Anda di halaman 1dari 17

1

SKENARIO 5
Informed Consent
Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun dibawa ke unit gawat darurat RS
karena mengalamai kecelakaan saat mengendarai motor.Anak tersebut dalam
kondisi kristis tetapi belum ada anggota keluarganya yang datang.Kemudian
dokter memutuskan untuk segera melakukan tindakan.Kecelakaan yang dialami
anak tersebut cukup parah terutama tungkai kanannya sehingga harus diamputasi.
Nyawa anak tersebut akhirnya dapat diselamatkan tetapi keluarga sangat marah
karena tungkai kanannya di amputasi tanpa informed consent dari mereka. Mereka
yakin anak itu akan depresi karena ia seorang atlit sepak bola disekolahnya.
STEP 1:
a) Amputasi
Tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstemitas
dan dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir untuk menyelamatkan jiwa
seseorang.
b) Depresi
Kondisi dimana seseorang mengalami tekanan akibat dari kecelakaan atau
trauma yg menyebabkan sedih atau muram yg belebih.
c) Informed consent
Suatu proses yg menunjukan komunikasi antara pasien dan dokter tentang
kesepakatan tindakan yg akan atau tidak akan dilakukan setelah di berikan
penjelasan baik tersirat maupun tersurat.
d) UGD
Tempat penanganan pertama dalam tindakan medis saat keadaan gawat
darurat.
e) Tungkai Bawah
Sistem organ gerak dari bagian atas paha sampai telapak kaki yg berfungsi
sebagai penopang tubuh.

STEP 2:
1. Mengapa dokter melakukan amputasi tanpa adanya informed consent ?
2. Tujuan dan fungsi Informed consent ?
3. Apakah Informed consent dapat dibatalkan ?
4. Bentuk-bentuk dari informed consent ?

5. Dasar hokum Informed consent ?


6. Siapa saja yg berhak menerima & memberikan informed consent ?
7. Hal-hal apa saja yang perlu di tegaskan oleh dokter untuk melakukan
informed consent ?
8. Apakah keluarganya dapat menuntut dokter dalam kasus tersebut ?
STEP 3:
1. Keadaan gawat darurat yang mengancam nyawa
2. Tujuan
Untuk memberika informasi kepada keluarga mengenai tindakan yg
akan dilakukan dan meminta persetujuan
Fungsi
- Memberi perlindungan hokum kepada dokter terhadap suatu
kegagalan yg bersifat negatif
- Untuk mencegah terjadinya penipuan dan paksaan
3. Bisa, sebelum tindakan dilakukan dan itu merupakan hak pasien
4. Tersirat dan Tersurat
5. - Pasal 45 Undang-undang Nomor.29 Tahun 2004 tentang praktek
kedokteran
-Pemenkes

Nomor

585/Menkes/Per/IX/1989

tentang

persetujuan

tindakan medis
- Menerima: Pasien dan keluarga
- Memberi: Petugas kesehatan yg menangani kasus tersebut
7. - Diagnosis dan tata cara tindakan medis
- Tujuan tindakan medis dilakukan
- Alternatif tindakan medis dilakukan
- Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
- Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan
8. Berhak
STEP IV:
6.

Dasar Hukum
-

Persetujuan
Penandatanganan
surat persetujuan
informed consent

Informasi
Diagnosis
Tata cara tindakan
medis
Tujuan tindakan medis
Alternatif tindakan
Resiko dan komplikasi
Prognosis terhadap
tindakan yang akan
dilakukan

Informed consent
-

Unsur
Hukum

Keselamatan Pasien

Psikologi
-

Pasal 45 UU No.29
Tahun 2009 tentang
Praktek Kedokteran
PERMENKES No.585
Tahun 1989 tentang
Persetujuan Tindakan
Medis
PERMENKES No.585
Tahun 1983 tentang
Persetujuan Tindakan
Medis
KODEKI pasal 7d

Dilema Etik

Implied Consent
-

INFORMED CONSENT

Bentuk
-

Bisa dalam keadaan


normal
Dalam keadaan resiko
tinggi atau darurat

Fungsi
Expressed Consent
-

Tertulis
Lisan

Pihak

1. Penerima : Pasien
dan Keluarga
Kaidah Dasar
Pasien
Benefience : Berbuat
2. Pemberi : Petugas
kebaikan
kesehatan yang
Non-Malleffience : Tidak
menangani kasus
berbuat merugikan
Autonomy : Menghargai hak tersebut
pasien
Justice : Melakukan prinsip
keadilan kepada semua
pasien

1. Member perlindungan
hukum kepada dokter
terhadap suatu
kegagalan yang bersifat
negatif
2. Untuk mencegah
terjadinya penipuan dan
paksaan

STEP 5

Tujuan
1. Memberi informasi

kepada keluarga
mengenai tindakan
yang akan dilakukan
dan meminta
persetujuan

1. Apa tujuan dari Informed Consent untuk dokter dan untuk pasien?
2. Apa fungsi Informed Consent untuk dokter dan untuk pasien?
3. Apa dasar hukum tentang keselamatan pasien?
4. Undang-undang yang mengatur Informed Consent?
5. Apa perbedaan antara expressed consent dengan implied consent?
6. Dilema etik berdasarkan kaidah dasar moral?
7. Prinsip-prinsip dalam pengambilan keputusan (dilema etik)?
STEP 6

Belajar mandiri
STEP 7
1. Tujuan Informed Consent
a. Bagi pasien:
Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari
segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun
tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang,
tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan
standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang
memerlukan biaya tinggi;
b. Bagi dokter:
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis
dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat
tindakan medis yang tak terduga, misalnya terhadap risk of treatment
yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak sesuai
dengan standar profesi medik.
2. Fungsi Informed Consent
Menurut Kerbala (1993), fungsi informasi dokter kepada pasien sebelum
pasien memberikan consent-nya, dapat dibedakan atas :
a. Fungsi Informasi bagi pasien
Berfungsi sebagai perlindungan atas hak pasien untuk menentukan diri
sendiri. Dalam arti bahwa pasien berhak penuh untuk diterapkannya
suatu tindakan medis atau tidak.
b. Fungsi Informasi bagi dokter
Dilihat dari pihak dokter maka informasi dalam proses Informed
consent pun mempunyai fungsi yang tidak kecil. Azwar (1991)
mengemukan ada 5 hal pentingnya fungsi informasi bagi dokter :
1) Dapat membantu lancarnya tindakan kedokteran
Dengan penyampaian informasi kepada pasien mengenai penyakit,
terapi, keuntungan, risiko, dan lain-lain. Dari tindakan medis yang
akan dilakukan maka terjalin hubungan yang baik antara dokter

dengan pasien. Sementara pasien pun akan menentukan hal yang


terbaik dengan landasan informasi dokter tadi, sehingga tindakan
tindakan medis pun akan lancer dijalani oleh kedua pihak karena
keduanya telah memahami kegunaan semua tindakan medis itu.
2) Dapat mengurangi timbulnya akibat sampingan dan komplikasi
Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberi dampak
yang baik dalam komunikasi dokter pasien terutama dalam
menerapkan terapi. Misal dokter sebelum menyuntik pasien dengan
penisilin bertanya, apakah pasien alergi terhadap penisilin? Bila
pasien memang alergi maka akibat/risiko yang besar jika terjadi
anafilaktik shock dapat dihindari. Betapa risiko besar itu akan
menimpa pasien bila dokter tidak bertanya kepada pasien.
3) Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit
Sama halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagai akibat
adanya pengetahuan dan pemahaman yang cukup dari pasien
terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan, maka proses
pemulihan dan penyembuhan penyakit akan lebih cepat. Keadaan
yang demikian juga jelas akan menguntungkan dokter, karena dapat
mengurangi beban kerja.
4) Dapat meningkatkan mutu pelayanan
Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan disini adalah sebagai
akibat dari lancarnya tindakan kedokteran, berkurangnya akibat
sampingan dan komplikasi serta cepatnya proses pemulihan dan
penyembuhan penyakit.
5) Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum
Perlindungan yang dimaksudkan disini adalah apabila disuatu pihak,
tindakan dokter yang dilakukan memang tidak menimbulkan
masalah apapun, dan dilain pihak, kalaupun kebetulan sampai
menimbulkan masalah, misalnya akibat sampingan dan atau
komplikasi, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelalaian
dan ataupun kesalahan tindakan (malpractice). Timbulnya masalah
tersebut

sematamata

hanya

karena

berlakunya

prinsip

ketidakpastian hasil dari setiap tindakan kedokteran/medis. Dengan


perkataan lain, semua tindakan kedokteran yang dilakukan memang
telah sesuai dengan standar pelayanan profesi (standar profesi medis)
yang telah ditetapkan.
3. Dasar Hukum Keselamatan Pasien :
UU No.36 Tahun 2009 tentangKesehatan
a) Pasal 32 ayat 1
Dalam

keadaan

darurat,

fasilitas

pelayanan

kesehatan,

baik

pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan


bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih
dahulu
b) Pasal 32 ayat 2
Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta dilarang menolak pasien dan / atau meminta uang
muka

c) Pasal 53 ayat 3
Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien
disbanding kepentingan lainnya
d) Pasal 83 ayat 1
Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana
harus ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan
lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien
e) Pasal 85 ayat 1
Dalam keadaan

darurat,

fasilitas

pelayanan

kesehatan,

baik

pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan


pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan
kecacatan
f) Pasal 85 ayat 2

Fasilitas pelayanan

kesehatan dalam memberikan pelayanan

kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang


menolak pasiend dan / atau meminta uang muka terlebih dahulu
g) Pasal 190 ayat 1
Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan / atau tenaga kesehatan
yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
UU No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Pasal 3 huruf b
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan :memberikan
perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan
rumah sakit dan sumberdaya manusia di rumah sakit
Badan pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan
HAM RI. 2010. Laporan penelitian Hukum tentang Hukum
Tenaga Medik, Rumah Sakit dan Pasien. Jakarta
4. Peraturan Undang Undang yang mengatur informed consent
Pasal 45 UU no.29 tahun 2004 tentang peraktik kdokteran
(1) setiap tindakan kedokteran / dokter gigi yang akan dilakukan oleh
dokter / dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan
(2) persetujuan yg dimaksud pada ayat 1 diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan
(3) penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mencakup:
a) Diagnosis & tatacara tindakan medis
b) tujuan tindakan medis dilakukan
c) alternatif tindakan lain & resikonya
d) resiko komplikasi yg mungkin terjadi

e) prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan


5. Perbedaan Expressed consent dan Implied consent :
A. Expressed consent (dinyatakan)
1) Dinyatakan secara lisan
2) Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis
diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari,
umumnya pada tindakan yang beresiko tinggi seperti tindakan
pembedahan perlu surat persetujuan tertulis dari pasien atau
keluarga
B. Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun
melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis
inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.
Misalnya:
a) Seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan
lengannya ketika akan diambil darahnya.
b) Seseorang yang atas kemauannya sendiri memasuki
Ruang periksa, kemudian juga bersedia membuka baju untuk
diperiksa atau mengulurkan bagian tubuhnya untuk disuntik, dianggap
secara implied sudah memberikan persetujuannya.
6. Dilema Etik (Hukum dan Psikolog)
Penjelasan tentang prinsip-prinsip dasar moral
Dalam setiap pengambilan keputusan, seseorang hendaknya mampu
untuk mengaplikasikan empat prinsip dasar moral ( the four moral
principles ).Dalan kutipannya Sofwan Dahlan (2007) menyebutkan
bahwa :Menurut Beauchamp dan Childress ( 1983), keempat prinsip
moral tersebut terdiri dari :
- Beneficence : Prinsip beneficence merujuk pada perbuatan yang
baik ( to do good ). Dengan prinsip ini maka setiap bentuk

keputusan, termasuk keputusan bidang kesehatan, selayaknya


mempertimbangkan keuntungan bagi individu sasaran.
- Non-maleficence : Prinsip nonmaleficence menghendaki agar
setiap keputusan untuk melakukan perbuatan tertentu ( meliputi
tindakan dibidang medis) tidak merugikan individu dimana
perbuatan itu dilakukan ( to do no harm). Bahwa Catalano tidak
mencantumkan

prinsip

ini

sebagaimana

yang

dilakukan

Beauchamp dan Childress, karena lebih setuju dengan pendapat


William frankena, bahwa prinsip nonmaleficence sudah tersirat
dalam prinsip beneficence sehingga bukan merupakan prinsip
moral tersendiri.
- Autonomy : Prinsip autonomy merujuk pada hak individu sasaran
untuk membuat keputusan menyangkut kepentingannya sendiri.
Namun harus difahami bahwa autonomy konsumen punya batas
dan tidak boleh mengganggu autonomy profesional. Profesi juga
punya autonomy yang pada batas tertentu tidak boleh diganggu
gugat. Dalam kaitannya dengan pasien misalnya, autonomy berarti
hak pasien untuk membuat keputusan atas layanan kesehatannya
sendiri ( the right to make decisions about oneshealth care ).
Dengan hak tersebut tidak berarti pasien bebas meminta layanan
kesehatan menurut keinginannya. Atas dasar itu autonomy pasien
wajib dikendalikan dan dikontrol oleh prinsip-prinsip moral lainnya
(seperti

beneficence

dan

nonmaleficence)

serta

autonomy

profesional.
- Justice : Prinsip justice( as a fairness maupun as a distributive
justice ) Menunjukkan adanya kewajiban yang adil kepada semua
orang. Prinsip ini juga mencerminkan adanya keseimbangan antara
hak

dan

kewajiban,

sehingga

tidaklah

adil

menempatkan

tanggungjawab yang besar kepada dokter dan perawat tanpa


diimbangi oleh haknya yang seimbang. Justice juga berarti adanya

10

kewajiban untuk memperlakukan sama kepada setiap orang dalam


kondisi atau situasi yang sama.
Sedangkan menurut Catalano, JT (1991), keempat prinsip moral tersebut
terdiri dari :
- Beneficence
- Fidelity
- Autonomy
- Justice
Prinsip beneficence merujuk pada perbuatan yang baik ( to do good ).
Dengan prinsip ini maka setiap bentuk keputusan, termasuk keputusan
bidang kesehatan, selayaknya mempertimbangkan keuntungan bagi
individu sasaran.
Menurut Oxford English Dictionary, terminologi beneficence diartikan
sebagai perbuatan yang baik yang merupakan penjelmaan dari kebajikan
atau kebaikan ( benevolence atau kindly feeling)
Terminologi beneficence itu sendiri berasal dari bahasa latin bene
( good, well ) dan facere ( to do ), dimana kebaikan atau kebajikan
(benevolence) berakar pada bene dan volens ( a strong wish or intention).
Para fiosof yang lebih menekankan pada pendekatan rasional dan kalkulasi
cenderung memilih terminologi beneficence, sedangkan yang lebih melihat
etika dalam kaitannya dengan watak dan dimensi-dimensi psikologis dari
moral lebih cenderung memakai terminologi benevolence.
Beneficence sendiri dapat diartikan secara luas dan sempit. Secara
luas beneficence oleh William Frankena dimaknai sebagai prinsip yang
didalamnya mengandung elemen 7 pengekangan terhadap perbuatan yang
dapat menimbulkan kerugian, pencegahan terhadap perbuatan buruk, serta
elemen peningkatan terhadap kebaikan. Childress mengadopsi elemenelemen beneficence dari Frankena, namun ia mengklasifikasi kembali
menjadi dua prinsip yang berbeda, yaitu prinsip beneficence, dan prinsip
nonmaleficence.

11

Prinsip nonmaleficence menghendaki agar setiap keputusan untuk


melakukan perbuatan tertentu ( meliputi tindakan dibidang medis) tidak
merugikan individu dimana perbuatan itu dilakukan ( to do no harm).
Bahwa Catalano tidak mencantumkan prinsip ini sebagaimana yang
dilakukan Beauchamp dan Childress, karena lebih setuju dengan pendapat
William frankena, bahwa prinsip nonmaleficence sudah tersirat dalam
prinsip beneficence sehingga bukan merupakan prinsip moral tersendiri.
Catalano kemudian memasukan prinsip fidelity sebagai prinsip
moral, yang mewajibkan setiap profesional menunjukkan kecermatan,
kejujuran, kepatuhan dan kesetiaan terhadap tanggungjawab yang
diembannya. Prinsip ini dinilai olehnya sebagai elemen kunci dari
akontabilitas.
Prinsip autonomy merujuk pada hak individu sasaran untuk
membuat keputusan menyangkut kepentingannya sendiri. Namun harus
difahami bahwa autonomy konsumen punya batas dan tidak boleh
mengganggu autonomy profesional. Profesi juga punya autonomy yang
pada batas tertentu tidak boleh diganggu gugat. Dalam kaitannya dengan
pasien misalnya, autonomy berarti hak pasien untuk membuat keputusan
atas layanan kesehatannya sendiri ( the right to make decisions about
oneshealth care ). Dengan hak tersebut tidak berarti pasien bebas meminta
layanan kesehatan menurut keinginannya. Atas dasar itu autonomy pasien
wajib dikendalikan dan dikontrol oleh prinsip-prinsip moral lainnya
(seperti beneficence dan nonmaleficence) serta autonomy profesional.
Jika misalnya pasien meminta pemeriksaan CT Scan kepala atas
keinginannya sendiri serta tidak ada keluhan apapun yang menjadi indikasi
medis bagi dilakukannyapemeriksaan CT Scan, maka hal itu harus
dipertimbangkan masak-masak, karena pemeriksaan menggunakan radiasi
sinar X selalu membawa risiko kesehatan bagi penerimanya. Apabila
dokter menemui pasien seperti itu wajib kiranya dokter menasehatkan
untuk tidak dilakukan karena tidak ada manfaatnya bahkan risikonya
cukup besar bagi kesehatan pasien tersebut.
Prinsip justice( as a fairness maupun as a distributive justice )

12

Menunjukkan adanya kewajiban yang adil kepada semua orang. Prinsip ini
juga mencerminkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban,
sehingga tidaklah adil menempatkan tanggungjawab yang besar kepada
dokter dan perawat tanpa diimbangi oleh haknya yang seimbang. Justice
juga berarti adanya kewajiban untuk memperlakukan sama kepada setiap
orang dalam kondisi atau situasi yang sama.

Model pengambilan keputusan etik ( Ethical Decision Making Model)


itu?

Ada banyak model pengambilan keputusan etik yang diperkenalkan oleh


para ahli, namun disini hanya akan dibahas satu model yaitu model dari
Johnstone.
Beliau mengajarkan agar problem moral diselesaikan dengan
menggunakan pendekatan lima langkah, yaitu :
1. Menilai situasinya ( assessing situation)
2. Mengenali dan menentukan problem moralnya (diagnosing or
identifying the moral problem)
3. Menentukan tujuannya serta merancang tindakan yang sesuai ( setting
moral goals and planning an appropriate action)
4. Melaksanakan tindakan yang telah dirancang (implementing the moral
plan of action)
5. Mengevaluasi hasilnya.Sebagai contoh kasus sebagai berikut ( Sofwan
Dahlan, 2007) :
Seorang wanita muda yang sedang hamil dua bulan, datang ke bagian
bedah sebuah rumah sakit di kotanya, untuk memeriksakan benjolan pada
payudaranya. Dalampemeriksaan ternyata benjolan tersebut merupakan
kanker payudara yang masih operable Tindakan medis apakah yang
menurut etika dapat dibenarkan?
Langkah pertama adalah menilai situasinya. Bahwa wanita tersebut
mengidap kanker payudara yang berbahaya dan belum ada obatnya selain
operasi dan kemudian diikuti dengan program penyianaran dengan sinar

13

radioaktif dan kemoterapi. Tetapi masalahnya wanita tersebut sedang


hamil dua bulan, sehingga tindakan seperti itu akan dapat membahayakan
janin yang dikandungnya, disamping operasinya sendiri juga mengandung
risiko potensial. Sebagaimana diketahui bahwa sinar radioaktif dan
kemoterapi dapat mengganggu pertumbuhan janin dan menyebabkan gen
mengalami mutasi, sehingga berpotensi menjadi kanker dan kecacatan
yang berat pada janin.
Langkah kedua adalah mengenali problem moralnya.
Pertama, apakah bermoral menunda operasi dan penyinaran atau
kemoterapi sampai pasien melahirkan, mengingat konsekuensinya berarti
sama dengan memberi kesempatan tujuh bulan lamanya kepada kanker
untuk berkembang dan merusak kesehatan dan mengancam jiwa wanita
itu? Kedua, apakah bermoral jika operasi dan penyinaran serta pemberian
kemoterapi

dilakukan

segera,

yang

konsekuensinya

berpotensi

menimbulkan masalah kesehatan yang serius pada janin sehingga akan


menyulitkan kehidupannya

kelak?

Ketiga, apakah

bermoral

jika

kehamilannya diterminasi lebih dahulu sebelum mengatasi penyakit


kankernya? Jawabannya sudah pasti bahwa ketiga alternatif tersebut
kesemuanya melanggar moral. Namun dokter harus memilih alternatif
yang dapat dibenarkan darisudut etika.
Langkah ketiga adalah menetapkantujuan dan merancang tindakan
terbaik yang dibenarkan menurut etika.
Pada

langkah

inilah

ketiga

alternatif

itu

dikritisi

dengan

menggunakan prinsip-prinsip dasar moral, dianalisis secara sistematis, dan


rasional untuk kemudian ditetapkan jastifikasinya. Disamping itu juga
dokter juga harus mempertimbangkan kebaikan dan kerugian dari
tindakannya itu. Sudah pasti tidak mudah, sebab teori etika disini harus
diterapkan secara cerdas dan cermat.
Konkritnya prinsip beneficence dan nonmaleficence perlu dijadikan
landasan utama dengan menimbang-nimbang kebaikan dan risikonya dari
tiap-tiap pilihan alternative tindakan yang tersedia. Prinsip autonomy yang

14

memberikan hak kepada pasien untuk menjatuhkan pilihannya juga perlu


dipertimbangkan, walaupun pilihan itu bersifat bias.
Oleh sebab itu komunikasi dengan pasien harus dibangun dengan
berlandaskan kejujuran dan itikad baik. Prinsip justice juga tidak boleh
dilupakan dengan mempertanyakan apakah tindakan yang dipilih
merupakan tindakan yang juga akan diterapkan kepada pasien lain yang
sama kondisi dan problem moralnya.
Langkah keempat adalah mengimplementasikan tindakan pilihan
yang telah
ditetapkan dan direncanakan tersebut.
Langkah kelima dan terakhir adalah mengevaluasi hasil dari apa
yang telah
diimplementasikan.
Langkah ini menjadi sangat penting untuk dijadikan umpan balik
bagi dokter sebagai bahan pertimbangan dalam mengatasi problem yang
sama dikemudian hari, sebab dalam beberapa kasus yang keputusan
kliniknya berupa terminasi kehamilan, seringkali pasien dihantui dengan
perasaan berdosa karena ikut menyetujui tindakan tersebut. Atas dasar
inilah sebaiknya keputusan klinik dilaksanakan dengan melibatkan ahli
agama dan psikolog.
7. Prinsip prinsip kaidah dasar moral
Menurut Beauchamp dan Childress ( 1983), keempat prinsip moral
tersebut terdiri dari :
- Beneficence : Prinsip beneficence merujuk pada perbuatan yang baik
( to do good ). Dengan prinsip ini maka setiap bentuk keputusan,
termasuk keputusan bidang kesehatan, selayaknya mempertimbangkan
keuntungan bagi individu sasaran.
- Non-maleficence : Prinsip nonmaleficence menghendaki agar
setiap keputusan untuk melakukan perbuatan tertentu ( meliputi
tindakan dibidang medis) tidak merugikan individu dimana
perbuatan itu dilakukan ( to do no harm). Bahwa Catalano tidak

15

mencantumkan

prinsip

ini

sebagaimana

yang

dilakukan

Beauchamp dan Childress, karena lebih setuju dengan pendapat


William frankena, bahwa prinsip nonmaleficence sudah tersirat
dalam prinsip beneficence sehingga bukan merupakan prinsip
moral tersendiri.
- Autonomy : Prinsip autonomy merujuk pada hak individu sasaran
untuk membuat keputusan menyangkut kepentingannya sendiri.
Namun harus difahami bahwa autonomy konsumen punya batas
dan tidak boleh mengganggu autonomy profesional. Profesi juga
punya autonomy yang pada batas tertentu tidak boleh diganggu
gugat. Dalam kaitannya dengan pasien misalnya, autonomy berarti
hak pasien untuk membuat keputusan atas layanan kesehatannya
sendiri ( the right to make decisions about oneshealth care ).
Dengan hak tersebut tidak berarti pasien bebas meminta layanan
kesehatan menurut keinginannya. Atas dasar itu autonomy pasien
wajib dikendalikan dan dikontrol oleh prinsip-prinsip moral lainnya
(seperti

beneficence

dan

nonmaleficence)

serta

autonomy

profesional.
- Justice : Prinsip justice( as a fairness maupun as a distributive
justice ) Menunjukkan adanya kewajiban yang adil kepada semua
orang. Prinsip ini juga mencerminkan adanya keseimbangan antara
hak

dan

kewajiban,

sehingga

tidaklah

adil

menempatkan

tanggungjawab yang besar kepada dokter dan perawat tanpa


diimbangi oleh haknya yang seimbang. Justice juga berarti adanya
kewajiban untuk memperlakukan sama kepada setiap orang dalam
kondisi atau situasi yang sama.

16

DAFTAR PUSTSKA

Asri,Irma Permata. 2009. Pelaksanaan Perjanjian Tindakan Kedokteran


(Informed Consent) antara Pihak Rumah Sakit dengan Pasien Melahirkan
Dibagian Kamar Bersalin RSUD Dr Moewardi Surakarta. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.
Razi, Fakhrul. 2008. Gambaran Perilaku Petugas Kesehatan dalam Pengisian
Formulir Informed Consent di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa.
Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
S Rachmani, S. 2009. Informed Consent dalam Pemriksaan Laboratorium HIV
bagi Pasien sebelum dirawat Inap dan Hak Perlindungan Hukum bagi
Tenaga Kesehatan. Tesis. Program Pasca Sarjana Magister Hukum
Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang. 149 hal
USU.Tanpa

Tahun.

BAB

TINJAUAN

PUSTAKA

Persetujuan

Informasi

Dalam

Tindakan

Medik.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24762/4/C
hapter%20II.pdf. 28 Oktober 2013 (14:22)

17

Anda mungkin juga menyukai