Anda di halaman 1dari 8

PERSONAL MEANING Personal meaning dianggap menjadi salah satu hal yang penting yang menggerakkan individu mencapai

prestasi. Selain itu, Frankl (dalam Wiebe, 2001) memandang bahwa seseorang yang memiliki personal meaning yang positif (fulfillment of personal meaning) dalam kehidupan, berkontribusi kepada harapan dan optimisme dan menghargai terjadinya suatu masa buruk dalam siklus kehidupan. Bilamana terjadi suatu kejadian atau peristiwa buruk, personal meaning diyakini dapat membantu memunculkan kebangkitan diri individu dari keadaan yang tidak diinginkan. Frankl (dalam Wiebe, 2001) berkeyakinan bahwa meaningfulness (kebermaknaan) dalam hidup, berhubungan dengan self esteem yang tinggi dan perilaku yang murah hati terhadap orang lain, sedangkan meaningless (ketidakbermaknaan) dalam hidup berasosiasi dengan ketidakpedulian atau melepaskan diri (diengagement). Personal Meaning dalam beberapa perspektif a. Perspektif Relativitas Battista dan Almond (dalam Visser, 1973) melakukan penelitian terhadap berbagai teori personal meaning yang berbeda, dan menemukan bahwa meaning bagi setiap orang itu berbeda, dan pencapaian menemukan meaning itu sendiri unik bagi setiap orang. Toleransi Battista dan Almond terhadap sistem kepercayaan yang memunculkan struktur bagi perkembangan personal meaning adalah tanda penting dalam perspektif relativitas ini. Dalam penelitiannya tersebut, Battista dan Almond menemukan 4 hal yang biasa ditemukan yang berhubungan dengan personal meaning, yaitu ; 1. 2. 3. 4. Orang yang percaya bahwa hidupnya bermakna , secara positif pasti meyakini konsep-konsep tertentu, seperti humanistik, religiusitas, atau idiosyncratic yang berhubungan dengan makna kehidupan. Konsep meaning yang mereka yakini, memunculkan kekonsistensian mereka untuk mencapai arah dan tujuan hidup mereka. Orang yang percaya bahwa hidup mereka bermakna , entah hidup mereka sudah bermakna atau mereka yang masih berusaha mencapai tujuan hidupnya. Dalam proses mencapai tujuan hidup yang mereka buat, dalam diri seseorang , akan muncul perasaan signifikan pada diri mereka sendiri dan rasa bangga terhadap kehidupan mereka.

b. Perspektif Eksistensial Personal meaning menurut perspektif eksistensialis didasarkan dari berbagai pemikiran filosofi, psikiatri dan psikolog. Sartre, Kierkegaard, dan Nietzche, di mana semuanya penganut eksistensialis yang sangat meyakini pengalaman seseorang, pada waktu dan situasi tertentu. (May & Yalom, 1995 dalam Wiebe,2001). Tujuan pokok Humanisme Eksistensialis adalah keselamatan dan kesempurnaan manusia. b.1. Perspektif Eksistensial Sartre Pandangan Sartre mengenai Eksistensialisme sebagai Humanisme adalah ajaran yang menghargai kehidupan manusia, dan mengajarkan bahwa setiap kebenaran dan tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subjektifitas manusia (Sartre dalam Soejadi, 2001 ). Sartre berpendapat bahwa manusia yang memiliki kebebasan, kemerdekaan, dan sebagai makhluk pribadi yang otonom. Sartre menghargai dan menjunjung tinggi eksistensi pribadi serta subjektifitas dalam kehidupan bersama. Kebebasan bagi Sartre adalah absolut, tidak ada batas lagi kebebasan selain batas yang ditentukan oleh kebebasan itu sendiri. Kebebasan sebagai arah dan tujuan hidup selaku manusia adalah kepribadian atau kedirian yang sifatnya sedemikian rupa sehingga orangnya bebas dari beraneka ragam alienasi yang menekannya, dan bebas pula untuk kehidupan yang utuh, tak tercela, berdikari dan kreatif. Selain itu, Sarte juga menekankan bahwa manusia harus bertanggung jawab terhadap keputusan yang dipilihnya. Menurutnya, manusia harus dipahami sebagai subjek otonom, memiliki keunikan dan kedudukan eksistensial. Individualitas dan personalitas manusia menjadi penting karenanya. b.2. Perspektif Eksistensial Omoregbe Omoregbe (dalam Soejadi, 2001) mengatakan implikasinya dalam sikap dan tindakan humanis, bahwa kebebasan manusia menurut Sartre memberikan dan membawa jalan keluar yang fundamental untuk mentransendensi atas dunia, menumbuhkan semangat keberanian manusia untuk berbuat lebih kreatif dan progresif dalam usaha meraih hidup yang lebih tinggi , memberi peluang kepada setiap pribadi manusia untuk mengembangkan diri. Definisi Meaning dan Personal Meaning a. Definisi Meaning Menurut Maslow Maslow (dalam Wiebe, 2001) mengatakan bahwa meaning dialami dari aktualisasi diri, individu yang termotivasi untuk mengetahui alasan atau maksud dari keberadaan dirinya. Ia juga mengatakan bahwa setiap individu memiliki dorongan untuk memenuhi kebutuhannya dari yang sederhana sampai kebutuhan yang kompleks. Aktualisasi diri adalah pencapaian suatu potensi terbesar dalam diri, menjadi yang terbaik yang dapat dilakukannya, dan mencapai tujuan hidup dirinya. b. Definisi Meaning Menurut Baumeister Baumeister (1991), mengatakan bahwa meaning mengandung beberapa bagian kepercayaan yang saling berhubungan antara benda, kejadian dan hubungan. Baumeister menekankan bahwa meaning pada akhirnya memberikan arahan, intensi pada setiap individu, di mana perilaku menjadi memiliki tujuan , daripada hanya berperilaku berdasarkan insting atau impuls. c. Definisi Meaning Menurut Frankl Frankl (dalam Wiebe, 2001) mengkonsepkan meaning sebagai pengalaman dalam merespon tuntutan dalam kehidupan, menjelajahi dan

meyakini adanya tugas unik dalam kehidupannya, dan membiarkan dirinya mengalami atau yakin pada keseluruhan meaning. Frankl yakin bahwa setiap individu memiliki kapasitas untuk melawan lingkungan luar yang sulit, menahan dorongan fisik maupun psikologis untuk masuk ke dalam dimensi baru dari eksistensi diri. Dimensi baru ini adalah hal-hal mengenai meaning, dan meliputi dorongan untuk menjadi signifikan dan bernilai dalam kehidupan. Frankl dalam logoterapinya, menyebutkan tiga asumsi. Asumsi pertama, kehidupan memiliki meaning yang sangat luas, termasuk hal yang paling menyakitkan atau tidak ada harapan (kebebasan berkehendak). Kedua, bahwa orang yang dilengkapi will to meaning sejak lahir , yang tidak mengejar kekuasaan atau kesenangan, tetapi untuk menemukan meaning dan tujuan hidupnya (motivation for living atau kehendak untuk hidup bermakna). Ketiga, Frankl mempercayai bahwa orang memiliki kebebasan untuk menemukan personal meaning dalam berbagai situasi (makna hidup), entah melalui aktivitas, pengalaman atau sikap yang bermakna. d. Definisi Personal Meaning Menurut Reker Menurut Reker, personal meaning adalah memiliki tujuan hidup, memiliki arah, rasa memiliki kewajiban dan alasan untuk ada (eksis), identitas diri yang jelas dan kesadaran sosial yang tinggi. Personal meaning is defined as having a purpose in life, having a sense of direction, a sense of order and a reason for existence, a clear sense of personal identity, and a greater social consciousness. (Reker, 1994; Reker & Butler, 1990; Reker et al., 1987; Zika & Chamberlain, 1992) Definisi personal meaning menurut Reker dapat melengkapi komponen-komponen yang menentukan berhasilnya perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi lebih bermakna yang diutarakan Bastaman (1996), yaitu ; 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pemahaman diri ( self insight); Meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik Makna hidup ( meaning of life); adalah nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan sebagai pengarah kegiatannya Pengubahan sikap ( attitude change); Adalah suatu proses dari yang semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup atau musibah. Keikatan diri (self commitment); Adalah munculnya suatu komitmen seseorang yang ditandai dengan semakin terikat dengan makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang telah ditetapkan Kegiatan terarah (directed activity); Adalah upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensipotensi pribadi (bakat, kemampuan, keterampilan) yang positif, serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup. Dukungan sosial (social support); Adalah hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia memberi bantuan pada saat-saat diperlukan.

Hal-hal pokok yang saling melengkapi di antara keduanya, yaitu ; 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tujuan hidup yang dimaksud oleh Reker (1997), dapat dianggap sama dengan makna hidup yang dimaksud Bastaman (1996). Tujuan dan makna hidup, sama-sama memiliki peran sebagai arah individu tersebut dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Sebelum memiliki tujuan dan makna hidup, individu akan melalui tahap pemahaman diri , yaitu proses pencarian dan penyadaran atas keadaan diri yang menghasilkan suatu tujuan atau makna hidup individu tersebut. Tahap pemahaman diri ini dapat diartikan sama dengan identitas yang jelas pada definisi personal meaning Reker (1997). Setelahnya, individu akan melalui tahapan pengubahan sikap, suatu proses penyadaran yang semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah. Hal ini didorong pula oleh rasa memiliki kewajiban dan alasan untuk ada (eksis) pada individu tersebut. Kemudian, individu akan melalui tahapan keikatan diri terhadap tujuan dan makna hidupnya. Individu akan masuk ke tahap kegiatan terarah, yaitu melakukan upaya pencapaian tujuan danmakna hidup. Pada tahap ini individu telah memiliki arah yang jelas dan nyata, yang dapat dilakukan dalam usahanya mencapai tujuan dan makna hidup. Komponen dukungan sosial yang diungkapkan Bastaman (1996), merupakan komponen pelengkap yang berperan penting dalam pencapaian tujuan dan makna hidup atau personal meaning individu. Sedangkan kesadaran sosial yang tinggi dapat dianggap sebagai komponen pendukung atau hasil dari pencapaian tujuan dan makna hidup individu.

Dimensi Meaning Reker dan Wong (dalam Reker&Chamberlain, 2000) melakukan kolaborasi teori, yang menghasilkan 4 dimensi meaning. Empat dimensi meaning tersebut berhubungan dengan 1) bagaimana meaning dialami (structural components), 2) isi dari pengalaman (sources of meaning), 3) perbedaan bagaimana meaning dialami (breadth), dan 4) kualitas pengalaman bermakna (depth). a. Structural components Komponen struktural ini menjelaskan bagaimana meaning dialami oleh seseorang, yang terdiri dari komponen kognitif, motivasional, dan afektif, serta dan komponen personal dan sosial. Komponen Kognitif

Diartikan sebagai sistem keyakinan individu dan pandangan menyeluruh yang telah terbangun dalam konteks budaya yang spesifik dan dipengaruhi oleh pengalaman kehidupan individu yang unik. Umumnya, pertanyaan-pertanyaan fundamental yang dipengaruhi komponen kognitif adalah Apa yang saya lakukan dalam kehidupan ini bernilai? atau Apa yang membuat kehidupan menjadi berarti?. Oleh karena itu, komponen kognitif menjadi bagian dari pemberian makna pada suatu pengalaman hidup. Individu tidak hanya memberi makna dari sistem kepercayaan atau pandangan masyarakat , tetapi juga mencari pengertian eksistensial melalui nilai dan tujuan dari kejadian atau pengalaman hidup, lingkungan atau kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Komponen Motivasional Adalah sistem nilai yang dibangun pada setiap individu. Nilai, adalah pedoman kehidupan, yang mengarahkan apa tujuan yang harus dicapai oleh seseorang, dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Nilai ditentukan oleh kebutuhan individu, kepercayaan dan masyarakat. Proses untuk mencapai tujuan tertentu dan pencapaian mereka, meningkatkan sense of purpose dan meaning pada satu eksistensi. Komponen motivasional melihat personal meaning sebagai sifat dasar kognitif dan perilaku, secara konsisten mengejar tujuannya dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang menurutnya berguna. Komponen ini paling penting untuk menjaga individu agar tetap bertahan , dalam menghadapi atau melalui rintangan, atau pengalaman traumatis yang ekstrem. Komponen Afektif Komponen ini terdiri dari rasa puas (satisfaction) dan pemenuhan atau perasaan terpenuhi (fulfillment) individu yang didapat dari pengalamanpengalaman dan keberhasilan mencapai tujuan individu tersebut. Perasaan terpenuhi merupakan hasil dari cara berpikir yang positif dalam kehidupan. Walaupun, perjuangan untuk mencapai kebahagiaan belum tentu menghasilkan rasa makna diri yang besar, bagaimanapun juga rasa makna diri tersebut akan memberikan rasa puas pada individu yang berjuang tersebut. Reker dan Wong (dalam Reker&Chamberlain, 2000) mengatakan bahwa ketiga komponen di atas tersebut saling berhubungan satu sama lain. Dalam penelitian yang dilakukan Ranst dan Marcoen (dalam Reker&Chamberlain, 2001) ditemukan bahwa komponen motivasional dan komponen afektif mempengaruhi komponen kognitif, sedangkan komponen motivasional tidak saling berpengaruh dengan komponen afektif. Komponen Personal dan Sosial (Preconditions of meaning ) Preconditions of meaning terdiri dari hubungan sosial dan kualifikasi personal. Komponen sosial terdiri dari hubungan personal, cinta dan empati. Komponen personal terdiri dari kualitas unik pada individual, atribut personal (seperti menjadi kreatif, fleksibel, adaptif, intelektual, memiliki rasa ingin tahu, dan bertanggung jawab), yang mempengaruhi personal meaning. Komponen sosial dan personal berperan sebagai preconditions of meaning dengan mengidentifikasi, individu yang seperti apa yang hendak mencari meaning. b. Sources of meaning (sumber meaning) Sumber meaning dimaksudkan dengan isi area-area yang berbeda atau tema personal dari mana meaning dialami. Darimana meaning berasal? Nilai dan kepercayaan adalan landasan kuat dari sumber meaning. Nilai didefiniskan sebagai konstruk yang melebihi situasi spesifik dan nilai lebih disukai secara personal dan sosial. Nilai tergabung dengan modes of conduct (nilai instrumental) dan tujuan hidup (nilai terminal) dan mendorong untuk melakukan tindakan (Rokeach dalam Reker dan Chamberlain, 2000). Nilai akan terefleksikan dari jawaban individu ketika ditanyakan mengenai area dari kehidupan mereka, dari mana meaning berasal. Di samping itu, berdasarkan berbagai penelitian secara kuantitatif maupun kualitatif, ditemukan bahwa meaning dapat berasal dari sumbersumber yang luas dan spesifik, seperti budaya dan latar belakang etnis, sosial demografis dan tahap perkembangan (Devogler, et al dalam Reker dan Chamberlain, 2000). Perbandingan Teori Sumber Meaning Frankl, Wong dan Reker Sumber meaning menurut FRANKL Sumber meaning menurut WONG (dalam (dalam Wiebe, 2001) Wiebe, 2001) Sumber meaning terdiri dari 3 sumber nilai, yaitu ; 1. Nilai Kreatif ; apa yang dapat diberikan individu untuk dunia, misalnya kesuksesan pribadi, perilaku menolong, dan sebagainya 2. Nilai Sikap (attitude); bagaimana cara individu menghadapi situasi yang tidak dapat diubah. Penerimaan terhadap situasi ini, seburuk apapun situasi atau keadaannya, disebut dengan self-transcendence. 3. Nilai Pengalaman ; pengalaman 1. 2. 3. 4. 5. Sumber meaning menurut REKER (dalam Reker & Chamberlain, 2000) Achievement atau pencapaian prestasi 1. hubungan personal Relationship (perilaku dan keahlian 2. altruism dalam menjalin hubungan dengan orang 3. aktivitas religi, lain) 4. aktivitas kreatif, Religion (keyakinan pada kekuatan yang 5. perkembangan diri, lebih besar dan hubungan personal 6. menemukan kebutuhan dengan Tuhan) dasar, Self Transcendence (fokus nilai dalam 7. keamanan finansial melayani orang lain) 8. aktivitas rekreasi Self Acceptence (memperlakukan diri 9. prestasi pribadi, dengan baik dan kemampuan untuk 10. meninggalkan warisan, mengintegrasikan kesalahan di masa lalu 11. nilai atau idealisme yang dan keterbatasan diri dalam menjalani bertahan lama, kehidupan saat ini dan cita-cita di masa 12. tradisi dan budaya, depan) 13. alasan sosial/politik

langsung di dunia , baik yang buruk ataupun yang baik.

6. 7. 8.

Intimacy (fokus terhadap keluarga dan hubungan yang dekat/intim) Fair Treatment (bagaimana seseorang diperlakukan dan dihormati dalam lingkungan sosialnya) Fulfillment (perasaan terpenuhi dan rasa puas atau senang)

14. humanistic concern 15. aktivitas bersenangsenang 16. kepemilikan benda 17. hubungan dengan alam.

c. Breadth of meaning Breadth of meaning adalah kecenderungan individu untuk mengalami atau memperoleh meaning dari beberapa sumber yang berbeda. DeVogler-Ebersole dan Ebersole (dalam Reker dan Chamberlain, 2000) menyatakan bahwa pada umumnya individu memperoleh meaning dari berbagai sumber , dan hanya sedikit individu yang hanya memperoleh meaning dari satu sumber. Reker dan Wong (dalam Reker dan Chamberlain, 2000) menyatakan bahwa individual 1) akan mengalami meaning dari beberapa sumber yang berbeda, dan 2) semakin banyak sumber meaning yang dimiliki, maka akan mengarahkan individu tersebut ke rasa pemenuhan (fulfillment) yang lebih besar. d. Depth of meaning Depth of meaning menunjukkan kualitas dari pengalaman meaning individu. Apakah pengalaman meaning individu tersebut dangkal, dalam, atau hanya sebagian. Menurut Reker dan Wong (dalam Reker dan Chamberlain, 2000), terdapat empat (4) level depth yang menunjukkan tingkat meaning yang dialami individu. Keempat level depth ini dikategorikan menjadi ; self-preoccupation dengan kesenangan dan kenyamanan (level 1), pengabdian waktu dan tenaga untuk mewujudkan potensi diri (level 2), pelayanan bagi orang lain dan komitmen terhadap lingkup sosial yang lebih luas , atau alasan politis (level 3), dan nilai yang menyenangkan yang melebihi arti individu dan meliputi alam semesta, dan tujuan akhir kehidupan (level 4). Namun, OConnor dan Chamberlain (dalam Reker dan Chamberlain, 2000), menemukan kesulitan melakukan prosedur dalam menentukan levels of depth seseorang sesuai dengan kriteria depth of meaning yang dipaparkan Reker dan Wong (dalam Reker dan Chamberlain, 2000). Kesulitan prosedur yang dihadapi adalah adanya hubungan yang tidak setara antara sumber kategori meaning dan levels of depth. Misalnya, sumber kategori meaning yang dimiliki seseorang hanya melayani orang lain, dengan demikian apakah individu ini dapat langsung dimasukkan ke dalam level tiga (3) ? Menurut OConnor dan Chamberlain (dalam Reker dan Chamberlain, 2000), depth merupakan dimensi yang penting untuk menggamarkan personal meaning seseorang, namun OConnor dan Chamberlain menyatakan bahwa masih diperlukan konsep depth of meaning yang lebih baik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini depth of meaning tidak akan digali mengingat masih terjadi perdebatan konsep depth of meaning ini, untuk menghindari kesalahan atau kekeliruan dalam mengintepretasi dan menganalisis data. Proses penghayatan hidup tak bermakna menjadi lebih bermakna atau Penemuan Personal Meaning Bastaman (1996) melihat proses makna hidup seseorang dalam suatu proses yang merupakan urutan pengalaman dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi lebih bermakna, atau berdasarkan definisi Reker disebut proses penemuan personal meaning. Lukas (1986) , melihat ada dua bagian besar antara individu yang telah menemukan personal meaning dan individu yang masih mencari personal meaning. Individu yang belum menemukan personal meaning dapat dibedakan mejadi dua bagian lagi yaitu individu yang berhenti dan terperangkap (stuck) dalam pencarian mereka (people in doubt), dan individu yang masih aktif mencari personal meaning nya. Sedangkan individu yang telah menemukan personal meaning juga dibagi menjadi dua, yaitu individu yang memiliki sistem nilai piramidal (people in despair) dan individu yang memiliki sistem nilai paralel. Kratochvil (dalam Lukas, 1986) mengungkapkan, individu yang memiliki sistem nilai piramidal adalah individu yang hanya memiliki satu nilai besar dalam hidupnya di atas nilai-nilai kehidupannya yang lain. Sedangkan individu yang memiliki sistem nilai paralel adalah individu yang memiliki beberapa nilai yang sama-sama kuat dalam kehidupannya, semua nilai yang dimilikinya sama berartinya. Kratochvil (dalam Lukas, 1986) juga menegaskan bahwa individu yang memiliki sistem nilai paralel, umumnya lebih sehat dan stabil daripada individu yang memiliki sistem nilai piramidal. Ada dua alasan yang mendasari pemikiran Kratochvil ini, yaitu ; 1. 2. Individu yang memiliki sistem nilai paralel lebih mudah menggantikan (replace) nilai miliknya yang hilang. Misalnya, seorang ibu yang berhenti berkarir, masih memiliki prestasi lain di kegiatan sosial dan kesibukan dalam rumah tangganya. Sedangkan individu dengan sistem nilai piramidal, konsep keseluruhan hidupnya mudah dikacaukan (shambles). Umumnya, individu yang hanya memegang satu nilai tertinggi, cenderung fanatik atau tidak dapat bertoleransi terhadap suatu situasi kehidupan. Misalnya, seorang ibu yang hidup hanya untuk anaknya, sulit untuk memahami perilaku ibu-ibu lain yang dapat menitipkan anaknya untuk pergi bekerja.

DAFTAR PUSTAKA Bastaman, H. D, (1996). Meraih Hidup Bermakna : Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis. Jakarta : Paramadina Baumeister, R. F., (1991). Meanings of Life. New York : Guilford Press Bourne Jr, L.E. & Ekstrand, B.R., (1973). Psychology : Its Principles & Meanings. Illinois: Dryden Press

Frankl, V.E., (2006). Mans Search for Meaning. Boston : Beacon Press Lukas, E. (1986). Meaningful Living : A Logotherapy Guide to Health. (tanpa kota penerbit dan nama penerbit) Ranst, N.V. & Marcoen, A. (t,th). Structural Components of Personal Meaning in Life and Their Relationship with Death Attitudes and Coping Mechanisms in Late Adulthood. California : Sage Publication Reker, G. T., & Chamberlain, K., (2000). Exploring Existential Meaning : Optimizing Human Development Across the Life Span. California : Sage Publication Reker, G.T. (1997). Personal meaning, optimism, and choice: Existential predictors of depression in community and institutional elderly. Vol.37, Iss. 6; pg. 709, 8 pgs. Diakses pada 4 September 2006, dari www.proquest.com Schultz, D. (1991). Psikologi Pertumbuhan : Model-model Kepribadian Sehat. Yogyakarta : Kanisius Siswanto, D. (2001). Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre. Yogyakarta : Philosophy Press Wiebe, R.L. (2001). The Influence of Personal Meaning on Vicarious Traumatization in the Rapists. [Versi elektronik]. Diakses pada 27 Maret 2007 dari www.twu.ca/cpsy/Documents/Theses/Rhonda%20Wiebe%20Thesis.pdf Visser,W.( 2005). Sources of Meaning in the Life, Work and Careers of Corporate Sustainability Managers in South Africa. Diakses pada 18 September 2006 dari www.waynevisser.com/meaning_sustainability_jan05.htm

RESILIENSI INDIVIDU Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. (Reivich dan Shatt,2002. Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik Kemampuan ini terdiri dari: 1. Regulasi emosi Menurut Reivich dan Shatt (2002) regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat menurut Reivich dan Shatt (2002) merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatt (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress. 2. Pengendalian impuls Reivich dan Shatt (2002) mendefinisikan pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial. 3. Optimisme Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan di masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatt, 2002). Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang (Reivich & Shatt, 2002). 4. Empati Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain (Reivich & Shatt, 2002). Selain itu, Werner dan Smith (dalam Lewis, 1996) menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatt, 2002). 5. Analisis penyebab masalah Seligman (dalam Reivich & Shatt, 2002) mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya. Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu: 1)Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir saya adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir bukan saya, meyakini

penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi. 2)Permanen (selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai ketidakberhasilan sementara. 3)Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan gaya berpikir semua, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan gaya berpikirtidak semua, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu. 6. Efikasi diri Reivich dan Shatt (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami. 7. Peningkatan aspek positif Menurut Reivich dan Shatt (2002), resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup . Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan Shatte, 2002) RBP Ada individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan individu lain gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade & Fredrikson, 2004). Pengertian Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Secara spesifik, ego-resilience adalah: a personality resource that allows individual to modify their characteristic level and habitual mode of expression of ego-control as the most adaptively encounter, function in and shape their immediate and long term environmental context. (Block, dalam Klohnen, 1996, hal.45). Dari definisi yang dikemukakan di atas, nampak bahwa ego resiliensi merupakan satu sumber kepribadian yang berfungsi membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang, di mana sumber daya tersebut memungkinkan individu untuk memodifikasi tingkat karakter dan cara mengekspresikan pengendalian ego yang biasa mereka lakukan. Dalam perjalanannya, terminologi resiliensi mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy (dalam Klohnen, 1996), tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan. Wolff (dalam Banaag, 2002), memandang resiliensi sebagai trait. Menurutnya, trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai intelegensi yang baik, mudah beradaptasi, social temperament, dan berkepribadian yang menarik pada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten pada penghargaan diri sendiri, kompetensi, dan perasaan bahwa ia beruntung. Individu tersebut adalah individu yang resilien. Grotberg (1995), di sisi lain menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas mampu mencegah, meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan. Resiliensi disebut juga oleh Wolin & Wolin (dalam Bautista, Roldan & Bascal, 2001), sebagai keterampilan coping saat dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas individu untuk tetap sehat (wellness) dan terus memperbaiki diri (self repair). Lazarus (dalam Tugade & Fredrikson, 2004), menganalogikan resiliensi dengan kelenturan pada logam. Misalnya, besi cetak yang banyak mengandung karbon sangat keras tetapi getas atau mudah patah (tidak resilien) sedangkan besi tempa mengandung sedikit karbon sehingga lunak dan mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan (resilien). Perumpaan tersebut bisa diterapkan untuk membedakan individu yang memiliki daya tahan dan yang tidak saat dihadapkan pada tekanan psikologis yang dikaitkan dengan pengalaman negatif. Banaag (2002), menyatakan bahwa resiliensi adalah suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan melakukan kontruksi diri secara positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan melunakkan kesulitan hidup individu.

Liquanti (1992), menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi pada remaja merupakan kemampuan yang dimiliki remaja di mana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perbedaan dalam lingkungan. Mereka mampu terhindar dari penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan di sekolah, dan dari gangguan mental. Masten & Coatswerth (dalam Davis, 1999), mengatakan bahwa untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yaitu yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam compotent manner). Faktor-faktor Resiliensi Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi). Grotberg (1995), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah I Have, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilahI Can. Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor resiliensi yang dapat menggambarkan resiliensi pada individu. I Am, I Have, I Can merupakan karakteristik untuk meningkatkan resiliensi dari the principal investigator of the Internasional Resilieance Project (Grotberg, 1995). I Am Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian antara lain; bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab. Berikut ini, akan dijelaskan satu persatu mengenai bagian-bagian dari faktor I Am. Bangga pada diri sendiri; individu tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. Perasaan dicintai dan sikap yang menarik; Individu pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih tinggi. Mencintai, empati, altruistic; yaitu ketika seseorang mencintai orang lain dan mengekspresikan cinta itu dengan berbagai macam cara. Individu peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikan melalui berbagai perilaku atau kata-kata. Individu merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan atau berbagi penderitaan atau memberikan kenyamanan. Bagian yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab. Individu dapat melakukan berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab. Setiap faktor dari I Am, I Have, I Can memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang beresiliensi. Sumber bacaan: Banaag, C. G. (2002). Reiliency, street Children, and substance abuse prevention. Prevention Preventif, Nov. 2002, Vol 3. Bernard, B. (1995). Fostering Resilience in Children. University of Illinois at Urbana Champaign, Children Research Center. Davis, N.J. (1999). Resilience & School Violence Prevention: Research-based program. National Mental Health Information Center.

Grotberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening The Human Spirit. Benard Van Leer Fondation. Hiew, C. C., Mori, T., Shimizu, Masuharu., & Tominaga, Mihoko. (2000). Measurement Of Resilience Development: Preliminary Result with a State Trait Resilience Inventory. Journal of Learning & Faculty of Education, Volume I. Hirosima University. Klohnen, E.C. (1996). Conseptual Analysis and Measurement of The Construct of Ego Resilience. Journal of Personality and Social Psychology, Volume. 70 No 5, p 1067-1079. Liquanti, R. (1992). Using Community-wide Collaboration to Foster Resiliency in Kids: A Conceptual Framework Western Regional Center For Drugs-Free School and Communities, Far West Laboratory fo Educational Research and Development. San Fransisco. Diambil dari http://www.ncrel.org/sdrs/cityschool/citu11bhtm (24/10/04). Richmond, J. B. & Beardslee, W. R. (1988). (Resiliency : Research and pracital applications for pediatricians. Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics, 9 (3), June, 157-163. Tugade M.M & B.L. Fredrickson. (2004). Resilient Individual Use Positive Emotions To Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality and Social Psychology, Volume 24, no 2. 320-333.

Anda mungkin juga menyukai