Revisi Seminar 2
Revisi Seminar 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Tidur merupakan kebutuhan dasar yang di butuhkan oleh semua manusia yang bersifat fisiologis, atau
kebutuhan paling dasar atau paling bawah dari piramida kebutuhan dasar supaya dapat berfungsi sacara optimal. Satu teori fungsi tidur adalah berhubungan dengan
penyembuhan.
penting untuk peningkatan kesehatan yang baik dan pemulihan individu yang sakit (Perry & Potter, 2006). Keragaman dalam perilaku tidur lansia adalah umum. Keluhan tentang kesulitan tidur pada lansia seringkali terjadi di antara lansia dikarenakan terjadi perubahan fisik dan seringkali akibat keberadaan penyakit kronik yang lain. Kecenderungan untuk tidur siang kelihatannya meningkat secara progresif dengan bertambahnya usia. Peningkatan waktu siang hari yang dipakai untuk tidur dapat terjadi karena seringnya terbangun pada malam hari.
tempat tidur, waktu yang dipakai tidur menurun sejam atau lebih (Perry & Potter, 2006). Gangguan tidur bisa terjadi pada semua tingkat usia sedangkan lanjut usia yang mengalami gangguan tidur akan mengalami peningkatan tidur disiang hari, gangguan atensi dan memori, depresi, sering jatuh, penggunaan hipnotik yang berlebih dan penurunan kualitas tidur. Keluhan gangguan tidur yang sering dialami lanjut usia yaitu insomnia (Rafknowledge, 2004). Penelitian telah membuktikan bahwa orang
menderita insomnia atau sulit tidur lebih sering menderita masalah psikiatris di banding dengan orang normal (Amir, 2007). Insomnia adalah gangguan tidur yang dialami oleh penderita dengan gejala-gejala selalu merasa letih dan lelah sepanjang hari dan secara terus menerus lebih dari 10 hari mengalami kesulitan untuk tidur atau selalu terbangun ditengah malam dan tidak dapat kembali tidur, seringkali penderita terbangun lebih cepat dari yang diinginkannya dan tidak dapat kembali tidur. Penyakit fisik juga menjadi aspek pencetus gangguan insomnia, misalnya asma, rematik, maag, ginjal, dan thyroid. Secara khusus, faktor psikologis juga memegang peran utama terhadap kecenderungan insomnia. Hal ini disebabkan oleh
kemudian
mempengaruhi
sistem
saraf
pusat
(SSP)
sehingga kondisi fisik senantiasa siaga (Rafknowledge, 2004). Menurut Carpenito, (2000) lama waktu tidur yang di butuhkan oleh setiap orang sangat bervariasi dan
tergantung pada usia. Umumnya lansia banyak yang mengalami gangguan tidur baik kualitas maupun kuantitas, sehingga latihan relaksasi otot progresif sesuai digunakan oleh lansia atau seseorang untuk mengatasi stress. Teknik latihan relaksasi otot progresif merupakan teknik latihan otot, dengan dilakukan latihan relaksasi otot otot progresif yang teratur dan benar maka tubuh seseorang atau lansia menjadi rileks, sehingga lansia akan cepat tidur dan jumlah jam tidur lansia akan meningkat. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tidur pada lansia, diantaranya
adalah dengan relaksasi. Relaksasi merupakan salah satu teknik di dalam terapi perilaku yang pertama kali
dikenalkan oleh Edmund Jacobson, seorang Psikolog dari Chicago yang mengembangkan metode fisiologis melawan ketegangan dan kecemasan. Metode relaksasi terdiri dari beberapa macam, diantaranya Miltenberger (2004)
mengemukakan ada lima macam relaksasi, yaitu: (1) relaksasi otot (progressive muscle relaxation), (2)
pernapasan
diafragma,
(3)
imagery
training,
(4)
biofeedback, dan (5) hipnosis. Relaksasi progresif sampai saat ini menjadi metode relaksasi termurah, tidak
memerlukan imajinasi, tidak ada efek samping, mudah untuk dilakukan, serta dapat membuat tubuh dan pikiran terasa tenang, rileks, dan lebih mudah untuk tidur
(http//lib.ugm.ac.id/data/pubdata/relaksasi.pdf, diakses 21 Mei 2010) Dalam kesempatan menegangkan relaksasi untuk otot, individu akan diberi cara
mempelajari otot
bagaimana tertentu
sekelompok
kemudian
melepaskan ketegangan itu. Bila sudah dapat merasakan keduanya, klien mulai belajar membedakan sensasi pada saat otot dalam keadaan manfaat tegang dan rileks. Untuk
mendapatkan
maksimal,
kemampuan
membedakan tegang dan rileks ini perlu dipelajari. Kazdin (2001) mengatakan pada awalnya individu belajar satu persatu gerakan relaksasi yang diperlukan oleh
sekelompok otot melalui petunjuk tertulis maupun instruksi yang direkam melalui kaset. Setelah tiap gerakan dikuasai dengan baik, relaksasi kondisi dapat rileks dilakukan yang lebih sehingga dalam diakses
menghasilkan
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Nusa Tenggara Barat di Tahun 2009 menyebutkan jumlah warga lansia kota Bima mencapai 13 persen atau sekitar 16 ribu dari seluruh jumlah kota Bima. Sedangkan jumlah lansia (usia 60 tahun ke atas) di NTB pada tahun 2009 sebanyak 4.503.817 orang, rinciannya laki-laki 1.911.995 orang dan perempuan 2.591.862 orang, sebanyak 80% dari jumlah lansia tersebut. Dari hasil studi pendahuluan didapatkan data bahwa lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima berjumlah 50 orang lansia, berbagai macam keluhan yang dialami lansia di di antaranya adalah gangguan tidur.
Sebelumnya relaksasi otot progresif ini tidak pernah dilakukan oleh lembaga manapun. Atas dasar inilah peneliti terdorong untuk meneliti Efektivitas Latihan Relaksasi Otot Progresif (PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION)
Terhadap Peningkatan Jumlah Jam Tidur Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB.
1.2
Rumusan masalah Rumusan masalah yang di tetapkan dalam penelitian ini adalah Apakah Latihan Relaksasi Otot Progresif
Peningkatan Jumlah jam tidur pada lanjut usia (Lansia) di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian di bagi menjadi dua adalah tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian untuk mengetahui Efektivitas Latihan Relaksasi Otot Progresif (PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION) terhadap peningkatan jumlah jam tidur
pada lanjut usia (Lansia) di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian untuk:
a. Mengidentifikasi peningkatan jumlah jam tidur pada
lansia b. Mengidentifikasi jumlah jam tidur pada lansia c. Mengetahui Efektivitas latihan relaksasi otot progresif Terhadap peningkatan jumlah jam tidur pada lansia.
Mengetahui sejauh mana efektivitas latihan relaksasi otot progresif pada lansia. 1.4.2 Bagi lansia Sebagai masukan bagi lansia terutama lansia yang mengalami gangguan tidur untuk mengetahui terhadap peningkatan jumlah jam tidur
1.4.3 Bagi lembaga yang di teliti Sebagai bahan dokumentasi untuk meningkatkan jumlah jam tidur pada lansia setelah di lakukan teknik latihan relaksasi otot progresif 1.4.4 Bagi peneliti lain Sebagai informasi untuk dijadikan bahan penelitian berikutnya khususnya yeng berhubungan dengan
efektivitas latihan relaksasi otot progresif terhadap peningkatan jumlah jam tidur pada lansia.
bermanfaat untuk mengurangi keluhan fisik. Utami (1991) mengukur efektivitas latihan relaksasi dan terapi kognitif untuk mengurangi kecemasan berbicara di muka umum, selanjutnya relaksasi juga efektif dalam menurunkan
tekanan darah pada penderita hipertensi ringan (Karyono, 1994), dan menurunkan ketegangan pada siswa penerbang (Dewi, 1998).
2.1
Konsep Tekhnik Relaksasi Otot Progresif Pada Lansia Teknik relaksasi berguna dalam berbagai situasi,
misalnya nyeri, cemas dan kurangnya kebutuhan tidur, marah yang ditunjukan. Dengan relaksasi memelihara reaksi tubuh terhadap respon fight of flight, penurunan respirasi, nadi, dan jumlah metabolic, tekanan darah dan energi yang digunakan. Relaksasi khususnya dapat dilakukan pada itu individu perlu atau
sangat
berguna
karena
kontrol
perasaan dan lingkungan. Variasi teknik digunakan, tetapi dilakukan pernapasan secara teratur, pengendoran
kekuatan otot dan kesadaran (Taylor 1997). Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem syaraf simpatis dan parasimpatis ini. Teknik relaksasi semakin sering dilakukan karena terbukti efektif mengurangi ketegangan dan kecemasan (Jacobson & Wolpe dalam Utami, 2002), membantu orang yang mengalami insomnia (Friedman, 1991).
10
2.1.1 Batasan Menurut relaksasi benson (1975) relaksasi adalah suatu prosedur untuk membantu individu berhadapan pada situasi yang penuh stress. Sedangkan Gosana (2001) mengatakan relaksasi merupakan cara untuk mengatasi rasa nyeri, menghilangkan ketegangan otot dan dapat memperbaiki gangguan tidur. Turf dan Nirschl (1993) relaksasi adalah strategi kognitif yang memberikan
kesembuhan secara fisik dan mental atau mengurangi nyeri sampai ambang nyeri. Sedangkan relaksasi otot progresif menurut Edmund Jacobson tahun 1929 dengan buku Progresif Relaxation (Davis et all, 1995) Merupakan suatu terapi relaksasi yang diberikan kepada klien dengan menegangkan otot-otot tertentu dan kemudian relaksasi. Relaksasi progresif adalah salah satu cara dari teknik relaksasi yang mengkombinasikan latihan nafas dalam & serangkaian seri kontraksi dan relaksasi otot tertentu.
2.1.2 Fisiologi Relaksasi Pada kondisi relaksasi seseorang berada dalam keadaan sadar namun rileks, tenang, istirahat pikiran, otot-
11
otot rileks, mata tertutup, dan pernapasan dalam yang teratur. Keadaan ini menurunkan rangsangan dari luar. (Khare, 2000; area Udjiati, dalam 2002). Perangsangan dan yang
diberbagai
hipotalamus
penurunan
tekanan arteri serta peningkatan dan penurunan denyut jantung (Guyton, 1997).
2.1.3 Peran
Neutransmitter
Terhadap
Endorphin dihasilkan oleh kelenjar pituitary (hipofise) anterior dan Central Nervus Sistem (CNS). Endorphin berfungsi sebagai morfin yaitu dapat menimbulkan perasaan senang dan menekan nyeri, dapat membantu regulasi pertumbuhan sel, dan membantu proses
Enkephalin berasal dari columna dorsalis medulla spinalis, bersifat inhibisi, merupakan neuropeptida yang dapat menghambat impuls nyeri dengan cara
12
menghambat
terbentuknya
substansi
prostaglandin
GABA
(gamma-aminobutyric
neurotransmitter inhibitor, artinya akan menghalangi penghantaran impuls di serabut saraf. GABA akan membuka gerbang ion chlorine yang bermuatan negatif sehingga serabut saraf akan bermuatan sangat negatif. Dengan begitu impuls sulit untuk dihantarkan melalui serabut saraf.
2.1.4 Manfaat Relaksasi Otot Progresif Menurut Martha, (1995) manfaat relaksasi otot
progresi diantaranya adalah a) Mengatasi insomnia b) Mengatasi kecemasan c) Meredakan stress d) Membantu tidur nyenyak e) dapat membangun emosi positif dari emosi negatif f) tidak menimbulkan efek samping.
2.1.5 Mekanisme Kerja Teknik Relaksasi Otot Progresif Tidur Ketika seseorang merasakan adanya suatu ancaman, maka secara cepat tubuh akan terangsang dan termotivasi Dalam Memenuhi Kebutuhan
13
melalui system saraf simpatis dan endoktrin (Garmezy, 1983; Taylor, 1991). Di dalam sistem saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Sistem saraf pusat berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang
dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher, dan jari-jari. Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis, misalnya fungsi digestif, proses kardiovaskuler dan gairah seksual. Sistem saraf otonom ini terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Jika sistem saraf simpatis meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh, memacu meningkatnya menimbulkan denyut jantung dan pernafasan, darah serta tepi
penyempitan
pembuluh
(peripheral) dan pembesaran pembuluh darah pusat, maka sebaliknya sistem saraf parasimpatis menstimulasi
turunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh sistem saraf simpatis dan menaikkan semua fungsi yang diturunkan oleh sistem saraf simpatis (Utami, 2002). Pada saat individu mengalami ketegangan dan
kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis, sedangkan saat rileks yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatis. Jadi relaksasi dapat menekan rasa tegang
14
dan cemas dengan cara resiprok, sehingga timbul counter conditioning dan penghilangan (Prawitasari, 1988).
Sesuatu yang diharapkan disini adalah individu secara sadar untuk belajar merilekskan otot-ototnya sesuai dengan keinginannya melalui suatu cara yang sistematis. Subjek juga belajar menyadari otot-ototnya dan berusaha untuk sedapat mungkin mengurangi atau menghilangkan ketegangan otot tersebut. 2.1.6.2 Teknik Relaksasi Benson
Merupakan tehnik latihan napas. Dengan latihan napas yang teratur dan dilakukan dengan benar, tubuh akan menjadi rileks, menghilangkan ketegangan schat mengalami stress dan bebas dari ancaman. 2.1.6.3 Autogenic training
Tekhnik ini menggunakan baik gambaran visual dan body awareness, seseorang mencapi relaksasi yang dalam (deep state of relasation). Dimana orang tersebut membayangkan kemudian sebuah tempat pada yang sensasi tenang fisik dan yang
memfokuskan
15
disatu sisi mungkin memfokuskan pada rasa berat pada kaki, ringan, natural breathing atau denyut jantung yang pelan. 2.1.6.4 Bentuk Meditation yang sangat popular di U.5
meditasi
termasuk transcendental (mengulang sebuah kata atau phrase) dan mindfulness meditasi (perhatian pada kejadian-kejadian pada pikiran dan sensasi).
Relaksasi otot
1. Gerakan pertama ditujukan untuk melatih otot tangan yang dilakukan dengan cara menggenggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan. Klien diminta membuat kepalan ini semakin kuat, sambil merasakan sensasi ketegangan yang terjadi. Pada saat kepalan dilepaskan, klien dipandu untuk merasakan rileks selama 10 detik. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali
sehingga klien dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks yang dialami. Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.
16
2. Gerakan kedua adalah gerakan untuk melatih otot tangan bagian belakang. Gerakan ini dilakukan dengan cara menekuk kedua lengan ke belakang pada
pergelangan tangan sehingga otot-otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah menegang, jari-jari
menghadap ke langit-langit
3. Gerakan ketiga adalah untuk melatih otot-otot Biceps. Otot biceps adalah otot besar yang terdapat di bagian atas pangkal lengan (lihat gambar 3). Gerakan ini diawali dengan menggenggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otot-otot biceps akan menjadi tegang.
17
4. Gerakan keempat ditujukan untuk melatih otot-otot bahu. Relaksasi untuk mengendurkan bagian otot-otot bahu dapat dilakukan dengan cara mengangkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan bahu akan dibawa hingga menyentuh kedua telinga. Fokus perhatian gerakan ini adalah kontras ketegangan yang terjadi di bahu, punggung atas, dan leher.
18
5. Gerakan kelima adalah gerakan-gerakan yang ditujukan untuk melemaskan otot-otot di wajah. Otot-otot wajah yang dilatih adalah otot-otot dahi, mata, rahang, dan mulut. Gerakan untuk dahi dapat dilakukan dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai ototototnya terasa dan kulitnya keriput. 6. Gerakan yang ditujukan untuk mengendurkan otot-otot mata diawali dengan menutup keras-keras mata
sehingga dapat dirasakan ketegangan di sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata 7. Gerakan ketujuh bertujuan untuk mengendurkan
ketegangan yang dialami oleh otot-otot rahang dengan cara mengatupkan rahang, diikuti dengan menggigit
19
gigi-gigi rahang.
sehingga
ketegangan
di
sekitar
otot-otot
8. Gerakan kedelapan ini dilakukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut. Bibir dimoncongkan sekuat-
9. Gerakan kesembilan ditujukan untuk merilekskan otototot leher bagian depan maupun belakang. Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru
kemudian otot leher bagian depan. Klien dipandu meletakkan kepala sehingga dapat beristirahat,
kemudian diminta untuk menekankan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa sehingga
20
klien dapat merasakan ketegangan di bagian belakang leher dan punggung atas. 10. Gerakan kesepuluh bertujuan untuk melatih otot
leher bagian depan. Gerakan ini dilakukan dengan cara membawa kepala ke muka, kemudian klien diminta untuk membenamkan dagu ke dadanya. Sehingga dapat merasakan ketegangan di daerah leher bagian muka. 11. Gerakan kesebelas bertujuan untuk melatih otot-otot
punggung. Gerakan ini dapat dilakukan dengan cara mengangkat tubuh punggung dari sandaran kursi, kemudian lalu busungkan dada
dilengkungkan,
sehingga tampak seperti pada gambar 6. Kondisi tegang dipertahankan selama 10 detik, kemudian rileks. Pada saat rileks, letakkan tubuh kembali ke kursi, sambil membiarkan otot-otot menjadi lemas. 12. Gerakan keduabelas, dilakukan untuk melemaskan
otototot dada. Pada gerakan ini, klien diminta untuk menarik nafas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara sebanyak-banyaknya. Posisi ini ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada kemudian turun ke perut. Pada saat ketegangan dilepas, klien dapat bernafas normal dengan lega. Sebagaimana dengan gerakan yang lain, gerakan ini
21
diulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara kondisi tegang dan rileks.
13.
otot perut. Gerakan ini dilakukan dengan cara menarik kuat-kuat perut ke dalam, kemudian menahannya sampai perut menjadi kencang dank eras. Setelah 10 detik dilepaskan bebas, kemudian diulang kembali seperti gerakan awal untuk perut ini. Gerakan 14 dan 15 adalah gerakan-gerakan untuk otot-otot kaki. Gerakan ini dilakukan secara berurutan. 14. Gerakan keempatbelas bertujuan untuk melatih otot-
otot paha, dilakukan dengan cara meluruskan kedua belah telapak kaki (lihat gambar delapan) sehingga otot paha terasa tegang. Gerakan ini dilanjutkan dengan
22
mengunci lutut (lihat gambar delapan), sedemikian sehingga ketegangan prosedur pidah ke otot-otot otot, klien betis. harus
Sebagaimana
relaksasi
menahan posisi tegang selama 10 detik baru setelah itu melepaskannya. masing dua kali. Setiap gerakan dilakukan masing-
2.2
2.2.1 Pengertian tidur Menurut Hayter (1980) tidur adalah keadaan tidak sadar, dimana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menururn, aktivitas fisik menururn, tingkat kesadaran bervariasi, penurunan tanggapan terhadap stimulasi eksternal. Sedangkan Hobson (1989)
mengatakan tidur adalah aktifitas aktif khusus otak, dikelola oleh mekanisme yang rumit dan tepat.
23
Tidur merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat berfungsi dengan baik. Tidur bukan berarti rutinitas kesibukan, tidur penting bagi kesehatan, fungsi emosional, mental dan keselamatan. Semakin bertambahnya usia terdapat penurunan tidur, kebutuhan tidur berkurang dari bayi sampai lanjut. Ratarata dewasa sehat membutuhkan tidur 7 jam dimalam hari, kekurangan tidur pada lanjut usia memberikan pengaruh terhadap fisik, kemampuan kognitif dan juga kualitas hidup (Amir, 2007).
2.2.2 Kebutuhan Tidur Pada umumnya waktu tidur yang dibutuhkan oleh setiap orang untuk tidur tidaklah sama, tidak saja akan menjadi semakin berkurang seiring dengan perjalanan atau pertumbuhan usianya tetapi juga karena pola atau lama tidur yang dibutuhkan oleh setiap orang sangat bervariasi (bisa dipengauruhi oleh situasi dan kondisi atau tergantung pada keadaan yang sedang di alami atau dihadapi). Hal ini akan tergantung pula pada bagaimana keadaan parasaan atau kesehatan tubuhnya. Bahkan bias juga dipengaruhi atau tertpengaruh oleh faktor usia (Diahwati, 2001).
24
Dalam
satu
malam
katika
ia
masih
bayi
membutuhkan waktu tidur sekitar 13-16 jam, tetapi ketika tumbuh menjadi seorang anak kebutuhan tidur sedikit menurun sekitar 8-12 jam. Kebutuhan waktu dan lama tidurnya akan terus menurun atau berkurang seiring dengan berjalannya waktu atau usia dirinya sehingga dewasa hanya sikitar 6-9 jam. Begitu juga bila seseorang menjadi semakin lanjut atau tua usianya, umurnya akan menjadi semakin berkurang kemampuan untuk tetap tidur 6-8 jam (Lumbantobing, 2004).
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur Banyak sekali yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sedangkan kecemasan, tidur. Faktor fisik meliputi: rasa nyeri,
faktor
psikologis dan
depresi, Faktor
katakutan
lingkungan meliputi: kebisingan, polusi, berkurangnya kebebasan pribadi dan terlalu ramai (Priharjo, 1996).
2.2.4 Siklus Tidur Menurut Guyton (1997) mengatakan bahwa di dalam kita tidur ternyata terdapat dua tahap yang di lalui yaitu: tidur gerakan mata cepat disebut Rapid Eye Movement Sleep (REMS) dan tidur gerakan mata lambat disebut
25
Non Rapid Eye Movement Sleep (NREMS). NREMS mempunyai 4 tahap yaitu: a. Tahap tidur pertama sesuai dengan keadaan dimana seseorang baru saja terlena, seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata menutupi mata, kedua bola mata bergerak bolak-balik (EEG) dengan kedua sisi,
gelombang alfa yang makin menurun. b. Tahap tidur kedua, kedua otot bola mata berhenti
bergerak,
tetapi
tonus
masih
terpelihara,
frekuensi nafas dan jantung menurun dengan jelas. c. Tahap tidur ketiga, EEG memperlihatkan perubahan gelombang dasar yang berfrekuensi 3-6 siklus
perdetik menjadi 1-2 siklus perdetik yang yang sekalisekali timbulnya sleep spindles dan sulit menjadi sulit dibangunkan. d. Tahap tidur keempat, EEG memperlihatkan hanya irama gelombang lambat yang berfrekuensi 1-2 siklus perdetiik tanpa munculnya Sleep Spindles. Keadaan fisik pada tahap tidur ketiga dan keempat ialah lemah lunglai, karena tonus otot lenyap secara menyeluruh sedangkan dalam REMS terdapat adanya tonus otot meninggi kembali terutama otot-otot rahang bawah,
26
bola mata mulai bergerak-gerak kembali dengan kecepatan lebih tinggi, maka tahap tidur REMS bias disebut juga dengan paradoxical sleep karena sifat tidurnya nyanyak sekali tetapi sifat fisiknya dapat dicerminkan pada gerakan kedua bola mata sangat aktif.
2.2.5 Proses Tidur Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata 7 jam, kedua macam tidur yaitu REMS dan NREMS bergantian selama 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup menjalani jenis tidur REMS maka esok harinya akan menunjukkan kecenderungan untuk hiperaktif, kurang dapat mengendalikan diri dan emosinya, nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREMS yang kurang cukup, maka esok harinya keadaan fisik akan menjadi kurang gesit. Secara farmakologi dapat dinyatakan bahwa REMS dan NREMS mempunyai kaitan dengan metabolisme anime terutama 5 hydroxy trytamine (setorin) dan norepinephrine. NREMS dibina oleh mekanisme
seratoninergik dan REMS dipelihara oleh mekanisme adrenergik. Dari adanya peran tidur maka manusia dapat mengembangkan aktifitas sesuai dengan kualitas tidur
27
yang dialaminya serta dengan siklus tidur bangun ini manusia akan dapat memelihara kesegarannya,
2.2.6 Perubahan system Fisiologik Utama Yang dipengaruhi Tidur a. Fungsi Kardiovaskuler 1. Penurunan tekanan darah dan nadi selama NREMS dan terutama selama tidur gelombang lambat. 2. Selama tidur REMS, aktifitas fasis (gerakan mata) dihubungkan dengan variabilitas pada nadi dan tekanan darah yang secara prinsip diperantai oleh vagus. 3. Distrimia jantung dapat terjadi secara selektif selama tidur REMS. b. Fungsi pernapasan 1. Kecepatan menurun pernapsan selama tidur dan ventilasi dan nyaeri menjadi
NREMS
bervariasi selama tidur REMS fasik. 2. Respon ventilasi terhadap karbon dioksida
28
3. Selama tidur REMS, respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia memperlihatkan
jawab untuk jalan nafas atas adalah hipotonik sepanjang tidur dan selama tidur REMS, yang menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas. c. Fungsi Endokrin 1. Perubahan paling utama tampak pada parameter neuroendokrin
2. Tidur
sekresi hormon pertumbuhan pada laki-laki muda, sementara tidur pada umumnya dihubungakn
dengan sekresi prolaktin yang bertambah. 3. Tidur mempunyai efek kompleks pada sekresi LH pada Luteinizing Hormone (LH) 4. Selama tidur pubertas dihubungkan dengan
peningkatan sekresi LH, sedangkan tidur pada perempuan matang menghambat fase folikuler awal siklus menstruasi. 5. Awitan lambat) tidur (dan mungkin dengan (TSH) tidur gelombang Thyroid Hormone
dihubungkan Hormone
inhibisi dan
Stimulating
29
efek yang tidak tergantung pada irama sirkandian dalam dua system. d. Fungsi termoregulasi 1. Tidur NREM dihubungkan dengan perubahan
REM
dihubungkan
dengan yang
baik
adanya yang
respons
termoregulasi
lengkap,
2.2.7 Jenis Tidur Ada dua macam cara terjadinya Tidur (Guyton, 1997) yaitu: a. Tidur Gelombang Lambat (Slow Wave Sleep) Dikarenakan oleh menurunnya kegiatan di dalam system pengaktivasi retikularis karena
gelombang otak sangat lambat. Kebanyakan tidur tiap malam adalah dari jenis gelombang lambat, ini adalah tidur nyenyak dan menyegarkan yang dialami orang setelah tetap bangun selama 24 sampai 48 jam. Tidur gelombang lambat sering disebut dengan berbagai nama, seperti tidur nyenyak menyegarkan, tidur tanpa mimpi, tidur gelombang delta, atau tidur normal.
30
Perubahan-perubahan
Elektroensefalografik
ketika orang tidur. Mulai dengan keadaan waspada dan diteruskan sampai tidur nyenyak gelombang lambat, berikut : 1. Kewaspadaan penuh Gelombang beta frekuensi tinggi, bervoltase elektroensefalogram berubah sebagai
rendah, yang memperlihatkan desinkronisasi. 2. Istirahat tenang Terutama gelombang alfa, suatu jenis gelombang otak yang disinkronisasikan 3. Tidur renger Perlambatan gelombang alfa ke jenis teta atau delta yang bervoltase rendah, tetapi diselingi oleh spindle gelombang alfa yang disebut sleep spindle yang berlangsung selama beberapa detik pada suatu waktu. 4. Tidur nyenyak gelombang lambat : gelombang delta voltase tinggi terjadi dengan kecepatan 1 sampai 2 per detik. b. Tidur paradox (tidur REM) Tidur paradoks adalah jenis tidur, seat otak benar-benar aktif. Pada tidur malam yang normal, masa tidur paradoks berlangsung 5 sampai 20 menit,
31
rata-rata timbale setiap 90 menit, periode pertama terjadi 80 sampai 100 menit setelah orang tersebut tertidur. Bila orang tersebut sangat lelah, lama tiap masa tidur paradoks sangat singkat, dan bahkan mungkin tidak ada. Sebaliknya, ketika orang itu telsh beristirahat semalaman, lamanya masa paradoks sangat meningkat. Beberapa sifat sangat penting dari tidur paradoks: 1. Biasanya disertai dengan mimpi aktif. 2. Orang tersebut bahkan lebih sulit untuk
dibangunkan daripada selama tidur nyenyak gelombang lambat. 3. Tonus otot diseluruh tubuh sangat tertekan, yang menunjukan inhibisi kuat proyeksi spinal atas system pengaktivitasi retikularis. 4. Frekuensi jantung dan pernapasan biasanya menjadi tidak teratur, yang merupakan cirri keadaan mimpi.
5. Meskipun ada inhibisi hebat sekali pada otot-
otot perifer, terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur. Ini terutama meliputi
gerakan mata yang cepat. Maka dari itu, tidur paradoks sering disebut tidur Rapid Eye
Movement (REM).
32
6. Elektroensefalogram
memperlihatkan
suatu
pola desinkronisasi gelombang bte voltase rendah yang mirip dengan yang terjadi selama keadaan waspada.
2.2.8 Gangguan pola tidur secara umum Gangguan pola tidur secara umum merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami atau mempunyai resiko perubahan dalam jumlah dan kualitas pola
istirahat yang menyebabkan ketidaknyamanan atau mengganggu gaya hidup yang diinginkan (Carpenito, LJ, 1995).
mencukupi kebutuhan tidak baik kualitas maupun kuantitasnya. b. Hipersomnia Hipersomnia adalah tidur yang berlebihan
33
Narkolepsi
adalah
serangan
mengantuk
yang
terjadi secara mendadak pada siang hari sedang pada malam hari terganggu. d. Somnabulisme Somnabulisme adalah suatu keadaan dimana
seseorang pada saat tidur. e. Sleep Talking Sleep talking adalah berbicara waktu tidur
(mengigau). f. Sleep Bruxisme Sleep bruxisme adalah gigi gemeretak pada waktu tidur. g. Parasomnia Parasonia adalah gangguan perilaku bangun yang tampak selama tidur dan mempengaruhi tidur.
2.3
Pengaruh Latihan Relaksasi Otot Progresif terhadap Peningkatan Jumlah Jam Tidur
Pada
umumnya
menua
adalah
suatu
proses
menghilangnya secara pelahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normal sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2002).
34
Teori proses menua diantaranya teori biologi dan teori sosiologi. Pada lansia terjadi perubahan-perubahan pada system tubuh yaitu dari perubahan fisis dan
perubahan mental. Dan terkadang pada lansia sering dijumpai kesulitan untuk tidur (insomnia), dimana pada umumnya waktu tidur yang dibutuhkan oleh setiap orang tidaklah sama, tidak saja akan menjadi berkurang seiring dengan perjalanan atau pertumbuhan usia nya tetapi juga karena pola atau lama tidur yang dibutuhkan oleh setiap orang sangat bervariasi ( biasa dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi atau tergantung pada keadaan yang sedang dialami atau di hadapi). Hal ini akan tergantung pula pada bagaimana keadaan perasaan atau kesehatan tubuhnya. Bahkan bisa dipengaruhi oleh faktor usia (Darmojo, 2000).
Pada lansia membutuhkan teknik yang dapat membatu mereka supaya tidak mengalami kesulitan untuk tidur. Teknik relaksasi otot progresif sangat membatu dalam proses tidur, teknik relaksasi berguna dalam
berbagai situasi misalnya nyeri, cemas, stress, dan sulit tidur. Dalam relaksasi memelihara reaksi tubuh terhadap respon fight or flight, penurunan respirasi, nadi, dan jumlah metabolic, tekana darah dan energy yang digunakan.
35
Relaksasi dapat dilakukan kepada individu atau kelompok dan khususnya sangat berguna karena itu perlu control perasaan dan lingkungan. Variansi teknik digunakan tetapi dilakukan kekuatan pernapasan otot dan secara teratur, Para pengendoran lansia akan
kesadaran.
mendapatkan manfaat dari teknik tersebut yaitu lansia dapat menghilangkan kecemasan, menghilangkan stress, mengatasi insomnia, dapat menbangun emosi positif dari emosi negatif, membantu tidur efek nyenyak, dan tidak
menimbulkan
samping
(http//lib.ugm.ac.id/data/pubdata/relaksasi.pdf, diakses 21 Mei 2010 Pada lansia diajarkan teknik relaksasi otot progresif yang merupakan teknik latihan otot. Dengan latihan otot yang teratur dan dilakukan dengan benar tubuh akan menjadi rileks, menghilangkan ketegangan dan stress sehingga membantu lansia dalam memenuhi kebutuhan istirahat tidurnya. Lansia dapat menggunakan macammacan teknik relaksasi diantaranya autogenic training, progressive muscle relaxsatioan, meditation, dan benson. Pada lansia dijarkan teknik relaksasi otot progresif
36
Saraf parasimpatis (keadaan Menstimulasi turunnya semua fungsi yang diturunkan oleh sistem saraf simpatis dan menaikkan semua
Menungkatkan rangsangan, memacu organ-organ tubuh, memacu meningkatnya denyut jantung dan pernapasan. Menekan rasa tegang dan cemas Rileks
Perasaan rileks diteruskan kehipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF) CRF merangsang kelenjar pituitary u/ mrningkatkan produksi
37
Di dalam sistem saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Sistem saraf pusat berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang
dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher, dan jari-jari. Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis, misalnya fungsi digestif, proses kardiovaskuler dan gairah seksual. Sistem saraf otonom ini terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Jika sistem saraf simpatis meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh, memacu meningkatnya menimbulkan denyut jantung dan pernafasan, darah serta tepi
penyempitan
pembuluh
(peripheral) dan pembesaran pembuluh darah pusat, maka sebaliknya sistem saraf parasimpatis menstimulasi
turunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh sistem saraf simpatis dan menaikkan semua fungsi yang diturunkan oleh sistem saraf simpatis (Utami, 2002).
38
Pada
saat
individu
mengalami
ketegangan
dan
kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis, sedangkan saat rileks yang bekerja adalah sistem
saraf para simpatis. Jadi relaksasi dapat menekan rasa tegang dan cemas dengan cara resiprok, sehingga rileks
(Prawitasari, 1988). Kemudian perasaan rileks akan di diteruskan ke hipotalamus untuk (CRF) untuk menghasilkan dan CRF
Factor pituitary
meningkatkan
produksi propioidmelanicortin dan akan menghasilakn b endorfin sebagai neurotransmiter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks serta produksi enkephalin oleh medula meningkat yang pada akhirnya pemenuhan
kebutuhan tidur pada lansia terpenuhi. 2.4 Peran Perawat Dalam Pemenuhan
Kebutuhan Istrahat Tidur Pada Lansia Nugroho (2008) mengatakan Peran perawat dalam memenuhi kebutuhan istrahat tidur pada lansia
diantaranya adalah :a) Menyiapkan tempat tidur yang nyaman, b) Menciptakan lingkungan yang tenang, nyaman dan aman, c) Membantu penggunaan waktu istrahat/tidur, d) Berikan minuman hangat sebelu tidur atau latihan fisik
39
untuk melenturkan otot dan memperlancara peredaran darah. Peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur pada lansia dapat berperan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung perawat dapat melakukan asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami masalah terkait dengan kebutuhan istirahat dan tidur pada lansia. Adapun peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan keamanan adalah sebagai berikut: 1. Pemberi perawatan langsung (care giver); perawat memberikan bantuan secara langsung pada lansia dan keluarga yang mengalami masalah terkait
dengan kebutuhn istirahat dat tidur. 2. Pendidik, perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan kepada lansia dan keluarga agar lansia dan keluarga melakukan program asuhan kesehatan keluarga terkait dengan kebutuhan istirahat dan tidur secara mandiri. 3. Pengawas kesehatan, perawat harus melakukan
home visit atau kunjungan rumah yang teratur untuk mengidentifikasi atau melakukan pengkajian tentang kebutuhan istirahat dan tidur pada lansia.
40
4. Konsultan,
perawat
sebagai
nara
sumber
bagi
keluarga dalam mengatasi masalah gangguan tidur lansia dan keluarga. Agar keluarga mau meminta nasehat kepada perawat maka hubungan perawatkeluarga harus dibina dengan baik, perawat harus bersikap terbuka dan dapat dipercaya. 5. Kolaborasi, perawat juga harus bekerja sama dengan lintas program maupun secara lintas sektoral dalam pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur pada lansia dan keluarga untuk mencapai kesehatan dan
keamanan keluarga yang optimal. 6. Fasilitator, perawat harus mampu menjembatani dengan baik terhadap pemenuhan kebutuhan
isatirahat pada lansia dan keluarga sehingga faktor risiko dalam ketidakpemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur dapat diatasi. 7. Penemu kasus/masalah, perawat mengidentifikasi masalah gangguan tidur secara dini, sehingga tidak terjadi gangguan yang berkepanjangan. 8. lingkungan baik lingkungan rumah maupun
lingkungan masyarakat agar tercipta lingkungan yang sehat dalam menunjang pemenuhan kebutuhan
41
istirahat dan tidur.(www.http//Artikel Terkini Perawat Dan Dokter Thursday.pdf, diakses 15 Juni 2010)
3.1
Kerangka
terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal kasus. Oleh karena konep merupakan abstraksi, maka konsep tidak dapat langsung diamati atau diukur. Konsep hanya dapat diamati atau diukur malalui konstruk atau yang lebih dikenal denagn nama variable (Notoatmodjo, 2005)
42
Gambar 3.2 : Kerangka Konseptual Penelitian Pengaruh Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Perubahan pada system Lansia Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia tubuh : fisik dan mrntal
Manfaat Relaksasi Otot Progresif Stres Biologi : Rasa Nyeri Stres Psikologis :Depresi.Kecemasa n,Ketakutan, tekana jiwa Stres lingkungan : Kebisingan, polusi, berkurangnya kebebasan pribadi, - Mengatasi - Membantu tidur nyenyak - Meredakan stress - Mengatasi insomnia - Dapat membangun emosi positif dari emosi negative Macammacam gangguan tidur : Insomnia, Hipersomnia, Narkolepsi, Somnabulism e, sleep Gangguan tidur - Teknik Relaksasi otot Progresif Autogenic Training, Relaksasi - Tidak menimbulkan efek samping
43
Perasaan rileks diteruskan ke Hiptalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF)
Menghasilkan Endorphin sebagai Neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks Produksi Enkephalin oleh medulla
Pemenuhan kebutuhan
44
Pada lansia terjadi perubahan pada system tubuh yaitu pada fisik dan mental. Lansia yang sulit memulai tidur akan sulit sekali memenuhi kebutuhan tidurnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya stressor biologi (rasa nyeri), stressor psikologis (depresi, kecemasan, ketakutan, dan tekanan jiwa) dan stressor lingkungan (kebisingan, polusi, berkurangnya kebebasan pribadi dan terlalu ramai), sehingga menyebabkan sulit untuk memulai tidur. Latihan relaksasi otot progresif yang dilakukan secara efektif akan memudahkan mengatasi tidur. Macam-macam gangguan tidur yaitu insomnia,hipersomnia, narkolepsi, somnabulisme, sleep talking, sleep bruxisme dan parasomnia. Hal tersebut dapat diatasi dengan teknik
Progressive Muscle Relaxation, relaksasi benson, Autogenic Training, dan Meditation. Dari gangguan tidur dicegah dengan teknik relaksasi otot progresif, yaitu latihan relaksasi otot yang teratur dan dilakukan dengan benar, tubuh akan menjadi rileks, menghilangkan ketegangan yang mengalami stress dan bebas dari ancaman. Hal ini akan mempengaruhi proses pikir yang diteruskan ke hipotalamus Faktor untuk menghasilkan CRF
Corticotropin
Releasing
(CRF),
selanjutnya
merangsang kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi proopioidmelanocortin (POMC) sehingga produksi enkephalin oleh medula adrenal meningkat. Kelenjar pituitary juga
45
menghasilkan endorphin sebagai neurotransmitter yang dapat mempengaruhi suasana senang hati menjadi rileks. Dan untuk
perasaan
sehingga
mudah
46
4.1
Desain Penelitian
Jenis penelitian merupakan teknik rancangan yang digunakan dalam melakukan preosedur penelitian (Alimul, 2003). Jenis Penelitian ini menggunakan metode Pra
Design.
wawancara dan
eksperimen
disebut
pretest,
47
Populasi : Lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi BIMA -NTB Teknik Sampling : Simpel Random Sampling Sample : 44 orang lansia Pre test untuk mengetahui jumlah
48
Post test
Hasil
Penyajian Data
4.3
4.3.1 Populasi Penelitian Populasi adalah keseluruhan dari obyek penelitian atau obyek yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB
49
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). 4.3.2.1 kriteria inklusi adalah karakteristik responden
umum suatu subjek penelitian dari populasi target yang terjankau yang akan diteliti (Nussalam, 2003). Criteria inklusi dalam penelitian ini adalah: 1. Lansia yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werhda Meci Angi Kota Bima-NTB 2. Masih mampu beraktivitas 3. Komunikatif dan kooperatif 4. Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan 5. Bersedia untuk dijadikan subyek penelitian 4.3.2.2 Kriteria eksklusi adalah karakteristik umum
yang tidak dimasukkan dalam penelitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Lansia tidak berdomisili di Panti Sosial Tresna
bersedia
untuk
dijadikan
subyek
50
n= ket : n=besar sampel N=Besar Populasi d=tingkat kepercayaan (0,05) n= n= n= n= n= 44. Besar Sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 44 orang lansia. 4.3.3 Teknik sampling Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2003). Penelitian ini menggunakan simple random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak dan ini berarti setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel (Nursalam, 2003).
51
4.4
Identifikasi Variabel
4.4.1 Variablel Independen Variabel independen adalah suatu stimulus aktivitas yang dimanipulasi oleh peneliti untuk menciptakan suatu dampak pada dependen variabel. Dalam ilmu keperawatan keperawatan mempengaruhi 2001). Yang merupakan yang stimulus atau intervensi untuk Pariani, dalam
diberikan
kepada
klien &
tingkah menjadi
independen
penelitian ini adalah teknik relaksasi otot progresif. 4.4.2 Variabel Dependen Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2003). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah peningkatan jumlah jam tidur pada lansia.
4.5
Definisi
berdasarkan karakteristik yang di amati dari sesuatu yang didefinisiakan tersebut. (Nursalam, 2003). Tabel: 4.1 Definisi operasional Variabel Definisi Variabel Indepen den Operasional Pelaksanaan latihan Parameter Lansia dapat melakukan latihan ukur Prose dur a Alat Skal Skor
52
relaksasi otot secara teratur mulai dari otot tangan, wajah, dada dan otot paha untuk menurunkan ketegangan selama 1 minggu yaitu 7 kali intervensi. (15-20 menit) Teknik latihan relaksai otot progresif: terlampir
relaksasi otot progresif. a. Tahap persiapan Peneliti memposisikan tubuh lansia secara nyaman. Lansia diinstruksikan untuk berbaring terlentang dengan rileks, mata tertutup, melonggarkan pakaian disekitar leher dan pinggang. b. Tahap pelaksanaan Pada tahapan ini responden melaksanakan latihan relaksasi
kerja
Rasi o
Depende n Peningkat an Jumlah jam tidur Jumlah jam tidur lansia selama 24 jam di PSWT Meci
otot progresif dengan dibimbing langsung oleh peneliti sendiri. c. Tahap penutupan Pada tahapan ini responden
53
bersiap-siap untuk istirahat Peningkatan jumlah jam tidur lansia dengan criteria : Kuantitas : 6-8 jam semalam
4.6
Tempat penelitian
Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB. 4.7 Waktu penelitian
Penelitian dilakukan pada Bulan Agustus Tahun 2010 4.8 Instrumen penelitian
Instrument yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah melalui kuesioner. sehingga semua dan
Kuesioner atau angket dibuat terstruktur memungkinkan pertanyaan responden diajukan dapat menjawab
yang
mengenai
demografi
lembar observasi.
4.9
Pengumpulan
kepada subyek dan proses pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2003)
54
Sebelum pelaksanaan latihan relaksasi otot progresif a. Responden dibagi dalam 2 kelompok masing-masing jumlahnya 22 responden, dimana kelompok 1 diberikan intervensi pada minggu pertama dan kelompok 2 diberikan intervensi pada minggu ke 2.
b. Tahap
pengukuran
kebutuhan
tidur
Setelah dilakukan
mendapat
persetujuan,
kemudian
pengukuran jumlah jam tidur responden yang dilakukan di Panti Sosial Tresna Meci Angi Bima. c. Pengkondisian responden 1) Peneliti menyarankan agar pakaian yang
digunakan lansia tidak terlalu ketat dan lansia juga dianjurkan untuk buang air kecil terlebih dahulu. 2) Dilakukan dalam keadaan konsentrasi,
sehingga keadaan tegang dan rileks lebih dapat dirasakan. 3) Peneliti memposisikan tubuh lansia secara
nyaman. Lansia diinstruksikan untuk duduk tegak dengan rileks, mata tertutup, melonggarkan pakaian disekitar leher dan pinggang 4) Lansia di bimbing untuk melakukan latihan
55
a. Tahap persiapan Peneliti memposisikan tubuh lansia secara nyaman. Lansia diinstruksikan untuk berbaring terlentang atau duduk dengan rileks, mata tertutup, melonggarkan pakaian disekitar leher dan pinggang. b. Tahap pelaksanaan Pada tahapan ini responden melaksanakan latihan relaksasi otot progresif dengan dibimbing langsung oleh peneliti sendiri. c. Tahap penutupan Pada tahapan ini responden bersiap-siap untuk
istirahat. Sesudah latihan relaksasi otot progresif a. Tahap pengukuran kebutuhan istirahat dan tidur Pengukuran dilakukan di panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB setelah dilakukan intervensi
latihan relaksasi otot progresif selama satu minggu yaitu setelah 7 kali latihan relaksasi otot progresif. b. Tahap evaluasi Pada tahapan ini peneliti menanyakan kembali
56
4.10 Analisa data Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian dengan melakukan analisa data yang meliputi persiapan, tabulasi dan aplikasi data (Aural, 2003). Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan statistik t test yang menggunakan pretest dan post-tes one group design.
Dengan rumus : t= Keterangan : md xd = mean dari perbedaan pre test dan post test = deviasi masing-masing subyek md=
x2d = jumlah kuadrat deviasi N d.b = subyek pada sampel = ditentukan dengan N-1
Cara menganalisis data t1 dibandingkan dengan nilai tabel dari t denga tingkat kepercayaan 95% (0,05) kesimpulan :
1. Apabila t1<t maka Ho ditolak, berarti antara variabel
yang di uji tidak ada hubungan yang signifikan (tidak ada efek)
57
2. Apabila
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mendapat rekomendasi dari Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang, kemudian diserahkan kepada pihak (tempat) yang akan dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika sebagai berikut : a. Lembar permohonan menjadi responden Lembar permohonan diedarkan sebelum penelitian dilaksanakan agar responden maksud dan tujuan penelitian b. Lembar persetujuan menjadi responden Jika responden bersedia diteliti, responden harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya. 4.11.2 Anonymity (kerahsiaan) dapat mengetahui
58
Kerahasiaan mengacu pada tanggug jawab peneliti untuk menjaga kerahasiaan responden pada lembar pengumpulan data, cukup hanya dengan member kode atau inisial pada masing-masing lembar pengumpulan data. 4.11.3 Confidentiality (kejujuran) Confident atau kejujuran merujuk pada suatu
kebenaran dalam memberikan informasi yang akurat tentang studi atau memberikan responden informasi yang akurat mengenai partisipasi mereka dalam prokek riset. Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti. Hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau di laporkan sebagai hasil riset. 4.11.4 Righ to self Detemination (hak untuk tidak ikut menajadi responden) Yaitu responden diminta menjadi responden partisipan dalam penelitian ini dan apabila responden setuju, responden persetujuan. dipersilahkan Adapun menandatangani surat
penandatanganan
responden
dalam keadaan tenang, cukup waktu untuk berfikir dan memahaminya (Nursalam, 2003).
59
5.1 Gambaran Umum Penelitian Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB pada bulan Agustus 2010. Dari data yang diperoleh dari Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota BimaNTB pada bulan Agustus 2010 didapatkan data terdapat 50 orang lansia. Beragam masalah yang dkeluhkan lansia di Panti
60
tersebut dan diantaranya adalah masalah kebutuhan tidur yang kurang dari kebutuhan normal. Perubahan fisik dan fungsi akibat proses menua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tidak terpenuhinya kebutuhan tidur pada lansia. Dalam
penelitian ini upaya yang dilakukan untuk meningkatkan jumlah jam tidur pada lansia adalah dengan memberikan latihan relaksasi otot progresif, dimana latihan relaksasi otot ini
bertujuan untuk merilekskan otot-otot mulai dari otot tangan, otot bahu, otot wajah, dan otot paha. Dengan melakukan latihan relaksasi otot progresif yang teratur dapat membantu lansia untuk meningkatkan jumlah jam tidur.
5.2 Hasil Penelitian 5.2.1 Data karakteristik responden Jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 44 orana lansia. Sampel diambil secara simple random sampling. Berikut adalah data tentang karakteristik responden
berdasarkan pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin dan umur lansia. 5.2.1.1 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan,
pekerjaan, jenis kelamin dan umur lansia. Tabel 5.1: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur, pendidikan, jenis kelamin, dan pekerjaan di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota BimaNTB
61
N o 1
Karakteristik Pendidikan SD SMP Jumlah Umur 60-69 Tahun 70-79 Tahun Jumlah Pekerjaan Pensiun Swasta Jumlah Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Frekuensi
Prosentase (%)
30 14 44 22 22 44 12 32 44 29 15 44
68,18% 31,82% 100 50% 50% 100 27,27% 72,73% 100 65,91% 34,09% 100
Dari tabel 5.1 diketahui bahwa dari 44 responden sebagian besar pendidikan responden adalah SD sebanyak 30 responden (68,18%), sedangkan berdasarkan umur lansia rata-rata 60-69 dan 70-79 karena masing-masing berjumlah 22 responden (50%), berdasarkan pekerjaan sebagian besar pekerjann
responden adalah swasta sebanyak 32 responden (72,27%) dan berdasarkan jenis kelaminsebagian besar jenis kelamin
62
5.2.2 Data Khusus 5.2.2.1 Perubahan Jumlah jam tidur lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB setelah diberikan Latihan Relaksasi Otot Progresif Tabel 5.2: Distribusi Frekuensi Perubahan Jumlah Jam Tidur Pada Lansia Setelah diberikan Latihan Relaksasi Otot Pogresif Perubahan jam Frekuensi Prosentase (%) tidur Meningkat 44 100% Tetap Menurun Total 0 0 44 0% 0% 100%
Dari tabel 5.2 diketahui bahwa dari 44 responden bahwa setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif jumlah jam tidur lansia meningkat sebanyak 44 responden (100%), ini berarti bahwa setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif jumlah jam tidur lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB mengalami peningkatan 100%.
5.2.2.2 Perbandingan Data Lama Tidur Lansia Sebelum dan Sesudah Latihan Relaksasi Otot Progresif .
63
Tabel 5.3: Perbandingan Data Lama Tidur Lansia Sebelum dan Sesudah Latihan Relaksasi Otot Progresif Karakteristik Sebelum (pre) Sesudah (post) Mean 4,9 6,2 Standar Deviasi Nilai min-max 0,88 4-7 0,79 5-8
Dari tabel 5.3 diketahui bahwa lama tidur lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB sebelum diberikan latihan relaksasi otot progresif rata-rata lama tidur responden adalah 4,9 (5) jam sedangkan setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif lama tidur lansia meningkat menjadi 6,2 (6) jam, ini berarti sebelum dan sesudah diberikan latihan relaksasi otot progresif ada peningkatan jumlah jam tidur. Berdasarkan standar deviasi diketahui bahwa sebelum latihan relaksasi diberikan otot progresif sebesar otot 0,87 sedangkan menjadi setelah 0,79.
latihan
relaksasi
progresif
Berdasarkan jumlah jam tidur lansia sebelum diberikan latihan relaksasi otot adalah 4-7 jam sedangkan jumlah jam tidur lansia setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif meningkat menjadi 5-8 jam.
5.2.3.2 Uji Efektivitas Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Peningkatan Jumlah Jam Tidur Lansia di Panti Sosia Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB
64
Berdasarkan
jawaban
mengenai
jumlah
jam
tidur
responden sebelum dan sesudah diberkan latihan relaksasi otot progresif menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah jam tidur, dimana pada saat sesudah diberikan latihan relaksasi oto progresif jumlah jam tidur pada lansia meningkat dibandingkan denga sebelum diberikan latihan relaksasi otot progresif. Namun untuk mengetahui bahwa jam latihan tidur relaksasi lansia, efektif maka untuk perlu
meningkatkan
jumlah
pada
dilakukan pengujian secara statistik dengan menggunakan uji t yang berpasangan (paired sampel t test). Adapun hasil pengujian dengan uji t berpasangan (paired sampel t test) secara manual dapat diperlihatkan sebagai berikut: d post test Total d Rata-rata d (d) Total d =-61,4 =729 =-27 = selisih total skor antara jumlah jam tidur pre dan
simpangan baku (standar deiasi) dari d = n-1 = 729 - (-27)/44 44-1 = 16,57
d - (d) / n
65
Dengan demikian hasil perhitungan untuk uji t berpasangan adalah : t= d std.dev / n = 16,57/ -61,4 44 = -24,56
Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa nilai t hitung (-24,57) secara absolut (tidak memperhatikan nilai negatifnya) ternyata lebih besar dari nilai t tabel (2,010),dan didukung dengan menggunakan software SPSS release 16 yang menunjukkan nilai siginfikansi sebesar 0,000 (p<0,05), sehingga Ho ditolak atau H1 diterima. Dengan kata lain bahwa ada perbedaan yang signifikan jumlah jam tidur lansia sebelum dan sesudah diberikan latihan relaksasi otot progresif sehingga dapat disimpulkan bahwa latihan relaksasi otot progresif efektif untuk meningkatkan jumlah jam tidur pada lansia.
66
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Interpretasi dari Hasil 6.1.1 Perubahan Jumlah jam tidur lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB setelah diberikan Latihan Relaksasi Otot Progresif Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem syaraf simpatis dan parasimpatis ini. Teknik relaksasi semakin sering dilakukan karena terbukti efektif mengurangi ketegangan dan kecemasan (Jacobson & Wolpe dalam Utami, 2002).
67
Pada kondisi relaksasi seseorang berada dalam keadaan sadar namun rileks, tenang, istirahat pikiran, otototot rileks, mata tertutup dan pernapasan dalam yang teratur. Keadaan ini menurunkan rangsangan dari luar. (Khare, 2000; area Udjiati, dalam 2002). Perangsangan dan yang
diberbagai
hipotalamus
penurunan
tekanan arteri serta peningkatan dan penurunan denyut jantung (Guyton 1997). Relaksasi otot progresif adalah salah satu cara dari teknik relaksasi yang
mengkombinasikan latihan nafas dalam & serangkaian seri kontraksi dan relaksasi otot tertentu. Pada kondisi relaksasi seseorang berada dalam keadaan sadar namun rileks, tenang, istirahat pikiran, otototot rileks, mata tertutup dan pernapasan dalam yang teratur. Keadaan ini menurunkan rangsangan dari luar. (Khare, 2000; area Udjiati, dalam 2002). Perangsangan dan yang
diberbagai
hipotalamus
penurunan
tekanan arteri serta peningkatan dan penurunan denyut jantung (Guyton 1997).
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa dari 44 responden bahwa setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif jumlah jam tidur lansia meningkat sebanyak 44 responden (100%), ini berarti bahwa setelah diberikan
68
latihan relaksasi otot progresif jumlah jam tidur lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB mengalami peningkatan 100%. 6.1.2 Perubahan Jumlah jam tidur lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB setelah diberikan Latihan Relaksasi Otot Progresif Menurut Diahwati Pada umumnya waktu tidur yang dibutuhkan oleh setiap orang untuk tidur tidaklah sama, tidak saja akan menjadi semakin berkurang seiring dengan perjalanan atau pertumbuhan usianya tetapi juga karena pola atau lama tidur yang dibutuhkan oleh setiap orang sangat bervariasi (bisa dipengauruhi oleh situasi dan kondisi atau tergantung pada keadaan yang sedang di alami atau dihadapi). Hal ini akan tergantung pula pada bagaimana keadaan parasaan atau kesehatan tubuhnya. Bahkan bias juga dipengaruhi atau tertpengaruh oleh faktor usia. Apabila seseorang menjadi semakin lanjut atau tua usianya,
umurnya akan menjadi semakin berkurang kemampuan untuk tetap tidur 6-8 jam (Lumbantobing, 2004). Dari tabel 5.3 diketahui bahwa lama tidur lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB sebelum diberikan latihan relaksasi otot progresif rata-rata lama tidur responden adalah 4,9 (5) jam sedangkan setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif lama tidur
69
lansia meningkat menjadi 6,2 (6) jam, ini berarti sebelum dan sesudah diberikan latihan relaksasi otot progresif ada peningkatan jumlah jam tidur. Berdasarkan standar deviasi diketahui bahwa sebelum latihan relaksasi otot progresif sebesar 0,88 sedangkan setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif menjadi 0,79. Berdasarkan jumlah jam tidur lansia sebelum diberikan latihan relaksasi otot adalah 4-7 jam sedangkan jumlah jam tidur lansia setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif meningkat menjadi 5-8 jam. 6.1.3 Efektivitas Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Peningkatan Jumla Jam Tidur Lansia Teknik relaksasi berguna dalam berbagai situasi, misalnya nyeri, cemas dan kurangnya kebutuhan tidur, marah yang ditunjukan. Dengan relaksasi memelihara reaksi tubuh terhadap respon fight of flight, penurunan respirasi, nadi, dan jumlah metabolic, tekanan darah dan energi yang digunakan. Pada prinsipnya Pada saat individu mengalami
ketegangan dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis, sedangkan saat rileks yang bekerja adalah sistem saraf para simpatis. Jadi relaksasi dapat menekan rasa tegang dan cemas dengan cara resiprok, sehingga timbul counter conditioning dan dan rileks (Prawitasari, 1988). Kemudian perasaan rileks akan diteruskan
70
kehipotalamus
untuk
menghasilkan
Cortocotropin
Releasing Factor (CRF) dan CRF merangsang kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi
propioidmelanicortin dan akan menghasilakn b endorfin sebagai neurotransmiter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks serta produksi enkephalin oleh medula meningkat yang pada akhirnya pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia terpenuhi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB Bulan Agustus Tahun 2010 dengan menggunakan uji t berpasangan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada jumlah jam tidur lansia antara sebelum dan sesudah diberikan latihan relaksasi otot progresif karena sebelum diberikan latihan relaksasi jumlah jam tidur lansia hanya 25% jumlah jam tidurnya 6-8 jam sedangkan setelah diberikan relaksasi jumlah jam tidur lansia meningkat menjadi 86,36% dan ini berarti bahwa relaksasi otot progresif efektif meningkatkan jumlah jam tidur pada lansia. Berdasarkan perhitungan menggunakan uji t
berpasangan menunjukkan bahwa nilai t hitung (-24,46) secara absolut (tidak memperhatikan nilai negatifnya) ternyata lebih besar dari nilai t tabel (2,010), dan didukung
71
dengan menggunakan software SPSS release 16 yang menunjukkan nilai siginfikansi sebesar 0,000 (p<0,05), sehingga Ho ditolak atau H1 diterima ini dapat disimpulkan bahwa latihan relaksasi otot progresif efektif meningkatkan jumlah jam tidur pada lansia.
6.2 Keterbatasan Penelitian 6.2.1 Keterbatasan Tenaga Dalam proses pengumpulan data selama intervensi dalam penelitian ini peneliti kesulitan untuk mengkondisikan responden supaya mengikuti intervensi sampai selesai dikarenakan kurangnya tenaga sementara responden
jumlahnya banyak. namun peneliti tetap berusaha untuk mengkondisikan responden agar mampu mengikuti proses latihan relaksasi sampai selesai. 6.2.2 Keterbatasan Peneliti Dalam penelitian ini keterbatasan peneliti adalah kurang mampu menginstruksikan latihan relaksasi otot progresif dengan sempurna akan tetapi penelti sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan instruksi dengan benar kepada 44 responden sesuai dengan prosedur pelaksanaan latihan relaksasi otot progresif. 6.3 Implikasi Untuk Keperawatan
72
Sejalan dengan meningkatnya jumlah populasi lanjut usia di Indonesia, dan adanya berbagai macam penyakit pada lanjut usia, maka upaya yang diberikan saat ini lebih mengarah pada keperawatan gerontik. Asuhan keperawatan lanjut usia akan semakin dibutuhkan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Asuhan keperawatan lanjut usia harus dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu yang
mencakup pelayananan bio-psiko-sosio-spiritual dan kultural. Peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia adalah memberikan informasi yang jelas dan
lengkap tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, baik secara fisik, mental maupun sosial, sehingga lansia mengetahui tentang cara-cara untuk meningkatkan dan mencegah keluhan atau kelainan yang timbul pada dirinya. Cara-cara tersebut diantaranya adalah dengan mengajak dan mengajarkan para lansia untuk mandiri, seperti mengajarkan tentang relaksasi pada lansia untuk membantu lansia
merilekskan otot-otot yang kaku. Selain itu peran perawat juga dapat memberikan informasi yang jelas tentag akibat yang ditimbulkan dari kurangnya jam tidur dikarenakan banyak lansia yang kurang memahami tentang pola tidur yang normal baik secara kualitas maupun kuantitas. Di sinilah peran peawat untuk membantu lansia semaksimal mungkin memberikan informasi yang benar tentang cara-cara
73
penanganan lansia yang kurang jumlah jam tidurnya, penting untuk diketahui oleh lansia bahwa tidur adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang paling dasar supaya dapat berfungsi secara optimal dan tidur akan mempercepat proses penyembuhan terhadap orang yang sakit. sehingga lansia diharapkan untuk mendapatkan pola tidur yang baik.
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 7.1.1 Berdasarkan tabel 5.2 menunjukkan bahwa jumlah jam tidur lansia setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif mengalami peningkatan 100%, tidak ada yang jumlah jam tidurnya menurun ataupun tetap. 7.1.2 Berdasarkan tabel 5.3 menunjukkan bahwa lama jam tidur lansia sebelum diberikan latihan relaksasi otot progresif rata-rata 4,9 (5) jam sedangkan setelah diberikan latihan relaksasi otot progeresif meningkat menjadi 6 jam. Jumlah jam tidur lansia sebelum latihan relaksasi 4-7 jam
74
sedangkan
setelah
latihan
relaksasi
jumlah
jam
tidur
meningkat menjadi 5-8 jam. 7.1.3 Berdasarkan tabel 5.4 Berdasarkan perhitungan
menunjukkan bahwa nilai t hitung (-24,56) ternyata lebih besar dari nilai t tabel (2,010), sehingga Ho ditolak atau H1 diterima dan didukung dengan nilai signifikan dari hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS yang menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). bahwa latihan relaksasi otot Dengan kata lain efektif untuk
progresif
7.2 Saran 7.2.1 Bagi Lansia Diharapkan lansia mengetahui pentingnya jumlah jam tidur yang normal sehingga dapat berfungsi secara optimal dalam berktivitas sehari-hari 7.2.2 Bagi Industri Pendidikan Diharapkan untuk menambah literatur/referensi tentang latihan relaksasi otot progresif dalam pengembangan latihan
pengetahuan
mahasiswa
tentang
efektivitas
75
relaksasi otot progresif terhadap peningkatan jumlah jam tidur lansia. 7.2.3 Bagi Peneliti Lainnya Diharapkan dapat dijadikan bahan dasar atau rujukan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kesehatan pada lansia 7.2.4 Bagi Pegawai PSTW Diharapkan para pegawai PSTW dapat memberi dukungan sosial dan memberi motivasi pada lansia untuk melakukan relaksasi otot progresif supaya mampu mengatasi keluhankeluhan tentang kurangnya jam tidur.
Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Alimul, Aziz. (2003). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika
76
Carpenito, Lynda Juall (2000). Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis. Jakarta: EGC. Diahwati, Diana (2001). Serba Srebi Manfaat dan Gangguan Tidur. Bandung: CV. Pionir Jaya.44 Darmojo, Boedhi dan Martono, Hadi. (1999). Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta : Balai Penerbit FKUI Guyton, Arthut c & Hall (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Lumbantobing (2004). Gangguan Tidur. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.13 Martha, D (1995). Panduan Relaksasi dan Reduksi Stres. Jakarta: EGC Nugroho, Wahjudi. (2000). Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC Nugroho, Wahjudi. (2008). Keperawatan Gerontik Edisi 3. Jakarta: EGC. Notoatmojo, S (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam & Pariani, S (2003). Pendekatan Prakris Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: UD Sagung Seto. Perry & Potter (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC Taylor, C et al (1997). Fundamental Of Nursing: The Art and Science of Nursing Care. Philadelpia. New York. Anonym, 2010. .www.http//Artikel Terkini Perawat Dan Dokter Thursday.pdf, diakses 15 Juni 2010
77
Ari
Widodo,
2009.
http//
lib.
Skripsi.ac.id/data/pubdata.pdf.
Relaksasi otot progresif. Diakses 21 Mei 2010. Erna Erliana, Hartiah, &Raini Diah S. 2007. http// lib.ugm.ac.id/ data/ pubdata/ relaksasi.pdf, diakses 21 Mei 2010. Muhammad Baitul Alim. 2010. http// langkah-langkah relaksasai otot progersif.ac.id//relaksasi. Diakses 09 April 2010 http://downixs.wordpress.com/2009/11/26/peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan istirahat tidur pada lansia /, diperoleh tanggal 6 Mei 2010
78
79
80
Setelah mendapat informasi secukupnya serta mengetahui manfaat penelitian yang berjudul Efektivitas Latihan
Relaksasi Otot Progresif Terhadap Peningkatan Jumlah Jam Tidur Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB menyatakan (bersedia / tidak bersedia)* ikut berpartisipasi sebagai responden, dengan catatan apabila
sewaktu-waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun, saya berhak membatalkan persetujuan ini. Demikian pernyataan ini saya buat tanpa ada paksaan atau ancaman dari pihak manapun. Bima, 2010 Agustus
81
Responden
Judul Penelitian :
Efektivitas
Latihan
Relaksasi
Otot Jumlah
Progresif
Terhadap
Peningkatan
Jam Tidur Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB Petunujuk pengisian kuesionern : 1. Berikan jawaban anda sejujurnya, karena kejujuran anda sangat penting dalam penelitian ini. 2. Anda dipersilahkan menulis jawaban sesuai dengan jumlah tidur anda 3. Setelah semua kuesioner penelitian ini diisi, mohon
82
Lampiran KUESIONER Judul Penelitian : Efektivtas latihan relaksasi otot progresif terhadap peningkatan jumlah jam tidur pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB Nama Umur Agama Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Alamat Pertanyaan : : : : : : : :L/P
83
Lampiran 5
Hasil Analisa Data Dengan Software SPSS release 16 1. Karakteristik Responden
Umur
Frequenc y Percent Valid 60-69 Tahun 70-79 Tahun Total 22 22 44 50.0 50.0 100.0 Valid Percent 50.0 50.0 100.0 Cumulative Percent 50.0 100.0
Pendidikan
Frequency Percent Valid SD SMP Total 30 14 44 68,2 31,8 100.0 Valid Percent 68,2 31,8 100.0 Cumulative Percent 68,2 100.0
84
Pekerjaan
Frequenc y Percent Valid Swasta Pensiun Total 32 12 44 72,7 27,3 100.0 Valid Percent 72,7 27,3 100.0 Cumulative Percent 72,7 100.0
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid L P Total 29 15 44 65,9 34,1 100.0 Valid Percent 65,9 34,1 100.0 Cumulative Percent 65,9 100.0
Lampiran 6 2. Hasil Jawaban Kuesioner Jumlah Jam Tidur Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB Pre Relaksasi
Frequency Percent Valid 4 5 6 7 Total 17 16 9 2 44 38.6 36.4 20.5 4.5 100.0 Valid Percent 38.6 36.4 20.5 4.5 100.0 Cumulative Percent 38.6 75.0 95.5 100.0
Post Relaksasi
Frequency Percent Valid 5 6 7 8 Total 6 27 7 4 44 13.6 61.4 15.9 9.1 100.0 Valid Percent 13.6 61.4 15.9 9.1 100.0 Cumulative Percent 13.6 75.0 90.9 100.0
85
Crosstabs
86
T-Test
Paired Samples Statistics
Std. Mean Pair 1 jumlah jam tidur (pre) jumlah jam tidur (post) 4.91 6.20 N 44 44 Deviation .884 .795 Std. Error Mean .133 .120
87
88
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Tn.At Tn.Mm Tn.Bs Tn.Sr Tn.Ar Ny.Sa Tn.Mw Tn.Bd Tn.Ss Ny.Hl Tn.Az Ny.Qo Ny.Mr Tn.Ja Ny.Sc Ny.St Tn.Ja Tn.Mk Ny.An Ny.Sk Tn.Mu Tn.Hs Tn.Mh Ny.Sn Tn.Id Ny.Rt Ny.Su Ny.Hs Tn.Md
6 7 4 5 6 4 4 5 6 4 6 4 4 5 6 4 5 5 5 4 5 4 6 5 4 4 5 6 4
7 8 5 6 7 6 6 6 7 6 7 6 5 6 8 6 6 6 6 5 6 6 8 6 5 6 6 7 6
+1 +1 +1 +1 +1 +2 +2 +1 +1 +2 +1 +2 +1 +1 +2 +2 +1 +1 +1 +1 +1 +2 +1 +1 +1 +2 +1 +1 +2
89
38 39 40 41 42 43 44
5 6 4 4 5 5 4
6 7 6 5 6 6 6
+1 +1 +2 +1 +1 +1 +2