Anda di halaman 1dari 70

IDENTIFIKASI TELUR CACING TRICHURIS TRICHIURA

PADA DAUN KEMANGI DI BEBERAPA PENJUAL


SARI LAUT DI KOTA KENDARI

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III
Politeknik Kesehatan Kemenkes Kendari Jurusan Analis Kesehatan

OLEH :

FITRIA MAHARANI WAHAB


P00320013111

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2016
RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri
Nama : Fitria Maharani Wahab
NIM : P00320013111
Tempat Tanggal Lahir : Kendari, 19 Februari 1996
Suku / Bangsa : Bugis / Indonesia
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam

B. Pendidikan
1. SD Negeri 06 Kendari, tamat pada tahun 2007
2. SMP Negeri 09 Kendari, tamat pada tahun 2010
3. SMA Negeri 09 Kendari, tamat pada tahun 2013
4. Sejak tahun 2013 melanjutkan pendidikan di Politeknik Kesehatan
Kemenkes Kendari Jurusan Analis Kesehatan

v
MOTTO

Tiada perjuangan yang dihadapi tanpa suka dan duka,

semua adalah proses untuk meraih suatu tujuan yang kita impikan.

Doa dan usaha adalah kendaraan menuju impian yang kita inginkan

Kupersembahkan untuk almamaterku

Ayah dan ibu tercinta

Keluargaku tersayang

vi
ABSTRAK

Fitria Maharani Wahab (P00320013111) Identifikasi Telur cacing Trichuris


trichiura Pada Daun Kemangi Di Beberapa Penjual Sari Laut Di Kota
Kendari. Yang di bimbing oleh ibu Hj. St. Nurhayani dan ibu Tuty Yuniarty
(xiv + 38 halaman + 7 lampiran + 3 tabel). Trichuris trichiura dalam siklus
hidupnya membutuhkan tanah untuk pematangan telur yang yang tidak infektif
menjadi telur yang infektif dan manusia merupakan hospes dari Trichuris
trichiura. Manusia terinfeksi setelah menelan makanan yang terkontaminasi telur
yang infektif, telur-telur tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia
diantaranya melalui tidak bersih dalam mencuci sayuran yang tidak dimasak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi telur cacing Trichuris trichiura
pada daun kemangi di beberapa penjual sari laut di Kota Kendari. Variabel
penelitian ini yaitu telur cacing Trichuris trichiura pada daun kemangi di
beberapa penjual sari laut di Kota Kendari. Penelitian ini dilakukan pada tanggal
22 Juni sampai 1 Juli 2016. Sampel penelitian berjumlah 31 penjual sari laut yang
akan diperiksa daun kemanginya yang diambil secara Random Sampling. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sampel yang ditemukan adanya telur cacing
Trichuris trichiura terdapat 2 sampel (6,45%), telur cacing Ascaris lumbricoides 9
sampel (29,03%), telur cacing tambang 7 sampel (22,58%), dan sampel yang
tidak ada telur cacing 13 sampel (41,93%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
dari 31 sampel yang diperiksa terdapat telur cacing Trichuris trichiura pada daun
kemangi di penjual sari laut di Kota Kendari. Oleh karena perlu adanya
pengawasan dan penyuluhan kepada penjual sari laut mengenai kontaminasi telur
cacing Trichuris trichiura yang menyajikan sayuran mentah sebagai lalapan.

Kata Kunci : Trichuris trichiura, Daun Kemangi


Daftar Pustaka : 20 buah (2002-2015)

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan
judul “Identifikasi Telur cacing Trichuris trichiura pada Daun Kemangi di
beberapa Penjual Sari Laut di Kota Kendari”. Penelitian ini disusun dalam rangka
melengkapi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan program Diploma
III (D III) pada Politeknik Keseharan Kemenkes Kendari Jurusan Analis
Kesehatan.
Rasa hormat, terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
Ayahanda dan Ibunda tercinta atas semua bantuan moril maupun materil,
motivasi, dukungan dan cinta kasih yang tulus serta doanya kesuksesan studi yang
penulis jalani selama menuntut ilmu sampai selesainya karya tulis ini.
Proses penulisan karya tulis ini telah melewati perjalanan panjang dan penulis
banyak mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh kaena itu
pada kesempatan ini penulis juga menghaturkan rasa terima kasih kepada ibu Hj.
St. Nurhayani, S.Kep.,Ns., M.kep selaku pembimbing I dan ibu Tuty Yuniarty,
S.SI., M.Kes selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, kesabaran
dalam membimbing dan atas segala pengorbanan waktu dan pikiran selama
menyusun karya tulis ini. Ucapan terima kasih penulis juga tujukan kepada :
1. Bapak Petrus, SKM., M.Kes selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Kendari.
2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara
yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis dalam penelitian ini.
3. Ibu Ruth Mongan, B.Sc., S.Pd., M.Pd selaku penguji I, ibu Anita Rosanty,
SST., M.Kes selaku penguji II dan ibu Reni Yunus, S.Si., M.Sc selaku penguji
III.
4. Ibu Ruth Mongan, B.Sc., S.Pd., M.Pd selaku Ketua Jurusan Analis Kesehatan.
5. Ibu Sari Musrifah S.ST yang selalu memberikan bantuan dalam penelitian ini.
6. Bapak dan ibu dosen Poltekkes Kemenkes Kendari Jurusan Analis Kesehatan
serta seluruh staf dan karyawan atas segala fasilitas dan pelayanan akademik
yang diberikan selama penulis menuntut ilmu.

viii
7. Teristimewa dan tak terhingga penulis ucapkan terima kasih kepada Ayahanda
Wahab Muin dan Ibunda Farida yang selama ini telah banyak berkorban baik
secara moril maupun material demi kesuksesan penulis serta terima kasih buat
saudaraku tersayang Roman dan Vita. Iparku Kak Etri dan Kak Agus.
8. Seseorang yang amat berarti buatku yang selalu mensupport, mendoakan serta
perhatiannya.
9. Teman-teman sealmamater angkatan 01 baik suka maupun duka, teman-teman
senasib seperjuanganku : Pratiwi Arni Kangkung partnerku, Elviana, Nilu dan
Dian yang setia menemani. Eltin, Sinartin, Istiqomah, Lilis, Winda Melya,
Linda Ayu, Rita, Putry, Marni, Kiki, Malsin, Erwan, Asdin, Ofar dan YOAE
Bandung.
Penulis menyadari sepenuhnya dengan segala kekurangan dan keterbatasan
yang ada penulis, sehingga bentuk dan isi Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih terdapat kekeliruan, dan kekurangan. Oleh karena itu
dengan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah
ini.
Akhir kata, semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnya.
Karya ini merupakan tugas akhir yang wajib dilewati dari masa studi yang telah
penulis tempuh, semoga menjadi awal yang baik bagi penulis Aamiin Ya Rabbal
Alamin.

Kendari, Juli 2016

Peneliti

ix
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….. i
HALAMAN ORISINALITAS……………………………………………… ii
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………… iii
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………. iv
RIWAYAT HIDUP …………………………………………………………. v
MOTTO……………………………………………………………………… vi
ABSTRAK…………………………………………………………………… vii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………. viii
DAFTAR ISI………………………………………………………………… x
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. xii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. xiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xiv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………. 3
C. Tujuan Penelitian…………………………………………… 3
D. Manfaat Penelitian ………………………………………… 4
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Daun Kemangi …………………. 5
B. Tinjauan Tentang Helmint …………………………………. 8
C. Tinjauan Tentang Penyakit Kecacingan (Nematoda usus)…. 13
D. Tinjauan Tentang Trichuris trichiura ……………………… 14
E. Tinjauan Tentang Pemeriksaan Telur cacing (Nematoda usus) …. 18
F. Tinjauan Umum Tentang Penjual Sari Laut ……………….. 19
BAB III : KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran …………………………………………… 22
B. Bagan Kerangka Pikir ..…………………………………….. 23
C. Variabel Penelitian ………………………………………… 24
D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ………………… 24
BAB IV : METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ………………………………………….… 25
B. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………….…. 25
C. Populasi dan Sampel …………………………………….… 25
D. Jenis Data .……...................................................................... 26

x
E. Prosedur Pengumpulan Data ..………………………........... 26
F. Instrument Penelitian ……………………………….……... 26
G. Prosedur Pemeriksaan Laboratorium ……………………… 27
H. Pengolahan Data ……………………………….………….. 28
I. Analisa Data …………………………………..…………… 28
J. Penyajian Data ……………………………….……………. 29
K. Etika Penelitian …………………………….……………… 29
BAB V : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ..……………………… 30
B. Hasil Penelitian..……………………………………………. 32
C. Pembahasan……………………………………………….… 34
BAB VI : PENUTUP
A. Kesimpulan…..……………………………………………… 38
B. Saran..………………………………………………….…… 38
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Trichuris trichiura....................................................................... 16
Gambar 2.2 Telur cacing Trichuris trichura................................................... 16

xii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1 Distribusi Tempat Pengambilan Sampel Daun


Kemangi di Penjual Sari Laut Berdasarkan
Wilayah Kota Kendari Tahun 2016 ..………………………… 32
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Telur cacing yang di
temukan pada Daun Kemangi di Penjual Sari
Laut di Wilayah Kota Kendari Tahun 2016 ..…….…………... 33
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenisnya Telur
cacing yang di temukan pada Daun Kemangi di
Penjual Sari Laut di Wilayah Kota Kendari
Tahun 2016………………………..………………………….. 33

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Lembar Hasil Pemeriksaan

Lampiran 2 : Tabulasi Data

Lampiran 3 : Master Tabel

Lampiran 4 : Surat Izin Penelitian dari Poltekkes Kemenkes Kendari

Lampiran 5 : Surat Izin dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah


Propinsi Sulawesi Tenggara

Lampiran 6 : Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian

Lampiran 7 : Dokumentasi Penelitian

xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nemathelminthes berasal dari kata Yunani, “nematos” yang berarti benang
dan “helminthes” yang artinya cacing. Cacing ini juga sering disebut cacing
gilik. Cacing yang termasuk dalam filum nemathelminthes sangat banyak di
dalam tanah terdapat jutaan jumlahnya, nemathelminthes mempunyai kelas
nematoda. Spesies nematoda usus membutuhkan tanah untuk pematangan dari
bentuk tidak infektif menjadi bentuk infektif yang disebut dengan Soil
Transmitted Helminths. Spesies nematoda usus yang ditularkan melalui tanah
“Soil Transmitted Helminths” yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
dan cacing tambang yang terdiri dari dua spesies yaitu Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus (Anonim, 2010).
Penyakit Trikuriasis adalah penyakit yang disebabkan oleh Trichuris
trichiura atau cacing cambuk. Cacing ini tersebar secara kosmopolit terutama
di daerah panas dan lembap. Tanah yang paling baik untuk perkembangan
telur yaitu tanah yang hangat, basah, dan teduh. Trichuris trichiura dalam
siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk pematangan telur yang yang tidak
infektif menjadi telur yang infektif dan manusia merupakan hospes dari
Trichuris trichiura. Cacing ini hidup di sekum manusia. Manusia terinfeksi
setelah menelan makanan yang terkontaminasi telur yang infektif, telur-telur
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia diantaranya melalui tidak bersih
dalam mencuci sayuran yang tidak dimasak. Setelah telur tertelan, larva keluar
melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus, berkembang dan
bermigrasi ke kolon. Kebiasaan makan sayuran mentah ini, sudah menjadi
kebiasaan di Indonesia sehingga kelihatannya sulit untuk di ubah. Didaerah
tropis tercatat 80% penduduk positif, sedangkan diseluruh dunia tercatat 500
juta orang terinfeksi parasit ini terutama yang berada di daerah tropis
(Irianto, 2013).

1
2

Kecacingan Soil Transmitted Helminthes adalah masalah kesehatan yang


masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization
(WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi
Soil Transmitted Helminthes. Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan
subtropis, dengan jumlah terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina,
dan Asia Timur (WHO 2013). Di Indonesia sendiri prevalensi kecacingan di
beberapa kabupaten dan kota pada tahun 2012 menunjukkan angka diatas 20%
dengan prevalensi tertinggi di salah satu kabupaten mencapai 76,67%
(Direktorat Jendral PP & PL Kemenkes RI, 2013).
Cacingan dapat menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan gizi,
kecerdasan dan produktivitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak
menyebabkan kerugian karena kehilangan karbohidrat, protein dan darah
maupun menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di
Indonesia umumnya masih sangat tinggi terutama pada golongan penduduk
yang kurang mampu dan mempunyai resiko terjangkit penyakit ini. Penyakit
cacingan tersebar luas, baik di perdesaan maupun di perkotaan
(Anonim, 2004).
Trichuris trichiura ditemukan di daerah panas dan lembap seperti di
Indonesia. Di beberapa daerah di Indonesia, pada masyarakat Bali 53%, di
perkebunan Sumatera Selatan 36,2%, pada sejumlah sekolah di Jakarta 51,6%.
Prevalensi di bawah 10% ditemukan pada pekerja pertambangan di Sumatera
Barat 2,84% dan di sekolah-sekolah di Sulawesi Utara 7,42% (Anonim, 2002).
Prevalensi kecacingan di Sulawesi Tenggara berdasarkan hasil survei
tahun 2000 adalah 40,01% untuk Kabupaten Kendari yaitu sebesar 31,12%.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Kendari jumlah penderita penyakit
kecacingan tahun 2015 berjumlah 291 orang
(Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2016).
Manusia terinfeksi setelah menelan makanan yang terkontaminasi.
Penularan terjadi secara feko-oral dengan masuknya telur cacing Trichuris
trichiura yang infektif. Makanan yang dapat terkontaminasi, salah satunya
adalah sayuran mentah yang dijadikan sebagai lalapan. Beberapa jenis sayuran
3

yang biasa dimakan mentah atau sering dijadikan lalapan antara lain: kacang
panjang, kubis, tomat dan kemangi. Kemangi (Ocimum basilicum) sudah tidak
asing lagi di Indonesia dan sering ditemukan di penjual sari laut. Walaupun
jenis sayuran ini dicuci sebelum dimakan, kemungkinan pencemaran parasit
masih tetap ada sebelum dimakan. Pencemaran sayuran oleh telur cacing
dapat disebabkan oleh petani sayuran yang menggunakan tinja hewan atau
manusia sebagai pupuk yang kemungkinan besar mengandung parasit
patogen. Terutama jika dalam pencucian kurang baik, mengingat kurang
higienisnya dapur tempat para pedagang menyiapkan penanganan ditambah
lagi kurangnya kesadaran pedagang makanan dan masyarakat akan bahaya
yang akan ditimbulkan akibat infeksi cacing ini (Widjaja, 2014).
Berdasarkan data awal yang diperoleh dari penjual sari laut di Kota
Kendari pada bulan Mei 2016 bahwa terdapat 60 penjual sari laut
(Dinas Pendapatan Daerah, 2016).
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian
“Identifikasi telur cacing Trichuris trichiura pada daun kemangi di beberapa
penjual sari laut di Kota Kendari”.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat telur cacing Trichuris trichiura pada daun kemangi di
beberapa penjual sari di Kota Kendari?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing Trichuris trichiura pada
daun kemangi di beberapa penjual sari laut di Kota Kendari.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi telur cacing yang dapat ditemukan pada daun
kemangi dengan metode flotasi.
b. Untuk mengetahui hasil identifikasi telur cacing Trichuris trichiura
pada daun kemangi di beberapa penjual sari laut di Kota Kendari.
4

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk memberikan tambahan ilmu tentang telur cacing Trichuris
trichiura pada daun kemangi di beberapa penjual sari laut di Kota
Kendari.
b. Sebagai informasi untuk masyarakat tentang bahaya telur cacing
Trichuris trichiura bagi kesehatan yang terdapat pada daun kemangi.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk menambahkan kajian pustaka di Perpustakaan Kampus.
b. Sebagai bahan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Daun Kemangi
Daun kemangi adalah salah satu daun yang cukup terkenal sebagai
pemberi rasa harum bagi makanan, memiliki rasa agak manis, bersifat dingin,
dan menyegarkan. Kemangi juga dikenal sebagai sayuran yang dapat dimakan
segar sebagai lalapan bersama-sama dengan kubis dan irisan ketimun. Daun
tanaman yang satu ini biasa dijumpai pada masakan seperti, nasi krawu, botok,
dan lalapan. Daun kemangi juga digunakan sebagai bumbu masakan
(Thailand), dibuat teh daun kemangi (India), dan diambil minyak atsiri-nya
(Suseno, 2013).
Tanaman yang beraroma wangi menyegarkan ini dapat dimanfaatkan
untuk menghilangkan bau badan dan bau mulut. Dari bahasa Latin, kemangi
yang ada di Indonesia bernama botani Ocimum basillicum. Nama ini diberikan
karena kemangi tumbuhnya menyemak. Kemangi dikelompokkan dalam
kelompok basil semak (bush basil) (Nuris, 2014).
Kemangi adalah tumbuhan tahunan yang tumbuh tegak dengan cabang
yang banyak. Tanaman ini berbentuk perdu yang tingginya bisa mencapai 100
cm. Bunganya tersusun di atas tandan yang tegak. Daunnya panjang, tegak,
berbentuk taji atau bulat telur, berwarna hijau dan berbau harum. Ujung daun
bisa tumpul atau bisa juga tajam, kecil beraroma khas yang berasal dari
kandungan sitral yang tinggi pada daun dan bunganya (Suseno, 2013).
Nama lokalnya antara lain; Lampes (Sunda); Lampes (Jawa Tengah);
Kemanghi (Madura); Uku-uku (Bali); Lufe-lufe (Ternate). Tanaman berupa
semak semusim, tinggi 30-150 cm. Batang berkayu, segi empat, beralur,
bercabang, berbulu, dan berwarna hijau. Daun tunggal, bulat telur, ujung
runcing, pangkal tumpul, tepi bergerigi, pertulangan menyirip, panjang 14-16
mm, lebar 3-6 mm, tangkai panjang 1 cm, dan berwarna hijau. Bunga
majemuk, bentuk tandan, berbulu, daun pelindung bentuk elips, bertangkai
pendek, dan berwana hijau. Mahkota bulat telur berwarna putih keunguan.

5
6

Daun kemangi tumbuh di banyak tempat di seluruh dunia. Tapi kemangi


asli berasal dari India, Asia, dan Afrika. Nama kemangi dalam bahasa Inggris
adalah basil. Basil berasal dari kata yunani kuno basilikhon, yang berarti
“royal (dalam makna seperti raja)”. Ini untuk melambangkan sifat budaya
kuno melalui kemangi yang mereka anggap sangat baik hati dan sakral. Di
India, kemangi dijadikan sebagai lambang kemurahan hati, sedangkan di
Italia, dijadikan sebagai simbol cinta (Herbie, 2015).
Menurut Daftar Komposisi Bahan Makanan Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI, kemangi termasuk sayuran kaya provitamin A. Setiap 100 g
daun kemangi mengandung 5.000 IU vitamin A. Kelebihan lainnya, kemangi
termasuk sayuran yang banyak mengandung mineral, kalsium, dan fosfor
yaitu sebanyak 45 dan 75 mg per 100 g daun kemangi (Suseno, 2013).
Adapun klasifikasi tanaman kemangi dapat dilihat dibawah ini :
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub kelas : Asteridae
Ordo : Lamiales
Famili : Lamiaceae
Genus : Ocimum
Spesies : Ocimum sanctum L
Kerabat dekat : Selasih (Rizema, 2012).
Daun kemangi mengandung apigenin fenkhona, betakaroten (pro vitamin
A), asam askorbat (vitamin C) , kolagen, estragol, faenesol, histidin, triptofan,
rutin, tanin, seng, β-sitosterol, dan adaptogen (agen anti sters). Di dalamnya
juga terdapat komponen non gizi seperti flavonoid (orientn, vicenin, 1-8 cinele
myrcene dan eugenol), arginin, anetol, boron, saponin dan minyak atsiri).
Daun ini kaya akan kalsium, fosfor dan magnesium (Nuris, 2014).
7

Daun kemangi mengandung betakaroten (provitamin A) dan vitamin C.


Betakaroten berperan mendukung fungsi pengelihatan, meningkatkan respon
antibodi (mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh), sintesis protein untuk
mendukung proses pertumbuhan, dan sebagai antioksidan. Sedangkan
kegunaan vitamin C antara lain untuk pembentukan kolagen dalam
penyembuhan luka dan memelihara elastisitas kulit; membantu penyerapan
kalsium dan besi; antioksidan; mencegah pebentukan nitrosamin yang
bersifat karsinogen (menyebabkan kenker) (Rizema, 2012).
Kolagen merupakan senyawa protein yang mempengaruhi integritas
struktur sel di semua jaringan ikat, seperti pada tulang rawan, matriks tulang,
dentin gigi, membran kapiler, kulit, dan tendon (urat otot). Daun kemangi
kaya mineral makro, yaitu kalsium, fosfor, dan magnesium. Kalsium penting
bagi pembentukan dan pertumbuhan tulang, transmisi implus saraf, membantu
kontraksi otot, dan membantu mengakifkan reaksi enzim (Nuris, 2014).
Fosfor berperan dalam pertumbuhan tulang, membantu penyerapan dan
transportasi zat gizi, serta mengatur keseimbangan asam dan basa. Megnesium
membantu merelaksasikan jantung dan pembuluh darah, sehingga
memperlancar aliran darah. Selain itu daun kemangi juga mengandung
komponen non-gizi, antara lain senyawa flavonoid, eugenol, arginin, anetol,
boron dan minyak atsiri. Flavonoid dan eugenol berperan sebagai antioksidan
yang dapat menetralkan radikal bebas, menetralkan kolesterol, dan bersifat
antikanker. Senyawa flavonoid ini juga bersifat antimikroba dan antivirus,
yang dapat mencegah pertumbuhan mikroba penyebab penyakit. Daun
kemangi sangat bagus dikonsumsi oleh wanita karena eugenol-nya dapat
menghambat pertumbuhan jamur penyebab keputihan (Rizema, 2012).
Minyak atsiri pada daun kemangi mudah menguap dan mempunyai
aktivitas biologis sebagai antimikroba. Minyak atsiri dibagi menjadi dua
komponen, yaitu komponen bidrokarbon dan komponen bidrokarbon
teroksigenasi atau Fenol. Minyak atsiri dapat mencegah pertumbuhan
mikroba, seperti Staphylooccus aureus, Salmonella sp. dan Escherichia coli;
8

serta menangkal infeksi akibat Basillus subtilis, Salmonella paratyphi, dan


Proteus vulgaris.
Kandungan arginin daun kemangi dapat memperkuat daya tahan sperma
dan mencegah kemandulan. Senyawa anetol dan boron juga sangat berperan
dalam menjaga kesehatan reproduksi pria dan wanita. Anetol dan boron dapat
merangsang kerja hormon estrogen dan androgen, serta mencegah
pengeroposan tulang. Hormon estrogen dan androgen berperan dalam sistem
reproduksi wanita (Nuris, 2014).
Senyawa tanin dalam kemangi berperan sebagai antibakteri karena
memiliki kemampuan membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui
ikatan hidrogen, jika terbentuk ikatan hidrogen antara tanin dengan protein
maka protein akan terdenaturasi sehingga metabolisme bakteri menjadi
terganggu.
Eugenol dari daun kemangi dapat membunuh jamur penyebab keputihan.
Dan stigmasterol dapat merangsang ovulasi (pematangan sel telur).
Komponen tanein dan seng-nya dapat mengurangi cairan vagina, sedangkan
asam amino triptofan dapat menunda monopouse. Komponen flavonoid
seperti oriontin dan vicenin pada daun kemangi mampu melindungi struktur
sel tubuh. Sementara itu, komponen flavonoid seperti cineole, myricetin dan
eugenol bermanfaat sebagai antibiotik alami dan antiperadangan
(Rizema, 2012).
B. Tinjauan Tentang Helmint
Kata “helminth” berasal dari bahasa Yunani yang berarti cacing
(Natadisastra, 2009). Yang termaksud cacing pada umumnya berbentuk hewan
kecil yang bertubuh memanjang, tidak mempunyai kaki, simetris bilateral,
pipih atau gilik, dan ada yang beruas-ruas. Dapat bergerak pindah karena
mengandung jaringan otot khusus. Ada yang hidup bebas dan ada pula yang
parasit. Berdasarkan bentuk tubuhnya cacing dibedakan menjadi tiga filum,
yaitu: Platyhelminthes (cacing pipih), Nemathelminthes (cacing gilik) dan
Annelida (cacing gelang) (Irianto, 2013).
9

1. Cacing Pipih (Platyhelminthes)


Kata Platyhelminthes berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata
“Platys”, artinya pipih dan “helmins”, artinya cacing. Jadi,
Platyhelminthes adalah cacing yang mempunyai bentuk pipih. Tidak
mempunyai sistem peredaran darah, tidak bersegmen, tidak berongga
badan, dan tanpa lubang dubur. Cacing pipih yang berbentuk seperti daun
dinamakan cacing daun dan dimasukkan dalam kelas tremotoda. Rongga
badan adalah rongga yang terdapat di antara dinding usus dengan dinding
tubuh. Lubung mulut terdapat di tengah-tengah sedikit ke depan pada sisi
bawah badan. Cacing pipih yang hidup bebas mempunyai mata yang
berupa bintik mata.
Bagian tubuh dapat dibagi menjadi ujung anterior (ujung depan,
kepala), ujung posterior (ujung belakang ekor), dan permukaan ventral
(permukaan bawah, perut); sedangkan tubuhnya dibagi menjadi bagian
kanan dan bagian kiri yang sama. Dengan kata lain, tubuh cacing itu
berbentuk simetri bilateral.
Cacing pipih hidup sebagai parasit pada manusia dan hewan. Susunan
sarafnya terdiri atas ganglion otak dengan saraf-saraf tepi. Hewan ini
berkembang biak secara kawin (generatif). Cacing ini bersifat hermaprodit
karena testis dan ovarium terdapat bersama-sama dalam satu individu. Di
dunia ini terdapat kira-kira 6.000 jenis (spesies). Contoh Platyhelminthes:
cacing hati, cacing pita.
2. Cacing Gelang (Annelida)
Cacing gelang adalah golongan cacing yang paling rendah
tingkatannya yang membedakan yaitu adanya rongga tubuh, segmentasi
berupa metameri dan sistem saraf. Sistem peredaran darahnya tertutup dan
sistem pencernaannya sempurna. Cacing gelang mempunyai mulut di
ujung depan dan anus (dubur) di ujung belakang. Cacing gelang ada yang
hidup di darat di air tawar, dan di air laut. Contoh Annelida: cacing tanah,
pacet, lintah.
10

3. Cacing Gilik (Nemathelminthes)


Nemathelminthes berasal dari kata Yunani, “nematos” yang berarti
benang dan “helminthes” yang artinya cacing atau disebut dengan cacing
benang. Cacing ini juga sering disebut cacing gilik. Cacing yang termasuk
dalam filum ini sangat banyak, sehingga di dalam tanah terdapat jutaan
jumlahnya namun demikin peluang untuk melihatnya sangat kecil hal ini
disebabkan karena ukurannya sangat kecil seperti benang.
Nemathelminthes mempunyai kelas nematoda.
Bentuk tubuhnya gilik atau bulat panjang, sedangkan pada ujung tubuh
belakang terdapat anus. Kulitnya licin, tidak berwarna. Belum mempunyai
sistem peredaran darah dan jantung. Cacing jantan lebih kecil dari pada
cacing betina. Hidup bebas di laut, di air tawar mulai dari kutub sampai ke
daerah tropis, termasuk daerah padang pasir, dan pada sumber air panas.
Cacing gilik umumnya parasit pada manusia. Contoh Nemathelminthes:
cacing gelang, cacing cambuk, cacing tambang, cacing kremi, cacing otot
(Irianto, 2013).
Nematoda dibagi menjadi dua kelompok yaitu nematoda usus dan
nematoda darah dan jaringan.
a. Nematoda usus
Berdasarkan cara transmisi (penyebaran), nematoda usus dibagi
menjadi kedalam dua kelompok, yaitu nematoda usus yang ditularkan
melalui tanah (“Soil Transmitted Helminths”), yaitu kelompok cacing
nematoda yang membutuhkan tanah untuk pematangan dari bentuk
non-infektif menjadi bentuk infektif. Kelompok cacing ini terdiri atas
beberapa spesies yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
cacing tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus),
Strongyloides stercolaris, serta beberapa spesies Trichostrongylus.
Kelompok lainnya yaitu nematoda usus yang tidak membutuhkan
tanah dalam siklus hidupnya (Non-Soil Transmitted Helminths), yaitu
spesies Enterobius vermicularis, Trichenella spiralis dan Capillaria
philippinensis (Natadisastra, 2009).
11

1) Soil Transmitted Helminths (Ditularkan melalui tanah)


Nematoda usus yang perkembangan embrionya pada tanah
(Craig dan Faust, 1976). Ada juga yang menyebutnya sebagai
geohelminths atau cacing tularan tanah (Agoes, 1999).
Seperti telah diuraikan di atas bahwa faktor yang menunjang
berkembang serta tertularnya kelompok cacing ini di Indonesia,
antara lain karena iklim tropis yang lembap, higiene, dan sanitasi
yang kurang baik, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang
rendah, kepadatan penduduk yang tinggi serta kebiasaan hidup
yang kurang baik. Kelompok cacing ini dalam siklus hidupnya
membutuhkan tanah untuk pematangan telur atau larva yang
infektif. Jadi, tanah berfungsi untuk mematangkan bentuk non-
infektif menjadi bentuk infektif. Nematoda usus yang paling sering
dijumpai di Indonesia ada 3 spesies, yaitu Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Necator americanus.
2) Non-Soil Transmitted Helminths (Tidak ditularkan melalui tanah)
Termasuk kelompok cacing ini, yaitu Enterobius vermicularis
dan Trichinella spiralis. Keduanya merupakan nematoda usus yang
dalam siklus hidupnya tidak membutuhkan tanah disebut sebagai
“non-soil transmitted helminths” (Natadisastra, 2009).
Nematoda usus adalah nematoda yang berhabitat di saluran
pencernaan manusia dan hewan. Manusia merupakan hospes dari
nematoda usus. Sebagian besar dari nematoda ini adalah penyebab
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Safar, 2009).
Siklus hidup nematoda usus dapat dibagi dalam 3 (tiga)
golongan, yaitu: tipe langsung, modifikasi dari tipe langsung, dan
penetrasi kulit.
a) Tipe langsung
Dalam hal ini cacing dewasa langsung tumbuh dari telur
cacing begitu sampai di dalam tractus intestinalis. Misalnya,
Trichuris trichiura dan Enterobius vermicularis.
12

b) Modifikasi dari tipe langsung


Telur cacing yang berembrio yang masuk ke dalam
intestinum menetas menjadi larva. Larva ini menembus dinding
intestinum, masuk ke dalam aliran darah. Di dalam paru-paru
larva akan ke luar dari sistem kapiler, naik ke trachea,
kemudian masuk ke oesophagus, tertelan, kelambung terus ke
intestinum dan menjadi cacing dewasa, misalnya Ascaris
lumbricoides.
c) Tipe penetrasi kulit
Telur yang berasal dari feces penderita, pada tanah yang
basah akan menetas menjadi bentuk rhabditia yang setelah
beberapa waktu tumbuh menjadi bentuk filaria. Bentuk filaria
ini dapat menembus kulit yang utuh. Kemudian masuk ke
dalam aliran darah sampai kapiler paru-paru. Kemudian ke luar
dari kapiler paru-paru naik ke trachea, pindah ke oesophagus
tertelan untuk akhirnya sampai di intestinum untuk menjadi
dewasa. Misalnya, Ancylostoma duodenale (Entjang, 2003).
b. Nematoda darah
Nematoda yang hidup sebagai parasit di dalam darah dan jaringan
manusia terdiri atas tiga kelompok, yaitu :
1) Cacing filaria dan drancunculus.
2) Invasi larva migrans di dalam kulit, jaringan di bawah kulit serta
alat dalaman.
3) Nematoda yang jarang didapat, di dalam jaringan hati, ginjal, paru-
paru, mata, dan subkutis.
Cacing nematoda darah dan jaringan memiliki morfologi dasar
yang sama dengan cacing nematoda lainnya (Natadisastra, 2009).
13

C. Tinjauan Tentang Penyakit Kecacingan (Nematoda usus)


1. Askariasis
Cacing gelang atau sering disebut Ascaris lumbricoides adalah
penyebab penyakit askariasis berwarna keputih-putihan. Jika sudah
dewasa, panjangnya bisa mencapai 15-20 cm, hidup berkembang di dalam
usus. Bila masuk ke dalam tubuh, cacing gelang akan menyerang usus 12
jari, ke hati dan cabang tenggorokan. Penyakit ini digolongkan ke dalam
penyakit gangguan perut. Hal ini dikarenakan jika seseorang mengidap
cacingan maka yang mendapat gangguan pertama kali adalah perut, seperti
mual-mual dan mencret.
Di seluruh dunia infeksi Ascaris lumbricoides diderita oleh lebih dari 1
miliar orang dengan angka kematian sekitar 20 ribu jiwa. Prevalensi
askariasis bervariasi antara satu daerah dengan lainnya, antara daerah
perkotaan dengan daerah pedesaan. Askariasis terutama diderita oleh
anak-anak di bawah umur 10 tahun. Kematian dapat terjadi jika penderita
mengalami komplikasi misalnya obstruksi usus pada anak. Askariasis
endemik di banyak negeri di Asia Tenggara, Afrika Tengah dan Amerika
Selatan.
Cara penularan penyakit ini melalui lalat atau binatang lain yang
membawa terlur cacing hinggap di makanan. Telur cacing tersebut
akhirnya menetas dan berkembang biak di dalam usus. Gejala cacingan
antara lain nafsu makan menurun, perut sering mual dan kelihatan buncit,
demam, muka pucat, kelihatan kurus dan lemah, rambut kelihatan
kemerahan dan jarang, serta sering mencret dan muntah-muntah
(Soedarto, 2009).
2. Ankilostomiasis dan Nekatoriasis
Cacing tambang yang menginfeksi manusia adalah Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus. Cacing tambang berukuran kecil dan
melekat pada dinding usus. Cacing ini dapat menyebabkan perdarahan
pada usus serta meracuni pasien. Makanan utama cacing ini adalah darah
yang diambil dari pembuluh darah kecil di usus halus. Gejala serangannya
14

muka tampak pucat, badan lemah, pening, telinga mendengung, sakit


kepala, dan cepat lelah. Akibat anemia cacing tambang sekitar 50 ribu
penderita meninggal dunia setiap tahunnya.
Infeksi cacing tambang tersebar luas di daerah tropis, terutama di
daerah pedesaan. Prevalensi tertinggi terdapat pada orang dewasa. Necator
americanus banyak tersebar di Afrika Barat, Afrika Tengah, India Utara
dan Cina, Di Asia Tenggara kedua spesies cacing tambang (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus) umumnya dijumpai bersama-sama.
Penyebaran infeksi cacing tambang ditentukan oleh tiga faktor yaitu:
a. Cara terjadinya polusi tinja di tanah.
b. Lingkungan yang sesuai bagi perkembangan telur dan larva cacing.
c. Adanya kontak manusia dengan tanah yang tercemar parasit
(Soedarto, 2009).
3. Trikuriasis
Penyebab trikuriasis adalah Trichuris trichiura atau cacing cambuk
karena bentuknya mirip cambuk tinggal dalam sekum dan kolon manusia
dan hidup hingga 5 tahun. Sekitar 500 juta orang terinfeksi parasit ini,
terutama yang berada di daerah tropis.
Penularan terjadi secara feko-oral dengan masuknya telur cacing yang
infektif ke dalam mulut penderita. Infeksi ringan menimbulkan gangguan
pertumbuhan pada anak. Pada infeksi berat cacing ini menimbulkan diare
berdarah disertai nyeri perut, prolaps rektum, tenesmus, anemia, clubbing
finger, dan hipoproteinemia. Sebagian besar infeksi asimtomatik
(Soedarto, 2009).
D. Tinjauan Tentang Trichuris trichiura
1. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub kelas : Aphasmidia
Ordo : Enoplida
15

Sub-ordo : Trichurata
Super famili : Trichurioidea
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura Linnaeus
Sinonim : Trichocephalus trichurus, Blanchard
Trichuris dispar, Rudolphi
Trichocephalus hominis Schrenk
Ascaris trichiura Linne (Irianto, 2013).
2. Morfologi
Cacing dewasa menyerupai cambuk sehingga disebut cacing cambuk.
Tiga per-lima bagian anterior tubuh halus seperti benang, pada ujungnya
terdapat kepala (trix = rambut, aura = ekor, cephalus = kepala), esofagus
sempit berdinding tipis terdiri dari satu lapis sel, tidak memiliki bulbus
esofagus. Bagian anterior yang halus ini akan menancapkan dirinya pada
mukosa usus. 2/5 bagian posterior lebih tebal, berisi usus, dan perangkat
alat kelamin.
Cacing jantan memiliki panjang 30-45 mm, bagian posterior
melengkung ke depan sehingga membentuk satu lingkaran penuh. Pada
bagian posterior ini terdapat satu spikulum yang menonjol keluar melalui
selaput retraksi.
Cacing betina panjangnya 30-50 mm, ujung posterior tubuhnya
membulat tumpul, Organ kelamin tidak berpasangan (simpleks) dan
berakhir di vulva yang terletak pada tempat tubuhnya mulai menebal.
Waktu yang diperlukan 30-90 hari mulai dari telur infektif tertelan sampai
cacing dewasa mendiami kolon, tempat cacing jantan dan betina kawin.
Seekor cacing betina menghasilkan telur setiap hari sekitar 3000-10.000
butir.
16

Gambar 2.1 Trichuris trichiura betina dan jantan dibawah mikroskop


dengan perbesaran objektif 40 x (Ferlianti, 2009).
Telur berukuran 50 x 25 mikron, memiliki bentuk seperti tempayan,
pada kedua kutubnya terdapat operkulum, yaitu semacam penutup yang
jernih dan menonjol. Dindingnya terdiri atas dua lapis, bagian dalam
jernih, bagian luar berwarna kecoklat-coklatan (Natadisastra, 2009).

Gambar 2.2. Telur cacing Trichuris trichiura dibawah mikroskop


dengan perbesaran objektif 40 x (Hadidjaja. P, 2002).
3. Daur Hidup
Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur
matang. Telur menetas larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke
bagian proksimal usus halus menetap selama 3-10 hari. Sesudah menjadi
dewasa cacing akan turun ke usus besar bagian distal dan masuk ke daerah
kolon, terutama sekum. Jadi larva tidak mengalami migrasi ke paru-paru
melalui aliran darah. Telur dikeluarkan dari hospes bersama tinja dalam
17

keadaan belum matang (belum membelah), tidak infektif. Telur tersebut


menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan yang
sesuai, yaitu pada tanah yang lembap dan teduh. Telur matang ialah telur
yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Dengan demikian cacing
ini temasuk Soil Transmitted Helminths (ditularkan melalui tanah) tempat
tanah berfungsi dalam pematangan telur. Manusia dapat terinfeksi jika
telur infektif tertelan (Anonim, 2010).
4. Hospes dan Nama Penyakit
Hospes merupakan organisme yang mengandung parasit, hospes
tempat parasit hidup tumbuh menjadi dewasa dan berkembang biak secara
seksual. Manusia merupakan hospes Trichuris trichiura. Penyakit yang
disebabkannya disebut trikuriasis (Anonim, 2010).
5. Patologi dan Gejala Klinis
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi
dapat juga ditemukan di kolon asendans. Pada infeksi berat, terutama pada
anak. Cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang
terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya
penderita pada waktu defekasi.
Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga
terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di
tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu cacing ini
juga mengisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.
Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan
menahun, menunjukkan gejala diare yang sering diselingi sindrom
disentri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang disertai
prolapsus rektum. Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan
infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak
memberikan gejala klinis atau sama sekali tanpa gejala (Anonim, 2010).
18

6. Diagnosis
Trikuriasis dapat ditegakkan diagnosisnya berdasarkan ditemukannya
telur cacing Trichuris trichiura dalam tinja atau menemukan cacing
dewasa pada anus atau prolaps rekti (Natadisastra, 2009).
E. Tinjauan Tentang Pemeriksaan Telur Cacing (Nematoda usus)
Metode pemeriksaan telur cacing dalam tinja yang sering digunakan di
Indonesia adalah metode konsentrasi yang dapat dilakukan dengan dua teknik,
yaitu teknik pengapungan (flotasi) dan pengendapan (sedimentasi). Teknik
pengapungan dengan larutan NaCl jenuh biasanya lebih disukai karena tidak
memerlukan alat yang lebih komplek (Sumanto, 2012).
1. Metode pengapungan (flotasi)
Pada cara pengapungan digunakan cairan yang berat jenisnya lebih
besar dari pada telur cacing sehingga telur cacing akan terapung di cairan
tersebut. Metode ini menggunakan larutan garam jenuh sebagai bahan
untuk mengapungkan telur. Tujuan dilakukannya metode flotasi ini adalah
untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja
berdasarkan berat jenis telur-telur yang lebih ringan dari pada berat jenis
larutan yang digunakan sehingga telur-telur terapung dipermukaan
(Bramantyo, 2014).
Lautan pengapung berperan penting dalam menyebabkan telur cacing
dapat mengapung sehingga mudah diamati. Bahan pengapung yang lazim
dipergunakan dalam pemeriksaan tinja metode flotasi adalah larutan NaCl
jenuh, glukosa, MgSO4, ZnSO4 proanalisis, NaNO3 dan millet jelly
(Bramantyo, 2014).
Garam NaCl yang beredar di pasaran saat ini ada beberapa macam,
diantaranya adalah garam murni keluaran pabrikan yang memang dibuat
untuk kebutuhan bahan kimia untuk laboratorium kesehatan dan industri.
Jenis garam NaCl lainnya adalah garam dapur yang sudah dikenal
masyarakat luas untuk bumbu dapur. Garam dapur yang beredar di pasaran
diantaranya adalah garam krosok, garam meja dan garam cetak. Semua
jenis garam tersebut dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan
19

laboratorium metode konsentrasi teknik pengapungan dengan NaCl jenuh


(Sumanto, 2012).
Prinsip metode flotasi dengan NaCl jenuh adalah sampel dielmusikan
kedalam larutan NaCl jenuh, dimana telur cacing pada sampel mengapung
kepermukaan larutan dikarenakan perbedaan berat jenis antara telur dan
larutan NaCl (Sandjaja, 2007).
2. Metode pengendapan (sedimentasi)
Pada cara sedimentasi digunakan cairan yang mempunyai berat jenis
lebih kecil dari pada telur cacing sehingga telur cacing akan mengendap di
dasar tabung. Metode ini merupakan metode yang baik untuk memeriksa
sampel tinja yang sudah lama. Prinsip dari metode ini adalah dengan
adanya gaya sentrifuge dapat memisahkan antara suspensi dan
supernatannya sehingga telur cacing dapat terendapkan. Metode
sedimentasi kurang efisien dibandingkan dengan metode flotasi dalam
mencari kista protozoa dan banyak macam telur cacing
(Bramantyo, 2014).
F. Tinjauan Umum Tentang Penjual Sari Laut
Penjual sari laut dikategorikan sebagai penjual resmi pada warung semi
permanen, terdiri dari gerobak yang diatur berderet yang dilengkapi dengan
meja dan bangku-bangku panjang. Bentuk sarana ini beratap dari bahan terpal
atau plastik yang tidak tembus air. Dengan bentuk sarana ini dikategorikan
penjual sari laut menetap dan biasanya berjualan makanan dan minuman.
Makanan dan minuman, terdiri dari pedagang yang berjualan makanan dan
minuman yang telah dimasak dan langsung disajikan ditempat maupun dibawa
pulang. Lokasi penyebarannya di tempat-tempat strategis seperti di
perdagangan, perkantoran, tempat rekreasi/hiburan, ruang terbuka/taman,
persimpangan jalan utama menuju perumahan/diujung jalan tempat
keramaian, waktu berdagang pada malam hari (Nur, 2015).
Penjual sari laut termaksud dalam pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima
adalah mereka yang melakukan kegiatan usaha dagang perorangan atau
kelompok yang dalam menjalankan usahanya menggunakan tempat-tempat
20

fasilitas umum, seperti di pinggir jalan, di perempatan jalan, di bawah pohon


yang rindang, dan lain-lain. Barang yang dijual biasanya makanan, minuman,
pakaian, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari lainnya. Tempat penjualan
pedagang kaki lima relatif permanen yaitu berupa kios-kios kecil atau gerobak
dorong, atau yang lainnya.
Pedagang adalah perantara yang kegiatannya membeli barang dan
menjualnya kembali tanpa merubah bentuk atas inisiatif dan tanggung jawab
sendiri dengan konsumen untuk membeli dan menjualnya dalam partai kecil
atau per satuan.
Pedagang kaki lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut
penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas daerah milik
jalan yang seharusnya diperuntukkan untuk pejalan kaki. Ada pendapat yang
menggunakan istilah PKL untuk pedagang yang menggunakan gerobak.
Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada
lima.
Pedagang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dibagi atas dua yaitu:
pedagang besar dan pedagang kecil. Pedagang kecil adalah pedagang yang
menjual barang dagangan dengan modal yang kecil sedangkan pedagang besar
pedagang yang berjualan secara besar-besaran dengan modal besar dan juga
pedagang yang melakukan penyerahan barang kena pajak, bukan sebagai
pedagang eceran.
Lokasi pedagang kaki lima sangat dipengaruhi oleh hubungan langsung
dan tidak langsung dengan berbagai kegiatan formal dan kegiatan informal
atau hubungan pedagang kaki lima dengan konsumennya. Penentuan lokasi
yang diminati oleh pedagang kaki lima adalah sebagai berikut:
1. Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada
waktu yang relatif sama, sepanjang hari.
2. Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat-pusat kegiatan
perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering
dikunjungi dalam jumlah besar.
21

3. Mempunyai kemudahan untuk terjadi hubungan antara pedagang kaki lima


dengan calon pembeli, walaupun dilakukan dalam ruang relatif sempit.
4. Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum
(Nur, 2015).
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran
Daun kemangi adalah salah satu daun yang cukup terkenal sebagai
pemberi rasa harum bagi makanan, memiliki rasa agak manis, bersifat dingin,
dan menyegarkan. Kemangi juga dikenal sebagai sayuran yang dapat dimakan
segar sebagai lalapan. Kemangi tumbuh tegak dengan cabang yang banyak.
Tanaman ini berbentuk perdu yang tingginya bisa mencapai 100 cm. Kemangi
tumbuhnya menyemak dan berada di tanah. Tanah yang paling baik untuk
perkembangan telur cacing Trichuris trichiura yaitu tanah yang hangat, basah,
dan teduh. Trichuris trichiura dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah
untuk pematangan telur yang tidak infektif menjadi telur yang infektif dan
manusia merupakan hospes dari Trichuris trichiura. Manusia terinfeksi
setelah menelan makanan yang terkontaminasi telur yang infektif . Telur-telur
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia, diantaranya melalui tidak
bersih dalam mencuci kemangi yang dimakan langsung sebagai lalapan yang
disajikan di penjual sari laut.
Cacing dewasa Trichuris trichiura menyerupai cacing cemeti atau
cambuk, karena tubuhnya menyerupai cemeti dengan bagian depan yang tipis
dan bagian belakangnya yang jauh lebih tebal. Waktu yang diperlukan 30-90
hari mulai dari telur infektif tertelan sampai cacing dewasa mendiami kolon,
tempat cacing jantan dan betina kawin. Seekor cacing betina menghasilkan
telur setiap hari sekitar 3000-10.000 butir. Telur cacing Trichuris trichiura
adalah telur yang dikeluarkan oleh cacing betina memiliki bentuk seperti
tempayan, pada kedua kutubnya terdapat operkulum, yaitu semacam penutup
yang jernih dan menonjol.

22
23

B. Bagan Kerangka Pikir

Kondisi Tanah Kontaminasi Telur


cacing

Tanah

Daun Kemangi

Metode
Pemeriksaan

Metode Sedimentasi Metode Flotasi

Pengamatan
Mikroskop

Ada telur cacing Tidak ada telur


(positif) cacing (negatif)

Amati Bentuk

Telur cacing Trichuris Telur cacing Ascaris


lumbricoides ada 3 bentuk: Telur cacing
trichiura berbentuk
Telur yang dibuahi, telur tambang berbentuk
seperti tempayan dekortikasi dan telur yang
tidak dibuahi
oval

Keterangan : : Variabel yang diteliti


: Variabel yang tidak diteliti
24

C. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini adalah telur cacing Trichuris trichiura pada Daun
kemangi di beberapa penjual sari laut di Kota Kendari.
D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Definisi Operasional
a. Penjual sari laut adalah pedagang yang dipinggir jalan yang berdagang
pada waktu malam hari. Berjualan makanan dan minuman yang telah
dimasak dan langsung disajikan ditempat seperti ikan, ayam, tempe
penyet dan lalapan.
b. Daun kemangi yang disajikan sebagai lalapan di penjual sari laut.
Daun kemangi yang disajikan didalam wadah penampung berisi air,
daun kemangi yang segar dan memiliki rasa agak manis dimanfaatkan
untuk menghilangkan bau mulut dan bau badan.
c. Telur cacing Trichuris trichiura yang diperkirakan menempel pada
daun kemangi yang disajikan sebagai lalapan oleh penjual sari laut
yang bisa menjadi sumber infeksi konsumen.
2. Kriteria Objektif
a. Dikatakan ada telur cacing Trichuris trichiura jika ditemukan telur
cacing berbentuk seperti tempayan, pada kedua kutubnya terdapat
operkulum yaitu semacam penutup yang jernih dan menonjol jika di
lihat dibawah mikroskop.
b. Dikatakan ada telur cacing lain jika ditemukan telur cacing yang tidak
berbentuk telur cacing Trichuris trichiura jika dilihat di bawah
mikroskop.
c. Dikatakan tidak ada telur cacing jika tidak ditemukan telur cacing di
bawah mikroskop.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah deskriptif dengan
desain penelitian observasional analitik yaitu melakukan pemeriksaan
laboratorium untuk mengidentifikasi telur cacing Trichuris trichiura pada
daun kemangi di beberapa penjual sari laut di Kota Kendari.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat pengambilan sampel penelitian dilakukan di beberapa penjual sari
laut di Kota Kendari, sedangkan untuk pemeriksaan laboratorium dilakukan di
Laboratorium Analis Kesehatan Poltekkes Kendari yang dilaksanakan pada
tanggal 22 Juni sampai 1 Juli 2016.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya
(Sugyono, 2011).
Populasi dalam penelitian ini adalah daun kemangi di penjual sari laut
Kota Kendari, yang terbagi atas Kendari Selatan 5 penjual sari laut,
Kendari Barat 28 penjual sari laut, Kendari Timur 3 penjual sari laut, dan
Kendari Utara 24 penjual sari laut. Jumlah keseluruhan penjual sari laut
yaitu sebanyak 60 penjual sari laut yang akan di periksa daun kemanginya.
2. Sampel adalah bagian dari jumlah atau karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugyono, 2011).
Metode yang digunakan yaitu Simple Random Sampling adalah teknik
sampling yang digunakan bila populasi mempunyai anggota/unsur yang
tidak homogen dan berstrata secara proposional (Sugyono, 2011).

a) Kendari Selatan x5=3

b) Kendari Barat x 28 = 14

25
26

c) Kendari Timur x3=2

d) Kendari Utara x 24 = 12

Jadi jumlah keseluruhan sampel yaitu 31 penjual sari laut yang akan di
periksa daun kemanginya yang diperoleh melalui undian.
E. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang
berupa gambaran ada tidaknya telur cacing Trichuris trichiura yang dapat
ditemukan pada daun kemangi.
F. Prosedur Pengumpulan Data
1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari tempat penelitian
yaitu hasil pemeriksaan identifikasi telur cacing Trichuris trichiura pada
daun kemangi di beberapa penjual sari laut di Kota Kendari.
2. Data sekunder adalah gambaran umum lokasi pengambilan sampel dan
jumlah penjual sari laut yang berada di Kota Kendari.
G. Instrument Penelitian
1. Alat yang digunakan pada penelitian yaitu lembar hasil pemeriksaan.
2. Alat dan bahan yang digunakan pada pemeriksaan laboratorium yaitu :
a. Alat
1) Gelas kimia 250 ml
2) Pipet tetes
3) Sendok tanduk
4) Pinset
5) Batang pengaduk
6) Rak tabung reaksi
7) Tabung reaksi
8) Deck glass
9) Objek glass
10) Mikroskop
27

b. Bahan
1) Sampel daun kemangi
2) NaCl jenuh 36%
H. Prosedur Pemeriksaan Laboratorium
1. Pra Analitik
a. Metode pemeriksaan dan prinsipnya
Metode pemeriksaan yang digunakan adalah metode flotasi.
Prinsipnya adalah sampel dielmusikan kedalam larutan NaCl jenuh
36%, dimana telur cacing pada sampel mengapung ke permukaan
larutan karena perbedaan berat jenis NaCl jenuh 36% dan telur cacing.
b. Persiapan alat dan bahan
Alat yang digunakan yaitu, gelas kimia 250 ml, pipet tetes, pinset,
batang pengaduk, tabung reaksi, deck glass, objek glass dan
mikroskop.
Bahan yang disiapkan yaitu sampel daun kemangi, kemudian
aquadest dan NaCl untuk dibuat NaCl jenuh 36%.
Setelah alat dan bahan disiapkan, berikan kode pada gelas kimia
250 ml kemudian timbang daun kemangi sebanyak 10 gram.
c. Pembuatan NaCl jenuh 36%
1) Disiapkan aquadest sebanyak 50 ml kedalam gelas kimia 250 ml.
2) Dimasukkan NaCl 18 gram ke dalam larutan sedikit demi sedikit
sampai larutan menjadi larutan NaCl jenuh 36%.
2. Analitik
Prosedur kerja telur cacing dengan metode flotasi
a. Daun kemangi di rendam ke dalam gelas kimia yang berisi NaCl jenuh
36%, kemudian diamkan selama 25 menit.
b. Setelah 25 menit, di aduk hingga homogen setelah itu daun kemangi
diangkat dan dikeluarkan dengan menggunakan pinset.
c. Larutan NaCl jenuh 36% hasil rendaman diambil dan dimasukkan
kedalam tabung reaksi sampai penuh.
28

d. Letakkan deck glass di atas tabung reaksi hingga menyentuh


permukaan larutan, diamkan selama 45 menit, setelah itu deck glass
dipindahkan di atas objek glass kemudian diperiksa di bawah
mikroskop dengan perbesaran objektif 10 atau 40 x.
3. Pasca Analitik
a. Interprestasi dan pengamatan hasil
1) Hasil pemeriksaan
a) Positif jika ditemukan telur cacing Trichuris trichiura yang
berbentuk seperti tempayan, pada kedua kutubnya terdapat
operkulum, yaitu semacam penutup yang jernih dan menonjol.
b) Positif jika ditemukan telur cacing lain yang tidak berbentuk
telur cacing Trichuris trichiura.
c) Negatif jika tidak ditemukan telur cacing.
b. Pencatatan dan pelaporan hasil.
I. Pengolahan Data
Setelah data dikumpulkan, maka data tersebut diolah melalui tahapan
sebagai berikut :
1. Editing adalah pengecekan atau pengkoreksian data yang telah
dikumpulkan.
2. Coding adalah membuat atau pembuatan kode pada tiap-tiap data.
3. Tabulating adalah menyusun data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
setelah dilakukan perhitungan data secara manual.
J. Analisa Data
Sesuai jenis penelitian ini yaitu survei dengan pendekatan deskriptif, maka
rumus yang digunakan dalam menganalisis data guna mengetahui persentase
setiap variabel yang diteliti adalah sebagai berikut :

X=

Keterangan :
X = Persentase hasil yang dicapai
29

f = Variabel yang diteliti


n = Jumlah sampel penelitian
k = Konstanta (100%)
K. Penyajian Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan
diuraikan dalam bentuk narasi.
K. Etika Penelitian
1. Anonymity
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama
responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.
2. Confidentiality pledge
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya
kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Sejarah Berdirinya Kota Kendari
Penemu, penulis dan pembuat peta pertama tentang Kota Kendari
adalah Vosmaer berkebangsaan Belanda. Vosmaer tertarik dengan sebuah
teluk yang indah dan kemudian memberinya nama “Vosmaer baai” (Teluk
Vosmaer, kemudian terkenal dengan Teluk Kendari). Dari perjalannya
mengelilingi pantai timur Sulawesi mulai di Gorontalo, Poso, Togian, dan
menyusuri Teluk Tomini hingga memasuki Teluk Tolo dalam perjalanan
pulang ke Makassar, ia singgah di Teluk Kendari 9 Mei 1831 menemukan
orang Bajo dan Bugis.
Vosmaer sangat kagum dan tertarik dengan Teluk Kendari yang baru
ditemukan, sehingga mendorongnya membuat peta dan melakukan
penelitian. Ketertarikan Vosmaer itu dibuktikan satu tahun (1832)
kemudian dengan mendirikan logde, istanah raja Tebau, dan selanjutnya
melengkapinya dengan fasilitas pelabuhan serta mengawasi perkampungan
orang Bajo dan Bugis yang beraktivitas sebagai nelayan dari gangguan
bajak laut.
Pada zaman colonial Belanda, Kendari adalah Ibukota Kewedanan dan
Ibukota Onder Afdeling Laiwoi. Kota Kendari pertama kali tumbuh
sebagai Ibukota Kecamatan dan selanjutnya berkembang menjadi Ibukota
Kabupaten Daerah Tingkat II berdasarkan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 1959, dengan perkembangannya sebagai daerah permukiman, pusat
perdagangan dan pelabuhan laut antar pulau. Luas kota pada saat itu ±
31.400 km2.
Di awali dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964
tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kota Kendari
ditetapkan sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara yang terdiri dari 2
(dua) wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Kendari dan Kecamatan
Mandonga dengan luas wilayah ± 75,76 km2.

30
31

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1978, Kendari


menjadi Kota Administratif yang meliputi tiga wilayah kecamatan yakni
Kecamatan Kendari, Mandonga dan Poasia dengan 26 kelurahan dan luas
wilayah ± 18.790. Mengingat pertumbuhan dan perkembangan Kota
Kendari, maka dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1995
Kota Kendari ditetapkan menjadi Kota Madya Daerah Tingkat II Kendari,
dengan luas wilayah mengalami perubahan menjadi 296 km2.
2. Letak Geografis
Wilayah Kota Kendari terletak di sebelah Tenggara Pulau Sulawesi.
Wilayah daratannya terdapat di daratan Pulau Sulawesi mengelilingi Teluk
Kendari. Terdapat satu pulau pada wilayah Kota Kendari yang dikenal
sebagai Pulau Bungkutoko. Luas wilayah daratan Kota Kendari 269,363
km2 atau 0,70 persen dari luas daratan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Luas wilayah menurut Kecamatan sangat beragam. Kecamatan Baruga
merupakan wilayah kecamatan yang paling luas (18,09%), selanjutnya
Kecamatan Abeli (16,28%), Kecamatan Poasia (14,31%), Kecamatan
Puuwatu (14,24%), Kecamatan Kambu (8,88%), Kecamatan Mandonga
(8,65%), Kecamatan Kendari Barat (7,09%), Kecamatan Kendari (5,82%),
Kecamatan Wua-Wua (4,14%), dan Kecamatan Kadia (2,50%).
Wilayah Kota Kendari dengan ibu kotanya Kendari dan sekaligus juga
sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara secara astronomis terletak di
bagian selatan garis khatulistiwa berada di antara 3° 54´ 30´´ - 4° 3´ 11´´
Lintang Selatan dan membentang dari Barat ke Timur diantara 122° 23´ -
122° 39´ Bujur Timur. Sepintas tentang posisi geografisnya, Kota Kendari
memiliki batas-batas.
a. Sebelah Utara - Kabupaten Konawe
b. Sebelah Timur - Laut Kendari
c. Sebelah Selatan - Kabupaten Konawe Selatan
d. Sebelah Barat - Kabupaten Konawe Selatan
32

Kota Kendari terbentuk dengan Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 6 Tahun 1995 yang disyahkan pada Tanggal 3 Agustus 1995
dengan status Kota Madya Daerah Tingkat II Kendari.
3. Jumlah Penduduk
Pada tahun 1990 jumlah penduduk Sulawesi Tenggara sekitar
1.349.619 jiwa. Kemudian tahun 2000 meningkat menjadi 1.776.292 jiwa
dan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat
Statistik tahun 2005 adalah sejumlah 1.959.414 jiwa. Dari publikasi
Proyeksi Penduduk Indonesia tahun 2010 - 2035 disebutkan bahwa jumlah
penduduk Sulawesi Tenggara berturut-turut (dalam ribuan) 2.243,6 (2010),
2.499,5 (2015), 2.755,6 (2020), 3.003,3 (2025), 3.237,7 (2030) dan
3.458,1 (2035). Laju pertumbuhan penduduk Sulawesi Tenggara selama
tahun 1990 - 2000 adalah 2,79% per tahun dan tahun 2004 - 2005 menjadi
0,02%. Laju pertumbuhan penduduk menurut kabupaten selama kurun
waktu 2004 - 2005 hanya Kota Kendari dan Kabupaten Muna yang
menunjukkan pertumbuhan yang positif, yaitu 0,03% dan 0,02% per
tahun, sedangkan kabupaten yang lain menunjukkan pertumbuhan negatif.
B. Hasil Penelitian
Tabel 5.1 Distribusi Tempat Pengambilan Sampel Daun Kemangi di Penjual
Sari Laut Berdasarkan Wilayah Kota Kendari Tahun 2016.
No Wilayah N %
1 Kendari Selatan 3 9,67%
2 Kendari Barat 14 45,16%
3 Kendari Timur 2 6,45%
4 Kendari Utara 12 38,70%
Jumlah 31 100

Dari 31 sampel daun kemangi terdapat 14 sampel yang diperoleh di


wilayah Kendari Barat dengan persentase 45,16%, 12 sampel dengan
persentase 38,70% berada di wilayah Kendari Utara, 3 sampel dengan
33

persentase 9,67% berada di wilayah Kendari Selatan, dan 2 sampel dengan


persentase 6,45% berada di wilayah Kendari Timur.
a. Identifikasi telur cacing yang dapat ditemukan pada daun kemangi dengan
metode flotasi
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Telur Cacing yang di temukan
pada Daun Kemangi di Penjual Sari Laut di Wilayah Kota
Kendari Tahun 2016.
No Hasil Pemeriksaan Telur Cacing n %
1 Ada 18 58,06
2 Tidak ada 13 41, 93
Jumlah 31 100

Dari 31 sampel daun kemangi terdapat 18 sampel ada telur cacing


dengan persentase 58,06% dan 13 sampel tidak ada telur cacing dengan
persentase 41,93%.
b. Identifikasi telur cacing Trichuris trichiura pada daun kemangi di
beberapa penjual sari laut di Kota Kendari
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenisnya Telur Cacing yang di
temukan pada Daun Kemangi di Penjual Sari Laut di Wilayah
Kota Kendari Tahun 2016.

No Jenis Telur Cacing n %


1 Trichuris trichiura 2 6,45
2 Ascaris lumbricoides 9 29,03
3 Cacing tambang 7 22,58
4 Tidak ada 13 41,94
Jumlah 31 100

Dari 31 sampel daun kemangi terdapat 2 sampel telur cacing Trichuris


trichiura dengan persentase 6,45%, 9 sampel telur cacing Ascaris
lumbricoides dengan persentase 29,03%, dan 7 sampel telur Cacing
tambang dengan persentase 22,58%.
34

C. Pembahasan
1. Identifikasi telur cacing yang dapat ditemukan pada daun kemangi dengan
metode flotasi.
Berdasarkan pemeriksaan Laboratorium Analis Kesehatan Poltekkes
Kemenkes Kendari yang dilaksanakan pada tanggal 22 Juni sampai 1 Juli
2016 dengan 31 sampel daun kemangi yang akan diperiksa secara
mikroskopik dengan metode flotasi menggunakan NaCl jenuh 36%.
Prinsipnya adalah sampel dielmusikan kedalam larutan NaCl jenuh 36%,
dimana telur cacing pada sampel mengapung ke permukaan larutan karena
perbedaan berat jenis NaCl jenuh 36% dan telur cacing.
Persentase dari hasil identifikasi telur cacing dari 31 sampel yang
ditemukan adanya telur cacing 18 sampel (58,06%) dan tidak ada telur
cacing 13 sampel (41,93%). Terdapat 2 sampel telur cacing Trichuris
trichiura dengan persentase (6,45%), 9 sampel telur cacing Ascaris
lumbricoides dengan persentase (29,03%), dan 7 sampel telur Cacing
tambang dengan persentase (22,58%).
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang memungkinkan
telur cacing masih tertinggal pada kemangi. Kontaminasi telur cacing pada
lalapan kemangi ini bisa dipengaruhi oleh tempat atau dimana kemangi ini
berasal, proses pencucian kemangi, dan proses penyajian kemangi sebagai
lalapan. Pencemaran telur cacing dapat terjadi melalui air, udara maupun
lingkungan. Di samping itu penggunanan tinja hewan atau manusia
sebagai pupuk tanaman merupakan salah satu faktor yang bisa
menyebabkan terjadinya pencemaran tanah sehingga dapat mencemari
tanaman kemangi dan dapat menginfeksi manusia, meskipun tidak
menyebabkan infeksi yang serius tetapi manusia yang terinfeksi parasit
dapat menyebabkan kurangnya nafsu makan sehingga dapat menyebabkan
menurunnya kondisi kesehatan gizi, kecerdasan dan produktivitas
penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian
karena kehilangan karbohidrat, protein dan darah maupun menurunkan
kualitas sumber daya manusia.
35

Salah satu hal yang mempengaruhi kontaminasi telur cacing pada


lalapan kemangi dalam penelitian ini adalah tempat atau asal dari kemangi
yang digunakan penjual sari laut sebagai lalapan. Diduga pedagang
membeli kemangi dari beberapa pasar tradisional di Kota Kendari yang
dekat dengan lokasi berdagang. Menurut penelitian yang dilakukan
Agustina pada tahun 2010, sayuran yang dijual di beberapa pasar Kota
Kendari menunjukkan bahwa dari 15 sampel sayuran yang diperiksa
positif telur cacing nematoda usus. Pasar mandonga, Kota lama, dan
Baruga termasuk pasar tradisional yang terkontaminasi telur cacing
nematoda usus.
Kontaminasi telur cacing pada lalapan kemangi juga bisa dipengaruhi
oleh cara penyajian kemangi. Kemangi yang dijajakan dipinggir jalan
dapat terkontaminasi melalui debu, kotoran yang tertiup angin maupun
kotoran yang dibawa oleh serangga seperti lalat. Sayuran kemangi yang
disimpan di tempat yang terbuka dan tidak bersih dapat tercemar oleh
telur cacing. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada
makanan jika diterbangkan oleh angin. Selain itu, transmisi telur cacing
juga dapat melalui lalat yang sebelumnya hinggap di tanah/kotoran,
sehingga lalat yang membawa telur cacing tersebut akan mencemari
makanan-makanan yang tidak tertutup (Endriani, 2010).
Kemangi yang digunakan sebagai lalapan di penjual sari laut disajikan
ke dalam wadah atau gelas yang berisi air, tampak gelas yang tidak
pernah dicuci, air rendaman yang keruh, dan air rendaman kemangi yang
tidak pernah diganti membuat kemangi terkontaminasi. Menurut penelitian
yang dilakukan Jalil pada tahun 2014, air cucian kemangi diwarung makan
jalan abdul kadir Kota Makassar menunjukkan bahwa dari 5 sampel air
cucian yang diperiksa positif bakteri proteus fulgaris dan Enterobacter sp.
Faktor lain yang sangat mempengaruhi kontaminasi telur cacing pada
kemangi adalah proses pencucian kemangi tersebut. Pencucian yang
kurang bersih dapat menyebabkan masih adanya telur cacing pada sayuran
mentah. Sebab, penjual sari laut tidak memiliki air yang mengalir langsung
36

pada keran, mengingat lokasi berdagang yang berada dipinggir jalan.


Kemangi dicuci ke dalam wadah/bak air yang digunakan untuk mencuci
sayuran yang mungkin tidak dilakukan secara berulang dari wadah satu ke
wadah lain yang berisi air.
Di daerah yang tidak memiliki sanitasi memadai, telur ini akan
mengkontaminasi tanah. Telur dapat melekat pada sayuran dan tertelan
bila sayuran tidak dicuci atau dimasak dengan baik. Selain itu telur juga
bisa tertelan melalui minuman yang terkontaminasi dan pada anak-anak
yang bermain di tanah tanpa mencuci tangan sebelum makan. Tidak ada
transmisi langsung dari orang ke orang, atau infeksi dari tinja segar karena
telur yang keluar bersama tinja membutuhkan waktu sekitar tiga minggu
untuk matang dalam tanah sebelum menjadi infektif (WHO, 2013).
2. Identifikasi telur cacing Trichuris trichiura pada daun kemangi di
beberapa penjual sari laut di Kota Kendari.
Telur cacing yang dapat mengkontaminasi daun kemangi yaitu salah
satunya telur cacing Trichuris trichiura yang dalam siklus hidupnya
membutuhkan tanah untuk pematangan telur yang tidak infektif menjadi
telur yang infektif. Trichuris trichiura tersebar secara kosmpolit terutama
di daerah panas dan lembap. Tanah yang paling baik untuk perkembangan
telur yaitu tanah yang hangat, basah, dan teduh. Pada suhu kurang dari
8°C dapat merusak telur cacing Trichuris trichiura dan pada anak-anak
yang bermain di tanah tanpa mencuci tangan sebelum makan, ini yang
disebabkan sedikitnya kemungkinan telur cacing Trichuris trichiura pada
sayuran. Anak usia sekolah mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap
infeksi Trichuris trichiura. Berdasarkan data epidemiologi, anak dengan
tempat tinggal dan sanitasi yang buruk dan higienitas yang rendah
mempunyai risiko terinfeksi yang lebih tinggi. Pendidikan higienitas
yang rendah juga mendukung tingginya infeksi tersebut. Tumpukan
sampah dan penyediaan makanan jajanan di lingkungan sekolah juga
menjelaskan tingginya prevalensi (Irianto, 2013).
37

Selain telur cacing Trichuris trichiura didapatkan telur cacing lain


yaitu Ascaris lumbricoides dan cacing tambang yang ditemukan pada
daun kemangi. Dominasi telur cacing lain disebabkan oleh sifat dari telur
Ascaris lumbricoides yang di dalam tanah tetap hidup pada suhu dingin
yang biasa terdapat pada musim dingin. Telur tahan terhadap desinfektan
kimiawi dan rendaman di dalam berbagai bahan kimia kuat. Telur dapat
hidup berbulan-bulan di dalam air selokan dan feses. Hal lain juga bisa
mempengaruhi salah satu sifat dari jenis telur tersebut. Pada parasit
tanaman dibedakan dua golongan yaitu ectoparasit dan endoparasit.
Ascaris lumbricoides merupakan endoparasit, seluruh tubuhnya berada
dalam jaringan dan tubuh tanaman inangnya sehingga sulit hilang jika
sayuran tersebut dicuci (Widjaja, 2014).
Kontaminasi telur cacing tambang dapat disebabkan oleh beberapa
faktor seperti jenis tanah dan suhu. Telur cacing tambang dapat tumbuh
optimum pada lingkungan yang mengandung pasir karena pasir memiliki
berat jenis lebih besar dari pada air sehingga telur-telur akan terlindung
dari sinar matahari (Suryani, 2013).
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan pada sayuran kemangi
pedagang ikan bakar di Kota Palu, ditemukan angka kontaminasi Soil
Transmitted Helminthes pada sayuran kemangi yang cukup tinggi. Spesies
telur cacing Soil Transmitted Helmithes yang ditemukan pada sampel daun
kemangi yaitu Ascaris lumbricoides, Hookworm dan Trichuris trichiura.
Spesies telur cacing paling banyak ditemukan Ascaris lumbricoides
70,2%, selanjutnya Hookworm 16,2%. Ditemukan infeksi campuran
Ascaris lumbricoides dan Hookworm 10,8%, Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura 2% (Widjaja, 2014).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang identifikasi telur cacing Trichuris trichiura
pada daun kemangi di beberapa penjual sari laut di Kota Kendari ditemukan
18 sampel daun kemangi yang mengandung telur cacing yang dapat
disimpulkan :
2. Ada telur cacing terdapat 18 sampel dengan persentase (58,06%) dan tidak
ada telur cacing terdapat 13 sampel dengan persentase (41,93%).
3. Telur cacing Trichuris trichiura terdapat 2 sampel dengan persentase
(6,45%).
4. Telur cacing Ascaris lumbricoides terdapat 9 sampel dengan persentase
(29,03%).
5. Telur cacing tambang terdapat 7 sampel dengan persentase (22,58%).
A. Saran
1. Perlu adanya pengawasan dan penyuluhan kepada penjual sari laut
mengenai kontaminasi telur cacing Trichuris trichiura yang menyajikan
sayuran mentah sebagai lalapan.
2. Masyarakat lebih memperhatikan dalam kebersihan dalam pengolahan dan
pemanfaatan kemangi yang dikonsumsi, seperti cara mencuci dan teknik
mencuci merupakan hal yang perlu diperhatikan. Penggunaan air mengalir
lebih dianjurkan tetapi apabila tidak ada air yang mengalir dapat
digunakan wadah satu ke wadah lain yang berisi air yang digunakan untuk
mencuci kemangi secara berulang.
3. Menjadi kajian pustaka dan rujukan bagi institusi Poltekkes Kemenkes
Kendari khususnya jurusan Analis Kesehatan.
4. Bagi peneliti selanjutnya agar melanjutkan penelitian terkait dengan daun
kemangi namun lebih mengidentifikasi pada telur cacing Ascaris
lumbricoides atau cacing tambang.

38
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2010). Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia.
Anonim, (2004). Program Nasional Pemberantasan Cacingan di Era
Desentralisasi. Jakarta: Depkes RI.
Bramantyo, Alexander, L. (2014). Perbedaan Metode Flotasi Menggunakan
Larutan ZnSO4 dengan Metode Kato-katz untuk Pemeriksaan
Kuantitatif Tinja.
Endriani., dkk. (2010). Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian
Kecacingan Pada Anak 1-4 Tahun. Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Entjang, Indan. (2003). Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Ferlianti, Rika. (2009). Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. [slide show].
Tersedia pada: http://www.slideshare.net/rikaf/ascaris-lumbricoides-
dantrichuris-trichiura?next_slideshow=1. Diakses pada 10 Agustus
2016.
Hadidjaja, P., & Gandahusada, S. (2002). Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Irianto, Koes. (2013). Parasitologi Medis. Bandung: Alfabeta.
Mihrawati. (2014). Identifikasi Telur cacing Trichuris trichiura pada Sayur
Kangkung yang Dijual di Pasar Kota Kendari.
Natadisastra, Djaenudin., & Ridad, A. (2009). Parasitologi Kedokteran: Ditinjau
dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC.
Nur, Muhammad. (2015). Strategi Peningkatan Usaha Pedagang Kaki Lima Di
Kecamatan Turikale Kabupaten Maros.
Nuris, Nuriani. D., (2014). Aneka Daun Berkhasiat Untuk Obat. Yogyakarta:
Gava Media.
Rizema, Sitistava, P. (2012). Khasiat Ajaib Kemangi. Yogyakarta: Diva Press.
Safar, Rosdiana. (2009). Parasitologi Kedokteran Protozologi Helmintologi
Entomologi. Bandung: Yrama Widya.
Soedarto. (2009). Pengobatan Penyakit Parasit. Surabaya: ___
Sumanto, Didik., & Fuad Al Hamidy. (2012). Studi Efisiensi Bahan untuk
Pemeriksaan Infeksi Kecacingan Metode Flotasi NaCl Jenuh
Menggunakan NaCl Murni dan Garam Dapur.
Suryani, D. (2013). Hubungan Perilaku Mencuci Dengan Kontaminasi Telur
Nematoda usus Pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea) Pedagang
Pecel Lele di Kelurahan Warungboto Kota Yogyakarta. Jurnal Kesmas
UAD Vol.6. No.2. Juni 2012: 162-232.
Suseno, Mahfud. (2013). Sehat Dengan Daun. Yogyakarta: Buku Pintar.
Swarjana, Ketut. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Andi.
Widjaja, Junus., Leonardo, T.L., Oktaviani., & Puryadi. (2014, Desember).
Prevalensi dan Jenis Telur cacing Soil Transmitted Helmints (STH)
pada Sayuran Kemangi Pedagang Ikan bakar di Kota Palu. Jurnal
Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang. Halaman 62. Vol.5.
DOKUMENTASI PENELITIAN

1. Pra Analitik
Alat yang digunakan yaitu :

Gelas kimia 250 ml Pipet tetes

Sendok tanduk Pinset


Rak tabung reaksi Batang pengaduk

Deck glass Tabung reaksi


Objek glass

Mikroskop
Bahan yang digunakan yaitu :

Timbang daun kemangi sebanyak Daun kemangi


10 gram

Aquadest Timbang NaCl sebanyak 18 gram


2. Analitik

Hasil rendaman daun kemangi yang


Daun kemangi direndam ke
didiamkan selama 25 menit
dalam gelas kimia yang berisi
NaCl jenuh 36%

Hasil rendaman daun kemangi Pengamatan dibawah mikroskop


dimasukkan ke dalam tabung reaksi
sampai penuh dan letakkan deck
glass diatas tabung reaksi diamkan
selama 45 menit
3. Pasca Analitik

Telur cacing Trichuris trichiura Telur cacing Ascaris lumbricoides


dibawah mikroskop dengan dibawah mikroskop dengan
perbesaran 40 x perbesaran 40 x

Terlur cacing Ascaris lumbricoides


Telur cacing tambang dibawah
dibawah mikroskop dengan
mikroskop dengan perbesaran 40 x
perbesaran 40 x

Anda mungkin juga menyukai