Webster mendefinisikan demokrasi sebagai sistem melalui sistem
perwakilan, kekuatan maksimum kepada rakyat oleh rakyat secara langsung atau tidak langsung mengendalikan pelaksanaan pemerintah. E-demokrasi berarti penggunaan teknologi informasi (TI) untuk mempromosikan, meningkatkan dan akhirnya memperluas pengaruh demokratis. Salah satu ciri khas demokrasi adalah menjamin untuk menyampaikan pendapat dan perbedaan pendapat. Sekarang telah marak penggunaan Twitter baik oleh masyarakat biasa maupun orang terkenal. Twitter adalah sebuah situs web yang menawarkan jaringan sosial berupa mikroblog sehingga memungkinkan penggunanya untuk mengirim dan membaca pesan yang disebut tweets. Twitter telah menjadi media jejaring sosial maupun sosialisasi bagi kehidupan demokrasi kita. Kehadiran internet dalam beragam bentuk aplikasi ibarat pil doping. Ini adalah trend, bentuknya bermacam-macam; digitalisasi, mobilisasi, personalisasi, virtualisasi. Saling berhubungan satu sama lain dan lahirlah sebuah dunia bebas baru. Bebas mengungkapkan pendapat seperti halnya ciri khas demokrasi. Twitter memang telah menjadi media baru bagi sebagian kaum politikus yang melek-internet untuk memperluas basis massa. DPR merupakan salah satu lembaga negara yang paling banyak disorot di Twitter. Hampir setiap kabar dan peristiwa yang datang dari DPR selalu menciptakan kehebohan di kalangan masyarakat yang memiliki Twitter. Keberadaan anggota DPR di Twitter tentu penting dalam konteks, mereka bisa langsung ikut terlibat dalam setiap obrolan dan diskusi yang menyangkut kebijakan mereka. Misalnya, Pramono Anung, @pramonoanung (18.282 followers) via TwitRocker-nya sering membahas mengenai kondisi e-demokrasi. Pada tanggal 19 Oktober 2010, beliau mengemukakan dua buah tweet: “Demokrassi di Twitter jauh lebih dinamis dan berkembang daripada di DPR”. “Demokrasi di Twitter nggak perlu gedung baru, nggak ada study banding, boleh menghujat, Suka di-follow, sebel-Unfollow, semua senang.” Hal ini menjadi pernyataan bahwa di Indonesia, orang yang menggunakan Twitter secara tidak langsung menerapkan e-Demokrasi dalam kebebasan berpendapat melalui jejaring sosial. Pendapat-pendapat Pramono Anung yang terkadang nyeleneh menyeruak di tengah keriuhan Twitter dengan memberi sedikit harapan masih adanya kepekaan pada suara rakyat. Menurut Juergen Habermas (2009), di dalam suatu negara hukum yang demokratis, legitimasi demokratis terletak pada kualitas wacana. Jadi pada masa masyarakat terbuka seperti sekarang ini, legitimasi demokrasi tidak hanya ditentukan oleh tiga pilar demokrasi: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Peran media dan jejaring sosial di dunia maya dalam membentuk kualitas wacana juga merupakan kunci legitimasi demokrasi. Jejaring sosial di dunia maya merupakan pilar kelima di dalam demokrasi yang secara efektif tidak hanya untuk membentuk opini publik, tetapi menentukan partisipasi masyarakat dalam menentukan arah pemerintahan dan tata kenegaraan. Dalam jejaring sosial masyarakat biasa bisa mengkritik secara independen. Dorongan ini penting untuk menjaga keseimbangan dan keberlangsungan demokrasi.