Anda di halaman 1dari 12

Instrumen konkrit dalam UU Administrasi Pemerintahan dalam pemberian kesempatan pengaduan yang formal dan murah serta efisien

ialah adanya prosedur Upaya Administrasi. Hal ini juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dalam administrasi pemerintahan dan dalam rangka penegakkan prinsip rule of law.

Prosedur Upaya Administrasi ialah suatu prosedur pengaduan dari masyarakat terhadap suatu Keputusan Administrasi Pemerintahan/ Keputusan Tata Usaha Negara kepada atasan dari instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut agar suatu KAP/KTUN dapat diperiksa kembali keberlakuannya sebelum dilakukannya gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Th. 1991 dan pasal 48 UU No. 5 Th. 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mewajibkan upaya administrasi untuk dilakukan sebelum dapat diajukannya gugatan ke PTUN.

Tujuan

dan

Fungsi

dari

Upaya

Administratif

antara

lain

ialah:

1. 2. 3. dan

Sebagai

kontrol

internal

bagi

instansi

pemerintah

Mengurangi beban PTUN, agar tidak semua perkara harus sampai ke PTUN Memenuhi kebutuhan masyarakat (menyediakan jalan lain yang lebih murah, mudah praktis)

Dalam Pasal 36 sampai Pasal 41 Bab VI UU Administrasi Pemerintahan, diatur prosedur Upaya Administratif yang merupakan suatu prosedur standar pengaduan keberatan kepada instansi yang berwenang oleh masyarakat terhadap suatu KAP/KTUN yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah. Prosedur ini tidak dipungut biaya dan dimaksudkan agar masalah dapat diselesaikan secara mudah, murah, cepat dan efisien. Ditekankan dalam Pasal 36 ayat (4) bahwa Upaya Administatif ini berlaku bagi seluruh sektor pemerintahan yang mengeluarkan KAP/KTUN yang belum memiliki prosedur Upaya Administratif sendiri. Hal ini mengingat bahwa dalam beberapa sektor pemerintahan sudah adaprosedurUpayaAdministrasi.

Diatur pula dalam UU Administrasi Pemerintahan mengenai siapa yang dimaksud dengan instansi atasan, batas waktu mengajukan keberatan serta batas waktu jawaban atas pengajuan Upaya Administratif tersebut. Pengajuan alasan oleh Instansi Atasan dalam penolakan suatu Upaya Administratif merupakan suatu kewajiban yang juga diatur dalam pasal-pasal mengenai Upaya

Administratif. Dalam memperjelas prosedur Upaya Administratif hingga detil-detil kecil, maka akan disusun suatu Peraturan Pemerintah (PP) yang membahas lebih mendalam mengenai Upaya Administratif ini.

A. UPAYA ADMINISTRATIF 1. Pengertian Apa yang dimaksud dengan upaya administrtif adalah seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 48 ayat (1) yaitu suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam kepustakaan Hukum Tata Usaha Negara ditemukan beberapa istilah yang lazim digunkan untuk menyebutkan istilah upaya administratif, antara lain administratif beroep, quasi rechtspraak atau peradilan administratif semu. Sebelum berlakunya Undang-Undang nomor 5 Tahun 1986 pada beberapa peraturan perundang-undangan sudah terdapat ketentuan bahwa di dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, orang dtau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap keputusan yang dijatuhkan ole Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan atu atasan dari Badan atau pejabat tata usaha negara tersebut. Atau dengan kata lain sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sudah dikenali adanya penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melalu upaya administratif. Ketentuan tentang adanya upaya administratif tersebut merupakan dan dimaksudkan sebagai kontrolatau pengawasanyang bersifat intern dan represif di lingkungan Tata Usaha Negara terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usah Negara. Bagaimana sikap Undang0Undang Nmor 5 tahun 1986 mengenai penyelesaian sengketa tata usaha negara elalui upaya administratif? Pasal 48 menentukan : 1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau brdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara

administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui paya administratif yang tersedia. 2) Pengadilam berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 48 tersebut, dapat diketahui adanya beberapa petunjuk sebagai berikut: a. Upaya administrasi sebagai penyeleaian sengketa Tata Usaha Negara yang sudah ada tetap akan dipertahankan bahkan kini terbuka kemungkinan untuk mengajukan lebih lanjut ke pengadilan di lingkungan Perasilan Tata Usaha Negara. b. Dengan dipergunkannya kalimat sengketa Tata Usaha Negara tertentu maka penylesaian sengketa tata usaha negara melalui uapa administratif tidak berlaku untuk semua sengketa tata usaha negara tetapi hanya sengketa tata usaha negara yang penyelesaiannya tersedia upaya administratif saja c. Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata usaha Negara baru mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menelesaikan sengketa Tata Uaha Negara yang tersedia upaya administratif, jka seluruh upaya administratif tersebut telah digunakan dan mendapat keputusan. Untuk mengetahui apakah penyelesaian sengketa tata usaha negara tersedia upaya administratiidapat diperhatikan pada peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dikeluarkannya Keputusan Tata usaha Negara tersebut . Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut: a) Sengketa tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara tentang penolakan permohonan izin cuti, tidak tersedia upaya administratif, karena dalam peratuaran pemerintah nomr 24 tahun 1976 tentang cuti pegawai neger sipil memng tidak ada ketentuan tentang upaya administrtif, jika permohonan izin cut ditolak. Jika seandaianya pegawai negeri sipil tersebut tidak pua terhadap keputusan tata usaha negara tentang penolakan permhonana izn cuti dengan mengajukan permohonan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Ngara atau atasan dari Badan

atau pejabat Tata Usaha Negara tersebut agar keutuan tentang penolakan permohonan izin cuti diperiksa kembali, prosedur yang ditempuh oleh Pegawai Negeri sipil tersebut bekan merupakan upaya adminstratif dalam pengertian undang-Undang nomor 5 Tahun 1986 dengan segala akibat hukumnya. b) Sengketa tata usaha negara sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tentang hukuman disiplin tersedia upaya administrasi karena didalam peratuaran pemerintah nomor 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin pgawai negeri sipil ada ketentuan tentang upaya administratif, jika hukuman disiplin yang dijatuhkan dirasa memberatkan yaitu yang terdapat dalam pasal 15 ayat (2) dan pasal 23 ayat (1) Peraturan pemerintah Nomor 30 Tahun 1980.

2. Bentuk Upaya Adminstratif Dari penjelasan pasal 48 ayat (1) dapat diketahui bhwa bentuk dari upaya administratif dapat berupa: a. Keberatan, yaitu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata yang tidk puas terhadap Keputuasan Tata Usaha Negara, yang penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Uaha Negara tersebut dilakukan sendiri oleh Badan Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata saha negara yang dimaksud. Sebagai contoh adalah prosedur yang dapat ditempuh oleh pegawai neri sipil, yang merasa nomor urutannya dala Daftar Urut Kepangkatan tidak tepat, yaitu dengan mengajukan permohonankepada Pejabat pembuat daftar urut

kepangkatan agar nomor urut dalam daftar urut pemerintah nomor 15 tahun 1979 tentang daftar urut kepangkatan pegawai negeri sipil. b. Banding administratif, yaitu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap Keputusan Tata Usaha negara, yang penyelesaiannya sengketa tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya Keutusan Tata Usaha Negara tersebut, dilakukan oleh atasan dari badan ata pejabat tata uaha nengara yang mengelarkan Keputusan Tata Usaha Negara atau instansi lain dari Badan Pejabat Tata Usaha Negara.

Contoh : 1. Prosedur yang ditempuh oleh Pegawai Neger sipil yang mrasa nilainya yang ada dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan pekerjaan tdak tepat yatu dengan mengajukan permohonan kepada atasan dari pejabat penilaian agar nilai yang ada dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan tersebut diperiksa kembali (pasal 9 ayat 2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil). 2. Prisedur yang ditempuh leh Pegawai Neger Sipil dengan mengajukan permohonan kepada atasan Pejabat pembuat Daftar Urut Kepangkatn agar nomor urutnya dalam Daftar Urut kepangkatan diperiksa kembali (pasal 11 ayat ) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1979 tntang daftar Urut kepangkatan pegawai negeri sipil), karena merasa tidak puas terhadap enolakan prmohonan dari pembuat daftar urut kepangkatan. 3. Prosedur yang ditempuh oleh Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina golongan ruang IV /a kebawah yang djatuhi hukuman disiplin berupa pemberhitaan deng hormat tidak atas peberhentiansendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil dengn engajukan permohonan kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian agar keputusan tentang hukuman disiplin tersenut diperiksa kembali (pasal 23 ayat 1 peraturan pemerintah nomor 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin pegawai negeri sipil) Dalam peraturan perundang-undangan yang tersedia adanya upaya administratif, bentuk upaya administratif tersebut dapat berupa: a. Hanya berupa keberatan aja, atau b. Hanya berupa banding administratif saja, atau c. Keberatan dan banding administratif Sebagai mana telah ditentukan dalam pasal 48 aya (1) pngadilan di lingkunga Peradila Tata usaha negara baru mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara jika seluruh upaya administratif yang tersedia dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan telah dipergunakan dan mendapat keputusan.

Perlu mendapat perhatian bahwa istilah keberatan dalam penjelasan pasal 48 ayat 1 sudah merupakan atau menjadi istilah hukum untuk nama dari prosedur yang dapat ditempuh jika seseorang atau badan hukum perdata tidak puas terhadap suatu keputusan tata usaha negara Oleh karena itu, istilah keberatandalam ketentun tentang upaya administratif yang terdapat pada beberpa peraturan perundang-undangan agar diartikan sesuai dengan bentuk dati upaya administratif sebagai mana yang dimaksud dalam penjelasan paal 48 ayat (1) Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut: a) Istilah keberatan dalam pasal 9 ayat (1) peraturan pemerintah nomor 15 tahun 1979, artinya memang sama dengan arti keberatan sebagaimana yang dimaksud dalam penelasan Paal 48 ayat 1 tetapi istilah keberatan dalam aala 11 ayat 1 peraturan pemerintah nomor 15 tahun 1979 haru diberi arti bending administrtif sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 48 ayat (1). b) Istilah keberatan dalam pasal 9 ayat 2 Peatuaran pemerintah Nomor 10 tahun 1979 dan istilah keberatan dalam Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 harus diberi arti banding adminstratif sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 48 ayat (1).

3. Tindak Lanjut Dari Upaya Administratif Perlu mendapat perhatian bahwa dari badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara dan keputusan atasan atau instansi lain dari badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara erupakan keputusan tata usaha negara, bukan putusan pengadilan, karena badan atau tata usaha negara atau instansi lain yang mengeluarkan keputusan tersebut adalah badan atau pejabat tata usaha negara atau intansi tang tidak termaksuk pengadilan di lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (2) undang-undang nomor 4 tahun 2004. Bagaimanakah penyelesaian sngketa tata usaha negara selanjutnya jika orang atau badan hukum perdata masih belum puas terhadap keputusan daru upaya administrasi yang telah diajukan?

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya memberikan petunjuk sebagaiman terdapat dalam pasal 51 yang secara terbatas menentukan: Ayat (3) : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dmaksud dalam pasal 48. Ayat (4) : Terhadap putuan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dlam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi. Demikian pula penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Thun 1986 hnya menyebutkan : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada dasarnya merupakan Pengadilan Tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh pengadlan tata usaha negara kecuali: a. ..................................dan seterusnya, b. Sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif, dalam hal ini Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertindak sebagai Pengadilan Tingat pertama. Jika diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam pasal 51 ayat (2) da (3) serta penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut, maka tidak salah jika sampai ada yang mempunyai pendapat bahwa jika orang atau badan hukum perdata masih belum pula terhadap keputusan dari upaya administratif yang telah diajukan, maka penyelesaiaan sengketa tata usaha negara selanjutnya adalah dengan cara engajukan gugatan ke pengadilan tinggi tata usaha negara dengan tidak perlu memperhatikan adanya perbedaan upaya adminstratif antara keberatan dengan banding administratif. Jika memang demikian, lalu timbul masalah apa perlunya ada perbedaan upaa administrasi antara keberatan dengan banging adminstratif dalam penjelasan pasal 48 ayat (1). Dari ketentuan yang terdapat dalam surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991, dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung memberikan petunjuk pelaksanaan tentang penyelesaian sengketa tata usaha negara selanjutnya jika orang atau badan hukum prdata masih belum puas terhadap keputusan dari upaya adminstratif yang telah dijukan, yaitu: a. Jika dalam peraturan perundang-undangn yang menjadi dasar dikeluarkan Keputuan Tata Usaha Negara yang mngakibatkan terjadinya sengketa tata usaha

negara upaya administratif yang tersedia adalah keberata maka penyelesaian selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. b. Jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan tata usaha negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa tata usaha negara yang mengkibatkan terjadinya sengketa tata usaha negara, upaya administrasi yang tersedia adalah banding administrasi atau keberatan dan banding administratif maka penyelesaian selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan tinggi tata usaha negara. RUU Administrasi Pemerintahan memungkinkan hak warga ikut mengawasi

penyelenggaraan pemerintahan. Warga bisa mengajukan keberatan ke instansi pemerintah atau melalui Komisi Ombudsman Nasional (KON), atau melalui lembaga lain. Juga dimungkinkan bagi warga menggugat keputusan atau tindakan instansi pemerintahan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hak itu diyakini dapat memagari instansi pemerintah untuk tidak mengambil keputusan sewenang-wenang. RUU itu jelas mencantumkan hak dengar pendapat pihak yang terlibat serta hak mendapat akses dan kesempatan melihat dokumen yang bisa mendukung kepentingannya dalam pembuatan keputusan administrasi pemerintahan. Dengan adanya hak dengar pendapat, aparat administrasi pemerintahan wajib memberikannya sebelum membuat keputusan yang akibatnya memberatkan, membebani, atau mengurangi hak perorangan. Upaya administratif adalah keberatan perseorangan, kelompok warga, atau organisasi terhadap isi atau pelaksanaan suatu keputusan administrasi pemerintahan. Keberatan ditujukan pada atasan dari pejabat administrasi pemerintahan atau badan yang mengeluarkan putusan administrasi pemerintahan. Keputusan administrasi meliputi semua keputusan tertulis atau tidak tertulis, yang berisi tindakan hukum atau tindakan material yang bersifat konkret, individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Keputusan elektronis juga dimungkinkan dan berkekuatan hukum yang sama dengan keputusan tertulis. Keputusan tidak tertulis harus diformalisasikan dalam bentuk tertulis atau elektronis, jika di dalamnya terdapat kepentingan pihak yang bersangkutan atau diminta oleh yang bersangkutan. Upaya administratif ini diajukan selambat-lambatnya 30 hari sejak diumumkannya keputusan oleh pejabat administrasi pemerintahan. Jika keberatan diterima, atasan pejabat yang memutuskan bisa membatalkan dan/ atau memperbaiki. Upaya administratif bisa menunda

pelaksanaan pelaksanaan keputusan itu, kecuali menyangkut penerimaan dan/atau pengeluaran keuangan negara, tindakan kepolisian yang tak dapat ditunda, atau menyangkut kepentingan umum yang sangat mendesak. Salah satu materi penting lain adalah ikatan terhadap pejabat administrasi pemerintahan. Pejabat mesti bertanggung jawab dan terikat atas keputusannya selama dan setelah masa jabatannya. Karena itu, keputusan yang dibuat tidak boleh berlaku surut. Pelanggaran bisa berbuah sanksi, mulai teguran, pemberhentian, dikurangi hak dan/atau dicabut hak jabatan dan pensiun, serta publikasi melalui media massa. Tantangan Siapa pun tentu tak akan menolak gagasan besar yang menginisiasi RUU itu. Meski begitu, bukan berarti gagasan itu tanpa tantangan. Rakyat ragu karena gagasan besar pun terkadang lemah dalam implementasi. Kalau menjadi UU, diseminasi informasi masih merupakan problem mendasar di negeri ini. Apalagi jika masih banyak peraturan turunan dari UU itu yang harus disiapkan pemerintah. Ketentuan dalam RUU pun potensial mengganjal keberatan masyarakat. Misalnya soal upaya administratif yang dibatasi pengajuannya maksimal 30 hari sejak pengumuman keputusan oleh pejabat administrasi pemerintahan. Problemnya, bagaimana jika batas itu terlampaui karena ketidaktahuan pihak yang terlibat? Merujuk pengalaman yang selama ini kerap dikeluhkan, adakah jaminan keputusan akan diumumkan secara luas? Soal perkecualian dalam hak dengar pendapat serta hak mendapat akses dan kesempatan melihat dokumen pun bisa menjadi masalah tersendiri. Batasan "membahayakan kepentingan negara dan/atau melanggar kerahasiaan pihak ketiga" serta "untuk melindungi kepentingan umum; tidak mengubah beban individu atau anggota masyarakat bersangkutan; serta menyangkut penegakan hukum" bisa menjadi rumusan sumir. Administrasi pemerintahan bisa saja merumuskan secara sepihak. Ketentuan diskresi pun berisiko menjadi masalah tersendiri. RUU memang menyebutkan, kewenangan pejabat administrasi pemerintahan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah yang belum diatur dalam UU tidak boleh menjadi diskresi bebas (freies ermessen) dan sewenang-wenang (willkuerliches ermessen). Memang ada ketentuan, keputusan yang bersifat diskresi pun harus diberi alasan faktual dan hukum yang menjadi dasar pembuatan keputusan itu. Pejabat yang menggunakan diskresi juga wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dalam bentuk tertulis dan masyarakat yang dirugikan yang diselesaikan melalui

10

proses peradilan. Ketentuan lebih detail mesti termuat dalam peraturan pemerintah yang diturunkan dari undang- undang ini nanti, seperti kapan diskresi boleh digunakan. Tanpa itu, diskresi akan menjadi kewenangan tanpa batas dan rawan diselewengkan. Pengaturan soal keberatan masyarakat pun bakal memberikan beban tambahan kepada KON. Ketika masuk laporan keberatan ke KON, mereka harus memberikan rekomendasi kepada instansi yang mengeluarkan keputusan untuk memperbaiki sebagian, keseluruhan, atau bahkan membatalkan atau menyatakannya batal demi hukum. Demikian pula, PTUN bakal menerima limpahan perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan oleh pejabat administrasi pemerintahan yang sudah didaftar tetapi belum diperiksa di pengadilan di lingkungan peradilan umum. Sudahkah institusi ini mengantisipasi bebannya begitu UU disahkan? Pemerintah berencana segera menyampaikan draf RUU ke DPR dan ingin segera membahasnya, untuk dapat disahkan sebagai UU. Namun, menurut anggota Badan Legislasi DPR, Saifullah Mashum (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur V), prosesnya masih lama. Sejauh ini RUU Administrasi Pemerintahan baru dalam tahap diputuskan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2008. Kesepakatan itu dicapai dalam rapat Baleg DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) pada awal Oktober lalu. Dari sisi proses dan prosedur, RUU Administrasi Pemerintahan tak mungkin diselesaikan cepat karena Menneg PAN masih "berutang" penyelesaian RUU Pelayanan Publik yang masuk Prolegnas 2007. RUU itu pun tak kalah urgensinya ketimbang RUU Administrasi Pemerintahan. "DPR dan pemerintah harus segera menyelesaikan dulu RUU Pelayanan Publik kalau mau RUU Administrasi Pemerintahan segera dibahas,"ujar Saifullah. Saifullah sepaham, RUU Administrasi Pemerintahan diperlukan oleh Menneg PAN sebagai payung hukum reformasi birokrasi. Namun, keliru jika kemudian dianggap hanya RUU itulah yang menentukan efektivitas jalannya reformasi birokrasi. Apalagi, selama ini ada sejumlah peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang bisa dijadikan landasan dan pedoman percepatan reformasi birokrasi Tak bergiginya PTUN ketika berhadapan dengan pejabat administrasi negara tertinggi itu pula yang mendorong parlemen memperkuat peran PTUN melalui penerbitan UU No 9 Tahun 2004 tentang PTUN.

UU tersebut memberi PTUN kemampuan melakukan upaya paksa bila pejabat TUN tidak melaksanakan putusan pengadilan. Kewenangan tersebut sebelumnya tidak ditemukan dalam UU

11

No 5 Tahun 1986 tentang PTUN.

Upaya paksa yang dapat diterapkan, antara lain, perintah membayar uang paksa kepada pejabat yang tidak mau melaksanakan putusan dan sanksi administratif. Selain itu, pejabat TUN yang membandel juga akan diumumkan ke publik melalui media massa.

Meski PTUN saat ini lebih berwibawa dengan kewenangan melakukan upaya paksa, namun UU No 9 Tahun 2004 belum mengatur tahap upaya eksekusi putusan TUN secara paksa.

Akibatnya, eksekusi PTUN kerap tertunda sangat lama akibat upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) yang dilakukan pihak tergugat. Bahkan, bila kasus itu dimenangkan penggugat, upaya paksa tidak dapat dilaksanakan dengan mudah.

Kasus yang menonjol untuk menggambarkan hal itu adalah terhambatnya eksekusi sebuah mal di Bogor yang dinyatakan bersalah oleh PTUN karena tergugat melakukan upaya hukum lebih tinggi.

Ketika putusan telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), upaya eksekusi sudah sangat sulit dilaksanakan karena mal tersebut telah beroperasi dan tergugat telanjur terikat kontrak hukum dengan pihak penyewa (tenant).

Selain kerap tertunda oleh upaya hukum lebih lanjut, putusan PTUN juga kerap tidak dilaksanakan pejabat TUN karena menilai penerbitan keputusan administrasi pemerintahan (KAP) adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab pribadi pejabat yang menerbitkan KAP. Alasan yang kerap diberikan adalah kebijakan yang ditetapkan pejabat administrasi pemerintahan dilakukan atas nama negara.

Celah tersebut yang akan ditutup dengan RUU Administrasi Pemerintahan (RUU-AP) yang segera diajukan pemerintah untuk dibahas di DPR. RUU tersebut menegaskan upaya paksa terhadap putusan TUN tidak harus melalui atasan TUN, atau cukup dilaksanakan oleh lembaga TUN yang menerbitkan KAP.

Selain itu, RUU-AP juga menegaskan pejabat yang menerbitkan putusan TUN bertanggung jawab atas penerbitan KAP.

12

"Dengan demikian, pejabat pemerintahan dapat dikenai sanksi administratif, ganti rugi, dan upaya paksa oleh peradilan TUN bila tindakan atau keputusannya tidak berdasar asas-asas tata kepemerintahan yang baik," terang Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi.

Selain itu, dalam RUU-AP, hakim tata usaha negara mendapat kewenangan eksekutorial yang menjaminkan kompetensi sangat besar. "RUU-AP juga memberikan kewenangan full execution kepada hakim tata usaha negara yang selama ini tidak ditemukan di UU PTUN," tambah Deputi Bidang Tata Laksana Aparatur Kementerian PAN Asmawi Rewansyah.

Dengan ketentuan tersebut, RUU-AP secara signifikan telah mendorong upaya menjadikan administrasi pemerintahan di Indonesia memenuhi syarat-syarat birokrasi modern. Yakni, pemisahan status antara instansi pemerintah dan instansi negara, pemisahan negara dan pemerintah, netralitas negara dan lembaga negara, serta memperkuat posisi publik bila berhadapan dengan administrasi pemerintahan. (noe)

RUU AP dan Penguatan PTUN

1. Setiap orang, kelompok masyarakat atau organisasi dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan upaya administrasi ke PTUN (Pasal 39) 2. PTUN hanya mengadili gugatan atas keputusan tata usaha negara yang telah menempuh upaya administratif dan ombudsman (Pasal 39) 3. Pejabat pemerintahan bertanggung jawab dan terikat pada keputusan yang ditetapkan dan tindakan yang dilakukan selama dan setelah masa jabatannya (pasal 42) 4. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan TUN yang in kracht dapat dikenakan upaya paksa berupa pembayaran uang paksa dan atau sanksi administrasi (pasal 43) 5. Upaya paksa dilakukan juru sita atas perintah ketua pengadilan (pasal 43) 6. Pembayaran uang paksa dibebankan pada pejabat pemerintahan yang bersangkutan 7. Perbuatan melanggar hukum administrasi yang sudah didaftar tapi belum selesai diperiksa oleh pengadilan umum dapat dialihkan dan diselesaikan PTUN (pasal 44) 8. Perbuatan melanggar hukum administrasi pemerintahan yang sudah diperiksa tetap diselesaikan dan diputus pengadilan umum (pasal 44)

Anda mungkin juga menyukai