V
V
O OO O OO
O
O
Teknologi penerbangan antariksa terjadi ketika era Perang Dingin dan persaingan antara Amerika Serikat dengan
Rusia yang saat itu masih bernama Uni Soviet. Teknologi roket yang merupakan dasar dari sistem penerbanan
antariksa pada mulanya dikembangkan untuk keperluan persenjataan. Bicara soal teknologi roket, kita tidak bisa
lepas dari nama Wehrner Von Braun, ilmuwan Jerman yang direkrut Hitler untuk mengembangkan misil V2, sebuah
peluru kendali dengan teknologi roket dalam masa Perang dunia II. Saat perang usai, Von Braun hijrah ke AS dan
membantu pengembangan teknologi roket untuk kepentingan penerbangan antariksa di sana. Namun demikian,
entah mengapa, cetak biru V2 kemudian jatuh ke tangan Rusia, dan digunakan oleh pihak rusia sebagai acuan untuk
mengembangkan roketnya sendiri. Kedua negara adidaya itu kemudian terlibat dalam persaingan sengit untuk
mengeksplorasi ruang angkasa.Rusia unggul lebih dahulu dengan keberhasilannya meluncurkan satelit buatan yang
pertama di dunia dengan nama Sputnik I pada 4 Oktober 1957. AS kemudian menyusul dengan meluncurkan satelit
pertamanya yang dinamai Explorer I pada 31 Januari 1958. Pada 12 April 1961, Rusia kembali memimpin dengan
meluncurkan manusia pertama ke angkasa luar, Yuri Alekseyivich Gagarin, seorang mayor Agkatan Udara Rusia yang
meluncur dengan kapsul Vostok I. Kurang dari sebulan kemudian, AS meluncurkan astronaut pertamanya, Alan B
Shepard dengan kapsul Mercury 7. Peluncuran ini dilakukan secara terburu-buru dengan teknologi yang belum
sempurna sehingga Alan B.Shepard hanya mampu mengangkasa selama 15 menit dengan ketinggian maksimal 184
km, tertinggal dengan Yuri Alekseyivich Gagarin dari Uni Soviet yang mencatat waktu 108 menit dan ketinggian
maksimal 301,4 km dalam sekali orbit.Misi Amerika Serikat sendiri sebenarnya hanyalah penerbangan naik-turun
dan tidak sampai mengorbit bumi. AS baru berhasil mengirimkan pesawat pengorbit pada 20 Februari 1962, ketika
kapsul Friendship 7 yang diawaki oleh Letkol. John Herschel Glenn berhasil melakukan 3 kali orbit dalam
penerbangan selama 4 jam 56 menit. Tetapi prestasi ini masih kalah jauh dengan
kemajuan yang dicapai Rusia pada 6 bulan sebelumnya, ketika Mayor German Stephanovich Titov berhasil mengorbit
sebanyak 17 kali dalam penerbangan selama 25 jam 18 menit dalam kapsul Vostok II.Bulan menjadi sasaran
berikutnya dari kedua negara yang tengah bersaing itu. Rusia mendahului dengan mengirim wahana tak berawak
Lunik II pada 14 September 1959. Wahana ini tercatat sebagai wahana buatan manusia pertama yang mendarat di
permukaan bulan. Sayangnya, Lunik II mendarat secara keras (hard landing), dengan akibat seluruh peralatan yang
dibawanya rusak sehingga tidak mampu mengirimkan data apapun ke bumi. Rusia baru berhasil mendaratkan
wahana yang mampu melakukan pendaratan lunak (soft landing) pada Februari 1966 melalui wahana Lunik IX.
Sedangkan AS baru berhasil mengirimkan wahana untuk melakukan pendaratan lunak pada 1966. Setahun
kemudian, sebuah wahana AS lainnya berhasil mengirimkan gambar TV pertama dari permukaan bulan. Puncaknya
terjadi pada 17 Juli 1969, ketika Neil Amstrong dan Edwin Aldrin berhasil mencatatkan namanya dalam sejarah
sebagai manusia pertama yang menginjak permukaan bulan melalui misi Apollo-11.Misi ini dilanjutkan dengan 5
pendaratan lainnya,masing-masing Apollo-12 (November 1969), Apollo-14 (Februari 1971), Apollo-15 (Agustus 1971),
Apollo-16 (April 1972), dan terakhir, Apollo-17 (Desember 1972).Misi Apollo juga pernah mencatat kegagalan,
tepatnya menimpa misi Apollo-13 yang mengalami kecelakaan (ledakan pada salah satu modulnya). Melalui tindakan
pertolongan yang legendaris, para awaknya dapat kembali dengan selamat ke bumi walaupun gagal menjejak ke
permukaan bulan.Sementara itu, Rusia tercatat pernah mengirimkan modul Lunkhod I pada 17 November 1970.
Modul ini berupa robot yang dikendalikan dari bumi. Namun demikian, sesudahnya program antariksa Rusia di
bulan tidak lagi berlanjut. Begitu pula dengan AS. Setelah berakhirnya misi Apollo-17, AS tidak lagi mengirimkan
manusia ke bulan.Persaingan antara Amerika dengan Uni Soviet terus berlanjut dalam bidang penguasaan ruang
angkasa. Kalau sebelum era pesawat ulang-alik, seluruh komponen antariksa bersifat sekali pakai. Maka akibatnya,
pengiriman misi berawak membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain cara ini juga sangat berisiko karena apabila
terjadi kecelakaan dalam misi berawak di ruang angkasa, mustahil untuk melakukan pertolongan. Musibah yang
menimpa misi Apollo 13 memberikan pelajaran bahwa misi berawak ke antariksa tidak lain adalah sebuah
petualangan yang penuh risiko. Atas pertimbangan itu, maka tahun 1970-an, NASA mulai mengembangkan pesawat
ulang-alik. Misi ulang-alik dinilai lebih ringan biayanya karena hampir seluruh komponennya dapat digunakan
kembali pada misi-misi sesudahnya. AS kembali mencatat sejarah dengan keberhasilannya meluncurkan pesawat
ulang-alik pertamanya, Columbia, pada bulan Juni 1981. Dengan digunakannya teknologi ulang-alik, terbuka
kesempatan untuk meluncurkan misi berawak dengan frekuensi yang lebih sering dengan pembiayaan yang lebih
kecil.
Pesawat ulang-alik Challenger yang meledak saat peluncuran 28 Februari 1986 dan menewaskan ketujuh awaknya
memang sempat membuat NASA merestrukturisasi kembali program ulang-aliknya, khususnya dalam persoalan
keamanan. Namun demikian, teknologi ulang-alik sendiri tidak banyak berubah, bahkan selama lebih dari 20 tahun
sejak pertama kali digunakan.Puncaknya terjadi pada peristiwa kecelakaan yang menimpa Columbia, 1 Februari
2003, ketika pesawat tersebut meledak di udara sesaat setelah memasuki atmosfir bumi dalam proses pendaratan.
Peristiwa yang menewaskan tujuh awak tersebut kembali membuka perdebatan mengenai keamanan serta
kepentingan misi ulang-alik. Akibat dari kecelakaan ini adalah dibekukannya program luar angkasa AS sambil
mengkaji kembali berbagai faktor dalam penerbangan ulang-alik, termasuk kemungkinan digunakannya teknologi
yang sama sekali baru, dengan efisiensi dan tingkat keamanan yang lebih tinggi. Ada beberapa alternatif pengganti
pesawat ulang-alik yang saat ini sedang dikembangkan, walaupun masih belum jelas teknologi mana yang kelak akan
dipilih untuk menggantikan model peluncuran pesawat ulang-alik. Sepeninggal Challenger dan Columbia, AS masih
memiliki tiga pesawat ulang-alik lain, yaitu Discovery, Atlantis, dan Endeavour, ditambah dengan satu prototipe yang
AS, Rusia tercatat juga sempat mengembangkan pesawat ulang-aliknya sendiri yang diberi nama Buran, dari bahasa
setempat yang berarti Badai Salju. Tahun 1988, Buran sempat diujicoba dalam sebuah penerbangan tanpa awak.
Sayangnya, krisis politik maupun ekonomi yang melanda Uni Soviet sesaat sebelum bubar membuat proyek Buran
tersendat, dan bahkan terhenti sama sekali sebelum sempat berkembang. ecahnya Uni Soviet akhirnya juga
membawa malapetaka bagi program antariksa Rusia. Pangkalan peluncuran Rusia yang berada di Tyuratam (dikenal
sebagai kosmodrom Baikonur) kini telah masuk wilayah Kazakhstan, sebuah negara kecil yang secara ekonomi tidak
begitu makmur. Tentu saja pemerintah Kazakhstan tidak ingin membiarkan begitu saja sebagian teritorinya dipakai
secara gratis oleh negara Rusia untuk kepentingannya sendiri. Pendeknya, pemerintah Kazakhstan menuntut pihak
Rusia untuk membayar ongkos sewa agar dapat terus menggunakan pangkalan tersebut. Rusia terus melanjutkan
program antariksa mereka dengan memanfaatkan stasiun luar angkasa [ Tetapi karena kurangnya biaya ditambah
lagi dengan kondisi Mir yang memang sudah terlalu tua akhirnya membuat pemerintah Rusia terpaksa memutuskan
untuk mengakhiri riwayat stasiun kebanggaan mereka itu pada bulan april 2001.
Ruang angkasa memang terlalu luas untuk dieksplorasi oleh satu atau dua negara tertentu saja. Dewasa ini,
pemanfaatan luar angkasa dilakukan atas dasar kerja sama, bukan lagi persaingan seperti pada awalnya. Kini, AS dan
Rusia, bersama-sama dengan negara-negara maju lainnya bahu-membahu mengembangkan Stasiun Luar Angkasa
Internasional (International Space Station) yang diharapkan kelak menjadi pusat kegiatan eksplorasi antariksa secara
lintas negara. Sementara itu, teknologi roket juga tidak lagi merupakan monopoli AS atau Rusia. Tercatat negara-
negara seperti Jepang, India, Cina, dan Uni Eropa, juga telah berhasil mengembangkan teknologi roketnya sendiri.
Rencana Cina untuk meluncurkan misi berawak ke antariksa kiranya akan menorehkan sejarah baru dalam dunia
penerbangan antariksa.