Kelompok : Erna Wahyuningsih Arif Najil Hakim Fajar Sinaringtyas (G.231.10.0142) (G.231.10.0127) (G.231.10.0142)
PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS SEMARANG 2013
Apakah sebab sulitnya menegakkan etika profesi dalam bidang Teknologi Informasi.
Kode etik yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa
dalan dunia
Teknologi Informasi antara lain : belum terbentuknya kultur dan kesadaran dari para pengemban profesi IT untuk menjaga martabat luhur profesinya. tidak adanya kesadaran etis dan moralitas diantara para pengemban profesi TI untuk menjaga martabat luhur profesinya.
Sebab lain sulitnya menegakkan etika di dunia Teknologi Informasi diantaranya karena dunia TI relatif baru, kode etik profesi dibidang ini pun di Indonesia belum ada yg Tertulis, banyak orang yang masih meraba raba batasan antara inovasi, kretifitas, dan pelanggaran etika. Kita sebagai calon profesional IT hanya bisa berpedoman pada kode etik yang diterapkan oleh IEEE untuk para anggotanya yaitu : 1. To accept responsibility in making decisions consistent with the safety, health and welfere of the public, and to disclose promptly that might endanger the public or the environment. Artinya setiap anggota bertanggung jawab dalam mengambil keputusan konsisten dengan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, serta segera mengungkapkan faktor-faktor yang dapat membahayakan publik atau lingkungan.
2. To avoid real or perceived conflicts of interest whenever possible, and to disclose them to affected parties when they do exixt. Intinya ialah sebisa mungkin menghindari terjadinya konflik kepentingan dan meluruskan mereka yang telah terpengaruh oleh konflik tersebut. Disamping itu, dunia TI hampir sepenuhnya digeluti oleh anak-anak muda yang kerap mengabaikan persoalan moralitas yang abu-abu. Di beberapa negara maju dimana internet sudah sangat memasyarakat, memang telah dikembangkan undang-undang khusus yang mengatur tentang cybercrime. UU tersebut, yang disebut sebagai Cyberlaw, biasanya memuat regulasi-regulasi yang harus dipatuhi oleh para pengguna internet di negara bersangkutan, lengkap dengan perangkat hukum dan sanksi bagi para pelanggarnya.
Namun demikian, kenyataannya tidak mudah untuk bisa menjerat secara hukum pelaku cybercrime. Tidak seperti internet yang tidak mengenal batasan negara, maka penerapan cyberlaw masih terkendala oleh batasan yurisdiksi. Padahal, seorang pelaku tidak perlu berada di wilayah hukum negara bersangkutan untuk melakukan aksinya. Misalnya saja kita ambil contoh, bagaimana cara untuk menuntut seorang hacker, katakanlah berkebangsaan Portugal, yang membobol sebuah situs Indonesia yang servernya ada di Amerika Serikat, sementara sang hacker sendiri melakukan aksinya dari Australia. Lantas, perangkat hukum negara mana yang harus digunakan untuk menjeratnya? Belum lagi ada banyaknya "wilayah abu-abu" yang sulit dikatagorikan apakah sebagai kejahatan atau bukan, hal ini membuat Cyberlaw masih belum dapat diterapkan dengan efektifitas yang maksimal. Maka pelanggaran kode etik pun semakin mewabah karena para pelaku bisa saja mengakalinya seperti itu.
Arus informasi memang telah membawa perubahan di dalam berbagai bidang dan hal tersebut membuat kita dapat menikmati berbagai fasilitas yang tidak terbayangkan sebelumnya. Selain itu, terdapat banyak kemudahan dalam mengakses informasi. Dunia internet telah berkembang sedemikian pesat di dalam
dunia kehidupan kita. Namun, aspek negatif dari era informasi ini, termasuk hacking, penyebaran virus, semakin bertambah dari hari ke hari dan mengancam keamanan di dunia internet.
Lantas apa jadinya kalau para profesional TI melanggar kode etik? pastinya mereka terkena sanksi moral, sanksi sosial, dijauhi, di-banned dari pekerjaannya, bahkan mungkin dicopot dari jabatannya. Sungguh sangat disayangkan bila para professional yang memiliki otak yang cerdas tetapi tidak mempunyai etika dalam menggeluti bidangnya. Dengan etika profesi diharapkan kita dapat berpegang teguh pada kode etik dalam menjalankan tugas dan dapat bertanggungjawab atas tugas dari tuntutan pekerjaan kita sebagai seorang profesional.
SUMBER ARTIKEL :
Banyak aplikasi dan peningkatan penggunaan IT telah menimbulkan berbagai isu etika, yang dapat dikategorikan dalam empat jenis : 1. Isu Privasi : Rahasia pribadi yang sering disalahgunakan orang lain dengan memonitor e-mail, memeriksa komputer orang lain, memonitor prilaku kerja (Kamera Tersembunyi). Pengumpulan, penyimpanan, dan menyebarkan informasi mengenai berbagai individu /pelanggan dan menjualnya pada pihak lain untuk tujuan komersial. Privasi informasi adalah hak untuk menentukan kapan, dan sejauh mana informasi mengenai diri sendiri dapat dikomunikasikan kepada pihak lain. Hak ini berlaku untuk individu, kelompok, dan institusi. 2. Isu Akurasi : autentikasi, kebenaran, dan akurasi informasi yang dikumpulkan serta diproses. Siapa yang bertanggung jawab atas berbagai kesalahan dalam informasi dan kompensasi apa yang seharusnya diberika kepada pihak yang dirugikan ?. 3. Isu Properti : kepemilikan dan nilai informasi (Hak Cipta Intelektual). Hak cipta intelektual yang paling umum berkaitan denganTI adalah perangkat lunak. Penggandaan/pembajakan perangkat lunak adalah pelanggaran hak cipta dan merupakan masalah besar bagi para vendor, termasuk juga karya intelektual lainnya seperti musik dan film. 4. Isu Aksesibilitas : hak untuk mengakses informasi dan pembayaran biaya untuk mengaksesnya. Hal ini juga menyangkut masalah keamanan sistem dan informasi. Teknologi Informasi mempunyai pengaruh yang besar dalam keidupan manusia. Karena TI ibarat pisau bermata dua, legal dan ilegal, baik dan buruk, maka mau tak mau berhubungan dengan etika. Merupakan hal yang penting untuk mengetahui bahwa hal yang tidak etis belum tentu ilegal. Jadi, dalam kebanyakan situasi, seseorang atau organisasi yang dihadapkan keputusan etika tidak mempertimbangkan apakah melanggar hukum atau tidak.
Kode etik profesi bidang teknologi informasi di Indonesia memang belum ada (Yang Tertulis). Namun, kita bisa menerapkan kode etik yang dibuat oleh IEEE. IEEE telah membuat semacam kode etik bagi anggotanya, sebagai berikut: 3. To accept responsibility in making decisions consistent with the safety, health and welfere of the public, and to disclose promptly that might endanger the public or the environment. Artinya setiap anggota bertanggung jawab dalam mengambil keputusan konsisten dengan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, serta segera mengungkapkan faktor-faktor yang dapat membahayakan publik atau lingkungan.
4. To avoid real or perceived conflicts of interest whenever possible, and to disclose them to affected parties when they do exixt. Intinya ialah sebisa mungkin menghindari terjadinya konflik kepentingan dan meluruskan mereka yang telah terpengaruh oleh konflik tersebut.
yang melakukan hal ini semata-mata untuk menunjukkan kelemahan suatu sistem kepada administrator yang mengelolanya. Aktifitas destruktif lain yang bisa dikatagorikan sebagai cybercrime adalah penyebaran virus (worm) melalui internet. Kita tentu masih ingat dengan kasus virus Melissa atau I Love You yang cukup mengganggu pengguna email bebereapa tahun lalu. Umumnya tidakan ini bermotifkan iseng. Ada kemungkinan pelaku memiliki bakat "psikopat" yangmemiliki kebanggaan apabila berhasil melakukan tindakan yang membuat banyak orang merasa terganggu atyau tidak aman. Cybercrime atau Bukan? Tidak semua cybercrime dapat langsung dikatagorikan sebagai kejahatan dalam artian yang sesungguhnya. Ada pula jenis kejahatan yang masuk dalam "wilayah abuabu". Salah satunya adalah probing atau portscanning. Ini adalah sebutan untuk semacam tindakan pengintaian terhadap sistem milik orang lain dengan mengumpulkan informasi sebanyak banyaknya dari sistem yang diintai, termasuk sistem operasi yang digunakan, port-port yang ada, baik yang terbuka maupun tertutup, dan sebagainya. Kalau dianalogikan, kegiatan ini mirip dengan maling yang melakukan survey terlebih dahulu terhadap sasaran yang dituju. Di titik ini pelakunya tidak melakukan tindakan apapun terhadap sistem yang diintainya, namun data yang ia dapatkan akan sangat bermanfaat untuk melakukan aksi sesungguhnya yang mungkin destruktif. Juga termasuk kedalam "wilayah abu-abu" ini adalah kejahatan yang berhubungan dengan nama domain di internet. Banyak orang yang melakukan semacam kegiatan "percaloan" pada nama domain dengan membeli domain yang mirip dengan mereka dagang atau nama perusahaan tertentu dan kemudian menjualnya dengan harga tinggi kepada pemilik merk atau perusahaan yang bersangkutan, Kegiatan ini diistilahkan sebagai cybersquatting. kegiatan lain yang hampir mirip dikenal sebagai typosquatting, yaitu membuat nama domain "pelesetan" dari domain yang sudah populer. Para pelaku typosquatting berharap dapat mengeduk keuntungan dari pengunjung yang tersasar ke situsnya karena salah mengetik nama domain yang dituju pada browsernya. Selain tindak kejahatan yang membutuhkan kemampuan teknis yang memadai, ada juga kejahatan yang menggunakan internet hanya sebagai sarana. Tindak kejahatan semacam ini tidak layak digolongkan sebagai cybercrime, melainkan murni kriminal. Contoh kejahatan semacam ini adalah carding, yaitu pencurian nomor kartu kredit milik orang lain untuk digunakan dalam transaksi perdagangan di internet. Juga pemanfaatan media internet (webserver, mailing list) untuk menyebarkan material bajakan. Pengiriman email anonim yang berisi promosi (spamming) juga dapat dimasukkan dalam contoh kejahatan yang menggunakan internet sebagai sarana. Di beberapa negara maju, para pelaku spamming (yang diistilahkan sebagai spammer) dapat dituntut dengan tuduhan pelanggaran privasi. Jenis-jenis cybercrime maupun kejahatan
yang menggunakan internet sebagai sarana ditengarai akan makin bertambah dari waktu ke waktu, tidak hanya dari segi jumlah maupun kualitas, tetapi juga modusnya. Di beberapa negara maju dimana internet sudah sangat memasyarakat, telah dikembangkan undang-undang khusus yang mengatur tentang cybercrime. UU tersebut, yang disebut sebagai Cyberlaw, biasanya memuat regulasi-regulasi yang harus dipatuhi oleh para pengguna internet di negara bersangkutan, lengkap dengan perangkat hukum dan sanksi bagi para pelanggarnya. Hacking Hacking didefinisikan sebagai aksi pengaksesan ilegal ke sistem komputer orang lain untuk mendapatkan informasi atau untuk menghancurkan sistem. Hukumannya bervariasi sesuai dengan tujuan si pengakses dan kerusakan yang diderita. Berdasarkan Act on Promotion of Utilization of Information and Comunications Network, seseorang yang mengakses sistem komputer orang lain tanpa otoritas yang legal dapat dijatuhi hukuman penjara kurang dari tiga tahun atau denda kurang dari 30.000.000 won (Article 63 Section 1, Article 48 Section 3). Jika seseorang menghalangi jaringan komunikasi dan informasi manajemen yang legal dengan menyiarkan sinyal masal atau data, atau membuat proses sistem yang bersangkuatan bekerja dengan tidak benar, maka orang tersebut dapat dijatuhi hukuman penjara kurang dari lima tahun atau denda kurang dari 50.000.000 won (Article 63 Section 6, Article 49).
Penipuan lewat internet Berdasarkan hukum kriminal, jika seseorang mendapatkan keuntungan finansial bagi dirinya sendiri atau orang lain dengan memasukkan informasi yang salah atau perintah illegal, atau memasukkan informasi tanpa otoritas yang legal atau mengubah informasi tersebut, maka orang tersebut dapat dijatuhi hukuman penjara kurang dari sepuluh tahun atau denda kurang dari 20.000.000 won. Penyebaran Virus Jika seseorang menyebarkan program ilegal yang dapat merusak, memusnahkan atau menduplikat sistem komputer atau jaringan computer, maka oleh Act on Promotion of Utilization of Information and Comunications Network orang tersebut dapat dijatuhi hukuman penjara kurang dari lima tahun atau denda kurang dari 50.000.000 won.