Anda di halaman 1dari 4

Masuknya Islam ke Minangkabau

Oleh amperasalim

Oleh Ampera Salim Sebelum agama Islam dengan resmi dianut oleh masyarakat Minangkabau, keyakinan terhadap kepercayaan leluhur masih dipakai oleh sebahagian anak ranah ini. Akan tetapi dalam persidangan majilih adat (pemuka masyarakat) di nagari-nagari tetap duduk bersama di antara penganut paham yang berbeda. Konon ketika itu, masyarakat masih melihat perbedaan keyakinan sama halnya dengan perbedaan di bawah payung adat Laras Koto Piliang dan Laras Bodi Caniago. Banyak juga ketika itu masyarakat yang patuh dan setia terhadap ajaran Budha dan ada pula pengikut ajaran Islam. Bahkan banyak pula yang menganut ajaran adat saja. Perbedaan-perbedaan itu tidak pernah membuahkan benturan-benturan berbahaya di dalam masyarakat Minangkabau. Karena, di setiap lubuk hati rakyat Minangkabau terpateri kata-kata bertuah, seadat-selimbago. Tuah sekata-celaka bersilang. Kalau tuah atau tujuan bersama yang ingin di pilih, seiya sekatalah! Sebaliknya, kalau celaka yang diinginkan, maka bersilang sengketalah terus menerus, seperti disebutkan Agustar Idris dalam bukunya Cindurmato dari Minangkabau. Sejak berlangsungnya perundingan antara kaum adat dan Islam di Puncak Bukit Marapalam, Orang Minangkabau menyepakati agama Islam dengan ajaran sucinya sebagai penyuluh laras kehidupan manusia menuju kebahagiaan, kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan. Adat dan limbago adalah buah budinya rakyat Minangkabau di mana ajaran-Islam menyempurnakannya. Selama rakyat Minangkabau setia terhadap kata-kata bertuahnya Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabbullah, maka keseimbangan dan keselarasan alam Minangkabau dan isinya akan tetap terjaga dan terjamin, sehingga masyarakat yang di cita-citakan adat akan menjadi milik bersama dan milik anak cucu di sepanjang zaman. Sejak dahulu rakyat Minangkabau menaruh hormat dan bangga terhadap Majilih Kerapatan Adat Alam Minangkabau. Segala keputusan hasil mufakat Majilih ini dilaksanakan secara utuh oleh rakyat dan lembaga adatnya. Ada satu keputusan Majilih di masa kerajaan Pagaruyung yang sangat menentukan. Yaitu, ketika Ulama Besar Tuan Malano Basa dari Sumpur Kudus, ayah kandung dari Tuan Kadhi Padang Ganting, berniat mendirikan Limbago baru yang disebut Rajo Ibadat. Niat Tuan Malano Basa ini, secara resmi disampaikan kepada Majilih agar dapat direstui kehadirannya di Ranah Minang. Rupanya ketika itu, Majilih adat memberikan restu berdirinya Rajo Ibadat, maka sejak itu pula di pinggang Ranah Minang terselip tiga keris bertuah yaitu, Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat. Ketiga-tiganya menjadi senjata ampuh bagi rakyat Minangkabau dalam mencapai cita-cita bersama. Kedekatan Pribadi Orang Minang dengan Islam Konon menurut kabar yang dikisahkan dalam cerita Cindurmato, tersebutlah seorang yang bernama Andiko Panjang Gombak. Pada masanya Andiko dikenal sebagai salah seorang penasehat Raja Pagaruyung. Selain dekat dengan keluarga kerajaan, sehari-harinya dia dengan tekunnya memimpin para pemahat dan pengukir di Bukitgombak, menyelesaikan beberapa prasasti dan patung yang sudah lama terbengkalai.

Ada sebuah patung yang sangat besar dan perkasa, yang diberi nama oleh Andiko Perkasa Muda. Patung ini sudah dikerjakan selama enam tahun oleh pemahat-pemahat piawai dan sabar. Andiko sangat bangga terhadap hasil karya para senimannya, terutama terhadap patung Raksasa Muda itu. Bersamaan dengan rasa bangga yang memenuhi rongga dadanya, terbentuk pula rasa khawatir di hatinya terhadap keamanan karya-karya seni yang telah dia hasilkan. Andiko maklum, bahwa rakyat Minangkabau tidak menyukai patung-patung, bahkan membencinya. Masa itu agama Islam juga telah menjalar dan berkembang secara perlahan tapi sangat meyakinkan di Ranah Minang. Dan Islam juga tidak dapat menerima kehadiran patung-patung karena dapat menyesatkan iman penganutnya. Pada saat itulah timbul pikiran Andiko untuk menghadiahkan patung tersebut ke sebuah tempat pemujaan di tanah Jawa, dimana dia diasuh dan dibesarkan. Dengan sebuah rakit bambu yang besar berlayarlah si Raksasa Muda menghiliri Batang Selo sampai di Muaro Sijunjung. Dari Muaro Sijunjung si Raksasa Muda itu ditarik oleh pasukan si binuang sampai Sikabau. Dari Sikabau si Raksasa Muda kembali berlayar dihanyutkan arus Batang Hari menuju muaranya. Tapi, patung itu tak pernah sampai di Muara Batang Hari, karena rakit yang membawanya hancur berantakan di dekat pertemuan arus Batang Pangean dengan Batang Hari. Andiko membiarkan si Raksana Muda itu terbenam sementara di pinggir Batang Hari, dan ia segera kembali ke Bukitgombak. Di Bukitgombak Andiko menyiapkan tenaga-tenaga baru dan mengajak Panglimo Limbubu dengan Pasukan Binuangnya untuk kembali menyelamatkan si Raksana Muda yang sedang terbenam. Tapi rencana Andiko untuk mengantarkan si Raksana Muda itu ke tanah Jawa tak pernah menjadi kenyataan. Tepat sehari sebelum Andiko dan rombongan mau meninggalkan Bukitgombak, tiba-tiba Andiko jatuh sakit, badannya panas, keringat bagaikan air mengguyuri sekujur tubuhnya, tapi dari mulutnya selalu meluncur kata-kata, dingin, dingin. Hari berikutnya, di saat sinar matahari membayang di ufuk timur, Andiko kembali ke Maha Penciptanya. Dia pergi dengan tenang, disaksikan oleh seluruh keluarga, sanak saudara dan sahabat-sahabatnya. Saat itu, Romandung yang bergelar Dang Tuanku, masih berumur enam puluh empat bulan dan Cindurmato lima puluh bulan. Sekitar dua puluh tahun dia di Minangkabau, Andiko telah ikut mencurahkan seluruh kasih sayang, pengabdian, ilmu dan kearifan yang dimilikinya untuk membangun Minangkabau yang kuat, adil dan sejahtera. Perjuangannya yang gigih dan tak mengenal lelah itu memang tidak membuahkan sebuah kerajaan yang tangguh dan kuat, tetapi telah ikut mengisi Adat dan menuang Limbagonya Alam Minangkabau. Pada hari yang sama, setelah Andiko dikebumikan, seluruh anggota perwakilan Rajo Alam, mengadakan pertemuan di Bukitgombak. Pada pertemuan ini, secara bulat dimufakati untuk mengangkat Romandung sebagai pimpinan Anjung Rajo Alam. Karena Romandung masih kecil, maka dimufakati pula untuk mengangkat ibunya, Kambang Daro Marani sebagai pelaksana tugas sehari-hari dari pimpinan Anjung Rajo Alam dengan panggilan kehormatan Bundokandung. Andiko telah tiada. Dia banyak meninggalkan kesan, kenangan dan warisan. Dia juga mewariskan perimbangan dan pertentangan di dalam masyarakat Minangkabau. Tapi

Minangkabau tetap memanfaatkan perimbangan dan pertentangan itu untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan Alam Minangkabau dan isinya. Seiring sejalan dengan perkembangan zaman, pada masa itu Sriwijaya dan Singosari sudah lenyap. Kerajaan-kerajaan silih berganti muncul dan hilang. Raja bermahkota hari ini, besok menjadi tak berkepala. Kerajaan Islam di pantai Aceh bertambah kuat. Islam telah menyebar dan berkembang ke pelosok-pelosok Nusantara. Kampar kiri dan kanan, negeri-negeri sepanjang Batang Hari dan Musi, pantai utara pulau Jawa telah di terkam oleh kerajaan Islam. Minangkabau pun sejak permulaan Zaman Limbago sudah di masuki ajaran Islam. Islam masuk ke Minangkabau melalui dua jalur. Jalur pertama dari Aceh ke pantai barat Minangkabau yang berpusat di Tiku Pariaman. Jalur kedua menempuh Kampar Kanan arah mudik sampai di Sumpur. Di sinilah tempat ibadah pertama didirikan berupa sebuah masjid yang di sebut masjid Al Kudus. Dan dari sini pulalah api suci Islam memancar menerangi Luhak nan Tigo: Tanahdatar, Agam dan Limapuluh Koto . Di saat semangat membangun membakar setiap jiwa rakyat Minangkabau, api Islam ikut serta menerangi sanubari mereka. Para ulama dan penganut setia Islam juga telah ikut bersimbah peluh dalam membangun daerah sekitar Pagaruyung, Rimbo Pulut-pulut, Labuah Basa Tigo Balai, Labuah Luhak dan pembangunan-pembangunan lainnya. Orang-orang dari Teluk Persia, menurut cerita yang di sampaikan turun-temurun, telah mengunjungi Minangkabau jauh sebelum agama Islam lahir ke bumi. Mereka datang untuk membeli rempah-rempah seperti kemenyan, gambir, kapur barus dan lada. Diantara mereka banyak pula yang menetap di sini dan kawin dengan gadis gadis Bundokandung. Tak kurang pula orang Minangkabau yang ikut berlayar ke bumi persia, diantara mereka ada yang menetap di sana, ada pula yang kembali pulang ke Minangkabau. Banyak kata-kata yang berasal dari bahasa mereka di ambil alih oleh orang Minangkabau. Di antaranya, alam, mualim, syahbandar, rahim, sultan, maulana, imam, nama hari dan bulan dan lain-lainnya. Begitu Islam di perkenalkan di Ranah Minang, banyak tokoh-tokoh Limbago dan juga rakyat menaruh perhatian terhadap ajarannya dan lambat laun menganutnya. Islam menjamah tubuh Minangkabau kira-kira abad ke 13 M, selama kurun waktu itu telah banyak ulama dan mubalikh terkenal di lahirkan di bumi Bundokandung ini, bahkan sejarah mencatat, ulama-ulama dan mubalikh-mubalikh yang telah terpanggil jiwanya untuk meninggalkan Bundokandung demi tugas sucinya untuk menyebarkan ajaran agama Islam ke setiap pelosok Nusantara. Di antara mereka dapat kita catat, Rajo Bagindo ke Sulu tanah Mindanau, Gurhano Bulan ketanah Bugis Makasar, Binuang Basa ke Kutai Kalimantan, Tan Tawi ke tahan Jawa, Johari Alim dan Siti Aminah ke tanah Pahang Negeri Sembilan dan Kalano Rahman ke tanah Serawak. Malah di Ujung Pandang, hingga terukir dengan tinta emas tiga datuk penyebar Islam ke Bugis Makasar. Mereka adalah Datuk Ribandang, Datuk Patimang dan Datuk Tiro. Syekh Burhanuddin. Salah satu penyebar Islam di Minangkabau bernama Burhanuddin. Beliau adalah murid dari Syeh Abdurrauf di Aceh. Kalangan penulis sejarah, menyebutkan Syeh Burhanuddin hidup

antara tahun 1646-1692 M. Beliau menyebarkan Islam hanya di Minangkabau saja. Tidak seperti tokoh-tokoh lainnya yang berangkat menuju perantauan. Hingga kini Syeh Burhanuddin tetap jadi pujaan bagi masyarakat Minangkabau. Kalau kita lihat, pada Bulan Safar atau pada waktu-waktu tertentu, banyak masyarakat yang tumpah ruah di makam Syeh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Hal ini merupakan sebuah fenomena sosial yang menarik dan komplek untuk dicermati. Dan yang lebih menarik bahwa orang-orang yang pernah datang ke sana untuk mengikuti ritual peribadatan akan selalu merasa kerinduan untuk berkesempatan mengulangi pengalaman spritual yang mereka peroleh di lingkungan makam Syekh Burhanuddin. Syekh Burhanuddin di kalangan umat Islam Sumatera Barat, bukan hanya sekedar ulama besar. Akan tetapi diyakini pula bahwa beliaulah orang pertama penyebar agam Islam di daerah ini. Setidak-tidaknya dari beliaulah perkembangan agama Islam di Sumatera Barat mengalami proses penyebaran yang begitu pesat. Sebagai ulama beliau memiliki kepribadian yang agung. Beliau seorang moderat yang mengerti apa yang dirasakan masyarakat. Beliau selalu bersempati kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya. Dan dengan cara demikian beliau memasukkan rasa dan kesadaran beragama ke dalam diri setiap orang. Dengan cara yang lemah lembut, dengan pendekatan persualif serta dengan sentuhan psikologis, beliau masuk ke dalam masyarakat di sekitarnya dan dari keseharian masyarakatnya pula beliau secara berangsur-angsur menanamkan nilai-nilai aqidah. Syekh Burhanuddin bukan dari aliran keras. Beliau seorang penyabar yang penuh santun. Entah karena sugesti yang pernah beliau ciptakan atau karena nuansa kedamaian itu yang tumbuh bersemi maka di komplek makam dan Masjid Syekh Burhanuddin selalu terdapat rasa aman, nyaman, tentram, damai dan bersahabat. Setiap kali seorang pernah datang ke tempat itu maka di dalam dirinya akan ada kerinduan untuk kembali dan kembali lagi kesana. Syekh Burhanuddin telah lama pergi meninggalkan masyarakat Minangkabau. Tapi cahaya terang yang beliau tinggalkan dan keteladanan yang pernah beliau tebarkan, membuat makam dan suraunya senantiasa dikunjungi sepanjang masa. Dari mulutnya tidak pernah terdengar umpat dan cerca apalagi caci maki dan hujatan. Dari mulutnya selalu terdengar doa untuk kebaikan bersama. ***

Anda mungkin juga menyukai