Anda di halaman 1dari 22

BAB I STATUS PASIEN

Identitas Pasien Nama Umur : Nn.Sherly : 11 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Pekerjaan : OT/ ibu rumah tangga

Anamnesa Keluhan Utama : Suara Serak sejaka kemarin

Riwayat Penyakit Sekarang : Os datang ke poli klinik THT dengan keluhan suara serak, kemarin sore sekitar pukul 5 sore os dicekik dan dipukul oleh tetangganya lalu setelah itu os pingsan. Sejak saat itu os mengeluhkan suaranya menjadi serak, sesak disangkal, sakit pada saat menelan ( ), nyeri + pada leher disangkal.

Pemerikssan Fisik Status Generalis Keadaan Umum Kesadaran Kepala dan Leher Kepala Leher : Mata : CA (-/-), SI (-/), Reflek Cahaya (+/+) : Inspeksi Palpasi Hidung Cairan : - Encer - Kental : : : Deformitas (-), jejas (-) : Emfisema subkutan (-), Nyeri (-) krepitasi (-) kanan kiri 1

: Baik : Compos Mentis

- Darah - Nanah

: :

y y

Berbau Tumpat

: :

y y y y

Penciuman Sakit Gatal Bersin-bersin

: : : :

baik -

baik -

Telinga
y

kanan : - Encer - Kental - Darah - Nanah : : : : : : : : : : : N -

kiri N -

Cairan

y y y y y y y

Gatal Dikorek Sakit Bengkak Pendengaran Tinitus Mengunyah sakit

Kerongkongan Sakit menelan Sangkut menelan Seperti ada benda Terasa kering Gatal Lendir : : : : : : + -

y y y y y y

Laring
y y y

Suara Serak Sesak Nafas Batuk

: : :

+ -

Telinga Daun telinga Bentuk Bisul Luka Cairan Fistel Othematom Tumor/kista Lain-lain : : : : : : : : kanan N kiri N -

y y y y y y y y

Peri aurikuler

depan kanan

belakang kiri kiri 3

y y y y y y y y

Benjolan Fistel Luka Nanah Darah Granulasi Nyeri tekan Lain-lain Liang telinga Atresia Serumen Granulasi Polip Fistel Tumor

: : : : : : : :

kanan

y y y y y y

: : : : : :

Nyeri tekan Membrana timpani Bentuk Warna Reflek cahaya Atropi Pengapuran Perforasi Retraksi Granulasi Bulla/vesikel Tes pendengaran Penala - 512 Rinne Weber Scwabach

kanan

kiri N putih mutiara +N kiri

y y y y y y y y y

: : : : : : : : :

N putih mutiara +N kanan

: : : :

+ + lateralisasi (-) Sama

+ + lateralisasi (-) sama

y y y

Hidung Bentuk Luka Cairan Krusta Bisul Fraktur : : : : : : N -

y y y y y y

Rinoskopi anterior Vestibulum - secret - bisul - ragaden - maserasi


y

kanan

kiri

: : : : :

N
4

Cavum nasi

Selaput lendir - warna - permukaan

: : : : : : : : : : : : : : : :

merah muda licin N N N N -

merah muda licin N N N N -

y y y y y

Konka media Konka inferior Meatus media Meatus inferior Septum - deviasi - abses - krusta - perforasi

Cairan - darah - nanah

y y y y

Secret Polip Tumor Corpus alienum

Rinoskopi Posterior

: tidak dilakukan

Mulut
y y y y y y

Bibir Lidah Pallatum molle Pallatum durum Dasar mulut Gigi : - caries - radiks - abses

: : : : : : : :

t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k -

- tumor gusi : Orofaring

Selaput lendir - Warna - Permukaan

: merah muda : : : : : : -

y y y y y

Ulkus Beslag Abses Limf folikel Korpus alienum

Tonsil pallatina Permukaan Warna Besar Beslag Sikatrik Lacuna Krista Perlengketan Korpus alienum : : : : : : : : :

kanan rata merah muda T1 -

kiri rata merah muda T1 -

y y y y y y y y y

Laringoskopi direk Pita suara edema (+)

Pemeriksaan Penunjang Radiologi Laboratorium Diagnosa kerja Edema pita suara ec. Trauma laring : tidak dilakukan : tidak dilakukan

Prognosa Dubia ad bonam


6

Terapi
y y y

Kortikosteroid Antibiotik ( sefadroksil syr 3x1 cth) Analgetik (parasetamol 3x1 cth)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Laring memiliki tiga fungsi penting yakni sebagai proteksi jalan nafas, pengaturan pernafasan dan menghasilkan suara. Kerusakan pada laring akibat trauma dapat sangat parah. Untungnya, trauma laring ini sangatlah jarang ditemukan dan hanya ditemukan pada sebagian kecil dari keseluruhan kejadian trauma. Penatalaksanaan yang terstandarisasi telah dikembangkan untuk membantu dalam mengevaluasi dan mengidentifikasi kerusakan yang membutuhkan intervensi bedah. Diagnosis dan perawatan dini sangat penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut termasuk kematian. Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka sayat, luka tusuk dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat merusak struktur laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah, dan seterusnya. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher membentur dash board dalam kecelakaan mobil, tertendang atau terpukul waktu berolahraga bela diri, berkelahi, dicekik atau usaha bunuh diri dengan menggantung diri (strangulasi) atau seorang pengendara motor terjerat tali yang terentang di jalan (clothesline injury). Fraktur laring dapat terjadi pada trauma yang mengenai daerah leher dan seringkali menimbulkan obstruksi jalan nafas yang membutuhkan perawatan seumur hidup. Oleh karena itu, pasien-pasien yang diduga mengalami fraktur laring harus diperlakukan sebagai pasien gawat darurat.

Frekuensi Trauma laring jarang ditemukan, hanya terdapat 1 dari 137.000 kunjungan pasien, 1 dari 14000-42000 kasus gawat darurat dan kurang dari 1% dari keseluruhan kejadian trauma tumpul. Jarangnya trauma ini ditemukan kemungkinan berkaitan dengan struktur laring yang terlindungi oleh organ di sekitarnya. Misalnya oleh spina servikalis di posterior dan mandibula yang tergantung di superior dan anteriornya serta oleh mekanisme refleks fleksi dari leher. Proteksi laring ini lebih besar lagi pada kanak-kanak dimana laringnya lebih superior dan sifatnya yang masih elastis. Sebagai tambahan, berkurangnya trauma laring pada pengendara kendaraan bermotor oleh karena penggunaan sabuk pengaman dan pengaman berkemudi lainnya.Kurang dari 50 % dari keseluruhan trauma laring diperkirakan adalah hasil dari trauma krikoid.
8

Wanita cenderung memiliki leher yang lebih panjang dan jenjang, membuat mereka lebih rawan untuk terkena trauma laring., khususnya trauma supraglottik. Namun secara keseluruhan pria lebih sering ditemukan mendapatkan trauma ini (77% vs 23 %), Hal ini dikarenakan aktivitas yang digeluti kaum pria jauh lebih berbahaya seperti olahraga ekstrim dan perkelahian. Pada kelompok umur yang lebih tua, trauma laring sering berkaitan dengan proses penuaan seperti telah terjadinya kalsifikasi pada tulang-tulang mereka.

Anatomi Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di bagian superiornya membuka ke dalam laringofaring, dan di inferiornya bersambung dengan trakea. Kerangka laring dibentuk oleh beberapa tulang rawan (yaitu: hioid, epiglottis, tiroid, aritenoid dan krikoid) yang dihubungkan oleh ligamentum dan digerakkan oleh otot. Tulang rawan tiroid merupakan tulang rawan terbesar dalam laring. Bentuknya yang seperti perisai memberikan perlindungan terhadap komponen internal dari laring. Kedua sayap quadrilateralnya (lamina dekstra dan sinistra) saling bertemu membentuk tonjolan laring (adams apple). Bagian superior dari tonjolannya membetuk takik tiroid. Di bagian bawah, tonjoan laring mebentuk takik tiroid inferior.

Gambar 1

Kornu superior dan inferior berasal dari margin posterior di masing-masing sisi. Kornu yang lebih rendah berartikulasi dengan sisi lateral dari tulang rawan krikoid dan membentuk sendi krikotiroid. Ligamentum tirohyoid tersambung antara kornu superior tiroid dengan kornu besar dari tulang hyoid. Membran tirohyoid membentang diantara tulang hyoid dengan permukaan atas kartilago tiroid. Membran krikotiroid membentang diantara kartilago tiroid dan krikoid. Garis oblique, tempat perlekatan dari sternohyoid, tirohyoid dan muskulus konstriktor faring inferior, berlokasi di permukaan luar dari kartilago tiroid. Seperti halnya kartilago tiroid, kartilago krikoid juga memproteksi struktur lain dalam laring. Kartilago krikoid merupakan satu-satunya struktur pendukung dari rangka laring yang berbentuk cincin yang utuh. Di bagian depan, kartilago ini membentuk pita yang relatif sempit sementara di bagian belakangnya membentuk lamina yang lebih besar yang tingginya kurang lebih 2-3 cm. Articulatio krikotiroid terjadi antar masing-masing persambungan dari lamina dan arkus. Tanduk inferior dari kartilago tiroid berartikulasi sisi demi sisi dengan kartilago krikoid.

Gambar 2

Tulang hyoid menyediakan dukungan tambahan terhadap laring. Membran yang melekat pada tulang hyoid berfungsi mengangkat laring dan mencegahnya dari aspirasi. Korpus anterior dan 2 kornu yang lebih besar mengarah ke posterior sementara 2 kornu yang lebih kecil mengarah ke superior. Epiglottis bersifat fleksibel, seperti daun, elastis dan memiliki struktur tulang rawan yang meruncing ke bawah membentuk ekstensi yang mirip kapur tulis disebut petiole. Petiole merupakan tempat perlekatan dari ligamen tiroepiglottic yang menghubungkan epiglottis
10

dengan tonjolan laring. Bagian superior dari epiglottis berlokasi di posterior lidah dan di depan aditus laringis dan tidak dilindungi oleh tulang rawan tiroid. Sementara di bagian lateralnya, lipatan ariepiglottik melekatkan epiglottis pada tulang rawan arytenoid. Ligamen hyoepiglottik dan tiroepiglottis membantu menstabilkan tulang rawan epiglottis ini. Sepasang tulang arytenoid berada di perbatasan supero-posterior dari lamina tulang rawan krikoid. Dasar segitiga dari kartilago arytenoid memiliki 3 permukaan (posterior, anterolateral, medial) untuk tempat melekatnya otot dan ligamen. Otot arytenoid transversal melekat pada permukaan posterior. Ligamen vestibular, dan otot arytenoid serta otot vokalis melekat di permukaan anterolateralnya. Sementara pada permukaan medialnya mengandung kelenjar mukus laring. Dasar dari masing-masing arytenoid juga memiliki prosessus muskular (dimana otot-otot krikooarytenoid posterior dan lateral melekat) dan sebuah prosessus vokalis antero-caudal (dimana ligamen vocalis melekat). Sendi krikoaryteoid berada di dasar dari masing-masing tulang rawan arytenoid. Kartilago kornikulata (santorini) berlokasi di superior dari kartilago arytenoid. Kartilago kuneiformis (Wrisberg) berlokasi di lateral dan superior dari kartilago kornikulata. Kartilago triticeous berlokasi didalam ligamen tirohyoid. Membran quadrangular merupakan jaringan elastis yang membentuk ligamen intrinsik dari laring salah satunya adalah ligamen vokalis. Membran quadrangular melekat di bagian posterior dari arytenoid bagian atas dan kartilago kornikulata. Ia kemudian berjalan ke bagian atas laring ke bagian lateral dari epiglottis. Batas bawah dari membran ini adalah ligamen ventrikular sementara batas atasnya merupakan bagian dari lipatan aryepiglottik. Membran konus elastikus (membran krikotiroid) menjembatani rongga diantara krikoid dan tiroid. Di bagian belakangnya, konus elastikus melekat pada arytenoid dan prosessus vokalis pada masing-masing sisi. Prosessus vokalis terproyeksi keluar membentuk ligamen vokalis., yang kemudian membentuk komissura anterior. Ligamen ventrikularis melekat pada bagian superior dari tulang arytenoid dan menyeberangi laring untuk melekat pada tulang rawan tiroid sedikit di atas ligamen vokalis. Ligamen ventrikularis membentuk batas bawah dari membran quadrangular dan turut membentul kord ventrikularis. Batas dari aditus laringis meliputi epiglottis di anterior, kartilago kornikulata di posterior dan lipatan aryepiglottis di lateralnya. Batas bawah dari l ring adalah kartilago a krikoid. Laring sendiri kemudian dibagi atas regio supraglottis (vestibulus), glottis (ventrikel) dan subglottis. Supraglottis membentang dari ceruk laryngeal ke lipatan vestibular. Lipatan vestibular (meliputi kord vokalis palsu dan kord vokalis superior) melekat di bagian depan thyroid
11

sedikit di bawah tempat perlekatan epiglottis. Di bagian belakangnya, lipatan ini melekat pada arytenoid. Ventrikel laring (ventrikel Morgagni) merupakan sebuah rongga di antara vestibular dan Plica vokalis sejati. Segmen anterior dari ventrikel ini memanjang hingga ke dalam divertikulum yang disebut sakulus laring atau apendiks ventrikel laring. Kord vokalis sejati berlokasi di bagian inferior dari ventrikel ini. Daerah di antara korda vokalis sejati di sebut glottis. Glottis merupakan bagian laring yang paling sempit. Celah glottis (rima glottis) merupakan celah yang memisahkan kord vokalis sejati dengan kartilago arytenoid. Daerah subglottis memanjang dari glottis hingga krikoid. Konus elastik membentuk batas lateral dari subglottis. Kord vokalis sejati terutama terdiri dari otot-otot tiroarytenoid yang menghubungkan arytenoid dengan bagian dalam dari kartilago tiroid. Masing-masing otot ini berjalan paralel. Bagian medialnya disebut otot vokalis dan bagian lateralnya memanjang ke superior dan masuk ke dalam tiroid. Otot-otot krikoarytenoid sangat penting untuk fungsi laring yang sempurna. Otot krikoarytenoid lateral membentang dari prosesus muskularis dari arytenoid ke bagian superolateral dari krikoid. Sementara otot krikoarytenoid posterior membentang dari prosessus muskularis arytenoid ke bagian posterior krikoid. Otot-otot ini merupakan satusatunya yang dapat mengabduksi kord vokalis. Otot-otot di interarytenoid melekatkan satu arytenoid dengan lainnya. Krikoaritenoid lateral dan interarytenoid memediasi adduksi dari kord vokalis. Otot interarytenoid merupakan satu-satunya kelompok otot yang memiliki inervasi bilateral dari nervus laring rekurren. Nervus ini menginervasi seluruh otot intrinsik lainnya. Otot krikotiroid merupakan satu-satunya otot yang di persarafi oleh cabang eksternal dari nervus laring superior( cabang kranial dari nervus X ). Otot ini berasal dari bagian bawah kartilago tiroid dan berorigo di kartilago krikoid.

Persarafan dan pembuluh darah Nervus vagus merupakan saraf sensori utama dari laring. Cabang laring internal dari nervus laring superior (cabang n.vagus) merupakan saraf sensoris untuk bagian di atas kord vokalis, termasuk indera perasa (taste buds). Nervus laring rekurren merupakan saraf sensoris untuk bagian di bawah kord vokalis dan mempersarafi seluruh otot-otot laring intrinsik. Sementara otot-otot ekstrinsik (krikotiroideus) dipersarafi oleh cabang dari nervus laring superior. Pembuluh darah yang memasuki laring berjalan paralel dengan serabut saraf dan terutama terdiri atas arteri laring superior (cabang dari arteri tiroid superior) dan arteri laring
12

inferior yang merupakan cabang dari arteri tiroid inferior. Cabang krikotiroid dari arteri tiroid superior juga turut mensuplai laring. Vena laring superior dan inferior merupakan vena dari laring. Vena-vena ini adalah cabang dari vena tiroid superior dan inferior.

Etiologi Ballanger membagi penyebab trauma laring atas : 1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi atau krikotirotomi ) dan mekanik internal (akibat tindakan endoskopi, intubasi endotrakea atau pemasangan pipa nasogaster). 2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan yang panas) dan kimia (cairan alcohol, amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup. 3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher. 4. Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vocal abuse), misalnya akibat berteriak, menjerit keras dan bernyanyi dengan suara keras.

Cedera laring secara khusus dapat dikategorikan berdasarkan kausanya, yakni cedera tajam atau tumpul dan kemudian dikategorikan lagi dalam kecepatan tinggi atau kecepatan rendah. Sebagian besar trauma laring adalah akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor atau akibat cedera terjerat tali yang terentang di jalan (clothesline injury). Sebagian kecil kasus disebabkan oleh cedera olahraga, korban tindak kejahatan, tergantung, tercekik, menelan benda korosif, inhalasi asap dan kasus-kasus efek samping pengobatan (iatrogenik).

PATOFISIOLOGI Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plia ariepiglotika dan plika ventrikularis, oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak. Selain itu mukosa faring dan laring mudah robek, yang akan diikuti dengan terbentuknya emfisema subkutis. Infeksi sekunder melalui robekan ini dapat menyebabkan selulitis, abses, atau fistel. Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan dislokasi. Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis tulang rawan, dan perikondritis. Robekan mukosa yang tidak dijahit dengan baik, yang diikuti oleh infeksi sekunder, dapat menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis, dan akhirnya stenosis. Boies (1968) membagi trauma laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan yang timbul, dalam 3 golongan :
13

1. Trauma dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema submukosa, luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan. 2. Trauma yang dapat mengakibatkan tulang rawan hancur (crushing injuries). 3. Trauma yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang. Pembagian golongan trauma ini erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer laring dan trakea, yaitu sebagai saluran nafas yang adekuat. Trauma Inhalasi Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung mencederai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran napas bawah. Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena. Trauma Intubasi Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat pemasangan atau pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering menyebabkan sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan fistula trakeoesofageal, erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata, dan ruptur bronchial (gambar 5). Jumlah pasien yang mengalami trauma laringeal akibat intubasi sebenarnya masih belum jelas, namun sebuah studi prospektif oleh Kambic dan Radsel melaporkan kira-kira 0.1 % pasien. Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan etiologi yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff dengan volume tinggi tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis trakea pada tipe trauma ini, namun trauma intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadi indikasi untuk reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada beberapa faktor resiko yang mempermudah terjadinya laserasi atau trauma intubasi.

14

Trauma Tumpul Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laringotrakea yang kemudian membentur kemudi, handle bars atau dash board. Trauma tumpul lebih sering disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan darikendaraan dan terhimpit di antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan. Hantaman langsung paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan laring, sedangkan trauma fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan robekan trakea atau laringotrakea. Kerusakan trakea akibat trauma benturan terjadi karena trakea tertekan di antara manubrium dan kolumna vertebralis. Trauma tumpul pada dada dapat menyebabkan robekan vertikal pada trakea pars membranosa atau bronkus, biasanya 2,5 cm dari karina. Trauma tumpul pada kecelakaan rumah tangga biasanya akibat tangkai pompa air dragon yang terlepas dari pegangan dan membalik menghantam leher bagian depan.

Kirsk dan Orringer serta beberapa penulis lain menyatakan bahwa trauma langsung pada leher bagian depan dapat mengakibatkan rusaknya cincin trakea maupun laring. Berkowitz melaporkan trauma tumpul langsung pada daerah leher dapat menyebabkan ruptur trakea pars membranosa. Hal ini terjadi akibat tekanan intraluminer yang mendadak tinggi pada posisi glotis yang tertutup akan menyobek bagian trakea yang terlemah (trakea pars membranosa). Mekanisme lain yang cukup berperan adalah trauma tumpul akan menekan kartilago trakea yang berbentuk U ke tulang vertebrae, hal ini menjelaskan kenapa laserasi yang terjadi cenderung sesuai level dari traumanya. Trauma tumpul laringotrakea pada anak jarang dijumpai dan bila dijumpai biasanya jarang menimbulkan kerusakan/fraktur kartilago, kecuali trauma yang didapat cukup keras. Hal tersebut disebabkan karena rawan pada laringotrakea anak-anak masih sangat elastis dibandingkan dengan orang dewasa. Namun kerusakan jaringan lunak (edema dan hematom) yang terjadi pada anak-anak dengan trauma tumpul laringotrakea jauh lebih hebat dibanding pada dewasa, hal ini disebabkan karena struktur fibroa yang jarang dan lemahnya perl katan e jaringan submukosa dengan perikondrium.

15

Penyebab yang lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada trauma akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan mengakibatkan tekanan intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan robekan pada bagian membran trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter transversal yang bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat robekan diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang mendadak. Pada trauma tumpul dan tembak semua kerusakan berbentuk stelata, seperti dikatakan oleh Boyd dkk., bahwa trauma tembak akan mengakibatkan kerusakan yang besar karena energi kinetik yang disebabkan oleh peluru. Demikian juga halnya dengan trauma tumpul. Energi yang diterima permukaan tubuh akan dihantarkan ke sekitarnya sehingga dapat merusak jaringan sekitarnya. Berbeda dengan trauma tajam, permukaan tubuh yang menerima energi lebih kecil. Selain itu energi yang diterima hanya diteruskan ke satu arah saja. Mekanisme cedera laringotrakea akibat trauma tumpul dapat disimpulkan menjadi empat yaitu: penurunan diameter anteroposterior rongga thoraks, deselerasi yang cepat, peningkatan mendadak tekanan intraluminal laringotrakea pada glotis yang tertutup dan trauma benturan langsung. Trauma Tajam Trauma laringotrakea sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai adalah belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka kejadian trauma tajam semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk. Crowded urban menurut beberapa penulis memang merupakan penyumbang terbanyak pada trauma laringotrakea selain jalan bebas hambatan. Para penulis menyimpulkan bahwa trauma tembus tajam dan trauma tembus tembak cenderung semakin meningkat terutama karena kejahatan. Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas, trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.

16

Penyebab Lain Penyebab lain trauma laringotrakea adalah tentament suicide pada pasien dengan gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Selain penyebab di atas, pernah dilaporkan adanya trauma laringotrakea akibat : iatrogenik injuries (mediastinoskopi, transtracheal oxygen therapy, mechanical ventilation), pisau cukur, strangulasi, electrical injury, luka bakar, dan caustic injury. Gejala Klinik Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama. Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan makin menghebat atau timbul mendadak merupakan tanda adanya sumbatan jalan nafas. Suara serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pada pita suara akibat trauma seperti edema , hematoma, laserasi atau parese pita suara. Stridor juga mungkin akan ditemukan. Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea atau fraktur tulangtulang rawan laring hingga mengakibatkan udara pernafasan akan keluar dan masuk ke jaringan subkutis leher. Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah muka, dada dan abdomen dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi kulit. Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya banyak dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka tusuk,luka sayat, luka tembak maupun luka tumpul. Disfagia (sulit menelan) dan odinofagia (nyeri menelan) dapat timbul akibat ikut bergeraknya laring yang mengalami cedera pada saat menelan.

Penatalaksanaan Terapi Medis Untuk gejala yang ringan dimana edema, hematoma, ataupun robekan mukosa yang kecil (tidak signifikan) ditemukan tanpa adanya cidera lain yang serius, terapi konservatif saja sudah cukup memadai. Robekan mukosa yang kurang dari 2 cm dapat diterapi efekif tanpa perlu dibedah. Tujuan utama dari terapi konservatif adalah untuk mengembalikan fungsi laring pasien ke keadaan awal sebelum trauma yakni sebgai ventilasi, pembentukan suara dan

17

proteksi saluran nafas. Cedera laring ringan tidak membutuhkan trakeostomi, namun observasi ketat dalam 24-48 jam setelah cedera terjadi, tetap harus dilakukan. Bed rest sangat dianjurkan dengan elevasi kepala 30-45. Demikian juga dengan kantung suara di anjurkan untuk diistirahatkan untuk mengurangi edema, pembentukan hematoma dan emfisema subkutan. Udara yang dilembabkan akan membantu mengurangi pembentukan krusta dan mempercepat berakhirnya disfungsi silier. Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial, sebagian ahli THT percaya kortikosteroid akan mengurangi inflamasi, edem dan fibrosis serta mencegah pembentukan jaringan granulasi. Kortikosteroid sistemik sangat menolong hanya pada beberapa hari pertama saja setelah trauma terjadi. Penggunaan antibiotik tidak begitu penting pada trauma ringan dimana fraktur kartilago dan robekan mukosa tidak dapat diidentifikasi. Namun, begitu robekan mukosa dapat divisualisasi, antibiotik sistemik harus digunakan untuk mengurangi resiko infeksi lokal dan perikondritis yang bisa memperlambat penyembuhan dan menyebabkan stenosis jalan nafas. Terapi Bedah Informasi yang diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisis, prosedur endoskopik dan radiologi memberikan bantuan yang sangat penting dalam merencanakan sebuah eksplorasi daerah leher. Bila jalan nafas mengalami sumbatan, trakeostomi harus dilakukan dalam keadaan pasien sadar dan menggunakan anastesi lokal dengan efek sedasi ringan. Biasanya, insisi trakeal dibuat pada posisi di bawah trakeostomi standar. Insisi di bawah cincin ketiga dan keempat lebih disukai untuk menolong pasien dengan trauma laring. Karena pada posisi ini, membantu mencegah trauma lebih lanjut yang mungkin mengenai laring. Penatalaksanaan macam-macam luka 1. Luka terbuka Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma pada leher setinggi laring, misalnya oleh clurit, pisau dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka terbuka pada laring meninggal sebelum mendapat pertolongan, oleh karena perdarahan atau terjadinya asfiksia. Diagnosis luka terbuka di laring dapat dapat ditegakkan berdasarkan adanya gelembung-gelembung udara pada daerah luka, oleh karena udara yang keluar dari trakea. Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke daerah paru.

18

Tindakan segera yang harus dilakukan adalah trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tak terjadi aspirasi darah. Tindakan intubasi endotrakea tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan kerusakan struktur laring yang lebih parah. Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pmbuluh darah yang cedera serta memperbaiki struktur laring dengan menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek.Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotik serum anti tetanus. Komplikasi yang dapat timbul adalah aspirasi darah, paralisis pita suara dan stenosis laring.

2. Luka tertutup (closed injury) Gejala luka tertutup tergantung pada berat ringannnya trauma. Pada truma ringan gejalanya dapat berupa nyeri pada waktu menelan, waktu batuk dan waktu bicara. Disamping itu mungkin terdapat disfonia, tetapi belum terdapat sesak nafas. Pada trauma berat dapat terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring. Sehingga menyebabkan gejala sumbatan jalan nafas ( stridor dan dispnea), disfonia atau afonia, hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia, serta emfisema yang ditemukan di daerah leh muka, er, dada dan mediastinum. Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit. Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu segera dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja. Kebanyakan pasien trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan dada, sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam keadaan tidak sad dan sesak nafas. Tindakan ar trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas tanpa memikirkan penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di kemudian hari yaitu kesukaran dekanulasi. Olson berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling lama 1 minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setlah lewat seminggu akan memberikan hasil yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di kemudian hari. Keputusan untuk menentukan sikap apakah akan melakukan eksplorasi atau konservatif, tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung atau tidak langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks dan CT Scan. Pada umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi dan pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan mukosa laring yang edema, hematoma atau laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring.

19

Indikasi untuk melakukan eksplorasi ialah : a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi. b. Emfisema subkutis yang progresif. c. Laserasi mukosa yang luas. d. Tulang rawan krikoid yang terbuka. e. Paralisis bilateral pita suara. Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit horizontal. Tujuannya adalah untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau sendi yang mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan menutup tulang rawan yang terbuka dengan jabir (flap) atau tandur alih (graft) kulit. Untuk menyangga lumen laring dapat digunakan bidai (stent) atau mold dari silastik, porteks, atau silicon, yang dipertahankan selama 4 atau 6 minggu. Penyangga tersebut bisanya berbentuk seperti huruf T sehingga disebut T tube.

Komplikasi

Komplikasi trauma laring dapat terjadi apabila penatalaksanaannya kurang tepat dan cepat. Komplikasi yang dapat timbul antara lain : terbentuknya jaringan parut dan terjadinya stenosis laring, paralisis nervus rekuren, infeksi luka dengan akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut dan stenosis laring dan trakea. Secara garis besarnya, komplikasi yang mungkin terjadi : * Akut o Obstruksi jalan nafas o Afonia o Disfonia o Odinofagia o Disfagia o Komplikasi post operasi ( hematoma, infeksi) * Kronik o Perubahan suara (21-25%) o Obstruksi kronik (15-17%) o Cedera kord vokalis (paralisis, terfiksasi) o Fistula (trakeoesofageal, esofageal, atau faringokutaneous) o Perubahan kosmetik o Aspirasi kronik
20

Prognosis Sebagian besar trauma laring dapat sembuh secara spontan dan tidak memerlukan perhatian lebih lanjut. Oleh karena berbagai faktor yang dapat memicu cedera ini telah dikurangi maka , derajat dan insidens komplikasinya dapat pula diminimalisir. Trauma tajam laring diasosiasikan dengan 3-6 % angka kematian. Berbagai teknik penatalaksanaan yang strategis terus dikembangkan untuk trauma laring jenis ini. Pasien dengan derajat trauma laring yang berada di grup I dan II sebagian besar sembuh sempurna meski demikian beberapa yang lebih parah (misalnya yang disertai dislokasi kartilago ataupun cedera saraf), memiliki prognosis yang buruk.

21

BAB IV ANALISA KASUS

Os datang ke poli klinik THT dengan keluhan suara serak, kemarin sore sekitar pukul 5 sore os dicekik dan dipukul oleh tetangganya lalu setelah itu os pingsan. Sejak saat itu os mengeluhkan suaranya menjadi serak, sesak disangkal, sakit pada saat menelan (+), nyeri pada leher disangkal. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tidak terdapat jejas pada leher, emfisema sub kutis (-), krepitasi (-), kemudian dari pemeriksaan menggunakan laringoskop direk didapatkan edem pada pita suara. Dari anamnesa kita sudah mengetahui bahwa os mengalami trauma mekanik yang menyebabkan trauma laring. Pada trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plia ariepiglotika dan plika ventrikularis, oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak hal ini dapat dilihat pada pemeriksaan pasien menggunakan laringoskop direk didapatkan edem pada pita suara. Suara serak (disfoni) timbul karena terdapat kelainan pada pita suara yaitu edema akibat trauma. Odinofagia (nyeri menelan) dapat timbul akibat ikut bergeraknya laring yang mengalami cedera pada saat menelan. Pada pasien ini pengobatan yang dilakukan hanya berupa konservatif saja karena untuk gejala yang ringan dimana edema, hematoma, ataupun robekan mukosa yang kecil (tidak signifikan) ditemukan tanpa adanya cidera lain yang serius, terapi konservatif saja sudah cukup memadai. Tujuan utama dari terapi konservatif adalah untuk mengembalikan fungsi laring pasien ke keadaan awal sebelum trauma yakni sebgai ventilasi, pembentukan suara dan proteksi saluran nafas, selain itu anjurkan pita untuk diistirahatkan untuk mengurangi edema Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial, sebagian ahli THT percaya kortikosteroid akan mengurangi inflamasi, edem dan fibrosis serta mencegah pembentukan jaringan granulasi. Kortikosteroid sistemik sangat menolong hanya pada beberapa hari pertama saja setelah trauma terjadi. Penggunaan antibiotik tidak begitu penting pada trauma ringan dimana fraktur kartilago dan robekan mukosa tidak dapat diidentifikasi. Namun, begitu robekan mukosa dapat divisualisasi, antibiotik sistemik harus digunakan untuk mengurangi resiko infeksi lokal dan perikondritis yang bisa memperlambat penyembuhan dan menyebabkan stenosis jalan nafas.

22

Anda mungkin juga menyukai