PENDAHULUAN
Limfoma malignum adalah tumor ganas primer dari kelenjar limfe dan jaringan
limfatik di organ lainnya. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu
pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali, dan kelainan sumsum tulang.
Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodal yaitu di luar sistem limfatik dan imunitas antara
lain pada traktus digestivus, paru, kulit, dan organ lain. Ia merupakan salah satu keganasan
sistem hematopoietik, terbagi menjadi 2 golongan besar, yaitu limfoma Hodgkin (HL) dan
limfoma non-Hodgkin (NHL). HL jarang ditemukan di Indonesia.
Limfoma malignum merupakan salah satu di antara 10 jenis kanker yang tersering
ditemukan di Indonesia. Karena termasuk salah satu di antara sekitar 10 jenis kanker yang
dapat disembuhkan maka limfoma malignum perlu dikenali oleh dokter yang bertugas di
fasilitas kesehatan terdepan agar dapat dirujuk pada stadium yang dini ke rumah sakit dengan
fasilitas yang memungkinkan penatalaksanaan penderita.
Dalam bidang ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher (THT-KL),
limfoma malignum merupakan kelainan neoplasma kepala dan leher kedua terbanyak setelah
karsinoma sel skuamosa. Majoritas dari limfoma malignum pada kepala dan leher adalah dari
golongan limfoma non-Hodgkin (NHL). NHL dapat mengenai tonsil yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer.
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kripta di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fossa tonsilaris
di kedua sudut orofaring. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain.
1
BAB II
A. DEFINISI
Limfoma malignum adalah neoplasma ganas primer pada kelenjar limfe dan jaringan
limfatik, dan ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening yang terkenan. Dapat dibedakan
menjadi dua, limfoma Hodgkin (HL) dan limfoma non-Hodgkin (NHL). Tonsil yang
merupakan salah satu dari jaringan limfatik yang ada dalam tubuh manusia, maka limfoma
malignum dapat ditemukan pada tonsil juga.
B. EPIDEMIOLOGI
Insidens limfoma Hodgkin (HL) kira-kira 3 per 100.000 penderita per tahun. Pada
pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita. Perbandingan pria dan wanita adalah
3 : 2. Pada HL distribusi menurut umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak dalam
distribusi frekuensi. Puncak pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur 18 – 35
tahun dan puncak kedua terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade terakhir
terdapat kenaikan berangsur-angsur kejadian HL, terutama bentuk nodular sklerotik pada
golongan umur lebih muda.
Insidens Limfoma Non Hodgkin (NHL) ± 8 kali lipat HL, insiden baru tahun 2004 di
amerika serikat 50.000 kasus lebih, di china di perkirakan lebih dari 40.000 kasus. Insiden
NHL meningkat sangat pesat. Ras orang kulit putih memiliki risiko lebih tinggi daripada
orang kulit hitam di Amerika dan Asia. Jenis kelamin rasio laki dan perempuan sekitar 1.4:1,
tetapi rasio dapat bervariasi tergantung pada subtipe NHL, karena menyebar pada
mediastinum primer besar misalnya B-sel limfoma terjadi lebih sering pada wanita
dibandingkan pada pria. Usia untuk semua subtipe NHL lebih dari 60 tahun, kecuali untuk
pasien dengan grade tinggi limfoma noncleaved lymphoblastic dan kecil, yang merupakan
jenis yang paling umum NHL diamati pada anak-anak dan dewasa muda. pada pasien berusia
35-64 tahun hanya 16% kasus pada pasien lebih muda dari 35 tahun.
2
C. ETIOLOGI
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr. Adanya peningkatan
insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada kelompok penderita AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV, tampaknya mendukung teori
yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus. Awal pembentukan tumor pada
gangguan ini adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti kelenjar limfe dan limpa) dan
selanjutnya dapat timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan lain.
D. KLASIFIKASI
Diagnosis HL berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam hal ini adanya sel
Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear) dengan gambaran dasar
yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana lebih
dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku
sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin.
Dibedakan empat bentuk utama. Bentuk nodular sklerotik (HB-NS) terciri oleh
adanya varian sel Hodgkin, sel lakunar, dalam latar belakang limfosit, granulosit, sel
eosinofil, dan histiositik. Sel Reed-Sternberg tidak sangat sering. Kelenjar limfe sering
mempunyai susunan nodular, dengan di dalamnya terlihat pita-pita jaringan ikat yang sedikit
atau kurang luas yang sklerotik.
Pada bentuk sel campuran (HD-MC) latar belakang juga terdiri dari granulosit,
eosinofil, sel plasma, dan histiosit, tetapi disini banyak terlihat sel Reed-Sternberg.
Diagnosis bentuk miskin limfosit (HD-LD) di negara industri sudah jarang dibuat.
Gambaran ini ternyata sering berdasar atas (sub) tipe HL atau NHL. Bentuk kaya limfosit
(HD-LP) terciri oleh varian sel Hodgkin yang lain, sel L dan H dengan latar belakang limfosit
kecil dan histiosit reaktif.
3
(Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)
Tipe utama Sub-tipe Frekuensi
Bentuk lymphocyte predominance Nodular }5%
(LP)
Difus
Bentuk nodular sclerosis (NS) 70-80%
Bentuk Mixed Cellulating (MC) 10-20%
Bentuk Lymphocyte Depletion (LD) Reticular }1%
Fibrosis difus
Mengenai sifat sel Reed-Sternberg masih banyak hal yang belum jelas. Dianggap
dapat merupakan sel T atau sel B yang teraktivasi, yang sedikit banyak dikuatkan oleh data
biologi molecular; hanya pada bentuk kaya limfosit karakter sel B jelas.
4
Formulasi kerja NHL merupakan suatu sistem klasifikasi limfoma non Hodgkin yang
dikemukakan tahun 1982, klasifikasi ini terutama didasarkan pada kriteria morfologi (pola
pertumbuhan kelenjar limfe karakteristik sitologik sel tumor) dan sifat progresivitas biologik
(tingkat keganasar rendah, sedang, tinggi), bermanfaat tertentu dalam memprediksi survival dan
kesembuhan pasien. Kekurangan dari sistem klasifikasi ini adalah belum membedakan asal
tumor dari sel B atau sel T, selain itu karena belum memanfaatkan teknik imunologi dan genetik
molekular, belum dapat mengidentifikasi jenis tertentu yang penting. Namun demikian, karena
penggunaannya secara klinis sudah relatif lama dan klasifikasinya sederhana, maka masih
memiliki nilai referensi tertentu.
C. Limfoma jenis campuran sel besar dan sel belah kecil folikular
F. Limfoma jenis campuran sel besar dan sel belah kecil difus
G. Limfoma jenis sel besar difus
Penyakit ini pada 70% kasus menampakkan diri pada pembesaran kelenjar limfe,
biasanya di leher. Kelenjar ini sering asimtomatik. Jika terjadi di bawah m.
sternocleidomastoideus dapat terjadi pembengkakan difus yang besar di sisi leher yang
bersangkutan. Mediastinum sering terlibat dalam proses dan keluhan-keluhan dapat timbul
dari kelainan di tempat tersebut. Penderita muda umumnya menunjukkan kelenjar limfe yang
keras, teraba seperti karet dan membesar, di daerah leher bawah atau daerah supraklavikula,
atau disertai batuk kering non produktif sekunder akibat limfadenopati halus.
5
Gambar: Mekanisme pembesaran kelenjar limfe
Keringat malam, turunnya berat badan sekitar 10% atau febris (gejala B) pada 20-
30% kasus merupakan presentasi pertama, terutama pada proses yang lebih luas. Pada 15%
kasus disebutkan adanya nyeri pada penggunaan alkohol.
Gejala-gejala pembengkakan kelenjar limfe dengan kadang-kadang febris, dapat juga
terjadi pada infeksi umum seperti toksoplasmosis, mononukleosis infeksiosa atau infeksi
virus lain yang terdapat pada umur itu, atau pada infeksi regional. Pada pembengkakan
kelenjar yang persisten, jika tidak dijumpai inflamasi regional, harus cepat diadakan biopsi
untuk penentuan diagnosis. Pungsi sitologik dapat dikerjakan dulu untuk orientasi. Biopsi
jaringan diperlukan untuk penentuan klasifikasi yang tepat. Jika ada dugaan ke arah limfoma
malignum pada biopsi harus disisihkan material untuk pemeriksaan imunologik dan kalau
perlu pemeriksaan DNA untuk penetapan monoklonalitas dan untuk menentukan
imunofenotipe.
6
Perbedaan karakteristik klinis Limfoma Hodgkin (HL) dan Limfoma nonHodgkin
(NHL)
Limfoma Hodgkin (HL) Limfoma nonHodgkin (NHL)
Keluhan pertama berupa limfadenopati Sekitar 40% timbul pertama di jaringan
superficial terutama pada leher limfatik ekstranodi
Pembesaran 1 kelompok kelenjar limfe, Perkembangannya tidak beraturan
dapat dalam jangka waktu sangat panjang
tetap stabil atau kadang membesar dan
kadang mengecil
Limfadenopati lebih lunak, lebih mobile Berderajat keganasan tinggi. Sering
menginvasi kulit (merah, udem, nyeri),
membentuk satu massa relatif keras
terfiksir.
Berkembang relatif lebih lambat, Progresi lebih cepat, perjalanan penyakit
perjalanan penyakit lebih panjang, reaksi lebih pendek, mudah kambuh, prognosis
terapi lebih baik lebih buruk
7
anemia, kausanya dapat multifaktorial, seperti invasi sumsum tulang, invasi saluran
gastrointestinal menyebabkan tukak berdarah dan gangguan absorpsi besi dan asam folat, serta
akibat konsumsi kronis, radioterapi dan kemoterapi menyebabkan depresi hematopoiesis atau
eritropoiesis inefektif dan faktor lainnya. NHL juga dapat mengalami anemia hemolitik
autoimun (tes Coombs positif).
Pada NHL sering terdapat invasi sumsum tulang, jika dilakukan biopsi pungsi krista iliaka
posterior superior berkali-kali, pada jenis limfosit kecil dan jenis lainnya dapat ditemukan
setidaknya 50-60% mengalami invasi sumsum tulang, sedangkan pada limfoma sel B
besar difus (DLBCL) hanya 10% mengalami invasi sumsum tulang. Sebagian kasus dengan
invasi sumsum tulang, kemudian sel abnormal dapat muncul di darah tepi sehingga timbul
gambaran lekemia. Bila jenis limfosit kecil menampilkan gambaran lekemia, sangat sulit
dibedakan dari lekemia limfositik kronis. Bila jenis sel besar menampilkan gambaran lekemia,
dapat menyerupai lekemia limfositik akut. Ada juga kasus dengan dismorfia sel lekemia
menonjol, atau nukleolus relatif menonjol. Tapi pada umumnya sangat sulit hanya dari
morfologi sel membedakan apa yang disebut sel limfosarkoma'. Limfoma jenis limfo -
blastik' dengan karakteristik massa besar mediastinum sangat mudah berkembang
menjadi lekemia limfositik akut.
8
Limfoma malignum pada tonsil, seperti limfoma malignum yang menyerang kelenjar
atau jaringan limfatik lainnya, ditemukan manifestasi klinis secara umum, yaitu berat badan
menurun, demam, lesu, keringat malam dan nyeri pada tulang.
Manifestasi klinis yang berhubungan dengan limfoma malignum pada tonsil bisa
kesulitan dalam menelan, nyeri menelan dan merasa adanya massa di tenggorok. Jika terjadi
penyebaran lebih luas, penderita bisa mengalami nyeri dan bengkak pada wajah, diplopia,
bengkak pada mata, obstruksi hidung, gangguan pendengaran, nyeri telinga, trismus, suara
serak dan sesak nafas akibat obstruksi .
G. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis limfoma malignum pada tonsil perlu dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya. Untuk anamnesis, bisa
ditanyakan kepada pasien apakah mengalami keluhan-keluhan yang telah disebutkan di
bagian manifestasi klinis sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik dalam pemeriksaan palpasi bisa ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening yang tidak nyeri di leher terutama supraklavikuler, aksila dan inguinal.
Mungkin lien dan hati teraba membesar.
Perlu dilakukan pemeriksaan THT-KL secara menyeluruh untuk mencari keterlibatan
tonsil dalam penyakit limfoma malignum pada penderita. Bisa ditemukan pembesaran tonsil
unilateral atau bilateral, dan ulserasi pada palatum, tonsil, nasofaring dan laring.
9
Gambar: limfoma malignum pada tonsil
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian
penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit.
atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien HL serta pada penyakit neoplastik atau kronik
lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan
dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang
normal atau meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai
berat, terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan.
Eosinofilia absolut perifer ringan tidak jarang ditemukan. Juga dijumpai monositosis absolut
limfositopenia absolut (<1000 sel per millimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan
penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai
indikator keparahan penyakit. Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau
terbaik, tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih
terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga,
kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase
akut lain dalam serum.
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) sering dipergunakan pada diagnosis
pendahuluan limfadenopati jadi untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi
hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma, dan limfoma maligna. Ciri khas
sitologi biopsi aspirasi limfoma Hodgkin yaitu populasi limfosit yang banyak aspek serta
pleomorfik dan adanya sel Reed-Sternberg. Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan
adanya sel Hodgkin berinti satu atau dua yang berukuran besar dapat dipertimbangkan
sebagai parameter sitologi Limfoma Hodgkin. Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada
Limfoma non-Hodgkin adalah kurang sensitif dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin
10
folikel dan difus. Pada Limfoma non-Hodgkin yang hanya mempunyai subtipe difus, sitologi,
biopsi aspirasi dapat dipergunakan sebagai diagnosis definitif. Penyakit lain dalam diagnosis
sitologi biopsi aspirasi Limfoma Hodgkin ataupun Limfoma non-Hodgkin adalah adanya
negatif palsu termasuk di dalamnya inkonklusif. Untuk menekan jumlah negatif palsu
dianjurkan melakukan biopsi aspirasi multipel hole di beberapa tempat permukaan tumor.
Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka
pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtipe
histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan
bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah jaringan biopsi
tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih pada rantai KGB di
leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian belakang dan submandibular tidak
dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsi dilakukan dibawah anestesi umum
untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik local terhadap arsitektur jaringan yang dapat
mengacaukan pemeriksaan jaringan.
Gambar: hasil histopatologi biopsi tonsil menunjukkan infiltrasi difus dari sel B yang malignan
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan radiologi dan
termasuk di dalamnya adalah:
1. Foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
2. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan pasca aortal
3. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus menuntun
biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi.
4. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH
11
Gambar: CT-scan kontras kepala yang menunjukkan pembesaran tonsil kanan akibat limfoma
malignum
H. DIAGNOSIS BANDING
Ada beberapa penyakit dan kelainan pada tonsil yang bisa menyerupai limfoma
malignum pada tonsil, maka harus dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang teliti agar tidak terjadi kesalahan diagnosis. Diagnosis banding yang
termasuk adalah:
Infeksi (bakteri, jamur, parasit)
Penyakit inflamasi (sarkoidosis, systemic lupus erythematosus, poliarteritis nodusa)
Proses neoplasma (karsinoma sel skuamosa atau sel basal, melanoma,
estesioneuroblastoma, karsinoma kistik adenoid, adenokarsinoma, fibrosarkoma,
mieloma sel plasma, limfoma sinonasal)
Penggunaan kokain
Trauma
I. STADIUM
Untuk pembagian stadium masih selalu digunakan klasifikasi Ann Arbor. Atas
dasar penetapan stadium klinis pada limfoma Hodgkin pada 60% penderita
penyakitnya terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita terdapat perluasan
12
sampai stadium III dan pada 10-15% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda dengan
limfoma non-Hodgkin, yang biasanya terdapat pada stadium III-IV.
13
J. TERAPI
Tiap penderita dengan HL harus diterapi dengan tujuan kuratif. Ini juga berlaku untuk
penderita dalam stadium III dan IV dan juga untuk penderita dengan residif sesudah terapi
pertama. Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan bahwa ini tidak boleh dihentikan
atau dikurangi tanpa alasan yang berat.
14
Jadi, penderita dalam stadium I atau II dengan faktor resiko ini secara inisial harus
diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan penyinaran. Tahun-tahun akhir ini pada umumnya
ada tendensi untuk juga stadium I dan II penderita tanpa faktor resiko tambahan diterapi
dengan kombinasi kemoterapi dan radiasi. Alasan untuk ini adalah bahwa misalnya sebagai
akibat penyinaran lapangan mantel sesudah 10-15 tahun, juga terdapat kenaikan
kemungkinan timbul masalah kardial.
Stadium IIIA:
Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang mungkin,
misalnya dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat perluasan terbatas di
limpa atau perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi lapangan mantel dan radiasi Y
terbalik (radiasi “total node”). Pada stadium klinik III lebih dipilih penanganan dengan
kemoterapi. Penderita ini diterapi sebagai pasien dalam stadium IIIB – IV.
15
Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada limfoma Hodgkin
Dosis Hari 1 5 8 15
(mg/m2) ke-
MOPP
Nitrogen 6 i.v. ++
mustard
Vinkristin 1,4 i.v. ++
Procarbazine
Prednisone 100 p.o. —————————
25 p.o. —————————
ChlVPP
Chlorambusil 6 p.o. —————————
Vinblastin
Procarbazine 6 i.v. ++
Prednisone
100 p.o. —————————
25 p.o. —————————
ABVD
Adriamisin 25 i.v. ++
Bleomisin
Vinblastin 10 i.v. ++
DTIC
6 i.v. ++
250 i.v. ++
MOPP/ABV
Nitrogen 6 i.v. +
mustard
Vinkristin 1,4 i.v. +
Procarbazine
Prednisone 100 p.o. ——————
Adriamisin
Vinblastin 40 p.o. —————————
Bleomisin
35 i.v. +
6 i.v. +
10 i.v. +
CEP
CCNU 80 p.o. +
Etoposid
Prednimustin 100 p.o. ———
80 p.o. ———
K. Keterangan : + dosis sekali
16
L. — diminum tiap hari berkelanjutan
Limfoma indolen (keganasan rendah) memiliki ciri tabiat biologis tumor relatif tenang,
survival relatif panjang. Limfoma sel B indolen meliputi limfoma sel limfosit kecil difus,
limfoma limfoplasmasitik, limfoma zona marginal splenik, plasmasitoma, limfoma sel
B zona marginal ekstranodal, limfoma sel B zona marginal nodus limfatikus, limfoma
folikular, granuloma limfoproliferatif, dll. Kebanyakan pasien saat diagnosis sudah
tergolong stadium lanjut, hanya sekitar 10-20% pasien termasuk stadium I-II. Pasien
stadium lanjut (III-IV) sangat sedikit yang berpeluang sembuh, terapi umumnya bersifat
paliatif. Limfoma indolen stadium I-II umumnya diradioterapi (area terkena + area drainase),
bila sebelum radioterapi diberikan kemoterapi dengan formula FND kemungkinan dapat
meningkatkan masa survival bebas penyakit jangka panjang. Kasus stadium .IIIA pasca
kemoterapi ditambah radioterapi lokal dapat memperbaiki masa survival tanpa penyakit DF S5
tahun sekitar 60%), masih kontroversial apakah dapat disembuhkan. Pasien stadium IIIB-IV
berdasarkan ukuran tumor, ada tidaknya tanda desakan, gejala sistemik, laju progresi
tumor dan faktor lain, secara terpisah dilakukan observasi, kemoterapi obat tunggal,
kemoterapi kombinasi atau perpaduan kemo/radioterapi. Terhadap lesi yang tidak besar, tanpa
tanda desakan, dan progresi sangat lambat, dapat dilakukan observasi. Bila terdapat gejala,
umumnya dianjurkan kemoterapi obat tunggal (seperti klorambusil, siklofosfamid atau
fludarabin). Bila efektivitas kemoterapi obat tunggal kurang baik dan gejala
mempengaruhi secara nyata kualitas hidup pasien, dapat dikemoterapi kombinasi dengan
formula FND, CVP, CHOP, dll.
17
Limfoma agresif meliputi limfoma sel B besar difus, limfoma sel B besar mediastinal,
limfoma sel besar anaplastik, dan subtipe lain, terapi standar dengan formula CHOP.
Limfoma limfoblastik dan limfoma Burkitt termasuk limfoma dengan keganasan tinggi,
tapi terapi keduanya memiliki ciri yang berbeda.
(1) Limfoma limfoblastik: tergolong keganasan tinggi, mortalitas tinggi, harus diterapi
dengan formula terhadap lekemia limfositik akut, masih ada kemungkinan sembuh. Limfoma
limfoblastik pada anak-anak berprognosis lebih baik, pada dewasa sangat buruk, tanpa
invasi sumsum tulang dan sistem saraf pusat, bila LDH normal prognosis lebih baik.
(2) Limfoma Burkitt: walaupun keganasan tinggi, namun dengan terapi rasional tidak sedikit
pasien dapat disembuhkan.
1) Formula CHOP
CTX 750mg/m2 iv, dl
ADR 50mg/m2 iv, dl
VCR 1,4mg/m2 iv (dosis maks. 2mg), dl
Pred. 60mg/m2 po, d1-5
Diulangi setiap 21 hari.
2) Formula M-BACOD
MTX 3000mg/m2 iv, d8, d15 (berikut salvasi CF)
CF 100mg/m2 po, q6h x8 (mulai 24jam pasca MTX)
BLM 4U/m2 iv, dl
ADR 45mg/m2 iv, dl
CTX 600mg/m2 iv, dl
VCR 1,4mg/m2 iv, dl
DXM 6mg/m2 d1-5
Diulangi setiap 21 hari.
3) Formula CHOP-Rituximab
CTX 750 mg/m2 iv, d3
ADR 50 mg/m2 iv, d3
VCR 1,4 mg/m2 iv (dosis max.2 mg), d3
Pred. 100 mg/m2 po, d3-7
2
Rituximab 375 mg/m iv, dl
Diulangi setiap 21 hari.
4) Formula FMD.
FDR 25mg/m2 iv, d1-5
2
MIT 10mg/m iv, dl
DXM 20mg/m2 iv, d1-5
18
Diulangi setiap 21 hari.
K. OPERASI
Operasi pada penderita limfoma malignum pada tonsil tidak sering dilakukan. Tapi
biasanya dilakukan jika pengobatan dengan radioterapi dan kemoterapi tidak berhasil, untuk
dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi, dan untuk stabilisasi salur pernafasan.
Jika dalam pertimbangan untuk dilakukan operasi pada limfoma malignum tonsil, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: apakah tumor primer bisa direseksi
(dioperasi/diangkat), apakah kelainan pada leher tersebut bisa direseksi, apakah terdapat
metastasis jauh di tempat lain, apakah operasi tersebut akan memberikan kebaikan yang
sangat signifikan kepada penderita, apakah terdapat kelainan atau penyakit lain yang akan
mengganggu operasi dan hasil operasi tersebut atau akan membahayakan penderita, dan
apakah pasien benar-benar memilih untuk dilakukan operasi.
Tumor pada tonsil dianggap tidak bisa direseksi jika sudah terjadi invasi terhadap
m.pterygoid lateral, dinding lateral nasofaring, basis kranium atau tumor sudah mengelilingi
dan melekat pada arteri karotis.
L. PROGNOSIS
Banyak pasien yang dapat mencapai respons sempurna, sebagian diantaranya dengan
limfoma sel besar difus, dapat berada dalam keadaan bebas gejala dalam periode waktu yang
lama dan dapat pula disembuhkan.
Beberapa penderita bisa mengalami kesembuhan total, sedangkan penderita lainnya
harus menjalani pengobatan seumur hidupnya. Kemungkinan penyembuhan atau angka
harapan hidup yang panjang tergantung kepada jenis limfoma dan stadium penyakit pada saat
pengobatan dimulai.
Biasanya jenis yang berasal dari limfosit T tidak memberikan respon sebaik limfosit
B. Angka kesembuhan juga menurun pada penderita yang berusia diatas 60 tahun, limfoma
yang sudah menyebar ke seluruh tubuh, penderita yang memiliki tumor (pengumpulan sel-sel
limfoma) yang besar dan penderita yang fungsinya dibatasi oleh kelemahan yang berat dan
ketidakmampuan bergerak.
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
21