Anda di halaman 1dari 14

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

STUDI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN


Sugeng Purnomo, Imam Sasmito*)

ABSTRAK STUDI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN. Pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun (LB3) dalam banyak hal mempunyai kaidah yang sama dengan pengolahan limbah radioaktif. Hal mendasar yang spesifik dalam pengolahan LB3 adalah kemungkinan konversi sifat berbahaya dan beracun sehingga diperoleh limbah olahan yang tidak lagi bersifat B3 atau telah berkurang sifat B3-nya. Pengolahan dimulai dengan klasifikasi berdasarkan sifat fisik limbah dan sifat kimia-fisik. Hal ini akan berkaitan dengan metode pengolahan yang akan diterapkan. Langkah berikutnya meliputi preparasi, konversi, pemekatan serta kondisioning. Limbah B-3 cair terbagi menjadi dua bagian besar yaitu organik dan anorganik. Daya hantar listrik bermacam senyawa organik yang umumnya relatif rendah ( 0,3 mS/cm) menjadi salah satu ciri untuk membedakannya dari senyawa anorganik. Konversi LB3 senyawa organik dapat dilakukan dengan cara oksidasi menggunakan ozon atau insinerasi suhu tinggi, bila senyawa hasil peruraian (destruksi) dapat ditangani dengan aman. Berbagai cara pemekatan dengan proses pemisahan (reverse osmosis, hiperfiltrasi, ultrafiltrasi, pengeringan, distilasi, evaporasi, ekstraksi, stripping, sorpsi, pengendapan, flokulasi, elektrolisis, penukar ion) dapat dipilih sesuai dengan jenis limbah yang akan diolah. Pekatan yang diperoleh selanjutnya diimobilisasi dengan bahan solidifikasi yang sesuai (semen portland, material silikat, termoplastik material, polimer organik) ataupun vitrifikasi. Pembuangan akhir limbah olahan dapat dilakukan di sistem pembuangan permukaan (aboveground) ataupun landfill. Hasil percobaan menyimpulkan bahwa untuk stabilisasi-solidifikasi logam berat mutlak diperlukan fiksasi kimia yang membentuknya menjadi senyawa tak larut untuk meningkatkan ketahanan terhadap pelindihan. ABSTRACT HAZARDOUS WASTE TREATMENT STUDY. In many ways, the hazardous waste treatment have the similarity of role with radioactive waste water treatment. The spesific base of treatment is to convert and or reduce the nature of hazardous into non hazardous waste. The treatment was started from basic of chemical and physical property of the waste and has correlation with the method applied further more. Next step will cover the preparation, convertion, preconcentration and also conditioning. The liquid hazardous waste was divided in two parts namely inorganic and organic. Conductivity of organic compound is generally low (less than 0,3 mS/cm). This nature is used to differ the organic from the inorganic compound. The organic hazardous waste was carried out by oxidation with ozon or high temperature of incineration, in case of destruction can be handled safely. Various of preconcentration by separation (i.e reverse osmosis, hyperfiltration, ultrafiltration, drying, distilation, evaporation, extraction, stripping, sorption, sedimentation, floculation, electrolysis, ion eschange) could be chose according to the waste type to be treated. The concentrated waste obtained was immobilized by using the appropriate solidification matrix materials (portland cement, silicate, thermoplastic material or organic polymer) or vitrivication process. Treated waste was discharged inte the surface disposal (above ground) or landfill system. The result concluded that stabilization-solidification of heavy metal is absolutely needed in order to increase the leaching resistance through the formation of unsoluble matter in chemical fixation.

*) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN

73

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

PENDAHULUAN Menurut Peraturan Ka. BATAN No. 392/KA/XI/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja BATAN, Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) mengemban tugas mengelola limbah bahan berbahaya dan beracun (LB3) selain tugas utama mengelola limbah radioaktif. Sejauh ini telah banyak limbah B3 berasal dari berbagai satuan kerja di lingkungan BATAN yang disimpan di instalasi LB3 PTLR, sebagian besar berupa expired reagent (bahan pereaksi yang sudah kadaluwarsa) disamping terdapat pula limbah buangan instalasi/laboratorium dari kegiatan penelitian/ percobaan yang dilakukan. Limbah tersebut pada saatnya harus diolah menggunakan fasilitas-peralatan yang tersedia dengan menerapkan kaidah-kaidah pengolahan LB3. Pengolahan LB3 pada prinsipnya adalah menetralisir sifat-sifat berbahaya komponen limbah; merubah kedalam bentuk/wujud yang lebih aman; mengisolasi secara fisik/kimia potensi bahaya limbah tersebut. Tujuan itu dapat dicapai melalui metode pengolahan secara kimia, fisika maupun biokimia ataupun kombinasi dari ketiga metode tersebut. Makalah ini menyajikan metode pengolahan LB3 secara umum dan hasil percobaan pengolahan LB3 cair organik berupa solven campuran di-2-ethylhexyl phosphoric acid (D2EHPA) (C8H17)2PO2H 0,5 M dan trioctylphosphine oxide (TOPO) [CH3(CH2)7]3PO 0,125 M dalam kerosen. Percobaan pengolahan dilakukan dengan membakar limbah (dengan media kertas serap), kemudian dilakukan stabilisasisolidifikasi arang (abu) hasil pembakaran dalam miniatur shell beton. Ketahanan terhadap pelindihan diamati dengan cara menambahkan timbal dan kromium sebagai unsur uji kedalam arang (abu) sisa pembakaran.

oksidasi-reduksi, kecenderungan membentuk endapan, kelakuan kompleks, reaktivitas, korosivitas, flameability, combustibility, compatibility dengan limbah lain. Netralisasi diterapkan untuk limbah bersifat asam atau basa, khususnya pH kurang dari 5 atau lebih dari 9. Secara praktis dilakukan dengan menambahkan asam atau basa yang setara bagi limbah tersebut. Melalui netralisasi dapat diatasi sifat limbah korosif, irritan, serta kemungkinan proses lanjut seperti pengendapan atau pengolahan biokimiawi menggunakan mikroorganisme. Pengendapan dipilih bila dalam limbah cair terdapat konstituen kimia yang perlu dan dapat diubah menjadi bentuk senyawa tak larut dengan menambahkan bahan pengendap, misalnya kation-kation logam berat dapat diendapkan sebagai sulfida. Proses pengendapan umumnya sangat dipengaruhi pH, pada keadaan tertentu reagent pengendap yang berlebihan justru akan melarutkan kembali endapan karena terbentuk ion kompleks. Metode pengendapan kimia yang umum diterapkan adalah pengendapan logam sebagai hidroksida, karbonat, sulfida atau logam bebas menggunakan natrium borohidrida, sebagai contoh: 8 Cu+ + NaBH4O + H2O 8 Cu + NaBO2 + 8 H+ (1) Ion logam toksik, Cd2+ dapat direduksi dengan Zn menjadi Cd untuk kemudian dipisahkan dari larutan. Dalam hal ini keberadaan ion Zn2+ relatif tidak berbahaya dibandingkan kandungan Cd2+ semula. Komponen berbahaya dapat diturunkan konsentrasinya sampai batas minimal sesuai harga kelarutan senyawa endapan. Konstituen kimia berbahaya dalam bentuk senyawa tak larut (endapan) akan lebih kuat terikat oleh bahan solidifikasi sehingga memperkecil kecenderungan terlindih oleh air. Proses flokulasi cocok diterapkan untuk limbah yang mengandung bermacam kation (sehingga menyederhanakan proses pengendapan), atau keadaan dimana endapan berupa suspensi koloidal, bulky precipitate. Penggunaan satu atau kombinasi beberapa macam koagulan (tawas aluminium, tawas besi) serta flokulan

TEORI Pengolahan Limbah B3 Secara Kimia Pengolahan kimia meliputi netralisasi, pengendapan, flokulasi, oksidasireduksi, elektrolisis, ekstraksi, dan penukar ion. Pemilihan cara pengolahan disesuaikan dengan sifat limbah; keasaman, potensi

74

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

(polistirenasulfonat, polivinilpiridinium, poliakrilamida, poli-aluminium klorida) dapat memisahkan beragam konstituen kimia dari larutan secara serentak dengan membentuk flok. Struktur kimia dari jenisjenis flokulan ditunjukkan pada Gambar 1. Oksidasi dengan hidrogen peroksida ataupun ozon dapat menguraikan beragam senyawa organik (alkohol tak jenuh, fenol, aldehida) spesies anorganik (nitrit, sianida, sulfur dioksida), mengoksidasi kation multivalen serta mengendapkan bermacam kation sebagai oksida. Potensi bahaya bahan oksidator dihilangkan dengan mereduksi menggunakan reduktor (seperti ferokation, sulfurdioksida) sehingga resiko terjadinya reaksi reduksi-oksidasi (redoks) akibat pecahnya kemasan dan tercampurnya bahan oksidator dan bahan flameable yang dapat memicu timbulnya kebakaran dapat dihindari. Kromium VI yang toksik (dalam bentuk anion kromat dan dikromat) berkurang sifat toksiknya melalui reduksi dengan sulfurdioksida menjadi kromium III. Mangan VII dalam bentuk anion permanganat menjadi mangan IV melalui reduksi dengan kation ferro pada suasana netral atau sedikit basa[1]. Elektrodeposisi kation Cd, Cu, Au, Ag, Pb, Ni dan Zn dari limbah cair media bekas elektroplating, air bilasan industri elektronik, operasi metal finishing, merupakan metode pengolahan LB3 sekaligus proses metal recovery. Proses

elektrolisis terganggu dengan adanya sianida karena terbentuk metal-sianida komplek yang stabil dalam larutan[1]. Beberapa zat bereaksi dengan air (hidrolisis) menimbulkan panas/api, ledakan atau membebaskan gas berbahaya seperti H2 (eksplosif), HCl (korosif). Salah satu cara pengolahan zat-zat tersebut adalah dengan melangsungkan hidrolisis di bawah kondisi yang terkendali. Contoh zat reaktif tersebut diantaranya asam asetat anhidrida, asetilklorida, metil isosianat, kalsium metal, natrium aluminium hidrida, kalsium karbida, natrium amida, silikon tetraklorida, natrium etoksida[1]. Berdasarkan sifat kelarutan yang berbeda pada bermacam solven, konstituen kimia berbahaya dapat dipekat-pisahkan dari matrik asal dengan proses ekstraksi. Garam logam berat yang sulit larut ataupun senyawa organik seperti anilina dan berbagai amina dapat diekstraksi menggunakan larutan asam. Untuk limbah yang mengandung sianida atau sulfida, ekstraksi dengan larutan asam perlu dihindari karena akan membebaskan gas toksik HCN atau H2S. Pada kondisi tersebut baik digunakan asam lemah atau garam asam seperti asam asetat atau NaH2PO4[1]. Untuk bahan pengompleks, EDTA digunakan melarutkan garam metal tak larut. Bahan reduktor, natrium ditionat/sitrat atau hidroksilamina dapat melarutkan kontaminan kation logam berat yang biasa terkopresipitasi dalam tanah bersama Fe2O3 dan MnO2.

Gambar 1. Struktur kimia dari jenis-jenis flokulan[1]

75

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

Deionisasi menggunakan resin umum dilakukan dalam pengolahan air limbah yang mengandung logam berat kadar sangat rendah misalnya pada industri pelapisan metal untuk memurnikan air bilasan atau sisa plating bath solution, termasuk pula kation/anion kompleks logam berat (kromat, nikel tetrasianida, tetraminseng. Kation/ anion yang telah terikat oleh resin kemudian dapat dipisahkan kembali dengan elusi menggunakan larutan asam yang cukup pekat, basa atau garam seperti NaCl. Karakteristik limbah yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini meliputi bentuk fisik, kandungan oksidan, metal, konstituen organik dan padatan tersuspensi. Reaksi fotolitik (dengan sinar ultra violet) disertai sumber donor atom hidrogen dapat digunakan untuk mendegradasi tetrakloro dibenzo para dioxin, dimulai dengan penggantian ikatan klor dengan hidrogen kemudian pemutusan ikatan C-O, C-H dengan hasil akhir berupa polimer organik yang sudah menurun tingkat bahayanya. Reaksi fotolitik diawali dengan pembentukan radikal hidroksil yang kemudian berperan dalam reaksi berantai peruraian senyawa organik. Oksidan kalium peroksidisulfat akan meningkatkan efektivitas reaksi fotolitik atrazin, trinitrotoluena, bifenil poliklorin[1]. Destruksi Kimia Senyawa PCBs Senyawa polikloro bifenil (PCBs), sangat stabil secara kimia, fisika, dan biologi sehingga sulit terurai. Pengolahan menggunakan logam Na dalam pelarut yang sesuai untuk merusak PCBs (larutan 10 ppt) dalam transformer fluids. Ikatan C-Cl akan terlepas[1,2]: (PCB)-Cl + Na polimer bifenil + NaCl (2) Natrium klorida dan sludge yang mengandung polimer dari deklorinasi konstituen bifenil dan bermacam hasil samping difiltrasi dari cairan yang dapat didaur-ulang sebagai dielectric fluid. Pengolahan Limbah B3 Secara Biologi Pengolahan LB3 secara biologi menggunakan mikroorganisme (bakteri, jamur) untuk menguraikan senyawa bahan beracun/berbahaya menjadi molekul

sederhana yang aman. Pengolahan biologi merupakan proses mineralisasi sekaligus detoksifikasi, ada 2 macam proses biologi yaitu: aerobik dan anaerobik. Sebagai contoh konversi enzimatik paraoxon (insektisida organofosfat toksisitas tinggi) menjadi p-nitrofenol (toksisitas 1/200 lebih rendah). Faktor yang perlu diperhatikan adalah: mikroorganisme, biodegradabilitas, sifat fisika (kelarutan dalam air, tekanan uap), serta sifat kimia (struktur dan massa molekul, gugus fungsional), potensi sebagai biosidal, kondisi proses (temperatur, pH, pengadukan, laju suplai, konsentrasi oksigen). Senyawa tahan urai (recalcitrant) masih dapat diurai oleh mikroorganisme yang telah diadaptasi untuk biodegradasi. Contoh: senyawa dan mikroorganisme berturut-turut; endrin Arthrobacter, DDT Hydrogenomonas, fenilmerkuri asetat Pseudomonas, karet mentah Actinomycetes[1,2]. Oksidasi sebagai langkah awal pengolahan akan menjadikan recalcitran yang lebih biodegradabel. Faktor pengganggu terhadap proses biodegradasi seperti: pH ekstrim, pembentukan endapan, konstituen kimia toksik terhadap mikroorganisme perlu diatasi sebelum pengolahan biologi. Reaksi peruraian senyawa organik dapat dituliskan sebagai[1,2]: 2 {CH2O} CO2 + CH4 (3)

Proses anaerobik cocok untuk mengolah senyawa organo-oksigen seperti asetaldehida, asam format, kresol, metil-etil keton, nitrofenol, asam ftalat. Pengolahan Limbah Secara Composting dan Land Treatment Cara pengolahan ini diterapkan ................................................ (2) bagi LB3 padat dengan memanfaatkan aktifitas biologi mikroorganisme (genera Agrobacterium, Arthrobacterium, Bacillus, Flavobacterium, Pseudomonas, Actinomycetes, dan bermacam jamur atau fungi) yang terdapat di lingkungan. Composting menggunakan medium utama selain tanah. Pada land treatment, limbah dicampur dengan tanah. Bermacam enzim diekskresikan mikroorganisme tanah, enzim kelompok hidrolase mengkatalisis reaksi hidrolisis senyawa organofosfat[1,2]:

76

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

(4)

(5)

Tanah berperan sebagai filter alamiah bagi limbah. Tanah mempunyai katakteristik fisika, kimia dan biologi yang memungkinkan terjadinya proses detoksifikasi, biodegradasi, dekomposisi kimia serta fiksasi kimia dan fisika. Untuk menentukan suatu lokasi dapat berfungsi sebagai land treatment, perlu ditinjau karakteristik tanah yang meliputi: bentuk fisik, kemampuan menahan air, kandungan bahan organik, sifat asam-basa, kelakuan oksidasi-reduksi. Land treatment cocok bagi LB3 biodegradable seperti beberapa senyawa organohalida, tetapi tidak cocok bagi limbah mengandung senyawa anorganik toksik, garam, logam berat serta senyawa organik dengan kelarutan tinggi, volatil, dan mudah terbakar. Kultur bakteri tanah dapat berkembang menjadi efektif merombak senyawa recalcitran setelah mengalami aklimatisasi dalam periode waktu yang panjang. Kasus seperti ini khususnya terjadi pada wilayah tercemar minyak mentah selama beberapa tahun. Composting menggunakan medium: sisa tanaman, kertas, limbah perkotaan, limbah pengerjaan kayu dan sebagainya yang dapat menahan air dan memungkinkan udara masuk kedalamnya. Faktor yang perlu diperhatikan adalah: pemilihan mikroorganisme, suplai oksigen, kelembaban ( 40%), pH (berkisar netral), temperatur, nutrisi mikroorganisme (C/N), untuk rasio C/N yang terlalu besar pada limbah tanaman seperti jerami atau serbuk

kayu, harus ditambahkan sumber nitrogen seperti urea. Destruksi Biologi Limbah B3 PCBs Secara

Bakteri tanah dari genus Pseudomonas atau Alciligenes setelah aklimatisasi mampu merombak PCBs. Perlu strain bakteri yang khusus menurut jenis molekul PCBs. Jenis bakteri aerob dapat menguraikan molekul PCBs dengan 3-4 atom Cl, sedangkan bakteri anaerob tidak efektif untuk senyawa jenis ini. Beberapa jenis bakteri anaerob dapat memetabolisasi molekul PCBs dengan 5 atau lebih atom Cl. Pengolahan Limbah B3 Secara Fisika Pengolahan LB3 secara fisika didasarkan pada sifat kimia fisika material limbah seperti: keadaan material, kelarutan dalam air dan dalam pelarut organik, densitas, volatilitas, titik didih, titik leleh. Proses pengolahan fisika meliputi: pemisahan fase, sedimentasi, filtrasi, pemisahan dengan membran (reverse osmosis, hiperfiltrasi, ultrafiltrasi), sorpsi (dengan karbon aktif atau resin), pengeringan, distilasi, evaporasi, ekstraksi, dan stripping. Metode Pengolahan Dengan Destruksi Termal (Incinerasi) Metode ini diterapkan untuk LB3 yang reaktif, dapat dibakar menjadi abu termasuk bahan organik volatil, toksik, dan patogen dapat diatasi dengan metode ini. Insinerasi LB3 pada temperatur > 900 C

77

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

memungkinkan oksidasi karbon dan hidrogen dari senyawa organik sehingga terjadi peruraian senyawa organik, demikian pula dengan logam-logam berat akan membentuk oksida yang umumnya tak larut sehingga memperkecil laju pelindihan. Pada proses pengolahan dengan metode ini perlu diamati emisi partikulat, logam berat, NOX (NO, NO2), SOX (SO2, sedikit SO3), P4O10 atau P2O5, HF, HCl, tetrakloro dibenzo-pdioxin (TCDD). Limbah yang dapat dibakar dengan baik mempunyai nilai panas > 8.000 Btu/lb, untuk nilai panas < 5000 Btu/lb kurang baik dalam pembakaran. Contoh senyawa organik yang dapat diinsinerasi adalah: metanol, etanol, asetonitril, toluen, amil asetat, aseton, orto-ksilen, metil-etil keton, asam adipat, etil asetat, metilen klorida, karbon tetraklorida, trikloro etilen, perkloro etilen, kloroform, klorometan, dikloro benzen, kloro etan, heksaklorosiklopentadien, benzil klorida, benzen, toluen, cumen, fenol, anilin, nitrobenzen, metil etil keton, anhidrida ftalat, naftalen, toluen diisosianat, metil asetat, difenil amin, fosgen, dan kloro fluoro karbon (freon). Empat hal yang perlu diperhatikan dalam operasi insinerasi adalah: pendinginan gas pembakaran, recovery panas, kondisioning (partikulat dan gas buang), pengolahan dan penanganan hasil samping (by product). Keefektifan insinerasi diukur sebagai prosen destruction removal efficiency (DRE) dari konstituen organik berbahaya yang terdapat dalam umpan dan terlepas selama proses. Masalah kontaminan utama dalam insinerasi adalah: konstituen organik yang tidak terurai, bahan organik hasil samping, emisi logam berat dan emisi gas buang bersifat asam. Untuk destruksi sempurna, konstituen organik membutuhkan suhu tinggi yaitu 900 C, waktu tunda bakar (residence time) singkat (2 detik), pencampuran yang baik (turbulen). Logam-logam volatil yang cenderung diemisikan adalah: raksa, arsen, berilium, kadmium, krom, nikel, dan timbal[1,2,3]. Insinerasi LB3 memberi potensi pencemaran udara yang meliputi: pencemaran gas (dari pembakaran elemen selain C dan H), abu terbang (fly ash) materi anorganik dan karbon tak terbakar, produk pembakaran tak sempurna. Ketiga hal ini tergantung pada sifat LB3, tipe insinerator, operasi insinerator, tipe dan operasi peralatan pengendali pencemaran. Abu terbang berupa partikulat yang terbawa oleh

gas buang, mengandung barmacam material seperti: karbon tak terbakar, metal oksida, silikat, dan garam. Produk pembakaran tak sempurna berasal dari spesies yang tak terurai saat pembakaran. Kelompok utama terdiri dari senyawa kaya karbon, contoh residu karbon padat yang menjadi bagian dari abu terbang. Karbon mono oksida merupakan produk pembakaran dari sebagian senyawa organik. Pyrene (senyawa dengan 4 cincin benzen, C16H10) merupakan polisiklik aromatik hidrokarbon yang terbentuk pada oksidasi hidrogen dalam keadaan kurang oksigen. Pembakaran senyawa organoklorida seperti: klorofenol dan polikloro bifenil dapat mengakibatkan reaksi pembentukan polikloro dibenzofuran dan polikloro-pdiozin[3,4,5]. Insinerasi LB3 menimbulkan dua macam emisi yaitu: buangan partikel dan buangan gas (bersifat asam). Buangan partikel diatasi dengan menggunakan baghouse filter, venturi scrubber, ionizing wet scrubber. Buangan gas yang umumnya bersifat asam diatasi dengan menggunakan alkali scrub solution[4,5]. Imobilisasi Imobilisasi adalah proses stabilisasi/fiksasi yang dapat difahami sebagai teknik dimana LB3 ditempatkan dalam bentuk yang aman untuk pembuangan jangka panjang. Solidifikasi (pemadatan) adalah proses dimana limbah cairan atau sludge semi padat diubah menjadi bentuk padatan monolitik atau material padat granular. Sifat fisika limbah meningkat melalui proses imobilisasi, sehingga memudahkan penanganan, dan memperkecil kecenderungan terlindih. Hal ini dapat dipenuhi dengan isolasi fisik limbah, mengurangi kelarutan, dan mengurangi luas permukaan. Proses imobilisasi yang utama terdiri dari fiksasi kimia serta fiksasi fisika melalui solidifikasi dengan bahan matriks. Beberapa jenis bahan matriks adalah: semen portland, material silikat, termoplastik, polimer organik, material gelas (proses vitrifikasi). Enkapsulasi permukaan, juga merupakan proses imobilisasi. Stabilisasi adalah upaya merubah limbah menjadi material yang lebih stabil secara fisika dan kimia. Termasuk di dalamnya reaksi kimia yang menghasilkan produk dimana volatilitas, kelarutan, dan reaktivitas menjadi menurun[6,7].

78

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

Pembentukan endapan dengan reaksi kimia dapat dipandang sebagai proses solidifikasi, demikian pula evaporasi kandungan air dari limbah cair atau sludge, kedua proses tersebut termasuk stabilisasi. Stabilisasi diperlukan sebelum pembuangan limbah. Solidifikasi meliputi reaksi kimia antara limbah dengan bahan solidifikasi, isolasi mekanik dalam matrik pengikat dan pelindung, atau kombinasi proses kimia dan fisika. Contoh solidifikasi: evaporasi kandungan air dari sludge besi III hidroksida yang mengandung kontaminan logam berat, dilanjutkan dengan pengabuan menjadi ferri oksida; pemadatan sludge dengan semen portland atau pemadatan dengan material pozzolan (silikat higroskopik) seperti produk abu terbang sebagai bahan pengering yang efektif). Enkapsulasi berarti menutup limbah dengan material tertentu sehingga tidak terjadi kontak dengan lingkungannya. Berdasarkan ukuran limbah yang ditangani, maka dikenal mikroenkapsulasi dan makroenkapsulasi. Proses enkapsulasi umumnya menggunakan pemanasan, pelelehan material yang akan memadat saat kembali dingin atau mencapai suhu ruang. Material enkapsulasi di antaranya adalah: aspal, wax, dan termoplastik. Penggunaan resin polimer memberikan hasil yang lebih baik karena bahan polimer dapat masuk ke material limbah sehingga pengikatan dalam matriks polimer menjadi lebih kuat. Proses imobilisasi limbah secara umum melibatkan adanya fiksasi secara kimia dan/atau fiksasi secara fisika. Fiksasi Kimia Fiksasi kimia adalah merubah LB3 menjadi bentuk senyawa stabil, dan non toksik melalui reaksi kimia. Sebagai contoh, proses pengabuan untuk mengubah kromium VI dalam karbon aktif (yang bersifat toksik dan larut) menjadi kromium III oksida yang tak larut dan non toksik. Polimer anorganik silikat yang mengandung sedikit kalsium dan aluminium merupakan material anorganik yang digunakan secara luas sebagai matriks fiksasi. Beberapa logam berat dapat terikat secara kimia dan fisika. Limbah organik asam humat membentuk kalsium humat tak larut dalam konstituen matriks[6,7].

Fiksasi Secara Fisika Semen portland khususnya tipe I digunakan secara luas untuk solidifikasi LB3. Dalam hal ini semen berperan sebagai matriks pemadatan untuk mengisolasi limbah, sebagai bahan pengikat air limbah sludge, serta melangsungkan reaksi kimia dengan limbah (misalnya kalsium dalam bahan semen bereaksi dengan arsen sulfida dengan pengikatan dalam matriks kalsium silikat dan aluminum hidrat sehingga menurunkan kelarutannya). Untuk limbah yang mengandung sulfat dan sulfit lebih baik digunakan semen portland tipe II dan V. Produk solidifikasi dengan semen idealnya membentuk padatan monolitik dengan luas permukaan yang kecil. Ada kalanya hasil solidifikasi berupa granular sehingga luas permukaan relatif lebih besar. Sebagai matriks solidifikasi semen portland digunakan secara luas untuk sludge anorganik dengan kandungan logam berat dalam bentuk hidroksida tak larut dan karbonat. Keberhasilan solidifikasi dengan semen sangat tergantung pada pengaruh sifat limbah terhadap kekuatan dan stabilitas produk beton. Sejumlah bahan (diantaranya bahan organik seperti minyak atau batu bara, jenis lumpur tertentu dan tanah liat, garam natrium dari arsenat, borat, fosfat, iodat, sulfida, garam tembaga, timbal, magnesium, timah dan seng) tidak cocok dengan semen portland karena mengganggu proses setting dan curring dan menyebabkan kerusakan matriks semen sejalan dengan waktu. Untuk senyawa organik dapat dilakukan penyerapan dengan material padat arang batubara aktif yang kemudian distabilisasi dengan semen portland menjadi material padat monolitik yang kuat. Arang batubara aktif yang telah menyerap senyawa organik dapat pula diinsinerasi menjadi abu. Semen portland sebagai bahan imobilisasi mempunyai beberapa keunggulan di antaranya bahwa semen merupakan bahan tak berbahaya bagi lingkungan, afinitas tinggi terhadap kandungan air limbah, kemampuan memadat, biaya murah, prosedur kerja yang telah diketahui dengan baik. Adapun salah satu kekurangannya adalah ketahanan terhadap pelindihan relatif terbatas. Bahan-bahan oksianionik silikon dapat digunakan sebagai bahan solidifikasi. Silikat tak larut (senyawa pozzolan) untuk

79

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

bahan solidifikasi dapat berupa abu terbang, debu cerobong pembakaran, tanah liat (mineral alumino silikat), kalsium silikat, abu dari blast furnace. Silikat yang dapat larut bisa juga digunakan sebagai bahan solidifikasi. Solidifikasi silikat umumnya membutuhkan setting agent misalnya semen portland, gipsum, kapur, senyawa aluminium, magnesium, atau besi. Hasil solidifikasi berupa material granular ataupun padatan seperti beton. Kualitas solidifikasi dapat ditingkatkan menggunakan aditif seperti emulsifier, surfaktan, aktivator, kalsium klorida, karbon, zeolit. Limbah anorganik maupun organik termasuk sludge berminyak dapat disolidifikasi dengan baik menggunakan silikat[6,7]. Prapengolahan limbah perlu dilakukan sebelum solidifikasi untuk merubah konstituen berbahaya dan menjadikan limbah kompatibel dengan matriks solidifikasi. Contoh perlakuan prapengolahan adalah netralisasi pH menjadi kisaran 6-9, oksidasi sianida, reduksi kromat (krom VI) menjadi krom III, bahan organik diminimalisasi dengan penambahan karbon aktif. Tahap selanjutnya adalah penambahan bahan solidifikasi yaitu semen dan silikat. Bahan ini bereaksi dengan air limbah membentuk padatan yaitu silikat terhidrasi yang mengikat konstituen limbah secara kimia. Setelah terbentuk produk padatan dan selesai masa curing time, perlu dilakukan serangkaian uji untuk mempertimbangkan apakah diperlukan tindakan tertentu dalam pembuangan akhir. Uji yang dilakukan meliputi pelindihan, kuat tekan dan permeabilitas air. LB3 bentuk cair, emulsi, atau sludge, dapat diserap bahan sorben seperti karbon aktif, abu terbang, abu tungku, tanah liat, dan vermikulit. Proses sorpsi merubah cairan atau limbah semi padat menjadi padat sehingga memudahkan penanganan dan mengurangi kelarutan konstituen limbah. Sorpsi juga meningkatkan kompatibilitas limbah dengan bahan solidifikasi. Sorben khusus dapat pula digunakan untuk stabilisasi pH dan pE (ukuran kecenderungan suatu medium mengalami oksidasi atau reduksi). Interaksi limbah dengan sorben meliputi penahanan mekanis sederhana, sorpsi fisik, dan reaksi kimia. Kesesuaian sifat limbah-sorben sangat penting, sorben dengan afinitas air tinggi cocok untuk limbah yang banyak mengandung air. Untuk limbah senyawa

organik, lebih baik dipilih jenis sorben dengan afinitas tinggi terhadap bahan organik[6,7]. Material LB3 dapat dicampur dengan cairan (lelehan/leburan) termoplastik sehingga akan terimobilisasi dalam matrik termoplastik setelah temperatur turun di bawah titik lelehnya. Material termoplastik yang sering digunakan untuk hal ini adalah bitumen (aspal). Bahan lainnya adalah parafin, dan polietilen. Termoplastik organik bersifat menolak air dan mengurangi kecenderungan pelindihan saat kontak dengan air tanah. Imobilisasi dengan termoplastik memungkinkan pemuatan limbah (waste loading) yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan semen portland. Polimer organik (polibutadiena, urea-formaldehida, vinil ester-stirena) dapat berfungsi sebagai bahan solidifikasi. Monomer dicampur dengan limbah dan katalis polimerisasi sehingga terbentuk padatan polimer yang mengungkung konstituen limbah dengan kuat. Vitrifikasi (glasifikasi) adalah proses mengungkung konstituen limbah dalam bahan gelas. Dalam hal ini gelas dapat dianggap sebagai bahan termoplastik anorganik yang melebur pada suhu tinggi. Proses solidifikasi dapat menggunakan leburan gelas, atau menggunakan bahanbahan pembuat gelas (silikon dioksida, natrium karbonat, kalsium oksida). Penggunaan aditif B2O3 menghasilkan gelas borosilikat yang resisten terhadap bahan kimia dan perubahan suhu. Imobilisasi abu LB3 ada yang melalui peleburan langsung bahan gelas dicampur dengan limbah. Beberapa macam konstituen limbah dapat menurunkan kualitas gelas atau mengganggu proses vitrifikasi, misalnya aluminium oksida dapat menghambat peleburan gelas[6,7]. Proses vitrifikasi relatif kompleks dan mahal karena konsumsi energi dalam peleburan gelas cukup besar, tetapi merupakan teknik imobilisasi yang sangat baik untuk limbah khusus termasuk limbah radionuklir karena sifat inert gelas dan ketahanan pelindihan, walaupun demikian untuk radioaktivitas tingkat tinggi tetap akan menyebabkan kerusakan gelas dan menurunkan ketahanan pelindihan.

80

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

Pembuangan Akhir Akhir dari rangkaian pengolahan limbah adalah pembuangan limbah olahan. Pembuangan dapat dilakukan sebagai pembuangan permukaan (aboveground) ataupun landfill. Hal-hal yang perlu diperhatikan meliputi sistem pelapisan yang akan mengatasi kemungkinan infiltrasi air permukaan atau air tanah yang akan menyebabkan pelindihan, serta sistem pengumpulan lindihan. Limbah hasil olahan ditempatkan sedemikian rupa sehingga potensi bahaya menjadi minimal. Pembuangan di atas permukaan (aboveground disposal) lebih baik dibandingkan sistem landfill karena kemungkinan infiltrasi air bawah tanah yang berpotensi menimbulkan pelindihan dan kontaminasi dapat dihindari. Pemantauan terhadap lindihan dalam sistem penampung lindihan juga akan dapat dilakukan lebih mudah dan cepat, demikian pula dengan pengolahan lindihan[8]. Lahan untuk aboveground disposal diberi lapisan tanah/lempung yang dipadatkan dimana aliran lindihan akan berlangsung menuju penampungan, kemudian dilapisi dengan dua lapis fleksible membrane dengan suatu lapisan lempung permeabilitas rendah, sistem penampungan lindihan juga dipasang pada bagian ini. Limbah padat ditempatkan di atas lapisanlapisan ini dan ditutup dengan fleksible membrane, lempung penutup dan lapisan topsoil yang ditumbuhi vegetasi. Kemiringan timbunan limbah ini dibuat curam untuk memudahkan aliran air dengan tetap menjaga ketahanan terhadap erosi. Pada pembuangan akhir sistem landfill, yang perlu menjadi perhatian utama adalah timbulnya lindihan dari infiltrasi air permukaan maupun air tanah yang berujung pada kontaminasi air tanah. Lahan untuk landfill harus ditempatkan pada media yang mempunyai permeabilitas rendah yang telah dipadatkan (misalnya tanah liat) yang ditutupi lapisan membran fleksibel dari bahan kedap air (impermeable material). Lapisan ini ditutup dengan material granular dan dipasang sistem drainase sekunder. Lapisan berikutnya adalah membran fleksibel yang diatasnya dipasang sistem drainase primer untuk penanganan lindihan. Sistem drainase ini ditutup lapisan dari bahan/media penyaring granular, di atas

mana limbah ditempatkan. Setelah penempatan penuh, limbah ditutup untuk mencegah infiltrasi air permukaan dan terakhir ditutup tanah yang dipadatkan. Landfill perlu dilengkapi peralatan untuk menangani gas yang dibebaskan, khususnya manakala dalam landfill terdapat material biodegradabel yang menimbulkan metana. Material pelapis pada landfill LB3 terdiri dari bahan karet (termasuk khlorosulfon polietilen) atau bahan plastik (termasuk khlor polietilen, HDPE, dan PVC)[8]. TATA KERJA Percobaan Pengolahan LB3 Cair Organik, Kerosene Mengandung D2EHPA dan TOPO Metode 1. Pembuatan Blok Beton Dibuat campuran beton kering (300 g pasir dan 400 g semen). Diaduk menggunakan mixer beton, tambahkan akuades 250 ml sampai campuran merata. Tuangkan dalam pot polietilen (diameter 5 cm, tinggi 5 cm), sisipkan vial plastik (dilapisi aluminium foil) pada bagian tengah. Biarkan mengeras 28 hari, pot dan vial plastik dilepaskan sehingga diperoleh blok beton (berbentuk silinder berongga) Ukur tebal dinding dan dimensi silinder. Pembakaran Limbah Kerosene Dan Stabilsasi-Solidifikasi Arang Sisa Pembakaran Dalam Shell Beton Timbang 1 gram potongan kertas serap dalam cawan porselin. Tuangkan 5 ml limbah pada kertas serap sampai membasahi merata. Tuangkan sedikit etanol, kemudian dibakar dalam fumehood sampai terbentuk arang. Haluskan arang dengan menggerus dalam lumpang porselen. Masukkan 3 g arang dalam blok beton, tambahkan timbal dan kromium bervariasi 1; 2; 3 g, dan 1 g campuran beton kering , aduk merata. Tutup dengan campuran beton slurry. Biarkan mengeras 28 hari. Lakukan uji lindih.

2.

81

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Berat sampel LB3 dan arang sisa pembakaran Cawan + 1 g kertas serap + 5 ml LB3 (gram) 24,87 26,37 25,30 26,54 24,22 25,26 24,70 26,10 25,10 Cawan + Arang (gram) 20,37 21,71 20,63 22,13 19,86 20,87 20,28 21,57 20,41 Faktor reduksi massa 5,69 5,91 6,08 5,05 5,40 5,62 3,95 7,04 7,61

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Cawan (gram) 19,41 20,76 19,71 21,04 18,87 19,92 19,48 20,82 19,70
35 30

konsentrasi Pb (ppm)

25 20 15 10 5 0 2 8 9 11 17 28 35 37

Pb 1 gram Pb 2 gram Pb 3 gram

waktu pelindihan (hari)


Gambar 2. Pelindihan timbal dari blok beton hasil stabilisasi-solidifikasi campuran semen dan arang sisa pembakaran. Dengan pembakaran LB3 menggunakan media kertas serap diperoleh faktor reduksi massa rata-rata 5,82. Ini berarti bahwa massa yang tersisa dari sisa pembakaran kurang lebih sebesar 17% dari massa semula (LB3 dan media kertas serap). Dengan demikian faktor efisiensi pada tahap stabilisasi-solidifikasi yang diperoleh kirakira sebesar nilai reduksi massa tersebut. Keuntungan lain adalah bahwa arang sisa pembakaran secara umum lebih bersifat kompatibel terhadap campuran beton dibandingkan limbah asli berupa kerosen yang mengandung D2EHPA dan TOPO dimana bersifat tak larut dalam air sehingga akan mengganggu proses hidrasi semen. Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa pelindihan timbal berlangsung sejak dimulainya perendaman, peningkatan konsentrasi pada air lindihan berlangsung dalam rentang waktu singkat (kurang dari 2 hari), kemudian relatif tetap sampai dengan 37 hari. Ini berarti timbal dalam bentuk garam nitrat sangat mudah menembus pori blok beton. Variasi massa timbal 1 sampai dengan 3 gram dalam campuran arang sisa pembakaran dan semen yang distabilisasisolidifikasi dalam blok beton memberikan hasil pelindihan dengan kecenderungan relatif sama; konsentrasi timbal di akhir minggu ke 7 berkisar 20-25 ppm. Peningkatan konsentrasi timbal dalam air

82

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

lindih kemungkinan akan terjadi dalam rentang waktu selanjutnya dengan lama perendaman sampai beberapa bulan. Gambar 3 menunjukkan bahwa variasi massa timbal 1 sampai dengan 3 gram dalam arang sisa pembakaran yang distabilisasi-solidifikasi dalam blok beton memberikan hasil pelindihan relatif beragam. Semakin besar massa timbal, akan meningkatkan konsentrasinya dalam lindihan. Sampai dengan akhir minggu ke 7 konsentrasi Pb dalam lindihan berkisar 2060 ppm. Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa pelindihan kromium berlangsung sejak dimulainya perendaman, peningkatan

konsentrasi pada air lindihan berlangsung cepat dalam rentang waktu singkat (kurang dari 1 hari), kemudian relatif melambat sampai dengan 28 hari. Ini berarti kromium dalam bentuk garam kromat sangat mudah menembus pori blok beton. Variasi massa kromium 1 sampai dengan 3 gram dalam campuran arang sisa pembakaran dan semen yang distabilisasi-solidifikasi dalam blok beton memberikan hasil pelindihan dengan kecenderungan relatif sama; konsentrasi timbal di akhir minggu ke 4 berkisar 80 ppm. Peningkatan konsentrasi kromium dalam air lindih kemungkinan akan terjadi dalam rentang waktu selanjutnya dengan lama perendaman sampai beberapa bulan.

konsentrasi Pb dl lindihan (ppm)

70 60 50 40 30 20 10 0 2 8 9 11

Pb 1 gram Pb 2 gram Pb 3 gram

17

28

35

37

waktu pelindihan (hari)

Gambar 3. Pelindihan timbal dari blok beton hasil stabilisasi-solidifikasi arang sisa pembakaran .
konsentrasi Cr dl lindihan (ppm) 120 100 80 60 40 20 0 1 7 9 11 16 17 21 25 28 waktu pelindihan (hari)

Cr 1 gram Cr 2 gram Cr 3 gram

Gambar 4. Pelindihan kromium dari blok beton hasil stabilisasi-solidifikasi campuran semen dan arang sisa pembakaran.

83

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

konsentrasi Cr dl lindihan (ppm)

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2 4 7 9 10 14 18 21 waktu pelindihan (hari)

Cr 1 gram Cr 2 gram Cr 3 gram

Gambar 5. Pelindihan kromium dari blok beton hasil stabilisasi-solidifikasi arang sisa pembakaran. Tampak pada Gambar 5 bahwa pelindihan kromium berlangsung cepat (dalam dua hari konsentrasi dalam lindihan mencapai lebih dari 40 ppm). Antara 2 hari sampai dengan akhir minggu ke 2 kecepatan pelindihan menurun, kemudian meningkat lagi sampai akhir minggu ke 3. Perbedaan massa kromium 1 sampai dengan 3 gram dalam shell uji tidak memberikan perbedaan nyata terhadap konsentrasi hasil lindihan (profil konsentrasi kromium terhadap waktu pelindihan dari ketiga shell uji tersebut relatif bersesuaian). Sampai akhir minggu ke 3 konsentrasi kromium dalam air lindihan mendekati 80 ppm. Memperhatikan Gambar 4 dan 5, tampak bahwa penambahan campuran beton kering kedalam arang sisa pembakaran tidak memperkecil laju pelindihan kromium. Bila Gambar 2 dan 3 dibandingkan Gambar 4 dan 5, tampak bahwa ion kromat yang berukuran lebih kecil dari timbal memberikan konsentrasi kromium lebih tinggi dari konsentrasi timbal selama waktu pelindihan.

konsentrasi Cr dl lindihan (ppm)

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1 7

Pb 1 gram + sm Cr 1 gram + sm Pb 1 gram Cr 1 gram

11

14

16

17

21

25

28

waktu pelindihan (hari)


Gambar 6. Pelindihan timbal dan kromium dari shell beton hasil stabilisasi-solidifikasi arang sisa pembakaran.

84

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

Gambar 6. memperjelas uraian sebelumnya bahwa ion kromat yang berukuran lebih kecil dari timbal dapat menembus matriks beton lebih cepat dan terlindih dalam medium pelindihan dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Penambahan semen dalam arang sisa pembakaran tidak meningkatkan ketahanan lindih ion logam berat. KESIMPULAN 1. Semen atau campuran beton sebagai bahan stabilisasi-solidifikasi, tidak dapat menahan pelindihan logam berat (dalam bentuk senyawa garam yang larut dalam air). Laju pelindihan ditentukan oleh ukuran atom atau ion logam berat tersebut. Semakin kecil ukuran atom atau massa atom relatif, laju lindih semakin besar. Fiksasi kimia (merubah kedalam bentuk persenyawaan tak larut dalam air) mutlak diperlukan untuk stabilisasisolidifikasi logam berat menggunakan bahan semen atau campuran beton. Tanpa fiksasi kimia, stabilisasisolidifikasi persenyawaan dapat larut dalam air mungkin dilakukan selama zat tersebut berada dalam kemasan/wadah asli. Prinsip ini baik diterapkan untuk LB3 reagensia kedaluarsa. Kerosen mengandung D2EHPA dan TOPO merupakan LB3 cair organik, dapat diolah dengan proses pembakaran menggunakan media kertas serap. Massa arang sisa pembakaran 17% dari massa limbah dan kertas serap. Proses pembakaran semakin aman dengan melengkapi sistem penjerap gas hasil pembakaran.

DAFTAR PUSTAKA 1. STANLEY E. MANAHAN., Hazardous Waste Chemistry, Toxicology and Treatment, Lewis Publishers, Inc., Michigan, 1990. LUNN, GEORGE, AND SANSONE, ERIC B., Destruction of Hazardous Chemical in the Laboratory, John Wiley and Sons, Somerset, New Jersey, 1990. VOGEL, G., Composition of Hazardous Waste Streams Currently Incinerated, Mitre Corporation Report, U.S. Environmental Protection Agency, Washington D.C., 1983. LOUIS, THEODORE, AND JOSEPH REYNOLDS, Introduction to Hazardous Waste Incineration, Johm.Wiley sons, New York, 1987. SENKAN, SELIM, M., Thermal Destruction of Hazardous Waste, Environmental Science and Technology, 22, 368-370 (1988). WILES, CARLTON C., Solidification and Stabilization Technology, Section 7.8 in Standard Handbook of Hazardous Waste Treatment and Disposal, Freeman, Harry M., McGraw Hill Book Company, New York, 1989. CLEMENT, J.A., AND C.M. GRIFFITHS, Solidification Processes, chapter 5 in Hazardous Waste Handbook, butterworths, London, 1985. WRIGHT, THOMAS D., DAVID E. ROSS, AND LORI TAGAWA, Hazardous Waste Landfill Construction: The State of the Art, Section 10.1 in Standard Handbook of Hazardous Waste Treatment and Disposal, Freeman, Harry M., McGraw Hill Book Company, New York, 1989.

2.

3.

4.

2.

5.

3.

6.

4.

7.

5.

8.

6.

85

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK

ISSN 1410-6086

86

Anda mungkin juga menyukai