Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH DISKUSI TOPIK

Farmakologi di Bidang THT

Oleh :
Salman Alfath
I11107026

SMF TELINGA, HIDUNG & TENGGOROKAN


RUMAH SAKIT UMUM DOKTER SOEDARSO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2011
FARMAKOLOGI DI BIDANG KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN
TENGGOROKAN

2.1. Antibiotik

Antibiotic adalah zat yangdigunakan untuk menghambat pertumbuhan


(bakteriostatik) dan atau membunuh bakteri (bakterisid). Efek ini terkait dengan
toksisitas spesifik dari antibiotic terhadap sel bakteri, akan tetapi aman untuksel
manusia.

Mekanisme kerja utama antibiotic adalah:

1) Penghambatan sintesis dinding sel


2) Perubahan permeabilitas membrane dan transport aktif membrane
sel
3) Penghambatan sintesis protein
4) Penghambatan sintesis asam nukleat

1. Penicillin

Penisilin merupakan asam organik, terdiri dari satu inti siklik


dengan satu rantai samping. Inti siklik terdiri dari cincin tiazolidin dan
cincin betalaktam. Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang
diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.Penisilin akan menghasilkan
efek bakterisid pada mikroba yang aktif membelah,untuk mikroba yang
tidak aktif membelah,penisilin hanya memiliki pengaruh bakteriostatik.
a. Spektrum Antimikroba
Penisilin G efektif terutama terhadap mikroba gram-positif dan
spirochaeta,selain itu beberapa mikroba gram-negatif juga sangat sensitif
terhadap penisilin G misalnya gonokokus yang tidak menghasilkan
penisilinase.Penisilin V memiliki spektrum antimikroba yang sama dengan
penisilin G.
Kelompok ampisilin,walaupun spectrum antimikrobanya
lebar,aktivitasnya terhadap mikroba gram positif tidak sekuat penisilin
G,tetapi efektif terhadap beberapa mikroba gram-negatif dan tahan
asam,sehingga dapat diberikan per oral.
b. Klasifikasi dan Sediaan
Klasifikasi Penisilin adalah sebagai berikut:

Penisilin tersedia dalam sediaan sebagai berikut:


1) Penisilin V tersedia sebagai garam kalium dalam bentuk tablet
250 mg dan 625 mg dan sirup 125 mg/5 ml.
2) Penisilin G biasanya digunakan secara parenteral.Sediaan
terdapat dalam bentuk penisilin G larut air dan repository untuk
suntikan IM.
3) Ampisilin trihidrat dosis dewasa 250 4x/hari aau 500 mg
2x/hari. Anak 5-10 tahun 125-250 mg, 2-5 tahun 125 mg, <2
tahun 62,5 mg. Dosis ini diberikan 4 x/hari.
4) Amoksisilin tersedia sebagai kapsul atau tablet berukuran
125,250,dan 500 mg dan sirup 125 mg/5 ml.Dosis sehari dapat
diberikan lebih kecil daripada ampisilin karena absorpsinya
lebih baik daripada ampislilin yaitu 3 kali 250-500 mg sehari
c. Penggunaan pada bidang THT
1) Penisilin G
Merupakan antibiotic terpilih untuk infeksi pneumokokus,
streptokokus, stafilokokus, gonokokus, treponema pallidum,
bacillus antracis, lysteria, dan bacterioides.
2) Penisilin V per oral
Biasanya diberikan bersama dengan aminoglikosida untuk
infeksi saluran napas atau struktur yang berhubungan, terutama
pada anak-anak (faringitis, otitis, sinusitis)
3) Benzatine Penisilin G
Suntikan IM benzatine penisilin terutama berguna untuk
faringitis streptokokus beta hemolitikus.
4) Ampisilin dan amoksisilin
Umumnya digunakan pada infeksi sekunder saluran napas
(otitis, sinusitis, dan bronchitis).
d. Efek samping
1) Alergi
2) Toksisitas pada SSP
2. Sefalosporin

Sefalosporin memiliki cara kerja yang analog dengan penisilin


dengan terikat pada PBPs, yaitu: menghambat pembentukan dinding sel
bakteri dengan inhibisi transpeptidasi peptidoglikan, dan aktivasi enzim
autolitik dalam dinding sel bakteri.

a. Penggolongan sefalosporin dan sediaan


Sefalosporin digolongkan sebagai berikut:

No. Nama Generasi Cara Pemberian Aktivitas


Antimikroba
1. Cefadroxil 1 Oral Aktif terhadap
2. Cefalexin 1 Oral kuman gram positif
3. Cefazolin 1 IV dan IM dengan keunggulan
4. Cephalotin 1 IV dan IM dari Penisilin
5. Cephradin 1 Oral IV dan IM aktivitas nya
terhadap bakteri
penghasil
Penisilinase
6. Cefaclor 2 Oral Kurang aktif
7. Cefamandol 2 IV dan IM terhadap bakteri
8. Cefmetazol 2 IV dan IM gram postif
9. Cefoperazon 2 IV dan IM dibandingkan
10. Cefprozil 2 Oral dengan generasi
11. Cefuroxim 2 IV dan IM pertama, tetapi
lebih aktif terhadap
kuman gram
negatif; misalnya
H.influenza, Pr.
Mirabilis, E.coli,
dan Klebsiella
12. Cefditoren 3 Oral Golongan ini
13. Cefixim 3 Oral umumnya kurang
14. Cefotaxim 3 IV dan IM efektif
15. Cefotiam 2 IV dan IM dibandingkan
16. Cefpodoxim 3 Oral dengan generasi
17. Ceftazidim 3 IV dan IM pertama terhadap
18. Ceftizoxim 3 IV dan IM kuman gram

19. Ceftriaxon 3 IV dan IM positif, tetapi jauh


lebih efektif
terhadap
Enterobacteriaceae,
termasuk strain
penghasil
Penisilinase.
20. Cefepim 4 Oral IV dan IM Hampir sama
21. Cefpirom 4 Oral IV dan IM dengan generasi
ketiga

b. Penggunaan pada bidang THT


1) Cefadroxil dan Cefalexin
Obat golongan Cefalosporin ini yang digunakan untuk mengobati
infeksi tertentu yang disebabkan oleh bakteri pada kulit, tenggorokan,
dan infeksi kandung kemih. Antibiotik ini tidak efektif untuk pilek, flu
atau infeksi lain yang disebabkan virus.
2) Cephalotin
Obat golongan Sefalosporin ini yang digunakan untuk mengobati
infeksi bakteri dan penyakit pada infeksi kulit dan jaringan lunak,
saluran nafas, genito-urinaria, pasca operasi, otitis media dan
septikemia.
3) Cefaclor
Cefaclor digunakan untuk pengobatan sinusitis dan otitis media
yang alergi atau tidak mempunyai respo terhadap ampisilin dan
amoksisilin.
4) Cefprozil
Obat Sefalosporin ini mengobati infeksi seperti Otitis Media,
infeksi jaringan lunak dan saluran nafas.
5) Cefuroxim
Cefuroxim digunakan untuk mengobati infeksi tertentu yang
disebabkan oleh bakteri seperti; bronkitis, gonore, penyakit limfa, dan
infeksi pada organ telinga, tenggorokan, sinus, saluran kemih, dan
kulit.
6) Cefotaxim
Cefotaxime digunakan untuk mengobati Gonore, infeksi pada
ginjal (pyelonephritis), organ pernafasan, saluran kemih, meningitis,
pencegahan infeksi pada proses operasi dan infeksi kulit dan jaringan
lunak.
7) Cefpodoxim
Obat Sefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan
berbagai macam infeksi seperti Pneumonia, Bronkitis, Gonore dan
infeksi pada telinga, kulit, tenggorokan dan saluran kemih.

3. Ofloxacin
Ofloxacin merupakan suatu antibakteri sintetik derivat asam
piridonkarboksilat. Ofloxacin menunjukkan efek yang sempurna terhadap
infeksi-infeksi saluran napas, saluran kemih, saluran bilier, saluran cerna
dan bermacam infeksi dermatologik, oftalmologik, otorhinologik dan
ginekologik.
Ofloxacin mempunyai spektrum antibakteri yang luas terhadap
bermacam bakteri gram positif dan gram negatif, terutama terhadap bakteri
Staphylococcus spp., Streptococci hemolitic, Enterococci, E. coli, K.
pneumoniae, Serratia spp.,Proteus spp., H. influenzae dan N. gonorrhae.
Ofloxacin efektif terhadap Enterobacteriaceae yang resisten terhadap
asam nalidiksat, N.gonorrhae yang resisten terhadap gentamisin.
Ofloxacin juga efektif terhadap beberapa bakteri anaerob. Ofloxacin
bekerja secara spesifik dengan menghambat sintesis DNA
mikroorganisme.
a. Penggunaan pada bidang THT
1) Pneumonia, bronkitis kronik, panbronkiolitis difus, bronkiektasis
dengan infeksi, infeksi sekunder pada penyakit pernapasan kronik.
2) Faringitis, laringitis, bronkitis akut, tonsilitis.
3) Folikulitis, furuncle, furunkulosis, carbuncle, erysipelas,flegmon,
limfangitis, limfaderitis, felon, abses subkutan,spiradenitis, akne
konglobata, infeksi atheroma, abses perianal.
4) Otitis media, sinusitis.

4. Erytromisin
Eritromisin dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erytreus.
Str.pyogenes, Str.pneumoniae, dan Str.viridans mempunyai kepekaan yang
bervariasi terhadap eritromisin.S aureus hanya sebagian yang peka terhadap
obat ini.Strain S.aureus yang resisten eritromisin sering dijumpai di rumah
sakit. Batang gram positif yang peka terhadap eritromisin ialah
Cl.Perfringens,C.diphtheriae dan L. Monocytogenes.Eritromisin tidak aktif
terhadap kebanyakan kuman gram negative,namun ada beberapa spesies yang
sangat peka terhadap eritromisin yaitu N.gonorrhoeae,Campylobacter
jejuni,M.pneumoniae,Legionella pneumophilia,dan
C.trachomatis.H.influenzae mempunyai kepekaan yang bervariasi terhadap
obat ini.
Eritromisin bekerja dengan cara berikatan dengan ribosom 50S bakteri
dan menghalangi translokasi molekul peptidil-tRNA dari akseptor ke pihak
donor, bersamaan dengan pembentukan rantai polipepetida dan menghambat
sintesis protein.
a. Sediaan
Preparat Kemasan Posologi/cara Keterangan
pemberian
Eritromisin Kapsul/tablet 250 Dewasa 1-2 g/hari Dosis dapat
mg dan 500 mg dibagi dalam 4 ditingkatkan 2x
dosis. lipat pada infeksi
Anak 30-50 berat
mg/kgBB sehari Obat diberikan
dibagi dalam 4 sebelum makan
dosis.
Eritromisin Kapsul 250 mg Dewasa 250-500 Idem
Stearat dan tablet 500 mg mg tiap 6 jam atau
Suspensi oral 500 mg tiap 12
mengandung 250 jam.
mg/5 ml Anak 30-50
mg/kgBB sehari
dibagi dalam
beberapa dosis.
Eritromisin Tablet kunyah 200 Dewasa 400-800 Obat tidak perlu
etilsuksinat mg mg tiap 6 jam atau diberikan sebelum
Suspensi oral 800 mg tiap 12 makan.
mengandung 200 jam.
mg/5ml dalam Anak 30-50
botol 60 ml mg/kgBB sehari
Tetes oral dibagi dalam
mengandung 100 beberapa dosis.
mg/2,5 ml dalam
botol 30 ml.

b. Penggunaan pada bidang THT


Erytromisin terutama menjadi antibiotic pilihan pada infeksi difteri dan
pertusis. Selain itu juga berguna untuk faringitis streptokokal yang resisten
terhadap penisilin.
c. Efek Samping
1) Gangguan epigastrik
2) Ikterus kolestatik
3) Ototoksisitas
4) Alergi

2.2. Antihistamin
a. Penggolongan Antihistamin
Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru
atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua,
dan ketiga.Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang
signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan
efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama
kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP)
lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih
banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi
kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua,
berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer
(levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk
memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta
efek samping lebih minimal.
b. Mekanisme Kerja
Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung
bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada
pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa
mengurangi permiabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi
otot polos saluran cerna serta napas.
Antihistamin H1 generasi ke tiga memiliki kelebihan dari generasi
pertama dan kedua yaitu adanya efek antiinflamasi di samping efek
antihistaminnya.
c. Farmakokinetik
Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan baik
dan mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan
dengan protein plasma berkisar antara 78-99%. Sebagian besar
antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-
function oxygenase system.
Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin
memiliki waktu paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin
hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif juga sangat berbeda jauh dengan
obat induknya, seperti astemizole 1,1 hari sementara metabolit aktifnya,
N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang
mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis
meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh
beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih
panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, danm pasien yang
menerima ketokonazol, eritromisin, atau penghambat microsomal
oxygenase lainnya (Katzung, 1998).
d. Penggunaan di bidang THT
Penyakit alergi. AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe
eksudatif akut,efeknya bersifat paliatif,membatasi dan menghambat efek
histamine yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi.AH1
tidak berpengaruh terhadap intensitas reaksi antigen-antibodi yang
merupakan penyebab berbagai gangguan alergik.Keadaan ini dapat diatasi
hanya dengan menghindari allergen,desensitisasi atau menekan reaksi
tersebut dengan kortikosteroid.
AH1 dapat menghilangkan bersin,rinore,gatal pada mata,hidung
dan tenggorokan pada pasien seasonal hay fever.AH1 efektif terhadap
alergi yang disebabkan debu,tetapi kurang efektif bila jumlah debu banyak
dan kontaknya lama.Kongesti hidung kronik lebih refrakter terhadap
AH1.AH1 tidak efektif pada rhinitis vasomotor .
e. Efek Samping
Antihistamin generasi pertama umumnya memiliki efek samping
SSP berupa sedasi, vertigo, tinnitus, lelah, penglihatan kabur, diplopia,
euphoria, gelisah, insomnia dan tremor. Efek samping yang termasuk
sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrium, serta konstipasi atau diare.
f. Kontraindikasi dan Interaksi Obat (Putra, 2008)
1) Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada pemakaian antihistamin
H1 secara topikal golongan ethylen diamine pada penderita yang
telah mendapat obat lain yang mempunyai stuktue yang mirip
(aminophyline).
2) Efek sedasi akan meningkat bila antihistamin H1 diberikan
bersama obat antidepresan atau allkohol.
3) Golongan phenotiazine dapat menghambat efek vasopressor dari
ephinefrin.
4) Efek antikolinergik dari antihistamin akan menjadi lebih berat dan
lebih lama diberikan bersama obat inhibitor monoamine
(procarbazine, furazolidone, isocarboxazid).

2.3. Dekongestan Nasal


a. Mekanisme Kerja
α –agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada penderita
rhinitis alergika atau rhinitis vasomotor dan pada penderita infeksi saluran
napas atas dengan rhinitis akut.Obat-obat ini menyebabkan venokontriksi
dalam mukosa hidung melalui reseptor α1 sehingga mengurangi volume
mukosa dan dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung.
Reseptor α2 terdapat pada arteriol yang membawa suplai makanan
bagi mukosa hidung.Vasokontriksi arteriol ini oleh α2 agonis dapat
menyebabkan kerusakan struktural pada mukosa tersebut.Pengobatan dengan
dekongestan nasal sering kali menimbulkan hilangnya efektivitas pada
pemberian kronik,serta rebound hyperemia dan memburuknya gejala bila obat
dihentikan.Mekanismenya belum jelas,tetapi mungkin melibatkan
desensitisasi reseptor dan kerusakan mukosa.α1 agonis yang selektif lebih
kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kerusakan mukosa.
b. Penggolongan dan Penggunaan Dekongestan
1) Macam-macam dekongestan:
Dekongestan Sistemik, seperti pseudoefedrin, efedrin, dan
fenilpropanolamin. Dekongestan sistemik diberikan secara oral (melalui
mulut). Meskipun efeknya tidak secepat topikal tapi kelebihannya tidak
mengiritasi hidung. Dekongestan sistemik harus digunakan secara hati-hati
pada penderita hipertensi, pria dengan hipertrofi prostat dan lanjut usia. Hal ini
disebabkan dekongestan memiliki efek samping sentral sehingga
menimbulkan efek samping takikardia (frekuesi denyut jantung
berlebihan), aritmia (penyimpangan irama jantung), peningkatan tekanan
darah atau stimulasi susunan saraf pusat.
Efedrin
Efedrin adalah alkaloid yang dikenal sebagai obat simpatomimetik
aktif pertama secara oral. Efedrin sebagai obat adrenergik dapat bekerja ganda
dengan cara melepaskan simpanan norepinefrin dari ujung saraf dan mampu
bekerja memacu secara langsung di reseptor α dan β.
Pada sistem kardiovaskuler, efedrin meninggikan tekanan darah baik
sistolik maupun diastolik melalui vasokonstriksi dan terpacunya
jantung. Efedrin berefek bronkodilatasi tetapi lebih lemah dan lebih lambat
dibandingkan epinefrin atau isoproteronol. Efedrin memacu ringan SSP
sehingga menjadi sigap, mengurangi kelelahan, tidak memberi efek tidur dan
dapat digunakan sebagai midriatik.
Efedrin digunakan sebagai dekongestan hidung, bekerja sebagai
vasokonstriktor lokal bila diberikan secara topikal pada permukaan mukosa
hidung, karena itu bermanfaat dalam pengobatan kongesti hidung pada Hay
fever, rinitis alergi, influenza dan kelainan saluran napas atas lainnya.
Dosis : pada asma, oral 3—4 dd 25-50 mg (HCl), anak-anak 2-3 mg/kg
sehari dalam 4-6 dosis. Nama Paten : Asmasolon.
Pseudoefedrin
Isomer dekstro dari efedrin dengan mekanisme kerja yang sama,
namun daya bronkodilatasinya lebih lemah, tetapi efek sampingnya terhadap
SSP dan jantung lebih ringan. Obat ini, jika masuk ke dalam sistem saraf
pusat, dapat menyebabkan kecemasan, peka rangsangan, dan gelisah. Efek
samping lainnya berupa denyut jantung lebih cepat, insomnia, efek alergi pada
kulit, kulit kering, retensi urin, anoreksia, halusinasi, sakit kepala, mual, dan
sakit perut. Pseudoefredin juga dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke.
Obat ini banyak digunakan dalam sediaan kombinasi untuk flu.
Dosis : oral 3-4 dd 60 mg (HCl, sulfat)
Nama Paten : Sinutab, Sudafed, Polaramin
Fenilpropanolamin
Derivat tanpa gugus C-H pada atom N dengan khasiat yang
menyerupai efedrin. Kerjanya lebih panjang, efek sentral dan efek jantungnya
labih ringan. Namun, berdasarkan Food and Drug Administration Amerika
(FDA) menganjurkan untuk tidak menggunakan tiap produk yang
mengandung fenilpropanolamin.
Dosis : oral 3-4 dd 15-25 mg.
Nama Paten : Triaminic, Sinutab, Rhinotusal

Dekongestan Topikal, digunakan untuk rinitis akut yang merupakan


radang selaput lendir hidung. Bentuk sediaan dekongestan topikal berupa
balsam, inhaler, tetes hidung atau semprot hidung. Dekongestan topikal
(semprot hidung) yang biasa digunakan yaitu oxymetazolin, xylometazolin,
tetrahydrozolin, nafazolin yang merupakan derivat imidazolin. Penggunaan
dekongestan topikal dilakukan pada pagi dan menjelang tidur malam, dan
tidak boleh lebih dari 2 kali dalam 24 jam.
Dekongestan topikal terutama berguna untuk rhinitis akut karena
tempat kerjanya yang lebih selektif,tetapi obat-obat ini cenderung untuk
digunakan secara berlebihan oleh penderita,sehingga menimbulkan
penyumbatan yang berlebihan.Dekongestan oral jauh lebih kecil
kemungkinannya untuk menimbulkan rebound congestion,tetapi lebih besar
risikonya untuk menimbulkan efek samping sistemik.
Derivat Imidazolin
Senyawa ini memiliki efek alfa adrenergik langsung dengan
vasokonstriksi tanpa stimulasi SSP. Khususnya digunakan sebagai
dekongestan pada selaput lendir yang bengkak di hidung dan mata, pilek,
selesma (rhinitis, coryza), hay fever, sinusitis, dsb.
Bayi dan anak kecil sebaiknya jangan diberikan dalam jangka waktu
lama untuk obat ini karena dapat diabsorbsi dari mukosa dengan menimbulkan
depresi SSP. Gejalanya berupa rasa kantuk, pening, hipotermi, bradikardi,
bahkan juga koma pada kasus overdosis. Sifat ini bertentangan dengan
kebanyakan adrenergik yang justru menstimulasi SSP.
Yang paling banyak digunakan adalah :
 Naphazolin
 Xylometazolin
 Oksimetazolin
 Tetrahidrozolin
Oxymetazolin
Derivate imidazolin ini bekerja langsung terhadap reseptor alfa tanpa
efek reseptor beta. Setelah diteteskan di hidung, dalam waktu 5-10 menit
terjadi vasokonstriksi mukosa yang bengkak dan kemampatan hilang. Efeknya
bertahan hingga 5 jam.
Efek sampingnya dapat berupa rasa terbakar dan teriritasi pada selaput
lender hidung dengan menimbulkan bersin.
Dosis : anak-anak di atas 12 tahun dan dewasa 1-3 dd 2-3 tetes larutan
0,05% (HCl) di setiap lubang hidung; anak-anak 2-10 tahun larutan 0,025%
(HCl)
Nama Paten : Afrin, Iliadin, Nasivin
Xylometazolin
Adalah derivate dengan daya kerja dan penggunaan yang sama.
Dosis : nasal 1-3 dd 2-3 tetes larutan 0,1% (HCl), maksimum 6 kali
sehari. Anak-anak 2-6 tahun larutan 0,05%.
Nama Paten : Otrivin
Nafazolin
Adalah derivate yang paling tua dengan sifat yang sama, tetapi kerjanya
lebih singkat rata-rata 3 jam. Naphazolin adalah senyawa simpatomimetik yang
ditandai dengan aktivitas alfa adrenergiknya. Naphazoline adalah
vasokontriktor dengan kerja cepat dalam mengurangi pembengkakan pada
pemakaian membran mukosa. Naphazoline bekerja pada reseptor di arteri
konjungtiva yang menjadi konstriksi sehingga menghasilkan penurunan
penyumbatan/kongesti.
Dosis : okuler 1-4 dd 1-2 tetes larutan 0,05-0,1% (HCl).
Nama Paten : Albalon, Privin, Vasacon

Tetrahidrozolin
Merupakan derivate dari imidazolin yang bekerja dengan cara
menyebabkan vasokonstriksi pada saluran darah di mata.
Efek samping : menyebabkan kemerahan persisten dengan penggunaan
berlebih, merusak pembuluh darah dalam mata akibat penggunaan berlebih,
dapat terjadi glaucoma secara tiba-tiba (namun, jarang terjadi ).
Nama Paten : Visine, Murine Plus

2.4. Obat Tetes Telinga


1. Pelunak serumen
Serumen (kotoran telinga) adalah campuran sekresi kelenjar keringat
dan kelenjar sebasea dari saluran telinga bagian luar. Tumpukan kotoran
telinga yang berlebihan dalam telinga dapat menimbulkan gatal, rasa sakit,
gangguan pendengaran dan merupakan penghalang bagi pemeriksaan secara
otologik. Baru-baru ini, larutan surfaktan sintetik dikembangkan untuk
aktivitas cerumenolitik dalam melepaskan lilin telinga. Salah satu bahan ini,
kondensat dari trietanolamin polipeptida oleat, dalam perdagangan
diformulasikan dalam propilen glikol, yang digunakan sebagai pengemulsi
kotoran telinga sehingga membantu pengeluarannya.

2. antiinfeksi, antiradang, dan analgetik


Obat-obat yang digunakan pada permukaan bagian luar telinga untuk
melawan infeksi adalah zat – zat seperti kloramfenikol, kolistin sulfat,
neomisin, polimiksin B sulfat dan nistatin. Pada umumnya zat – zat ini
diformulasikan ke dalam bentuk tetes telinga (larutan atau suspensi) dalam
gliserin anhidrida atau propilen glikol. Pembawa yang kental ini
memungkinkan kontak antara obat dengan jaringan telinga yang lebih lama.
Selain itu karena sifat higroskopisnya, memungkinkan menarik
kelembaban dari jaringan telinga sehingga mengurangi peradangan dan
membuang lembab yang tersedia untuk proses kehidupan mikroorganisme
yang ada. Untuk membantu mengurangi rasa sakit yang sering menyertai
infeksi telinga, beberapa preparat otik antiinfeksi juga mengandung bahan
analgetika dan anestetika lokal seperti lidokain dan benzokain. pH optimum
untuk larutan berair yang digunakan pada telinga utamanya adalah dalam pH
asam. Fabricant dan Perlstein menemukan range pH antara 5 – 7,8. keefektifan
obat telinga sering bergantung pada pH-nya.
Penggunaan Klinik
Obat tetes telinga yang diberikan pada kasus OMSK yang mengandung
antibiotik diberikan selama 7-10 hari. Apabila cairan di telinganya sangat
banyak maka berikan lebih dahulu H2O2 3% tetes telinga selama 3-5 hari
untuk mengeringkan cairan sehingga obat dapat masuk dengan baik ke dalam
telinga. Apabila disertai dengan infeksi pada hidung atau tenggorakan maka
dapat disertai pula dengan pemberian antibiotik minum seperti Amoksisilin
atau Amoksisilin + Asam Klavulanat selama 5-10 hari.
Obat tetes telinga yang dapat diberikan adalah yang mengandung
antibiotik seperti yang mengandung kloramfenikol, neomicin-polimixcin
hidrokortison, gentamisin atau yang mengandung ofloxacin.

Erlamycetin
Tetes telinga Erlamycetin mengandung 1% Chloramphenicol base di
dalam larutan tetes telinga.
Indikasi:
Infeksi superfisial pada telinga luar oleh kuman gram positif atau gram
negatif yang peka terhadap Chloramphenicol.
Kontra Indikasi:
- Bagi penderita yang sensitif terhadap Chloramphinicol.
- Perforasi membran timpani.
Cara Pemakaian:
Teteskan ke dalam lubang telinga 2 - 3 tetes, 3 kali sehari.
Hindarkan penggunaan jangka lama karena dapat merangsang
hipersensitivitas dan superinfeksi oleh kuman yang resistan . Obat tetes ini
hanya bermanfaat untuk infeksi yang sangat superfisial, infeksi yang dalam
memerlukan terapi sistemik.
Efek samping:
Iritasi lokal, seperti gatal, rasa panas, dermatitis vesikuler dan mukolopapular.
Kemasan:
Botol @ 10 ml.

Garamycin
Komposisi: Gentamicin sulfate
Indikasi: Terapi topikal untuk otitis eksterna
Dosis: 3-4 tetes 2-4 x/hari
Efek toksisitas terhadap nervus kranial VII perlu dipertimbangkan (Djuanda,
dkk., 2009).
Tarivid Otic
Komposisi: Ofloxacin
Indikasi: Terapi topikal untuk otitis eksterna, otitis media supuratif kronik, dan
otitis media akut
Dosis: dewasa 6-10 tetes 2x/hari. Anak 3-5 tetes 2x/hari.
Kontraindikasi: hipersensitivitas
Efek samping: jarang terjadi berupa nyeri telinga dan superinfeksi (Djuanda,
dkk., 2009).

2.5. Penggunaan Steroid pada Penyakit THT


Kortikosteroid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal.
Hormon ini penting untuk fungsi fisiologik dan metabolik dalam tubuh.
Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah,
otot dan resistensi tubuh. Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan
radang dan penyakit imunologik. Efek antiinflamasi dan imunosupresifnya
sukar dipisahkan secara tegas oleh karena respon inflamasi merupakan bagian
dari respon imun. Efek imunosupresif kortikosteroid yaitu menekan respon
imun humoral juga menekan respon imun seluler.
Fungsi dan peran glukokortikoid:
1. Efek terhadap Metabolisme
Karbohidrat
 Meningkatkan glukoneogenesis
 Mengurangi penggunaan glukosa di jaringan perifer dengan cara
menghambat uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan mungkin melalui
hambatan transporter glukosa.
Lemak
 Meningkatkan lipolisis dijaringan lemak
 Pada penggunaan khronis dapat terjadi redistribusi sentral lemak didaerah
dorsocervical,bagian belakang leher ( “ Buffalo hum ),muka ( “ moon face ” )
supraclavicular,mediastinum anterior dan mesenterium.Mekanisme terjadinya
redistribusi ini tidak jelas.
Protein
Meningkatkan pemecahan protein menjadi asam amino di jaringan perifer yang
kemudian digunakan untuk glukoneogenesis.

2. Efek terhadap proses peradangan dan fungsi immunologis


Produksi normal dari glukokortikoid endogen tidak akan berpengaruh
secara bermakna terhadap proses peradangan dan penyembuhan. Kelebihan
glukokortikoid endogen dapat menekan fungsi immunologis dan dapat
mengaktivasi infeksi latent. Efek immunosupressi ini digunakan dalam
pengobatan penyakit-penyakit autoimmune, proses inflammasi dan
transplantasi organ.
Peran glukokortikoid dalam proses immunologis dan inflammasi adalah:
 Merangsang pembentukan protein yang menghambat phospholipase A2
sehingga mencegah aktivasi kaskade asam arakhidonat dan pengeluaran
prostaglandin. Menurunkan jumlah limfosit dan monosit diperifer dalam 4 jam,
hal ini terjadi karena terjadi redistribusi temporer limfosit dari intravaskular
kedalam limpa,kelenjar limfe,ductus thoracicus dan sumsum tulang
 Meningkatkan pengeluaran granulosit dari sumsum tulang kesirkulasi,tapi
menghambat akumulasi netrofil pada daerah peradangan.
 Meningkatkan proses apoptosis
 Menghambat sintesis cytokine
 Menghambat nitric oxyda synthetase
 Menghambat respon proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating
Factor dan differensiasinya menjadi makrofag
 Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag
 Menghambat pengeluaran sel-sel radang dan cairan ketempat keradangan
 Menghambat plasminogen activators yang merubah plasminogen
menjadi plasmin yang berperan dalam pemecahan kininogen menjadi kinin
yang berfungsi sebagai vasodilator dan meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah.
3. Efek glukokortikoid terhadap muskuloskeletal dan jaringan ikat
Tulang :
 Pada pemakaian yang lama dapat menghambat fungsi osteoblast dan
mengurangi pembentukan tulang baru menyebabkan terjadinya osteopenia.
 Meningkatkan jumlah osteoclast.
 Secara tidak langsung mengurangi absorbsi calcium di saluran cerna.
 Efek sekunder glukokortikoid juga meningkatkan Parathyroid hormon
dalam serum.
 Meningkatkan ekskresi calcium di ginjal.
Otot :
Glukokortikoid meningkatkan pemecahan asam amino dari otot untuk
digunakan dalam glukoneogenesis,sehingga dalam pemakaian lama dapat
menyebabkan kelainan otot ( myopathy) yang berat.
Jaringan Ikat :
 Glukokortikoid menyebabkan supressi fibroblas DNA dan RNA,serta
sintesis Protein.
 Juga menyebabkan supresi sintesis matriks intraselular (kolagen &
hyalurodinat) Pemakaian lama dapat menyebabkan gangguan proses
penyembuhan luka,apalagi gerakan makrofag kedaerah keradangan juga
menurun pada pemberian steroid yang lama sehingga akan mempersulit
penyembuhan luka.

4. Efek neuropsikiatri
Glukokortikoid mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku
seperti pola tidur, kognitif dan penerimaan input sensoris.Pada penelitian-
penelitian yang dilakukan pada penderita yang mendapatkan steroid exogen
sering menunjukkan euphoria,mania bahkan psikosis.Penderita dengan
insuffisiensi adrenal juga dapat menunjukkan gejala-gejala psikiatris
terutama depresi, apati dan letargi.
5. Efek terhadap Saluran Gastrointestinal
 Glukokortikoid mempunyai efek langsung terhadap transport ion natrium
di colon melalui reseptor glukokortikoid.
 Pemakaian yang lama meningkatkan terjadinya resiko ulkus peptikum
disaluran cerna bagian atas.Mekanisme terjadinya belum diketahui,mungkin
melalui hambatan penyembuhan luka yang disebabkan factor-faktor lain.
 Penggunaan dalam waktu singkat tidak akan menyebabkan terjadinya
ulkus peptikum.
6. Efek terhadap pertumbuhan
Pada anak dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan
linier,penyebabnya belum diketahui secara pasti, diduga melalui hambatan
hormon pertumbuhan.
7. Efek pada paru
Dapat merangsang pembentukan surfakan oleh sel pneumatosit II.

Toksisitas Glukokortikoid
1. Akibat yang bisa terjadi pada penghentian terapi steroid adalah:
 Kambuhnya kembali penyakit yang kita obati
 Insufusiensi adrenal
2. Akibat terapi steroid dosis suprafisiologis
Penekanan kerja korteks adrenal

Efek Samping
1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : edema, hipokalemia,
alkalosis, hipertensi, hiperglikemia.
2. Infeksi
Bisa mengaktifasi infeksi laten.Pada penderita-penderita dengan infeksi
pemberian glukokortikoid hanya diberikan bila sangat dibutuhkan dan harus
dengan perlindungan pemberian antibiotika yang cukup.
3. Ulkus Peptikum
Hubungan antara glukokortikoid dan terjadinya ulkus pepticum ini masih
belum diketahui. Mungkin melalui efek glukokortikoid yang menurunkan
perlindungan oleh selaput lendir lambung (mucous barrier),mengganggu proses
penyembuhan jaringan dan meningkatkan produksi asam lambung dan
pepsinogen dan mungkin oleh karena hambatan penyembuhan luka-luka oleh
sebab-sebab lain
4. Myopati
Terjadi karena pemecahan protein otot-otot rangka yang dipakai sebagai
substrat pembentukan glukosa. Miopati ini ditandai dengan kelemahan otot-
otot bagian proksimal tangan dan kaki. Pada penderita asma bronchiale dengan
pemakaian khronis glukokortikoid dapat keadaan ini dapat memperburuk
keadaan bila kelemahan terjadi pada otot pernafasan.
5. Perubahan tingkah laku
Gejala yang bisa timbul bervariasi : nervous, insomnia, euphoria, psychosis.
6. Pada mata
Efek glukokortikoid terhadap terjadinya katarak paralel dengan dosis dan lama
pemberian dan proses dapat terus berlangsung meskipun dosis sudah dikurangi
atau dihentikan. Glukokortikoid juga dapat menginduksi terjadinya glaukoma.
7. Osteoporosis
Osteoporosis dan fraktura kompressif sering terjadi pada penderita-penderita
yang mendapat terapi glukokortikoid dalam jangka lama, terutama terjadi pada
tulang dengan struktur trabeculae yang luas seperti tulang iga dan vertebra.
8.Osteonekrosis
Terjadi nekrosis aseptic tulang sesudah pemakaian glukokortikoid yang lama
meskipun osteonekrosis juga dilaporkan terjadi pada pemberian jangka
pendek dengan dosis besar. Osteonekrosis sering terjadi pada caput femoris .
9. Gangguan pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan pada anak bisa terjadi dengan dosis yang relatif kecil.
Mekanisme yang pasti dari gangguan pertumbuhan ini belum
diketahui.Pemberian glukokortikoid antenatal pada binatang percobaan
menyebabkan terjadinya cleft palate dan gangguan tingkah laku yang
kompleks.
Glukokortikoid jenis yang fluorinated (dexamethasone, betamethasone,
beclomethasone, triamcinolone ) dapat menembus barier placenta, oleh karena
itu walaupun pemberian glukokortikoid antenatal dapat membantu pematangan
paru dan mencegah RDS namun kita tetap harus waspada terhadap
kemungkinan terjadinya gangguan pertumbuhan/perkembangan janin.
Penggunaan Klinik di bidang THT
Polip nasi
Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid
intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan
sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada
perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid sistemik.
Dosis kortikosteroid saat ini belum ada ketentuan yang baku,
pemberian masih secara empirik misalnya diberikan Prednison 30 mg per hari
selama seminggu dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama seminggu.

Rhinitis Alergi
Pada umumnya diberikan steroid topical dalam bentuk nasal spray.
Contoh-contoh dari steroid-steroid hidung termasuk:
 beclomethasone (Beconase),
 flunisolide (Nasarel),
 budesonide (Rhinocort),
 fluticasone propionate (Flonase),
 mometasone furoate (Nasonex), dan
 luticasone furoate (Veramyst).
Obat steroid oral [prednisone, methylprednisolone (Medrol),
hydrocortisone (Hydrocortone, Cortef)] sangat efektif pada pasien-pasien
alergi. Ini dicadangkan hanya untuk kasus-kasus yang sangat parah yang tidak
merespon pada perawatan yang biasa dengan steroid-steroid hidung dan
antihistamin.
Sinusitis atau Rhinosinusitis
Biasanya diterapi dengan steroid topical (nasal spray) dan steroid
sistemik.

OMSK (Otitis Media Supuratif Kronik)


Biasanya diberikan dalam bentuk obat tetes telinga. Dan diberikan
bersama dengan antiinfeksi.

Otitis Eksterna
Infeksi telinga luar dapat diobati dengan kortikosteroid (suspensi atau
larutan) dalam propilen glikol dan polietilen glikol. Penggunaan bahan ini juga
kadang bersamaan dengan antibiotik yang selektif.

Nasal Spray Golongan Steroid


Berikut beberapa semprot steroid yang biasa digunakan untuk
penanganan rhinosinusitis atau sinusitis:
Fluticasone propionate
Fluticasone propionate adalah suatu kortikosteriod trifluorinasi yang
bisa diberikan dalam formula intra. Studi in vitro pada cloned human
glucocorticoid receptor system tampak 3 -5 kali lebih potensial ketimbang
dexamethasone. Pada uji klinis pada dewasa, fluticasone propionate dalam
spray menurunkan eosinofil mukosa nasal 66% (plasebo 35%) dan basofil 39%
(placebo 28%). Spray ini, seperti kortikosteroid lainnya tidak memiliki efek
yang mulai segera atau cepat mengatasi gejala alergi. Pengurangan gejala
dicatat terjadi setelah 12 jam pemberian spray. Serupa juga dengan kortisteroid
jenis lain, saat pemberian dihentikan, gejala tidak muncul untuk beberapa hari.
Bagaimana mekanisme fluticasone propionate mengatasi gejala
rhinitis alergi atau sinusitis tidak diketahui. Tapi diperkirakan kortikosteroid
berefek pada sejumlah besar sel (sel mast, eusinofil, neutrofil, makrofag, dan
limfosit) dan banyak mediator (histamin, eikoanoid, leukotrien, dan sitokin)
yang terlibat dalam proses inflamasi.
Indikasi
Mengobati dan sebagai profilaksis rhinitis alergi musiman atau
perennial dan sinusitis.
Dosis & Cara Pemberian
Dewasa dan anak 12 tahun keatas : 2 semprotan pada tiap lubang
hidung (tiap semprot mengandung 50 mcg fluticasone propionate) sekali
sehari, dianjurkan pada pagi hari. Pada beberapa kasus kadang dibutuhkan 2
semprotan 2 kali sehari. Maksimal semprotan tiap hidung per hari adalah 4
semprot.
Anak usia 4-11 tahun : satu semprotan per hari untuk tiap lubang
hidung dan sebaiknya diberikan pada pagi hari. Pada beberapa kasus, kadang
dibutuhkan satu semprot dua kali sehari. Maksimal semprotan per hari adalah 2
semprot untuk tiap lubang hidung.
Peringatan
Hati-hati pada pasien hamil dan infeksi saluran hidung. Hati-hati saat
mengalihkan pasien dari terapi steroid sistemik. Terapi tambahan perlu
diberikan selama musim panas yang banyak alergen.
Efek Samping
Hidung dan tenggorokan kering terkadang disertai iritasi, rasa tidak
enak, bau dan epitaksis .

Budenoside
Budesonide adalah kortikosteroid sintetik yang memiliki aktivitas
glukokortikoid potensial dan aktivitas mineral kortikoid lemah. Budesonide
diperkirakan mengatasi alergi rhinitis atau sinusitis melalui aktivitas
hambatannya pada serangkaian luas sel (yakni sel mast, eosinofil, neutrofil,
makrofag, dan limfosit) dan mediator (histamine, eicosanoid, leukotrien, dan
sitokin) yang terlibat dalam inflamasi yang dimediatori oleh alergen.
Budesonide diabsorpsi relatif baik setelah pemberian inhalasi maupun
oral, dan secara cepat dimetabolisme menjadi metabolit dengan potensi
kortikosteroid rendah. Setelah pemberian intranasal budesonide, kadar puncak
plasma dicapai pada sekitar 0,7 jam. Sekitar 34% dari dosis intranasal
mencapai sirkulasi sistemik dibandingkan dengan pemberian intravena.
Budesonide yang diabsorpsi dari saluran cerna, bioavailabilitasnya rendah
sekali sekitar 10%. Hal ini karena efek metabolisme lintas pertama yang cukup
ekstensif di hati.
Ikatan protein budesonide secara in vitro terlihat konstan (85–90%)
dari suatu range konsentrasi (1-100 nmol/L). Waktu paruh terminal sekitar 2-3
jam. Setelah pemberian nasal spray pada anak tampak bahwa konsentrasi
puncak plasma dan waktu paruh sama antara anak dan dewasa. Anak memiliki
kadar plasma dua kali orang dewasa terutama untuk mereka dengan perbedaan
bobot badan.
Indikasi
Mengobati dan sebagai profilaksis rhinitis alergi musiman atau
perennial dan sinusitis.
Dosis & Cara Pemberian
Dosis awal untuk dewasa dan anak >6 tahun : 64 mcg per hari.
Berikan 2 semprotan (64 mcg) tiap lubang hidung pada pagi hari atau satu
semprotan (32 mcg) pada pagi hari dan satu semprotan lagi di malam hari.
Dosis maksimum dewasa dan anak >12 tahun : 256 mcg per hari yang
diberikan 4 semprot tiap lubang hidung sekali sehari. Sementara dosis
maksimum anak (<12 tahun) yang direkomendasikan adalah 128 mcg per hari
diberikan 2 semprotan tiap hidung sekali sehari.
Efek Samping
Perdarahan ringan di hidun dan kadang juga bersin.

2.6. Antivertigo
Betaserc
Komposisi: betahistine diHCl
Indikasi: terapi simtomatis untuk vertigo, penyakit Meniere dan gejala yang
mnyerupai penyakit Meniere seperti vertigo, tinitus, hilangnya pendengaran,
dan biasanya disertai mual dan muntah.
Dosis: 1 tablet 3x/hari. Maksimal 6 tablet/hari dalam dosis terbagi.
Perhatian: penderita feokromositoma atau asma bronkial, riwayat ulkus
peptikum.
Efek samping: keluhan ringan pada ulu hati, ruam kulit

Dramamine
Komposisi: dimenhydrinate
Indikasi: mencegah dan meredakan mabuk perjalanan dan mengobati vertigo,
mual atau muntah sehubungan dengan terapi elektrosyok, anestesi dan
pembedahan, gangguan sistem labirin, dan sakit akibat radiasi.
Dosis: tablet dewasa 50-100 mg 3-4x/hari. Anak 12 tahun 50 mg 2-3 x/hari, 8-
12 tahun 25-50 mg 2-3 x/hari, 6-8 tahun 12,5-25 mg 2-3 x/hari. Mencegah
mabuk perjalanan: dosis awal diberikan 30 menit sebelum bepergian.
Perhatian: bersama antibiotik menyebabkan ototoksik.
Efek samping: mengantuk

Nufapreg
Komposisi: prometazine theoclate
Indikasi: pengobatan dan pencegahan mual dan muntah yang berhubungan
dengan gastroenteritis, vertigo karena sindrom Meniere dan labirintitis, mabuk
kendaraan dan mual pasca operasi.
Dosis: dewasa 1 tablet tiap malam. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 2-3 tablet
tiap malam atau 1 x/hari bila perlu. Pencegahan mabuk kendaraan: untuk
perjalanan jauh 1 tablet tiap malam sebelum tidur, mulai semalam sebelum
bepergian. Perjalanan pendek 1 tablet 1-2 jam sebelum bepergian. Pengobatan
mabuk kendaraan 1 tablet dilanjutkan dengan pemberian tablet ke-2 pada
waktu yang sama di sore hari dan tablet ke-3 pada sore hari berikutnya.
Kontarindikasi: asma, hipersensitif.
Efek samping: mengantuk, sedasi, penglihatan kabur, disorientasi, peningkatan
tekanan darah, ruam kulit, dan fotosensitivitas.
Interaksi obat: alkohol, analgesik narkotik, hipnotik, sedatif, barbiturat,
transquilizer

2.7. Antijamur
Ketokonazol dan nystatin adalah dua jenis fungisida yang sering
digunakan pada kasus otomikosis. Selain itu nystatin adalah obat pilihan pada
candidiasis orofaring.
Ketokonazol, suatu fungisida golongan azol merupakan obat dari
dolongan ini yang bekerja efektif pada pemberian oral dan baik untuk beberapa
mikosis sistemik. Golongan ini bekerja dengan menghambat biosintesis jamur.
Berguna untuk candidiasis oral dan vagina, beberapa dermatofitosis, dan
kandidiasis mukokutan pada anak-anak kurang imun.
Dosis 200-600 mg/hari menekan dengan baik manifestasi klinik dari
parakoksidiomikosis dan blastomikosis, bahkan kadang histoplasmosis. Pada
pemberian oral, absorbs dan distribusi sistemiknya baik, kecuali ke SSP.
Efek samping ketokonazol berupa mual, muntah, rash pad kulit, sampai
peningkatan transaminase serum.
Nystatin adalah makrolid polien yang bekerja denganberikatan pada
sterol membrane sel jamur dan membentuk pori yang mengganggu transport
membrane dan membunuh sel jamur. Kerja nystatin terbatas padatempat di mana
obat ini berkontak langsung dengan jamur atau ragi.
Nystatin diberikan secara topikal pada kulit atau mukosa (bukal, vagina)
dalam bentuk salep, tepung, atau supositoria untuk menekan infeksi candida.
Nystatin oral diberikan pada infeksi kandida di usus.
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi, ddk.2009.MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 8. Jakarta:


PT Info Master.
Istiantoro, Yati H. & Gan, Vincent H. S. 2005. Penisilin, Sefalosporin dan
Antibiotik Betalaktam lainnya dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
Bagian Farmakologi FKUI.
Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.
Mycek, Mary J, Harvey, Richard A & Champe, Pamela C. 2001.
Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika.
Putra, Imam Budi. 2008. Pemakaian Antihistamin pada Anak. Medan: FK USU.

Anda mungkin juga menyukai