Anda di halaman 1dari 5

MASIH SAKTIKAH PANCASILA ?

Sebuah Refleksi Hari Kesaktian Pancasila Oleh : Syarief Hidayatullah, SH

Apakah Nilai-Nilai Pancasila Masih Menancap Kuat Dalam Sanubari Generasi Ibu Pertiwi Sebagai Tata Nilai Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara ?

Pendahuluan
Pertanyaan di atas sudah sepantasnya kita lontarkan kepada seluruh generasi bangsa. Jika melihat berbagai persoalan negeri yang tiada habisnya, Penulis merasa prihatin. Perkembangan kondisi di Indonesia belakangan ini mungkin kita menganggap Indonesia sudah tidak lagi ber"Pancasila". Baru-baru saja kita terhenyak dengan kejadian tawuran antar pelajar hingga menewaskan tiga orang siswa, belum lagi berbagai kasus yang tidak pernah sepi dari pemberitaan media massa; kasus korupsi, perseteruan elit, konflik sosial karena sara, penyelenggaraan pemerintahan yang tidak berpihak kepada rakyat, kemiskinan, tawaran ideologi baru atas nama agama yang dipaksakan, dan mungkin masih banyak lagi. Semua bermasalah, tiada prestasi yang tertoreh di negeri ini. Apakah benar negeri ini telah terpuruk dan sulit untuk bangkit ? apakah kita masih berperilaku seperti yang tersirat dalam nilai-nilai Pancasila ? atau apakah kita memang sudah melenceng ? Itu semua terjadi karena nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila tidak lagi dijiwai dan diamalkan secara maksimal. Pada masa orde baru misalnya, Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan, dan sekarang ini Pancasila sebatas jargon saja. Implementasinya tidak ada, karena semua asyik masuk dengan kepentingan pribadi dan kelompok yang mengalahkan kepentingan nasional. Negeri ini dibangun dengan pondasi kokoh Pancasila, namun sekarang keberadaannya mulai rapuh tercabik-cabik. Nilai-nilai luhur Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat telah luntur dan menjadi kabur karena sudah dilupakan. Masih saktikah Pancasila? 1

Revitalisasi Makna Penting Pancasila


Setiap tahun hari kesaktian Pancasila diperingati, dan pada tahun 2012 ini adalah peringatan yang ke 47. Tentu hal penting yang harus dilakukan bukanlah peringatan sebagai ritual tahunan saja, akan tetapi merefleksi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap pasal Pancasila untuk digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peringatan dimaknai sebagai sebuah panggilan untuk merevitalisasi Pancasila yang sekarang ini memang dalam kondisi bahaya karena pemaknaan setiap pasal di dalamnya sudah mulai luntur untuk dijadikan sebagai dasar tatanan penyelenggaraan negara yang demokratis dalam format dasar negara atau ideologi, sebab mustahil bagi suatu bangsa dapat mempertahankan survival-nya dari berbagai tantangan dan ancaman. Revitalisasi setiap sila yang jumlahnya ada lima menjadi pekerjaan penting sekarang ini, biarpun memang tidak mudah. Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa negeri ini bukanlah negara agaman, namun mengakui keberadaan agama-agama yang berkembang di Indonesia tanpa memandang beda antara satu dengan yang lain. Keberadaan agama diberikan kesempatan untuk berkembang, dijalankan sesuai dengan keyakinan dan cara peribadatan masing-masing penganutnya. Tidak benar jika agama yang dianut secara mayoritas melakukan penindasan atau memperlakukan berbeda terhadap penganut agama lain. Jika hal ini tidak disadari maka akan mendatangkan konflik agama, ini sangat berbahaya. Apalagi berbagai teror dan kerusuhan di Indonesia seringkali diatasnamakan keyakinan agama. Padahal semua mengetahui bahwa tidak satupun agama yang mengajarkan kekejaman terhadap kelompok agama lain. Masyarakat sudah jenuh, capek jika sentimen agama terus dihidupkan sehingga melahirkan konflik dan kekejaman dengan melakukan teror bahkan harus merenggut nyawa manusia. Masih segar dalam ingatan kita, kasus Madura, penembakan dan pengeboman di Kota Solo dan berbagai daerah lain. Dapatkah para tokoh agama menjadi suri tauladan toleransi antar agama sehingga tercipta kehidupan yang aman dan damai ? Sila kedua; Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Rasa kemanusian masyarakat kita telah ternodai oleh tindakan tidak berperi-kemanusiaan karena telah hilang dimensi kemanusiaannya. Nyawa manusia Indonesia 1

sudah dihargai murah terunggut dengan cara keji. Keadilan dan peradaban telah tergantikan ketidakadilan dan kebiadaban. Nilai pada sila kedua ini tentu dapat hidup dan berkembang melalui penanaman dan penyiraman nilai-nilai luhur norma dan ajaran agama serta tata hukum yang berlaku di Indonesia secara terus menerus. Sebab rasa kemanusian, keadilan dan keberadaban saat sekarang telah mulai kabur ditelan kejahatan nafsu binatang manusia. Sila ketiga; Persatuan Indonesia. Ujud aktualisasi sila ketiga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis harus tetap dalam kesatuan dan persatuan Indonesia. Tidak boleh memaksakan kepentingan pribadi dan kelompok di atas kepentingan nasional yang telah terbingkai dengan keIndonesia-an. Persatuan dalam ke-Indonesia-an ini tidak hanya diimposisi dari atas, akan tetapi merupakan pergerakan kemasyarakatan, di mana seluruh komponen kebangsaan yang majemuk ikut andil terlibat secara aktif dengan menumbuhkan keyakinan bahwa bangsa ini hanya bisa disatukan dengan Pancasila sebagai falsafahnya. Sila keempat; Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dasar ini menjadi pondasi Indonesia dikelola dengan cara demokrasi perwakilan. Rakyat mengkuasakan kepada pemerintah dan legislatif untuk mengatur pengelolaan negara secara bijaksana dengan kandungan hikmat di dalamnya. Kebijakan negara seharus dimusyawarahkan dalam kerangka terbaik untuk rakyat. Akan tetapi jika kita tilik secara lebih seksama, apakah para wakil rakyat kita sudah menunjukkan hal ini ?. Semuanya harus diwakilkan, suara, pendapat, bahkan kaya pun juga harus diwakilkan, ini ironis, rakyat tidak boleh sejahtera tetapi para wakil rakyatlah yang seharusnya sejahtera. Uang negara dipakai habis guna memenuhi kepentingan itu, bahkan mereka masih menjarah uang rakyat dengan cara yang tidak terpuji, korupsi. Banyak pakar menyatakan korupsi memang telah menjadi penyakit akut yang sulit untuk disembuhkan. Kekuasaan tidak lebih hanya sebagai alat untuk menumpuk kekayaan dengan cara melakukan berbagai penyimpangan (abuse of power), teori kekuasaan yang menyatakan the power attend to corrupt (kekuasaan cenderung berperilaku koruptif) menjadi benar adanya. Wajah demokrasi kita penuh masalah, semakin tidak jelas karena dipenuhi pertarungan kepentingan pribadi dan kelompok di atas kepentingan umum/ nasional. 1

Rakyat Indonesai tidak lagi mau dikelabui, oleh karenanya mendesakkan sistem demokrasi partisipatif. Faktor keterlibatan rakyat menjadi hal penting dalam mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan untuk menentukan kebijakan. Sangat wajar karena demokrasi dianggap tidak cukup sebab cenderung mengabaikan kebutuhan rakyat. Pemerintah dan legislatif sebagai wakil rakyat seharusnya memperhatikan hal ini dengan baik. Rakyat menginginkan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dan bukan orang-orang yang berperilaku koruptif, menyalahgunakan kekuasaan. Sila kelima; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pasal ini jelas maksudnya, bahwa perlakuan kepada rakyat Indonesia tidak boleh diskriminatif biarpun berbeda latar belakang, baik suku, agama, ras, budaya, dan etnis. Perbedaan adalah kekayaan yang dapat dijadikan sebagai potensi penting untuk memajukan negara. Tetapi sampai hari ini kita masih menyaksikan perlakukan diskriminatif, bahkan kejam terhadap sebagian kelompok agama ataupun suku dalam tata sosial masyarakat Indonesia. Masih banyak orang merasa dirinya paling baik untuk berkuasa, sehingga berperilaku menindas dan memaksakan kehendak kepada yang lain. Ini tidak boleh terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ketidakadilan akan menyebabkan terjadinya disintegrasi bangsa, tercabik-cabik dan terbelah, tidak utuh lagi sebagai bangsa yang besar.

Sebuah Renungan
Pancasila berisi lima sila yang merupakan serapan dari nilai-nilai luhur yang tumbuh subur dan berkembang. Pancasila adalah pondasi kokoh yang harus dijiwai oleh segenap tumpah darah dalam mengelola negara besar Indonesia. Dalam sejarahnya, penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah negara bangsa Indonesia bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana. Proses pengesahannya melalui jalan panjang penuh liku, penuh perdebatan, rasa tanggung jawab yang besar terhadap nasib bangsa dan negara di kelak kemudian hari, tetapi juga penuh dengan rasa persaudaraan dan toleransi yang tinggi. Peringatan hari kesaktian Pancasila selayaknya dijadikan sebagai sebuah momentum untuk merefleksi kandungan nilai-nilai di dalamnya yang penuh makna.

1. Indonesia adalah negara bangsa yang bhinneka, berbeda-beda namun

tetap satu jua. Kebhinnekaan Indonesia adalah sebuah realitas tetapi bukan merupakan persolan ataupun ancaman. Bhinneka adalah potensi besar yang harus dimanfaatkan demi kemajuan bangsa. Pancasila mengajarkan karakter yang inklusif non diskriminatif, merangkul kebhinnekaan, menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia.
2. Demokrasi

sebagai

sistem

negara

harus

dimaknai

sebagai

alat

mengatur atau mengelola negara secara baik demi kesejahteraan rakyat. Pancasila mengajarkan bahwa pengelolaan negara harus berdasar pada : a. Nilai-nilai rahmat ketuhanan yang maha esa. b. Keberadaban manusia yang memberikan pengayoman, bukan otoriter nan keji. c. Hikmat kebijaksanaan, bukan atas dasar pemenuhan kepentingan pribadi dan kelompok di atas kepentingan nasional.
d. Penuh tanggung jawab dengan tidak menyimpangkan kekuasaan,

abuse of power.
e. Persamaan

atas

hak

dan

keadilan,

bukan

diskriminasi

dan

ketimpangan. Bertolak dari perenungan di atas, faktor kesejahteraan dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia-lah yang harus tetap terjaga sebagai perekat bangsa. Jiwa nasionalisme dan patriotisme yang termanifestasi dalam ketulusan memberi dan menerima, ketulusan mendesak ke belakang kepentingan dan ambisi pribadi, golongan atau suku lewat jalan Pancasila. Inilah kesaktian Pancasila yang sesungguhnya. Selamat Hari Kesaktian Pancasila Ke 47.

Anda mungkin juga menyukai