Anda di halaman 1dari 10

Definisi

 Parks menggambarkan spiritualitas sebagai sebuah pencarian personal untuk


menjadi berarti, transenden, menyadari keseluruhan jiwa, mencari tujuan, dan
memahami spirit sebagai yang menghidupkan esensi pada hidup.
 Dewit-Weaver (dalam McEwen, 2004) mendefinisikan spiritualitas sebagai
bagaian dari dalam diri individu (core of individuals) yang tidak terlihat (unseen, invisible)
yang berkontribusi terhadap keunikan serta dapat menyatu dengan nilai-nilai
transendental (suatu kekuatan yang maha tinggi/high power dengan Tuhan/God) yang
memberikan makna, tujuan, dan keterhubungan.
 Spiritualitas juga didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk membuat dan
mencari makna melalui rasa keterhubungan pada dimensi yang melebihi diri sendiri
(Reed, dalam McEwen, 2004).
 Definisi lain menyatakan bahwa spiritualitas adalah prinsip hidup seseorang
untuk menemukan makna dan tujuan hidup serta hubungan dan rasa keterikatan
dengan sesuatu yang misteri, maha tinggi, Tuhan, atau sesuatu yang universal
(Burkhardt, dalam McEwen 2004).
 Tischler (2002) mengatakan bahwa spiritualitas mirip dengan suatu cara yang
berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu.
Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan
penuh kasih.
 Larson (2003) menyatakan bahwa spiritualitas mengacu kepada orientasi
seseorang terhadap pengalaman-pengalaman transedensi atau karakteristik hakiki dari
kehidupan, seperti makna, arah dan tujuan hidup, serta keterkaitannya. Kadang-kadang
spiritualitas mengacu pada pencarian hal-hal suci dalam kehidupan.
 Spiritualitas merupakan sebuah bentuk multidimensi dan dinamis. Emmons
(2003) mengatakan bahwa sangatlah terlalu sederhana untuk menganggap spiritualitas
sebagai tingkah laku yang pasif dan statis yang dimiliki seseorang, atau perilaku yang
terikat di dalamnya, seperti ritual- ritual.
 Friedman et al mendefenisikan spritualitas sebagai proses aktif dan positif yang
melibatkan pencarian aktivitas-aktivitas yang mengembalikan seseorang kepada rasa
keterpaduan (coherence), menuju kualitas keutuhan dan kedamaian dalam diri.
 Beberapa ahli menyamakan konsep spiritualitas dengan agama atau praktik-
praktik keagamaan (Emblen & Halstead, 1993; dalam Smith, 1994). Menurut mereka,
spiritualitas tidak bertentangan dengan agama, tetapi spiritualitas merupakan fenomena
yang lebih inklusif. Bagi beberapa individu, spiritualitas bisa dihubungkan serta
diungkapkan melalui agama formal, sedangkan bagi sebagian individu yang lain,
spiritualitas dianggap tidak berkaitan dengan keyakinan-keyakinan keagamaan ataupun
afiliasi keagamaan yang lainnya (Elkins, et al. 1998, dalam Smith 1994).
 Secara eksplisit, Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai rangkaian
karakteristik motivasional (motivational trait), kekuatan emosional umum yang
mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu. Lebih jauh,
Piedmont (2001) mendefinisikan spiritualitas sebagai usaha individu untuk memahami
sebuah makna yang luas akan pemaknaan pribadi dalam konteks kehidupan setelah
mati (eschatological).
 Elkins, dkk (dalam Smith, 1994) mendeskripsikan spiritualitas dari perspektif
humanis dan eksistensial dengan menciptakan definisi dari tulisan- tulisan Maslow,
Dewey, dan Frankl tentang potensi-potensi positif manusia. Elkins, dkk. kemudian
memandang spiritualitas sebagai suatu fenomena yang secara potensial berada di
dalam diri setiap manusia. Menurut mereka, spiritualitas dapat diartikan sebagai jalan
untuk menjadi serta mengalami kesadaran spiritual yang diperoleh melalui kesadaran
dimensi transendental yang ditandai oleh nilai-nilai yang mampu diidentifikasi baik yang
datang dari diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan maupun nilai-nilai yang
mengarahkan seseorang untuk mencapai tujuan puncak (Ultimate).

Karakteristik & Dimensi Spiritualitas


Beberapa karakteristik spiritualitas yang dikemukakan oleh Hamid (2000) adalah
sebagai berikut :

1. Hubungan dengan diri sendiri

 Pengetahuan mengenai diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya).


 Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan,
ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri)

2. Hubungan dengan alam

 Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim.


 Berkomuikasi dengan alam (bertanam, berjalan kaki) mengabadikan dan
melindungi alam.

3. Hubungan dengan orang lain

 Berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik.


 Mengasuh anak, orang tua, dan orang sakit.
 Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat, dll).

4. Hubungan dengan orang lain yang tidak harmonis :

 Konflik dengan orang lain


 Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.

5. Hubungan dengan Ketuhanan

 Sembahyang/berdoa/meditasi.
 Perlengkapan keagaamaan
 Bersatu dengan alam

Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualnya


apabila mampu :

 Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di


dunia/kehidupan.
 Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau
penderitaan.
 Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya, dan
cinta.
 Membina integritas personal dan merasa diri berharga.
 Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan.
 Mengembangkan hubungan antar manusia yang positif.
Dimensi Spiritualitas

Elkins, dkk (dalam Smith, 1994) menjelaskan adanya sembilan dimensi dalam
spiritualitas yang berdasarkan studi literatur yang telah dilakukannya adalah sebagai
berikut :

1. Dimensi transenden
Orang spiritual memiliki kepercayaan/belief berdasarkan eksperensial bahwa ada
dimensi transenden dalam hidup. Kepercayaan/belief disini dapat berupa
perspektif tradisional/agama mengenai Tuhan sampai perspektif psikologis
bahwa dimensi transenden adalah eksistensi alamiah dari kesadaran diri dari
wilayah ketidaksadaran atau greater self. Orang spiritual memiliki pengalaman
transenden atau dalam istilah Maslow “peak experience”. Individu melihat apa
yang dilihat tidak hanya apa yang terlihat secara kasat mata, tetapi juga dunia
yang tidak dapat terlihat.
2. Dimensi Makna dan Tujuan hidup.
Orang spiritual akan memiliki makna hidup dan tujuan hidup yang timbul dari
keyakinan bahwa hidup itu penuh makna dan orang akan memiliki eksistensi jika
memiliki tujuan hidup. Secara aktual, makna dan tujuan hidup setiap orang
berbeda‐beda atau bervariasi, tetapi secara umum mereka mampu mengisi
“exixtential vacuum” dengan authentic sense bahwa hidup itu penuh makna dan
tujuan.
3. Dimensi Misi Hidup.
Orang spiritual merasa bahwa dirinya harus bertanggung jawab terhadap hidup.
Orang spiritual termotivasi oleh metamotivasi, yang berarti mereka dapat
memecah misi hidupnya dalam target-target konkrit dan tergerak untuk
memenuhi misi tersebut.
4. Dimensi Kesucian Hidup.
Orang spiritual percaya bahwa hidup diinfus oleh kesucian dan sering mengalami
perasaan khidmad, takzim, dan kagum meskipun dalam setting nonreligius. Dia
tidak melakukan dikotomi dalam hidup (suci dan sekuler; akhirat dan duniawi),
tetapi percaya bahwa seluruh kehidupannya adalah akhirat dan bahwa kesucian
adalah sebuah keharusan. Orang spiritual dapat sacralize atau religionize dalam
seluruh kehidupannya.
5. Dimensi nilai-nilai material/material values.
Orang spiritual dapat mengapresiasi material good seperti uang dan kedudukan,
tetapi tidak melihat kepuasan tertinggi terletak pada uang atau jabatan dan tidak
mengunakan uang dan jabatan untuk menggantikan kebutuhan spiritual. Orang
spiritual tidak akan menemukan kepuasan dalam materi tetapi kepuasan
diperoleh dari spiritual.
6. Dimensi Altruisme.
Orang spiritual memahami bahwa semua orang bersaudara dan tersentuh oleh
penderitaan orang lain. Dia memiliki perasaan/sense kuat mengenai keadilan
sosial dan komitmen terhadap cinta dan perilaku altrusitik.
7. Dimensi Idealisme.
Orang spiritual adalah orang yang visioner, memiliki komitmen untuk membuat
dunia menjadi lebih baik lagi. Mereka berkomitmen pada idealisme yang tinggi
dan mengaktualisasikan potensinya untuk seluruh aspek kehidupan.
8. Dimensi Kesadaran Akan Adanya Penderitaan.
Orang spiritual benar‐benar menyadari adanya penderitaan dan kematian.
Kesadaran ini membuat dirinya serius terhadap kehidupan karena penderitaan
dianggap sebagai ujian. Meskipun demikian, kesadaran ini meningkatkan
kegembiraan, apresiasi dan penilaian individu terhadap hidup.
9. Hasil dari spiritualitas
Spiritualitas yang dimiliki oleh seseorang akan mewarnai kehidupannya.
Spiritualitas yang benar akan berdampak pada hubungan individu dengan dirinya
sendiri, orang lain, alam, kehidupan dan apapun yang menurut individu akan
membawa pada Ultimate.

Kemudian Smith (1994) merangkum sembilan aspek spiritualitas yang diungkapkan oleh
Elkins, dkk. tersebut menjadi empat aspek sebagaimana berikut:

1. Merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna. Hal ini mencakup rasa memiliki
misi dalam hidup.
2. Memiliki sebuah komitmen terhadap aktualisasi potensi-potensi positif dalam
setiap aspek kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran bahwa nilai-nilai spiritual
menawarkan kepuasan yang lebih besar dibandingkan nilai-nilai material, serta
spiritualitas memiliki hubungan integral dengan seseorang, diri sendiri, dan
semua orang.
3. Menyadari akan keterkaitan dalam kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran akan
musibah dalam kehidupan dan tersentuh oleh penderitaan orang lain.
4. Meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi transendensi adalah
menguntungkan. Hal ini mencakup perasaan bahwa segala hal dalam hidup
adalah suci.

Sementara itu, Piedmont (2001) mengembangkan sebuah konsep spiritualitas yang


disebutnya sebagai Spiritual Transcendence, yaitu kemampuan individu untuk berada di
luar pemahaman dirinya akan waktu dan tempat, serta untuk melihat kehidupan dari
perspektif yang lebih luas dan objektif. Perpektif transendensi tersebut merupakan suatu
perspektif di mana seseorang melihat satu kesatuan fundamental yang mendasari
beragam kesimpulan akan alam semesta. Konsep ini terdiri atas tiga aspek, yaitu:

1. Prayer Fulfillment (pengamalan ibadah), yaitu sebuah perasaan gembira dan


bahagia yang disebabkan oleh keterlibatan diri dengan realitas transenden.
2. Universality (universalitas), yaitu sebuah keyakinan akan kesatuan kehidupan
alam semesta (nature of life) dengan dirinya.
3. Connectedness (keterkaitan), yaitu sebuah keyakinan bahwa seseorang
merupakan bagian dari realitas manusia yang lebih besar yang melampaui
generasi dan kelompok tertentu.
Pola normal spiritual

Pola normal spiritual sangat erat hubungannya dengan kesehatan, Karena dari pola tersebut
dapat menciptakan suatu bentuk perilaku adaptif ataupun maladaptif berhubungan dengan
penerimaan kondisi diri (lihat gambar 1). Dimensi spiritual merupakan dimensi yang sangat
penting diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada semua
klien. Bahkan Makhija (2002) menyatakan bahwa keimanan atau keyakinan religius adalah
sangat penting dalam kehidupan personal individu. Lebih lanjut dikatakannya bahwa
keimanan diketahui sebagai suatu faktor yang sangat kuat (powerful) dalam penyembuhan
dan pemulihan fisik, yang tidak dapat diukur. Mengingat pentingnya peranan spiritual dalam
penyembuhan dan pemulihan kesehatan maka penting bagi perawat untuk meningkatkan
pemahaman tentang konsep spiritual agar dapat memberikan asuhan spiritual dengan baik
kepada semua klien.

 
Perkembangan Aspek Spiritual
Perawat yang bekerja di garis terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan manusia
termasuk juga kebutuhan spiritual klien. Berbagai cara dilakukan perawat untuk memenuhi
kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritual sampai dengan
memfasilitasi klien untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya. Pemenuhan aspek
spiritual pada klien tidak terlepas dari pandangan terhadap lima dimensi manusia yang
harus dintegrasikan dalam kehidupan. Lima dimensi tersebut yaitu dimensi fisik, emosional,
intelektual, sosial, dan spiritual (Rawlins, 1993). Dimensi-dimensi tersebut berada dalam
suatu sistem yang saling berinterksi, interrelasi, dan interdepensi, sehingga adanya
gangguan pada suatu dimensi dapat mengganggu dimensi lainnya. 
Perawat harus mengetahui tahap perkembangan spiritual dari manusia, sehingga perawat
dapat memberikan asuhan keperawatan dengan tepat dalam rangka memenuhi kebutuhan
spiritual klien. Tahap perkembangan klien dimulai dari lahir sampai klien meninggal dunia.
Perkembangan spiritual manusia dapat dilihat dari tahap perkembangan mulai dari bayi,
anak-anak, pra sekolah, usia sekolah, remaja, desawa muda, dewasa pertengahan, dewasa
akhir, dan lanjut usia. Secara umum tanpa memandang aspek tumbuh-kembang manusia
proses perkembangan aspek spiritual dilhat dari kemampuan kognitifnya dimulai dari
pengenalan, internalisasi, peniruan, aplikasi dan dilanjutkan dengan instropeksi. Namun,
berikut akan dibahas pula perkembangan aspek spiritual berdasarkan tumbuh-kembang
manusia.
Perkembangan spiritual pada anak sangatlah penting untuk diperhatikan. Manusia sebagai
klien dalam keperawatan anak adalah individu yang berusia antara 0-18 bulan, yang sedang
dalam proses tumbuh kembang, yang mempunyai kebutuhan yang spesifik (fisik, psikologis,
sosial, dan spiritual) yang berbeda dengan orang dewasa. Anak adalah individu yang masih
bergantung pada orang dewasa dan lingkungan, artinya membutuhkan lingkungan yang
dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri.
Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari masa perkembangan bayi. Haber (1987)
menjelaskan bahwa perkembangan spiritual bayi merupakan dasar untuk perkembangan
spiritual selanjutnya. Bayi memang belum memiliki moral untuk mengenal arti spiritual.
Keluarga yang spiritualnya baik merupakan sumber dari terbentuknya perkembangan
spiritual yang baik pada bayi (Widyatuti, 1999). Oleh karena itu, perawat dapat menjalin
kerjasama dengan orang tua bayi tersebut untuk membantu pembentukan nilai-nilai spiritual
pada bayi. 
Dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada masa kanak-kanak awal (18
bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami peningkatan kemampuan kognitif. Anak dapat
belajar membandingkan hal yang baik dan buruk untuk melanjuti peran kemandirian yang
lebih besar. Tahap perkembangan ini memperlihatkan bahwa anak-anak mulai berlatih untuk
berpendapat dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka merasa tinggal dengan
aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat dimulai dari kebiasaan yang sederhana
seperti cara berdoa sebelum tidur dan berdoa sebelum makan, atau cara anak memberi
salam dalam kehidupan sehari-hari. Anak akan lebih merasa senang jika menerima
pengalaman-pengalaman baru, termasuk pengalaman spiritual.
Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun) berhubungan erat dengan
kondisi psikologis dominannya yaitu super ego. Anak usia pra sekolah mulai memahami
kebutuhan sosial, norma, dan harapan, serta berusaha menyesuaikan dengan norma
keluarga. Anak tidak hanya membandingkan sesuatu benar atau salah, tetapi
membandingkan norma yang dimiliki keluarganya dengan norma keluarga lain. Kebutuhan
anak pada masa pra sekolah adalah mengetahui filosofi yang mendasar tentang isu-isu
spiritual. Kebutuhan spiritual ini harus diperhatikan karena anak sudah mulai berfikiran
konkrit. Mereka kadang sulit menerima penjelasan mengenai Tuhan yang abstrak, bahkan
mereka masih kesulitan membedakan Tuhan dan orang tuanya.
Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami peningkatan kualitas kognitif
pada anak. Anak usia sekolah (6-12 tahun) berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah
dapat menggunakan konsep abstrak untuk memahami gambaran dan makna spriritual dan
agama mereka. Minat anak sudah mulai ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak dapat
diajak berdiskusi dan menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua dapat mengevaluasi
pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual mereka.
Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup,
Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil keputusan saat ini dan yang akan
datang. Kepercayaan berkembang dengan mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan
kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak atau menerimanya. Secara alami,
mereka dapat bingung ketika menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten.
Pada tahap ini kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya daripada keluarga.
Tetapi keyakinan yang diambil dari orang lain biasanya lebih mirip dengan keluarga,
walaupun mereka protes dan memberontak saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan
tahap paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan membimbing anak untuk
bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua dan remaja.
Dewasa muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya
dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk memilih nilai dan
kepercayaan mereka yang dipelajari saaat kanak-kanak dan berusaha melaksanakan sistem
kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan merupakan perhatian utama pada usia ini,
mereka lebih banyak memudahkan hidup walaupun mereka tidak memungkiri bahwa
mereka sudah dewasa.
Dewasa pertengahan (25-38 tahun). Dewasa pertenghan merupakan tahap perkembangan
spiritual yang sudah benar-benar mengetahui konsep yang benar dan yang salah, mereka
menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai dasar dari sistem nilai. Mereka
sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan terhadap
kepercayaan dan nilai spiritual.
Dewasa akhir (38-65 tahun) .Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan
untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi ini sama
baik dengan dimensi yang lain dari diri individu tersebut. Biasanya kebanyakan pada tahap
ini kebutuhan ritual spiritual meningkat. 
Lanjut usia (65 tahun sampai kematian). Pada tahap perkembangan ini, menurut Haber
(1987) pada masa ini walaupun membayangkan kematian mereka banyak menggeluti
spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai faktor yang
mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi orang lain. Riset membuktikan orang
yang agamanya baik, mempunyai kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi
lansia yang agamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa tidak
berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa takut mati. Sedangkan pada lansia yang
spiritualnya baik ia tidak takut mati dan dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika
merasa cemas terhadap kematian disebabkan cemas pada proses bukan pada kematian itu
sendiri. 
Dimensi spiritual menjadi bagian yang komprehensif dalam kehidupan manusia. Karena
setiap individu pasti memiliki aspek spiritual, walaupun dengan tingkat pengalaman dan
pengamalan yang berbeda-beda berdasarkan nilai dan keyaninan mereka yang mereka
percaya. Setiap fase dari tahap perkembangan individu menunjukkan perbedaan tingkat
atau pengalaman spiritual yang berbeda.
Pola normal spiritual

Pola normal spiritual sangat erat hubungannya dengan kesehatan, Karena dari pola tersebut
dapat menciptakan suatu bentuk perilaku adaptif ataupun maladaptif berhubungan dengan
penerimaan kondisi diri (lihat gambar 1). Dimensi spiritual merupakan dimensi yang sangat
penting diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada semua
klien. Bahkan Makhija (2002) menyatakan bahwa keimanan atau keyakinan religius adalah
sangat penting dalam kehidupan personal individu. Lebih lanjut dikatakannya bahwa
keimanan diketahui sebagai suatu faktor yang sangat kuat (powerful) dalam penyembuhan
dan pemulihan fisik, yang tidak dapat diukur. Mengingat pentingnya peranan spiritual dalam
penyembuhan dan pemulihan kesehatan maka penting bagi perawat untuk meningkatkan
pemahaman tentang konsep spiritual agar dapat memberikan asuhan spiritual dengan baik
kepada semua klien. 
2.2 Perkembangan Aspek Spiritual
Perawat yang bekerja di garis terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan manusia
termasuk juga kebutuhan spiritual klien. Berbagai cara dilakukan perawat untuk memenuhi
kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritual sampai dengan
memfasilitasi klien untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya. Pemenuhan aspek
spiritual pada klien tidak terlepas dari pandangan terhadap lima dimensi manusia yang
harus dintegrasikan dalam kehidupan. Lima dimensi tersebut yaitu dimensi fisik, emosional,
intelektual, sosial, dan spiritual (Rawlins, 1993). Dimensi-dimensi tersebut berada dalam
suatu sistem yang saling berinterksi, interrelasi, dan interdepensi, sehingga adanya
gangguan pada suatu dimensi dapat mengganggu dimensi lainnya. 
Perawat harus mengetahui tahap perkembangan spiritual dari manusia, sehingga perawat
dapat memberikan asuhan keperawatan dengan tepat dalam rangka memenuhi kebutuhan
spiritual klien. Tahap perkembangan klien dimulai dari lahir sampai klien meninggal dunia.
Perkembangan spiritual manusia dapat dilihat dari tahap perkembangan mulai dari bayi,
anak-anak, pra sekolah, usia sekolah, remaja, desawa muda, dewasa pertengahan, dewasa
akhir, dan lanjut usia. Secara umum tanpa memandang aspek tumbuh-kembang manusia
proses perkembangan aspek spiritual dilhat dari kemampuan kognitifnya dimulai dari
pengenalan, internalisasi, peniruan, aplikasi dan dilanjutkan dengan instropeksi. Namun,
berikut akan dibahas pula perkembangan aspek spiritual berdasarkan tumbuh-kembang
manusia.
Perkembangan spiritual pada anak sangatlah penting untuk diperhatikan. Manusia sebagai
klien dalam keperawatan anak adalah individu yang berusia antara 0-18 bulan, yang sedang
dalam proses tumbuh kembang, yang mempunyai kebutuhan yang spesifik (fisik, psikologis,
sosial, dan spiritual) yang berbeda dengan orang dewasa. Anak adalah individu yang masih
bergantung pada orang dewasa dan lingkungan, artinya membutuhkan lingkungan yang
dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri.
Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari masa perkembangan bayi. Haber (1987)
menjelaskan bahwa perkembangan spiritual bayi merupakan dasar untuk perkembangan
spiritual selanjutnya. Bayi memang belum memiliki moral untuk mengenal arti spiritual.
Keluarga yang spiritualnya baik merupakan sumber dari terbentuknya perkembangan
spiritual yang baik pada bayi (Widyatuti, 1999). Oleh karena itu, perawat dapat menjalin
kerjasama dengan orang tua bayi tersebut untuk membantu pembentukan nilai-nilai spiritual
pada bayi. 
Dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada masa kanak-kanak awal (18
bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami peningkatan kemampuan kognitif. Anak dapat
belajar membandingkan hal yang baik dan buruk untuk melanjuti peran kemandirian yang
lebih besar. Tahap perkembangan ini memperlihatkan bahwa anak-anak mulai berlatih untuk
berpendapat dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka merasa tinggal dengan
aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat dimulai dari kebiasaan yang sederhana
seperti cara berdoa sebelum tidur dan berdoa sebelum makan, atau cara anak memberi
salam dalam kehidupan sehari-hari. Anak akan lebih merasa senang jika menerima
pengalaman-pengalaman baru, termasuk pengalaman spiritual.
Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun) berhubungan erat dengan
kondisi psikologis dominannya yaitu super ego. Anak usia pra sekolah mulai memahami
kebutuhan sosial, norma, dan harapan, serta berusaha menyesuaikan dengan norma
keluarga. Anak tidak hanya membandingkan sesuatu benar atau salah, tetapi
membandingkan norma yang dimiliki keluarganya dengan norma keluarga lain. Kebutuhan
anak pada masa pra sekolah adalah mengetahui filosofi yang mendasar tentang isu-isu
spiritual. Kebutuhan spiritual ini harus diperhatikan karena anak sudah mulai berfikiran
konkrit. Mereka kadang sulit menerima penjelasan mengenai Tuhan yang abstrak, bahkan
mereka masih kesulitan membedakan Tuhan dan orang tuanya.
Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami peningkatan kualitas kognitif
pada anak. Anak usia sekolah (6-12 tahun) berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah
dapat menggunakan konsep abstrak untuk memahami gambaran dan makna spriritual dan
agama mereka. Minat anak sudah mulai ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak dapat
diajak berdiskusi dan menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua dapat mengevaluasi
pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual mereka.
Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup,
Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil keputusan saat ini dan yang akan
datang. Kepercayaan berkembang dengan mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan
kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak atau menerimanya. Secara alami,
mereka dapat bingung ketika menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten.
Pada tahap ini kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya daripada keluarga.
Tetapi keyakinan yang diambil dari orang lain biasanya lebih mirip dengan keluarga,
walaupun mereka protes dan memberontak saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan
tahap paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan membimbing anak untuk
bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua dan remaja.
Dewasa muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya
dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk memilih nilai dan
kepercayaan mereka yang dipelajari saaat kanak-kanak dan berusaha melaksanakan sistem
kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan merupakan perhatian utama pada usia ini,
mereka lebih banyak memudahkan hidup walaupun mereka tidak memungkiri bahwa
mereka sudah dewasa.
Dewasa pertengahan (25-38 tahun). Dewasa pertenghan merupakan tahap perkembangan
spiritual yang sudah benar-benar mengetahui konsep yang benar dan yang salah, mereka
menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai dasar dari sistem nilai. Mereka
sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan terhadap
kepercayaan dan nilai spiritual.
Dewasa akhir (38-65 tahun) .Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan
untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi ini sama
baik dengan dimensi yang lain dari diri individu tersebut. Biasanya kebanyakan pada tahap
ini kebutuhan ritual spiritual meningkat. 
Lanjut usia (65 tahun sampai kematian). Pada tahap perkembangan ini, menurut Haber
(1987) pada masa ini walaupun membayangkan kematian mereka banyak menggeluti
spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai faktor yang
mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi orang lain. Riset membuktikan orang
yang agamanya baik, mempunyai kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi
lansia yang agamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa tidak
berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa takut mati. Sedangkan pada lansia yang
spiritualnya baik ia tidak takut mati dan dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika
merasa cemas terhadap kematian disebabkan cemas pada proses bukan pada kematian itu
sendiri. 
Dimensi spiritual menjadi bagian yang komprehensif dalam kehidupan manusia. Karena
setiap individu pasti memiliki aspek spiritual, walaupun dengan tingkat pengalaman dan
pengamalan yang berbeda-beda berdasarkan nilai dan keyaninan mereka yang mereka
percaya. Setiap fase dari tahap perkembangan individu menunjukkan perbedaan tingkat
atau pengalaman spiritual yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai