Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN SKENARIO 3: Amputasi Tanpa Informed Consent Bagian 1

Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, vital sign menunjukkan panurunan tekanan darah hingga 80/50 mmHg, denyut nadi 120x/ menit, respirasi 30x/menit, dan suhu 400C. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa kaki kanan pasien bengkak, kemerahan, dan mengeluarkan nanah. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan kadar gula darah 500 gr/dL. Dokter menduga pasien tersebut tidak sadar dikarenakan syok sepsis. Setelah dokter melakukan stabilisasi, dokter lalu bersiap melakukan amputasi untuk menghilangkan fokus infeksi.

Dua hari kemudian, pasien sadarkan diri, dan keluarga pasien yang ternyata tinggal di luar pulau mengunjunginya. Tetapi suatu peristiwa yang menggemparkan terjadi. Bagian 2

BAB II DISKUSI DAN STUDI PUSTAKA A. Seven Jump 1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario. Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut. a. Syok sepsis: Respon tubuh yang serius terhadap infeksi bakteremia atau yang lain. Kondisi medis yang ditandai dengan tekanan darah rendah (shock) yang dapat mengancam nyawa. (Medline plus,2008) Ciri-ciri sepsis (http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/) : 1) Panas dingin 2) Kebingungan atau delirium 3) Demam atau suhu tubuh rendah (hipotermia) 4) Pusing karena tekanan darah rendah 5) Detak jantung yang cepat 6) Goncangan 7) Ruang kulit 8) Kulit yang hangat 9) Memar atau pendarahan juga dapat terjadi b. Ruangan resusitasi: Tempat dimana dilakukan tindakan / pertolongan untuk

memulihkan fungsi pernapasan dan jantung yang terganggu guna melangsungkan hidup penderita. Ruangan bagi pasien dengan kondisi gawat darurat yang mengancam nyawa pada keadaan berhentinya napas dan denyut jantung c. GDS: Gula Darah Sewaktu adalah hasil pengukuran gula darah yang dilakukan seketika waktu itu, tanpa puasa. d. Amputasi:

Penghilangan ekstremitas tubuh oleh trauma atau pembedahan biasanya digunakan untuk kontrol rasa sakit atau proses penyakit pada anggota yang terkena . Dalam beberapa kasus , hal ini dilakukan pada individu sebagai oerasi pencegahan untuk masalah tersebut. (http://kamuskesehatan.com/) e. Airway: Jalur tempat udara keluar-masuk paru. f. Nanah: Nanah adalah bahan warna kuning keputihan atau kehijauan yang hadir di bagian yang terjangkit bakteri disebabkan oleh infeksi bakteri pembentuk nanah. g. Intravenous line (IV Line): Alat yang digunakan untuk memberikan cairan atau obat-obatan secara cepat ke aliran darah. h. Informed Consent: Persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. (PerMenKes No290/Menkes/Per/III/2008 dan UU No 29 Tahun 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008) i. Vital sign: Tanda dari kehidupan berupa indikator kondisi fisik seseorang secara umum meliputi detak jantung, tekanan darah, suhu tubuh dan pernapasan. Ukuran normal vital sign: 1) Tekanan darah 90/60 120/80 mmHg 2) Respirasi 12-18 /menit 3) Suhu tubuh 36,5 37,5 oC 4) Denyut nadi 60 100 x/menit j. Kateter:

Perangkat medis tubular untuk dimasukkan ke dalam kanal, pembuluh, lorong-lorong atau rongga tubuh untuk tujuan

diagnostik/terapeutik (sehingga memungkinkan suntikan atau cairan untuk menjaga sebagai jaringan terbuka). Alat bedah yang berupa selang atau pipa dan bersifat lentur yang dimasukkan ke dalam rongga tubuh untuk mengisap atau memasukkan cairan (Kamus Dorland ,357 edisi 31) k. Stabilisasi: Keadaan dimana organ tubuh mulai berfungsi secara normal atau stabil. Proses pengembalian kondisi fisiologi yang normal. l. Infeksi: Invasi dan multiplikasi mikroorganisme dalam jaringan tubuh, terutama menyebabkan cedera selular lokal akibat metabolisme kompetitif, toksin, replikasi intraseluler, atau respon antigen-antigen (Dorlands Medical Dictionary for health Consumer, 2007) m. Kadar gula: Pada manusia berada pada ambang 70/110 mg/dl. Gula darah: bahan bakar tubuh yang dibutuhkan untuk kerja otak sistem saraf dan jaringan tubuh. n. Perfusi: Tindakan menuang melalui khususnya pengaliran cairan lewat pembuluh darah organ. o. Malpraktik: Praktek yang tidak benar atau memerlukan tindakan medis atau pembedahan yang terampil atau keliru. Kegagalan untuk memberikan layanan profesional dan melakukan pada ukuran keterampilan dan kepandaian yang wajar dalam masyarakat oleh temuan sejawat rata-rata dari profesi dokter sehingga akibat luka , kehilangan , kerugian padaalayanan tersebut Ada 3 malpraktik :

a. Mapraktik kriminal (Criminal malpractice) Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni : 1) Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela. 2) Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan

(reklessness) atau kealpaan (negligence). a) Criminal malpractice yang bersifat sengaja

(intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP). b) Criminal malpractice yang bersifat ceroboh

(recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent. c) Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan. b. Malpraktik Perdata (Civil malpractice) Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati

(ingkar

janji).

Tindakan

tenaga

kesehatan

yang

dapat

dikategorikan civil malpractice antara lain: 1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan. 2) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya. 3) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna. 4) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan. Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas

kewajibannya. c. Malpraktik Etis

2. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan. Permasalahan dalam skenario ini adalah sebagai berikut. a. Mengapa dokter melakukan amputasi tanpa seizin keluarga? b. Apakah tindakan amputasi tanpa persetujuan termasuk mal praktik ? c. Kondisi seperti apakah yang benar-benar membutuhkan prosedur amputasi sebagai penyelesaian? d. Adakah akibat apabila tidak dilakukan amputasi? e. Apa saja bentuk dan tujuan informed consent? f. Bagaimana aspek hukum bagi dokter yang melakukan tindakan medis tanpa adanya informed consent? g. Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh dokter dalam menyelesaikan masalah tersebut?

h. Apakah tindakan amputasi benar-benar mendesak dilakukan pada pasien tersebut? i. Tindakan medis apa saja yang memerlukan informed consent?

3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II). Analisis sementara oleh kelompok kami mengenai permasalahan yang disebutkan dalam langkah II adalah:

a. Karena keadaan pasien dalam keadaan

tidak sadarkan diri

dikarenakan syok sepsis dan dokter harus segera melakukan amputasi, sedangkan keluarganya belum diketahui dan apabila tidak dilakukannya amputasi maka pasien itu bisa meninggal. Oleh karena itu dokter mengambil keputusan untuk segera melaksanakan amputasi untuk menyelamatkan nyawa pasien. b. Pada tindakan medis yang kemungkinan menimbulkan kecacatan harus melakukan informed consent kecuali jika dalam keadaan gawat darurat seperti dokter berpacu dalam maut, tidak cukup waktu untuk menjelaskan, sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya, dokter tidak punya waktu untuk menghubungi keluarga pasien, tidak diketahui keluarga dan kerabat dari pasien maka berdasarkan doctrin of necessity dokter harus tetap melakukan tindakan medis hal ini dijabarkan dalam PERMENKES NO 585/PERMENKES

/PER/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medis bahwa dalam keadaan emergency tidak diperlukan informed consent. c. Keadaan yang memerlukan tindakan amputasi, antara lain: 1) Fraktur organ tubuh pada organ yang tidak mungkin dapat diperbaiki. 2) Kehancuran kulit yang tidak mungkin. 3) Gangguan sirkulasi pada yang berat.

4) Infeksi berat/ risiko tinggi yang dapat menyebar ke anggota tubuh lainnya. 5) Tumor pada organ yang tidak dapat di terapi secara konservatif. 6) Deformitasi. (Harnawatiaj, 2008) 4. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III. Kasus Aspek hukum bentuk Informed consent
Tujuan

Syarat diperlukan

Syarat tidak diperlukan informed consent

Dampak tidak dilakukan

Ketentuan hukum

Malpraktik

Kriminal/pidana

Perdata Administratif

5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran a. Adakah akibat apabila tidak dilakukan amputasi? b. Apa saja bentuk dan tujuan informed consent? c. Bagaimana aspek hukum bagi dokter yang melakukan tindakan medis tanpa adanya informed consent? d. Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh dokter dalam menyelesaikan masalah tersebut?

e. Apakah tindakan amputasi benar-benar mendesak dilakukan pada pasien tersebut? f. Tindakan medis apa saja yang memerlukan informed consent ?

6. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru

7. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang diperoleh a. Adakah akibat apabila tidak dilakukan amputasi? Penanda infeksi seperti tinggi CRP, ESR, neutrofil, dan indikator vaskularisasi miskin seperti tidak adanya pulsa poplitea dan ABI rendah secara signifikan terkait dengan hasil klinis yang buruk dan sepsis adalah penyebab paling signifikan dari kematian

(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/). Sehingga, anggota tubuh yang terkena infeksi berat tidak diamputasi bisa menyebabkan kematian. b. Apakah tindakan amputasi benar-benar mendesak dilakukan pada pasien tersebut ? Amputasi dilakukan untuk menghilangkan patogen penyebab oleh karena antibiotik pada umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi yang adekuat. http://www.bmj.com/ c. Bentuk Persetujuan medis 1) Implied Consent (dianggap diberikan) Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan atau dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter

memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bsa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter. 2) Expressed Consent (dinyatakan) Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tndakan medis yang bersifat invasif dan mengandung resiko dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umumdikenal dirumah sakit sebagai surat izin operasi. (Amri, 1997) d. Tujuan informed consent : 1) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien; 2) Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif , misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti. (Guwandi, 2005) Tujuan informed consent menurut jenis tindakannya : 1) Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek penelitian). 2) Yang bertujuan ntuk mencari diagnosis. 3) Yang bertujuan untuk terapi. (Samil, 2001) e. Aspek hukum bagi dokter yang melakukan tindakan medis tanpa adanya informed consent Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

290/Menkes/Per/Iii/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pasal 4

(1) Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. (2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik. (3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat. Menurut UU No 23 Tahun 1992 dan UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 32 ayat 1 UU No 36/2009 tentang kesehatan dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelematan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Pasal 53 ayat 3 UU No 36/2009 Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya . f. Hal yang harus dilakukan dokter tersebut Menjelaskan kepada pasien dan jika pasien tetap ingin menuntut dan meminta ganti rugi. Dokter bisa menjelaskan berdasarkan hukum yang berlaku, seperti yang tercantum pada UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan. Pasal 58 ayat 1 Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang tenaga kesehatan dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan

kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Pasal 58 ayat 2 Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan

penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaaan darurat. g. Tindakan medis memerlukan Informed Consent: 1) Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek samping yang bermakna. 2) Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi. 3) Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien. 4) Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu peneitian

1) Tindakan pengobatan khusus, misalnya radiotheraphy untuk kanker 2) Tindakan yang bersifat inisiatif dan kooperatif / memerlukan pembiusan 3) Tindakan khusus yang berkaitan dengan penelitian (FK UNJA, 2010)

BAB III KESIMPULAN

1) Dalam skenario tersebut, tindakan yang tepat dilakukan oleh dokter yaitu melakukan amputasi jika dilihat dari gejala syok sepsis yang dideritanya. Dilihat dari suhu tubuh yang terlampau tinggi, frekuensi pernapasan yang tidak normal, tekanan darah yang terlampau rendah dan gula darah melebihi batas normal. Karena apabila dokter tidak melakukan amputasi dengan segera, maka pasien tersebut justru akan meninggal dunia. 2) Informed Consent sangat diperlukan untuk setiap melakukan tindakan medis. Namun, berlandaskan Permenkes No. 585 tentang Informed Consent, dikatakan bahwa Informed Consent jangan dijadikan penghambat untuk menyelamatkan nyawa seorang pasien.

BAB IV SARAN 1) Sebaiknya dokter berusaha menghadirkan saksi medis dan saksi hukum untuk membuat kesaksian secara tertulis tentang kondisi pasien saat itu dan alasan yang menyebabkan tindakan amputasi perlu dilakukan. 2) Membuat rekam medis yang lengkap tentang kondisi pasien dan tindakan yang dilakukan kepada pasien.

DAFTAR PUSTAKA Wong KL, Nather A, Liang S, Chang Z, Wong TT, Lim CT (2013). Clinical outcomes of below knee amputations in diabetic foot patients. PubMed. Bochud PY, Calandra T (2003). Pathogenesis of sepsis: new concepts and implication for future treatment. BMJ, 325:262-266. Amril Amri (1997). Bunga rampai hukum kesehatan. Jakarta: Widya Medika, p:31. J. Guwandi (2005). Rahasia medis. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran UI, p:32. Ratna Suprapti Samil (2001). Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Putaka Sarwono Prawihardjo p:45. http://bphn.go.id/ http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000666.htm http://kamuskesehatan.com/arti/amputasi/ http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22828/4/Chapter%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai