Anda di halaman 1dari 2

SOLUSI KEBANGKRUTAN MORAL: FAKTOR NONTEKNIS JUGA PENTING Oleh: Yelly A.

Barlian
Di dalam artikelnya yang berjudul Kebangkrutan Moral (Pikiran Rakyat, 27/5) Alwasilah menyebutkan beberapa faktor bangkrutnya moral bangsa, di antaranya adalah mandulnya pendidikan prauniversitas dalam membentuk karakter yang kokoh. Hal ini juga berbanding lurus dengan pendidikan universitas yang hanya terfokus pada pembangunan karier vokasional mahasiswa namun mengabaikan pendidikan umum (general knowledge) dan kuatnya pragmatisme dunia politik yang buruk hingga mampu menggerus filosofis pendidikan formal, ditambah lagi dengan cengkraman globalisasi yang menggurita. Kehawatiran yang diungkapkan penulis tersebut sangat beralasan mengingat dampak yang dihasilkan oleh faktor-faktor teknis di atas sangat berpengaruh pada pembangunan karakter bangsa. Hal ini menyebabkan timbulnya fenomena degradasi moral yang ditandai dengan maraknya top- down and bottom-up korupsi ditambah dengan hilangnya budaya malu menjadi tersangka korupsi atau pemuja koruptor. Sedangkan di kalangan akademik maupun non-akademik akhir-akhir ini, plagiarisme atau pencurian terhadap karya seseorang juga menjadi hot issue yang memprihatinkan. Pembunuhan, pemerkosaan, pergaulan bebas, praktek aborsi, penyalahgunaan NAPZA adalah sebagian contoh potret buram masyarakat Indonesia bahkan menurut sebuah penelitian, Indonesia menduduki peringkat teratas dalam international cyber crime. Tentunya hal ini merugikan bangsa di mata dunia. Berangkat dari realita inilah beragam solusi ditawarkan para cendekiawan untuk memperbaiki keadaan, salah satunya seperti apa yang dipaparkan Alwasilah dalam Tobat akademik yang ditujukan pada para pengelola perguruan tinggi. Namun, selain solusi-solusi teknis yang dipaparkan dalam artikel tersebut, akan jauh lebih efektif apabila kita kolaborasikan dengan solusi non-teknis (mentalitas) dalam membangun karakter bangsa. Menurut Arief Rachman dalam sebuah wawancara dengan judul Guru Harus Professional (Jurnal Bogor, 11/3/09), seorang guru/dosen, tidak cukup dikatakan profesional bila hanya mengandalkan keunggulannya dalam operasional kelas, kemampuannya untuk mencetuskan inovasi, berpikir analitis dan kritis namun juga harus bisa membina hubungan baik dengan siswa, belajar untuk

mendengar dan menghargai orang lain juga memiliki kebiasaan baik untuk mencapai sinergi. Filsafat yang mendasari pendidikan umum adalah pendidikan tidak sekedar untuk mendapat pekerjaan tetapi untuk membangun manusia yang manusiawi. Kutipan yang diambil Alwasilah di atas menegaskan bahwa tugas seorang pengajar adalah mendidik siswa-siswanya bukan hanya untuk tujuan jangka pendek namun terlebih jangka panjang. Hendaklah semua pendidik dari semua level berupaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi) yang prosesnya berorientasi pada aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Seorang pendidik harus faham betul bahwa setiap siswa didik adalah pribadi unik, artinya mereka memiliki karakter, keinginan, latar belakang hidup dan paradigma yang berbeda sehingga proses pendekatanpun harus disesuaikan dengan levelnya. Namun pada hakikatnya mereka memiliki ekspektasi yang sama terhadap proses pembelajaran yaitu kenyamanan dan kepercayaan. Untuk memenuhi dua hal ini, seorang pendidik harus bisa dekat secara emosional dengan siswanya. Oleh karena itu, Kualitas pertemuan harus dijaga bukan hanya sekedar tunai tugas mengajar saja. Dukungan moril dan spiritual harus selalu ada mengingat kondisi jiwa seseorang bisa sangat fluktuatif terutama di usia-usia labil. Hal ini tidak akan terpenuhi bila pendidik menciptakan image horror pada dirinya atau bersikap masa bodoh. Banyak kita temukan fakta di lapangan para pendidik yang hanya memberi tugas tanpa memahamkan siswa dan tidak melengkapi pertemuan tanpa alasan mendasar. Bagaimanapun eksistensi para pendidik sebagai fasilitor dalam kelas wajib dipenuhi sekalipun mereka adalah dosen dengan tridarma perguruan tinggi (pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat). Kedekatan emosional yang terjalin, akan menciptakan rasa nyaman dalam proses pengajaran. Bila atmosfer seperti ini sudah tercipta, pendidik akan lebih mudah menerapkan teknis mengajar seperti apapun karena sudah ada faktor percaya (trust). Faktor teknis maupun non teknis bagaikan dua sisi mata koin. Keduanya saling melengkapi, tidak bisa diterapkan terpisah. Oleh sebab itu, perlu dicari solusi terbaik sehingga tujuan jangka panjang yaitu proses memanusiakan manusia yang matang secara akademik, spiritual maupun emosional tidak berjalan timpang.

Anda mungkin juga menyukai