Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

DEMAM BERDARAH DENGUE


I. Pendahuluan Demam berdarah dengue merupakan penyakit akibat infeksi virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai dengan lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Penyakit ini merupakan penyakit karena virus yang diperantarai oleh nyamuk yang sangat mudah menyebar. II. Epidemiologi Dalam 50 tahun terakhir, insidensi infeksi dengue meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara baru dan penyebaran dari daerah perkotaan ke daerah pedesaan. Diperkirakan 50 juta infeksi dengue terjadi setiap tahunnya di dunia, dan kira-kira 2,5 milyar orang tinggal didaerah endemis dengue.

Gambar 1. Negara/daerah yang berisiko terhadap transmisi dengue, 2000.

Sekitar 1,8 milyar (lebih dari 70%) populasi dunia yang berisiko terhadap dengue tinggal di Regio Asia Tenggara dan Regio Pasifik Barat. Di Indonesia, dimana lebih dari 35% populasi negara tinggal didaerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007, dengan 25.000 kasus dilaporkan berasal dari Jakarta dan Jawa Tengah. Angka kematiannya mencapai kira-kira 1%. III. Etiologi Dalam transmisi virus dengue terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu (1) vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor dilingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ketempat lain; (2) host : terdapatnya penderita dilingkungan atau keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; (3) lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk. Virus Virus dengue (DEN) adalah small single-stranded RNA virus yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri atas asam ribonukleast rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Keempat serotipe tersebut dapat ditemukan di Indonesia namun yang paling banyak adalah DEN-3. Vektor Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi, khususnya Ae. aegypti. Nyamuk ini merupakan spesies tropikal dan subtropikal yang menyebar luas di dunia. Perindukan nyamuk Aedes terjadi dalam bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng yang berisi air dan tempat penampungan air lainnya). Sehingga nyamuk yang belum matur dapat ditemukan pada tempat-tempat tersebut. Host Inkubasi virus dengue terjadi dalam 4-10 hari. Setelah masa inkubasi tersebut infeksi oleh virus dengue dapat menyebabkan spektrum penyakit yang luas, walaupun sebagian besar infeksi asimptomatik atau subklinis.
2

Virus dengue masuk kedalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menghisap darah manusia. Selama fase akut virus dapat ditemukan dalam darah. Respon imun humoral dan selular berkontribusi dalam melawan virus ini dengan membentuk antibodi netralisasi dan mengaktifkan limfosit CD4+ dan CD8+. IV. Patogenesis Virus dengue menginfeksi tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes. Infeksi virus dengue akan menyebabkan aktivasi makrofag yang mem-fagositosis kompleks virus-antibodi sehingga virus dapat bereplikasi dalam makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresikan berbagai mediator inflamasi seperti TNF-alfa, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: supresi sumsum tulang, destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Koagulopati terjadi akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. V. Manifestasi Klinis Infeksi dengue mempunyai penampakan klinis yang bervariasi, bahkan sering dengan evolusi klinis dan outcome yang tidak dapat diprediksi. Sebagian besar pasien sembuh dengan sendirinya dengan klinis yang ringan, sebagian kecil berkembang menjadi penyakit yang berat misalnya dengan karakteristik berupa kebocoran plasma dengan atau tanpa perdarahan. Rehidrasi intravena merupakan pilihan utama terapi yang dapat mengurangi angka kematian menjadi kurang dari 1% pada kasus yang berat. Klasifikasi kasus dengue sudah diperbaharui oleh WHO pada tahun 2009. Klasifikasi tersebut membagi kasus dengue menjadi non-severe dengue dan severe dengue. Kemudian non-severe dengue dibagi lagi menjadi dua subgrup yaitu

pasien dengan tanda peringatan dan tanpa tanda peringatan. Kriteria untuk mendiagnosis infeksi dengue dapat dilihat pada bagan dibawah ini.

Kriteria untuk dengue tanda peringatan Kemungkinan Dengue Tanda Peringatan Tinggal/ berkunjung didaerah Nyeri dan kaku pada abdomen endemis dengue Demam ditambah 2 kriteria Muntah yang persisten dibawah ini: Akumulasi cairan secara klinis Mual, muntah Ruam Nyeri Tes tourniquet positif Leukopenia Perdarahan mukosa Letargi dan gelisah Pembesaran hepar > 2 cm Laboratorium : peningkatan Hct dengan penurunan trombosit secara cepat

Kriteria untuk severe dengue Kebocoran plasma berat yang menyebabkan: syok (Dengue Shock Syndrome) Akumulasi cairan dengan distress nafas Perdarahan hebat Keterlibatan organ: Hepar : AST atau ALT 1000 CNS : gangguan kesadaran Jantung lain dan organ

Adanya tanda peringatan

VI.

Perjalanan Penyakit Infeksi dengue merupakan penyakit yang bersifat sistemik dan dinamis.

Infeksi dengue mempunyai spektrum klinis yang luas meliputi manifestasi klinis yang berat dan tidak berat. Setelah massa inkubasi, infeksi dengue dibagi menjadi tiga fase yaitu: (1) fase demam, (2) fase kritis dan (3) fase penyembuhan. (1) Fase Demam Pasien biasanya demam tinggi secara tiba-tiba. Fase demam akut ini biasanya terjadi selama 2-7 hari dan sering disertai dengan muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh badan, myalgia, arthtalgia dan nyeri kepala. Beberapa pasien mengalami nyeri tenggorokan, penurunan nafsu makan, mual dan muntah. Cukup sulit untuk membedakan dengan infeksi virus lainnya. Tes tourniquet positif pada fase ini memperbesar
4

kecurigaan infeksi dengue. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan mukosa dapat terjadi. Perdarahan vagina yang masif dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi pada fase ini namun jarang terjadi. Dapat pula terjadi pembesaran hepar. (2) Fase Kritis Pada hari ke 3-7, ketika suhu menurun pada 37,5-38oC, peningkatan permeabilitas kapiler yang secara peralel terhadap kenaikan hematokrit dapat terjadi. Hal ini menandakan dimulainya fase kritis. Biasanya kebocoran plasma secara klinik terjadi selama 24-48 jam. Leukopeni yang progresif diikuti dengan penurunan angka trombosit biasanya mendahului terjadinya kebocoran plasma. Dalam keadaan seperti ini pasien yang tidak mengalami peningkatan permeabilitas kapiler keadaan umumnya akan membaik, sedangkan pasien yang mengalami peningkatan permeabilitas kapiler justru akan memburuk keadaannya karena kebocoran plasma. Derajat kebocoran plasma bervariasi mulai dari kebocoran plasma minimal sampai terjadi efusi pleura dan ascites. Peningkatan kadar hematokrit dari nilai awal dapat digunakan untuk melihat keparahan dari kebocoran plasma. Bila terjadi kebocoran plasma plasma yang berat dapat terjadi syok hipovolemik. Bila syok terjadi berkepanjangan maka organ tubuh akan mengalami hipoperfusi sehingga dapat menyebabkan kegagalan organ, acidosis metabolik dan disseminated intravascular coagulation. Selain syok dapat pula terjadi gangguan organ berat yang lain misalnya hepatitis berat, encephalitis atau myocarditis serta perdarahan berat. (3) Fase Penyembuhan Bila pasien dapat bertahan pada masa kritis maka akan terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular secara bertahap selama 48-72 jam. Keadaan umum akan membaik, nafsu makan kembali baik, gejala gastrointestinal mereda, hemodinamik stabil.

VII. Pemeriksaan Penunjang Laboraturium Pemeriksaan darah yang dilakukan untuk screening infeksi dengue adalah pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, angka trombosit dan apusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai dengan limfosit plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue ataupun deteksi antigen virus RNA dengue. Namun karena prosedur yang rumit maka tes serologis yang mendeteksi antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM atau IgG lebih banyak digunakan. Parameter laboratorium yang dimonitor antara lain: Leukosit; dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemui limfositosis relatif disertai adanya limfosit plasma biru. Trombosit; umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke-3-8. Hematokrit; kebocoran plasma dibuktikan dengan adanya peningkatan hematokrit >20% dari nilai awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.

Hemostasis; dilakukan pemeriksaan PTT, APTT, fibrinogen, D-Dimer pada keadaan yang dicurigai adanya perdarahan atau kelainan pembekuan darah. Protein/albumin; kebocoran plasma. SGOT/SGPT; dapat ditemukan peningkatan. Urea/kreatinin; bila didapatkan gangguan fungsi ginjal. Elektrolit; sebagai parameter pemberian cairan. Golongan darah; bila dibutuhkan tranfusi darah atau komponen darah. Imunoserologi; IgM dideteksi mulai pada hari ke 3-5, meningkat pada minggu ke 3 dan hilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer mulai dideteksi pada hari ke 14 sedangkan pada infeksi sekunder mulai dideteksi pada hari ke 2. dapat ditemukan hipoalbuminuria apabila terjadi

Radiologis Pada foto dada bisa didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan. Pemeriksaan foto rontgen sebaiknya dalam posisi dekubitus lateral kanan (RLD) Ascites dan efusi pleura dapat dideteksi dengan pemeriksaan USG. Tes Diagnostik Diagnosis infeksi dengue yang tepat dan efisien merupakan elemen yang penting dalam penatalaksanaan infeksi dengue. Metode diagnosis laboratorium untuk mengkonfirmasi infeksi dengue dapat dilakukan dengan mendeteksi adanya virus, asam nukleat virus, antigen, maupun antibodi. Setelah onset penyakit, virus dapat dideteksi pada serum, plasma, sel darah, dan jaringan lain selama 4-5 hari. Selama fase awal penyakit, isolasi virus, deteksi asam nukleat atau antigen dapat dilakukan untuk mendiagnosis infeksi dengue. Pada akhir fase akut infeksi, metode serologi merupakan pilihan utama. Respon antibodi terhadap adanya infeksi sangat bervariasi antar individu. Antibodi IgM merupakan imunoglobulin yang paling awal muncul. Antibodi ini dapat dideteksi pada 50% pasien 3-5 hari setelah onset penyakit, meningkat menjadi 80% pada hari ke 5 dan menjadi 99% pada hari ke 10. Puncak IgM

adalah 2 minggu setelah onset penyakit kemudian menurun sampai pada kadar yang tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. Anti dengue srum IgG secara umum dapat dideteksi pada kadar kecil pada kahir minggu pertama kemudian meningkat perlahan. Serum IgG dapat dideteksi setelah beberapa bulan bahkan seumur hidup. Pada infeksi sekunder, titer antibodi akan meningkat lebih cepat. Imunoglobulin yang dominan adalah IgG yang terdeteksi dalam tinggi bahkan dalam fase akut. kadar yang

Sebelum hari ke 5 dari onset penyakit atau selama fase demam, infeksi dengue dapat didiagnosis dengan isolasi virus pada kultur sel, deteksi RNA virus dengan nucleic acid amplification test (NAAT) atau dengan mendeteksi antigen virus dengan ELISA atau rapid test. NS1 dan rapid dengue antigen detection test dapat digunakan karena cepat dan terjangkau. Setelah hari ke 5 dari onset penyakit, virus dengue dan antigen akan menghilang dari darah dan mulai muncul antibodi spesifik. Antigen NS1 mungkin masih dapat dideteksi pada sebagian kecil orang. Tes serologi, waktu pengambilan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi virus atau antigen.
8

VIII. Penatalaksanaan Dalam melakukan tata laksana infeksi dengue harus dilakukan 3 tahap yaitu penilaian yang menyeluruh, diagnosis dan penilaian keparahan infeksi dengue setelah itu baru dilakukan manajemen yang tepat. Step I. Penilaian yang menyeluruh Penilaian yang menyeluruh harus meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Riwayat Penyakit, meliputi: onset demam atau onset penyakit jumlah intake oral adanya tanda-tanda peringatan diare penurunan kesadaran/ kejang/ dizziness

jumlah urin output (frekuensi, volume dan kapan terakhir BAK) Riwayat lain yang berkaitan (riwayat infeksi dengue dikeluarga dan lingkungan sekitar; perjalanan kedaerah endemis; kondisi yang memperberat infeksi dengue seprti kehamilan, bayi, kegemukan, diabetes mellitus, hipertensi). Pemeriksaan Fisik, meliputi: penilaian status mental penilaian status hidrasi penilaian status hemodinamik cek adanya takipnea, pernafasan asidosis (kussmaul), efusi pleura cek adanya nyeri tekan pada abdomen, hepatomegali, ascites pemeriksaan adanya ruam atau manifestasi perdarahan tes tourniquet Pemeriksaan laboratorium, meliputi: Pada kunjungan pertama pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan. Nilai hematokrit pada awal fase demam akan menjadi nilai dasar (baseline). Pada infeksi dengue biasanya terjadi penurunan angka leukosit. Penurunan angka trombosit yang cepat dan kenaikan hematokrit diandingkan dengan nilai dasar menunjukkan adanya kebocoran plasma dan mulainya fase kritis. Tes laboratorium yang lain yang juga penting dilakukan adalah tes fungsi liver, glukosa, elektrolit serum, urea dan kreatinin, EKG dan urinalisa. Step II. Penilaian fase penyakit dan keparahannya Berdasarkan penilaian riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium maka dapat ditentukan apakah penyakit tersebut adalah infeksi dengue, dalam fase apa, apakah terdapat tanda peringatan, status hemodinamik dan hidrasinya serta apakah pasien butuh rawat inap. Kriteria rawat inap adalah: adanya tanda peringatan tanda dan gejala hipotensi yang kemungkinan berhubungan dengan kebocoran plasma perdarahan gangguan fungsi organ seperti ginjal, hepar, jantung dan neurologis. penemuan dari pemeriksaan penunjang seperti kenaikan hematokrit, efusi pleura, dan ascites. keadaan yang memperberat misalnya kehamilan, diabetes mellitus, hipertensi, ulkus peptikum, anemia hemolitik, bayi atau usia tua. indikasi sosial misalnya tingggal sendiri, tinggal jauh dari fasilitas kesehatan, tidak tersedia transportasi kefasilitas kesehatan.

10

Step III. Manajemen Berdasarkan manifestasi klinis infeksi dengue, pasien dapat dimanajemen dengan rawat jalan, dirawat dirumah sakit dengan perawatan biasa, dengan perawatan emergensi. Grup A. Pasien yang dirawat dirumah. Pasien ini adalah pasien yang dapat mentoleransi cairan oral secara adekuat dan dapat BAK minimal 6 jam sekali, tidak ada tanda peringatan, terutama saat panas mulai menurun. Pasien rawat jalan harus dimonitor tiap hari untuk perkembangan penyakit hingga pasien melewati fase kritis. Hal yang harus dimonitor adalah hematokrit, angka trombosit, pola suhu badan, jumlah cairan yang masuk dan keluar, jumlah urin, tanda peringatan, tanda kebocoran plasma dan perdarahan. Manajemennya yaitu: Berikan oral rehydration solution (ORS), jus buah dan cairan lain yang mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti cairan yang hilang karena demam dan muntah. Cairan yang diberikan jangan terlalu banyak mengandung gula. Cairan yang adekuat dapat menurunkan angka hospitalisasi. Berikan parasetamol jika pasien mengalami demam. Interval pemberian parasetamol tidak boleh kurang dari 6 jam. Jangan memberikan aspirin, ibuprofen atau NSAID lain karena dapat memicu terjadinya gastritis dan perdarahan. Pasien harus segera dibawa ke rumah sakit apabila ditemukan tanda-tanda sebagai berikut: tidak ada perbaikan klinis, penurunan keadaan pasien, nyeri abdomen yang berat, muntah yang terus menerus, ekstremitas dingin dan lembab, letargi atau gelisah, perdarahan (hematemesis-melena), tidak BAK lebih dari 4-6 jam. Grup B. Pasien yang harus dirawat di rumah sakit. Pasien dalam grup ini adalah pasien yang membutuhkan rawat inap dirumah sakit untuk pengawasan terutama saat mendekati fase kritis. Grup ini meliputi pasien dengan tanda peringatan, pasien dengan keadaan khusus seperti kehamilan, bayi, usia tua, obesitas, diabetes mellitus dan gagal ginjal, pasien dengan kondisi sosial tertentu misalnya tinggal sendiri dan jauh dari pelayanan kesehatan. Jika pasien menunjukkan tanda peringatan, tata laksana yang harus dikerjakan yaitu: Periksa kadar hematokrit pasien sebelum melakukan terapi cairan. Berikan cairan isotonik seperti salin normal atau ringer lactate (RL). Mulai dengan 5-7 ml/jam/KgBB untuk 1-2 jam, kemudian kurangi menjadi 3-5

11

ml/jam/KgBB untuk 2-4 jam, dan kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/jam/KgBB atau kurang berdasarkan keadaan klinisnya. Nilai ulang keadaan klinis dan hematokrit. Jika kadar hematokrit masih sama atau meningkat sedikit maka lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan yang sama yaitu 2-3 ml/jam/KgBB selama 2-4 jam. Jika vital sign memburuk dan hematokrit meningkat secara cepat, naikkan kecepatan tetesan menjadi 5-10 ml/jam/KgBB untuk 1-2 jam. Nilai ulang keadaan klinis dan hematokrit. Berikan volume cairan intravena yang sesuai untuk menjaga perfusi jaringan yang bagus dan urin output 0,5 ml/Kg/jam. Cairan intravena biasanya hanya dibutuhkan dalam 24-48 jam. Kurangi cairan intravena secara bertahap ketika fase kritis akan berakhir. Hal ini diindikasikan dengan urin output dan intake cairan oral yang adekuat serta kadar hematokrit yang menurun sampai dibawah nilai dasar. Pasien dengan tanda peringatan harus dimonitor hingga fase kritis berakhir. Keseimbangan cairan yang masuk dan keluar harus dijaga. Hal-hal yang harus dimonitor adalah vital sign dan perfusi jaringan perifer (setiap 1-4 jam hingga fase kritis berakhir), urin output (setiap 4-6 jam), hematokrit (setiap 6-12 jam), kadar glukosa dan fungsi organ yang lain. Jika pasien tidak menunjukkan tanda peringatan, tata laksana yang harus dilakukan adalah: menyarankan intake cairan oral. Jika tidak dapat ditoleransi, baru dilakukan terapi cairan intravena dengan salin normal atau RL dengan kecepatan rumatan (lihat tabel 1). Untuk pasien dengan berat badan lebih atau obesitas digunakan berat badan ideal untuk menghitung kebutuhan cairan (lihat tabel 2). Pasien harus dimonitor untuk pola demam, volume intake cairan dan cairan yang hilang, urine output (jumlah dan frekuensi), tanda peringatan, hematokrit dan angka trombosit. Tabel 1. Penghitungan jumlah kebutuhan cairan rumatan.

12

Tabel 2. Jumlah cairan rumatan per jam untuk pasien dengan obesitas.

Grup C. Pasien yang membutuhkan perawatan emergensi. Pasien membutuhkan perawatan emergensi saat memasuki fase kritis dan menunjukkan tanda-tanda infeksi dengue berat yaitu: Kebocoran plasma berat yang menyebabkan syok dan atau akumulasi caiaran dengan distress nafas. perdarahan hebat. gangguan organ (kerusakan hepar, gangguan pada ginjal, kardiomiopati, ensefalopati atau ensefalitis). Pasien dengan keadaan seperti diatas harus dirawat dirumah sakit yang mempunyai fasilitas ICU dan tranfusi darah. Resusitasi cairan merupakan manajemen yang utama. Cairan kritaloid diberikan dalam jumlah yang tepat untuk menjaga sirkulasi yang efektif selama periode kebocoran plasma berlangsung. Plasma yang bocor harus segera diganti dengan cairan kristaloid atau dalam keadaan syok hipotensif dapat diberikan cairan koloid. Cari tranfusi darah yang cocok dan lakukan tranfusi hanya jika terjadi perdarahan yang hebat. Resusitasi cairan diberiakn dengan bolus 10-20 ml/KgBB dan diberiakan dalam periode waktu tertentu dan harus dimonitor untuk mencegah terjadinya edema paru. Tujuan dari reusitasi cairan ini adalah untuk memperbaiki sirkulasi sentral dan perifer (menurunkan takikardia, meningkatkan tekanan darah, volume nadi, ekstremitas hangat dan pink serta waktu pengisian kapiler < 2 detik) serta memperbaiki perfusi end-organ (kesadaran membaik, urine output > 0,5 ml/Kg/jam, menurunkan acidosis metabolik). Tata laksana Syok Untuk pasien dengan tanda-tanda syok tata laksana yang harus dilakukan adalah:

13

Mulai dengan resusitasi cairan dengan cairan kristaloid 5-10 ml/KbBB/jam selama 1 jam. Kemudia nilai keadaan pasien (vital sign, waktu pengisian kapiler, hematokrit dan urine output). Jika keadaan pasien membaik, cairan intravena dikurangi secara bertahap menjadi 5-7 ml/KgBB/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/KgBB/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml/KgBB/jam dan selanjutnya nilai ulang keadaan pasien jika baik berikan cairan rumatan denga penghitungan seperti pada tabel 1. Jika keadaan pasien belum stabil (masih syok), periksa hematokrit setelah bolus pertama. Jika hematokrit meningkat atau > 50% ulang bolus kedua dengan kristaloid 10-20 ml/KgBB/jam selam a 1 jam. Jika terdapat perbaikan keadaan kurangi kecepatan menjadi 7-10 ml/KgBB/jam selama 12 jam, kemudian kurangi lagi kecepatan seperti langkah diatas. Jika hematokrit menurun dari keadaan awal ( anak-anak <40%, dewasa <45%) menandakan adanya perdarahan dan membutuhkan tranfusi darah sesegera mungkin.

14

Tata laksana syok hipotensif Pasien dengan syok hipotensif harus dilakukan tata laksana yang lebih agresif, yaitu: Resusitasi cairan awal diberikan bolus 20 ml/KgBB dalam 15 menit pertama. Jika keadaan pasien membaik, berikan infus cairan 10 ml/KgBB selama 1 jam kemudian lanjutkan dengan pengurangan kecepatan bertahap mulai dari 5-7 ml/KgBB/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/KgBB/jam selama 2-4 jam dan kemudian 2-3 ml/KgBB/jam untuk 24-48 jam kedepan. Jika vital sign belum stabil, periksa hematokrit bandingkan dengan sebelum bolus pertama. Jika hematokrit rendah mengindikasikan adanya perdarahan dan dibutuhkan tranfusi darah secepatnya. Jika hematokrit meningkat maka ganti cairan intravena dengan koloid 10-20 ml/Kg sebagai bolus kedua selama -1 jam. Setelah bolus kedua nilai kembali keadaan pasien. Jika kondisi membaik kurangi kecepatan menjadi 7-10 ml/KgBB/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti dengan caiaran kristaloid dan kurangi kecepatan secara bertahap seperti yang disebutkan diatas. Parameter yang harus dimonitor pada pasien dengan syok adalah vital sign dan perfusi perifer (setiap 15-30 menit kenudian setiap 1-2 jam). Urin output harus dimonitor tiap jam hingga pasien tidak syok lagi, sehingga harus dipasang kateter urin. Urin output dipertahankan kira-kira 0,5 ml/Kg/jam. Hematokrit diperiksa tiap 4-6 jam.

15

16

Tata laksana Perdarahan Perdarahan mukosa dapat terjadi pada pasien dengan demam dengue, namun jika keadaan pasien stabil hal ini dapat dianggap sebagai perdarahan minor. Perdarahan akan membaik pada fase penyembuhan. Pada pasien dengan trobositopenia, pastikan pasien tirah baring dan hindarkan dari trauma untuk mencegah risiko perdarahan. Jangan berikan injeksi IM untuk mencegah hematom. Jika perdarahan berat/mayor terjadi, biasanya pada saluran gastrointestinal, perdarahan internal tersebut tidak diketahui sampai pasien mengeluhkan melena. Pasien yang mempunyai risiko perdarahan mayor adalah pasien dengan: prolonged/refractory shock syok hipotensif dan gagal ginjal, liver serta acidosis metabolik yang persisten. diberikan NSAID mempunyai riwayat ulkus peptikum dalam terapi antikoagulan mendapatkan trauma dalam berbagai bentuk Tranfusi darah harus segera diberikan jika ditemukan tanda-tanda perdarahan hebat. Tranfusi dapat diberikan dalam bentuk PRC ataupun whole blood.

IX.

Komplikasi Demam Dengue Kebanyakan orang yang menderita demam dengue pulih dalam waktu dua

minggu. Namun, untuk orang-orang tertentu dapat berlanjut untuk selama beberapa minggu hinga berbulan-bulan. Gejala klinis yang semakin berat pada penderita demam dengue dan dengue shock syndromes dapat berkembang menjadi gangguan pembuluh darah dan gangguan hati. Hal ini tentu dapat mengancam jiwa. Sindrom Syok Dengue (SSD) Seluruh kriteria demam dengue disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi:

Nadi yang cepat dan lemah Tekanan darah turun ( 20 mmHg) Hipotensi (dibandingkan standar sesuai umur) Kulit dingin dan lembab Gelisah

17

Pada penderita demam dengue yang disertai syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari, keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Pada sebagian besar penderita ditemukan tanda kegagalan peredaran darah yaitu kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lemah, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan darah menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Penderita kelihatan lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase kritis syok. Penderita seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok timbul. Nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal, dan nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang dapat dibuktikan memberikan petunjuk terjadinya perdarahan gastrointestinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk. Tatalaksana sindrom syok dengue sama dengan terapi demam dengue, yaitu pemberian cairan ganti secara adekuat. Pada sebagian besar penderita, penggantian dini plasma secara efektif dengan memberikan cairan yang mengandung elektrolit, ekspander plasma, atau plasma, memberikan hasil yang baik. Nilai hematokrit dan trombosit harus diperiksa setiap hari mulai hari ke-3 sakit sampai 1-2 hari setelah demam menjadi normal. Pemeriksaan inilah yang menentukan perlu tidaknya penderita dirawat dan atau mendapatkan pemberian cairan intravena. Ensefalopati Dengue Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada demam dengue yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati dengue bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah-otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut.

18

Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi edem otak diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek. Kelainan ginjal Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 0,5 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.

19

Edema paru Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran edema paru pada foto rontgen dada. Komplikasi infeksi dengue biasanya berasosiasi dengan semakin beratnya bentuk demam dengue yang dialami, pendarahan, dan shock syndrome. Komplikasi paling serius walaupun jarang terjadi adalah sebagai berikut:

Dehidrasi Pendarahan Jumlah platelet yang rendah Hipotensi Bradikardi Kerusakan hati Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba sampai 2-4 cm di bawah arcus costa kanan, derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati ,harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak dan berhubungan dengan adanya perdarahan.

Gangguan neurogik (kejang, ensephalopati)

20

X.

Prognosis Prognosis infeksi dengue tergantung tingkat keparahan penyakit dan

komplikasi yang muncul. Kematian sering terjadi jika terdapat perdarahan yang berat, syok yang tidak dapat teratasi,, efusi pleura dan ascites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan infeksi sekunder yang tejadi selama perjalanan penyakit. Kematian terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf,kardiovaskuler, pernapasan, darah, dan organ lain. Kematian disebabkan oleh banyak faktor, antara lain :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Keterlambatan diagnosis Keterlambatan diagmosis syok Keterlambatan penanganan syok Syok yang tidak teratasi Kebocoran plasma yang berat Perdarahan yang masif Kegagalan banyak organ Kelebihan cairan ynag diberikan Ensefalopati

10. Sepsis 11. Kegawatan karena tindakan XI.

Pencegahan Pencegahan infeksi dengue adalah dengan memutuskan rantai penularan

dengan cara:
1. -

Menggunakan insektisida Malathion (adultisida) dengan pengasapan Temephos (larvasida) dimasukkan kedalam tempat penampungan air bersih

21

2. -

Tanpa insektisida Menguras bak mandi dan tempat penampungan air bersih minimal seminggu sekali.
-

Menutup penampungan air rapat-rapat. Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas dan benda-benda lain yang dapat digunakan untuk berkembang biak nyamuk.

22

Daftar Pustaka

Rani, A.A., Soegondo, S., Uyainah, A. 2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta, InternaPublishing.

Sudoyo, A.R., Setyohadi, B., Alwi, I. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, FKUI.

World Health Organization. 2009. Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control-New Edition.

http://depkes.go.id/downloads/Tata%20Laksana%20DBD.pdf

http://www.medicinenet.com/dengue_fever/article.htm Dengue Fever


-

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ Dengue and dengue haemorrhagic fever

23

Anda mungkin juga menyukai