Anda di halaman 1dari 3

Essay Filsafat Sosial

Hans Apri Hadiyan


Politik
1006692322

Tuhan Telah Mati

Apakah kamu telah mendengar tentang orang gila itu yang menyalakan lentera pada
jam-jam pagi yang cerah, berlari menuju pasar, dan terus menerus berteriak: “aku
mencari tuhan! Aku mencari tuhan!” ketika banyak dari mereka yang tidak meyakini
Tuhan itu kemudian berdiri mengerumuninya, banyak yang tertawa atas tingkah
lakunya ini... “dimana Tuhan,” teriaknya. “aku akan memberi tahumu. Kita telah
mebunuhNya-engkau dan aku. Kita adalah para pembunuh ... Tuhan telah mati.
Tuhan akan terus mati. Kita telah membunuhnya ....” – Friedrich Nietzsche, The Gay
Science (1882), bagian 125

SHAKESPEARE tidak mengatakan; “menjadi atau tidak menjadi.” Dia menuliskannya,


tetapi Hamletlah yang mengatakannya. Begitu juga Friedrich Nietzsche mengatakan “Tuhan
telah mati”; orang gila itulah yang melakukannya. Nietzsche telah menjadi gila pada usia 45
tahun adalah benar, masih terdapat perbedaan antara kehidupan dengan sastra, bahkan ketika
yang disebut terakhir ini dinamakan filsafat.

Apa pentingnya makna orang gila itu? (baca: Nietzsche) bahwa tidak ada “orang-
orang kafir” di dunia ini, hal itu adalah selalu benar; demikian juga dengan ketika disebutkan
bahwa Tuhan itu tidak eksis. Oleh karena itu jika “Tuhan telah mati”, maka dia harus pernah
hidup; tetapi hal ini merupakan paradoksikal, karena jika Tuhan itu pernah hidup, maka, Dia,
Yang Abadi, tidak pernah mati.

Jadi, orang gila itu tidak berbicara tentang orang orang yang ingkar terhadap Tuhan,
yang selalu dan selalu akan terus terjadi, lebih tepatnya, Tuhan apa yang telah dihadirkan dan
dimaksudkan dalam kebudayaannya. Tuhan ini adalah suatu keyakinan yang digunakan
bersama-sama terhadap Tuhan, dan hal ini merupakan jenis keyakinan yang kadaluwarsa.
Dimana Tuhan pernah berdiri-pada pusat pengetahuan dan pemaknaan-sekarang ada pada
kehampaan. Ilmu pengetahuan dan filsafat, sama-sama memperlakukan Tuhan sebagai
sesuatu yang tidak relevan, dan sekali lagi, manusia telah menjadi acuan dari segala sesuatu.
Ketika orang barat, yang lebih cenderung pada dunia materi dan menjauh dari hal-hal
supernatural, “telah membunuh” Tuhan para leluhur kita. Orang-orang kafir ini dalam cerita
Nietzsche berpikir bahwa mencari Tuhan itu hanyalah lelucon belaka; hanya orang gila yang
menyadari situasi yang sangat gawat dari kematian Tuhan. Dia tidak menyesalinya; dalam
kenyataan dia menyebutnya sebagai suatu “perbuatan yang agung”, bahkan perbuatan yang
tampaknya terlalu agung bagi kita-para pembunuh-untuk menanggungnya. “haruskah kita
yang menjadi tuhan-tuhan karena merasa layak?”

Hal ini merupakan pertanyaan yang diajukan oleh parabel Nietzsche, untuk kembali
ke poin pertama kita, adalah sebuah fiksi dan bukan sebuah pernyataan filsafat. Sebenarnya
Nietzsche sangat membenci spekulasi-spekulasi metafisik tentang yang dapat dipahami, sifat,
dan eksistensi (atau tidak ada eksistensi) tentang abstraksi-abstraksi supernatural, sperti
“Tuhan”. Dia tidak dapat memberi teriakan keras untuk Tuhan, tetapi dia telah mempunyai
banyak hal yang dikatakan, terutama tentang agama kristen. Baginya, agama, dengan
memfokuskan diri pada kehidupan abadi, sebenarnya adalah sejenis kematian: agama
menjauhkan kita dari kehidupan dan kebenaran, yang keduanya berada didunia ini dan bukan
di pulau supernatural yang tidak akan pernah terjangkau.

Selanjutnya sebuah agama semacam kristen. Meskipun hal ini merupakan ajaran-
ajaran Yesus, mengabadikan sikap tidak adanya toleransi dan konformitas (perilaku yang
sesuai dengan tradisi masyarakat), yang Nietzsche mendapatinya sebagai sesuatu yang
menjijikan. Apa saja yang sudah menjadi tua, telah menjadi kebiasaan (ide ide kolektif yang
turun menurun dan menjadi produk budaya), yang bersifat normatif, atau dogmatik, pikirnya,
bertentangan dengan kehidupan dan bertentangan dengan martabat; agama akan
menghadirkan apa yang disebut dengan “mentalitas budak”. Dalam pengertian inilah maka,
laki-laki atau perempuan yang melangsungkan kehidupan , dia harus ”membunuh” Tuhan-
harus melenyapkan dogma, konformitas, takhayul, dan rasa takut. Hal ini merupakan langkah
pertama yang harus ditempuh untuk menjadi, bukan tuhan, tetapi “manusia unggul”.
Manusia unggul yang dimaksud oleh Nietzsche disini adalah berasal dari prolog
“zarathustra”, Thus Spoke Zarathustra (1883) dikatakan bahwa manusia unggul adalah
manusia yang memiliki kuasa (power) atas dirinya sendiri, bukan manusia super karena
mensch disini masih bersifat netral dan bukan manusia yang meraih kekuatan dengan
teknologi ataupun obat-obatan. Pada konsep paling dasarnya manusia unggul merujuk pada
“kehendak untuk berkuasa”, dia melihat hal ini sebagai kekuatan dasar yang memotivasi dari
segala yang hidup. Kuasa (power) disini bukan berarti kekuatan brutal, atau dominasi
terhadap pihak lain, tetapi sesuatu yang lebih mirip dengan “ketiadaan rasa takut”
(fearlessness). Ketika kita semua sangat termotivasi oleh kehendak untuk berkuasa, apapun
yang sangat kita kagumi atau ingin kita samai harus menghadirkan kekuasaan. Seperti
(afirmasi-afirmasi Nietzsche) harmoni-diri, kontrol-diri, dan penyadaran diri – yang
digambarkan dengan, misalnya, sikap tenang socrates saat meminum secangkir cairan
Hemlock (sejenis racun yang terbuat dari tanaman) kejadian ini ketika socrates
menentang/tidak sependapat dengan para sophist mengenai standar transkultural antara salah
dan benar, baik dan buruk.

Berkelanjutan dari pernyataan Nietzsche bahwa tuhan telah mati adalah secara
keseluruhan manusia masih jauh dari ideal ubermensch ini . jauh dari memiliki diri kita
sendiri, kita dimotivasi, terutama sekali oleh rasa takut, kebiasaan, takhayul, kekecewaan, dan
segala sesuatu yang menciptakan “mentalitas budak” (baca: Tuhan). Sejak lahir kita dilatih
oleh keluarga, institusi agama, dan sekolah untuk tunduk pada aturan-aturan dan hukum-
hukum, bertindak secara normal, meyakini takhayul-takhayul, dan memperbudak diri kita
dihadapan para master. Segala sesuatu yang dicatatkan pada “sifat manusia” adalah benar
benar hanya tradisi. Kita tumbuh dalam suasana malas dan takut terhadap tantangan dan
bahayanya, mati rasa terhadap gerakan-gerakan aktif dari kesadaran batin kita.

Saya rasa dalam hal ini setiap individu bisa menginterpretasikannya sendiri tetapi
bukankah lebih baik jika membuka pikiran kepada gerakan gerakan aktif kesadaran batin kita
daripada terbelenggu hal yang belum pasti ide kolektif turun temurun yang membuat
pemikiran bebas menjadi hal tabu dan haram atau bahkan kafir, semua kembali kepada
kesadaran dan kritisisme masing masing menghilangkan predikat taken for granted ini.

Anda mungkin juga menyukai