeleic acid adalah agen depigmentasi yang bekerja melalui antiproliferasi dan
memilki efek sitotoksik pada melanosit. Agen lainnya adalah tretinoin, alfa dan beta hydroxyl acid,
resolcinol, kedelai, dan vitamin C.
Kunci dalam mengurangi pigmentasi adalah penggunaan tabir surya spektrum luas dan manajemen
paska terapi. Model terapi lainnya yang juga dapat diaplikasikan adalah chemical peels dan terapi
laser.
Agen lainnya yang baru saja diperkenalkan untuk masalah pigmentasi adalah rucinol.
Rucinol bekerja dengan jalan mengunci melanin sehingga tidak akan diproduksi dalam jumlah
banyak. Melanin terbentuk ketika tirosin berkombinasi dengan enzim tirosinase. Rucinol, mengunci
sempurna tirosinase sebelum keduanya bergabung, itu sebabnya penggunaan rucinol dapat
mencegah pembentukan melanin. Rucinol juga memiliki daya penetrasi yang cepat hingga ke dalam
lapisan kulit. Bahan ini aman digunakan, disebabkan sifat yang hipoalergik dan bebas bahan
tambahan.
Preparat yang tersedia di pasaran saat ini adalah 25 ml /0.8 fl oz. Instruksi penggunaanya adalah
setelah menggunakan losion, gunakan pada bintik atau area yang berbeda warna. Aplikasi dengan 2
kali pumps untuk seluruh wajah atau 1 pump untuk pemakaian parsial. Rucinol diperkenal kan
sebagai agen antipigmentasi pada 1998 melalui International Federation of the Societies of Cosmetic
Chemists (IFSCC), ketika memenangkan Outstanding Thesis Award. (Ani)
25.12.2009 18:52:40