Anda di halaman 1dari 6

TUGAS FILSAFAT BARAT MODERN

BLAISE PASCHAL

ADOLFUS LELAN NAIKOFI

611 16 061

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA

KUPANG

2019
Sekilas Pengantar
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara
kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara
persis, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-
proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi filsafati, mutlak
diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan
filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak
di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan.
Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya
tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

Riwayat Hidup Blaise Pascal1


Blaise Paschal adalah salah seorang filsuf abad modern dikenal dengan julukan “Sang
Apologet”. Ia lahir pada tahun 1623. Ayahnya adalah ketua Cour des Aides di Clermont, seorang
penarik pajak di wilayah Auvergne Prancis. Sejak kecil dia tidak pernah mengenyam pendidikan
di sekolah resmi melainkan hanya dididik oleh ayahnya secara ketat. Minatnya yang begitu besar
terhadap ilmu fisika dan metafisika membuat dirinya kemudian menjadi seorang tokoh yang
cukup terkenal dalam bidang tersebut. Beberapa eksperimen fisika yang cukup terkenal yakni
penemuan mesin kalkulator, teori potongan bola, melawan pandangan tentang horror vacui lewat
eksperimen tekanan udara a la Toricelli.
Sekilas kita melihat pribadi yang agak aneh karena di samping kegiatan ilmiah yang
sangat rasionalistis dan duniawi rupanya terkandung di dalamnya kecenderungan asketisme
dalam kehidupan pribadinya. Hal ini cocok baginya jika dijuluki sebagai sang Apologet. Ia
berpendapat bahwa di dalam dua bidang hidup yang berlainan itu dia tidak memandang kegiatan
ilmiah sebagai kegiatan duniawi melainkan sebagai pengabdian kepada Allah.

Di usia dewasa dia menjalin hubungan dengan biara Port Royal tempat saudarinya
Jacqueline menjadi seorang biarawati di sana. Biara itu dikenal sebagai pengikut Jansenisme,
sebuah aliran yang dianggap bidaah dalam agama Katolik. Meskipun dalam beberapa
1
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta:Gramedia, 2007), hal.
58-60
gagasannya ada simpati kepada Jansenisme, misalnya tekanannya pada kebobrokan kodrat
manusia, Pascal mengaku tetap berpihak pada Gereja Katolik.

Dalam kumpulan suratnya, Lettres Proviciales (1655-1657) Paschal menyerang para


Yesuit yang menurutnya terlalu longgar dalam moralitas, sehingga membuat agama Kristen
sangat duniawi. Buku itu kemudian dimasukkan daftar buku subversif dalam Gereja. Karyanya
yang termasyhur adalah Pensee sur la religion (pemikiran-pemikiran tentang agama) sebuah
kumpulan aforisme.

Pemikiran-Pemikiran Blaise Paschal

Le Coeur
Dari antara para filsuf rasionalitas zaman Descartes, Blaise Paschal memiliki
kecenderungan yang berbeda. Kemajuan teknologi dan dunia sains yang tidak terlepas dari
pengaruh rasio tidak membuatnya merasa bahwa rasio menjadi segalanya. Buktinya bahwa dari
antara rekan-rekan sezamannya yang menekankan rasio melebihi iman, Paschal sebaliknya
menekankan iman melebihi rasio. Baginya hati memiliki logikanya sendiri. 2 Ia menegaskan
bahwa iman dan wahyu dapat mengatasi situasi manusia. Dengan demikian Pascal lebih tampil
sebagai seorang apologet kristiani daripada seorang pendobrak filosofis.
Le couer a ses raison ne connait point 3 (Hati mempunyai alasan-alasan yang tidak
dimengerti oleh rasio) adalah ungkapan Paschal yang sangat terkenal. Dengan pernyataan ini
Pascal tidak bermaksud menunjukkan bahwa rasio dan hati itu bertentangan. Hanya saja menurut
Pascal, rasio atau akal manusia tidak akan sanggup untuk memahami semua hal. Baginya “hati”
(Le couer) manusia adalah jauh lebih penting.

Hati yang dimaksudkan oleh Paschal tidak semata-mata berarti emosi. Hati adalah pusat
dari segala aktivitas jiwa manusia yang mampu menangkap sesuatu secara spontan dan intuitif.
Rasio manusia hanya mampu membuat manusia memahami kebenaran-kebenaran matematis dan
ilmu alam. Hati di sini adalah unsur pemahaman yang dapat menangkap prinsip-prinsip pertama
kenyataan secara berlainan dengan rasio.

2
Herry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 16
3
Blaise Pascal, Pascal Pensees, Edited and Translated by John Hagerson, LN Yaddanapudi, Juliet
Sutherland, (Gutenberg: The Project of Gutenberg EBook, 2006), hal. IX.
Kadang-kadang Paschal menyejajarkan hati dengan ‘kehendak’ yang berkaitan dengan
‘kepercayaan’ tetapi kadang-kadang dia juga melukiskannya sebagai kemampuan untuk
mengetahui. Menurutnya, kita tidak hanya mengikuti kebenaran dengan rasio, tetapi juga dengan
hati. Dengan begitu, kebenaran tentang Allah yang selama ini dicari pembuktian tentang
eksistensi-Nya hanya bisa diketahui oleh hati. Sebab hati mempunyai logikanya sendiri. Hati
memiliki alasan-alasan yang tidak dimengerti oleh akal. Dan yang dapat mengetahui Allah secara
langsung adalah hati, bukan rasio. “Iman”, demikian Paschal, “adalah penasihat yang lebih baik
daripada akal. Akal mempunyai batas, tapi iman tidak”. 4 Dengan demikian Paschal hendak
menegaskan bahwa rasio manusia itu memiliki batas sedangkan iman tidak terbatas.

Le Pari
Le Pari atau “Pertaruhan” adalah argumen Paschal lainnya yang terkenal. Gagasan ini
terkait dengan persoalan mengenai ada tidaknya Allah dalam sejarah filsafat. Ada orang-orang-
orang skeptik yang kerap kali mencemooh orang-orang Kristen yang percaya bahwa Allah itu
ada sementara mereka sendiri tidak dapat membuktikan secara rasional bahwa Allah itu tidak
ada. Ia kemudian membuat sebuah pertaruhan mengenai ada atau tidaknya Allah.
Dalam hal ini Paschal mengambil posisi sebagai orang yang percaya akan adanya Allah.
Kalau orang menang dalam pertaruhan ini, menurut Paschal orang benar-benar menang; kalau
kalah, orang tidak kehilangan apa-apa. “Kalau percaya (akan adanya Allah),” tulisnya, “kalau
kau menang, kau memenangkan segalanya, kalau kau kalah (ternyata Allah tak ada), kau tak
kehilangan apa pun. Jadi, percayalah jika kau dapat.” 5 Argumen le pari ini sebetulnya tidak
dimaksudkan Paschal sendiri untuk membuktikan ada tidaknya Allah. Yang dia tuju sebetulnya
adalah sekelompok orang yang tidak percaya kepada agama Kristen. Motifnya lagi-lagi adalah
apologetis. Akan tetapi, dengan argumen itu Paschal sekurang-kurangnya sudah merintis sebuah
pendekatan terhadap agama bahwa agama tidak bisa didekati melulu secara rasional. Unsur
kehendak dan kenyakinan memainkan peranan besar di sini.

Kenistaan dan Keluhuran Manusia


Paschal memandang manusia sebagai makhluk yang membutuhkan Allah. Berdasarkan
pandangan ini dia memandang manusia sebagai makhluk yang nista sekaligus luhur. Jika
manusia hidup tanpa Allah, manusia menjadi busuk karena dikuasai kecenderungan cinta diri dan
4
Op. Cit., hal. 60
5
Ibid., hal. 62.
kepentingan diri yang buta. Akibatnya, masyarakatpun kacau balau. Manusia adalah makhluk
yang kontraditoris di dalam dirinya sendiri, dan karena itu dia tak pernah meraih kepuasan
sempurna. Dia tak sepenuhnya rasioanal tapi juga tak sepenuhnya irrasional. Baik rasio maupun
nafsu jalin menjalin secara dialektis. Jadi, tanpa Allah, manusia betul-betul rapuh. Selain hina,
menurut Paschal manusia juga makhluk yang luhur. Keluhurannya bahkan berasal dari
kehinaannya itu. Menurutnya, bahwa manusia mengakui kerapuhannya menunjukan
kebesarannya. Keagungan manusia, tulisnya, terdapat dalam kenyataan bahwa dia mengenali
dirinya sebagai sesuatu yang nista. Sebuah pohon tidak mengenali dirinya sebagai sesuatu yang
nista. Menjadi nista berarti mengenali diri sebagai nista, tetapi menjadi agung berarti mengenali
bahwa manusia itu nista. Manusia memang tak kunjung lelah berhasrat mencapai kebahagiaan
dan hasrat tak terpuaskan itu menjadi sumber ketidakbahagiaannya. Paschal mengatakan: teluk
tak terbatas itu hanya bisa diisi dengan obyek yang tak terbatas dan tak berubah yakni Allah
sendiri. Dalam mencari kebahagiaan ini pun kerapuhan manusia menunjukan keluhurannya kalau
manusia menerima Allah.6

DAFTAR PUSTAKA

6
Ibid., hal. 61-62.
Hardiman, F. Budi., Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta:Gramedia,
2007)
Hamersma, Herry, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1984).
Pascal, Blaise, Pascal Pensees, Edited and Translated by John Hagerson, LN Yaddanapudi, Juliet
Sutherland, (Gutenberg: The Project of Gutenberg EBook, 2006)

Anda mungkin juga menyukai